Anda di halaman 1dari 6

SINERGI DAN PELUANG DIFABEL DALAM PENDIDIKAN DAN

KETENAGAKERJAAN
Ekadina Dzawil Ulya

Universitas Negeri Semarang

Potret Penyandang Difabilitas di Indonesia

Di kalangan orang berusia 15 tahun ke atas, terdapat 12,15 persen orang yang hidup
dengan difabilitas (sekitar 22,8 juta orang), mempertimbangkan tingkat difabilitas terdapat
1,87 persen penyandang difabilitas berat dan 10,29 persen penyandang difabilitas ringan
(LPEM FEB UI, 2017). Pada tahun 2017 Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi menerbitkan Permenristekdikti Nomor 46 Tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi. Pada dasarnya semua jurusan/program
studi di Perguruan Tinggi harus terbuka terhadap kehadiran mahasiswa penyandang
difabilitas, penetapan persyarakat bagi calon mahasiswa hendaknya lebih menitikberatkan
pada kemampuan akademik calon mahasiswa, bukan karena aspek difabilitasnya (Ristekdikti,
2017). Selain itu Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention on The Rights of
Persons with Disabilities (CPRD) yang diatur dalam Undang-Undang no.19 Tahun 2011,
dimana Ratifikasi CPRD menunjukkan adanya komitmen pemerintah Indonesia untuk
melindungi, memajukan, dan memenuhi hal penyandang difabilitas (Lestari dkk, 2017).

Berdasarkan fakta di lapangan dan pengalaman, ada banyak bukti penyandang


difabilitas mampu dan berhasil menyelesaikan program studi tertentu di Perguruan Tinggi,
diantaranya; Jini, seorang penyandang tunanetra total yang menyelesaikan pendidikan S1
Bahasa Inggris, dan S2 Teknologi Pendidikan di Universitas Negeri Malang; Juniati Efendi,
seorang tunarungu yang menempuh studi kedokteran gigi di Universitas Prof. DR. Moestopo,
Jakarta, dan sudah lebih dari 30 tahun praktek sebagai seorang dokter gigi; dan masih banyak
lagi tokoh inspiratif lainnya (Ristekdikti, 2017).

Keberhasilan dan pengalaman tersebut memberikan implikasi bahwa kesempatan


belajar dan berkarier masyarakat difabilitas dengan masyarakar reguler sama. Adanya
kebijakan dan pintu peluang yang disediakan pemerintah tentu memberikan manfaat secara
berkelanjutan untuk masyarakat difabilitas. Sudah saatnya membangunkan kesadaran
masyarakat untuk saling bersinergi dengan tujuan pembangunan inklusif dimana penyandang
difabilitas tidak lagi dipandang sebagai objek kegiatan amal (charity), tetapi sebagai individu
1
yang memiliki hak untuk hidup bermasyarakat di lingkungannya tanpa ada hambatan
partisipasi.

Anomali Potret Difabel

Di balik secercah harapan yang ada, kita harus menyadari bahwa terdapat anomali
dalam pemenuhan aksesbilitas bagi difabilitas baik dalam sektor pendidikan maupun
ketenagakerjaan dalam lingkup yang lebih luas. Dalam sektor pendidikan atau sekolah,
terjadi ketimpangan jumlah sekolah di Jawa Timur dan Jawa Barat sekolah luar biasa yang
tersedia berturut-turut sejumlah 457 dan 331, beberapa Provinsi memiliki lebih sedikit
sekolah luar biasa seperti di Profinsi Papua Barat yang hanya memiliki 4 Sekolah Luar Biasa
(MOEC, 2012). Contoh dalam sektor sosial ekonomi adalah dusun Tanggungrejo yang berada
di Desa Karangpatihan misalnya, merupakan dusun dengan 98 penduduk menyandang
tunagrahita. Selain mengalami tunagrahita mereka juga hidup dalam kemiskinan. Menurut
kepala desa setempat, kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh minimnya sumber
perekonomian dan mahalnya bahan-bahan makanan pokok yang tersedia (Andriana, 2017,
h.28). Selanjutnya penulis melakukan observasi di salah satu rumah industri konveksi di
Kabupaten Semarang yang mempekerjakan pemuda tunagrahita. Berdasarkan hasil observasi
data menunjukkan bahwa masih banyak rumah industri yang enggan memperkerjakan lulusan
dari sekolah luar biasa dengan alasan keterbatasan fisik dan psikis.

