Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHALUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
dengan mutu yang sebaik-baiknya, tanpa diskriminasi, dimana salah satu strateginya adalah
meningkatkan pelayanan kesehatan secara merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan, serta
mengutamakan upaya promotif dan preventif. Begitu pula halnya dengan para penyandang
cacat memiliki hak yang sama untuk menikmati pelayanan kesehatan dengan gambaran
seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, banyak sorotan masyarakat


terhadap buruknya kualitas pelayanan para tenaga medis yang cenderung kurang
memperhatikan dan membeda-bedakan pasien, khususnya pasien cacat, apalagi yang kurang
mampu. Namun di sisi lain, para tenaga medis lainnya dan bahkan pemerintah, maupun warga
sipil biasa yang justru memberikan pelayanan maupun bantuan khusus yang lebih baik
terhadap pasein penyandang cacat.

Global Population Report tahun 2016 menyebutkan lebih dari satu miliar orang
diperkirakan mengalami disabilitas (15% dari populasi dunia). Sekitar 110 juta hingga 190
juta orang dewasa mengalami kesulitan yang signifikan dalam fungsi tubuhnya. Proporsi
individu penyandang cacat meningkat dimungkinkan karena struktur umur yang berubah dan
peningkatan kondisi kesehatan kronis (WHO, 2016). Disabilitas kurang memiliki akses
terhadap pelayanan kesehatan dan karena itu mengalami kebutuhan perawatan kesehatan yang
belum terpenuhi (WHO, 2016).

Beberapa kondisi kesehatan yang berhubungan dengan disabilitas mengakibatkan


kesehatan yang buruk dan kebutuhan perawatan kesehatan yang lebih luas. Semua orang
dengan disabilitas memiliki kebutuhan perawatan kesehatan umum yang sama seperti orang
lain bahkan lebih, dan karena itu membutuhkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih
utama.
Orang dengan disabilitas mencari perawatan kesehatan yang lebih daripada orang
tanpa cacat dan memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi yang lebih besar. Survei terbaru dari
orang-orang dengan gangguan mental yang serius, menunjukkan bahwa antara 35% dan 50%
dari orang di negara-negara maju, dan antara 76% dan 85% di negara berkembang, tidak
menerima pengobatan (WHO, 2016).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan dibutuhkan kasih sebagai
landasan para tenaga medis dalam melakukan setiap pekerjaannya. Ini bertujuan agar para
tenaga medis dapat memberikan pelayanan terbaik kepada para pasiennya dengan terlebih
dahulu berempati terhadap pasien. Salah satu cara berempati yang dapat di gunakan adalah
dengan cara menganggap pasien tersebut seperti keluarga sendiri, yang sangat butuh bantuan
dan pertolongan yang maksimal dari kita selaku tenaga medis. Secara otomatis, hati kita
sebagai tenaga medis pasti tergerak untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada
mereka tanpa membeda-bedakan satu sama lain, khususnya pelayanan terhadap pasien cacat.
Pelayanan medis terhadap pasien cacat yang disesuaikan dengan etis Kristen inilah
yang menjadi landasan bagi kelompok 8 untuk menyusun makalah ini, agar pelayanan
kesehatan bagi penyandang cacat dapat semakin baik dari waktu ke waktu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah gambaran mengenai pelayanan medis terhadap pasien cacat di masyarakat
menurut artikel yang kami kumpulkan?
2. Bagaimanakah tinjauan etis Kristen terhadap rangkuman artikel yang membahas
pelayanan medis terhadap pasien cacat?
3. Apakah yang menjadi kesimpulan dan saran mengenai pelayanan medis terhadap pasien
cacat?
BAB 2

KAJIAN TEORI

2.1 Kumpulan Artikel


Artikel 1 : Puskesmas Cimaung Jadi Pusat Layanan Kesehatan Ramah Disabilitas
Pertama di Jabar
TRIBUNNEWS.COM - PEMKAB Bandung meresmikan Puskesmas Cimaung sebagai
tempat layanan kesehatan ramah disabilitas. Puskesmas Cimaung merupakan satu-satunya
Puskesmas di Jabar yang sudah memenuhi standar pelayanan kesehatan ramah disabilitas.
"Puskesmas ramah disabilitas ini memperhatikan keselamatan dan kenyamaan
penyandang disabilitas. Fasilitas yang ada disiapkan untuk para disabilitas. Toilet telah
disesuaikan. Ada huruf braile untuk penyandang disabilitas. Yang jelas tidak ada diskriminasi,
dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada semua masyarakat," kata Ketua Forum
Kabupaten Bandung Sehat, yang juga Ketua PKK Kabupaten Bandung, Hj. Nia Dadang M.
Naser di sela-sela launching Puskesmas Cimaung Ramah Disabilitas, Jalan Raya
Pangalengan, Desa/Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Kamis (23/2/2017).
Di Kabupaten bandung terdapat sebanyak 9.351 orang penyandang disabilitas dari 3,6
juta penduduk. Menurut Nia, dari 62 puskesmas, sebanyak 48 puskesmas sedang mengarah
pada pelayanan kesehatan ramah disabilitas. Hal itu untuk memenuhi hak-hak dasar kesehatan
terhadap penyandang disabilitas. Selain itu Pemkab. Bandung juga sedang mengembangkan
pendidikan khusus bagi penyandang disabilitas, dalam upaya menyiapkan skill guna
meningkatkan kesejahteraan.
"Para pegawai yang ada di lingkungan puskesmas tersebut, sebelumnya juga melewati
proses pelatihan dan pembinaan. Mulai dari petugas pendaftaran, Satpam, hingga dokternya
pun disiapkan untuk melayani para pasien penyandang disabilitas," katanya.

Aritkel 2 : Penyandang Disabilitas Belum Dapat Pelayanan Khusus


TEMPO. Para penyandang disabilitas memiliki karakter-karakter khusus. Untuk itu,
pelayanan kepada mereka pun harus diberikan secara khusus.
Misalnya teman-teman tunarungu, bagaimana mereka mendapatkan informasi
layanan kesehatan seperti menggunakan bahasa-bahasa isyarat, ujar Yaf Lay dari Persani
NTT pada workshop tentang hak seksual dan reproduksi penyandang diabilitas di rumah
jabatan Wali Kota Kupang, Senin (30/1). Workshop dihadiri para kepala puskesmas dan
perwakilan dari enam kecamatan di Kota Kupang.
Para penyandang disabilitas, katanya, memiliki hak untuk mendapatkan layanan
kesehatan reproduksi dan seksual. Sebab, mereka juga manusia dan memiliki hak yang sama
untuk mengakses layanan tersebut.
Pelayanan kesehatan kepada penyandang disabilitas di Kota Kupang, diakui Yaf sudah
terbuka. Hanya saja, masih kurang pemahaman petugas kesehatan di puskesmas dalam
memberikan pelayanan kepada penyandang disabilitas.
Karena itu, harapan kami ke depan ada kerja sama antara Persani dengan puskesmas
atau puskesmas dengan lembaga lain yang memahami betul penyandang disabilitas agar akses
layanan kesehatan sampai pada penyandang disabilitas, tegasnya.
Bicara soal kesehatan reproduksi bagi orang yang sempurna saja bingung
apalagi penyandang distabilitas. Kasihan karena tunarungu ketika mau berdiskusi dia diskusi
dengan siapa, katanya. Karena itu, dia meminta Dinas Kesehatan melakukan perencanaan
dan bekerja sama dengan aparat kecamatan hingga kelurahan, bahkan bisa sampai RT dan RW
untuk melakukan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi dan seksual bagi penyandang
disabilitas. Sosialisasi juga perlu bagi orangtua yang anaknya termasuk penyandang
disabilitas.
Sosialisasi ini harus dilakukan sampai tingkatan terbawah agar orangtua juga tidak
malu mengakui bila ada anaknya yang penyandang disabilitas. Sosialisasi juga penting agar
penyandang disabilitas mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, paparnya.
Selain itu, penting untuk mendata ulang penyandang disabilitas di Kota Kupang. Pendataan
juga penting agar bisa diketahui jumlah dan kebutuhan penyandang disabilitas. (H-1)

Artikel 3 : Melihat Aceh Penuhi Hak-Hak Kaum Difabel


KOMPAS - ACEH. Kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap penyandang cacat
memang masih kurang. Sangat sedikit dijumpai fasilitas umum dan fasilitas sosial terhadap
mereka. Tak hanya di Banda Aceh, bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung, Medan, dan Semarang juga belum dilengkapi dengan fasilitas khusus untuk para
penyandang disabilitas. Minimnya kamar- kamar kecil di tempat-tempat umum dan pusat-
pusat perbelanjaan untuk para penyandang cacat adalah realita yang mudah dijumpai. Fasilitas
untuk orang yang tidak berkebutuhan khusus seakan dilayani lebih baik. Bahkan tempat parkir
khusus untuk mereka dengan lambang kursi roda belum kita temui di Aceh. Belum lagi,
kendaraan angkutan umum yang khusus untuk penyandang cacat masih belum kita jumpai di
Kota Banda Aceh.
Kita pantas khawatir karena jumlah penyandang cacat di Negara ini tidaklah sedikit.
Perhatian terhadap mereka harus ada lewat program kerja Pemerintah agar hak-hak mereka
terpenuhi dengan baik sebagai umat manusia. Semua itu bertujuan agar mereka mudah
beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga bisa berbuat sesuatu yang berguna bagi
orang lain dan ikut memberikan sumbangsihnya di bidang pembangunan Aceh ke depan.
Sudah selayaknya para penyandang cacat itu diberi kesempatan untuk berkiprah dan berkarya
sesuai kemampuannya. Banyak dari mereka yang sudah mendapatkan pembekalan berupa
latihan dari berbagai Lembaga Non-Pemerintah baik asing maupun lokal.
Namun, jika Pemerintah Aceh tak ikut membantu menyediakan akses yang layak
untuk mereka rasanya akan sia-sia saja semua peningkatan kapasitas yang telah mereka dapat
tersebut. Harapan dan Tantangan Diskriminasi terhadap para penyandang cacat memang
sering terjadi. Dalam bidang pendidikan, ketenaga kerjaan, pelayanan kesehatan, aksesibilitas
adalah beberapa contoh yang nyata.