Secara umum anak difabel memiliki ruang yang luas dalam menggali potensi ketika
bersekolah di sekolah luar biasa, namun ketika mereka lulus terjadi persoalan yang terjadi
dari tahun ke tahun dimana aksesbilitas untuk menyalurkan bakat dan potensi anak di tengah
masyarakat umum masih sulit dilakukan. Oleh sebab itu difabilitas dan kemiskinan adalah
dua hal yang tak terpisahkan, yang keduanya bisa saling menjadi sebab-akibat. Difabilitas
menghadapi resiko kemiskinan yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat non-
difabilitas. Hubungan antara difabilitas dan kemiskinan terletak pada hambatan-hambatan di
lingkungan sekitar dimana masyarakat difabilitas kesulitan memperoleh akses atau
kesempatan yang sama dengan masyarakat reguler dalam hal infrastruktur, penerimaan
masyarakat, peraturan, maupun perkerjaan.

Perlindungan terhadap hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi


penyandang difabilitas di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang No.8
tahun 2016. Selain itu Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1998 pun menyatakan bahwa
pengusaha/pemberi kerja wajib mempekerjakan 1 orang penyandang disabilitas untuk setiap
2
100 pekerja yang dipekerjakaannya, dalam arti terdapat 1% minimal bagi penyandang
disabilitas untuk mengakses tempat kerja dan hak ekonominya, namun hal ini jarang terjadi
bahkan di sektor Pemerintahan (Irwanto, dkk. 2010, h.16-17). Ketimpangan ini ditambah
dengan akses terhadap pilihan pekerjaan bagi penyandang difabilitas yang masih terbatas.
Saat ini nampaknya negara belum sepenuhnya memerhatikan akses ketenagakerjaan maupun
persiapan pra-pendidikan sekolah luar biasa untuk penyandang difabilitas. Hingga belum ada
sanksi yang jelas yang dikeluarkan oleh pengadilan ataupun sanksi administratif yang
diterapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja sehubungan dengan perusahaan yang tidak
memperkenankan penyandang disabilitas untuk bekerja (Poerwanti, 2017, h.3).

Di luar aspek administratif yang ada perlu menjadi perhatian pula adalah aspek
internal dan ekternal penyandang difabel itu sendiri yang dapat mempengaruhi terserapnya
masyarakat difabel di dunia kerja. Aspek internal dapat dilihat dari masalah psikologi seperti
kurang percaya diri, kurang mandiri, dan kurangnya pengetahuan dan keterampilan.
Sedangkan faktor eksternal dapat terjadi dari stigma negatif yang diberikan masyarakat
maupun keluarga terhadap penyandang difabilitas.

Koreksi dan Eksekusi

Melihat potret potensi dan anomali yang terjadi tentu kita tidak bisa menggaris
bawahi dengan mudah terlebih dahulu bahwa selama ini peran dan program yang telah
dilakukan sangat efektif dalam menggerakan masyarakat dan pemerintah dalam membangun
lingkungan ramah difabilitas dalam berbagai aspek, ataupun sebaliknya kita tidak bisa
menggaris bawahi pula bahwa masih sedikit program-program sosial atau ketenagakerjaan
lainnya yang tidak menggandeng tangan masyarakat difabilitas. Penulis memberikan sebuah
contoh program sinergi yang dilakukan perangkat desa dalam menyejahterakan masyarakat
difabilitas sebagai bukti bahwa dengan adanya inovasi serta kolaborasi yang dilakukan
pemerintah dan masyarakat daerah sangat memungkinkan memberikan peluang hak
ketenagakerjaan dan pendidikan bagi difabilitas. Desa Karangpatihin merupakan sebuah Desa
yang mendapatkan julukan Kampung Idiot dikarenakan 98 dari seluruh warganya adalah
penyandang tunagrahita. Menariknya, dengan adanya kondisi yang sangat memprihatinkan
membuat Kepala Desa berinovasi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial warganya dengan
mendirikan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Karangpatihan yang bertujuan untuk
menyejahterakan warga tunagrahita. Pada tahun 2013 kegiatan-kegiatan yang dilakukan
diantaranya adalah beternak lele, kambing, dan ayam kampung (Andriana, 2017, h.28).
3
Berkaca pada tantangan isu difabilitas saat ini serta keberhasilan daerah di Indonesia
yang telah sukses dalam menciptakan lingkungan ramah difabilitas, sudah saatnya
dipertimbangkan adanya Disability Center Indonesia untuk mengintegrasikan inovasi-inovasi
penggiat kegiatan atau program yang berhubungan dengan difabilitas baik dalam aspek
pendidikan, sosial, maupun ekonomi dalam mendukung kesejahteraan bersama warga
difabilitas yang terkoneksi atau termonitoring langsung oleh Pemerintah. Tanpa
mengenyampingkan peran lembaga yang tengah bertanggung jawab atas aspek-aspek
pendidikan inklusi dan ketenagakerjaan, Disability Center Indonesia (DCI) dibangun untuk
mengintegrasikan peran-peran lembaga tersebut serta kontribusi penggiat, peneliti, dan
praktisi yang berkaitan dengan isu difabilitas untuk ikut serta mendukung dan
mengefektifkan program-program yang telah atau akan dilakukan. Berikut program kerja
yang dapat diajukan untuk Disability Center Indonesia:

Aspek Program
Informasi  Memberikan informasi secara online maupun
offline terkait lowongan ketenagakerjaan baik dalam
BUMN maupun swasta.
 Memberikan informasi/sosialiasi terkait legislasi
difabilitas terkait kenetagakerjaan dan pendidikan
 Menjadi portal informasi yang berhubungan
dengan kegiatan difabilitas dalam lingkup Nasional
diberbagai sektor baik pendidikan, sosial, kebudayaan,
ekonomi dan sebagainya.
Pendataan  Mengembangkan dan memperbaruhi database
untuk mempermudah pelaku usaha, peneliti, praktisi,
maupun masyarakat umum dalam membuat program
atau kegiatan yang berhubungan dengan difabilitas.
 Pemetaan komunitas, kegiatan, dan program
difabilitas
 Pemetaan potensi difabilitas dengan kebutuhan
perusahaan
Pelatihan dan Pendidikan  Portal pendidikan khusus, misalnya berupa
pengajaran bahasa isyarat, pendidikan inklusif,
advokasi, sosialiasi, pembuatan kebijakan, dan
kegiatan pendidikan khusus lain bergantung pada jenis
difabilitas.
 Portal pelatihan berupa workshop, seminar,
4
ataupun pelatihan secara keberlanjutan sebagai salah
satu program pelatihan pra-sekolah.
 Memberikan pendampingan, monitoring, dan
coaching dalam pengembangan serta implementasi
kegiatan pendukung difabilitas dalam sektor
pendidikan formal dan non-formal.
 Memonitoring komunitas dan lembaga yang
berkaitan dengan difabilitas.
Pendanaan  Memberikan hibah pendanaan proyek sosial
maupun penelitian yang berkaitan dengan difabilitas.
 Memberikan beasiswa pendidikan (bekerjasama
dengan CSR, individu yang berkenan memberikan
beasiswa, dan lainnya.
Forum Diskusi  Portal berbagai informasi dan aspirasi masyarakat
difabilitas maupun praktisi, peneliti, dan masyarakat
pada umumnya.
 Membangun strategi agar Indonesia mampu
menjadi negara yang ramah dengan difabilitas.

Potensi dan keterbatasan menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan. Namun sekiranya
Disability Center Indonesia dapat membantu kesiapan Indonesia dalam menyinergikan peran
pemerintah dengan masyarakat untuk membangun kepercayaan dunia terhadap difabilitas.
Melalui lima aspek yang diajukan, tentu menjadi tugas utama bagi pemerintah untuk
memberikan dukungan baik dalam pembentukan ketenagakerjaan sebagai penggerak DCI
pusat maupun penyinergian ke daerah-daerah dalam membangun daerah ramah difabilitas
dalam berbagai aspek. Program yang diajukan adalah gambaran umum, perlu dilakukan
pendataan dan pemetaan untuk menjalankan kelima aspek tersebut menjadi program-program
yang berkelanjutan dengan memperhatikan tujuan, value, dan dampak nyata yang akan
dirasakan oleh masyarakat difabilitas secara terukur dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

Andriana, Lutfia. 2017. Kesejahteraan Sosial Tunagrahita di Ponorogo. INKLUSI: Journal of


Disability Studies. Vol. 4, No.1. DOI:10.14421/ijds.040102

Irwanto, Eva R. K., Asmin F., Mimi L., & Okta S., 2010. Analisis Situasi Penyandang
Disabilitas di Indonesia: Sebuah Desk Review. Pusat Kajian Disabilitas.
Universitas Indonesia
5
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. 2017. Panduan Pelayanan Mahasiswa
Disabilitas di Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, Direktorat Pembelajaran

Lestari, Eta Yuni, Slamet Sumarto, & Noorochmat Isdaryanto. 2017. Pemenuhan Hak Bagi
Penyandang Difabilitas di Kabupaten Semarang melalui Implementasi
Convention on The Rights of Persons with Disabilites (CPRD) dalam Bidang
Pendidikan. Integralistik. No.1/Th.XXVIII/2017, Januari-Juni 2017. Hal: 1-9

LPEM FEB UI. 2017. Laporan Akhir: Memetakan Penyandang Difabilitas (PD) di Pasar
Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: ILO

Poerwanti, Sari Dewi. 2017. Pengelolaan Tenaga Kerja Difabe; untuk Mewujudkan
Workplace Inclusion. INKLUSI: Journal of Disability Studies. Vol. 4, No.1.
DOI:10.14421/ijds.040101

Anda mungkin juga menyukai