Artikel 4 : Penuhi Layanan Kesehatan Difabel


TRIBUNNEWS.COM. Sarana kesehatan bagi para penyandang disabilitas semakin
terpenuhi di sejumlah Puskesmas dan Rumah Sakit di Kabupaten Bandung. RSUD Majalaya
mulai memberikan layanan kesehatan mata ramah inklusi disabulitas kemarin(30/3).
Sebelumnya, beberapa pusat layanan kesehatan, seperti Puskesmas Cimaung, Ciparay,
Ciluluk, Sudi, Rancabali, Cilengkrang dan lainnya telah terlebih dahulu meluncurkan layanan
untuk kaum disabilitas
Pada 2017 ini, pemerinth akan berusaha untuk meningkatkan pelayanan bagi kaum
difabel. Untuk meningkatkan fasilitas publik yang ada di rumah sakit, kami akan
mengoordnasikan dan meminta dukungan dari jajaran DPRD Kabupaten Bandung, Provinsi
Jabar hingga DPR RI, ucapnya.
Sementara itu, Direktur Utama RSUD Majalaya drg.Grace Mediana,M.Kes
mengungkapkan, di hari disbilitas ini pihaknya telah melengkapi bangunan dengan yang
mudah dijangaku oleh pasien disabilitas. Di antaranya, bagi pasien yang menggunakan kursi
roda terdapat bidang miring yang landai yang memudahkan kemandirian pasien disabilitas
yang menggunakan kursi roda.
Selain itu, katanya, para penyandang disabilitas juga memerlukan toilet yang mimiliki
pintu lebar 80cm. Sehingga mudah dimasuki pengguna kursi roda, dan ruangan toilet yang
lebih besar serta kloset duduk yang disertai adanya handrail untuk pegangan ketika pengguna
kursi roda menjatuhkan tubuhnya ke kloset. Selain itu, tersedia juga meja pelayanan yang
pendek sehingga mudah dijangkau dan transaksi dengan staf medis.
Bagi pasien yang mempunyai hambatan mata, terdapat guiding block, lantai
berwarna kuning sebagai jalur pandu berjalan dan setiap ruangan pemeriksaan dilengkapi
braille, dan pemanggilan pasein menggunakan pengeras suara, katanya.

Artikel 5 : Posbindu Disabilitas Dorong Kemandirian Kesehatan Masyarakat Difabel


TEMPO. Mencapai kemandirian hidup sehat seyogyanya dimiliki oleh setiap warga, tidak
terkecuali warga masyarakat difabel. Itu sebabnya, Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu)
Disabilitas didorongkan oleh Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dalam hal
ini Badan Pelayanan Kesehatan Sosial (Bapel Jamkesos) ada pada tiap-tiap elemen
masyarakat, di dalamnya terdapat pula masyarakat difabel.
Posbindu Disabilitas merupakan pos pembinaan terpadu bagi kesehatan difabel.
Bentuk pelayanan yang diberikan didalamnya bersifat preventif atau pencegahan. Namun
demikian, apabila terdapat difabel yang berdasar indikasi medis memerlukan tindakan kuratif
atau perawatan, maka yang bersangutan akan dirujuk ke Pemberi Pelalayanan Kesehatan
(PPK) yang berkompeten untuk melakukan penanganan sesuai dengan indikasi atau diagnosa
medis yang ditemukan.
Melalui Posbindu Disabilitas, harapannya mereka memiliki kesadaran terhadap
pentingnya memantau kesehatan secara mandiri, mengetahui permasalahan kesehatan dan
penangannya semisal permasalahan tumbuh kembang anak. Kemandirian ini kelak akan
menjadi jalan menuju kesejahteraan. Yuliati Iskak, Auditor Medis Bapel Jamkesos DIY
mengutarakan pada Solider, Kamis (6/4/2017), di Hotel Griya Jogja.
Saat ini sudah berdiri sebuah Posbindu Disabilitas di bawah pendampingan dan
pembinaan Puskesmas Kasihan Bantul. Yakni Posbindu Disabilitas Mandiri, berada di dusun
Donotirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta yang dilaunching pada 29 Maret 2017. Posbindu
tersebut beranggotakan 26 orang, yang terdiri atas kader, difabel dan orang tua difabel serta
pendamping dari Puskesmas.
Persyaratan Posbindu Disabilitas
Posbindu Disabilitas dapat berdiri di wilayah manapun. Untuk mendirikan Posbindu
Disabilitas, minimal memiliki 20 anggota Puskesmas pendamping dan anggota memiliki
komitmen untuk melakukan pemeriksaan minimal satu bulan satu kali. Kader atau pengurus
melakukan pengarsipan setiap hasil pemeriksaan, sebagai catatan rekam medis preventif.
Bapel Jamkesos DIY akan hadir melakukan kunjungan dan pemeriksaan rutin setiap tiga
bulan sekali, bersama dokter keluarga dengan peralatan sebagaimana dibutuhkan.

Artikel 6 : Difabel Bisa Cek Kesehatan Gratis


KORAN SINDO. Difabel Penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
membuat acara khusus bagi kaum difabel. Selain acara hiburan, mereka juga bisa
mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.
Pelayanan kesehatan ini dilakukan mulai dari pengecekan gula darah, kolesterol, dan
asam urat. Khusus wanita bisa juga menyediakan fasilitas pengecekan kanker serviks dan
payudara. Lalu bagi orangtua yang memiliki anak dengan keterbatasan, bisa melakukan
konsultasi dengan psikolog secara cuma-cuma.
"Atas dasar asas keadilan sosial terhadap kaum difabel, kami ingin mengajak
masyarakat lebih peduli dengan mereka," ungkap koordinator acara penutupan PK-68 Nabila
Virgizia di Cimanggis, Depok, Rabu (1/6/2016).
Acara ini juga menhadirkan mantan Presiden Young Voices Indonesia, Sidam
Damsyik yang memberikan inspirasi bagi kaum difabel. Dia menunjukkan, keterbatasan tidak
menghalangi seseorang berkembang. Hadir pula musisi berkebutuhan khusus yang kini
menjadi guru, Sofyan Sukmana.

Artikel 7 : Wali Kota akan Jadikan Semarang Sebagai Kota Ramah Disabilitas
KOMPAS. Jakarta - Dalam penyusunan musyawarah rencana pembangunan (musrenbang)
tingkat Kota Semarang, Pemkot mengajak perwakilan elemen masyarakat penyandang
disabilitas untuk rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) tahun 2018. Hal itu dilakukan
untuk memberikan kenyamanan di berbagai fasilitas untuk penyandang disabilitas.
"Hari ini tidak seperti sebelum-belumnya, saya mengundang panjenengan sekalian
untuk bersama-sama menyusun rencana pembangunan agar benar-benar menyentuh
masyarakat," kata Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi di gedung Balaikota, Senin
(20/3/2017).
Dalam rapat berlangsung di ruang lokakrida lantai 8 Gedung Moch, Ichsan itu, Hendi
sapaan akrab Wali Kota Semarang, mengundang berbagai elemen dalam dalam penyusunan
rencana kerja Pemerintah Kota Semarang. Menurutnya hal itu untuk mengubah konsep
pembangunan instruktif menjadi partisipatif.
Para penyandang disabilitas yang diundang urun rembug kepada Wali Kota agar Kota
Semarang menjadi kota ramah disabilitas, salah satunya soal shelter bus khusus. Perwakilan
Komunitas Sahabat Difable, Yekti Asih Proborini mengaku senang karena Pemkot Semarang
memberikan perhatiannya terhadap penyandang disabilitas.
"Harapannya ke depan fasilitas untuk penyandang disabilitas bisa dipenuhi sehingga
kami tidak perlu bergantung kepada orang lain," kata Yekti.
Kegiatan yang berlangsung siang tadi itu membahas berbagai rencana pembangunan
termasuk rencana proyek infrastrujtur berupa transportasi Might Rapid Transit (LRT). Serta
rencana pembangunan rumah sakit tipe D, sport center multy event, dan pembangunan
Kampung Bahari Tambaklorok.

Artikel 8 : Pelayanan Kesehatan Bagi Disabilitas Ditarget Lebih Komprehensif


TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah terus berupaya memastikan bahwa seluruh pelayanan
kesehatan terjangkau oleh penyandang disabilitas, terkait ini Kementerian Kesehatan di 2017
akan melaksanakan roadmap agar penyandang disabilitas mendapatkan akses pelayanan
kesehatan yang lebih komprehensif dan bermutu.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, M Subuh
mengatakan, dengan dibentuknya roadmap dan program perencanaan bagi penyandang
disabilitas, di 2017 diharapkan Kemenkes dapat melaksanakan program dengan lebih baik.
Upaya ini untuk menghilangkan hambatan masyarakat menjangkau fasilitas
kesehatan, melatih tenaga kesehatan agar mereka memahami masalah disabilitas termasuk
hak-haknya dan melakukan investasi pada pelayanan spesifik seperti rehabilitasi. "Seringkali
mereka (penyandang disabilitas) tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan baik karena
keterbatasan dirinya maupun secara ekonomi, " katanya di sela-sela seminar Memperingati
Hari Disabilitas Internasional 2016 di Jakarta, Kamis (24/11).
Karena itu menurutnya, penting untuk meningkatkan kemampuan petugas kesehatan
agar jangan sampai ada pelayanan kesehatan yang tidak siap dalam melayani, bahkan jangan
sampai terjadi mereka tidak bisa masuk ke pelayanan kesehatan. "Hal ini akan jadi perhatian
bagi Kemenkes kedepan," ujarnya.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa, peningkatan pelayanan yang komprehensif dan
bermutu juga pelayanan publik lainnya diperkuat dengan upaya penanggulangan penyakit
untuk mencegah terjadinya gangguan fungsional dan disabilitas lebih lanjut, dengan
mengutamakan upaya promotif dan preventif serta meningkatkan upaya kuratif dan
rehabilitatif.
Upaya ini bertujuan mewujudkan derajat kesehatan penyandang disabilitas yang
setinggi-tingginya, karena mereka setara dengan masyarakat lainnya, berhak mendapatkan
pelayanan publik, pendidikan, lapangan kerja dan tidak boleh mengalami stigmatisasi dan
diskriminasi.
Tujuan ini dapat terlaksana apabila dilaksanakan bersama seluruh lapisan masyarakat.
"Kemenkes lebih mengarah pada upaya pencegahan primer dan sekunder, yaitu dengan
melakukan pendekatan terhadap faktor risikonya dan bagi yang sudah menyandang disabilitas
kita upayakan untuk bisa produktif secara optimal, jangan sampai jatuh pada kondisi yang
tidak bisa apa-apa, " ungkapnya.

Artikel 9 : Disabilitas Pelayanan Kesehatan Untuk Masyarakat Di Sorong


TRIBUNNEWS.COM - Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong, Yahya Kombado,
menyatakan, disabisitas untuk melayani orang cacat sama dengan orang yang sehat.
"Hal ini terkait saat, pasien datang untuk memperoleh pelayanan kesehatan maupun setelah
pasien mendapat pelayanan, dan bahkan juga sesuai anjuran dari Kementerian Kesehatan RI
agar semua orang harus hidup bersih dan sehat," ucapnya, Kamis, (12/5).
Kita melihat konsep sehat antara masyarakat awam dengan kita sebagai pelayan di
bidang kesehatan masih jauh ber beda . Hal itu contohnya, salah satu pasien Carmelita (13)
yang terkena penyakit busung lapar baru-baru ini, sedangkan pihak keluarga tidak membawa
penderita tersebut untuk mendapat pelayanan kesehatan malah yang terjadi petugas kesehatan
yang selalu disalahkan.
"Berdasarkan kejadian tersebut, petugas kesehatan dari Puskesmas Mariyai Distrik
Mariat membuka riwayat penyakit dari Carmelita, ternyata pasien tersebut tak pernah
tersentuh pelayanan kesehatannya, baik melalui pelayanan Posyandu tak ada yang ditemukan
namanya," ujar Kombado.
Namun, untuk kegiatan sosialisasi yang melibat semua instansi teknis terkait yang
berlangsung hari ini, lanjutnya, yakni kita akan membuat komitmen bersama, sehingga
pelayanan puskesmas tetap mengacu pada SOP (Standar Operasional dan Prosedural).
"Secara struktur, puskesmas itu dapat memaksimalkan semua pelayanan kesehatan untuk
masyarakat, pada umumnya puskesmas tersebut berada di wilayah ini," tambahnya.
(MC.Sorong/rim)

Artikel 10 : Hak Kesehatan para Penyandang Disabilitas


KOMPAS. Sebagai warga negara Indonesia, para penyandang disabilitas juga memiliki hak,
kewajiban dan peran serta yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat dan aturan beberapa batang tubuh
secara tegas telah menjamin pemenuhan hak-hak warga negara tidak terkecuali para
penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-harinya. Namun pada kenyataannya
dikehidupan sehari-hari, penyandang disabilitas masih kesulitan untuk mengakses pemenuhan
hak-hak mereka. Para penyandang disabilitas masih harus berjuang sendiri untuk
mendapatkan hak sebagai warga negara. Diskriminasi masih kerap terjadi di masyarakat,
namun dalam hal ini seharusnya Negara harus melarang semua diskriminasi berdasarkan
kecacatan dan menjamin perlindungan hukum yang setara bagi orang-orang penyandang
disabilitas dari diskriminasi atas dasar apa pun. Pemerintah tetap memegang peran penting
untuk menjamin kelangsungan hak-hak penyandang disabilitas sebagai seorang warga negara
yang tidak hanya dipandang karena keterbatasan mereka.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat telah mengatur
tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat dan kesamaan kesempatan.
Pendefinisian penyandang cacat (baca penyandang disabilitas) menurut undang-undang ini
adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 pasal 1 angka 1,
penyandang cacat dikelompokkan atas tiga kelompok, yaitu :
1. Penyandang cacat fisik,
2. Penyandang cacat mental, dan
3. Penyandang cacat ganda

Disabilitas fisik adalah kedisabilitasan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi


tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara. Sedangkan
disabilitas mental adalah kelainan mental dan/atau tingkah laku, baik herediter maupun akibat
dari penyakit dan disabilitas ganda adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis
kedisabilitasan sekaligus.
Bagi anak-anak penyandang disabilitas pemenuhan hak tersebut khususnya hak
kesehatan meskipun telah diatur dalam Undang-Undang masih merupakan hal yang tidak
mudah. Disamping faktor kemiskinan, faktor pengabaian hak-hak penyandang disabilitas
dimasyarakat juga menjadi faktor pendukung semakin tidak dianggapnya penyandang
disabilitas yang hanya menjadi beban di masyarakat.
Pemenuhan hak-hak anak agar mereka dapat hidup tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebenarnya telah tertuang pada
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Menurut Undang-Undang
tersebut yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Bagi anak-anak yang menjadi
penyandang cacat dalam Pasal 1 huruf g Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak didefinisikan sebagai anak yang mengalami hambatan fisik dan/ atau
mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannnya secara wajar. Dalam hal
ini dapat dikatakan bahwa anak-anak penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk
mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang sama dengan anak normal lainnya. Pasal 8
dalam undang-undang yang sama menegaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan
sosial serta disebutkan pada Pasal 12 menyatakan bahwa setiap anak yang menyandang cacat
berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Undang-Undang tersebut tidak hanya memuat perlindungan anak, hak anak namun juga
menegaskan seperti yang tercantum dalam Pasal 21 dan 22 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 bahwa Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan
menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi
fisik dan/atau mental. Serta Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Namun seperti yang telah dijelaskan diatas, pemenuhan hak anak penyandang cacat tersebut
pada prakteknya merupakan hal yang tidak mudah. Tidak hanya peran dari Pemerintah pusat
saja tetapi juga diperlukan dukungan dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk
implementasinya.
Sistem kesehatan nasional memperhitungkan beberapa prinsip, yaitu: menyeluruh
holistik, terpadu unity, merata evenly, dapat diterima acceptable, dan terjangkau
achievable oleh masyarakat. Kesehatan merupakan subsistem Ketahanan Nasional. Oleh
sebab itu harus melibatkan sub-sistem lainnya melalui interaksi, interrelasi dan interpedensi,
disamping kemandirian agar tercapai kesehatan bangsa dengan landasan (SKN, 1982:6-7;
RPJM, 2004-2009: 401) antara lain: 1. Warga berhak atas kesehatan optimal, agar hidup
layak; 2. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab memelihara kesehatan; 3.
Penyelenggaraan upaya kesehatan diatur dan dilakukan pemerintah dan masyarakat secara
terpadu; 4. Dilandasi nilai ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan, kepentingan rakyat
banyak persatuan dan bukan kesatuan atau perorangan; 5. Kekeluargaan dan
kegotongroyongan bagi pembangunan kesehatan; 6. Adil dan merata; 7. Warga wajib
menjunjung tinggi regulasi kesehatan dan 8. Pembangunan kesehatan bersendikan
kepribadian bangsa.
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat
termasuk penyandang disabilitas idealnya diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
Adapun upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif dan
berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia. Dalam Undang-
Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang pemenuhan hak kesehatan
bagi warga negara tidak terkecuali bagi anak-anak penyandang disabilitas.
WHO memberikan definisi disabilitas ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment,
disability dan handicap . Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau
hilangnya struktur atau fungsi psikologis, atau anatomis. Sedangkan Disability adalah
ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan
aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun handicap, merupakan
keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya imparment, disability, yang
mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta
faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan. WHO merevisi konsep ini
menjadi International Clasification of Functioning Disability and Health (ICF). Dalam konsep
ini, impairment bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi focus dalam menilai
keberfungsian kemampuan seseorang. Ada dua komponen yang perlu dipelajari dalam
memahami masalah disable yaitu:
Functioning (keberfungsian), meliputi keberfungsian badan/ anatomi dan struktur serta
aktivitas dan partisipasi
Disability (ketidakmampuan), bagian pertama meliputi keberfungsian badan/anatomi dan
struktur serta aktivitas dan partisipasi, sedangkan bagian kedua terdiri dari faktor-faktor
kontekstual seperti faktor lingkungan dan faktor-faktor yang sifatnya personal.

Artikel 11 : Hak Kesehatan Bagi Anak-Anak Penyandang Disabilitas


KOMPAS. Anak-anak merupakan salah satu sumber daya manusia bangsa Indonesia yang
kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan, tidak hanya sebagai obyek pembangunan
tetapi juga sebagai subyek pembangunan. Anak penyandang disabilitas perlu dikenali dan
diidentikasi dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan
yang bersifat khusus, seperti pelayanan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan
tertentu yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan ketergantungan akibat kelainan
yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat. Anak
penyandang disabilitas adalah setiap anak yang mengalami fisik dan atau mental sehingga
menggangu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 memperkirakan jumlah anak
penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 7-10% dari jumlah penduduk Indonesia.
Kedisabilitasan dapat disebabkan karena berbagai faktor yaitu faktor kemiskinan orang tua
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi anak ketika dalam kandungan, tidak dapat
mengakses fasilitas kesehatan yang ada (imunisasi anak) dikarenakan faktor keterbatasan
biaya. Pada umumnya anak-anak penyandang disabilitas dari kelompok ekonomi kebawah
belum memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya.
Hak-hak kesehatan bagi anak-anak penyandang disabilitas adalah (1) berhak
memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak, seperti
pelayanan imunisasi, pemenuhan gizi seimbang, dan pemantauan tumbuh kembang anak; (2)
berhak memperoleh pelayanan dokter spesialis atau psikolg sesuai dengan jenis dan derajat
kedisabilitasan; (3) Anak penyandang disabilitas berhak memperoleh informasi kesehatan
seperti kesehatan reproduksi dan kesehatan diri; (4) Anak penyandang disabilitas dari
keluarga tidak mampu, pengemis, atau terlantar berhak mendapat jaminan pemeliharaan
kesehatan (jamkesmas atau jamkesda setempat) untuk memperoleh pelayanan kesehatan di
Puskesmas dan Rumah Sakit
Beberapa model yang dipakai dalam penanganan masalah penyandang cacat, yaitu :
(Konferensi Nasional I DNIKS, Jakarta, Juli 2001)
1. Model Individual/ Model Medis
Model individual/ model medis adalah model yang dipergunakan dalam kebijakan
masalah penyandang disabilitas sangat ditentukan oleh bagaimana permasalahan tersebut
dikonseptualisasikan. Disabilitas dipahami sebagai ketidakmampuan seseorang dalam
melakukan aktivitas yang dianggap normal/ layak akibat impairment yang dialaminya.
Selanjutnya, pemahaman ini berimplikasi terhadap model pemecahan masalah penyandang
disabilitas. Model yang ada selama ini didasari pada penggunaan strategi medis atau yang
disebut juga strategi individual karena berfokus pada individu penyandang disabilitas itu
sendiri. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan konsep rehabilitasi pada program-program yang
ditujukan kepada penyandang disabilitas dan pembentukan organisasi pelayanan yang
diperuntukan bagi penyandang disabilitas
2. Model sosial
Model social merupakan bentuk model yang mengakomodasi faktor-faktor diluar individu
penyandang disabilitas, seperti lingkungan fisik dan non fisik yang turut berperan. Menurut
model sosial bahwa hambatan-hambatan yang berasal dari luar lingkungan itulah yang
menyebabkan ketidakmampuan seseorang yang mengalami impairment dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, terjadi karena lingkungan tidak mengakomodasi kebutuhan dari seorang
penyandang disabilitas, misalnya arsitektur bangunan yang tidak mendukung aksesibilitas.
Permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas ini tidak hanya karena
faktor impairment yang dialaminya, tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan.
Keberadaan YPAC di berbagai kota di Indonesia selama ini sesungguhnya telah
menunjukan adanya kepedulian dari anggota masyarakat untuk memenuhi hak kesehatan dan
pendidikan penyandang cacat. Hal ini tampak dari tiga bentuk pendekatan pelayanan
rehabilitasi, yaitu :
1. Secara institusional : rehabilitasi medik, rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi sosial,
dan kelas karya (prevocasional training),
2. Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM)
3. Rehabilitasi Dalam Keluarga (RDK).
Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai
anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuannya. Tujuannya untuk mengenal penyandang disabilitas secara maksimal,
memperkecil ketidakmampuan fisik (bila memungkinkan) dan melatih kembali orang yang
memiliki cacat fisik dan melatih bekerja dalam keterbatasan sampai batas maksimal
kemampuannya. Pendekatan secara institusional terikat pada lokasi Pusat Rehabilitasi yang
baru ada di perkotaan saja, sementara penyandang cacat dapat berada dimana saja. Konsep
RBM ini memungkinkan peran serta lembaga atau institusi pemerintah dalam penanganan
penyandang cacat di setiap daerah. Begitu pula dengan RDK. Keluarga yang salah satu
anggota keluarganya merupakan penyandang cacat diharapkan dapat memberikan rahabilitasi
lanjutan di dalam keluarga itu sendiri, terutama yang bersifat rehabilitasi medik (seperti :
fisioterapi, terapi wicara, dan terapi okupasi) untuk mendapatkan optimalisasi usaha medis di
Pusat Rehabilitasi sebelumnya.
Namun sekali lagi bentuk-bentuk pendekatan pelayanan rehabilitasi ini terkendala
pada jarak, biaya, dan kurang proaktifnya Pemerintah dalam penanganan penyandang cacat di
Daerah. Terlebih lagi bagi anak-anak penyandang cacat dari keluarga miskin.

Artikel 12 :Melindungi Kesehatan Anak Penyandang Cacat


KORAN SINDO. Anak penyandang cacat adalah setiap anak yg mengalami hambatan fisik
dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2015 memperkirakan jumlah anak
penyandang cacat di Indonesia sekitar 7-10% dari jumlah penduduk Indonesia. Sebagian
besar anak penyandang cacat atau sekitar 295.250 anak berada di masyarakat dalam
pembinaan dan pengawasan orang tua dan keluarga. Pada umumnya mereka belum
memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya.
Anak penyandang cacat perlu mendapat perlindungan akan kesehatannya, berikut
adalah dasar hukumnya:
UndangUndang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang mengamanahkan bahwa
anak penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek
kehidupan dan penghidupan.
UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa
semua anak termasuk anak penyandang cacat mempunyai hak untuk kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang, perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi serta hak untuk
didengar pendapatnya.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa upaya
pemeliharaan kesehatan anak harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan
produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat
Siapa saja yang termasuk anak penyandang cacat?
Tunanetra (anak yang mengalami hambatan penglihatan).
Tunarungu / tunawicara (anak yang mengalami hambatan pendengaran dan bicara).
Tunagrahita (anak yang mengalami keterbelakangan mental).
Tunadaksa (anak yang mengalami cacat tubuh seperti anak yang mengalami polio dan
gangguan gerak).
Tunalaras (anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial).
Autis (anak yang mengalami gangguan interaksi, komunikasi, dan perilaku yang
berulang-ulang dan terbatas).
Tunaganda (anak yang mengalami lebih dari satu hambatan).
Anak dengan kecacatan tertentu cenderung :
mengalami hambatan dalam penyesuaian diri;
sulit berkomunikasi;
terkena penyakit;
terbatas dalam proses belajar;
kurang percaya diri;
mengalami kecelakaan dalam beraktivitas.
Apa peran serta masyarakat terhadap anak penyandang cacat?
Masyarakat harus bersikap tidak mengucilkan anak penyandang cacat dan menghargai
mereka.Masyarakat harus melapor kepada tokoh masyarakat (RT/RW), LSM, instansi terkait
seperti forum komunikasi keluarga dengan anak cacat (FKKDAC) jika menemukan anak
penyandang cacat yang tidak mendapat pelayanan selayaknya seperti anak penyandang cacat
yang dipasung, dikurung atau disembunyikan.
Masyarakat memberikan dukungan untuk memperoleh pelayanan yang dibutuhkan
sesuai hak-hak mereka, seperti pendidikan yang layak di sekolah luar biasa (SLB), sekolah
regular, dan lembaga pendidikan lain bagi anak penyandang cacat yang ada di masyarakat,
serta pelayanan kesehatan.
Masyarakat dapat mendukung anak penyandang cacat agar mereka dapat bermain dan
berperan serta di bidang kesehatan sesuai dengan kemampuannya, seperti juru pemantau
jentik (jumantik).Pelayanan kesehatan apa sajakah yang dibutuhkan oleh anak penyandang
cacat?
Anak penyandang cacat berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan tahapan
tumbuh kembang anak, seperti pelayanan imunisasi, pemenuhan gizi seimbang, dan
pemantauan tumbuh kembang anak.
Anak penyandang cacat berhak memperoleh pelayanan dokter spesialis atau psikolog
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan. Anak penyandang cacat berhak memperoleh
informasi kesehatan seperti kesehatan reproduksi dan kesehatan diri.
Pesan Kesehatan
Jangan kucilkan anak penyandang cacat.
Cacat bukan halangan untuk mereka berkarya. Tingkatkan kemampuan kecerdasan
anak penyandang cacat.
Lindungilah anak penyandang cacat, berikan mereka pelayanan kesehatan
sebagaimana layaknya.
Jangan manfaatkan kecacatan anak untuk mencari keuntungan.

Artikel 13 : Pemkab Bantul Gulirkan Layanan Ekstra bagi Difabel


TEMPO.BANTUL Kabar gembira bagi kelompok difabel di wilayah Bantul . Pemkab
menggulirkan program baru bagi kelompok masyarakat penyandang disabilitas, yang layak
ditiru pemerintah daerah lain. Program tersebut berupa pelayanan kesehatan ekstra.
Bupati Bantul Suharsono memastikan program ini berbeda dengan pelayanan
kesehatan pada umumnya. Untuk periksa kondisi kesehatan kelompok difabel tak perlu
datang ke puskesmas maupun rumah sakit. Sebaliknya, petugas medis yang akan hadir ke
rumah penyandang disabilitas yang butuh layanan.
Saya telah instruksikan seluruh petugas puskesmas mendata satu per satu penyandang
difabel di wilayah masing-masing, ungkap Suharsono di sela acara Pencanangan Pasien ke-
1.000 Pelayanan Jamkesus Terpadu di aula kompleks perkantoran pemkab di Manding
kemarin (31/8).
Puskesmas wajib memfasilitasi (kelompok difabel), tegasnya.
Diakui, masih banyak PR terkait pemenuhan hak-hak kelompok difabel. Termasuk jaminan
kesehatan. Menurutnya, hingga kemarin hanya 5.625 difabel yang terkaver jaminan
kesehatan. Padahal jumlah keseluruhan yang terdata sekitar 7.100 orang.(zam/yog/ong)

Artikel 14 : Sarana Penyandang Disabilitas


KORAN SINDO. Seorang penyandang disabilitas sedang mengikuti ujian praktik berkendara
guna mendapatkanSIM di Polres Bogor, Jumat (5/2). (Suara Pembaruan/Ignatius Herjanjam)
Jakarta - Aksesibilitas penyandang disabilitas di lingkungan, fasilitas publik dan kesempatan
mendapatkan peran sosial di masyarakat masih sangat terbatas. Meskipun Undang-undang
(UU) Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas telah disahkan, implementasinya
masih belum maksimal. Masih banyak sarana publik yang sulit diakses para penyandang
disabilitas.
Hal itu diungkapkan, Country Director Indonesia Australian Volunteers International (AVI),
Jonathan Hunter, di sela-sela acara diskusi bertema Mempersiapkan Inklusi dan Integrasi
Penyandang Disabilitas ke Dalam Masyarakat yang Mampu Secara Fisik," di Jakarta, Kamis
(1/9).
Menurutnya, dalam rangka mendukung pemenuhan fasilitas dan sarana bagi para
penyandang disabilitas di masyarakat, tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah.
"Harus ada dukungan pihak lain. Kita bisa mulai dari diri sendiri," katanya.
Jonathan mencontohkan, dalam sebuah perusahaan atau pengelola gedung bisa menyiapkan
tangga atau jalur yang bisa dilalui kursi roda. Sesungguhnya, komitmen untuk membangun
masyarakat yang lebih inklusif telah menghasilkan peningkatan kondisi para penyandang
disabilitas.

Artikel 15 : Sarana Publik Belum Ramah bagi Kaum Disabilitas


JAKARTA, KOMPAS. Koordinator Satuan Tugas (Satgas) Komnas Perlindungan Anak Ilma
Sovri Yanti menyatakan, sebagian besar sarana dan fasilitas transportasi publik yang ada di
Indonesia belum ramah bagi para penyandang disabilitas.
Padahal, sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 yang baru saja
disahkan, para penyandang disabilitas memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh negara.
Terkait dengan kegiatan mudik menyambut hari raya Idul Fitri, kaum disabilitas pun pasti
banyak yang ingin pulang ke kampung halaman.
Namun, keinginan mereka itu kerap terpaksa diurungkan lantaran banyak hambatan
yang ada di lingkungan sekitar yang menyulitkan mereka untuk mobilisasi.
Terkait dengan isu mudik adalah bagaimana mereka diberikan hak pelayanan publik,
memperoleh akomodasi yang layak, bermartabat, dan tidak ada diskriminasi, disediakan
pendamping, penerjemah, serta fasilitas yang mudah diakses tanpa tambahan biaya, ujar Ilma
di Jakarta, Kamis (30/6/2016).
Ilma menyatakan, kaum disabilitas seringkali dirugikan, baik dalam hal stigma
maupun proses pelayanan fisik.
Tidak jarang mereka harus mengeluarkan biaya tambahan dan bahkan memperoleh
diskriminasi hingga penolakan pelayanan.
Menurut Ilma, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerjasama dalam
menyediakan layanan publik untuk kaum disabilitas.
Keduanya, lanjut dia, wajib menyediakan layanan yang mudah diakses penyandang
disabilitas, termasuk dalam hal transportasi.
Sebelum ada undang-undang ini, hak-hak kaum disabilitas merupakan tanggung
jawab Kementerian Sosial. Akan tetapi, setelah ada undang-undang ini, ada 19 institusi yang
wajib terlibat dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, ungkap Ilya.
Pada kesempatan yang sama, Farid Arifandi dari Tim Reaksi Cepat Kementerian
Sosial RI menjelaskan, dengan masifnya pembangunan infrastruktur yang terjadi saat ini,
sudah saatnya kaum disabilitas dipikirkan hak-haknya dalam pembangunan fasilitas publik.
Menurut Farid, pembangunan seharusnya bersifat universal, di mana kaum disabilitas
juga masuk di dalamnya.
Konsep pembangunan terkait kaum disabilitas itu universal, artinya bisa digunakan oleh
semua orang. Misalnya membangun jalan landai itu bukan hanya untuk kaum disabilitas, tapi
juga untuk mereka yang sakit agar dapat mudah dimobilisasi. Atau ketika membuat titian, itu
dapat digunakan untuk anak-anak, jelas Farid.

Artikel 16 : Penyandang Disabilitas Curhat ke Agus soal Fasilitas yang Belum Ramah
JAKARTA, KOMPAS. Calon gubernur DKI Agus Harimurti Yudhoyono berkampanye
menemui penyandang disabilitas di Jalan Pedati Utara, dekat Jalan Raya Bogor, Kawasan
Cijantung, Jakarta Timur. Dalam kesempatan itu, Agus dicurhati mengenai masalah fasilitas di
Jakarta yang diklaim belum ramah bagi penyandang disabilitas.
Hal itu disampaikan Gufroni Sakaril, Ketua Umum Perkumpulan Penyandang
Disabilitas Indonesia (PPDI). Dalam sambutannya, Gufroni menyatakan, para penyandang
disabilitas butuh informasi dari Agus mengenai visi misinya.
"Apalagi Jakarta saat ini sangat tidak ramah penyandang disabilitas, (misalnya di)
fasilitas publik, masuk gedungnya, naik angkutan umum juga susah," kata Gufroni, di lokasi
acara, Jumat (23/12/2016).
Tak hanya soal fasilitas publik yang belum ramah, Gufroni juga menyoroti perhatian Pemprov
DKI terhadap penyandang disabilitas. Ia menyinggung pada gubernur-gubernur sebelumnya,
hari besar penyandang disabilitas selalu diperingati di Jakarta setiap tahun.
"Gubernur sekarang enggak ada, dulu setiap tahun ada," ujar Gufroni. Sementara Agus
dalam sambutannya menyatakan senang dengan sambutan penyandang disabilitas. Terlebih ia
mendapat dukungan di situ. Agus menjanjikan jika terpilih menjadi pemimpin Jakarta akan
memperhatikan penyandang disabilitas.
"Jika saya dapat amanah memimpin DKI Jakarta, saya memiliki niat yang tulus untuk
berkomitmen memperhatikan penyandang disabilitas di DKI," ujar Agus.Agus sepakat dengan
pernyataan Gufroni, bahwa Ibu Kota belum ramah bagi penyandang disabilitas.
"Seolah-olah pembangunan melupakan kebutuhan dasar dan pokok terhadap
penyandang disabilitas," ujar Agus.
Menurut Agus, sudah seharusnya pemimpin di Jakarta memikirkan penyandang
disabilitas. Baik untuk akses terhadap penggunaan jasa transportasi, akses untuk fasilitas
publik, maupun peluang usaha.
"Oleh karena itu pemerintah bertanggung jawab membuka peluang lebih baik, tingkat
kesejahteraan para penyandang disabilitas di Jakarta ini," ujar Agus.

Artikel 17 : Pertama Digelar, Begini Suasana Peringatan Hari Disabilitas Internasional


Tingkat Jabar
TRIBUNNEWS.COM . Sejumlah penyandang disabilitas se-Bandung Raya melakukan
berbagai ragam kegiatan di Aula Kantor Balai Pemberdayaan Sosial Bina Remaja (BPSBR),
Dinas Sosial Jawa Barat, Jalan Amir Mahmud, Kota Cimahi, Sabtu (17/12/2016).
Kehadiran mereka ke Aula BPSBR Kota Cimahi itu dalam rangka memeriahkan Hari
Disabilitas Internasional yang baru digelar untuk pertama kalinya, tingkat Jawa Barat.
Acara yang dihadiri penyandang disabilitas dari beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) dan
sejumlah komunitas disabilitas ini menampilkan berbagai pertunjukan mulai dari karnaval,
kesenian dari anak-anak penyandang disabilitas dan talk show.
Kepala Seksi Pelayanan Penyandang Disabilitas, Dinas Sosial Jawa Barat, Ahwan
Gumilar, mengatakan biasanya peringatan Hari Disabilitas Internasional digelar di Gedung
Sate Kota Bandung, digabungkan dengan peringatan hari lainnya.
"Ini tahun pertama diadakan peringatan Hari Disabilitas Internasional secara mandiri.
Semoga ke depannya menjadi agenda rutin," ujar Ahwan, saat ditemui Tribun, di Aula
BPSBR, Dinas Sosial Jawa Barat, Jalan Amir Mahmud, Kota Cimahi, Sabtu (17/12).
Ahwan mengatakan, kegiatan yang mengusung tema 'Membangun Masyarakat
Inklusif, Adil, dan Berkesinambungan Bagi Penyandang Disabilitas untuk Indonesia yang
Lebih Baik', ini dilakukan oleh para penyandang disabilitas.
"Kami (Dinas Sosial) hanya memfasilitasi tempat saja. Sisanya, mereka sendiri
(penyandang disabilitas) yang mengurus semua sampai hal teknis itu dilakukan sendiri,"
katanya.
Ahwan mengatakan, kegiatan ini merupakan apresiasi serta wujud nyata komitmen bersama
dalam rangka meningkatkan kepedulian terhadap para penyandang disabilitas. Sekaligus
menjadi kampanye sosial agar masyarakat pada umumnya memahami bahwa
kaum disabilitas perlu mendapatkan kesetaraan hak.
"Mereka (penyandang disabilitas) juga berhak mendapatkan kelayakan pelayanan,
perhatian, perlindungan dalam berbagai sektor. Entah itu kesehatan, pendidikan dan hubungan
sosial," katanya.
Dikaui Ahwan, kesadaran masyarakat akan keberadaan penyandang disabilitas masih
harus didorong.
"Memang harus diakui kalau masih banyak sekali masyarakat merasa malu, tabu, dan
aneh terhadap mereka (penyandang disabilitas). Tidak jarang anggota keluarganya
yang disabilitas itu malah disembunyikan," katanya. (bb)
Artikel 18 :Sudahkah Memprioritaskan Penyandang Disabilitas?
TEMPO. Jakarta, Penyandang disabilitas memiliki keterbatasan dalam melakukan
kegiatannya. Sayangnya, mereka masih mendapat stigma. Padahal sebenarnya mereka bisa
lebih berdaya jika mendapat kesempatan.
Di kendaraan umum, misalnya TransJakarta maupun kereta rel listrik (KRL) terdapat
kursi prioritas, di mana salah satu kalangan yang diprioritaskan adalah penyandang disabilitas.
Namun di kendaraan umum lainnya, penyandang disabilitas harus 'berjuang' sendiri.
Imbauan memprioritaskan penyandang disabilitas kadang malah membuat penyandang
disabilitas mendapatkan tatap mata yang berbeda. Karena keterbatasannya, mereka bahkan
kadang mendapat stigma.
"Jangan sampai kita mau naik lift berebutan dengan orang yang pakai kursi roda
padahal yang harus diprioritaskan orang yang pakai kursi roda," tutur dr H. M. Subuh,
MPPM, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan dalam
seminar kesehatan 'Hari Disabilitas Internasional 2016' di Gedung Prof Sujudi, Kementerian
Kesehatan RI, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (24/11/2016).
Dituturkan Subuh, berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2010,
lebih dari satu miliar orang di dunia adalah penyandang disabilitas. Artinya, 15 dari setiap 100
orang merupakan penyandang disabilitas. Sementara itu data riset kesehatan dasar (Riskesdas)
tahun 2013 menunjukkan prevalensi disabilitas penduduk indonesia yang berusia lebih dari 15
tahun mencapai angka 11 persen.
"Pada awal tahun ini sub-bidang gangguan indra dan fungsional baru saja terbentuk.
Dan sekarang kita berfokus pada rencana-rencana, baik primer-preventif atau sekunder-
preventif," imbuh Subuh.
Subuh menjelaskan, primer-preventif adalah mencegah orang sehat menjadi sakit
dengan melakukan pendekatan faktor risiko. Ia memberi contoh seseorang yang mengalami
kecacatan fisik akibat kecelakaan, maka yang akan ditangani adalah faktor risiko, yaitu orang
yang melakukan kebut-kebutan dan mabuk diberi sosialisasi, perhatian, dan kepedulian.
"Untuk sekunder-preventif itu penyandang disabilitas yang kita upayalan untuk bisa
berproduksi secara maksimal. Jangan sampai mereka jatuh pada kondisi tidak bisa apa-apa
atau lebih parah lagi," sambung Subuh.
"Akses pelayanan itu harus ditingkatkan, sebab sebagian besar penyandang disabilitas
tidak mampu mengaksesnya karena ekonominya. Maka dari itu mari kita bantu tingkatkan
akses jangan sampai ada salah satu fasilitas yang tidak mampu melayani penyandang
disabilitas," tambahnya.
Untuk itu, rencana pemerintah selanjutnya adalah memastikan seluruh pelayanan
kesehatan terjangkau oleh penyandang disabilitas. Pemerintah akan melaksanakan dengan
menghilangkan hambatan dan memudahkan fasilitas, melatih tenaga kesehatan agar
memahami penyandang disabilitas serta haknya, serta melakukan investasi pada pelayanan
seperti rehabilitasi.

Artikel 19 : Disabilitas Punya Hak yang Sama untuk Menerima Pelayanan Gigi dan
Mulut yang Optimal
KOMPAS. Dalam rana perawatan gigi dan mulut, mendapati pasien dengan kebutuhan
khusus adalah sebuah tantangan yang harus dapat disiasati oleh tenaga Dokter Gigi, karena
dengan ke-khususan yang mereka miliki, mereka juga punya hak yang sama untuk
mendapatkan kesehatan gigi dan mulut yang optimal, sesuai dengan tujuan yang tertulis pada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
(disabilitas). Ke-khususan, yang dalam artian keterbatasan yang mereka miliki, maka akan
sangat sulit bagi mereka untuk mengunjungi tempat-tempat yang menyediakan perawatan gigi
dan mulut, seperti Praktek Dokter Gigi, Klinik Gigi dan Mulut, dan Rumah Sakit, tapi bukan
berarti problematik ini tidak dapat dipecahkan oleh tenaga dokter gigi untuk tetap dapat
memberikan pelayanan gigi dan mulut untuk para disablitas.
Untuk dapat memecahkan fenomena di atas, serta sebagai usaha untuk tetap dapat
memberikan pelayanan gigi dan mulut se-optimal mungkin untuk para disabilitas. Para tenaga
dokter gigi dituntut untuk lebih kreatif dan terampil dalam upaya memberikan perawatan gigi
dan mulut untuk mereka, selain itu dituntut juga untuk memberikan waktu perawatan yang
ekstra dalam menangani setiap disabilitas.
Seni dan ketrampilan dokter gigi dalam melakukan pendekatan terhadap disabilitas,
pengetahuan akan kesehatan fisik secara umum, kondisi mental serta perilaku adalah modal
yang sangat diperlukan oleh dokter gigi sebelum memulai menangani disabilitas. alam upaya
memberikan pelayanan gigi dan mulut untuk para disabilitas, salah satu target utama yang
harus dicapai pertama kali adalah memberikan pemahaman akan pentingnya kesehatan gigi
dan mulut baik untuk si disabilitas itu sendiri dan orang tuanya. Dengan ini akan mampu
memotivasi mereka untuk meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut, selain itu
ketrampilan dokter gigi dalam mengedukasi mereka akan menciptakan suasana yang nyaman
pada awal pertemuan dengan para disablitas, sehingga kenyamanan yang telah didapat itu
adalah modal dasar untuk pemberian terapi tindakan gigi dan mulut selanjutnya, yang bila
diperlukan.

Artikel 20: Kemerdekaan bagi Orang dengan Gangguan Jiwa

JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah kemeriahan Hari Kemerdekaan bangsa ini, masih


ada orang-orang tak merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya akibat dipasung atau
dikurung dan dibiarkan di jalan. Mereka adalah orang dengan gangguan jiwa yang tak
mendapat pelayanan kesehatan dengan baik.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, sekitar 57.000 orang dengan
gangguan jiwa dipasung. Angka tersebut bisa jadi hanya fenomena gunung es. Minimnya
pemahaman keluarga, stigma di masyarakat, kurangnya pelayanan kesehatan, hingga sulitnya
akses obat turut menjadi faktor terjadinya pemasungan.

Pemasungan barangkali tak hanya dilakukan oleh keluarga, tetapi juga terjadi di panti
sosial. Banyak orang dengan gangguan jiwa dirantai, disiksa, dimasukkan dalam kandang, dan
hanya menjalani keseharian di atas lantai kosong, mulai dari tidur hingga buang air kecil. Ada
pula yang disembunyikan atau dikurung oleh keluarga karena rasa malu atau dianggap
berbahaya.

Ketahuilah, orang dengan gangguan jiwa berat bisa diatasi secara medis. Mereka bisa
kembali beraktivitas seperti biasa jika ditangani dengan baik. Apalagi jika terdeteksi dini dan
langsung mendapat pengobatan.

Tentu bukan dengan pergi ke dukun, pengobatan alternatif, atau orang pintar karena
masalah gangguan jiwa ada pada otak manusia bukan karena gangguan setan, jin, atau
sejenisnya.
Jika pasien gangguan jiwa harus minum obat seumur hidup agar kesehatannya selalu
stabil, maka tak beda jauh dengan pasien diabetes atau hipertensi yang juga minum obat
seumur hidup agar gula darah dan tekanan darah terkontrol.

Bebas stigma dan diskriminasi

Tak dapat dipungkiri, terjadinya pemasungan, penelantaran atau pembiaran terhadap orang
dengan gangguan jiwa salah satunya akibat stigma dan diskriminasi. Dua masalah ini sangat
menghambat proses pengobatan pasien.

Jangan sebut mereka orang gila, jangan memandang rendah, dan jangan
menyingkirkan orang-orang dengan gangguan jiwa. Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa
saja, tak memandang status ekonomi, sosial, dan pendidikan.

Diskriminasi dan pembiaran justru meningkatkan beban pemerintah karena pasien


skizofrenia umumnya berada di usia produktif. Tetapi, jika diobati, mereka bisa kembali
produktif.

Pasien yang terlantar di jalan, dipasung, di panti-panti liar itu akibat penelantaran isu
kesehatan jiwa berpuluh-puluh tahun, kata Bagus.

Adanya dukungan KPSI sangat berarti bagi keluarga maupun pasien skizofrenia.
Mereka tak akan merasa sendirian dan bisa saling bertukar informasi. Edukasi kesehatan jiwa
yang terus disebarkan oleh KPSI setidaknya dapat mengurangi stigma dan diskriminasi.

Sebab, menangani orang dengan gangguan jiwa tak cukup hanya dengan minum obat.
Mereka butuh dukungan psikososial agar dapat kembali produktif.

Mereka butuh lingkungan yang baik, harus dipikirkan bagaimana pekerjaannya nanti.
Kalau tidak, orang produktif bisa disabilitas. Ini melumpuhkan fungsi seseorang yang sudah
hidup di dunia, kata Bagus.

Artikel 21: Wali Kota Hendi Minta RSUD Semarang Layani Pasien dengan Baik
KORAN SINDO. Semarang - Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi atau yang akrab disapa
Hendi melakukan inspeksi mendadak di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Hendi
sebelumnya mendengar sejumlah keluhan dari masyarakat.
Salah satu keluhan yang sempat viral di media sosial, khususnya di komunitas warga
Kota Semarang, adalah terkait petugas keamanan yang kurang ramah. Bahkan pasien tidak
boleh meminjam kursi roda yang ada di dekat petugas, padahal sangat membutuhkan.
Ia menjelaskan sebenarnya kursi roda bisa dipakai kapan pun dengan syarat
meninggalkan KTP. Bahkan petugas keamanan juga harus bersedia mengantarkan pasien ke
kamar jika membutuhkan.
"Jika pasien membutuhkan, satpam akan mengantar ke ruangan. Kemarin yang terjadi
karena satpam baru, jadi terlalu khawatir dan kaku," tandasnya.
Sidak Wali Kota dilanjutkan ke sejumlah tempat, seperti poliklinik, ICU, dan
pembangunan gedung Instalasi Bedah Sentral Terpadu. Hendi pun berpesan agar jajaran
RSUD selalu memberikan pelayanan yang baik agar perkara seperti kursi roda itu tidak lagi
terjadi.
"Selalu ingatkan apa saja tugas pokok dan fungsi mereka untuk memberi pelayanan
yang baik kepada masyarakat," jelas Hendi.

Artikel 22 : 250 pasien penyandang disabilitas nikmati layanan RS


JAWAPOS - Sebanyak 250 penyandang disabilitas dari tujuh kecamatan di Kabupaten
Sleman Yogyakarta menikmati layanan rumah sakit melalui Jaminan Kesehatan Khusus
(Jamkesus) yang diberikan Universitas Gadjah Mada (UGM) selama dua hari sejak Senin
(17/10).
"Sebanyak 250 penyandang disabilitas dari tujuh kecamatan di wilayah Kabupaten
Sleman, kemarin sudah dilayani melalui program Jamkesus," ujar Direktur Utama Rumah
Sakit UGM, Arif Faisal saat kegiatan Jamkesus bagi masyarakat penyandang disabilitas, di
RS UGM, Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan, ketujuh kecamatan di wilayah Kabupaten Sleman itu diantaranya,
Kecamatan? Mlati, Seyegan, Minggir, Godean, Tempel, dan Turi. Hari ini merupakan hari
terakhir pelayanan Jamkesus tersebut.
Menurut dia, kegiatan tersebut sudah berlangsung untuk ke-14 kali, merupakan
implementasi dari Perda DIY No. 4 tahun 2012 dan Peraturan Gubernur No. 51 tahun 2013
tentang pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
"Harapannya supaya dapat membantu penyandang disabilitas untuk mengatasi
keterbatasan yang dialami," kata dia.
Ia menjelaskan, pelayanan yang diberikan meliputi penerbitan rekomendasi Dinas Sosial,
penjaminan Jamkesos, layanan Rehabilitasi Sosial, pemeriksaan kesehatan oleh perawat,
dokter umum, serta dokter spesialis rehabilitasi medik, anak, mata, jiwa, orthopedi dan THT.
Setelah dilakukan pemeriksaan, jelasnya, para penyandang disabilitas mendapatkan
alat bantu yang dibutuhkan sesuai dengan rekomendasi medik, seperti kursi roda, kaki tangan
palsu, kaca mata, alat bantu dengar, dan lain-lain.
"Untuk kelancaran kegiatan ini disiapkan 40 armada yang membantu antar-jemput
transportasi para penyandang disabilitas," tambah dia.
Menurut dia, armada-armada yang memudahkan ini merupakan sumbangan dari LSM
dan pihak-pihak yang terpanggil dan peduli kepada penyandang disabilitas. (KR-RHN)

Artikel 23: Penyandang Disabilitas di Yogyakarta Dapat Jaminan Kesehatan

TEMPO, Yogyakarta - Dinas Kesehatan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta memberikan


fasilitas kesehatan gratis kepada penyandang disabilitas melalui Jaminan Kesehatan Khusus
(Jamkesus).
"Pemerintah daerah memfasilitasi para penyandang disabilitas yang tidak mampu agar
mudah mengakses fasilitas kesehatan," ujar Kepala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa
Yogyakarta Pembajun Setyaning Astutie di Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada,
Senin, 17 Oktober 2016.
Pada 2016, ditargetkan jumlah penyandang disabilitas yang terlindungi jaminan kesehatan
sebanyak 1.500 orang dari jumlah penyandang disabilitas yang tidak mampu di Daerah
Istimewa Yogyakarta, yakni sebanyak 28.750 orang. Penyelenggaraan fasilitas ini salah
satunya berlangsung di Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada.
Pasien disabilitas mendapat pelayanan cek kesehatan secara menyeluruh, kesehatan
mata, ortopedi, THT, pemberian alat bantu, dan rehabilitasi sosiologi, kata Pembajun.

Artikel 24: Pertama di Indonesia, Rumah Sakit Ini Punya Kartu Sakti tanpa Antre

KOMPAS, JAKARTA Program inovasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)


Blambangan, Banyuwangi, Jatim, ini patut dicontoh rumah sakit lain. Terakhir, RS milik
Pemerintah Daerah ini mengeluarkan kartu sakti tanpa antre. Namanya kartu Gandrung.

Menurut Direktur RSUD Blambangan, Banyuwangi, dr Taufik Hidayat SP.And, Gandrung


adalah kependekan dari Gerakan Asuhan Nyata pada Disabilitas, Risiko Tinggi, Usia
Lanjut, Veteran Pensiun dan Gravida. Dengan kata lain, kartu sakti tersebut sengaja
dibuat khusus untuk meningkatkan pelayanan bagi lima jenis pasien.
Yakni pasien dari kaum disabilitas, risiko tinggi seperti penderita penyakit jantung,
kencing manis dan lainya dan usia lanjut. Juga pasien dari kalangan veteran, pensiunan
serta gravida atau pasien ibu hamil.

Mereka ini adalah pasien yang membutuhkan perhatian lebih, kadang karena
tenaga mereka jauh dibawah pasien lain mereka harus berada dibarisan paling belakang,
dengan kartu ini hal tersebut tak akan terjadi lagi, cetus dr Taufik Hidayat, sesaat setelah
launching kartu Gandrung di ruang tunggu RSUD Blambangan Banyuwangi, Rabu
(22/2/2017).

Dijelaskan, karena bebas antre, setiap berobat ke RSUD Blambangan, para


pemegang kartu Gandrung akan dilayani diloket khusus. Yaitu loket 5. Lebih istimewa, RS
juga menyediakan ruang tunggu berbeda yang ditandai dengan warna merah putih. Ketika
baru datang, masih Taufik, si pemegang kartu sakti akan disambut petugas khusus lengkap
dengan kursi roda bagi yang tidak mampu berjalan.

Petugas tersebut akan mengantar hingga ruang poliklinik tujuan, jika pasien tidak
ada yang mengantar. Apabila sudah ada yang mendampingi, kursi roda bebas dipinjam.

Fasilitas promotif dan preventif juga akan diberikan kepada pemegang kartu, bisa
berbentuk pemahaman tentang pola hidup sehat, senam bersama dan lainya, ungkap pria
yang juga menjabat Ketua Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam
(KAHMI) Banyuwangi ini. Kepala Bank BNI 46 Banyuwangi, Yudhi Dharmawan SH MH,
berharap Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk kursi roda yang diserahkan
bisa mendorong peningkatan pelayanan RSUD Blambangan.

Artikel 25: Belasan Ribu Penyandang Disabilitas Psikososial Alami Kekerasan

KOMPAS.com - Pemasungan dilarang sejak 1977, tetapi hingga saat ini praktik itu masih
terjadi di Indonesia. Diperkirakan ada 18.000 penyandang disabilitas psikososial yang
dipasung, baik di rumah maupun di panti perawatan. Pemasungan biasanya dilakukan dengan
disertai kekerasan.

Human Rights Watch, Senin (21/3), di Cemara 6 Gallery, Jakarta, merilis laporan 74
halaman mengenai praktik pemasungan yang masih terjadi di beberapa provinsi, antara lain di
DKI Jakarta (Cipayung), Jawa Barat(Cianjur dan Sukabumi), Jawa Tengah (Brebes), Jawa
Timur(Pasuruan), serta Bengkulu. Laporan itu diberi judul "Hidup di Neraka: Kekerasan
terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia".

Laporan menyebutkan, pemasungan adalah cara yang dipilih untuk diterapkan bagi
penyandang disabilitas psikososial, yakni orang dengan masalah kesehatan, seperti
depresi, bipolar disorder, skizofrenia, dan katatonia. Pemasungan dilakukan dengan merantai
atau mengurung seseorang di ruangan yang sesak dan tak sehat. Mereka yang dipasung tidak
diperkenankan keluar dari ruangan dan melakukan semua aktivitas di dalam kurungan.

Saya bertemu perempuan yang dipasung 15 tahun Orang dengan disabilitas


psikososial dianggap kerasukan setan dan keluarga tidak tahu harus berbuat apa," kata Kriti
Sharma.

Kampanye bebas pasung yang dilakukan pemerintah dinilai tidak efektif karena tak
diterapkan di daerah-daerah. Sebanyak 16 institusi yang didatangi tidak tahu ada kampanye
bebas pasung.

Agus (26), warga Cianjur yang pernah dipasung di kandang kambing, memberi kesaksian
dalam peluncuran laporan Human Rights Watch. Ia menceritakan, orangtuanya memasung
dirinya karena sering marah-marah dan dadanya terasa sangat panas.

"Saya tidur di situ. Makan serta buang air kecil dan besar juga di situ. Udara tidak
segar, bau. Saya dirantai. Saya dikira kerasukan setan. Setelah empat tahun, saya dikeluarkan.
Lalu saya berobat ke rumah sakit," tutur Agus.

Artikel 26: RSUD Banyuwangi luncurkan "Kartu Gandrung" untuk lansia/difabel

KORANSINDO- Rumah Sakit Umum Daerah Bkambangan, Kabupaten Banyuwangi, Jawa


Timur, meluncurkan "Kartu Gandrung" yang memprioritaskan pelayanan untuk pasien lanjut
usia dan kaum difabel.

"Mereka akan menjadi prioritas, tidak usah antre (kalau berobat). Pokoknya layanan ini
seperti bus patas yang cepat,"" ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di
Banyuwangi, Senin.
Nama kartu untuk pelayanan kesehatan itu diambil dari seni tari khas Banyuwangi,
gandrung, yang kini terkenal di kancah nasional hingga mancanegara.

Anas mengatakan, tidak semua orang tua memiliki keluarga yang menemaninya di
masa tua. Banyak orang tua yang tinggal bersama istri atau suami yang juga sudah lanjut usia,
bahkan ada yang tinggal seorang diri.

Di sisi lain, katanya, anak-anak mereka ada yang tidak memiliki waktu karena harus
bekerja dan memiliki keluarga sendiri. Ada pula yang berpisah karena anaknya meniti karir di
daerah lain sehingga tidak jarang, orang tua harus mengurus dirinya sendiri ketika berobat ke
rumah sakit.

Ia mengatakan, ketika ada pasien berusia lanjut datang ke RSUD Blambangan, petugas
rumah sakit yang berada di pintu rumah sakit menyambut mereka dengan ramah. Pasien tidak
perlu lagi mengantre, dan langsung mendapat pelayanan sesuai keluhan yang dideritanya.
Selama proses pelayanan, kata dia, petugas rumah sakti selalu mendampingi. Apabila
pasien tidak kuat untuk berdiri atau berjalan kaki dalam waktu lama, maka langsung disiapkan
kursi roda.

Dengan menggunakan kursi roda, petugas mendorong dan terus mendampingi pasien
selama berada di rumah sakit, mulai dari pendaftaran, menuju ruang pelayanan, selama
menjalani perawatan, hingga diantar kembali ke luar rumah sakit.

"Dokter atau perawat juga melayani dengan penuh kesabaran, senyuman, dan pasien
diajak berbicara. Orang tua, diajak ngobrol saja sudah senang," kata Taufiq.

Artikel 27: Setidaknya 18.800 orang masih dipasung di Indonesia

KOMPAS. Carika, perempuan 29 tahun dengan disabilitas psikososial, tinggal di sebuah desa
di Jawa Tengah. Dia kini berjualan nasi dan tempe di warung pinggir jalan.

Itu perubahan luar biasa bagi seorang perempuan yang lima tahun lalu dikurung di sebuah
kandang kambing yang sempit dan kotor. Dia dipaksa untuk makan, tidur, dan buang hajat di
tengah bau busuk kotoran kambing.

Keluarganya, yang tidak sanggup mendapatkan akses perawatan dan layanan


pendukung kesehatan jiwa, mengurungnya di sana selama empat tahun dan mengabaikan
permohonan Carika agar dia dibebaskan. Ketika media ramai-ramai memberitakan nasib
Carika, mereka akhirnya mengeluarkan perempuan itu dari kandang kambing.

Nasib Carika hanyalah sekelumit dari kisah 57.000 orang yang dianggap atau benar-
benar menyandang disabilitas psikososial di Indonesia yang dipasungdibelenggu atau
dikurung dalam ruangan sempitsetidaknya sekali dalam hidup mereka. Data pemerintah
terbaru menunjukkan 18.800 orang saat ini masih dipasung di Indonesia.

Meski pemerintah melarang praktik pemasungan sejak 1977, namun baik keluarga maupun
panti sosial masih melakukan praktik ini terhadap penyandang disabilitas psikososial.

Perjalanan hidup mantan pasien panti 'sakit jiwa' yang berhasil sembuh
Bukan gila tetapi menderita sakit jiwa
Resesi berdampak besar pada kesehatan jiwa
Gangguan jiwa masalah dunia

Laporan Human Rights Watch berjudul Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap


Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia menguraikan kelemahan pemerintah
Indonesia ditambah terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai kesehatan jiwa.

Perawatan minim

Andreas Harsono dari Human Rights Watch mengatakan pemerintah Indonesia sudah dua kali
melakukan gerakan melarang pemasungan. Pertama pada 1977, lalu yang kedua pada 2014
dengan meluncurkan gerakanIndonesia Bebas Pasung.

Fokus gerakan ini adalah meningkatkan kepedulian tentang kesehatan jiwa dan praktik
pasung, mengintegrasikan kesehatan jiwa ke dalam layanan kesehatan umum, menyediakan
pengobatan kesehatan jiwa di tingkat Puskesmas, melatih petugas kesehatan untuk
mengidentifikasi dan mendiagnosis kondisi dasar kesehatan jiwa, dan membentuk tim terpadu
bernama Tim Penggerak Kesehatan Jiwa Masyarakat.

Seharusnya orang yang mengalami schizophrenia atau bipolar dirawat dengan obat,
tergantung dosisnya, sehingga mereka bekerja seperti biasa. Namun di Indonesia, perawatan
ini minim sekali. Dari 34 provinsi di Indonesia, delapan provinsi tidak punya rumah sakit
jiwa. Dan dari delapan provinsi itu, tiga provinsi tidak punya satu pun psikiater, kata Andreas
kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Indonesia memang memiliki 48 rumah sakit jiwa. Namun, lebih dari separuhnya berlokasi di
empat provinsi.

Artikel 28: Bentuk Pelayanan Khusus buat Penyandang Disabilitas

JawaPos Pelayanan bagi penyandang disabilitas terus ditingkatkan Dinas Pendidikan


(Dispendik) Kota Surabaya. Misalnya, yang terlihat di SMPN 39 Surabaya. Beraneka ragam
alat terapi tampak di ruangan 7 x 10 meter.

Petugas Pusat Layanan Disabilitas (PLD) Kota Surabaya Wilayah Selatan Ridlo
Utomo yang ditemani petugas lainnya, Auratul Devi Safitri dan Rizal Fathoni, menjelaskan
secara detail fungsi ruangan tersebut. Di lemari ada alat permainan edukatif (APE) yang
terbuat dari kayu dan plastik. Permainan tersebut, terang Ridlo, digunakan untuk terapi
motorik kasar bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).

Di ruangan tersebut juga terlihat matras serta tangga titian. Tangga digunakan untuk
melatih keseimbangan ABK. Dengan alat ini, kondisi fisik dan psikis siswa bisa dilihat, jelas
pemuda 26 tahun itu.

Ridlo menyatakan, pembukaan lima cabang PLD di Surabaya itu bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya mengenai potensi putra-putri mereka.
Selama ini, gejala ABK pada anak sering tidak terdeteksi sejak dini oleh orang tua. Mereka
baru merasakan perbedaan saat anak memasuki usia SD.

Padahal, dengan deteksi dini, orang tua bisa lebih siap membesarkan putranya dengan
kondisi menyandang disabilitas. Deteksi dini juga bisa membantu orang tua menentukan
potensi anak. Jangan dikira ABK tak punya potensi. Semua anak memilikinya, tegas
alumnus Pendidikan Luar Biasa (PLB) Unesa itu.

Saat ini, terang Ridlo, PLD masih dikembangkan. Maklum, baru sebulan dibentuk.
Saat ini setiap PLD masih berisi psikolog dan tenaga terapi. Tenaga kesehatan seperti dokter
dan psikiater akan ditempatkan secara bertahap.
Ridlo menambahkan, selain bisa diakses semua orang, PLD tidak memungut biaya
alias gratis. Semua dana sudah ditanggung Pemkot Surabaya sebagai pelaksana program.

Artikel 29: Pemerintah Terus Tingkatkan Akses Pelayanan Kesehatan Penyandang


Disabilitas
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Pemerintah sejak awal telah melakukan upaya untuk
meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan penyandang disabilitas antara lain dengan
memberikan pemahaman bahwa penyandang disabilitas setara dengan anggota masyarakat
lainnya, berhak mendapatkan pelayanan publik, pendidikan dan lapangan kerja, serta tidak
boleh mengalami stigmatisasi dan diskriminasi.
"Pemerintah bersama masyarakat telah melaksanakan berbagai upaya untuk
meningkatkan akses para penyandang disabilitas pada pelayanan kesehatan yang
komprehensif dan bermutu serta pelayanan publik lainnya. Upaya ini diperkuat dengan upaya
penanggulangan penyakit untuk mencegah terjadinya gangguan fungsional dan disabilitas
lebih lanjut dengan mengutamakan upaya promotif-preventif serta meningkatkan upaya
kuratif-rehabilitatif," demikian sambutan Menteri Kesehatan RI yang dibacakan oleh Dirjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, dr. H. M. Subuh, MPPM, Pada acara
Hari Disabilitas Internasional 2016 di Kemenkes RI, Jakarta, Kamis (24/11/2016).
Upaya Pemerintah dalam meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan dan
rehabilitasi bersumber daya masyarakat pada para penyandang disabilitas membutuhkan
dukungan dari seluruh jajaran Pemerintah dan segenap lapisan masyarakat.
Berdasarkan data WHO tahun 2010,lebih dari satu miliyar anggota masyarakat dunia
adalah penyandang disabilitas. Artinya 15 dari setiap 100 orang di dunia merupakan
penyandang disabilitas dan diperkirakan 50% penyandang disabilitas tidak mampu membiayai
pelayanan kesehatannya sendiri. Selain itu Data Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan
bahwa prevalensi disabilitas pada Penduduk Indonesia yang berusia kurang lebih 15 mencapai
11%.

Artikel 30: Kemenkes Janji Tingkatkan Akses Kesehatan bagi Disabilitas


Jakarta, KORANSINDO Data WHO 2010 menyebutkan lebih dari satu milyar anggota
masyarakat dunia adalah penyandang disabilitas. Artinya 15 dari 100 orang di dunia
merupakan penyandang disabilitas dan diperkirakan 50 persen penyandang disabilitas tidak
mampu membiayai pelayanan kesehatannya sendiri.
Menurut Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, dr.
H. M. Subuh, MPPM, Pemerintah akan berusaha memastikan bahwa seluruh pelayanan
kesehatan terjangkau oleh penyandang disabilitas.
Antara lain dengan menghilangkan setiap hambatan masyarakat untuk menjangkau
fasilitas kesehatan, melatih tenaga kesehatan agar mereka memahami masalah disabilitas
termasuk hak penyandang disabilitas; dan melakukan investasi pada pelayanan spesifik
seperti rehabilitasi.
Kementerian Kesehatan berperan untuk melakukan upaya pencegahan primer dan
sekunder, jangan sampai penyandang disabilitas jatuh pada kondisi tidak bisa apa-apa. Kita
juga tingkatkan akses pelayanan kesehatan agar orang dengan disabilitas bisa mengaksesnya
dengan mudah, ujar M. Subuh pada temu media peringatan Hari Disabilitas Internasional di
Kemenkes, Kamis (24/11).
Mereka bukan menderita dengan keterbatasan mereka. Mereka bisa menyanyi,
menari, melukis, sama dengan kita. Jadi jangan sampai kita merendahkan penyandang
disabilitas, imbuh dia.
Di Jakarta sendiri penyediaan fasilitas untuk penyandang disabilitas menurut Subuh baru
sekitar 60 persen. Ia berharap agar semua sektor turut mempertimbangkan keberadaan
penyandang disabilitas sehingga mereka bisa hidup normal seperti masyarakat pada
umumnya.
Yang paling mudah lihat sarana bagi disabilitas, ada nggak trotoar untuk penyandang
disabilitas. Bagaimana sarana transportasinya, misalnya kalau di Jakarta Transjakarta
menyediakan sarana untuk disabilitas enggak, WC di mall-mall menyediakan khusus
pengguna kursi roda atau engga. Itu salah satu indikatornya, pungkas dia.

Artikel 31 : Kaum Difabel Sleman Tuntut Pemkab Susun Perda Disabilitas

TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN Para penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman


menuntut pemerintah daerah setempat untuk membentuk peraturan daerah (Perda) tentang
hak-hak difabel. Pasalnya, keberadaan perda yang ada saat ini dinilai belum memenuhi hak-
hak mereka.

Staf Program Center for Impoving Qualified Activity in Live of People with
Disabilities (Ciqal) Sleman, Arni Surwanti, mengatakan keberadaaan perda yang secara
spesifik tersebut sangat mendesak. Hal ini mengingat banyak sektor yang belum terakomodir,
seperti pendidikan dan kesehatan yang berpihak pada penyandang disabilitas.
Hak difabel harus melingkupi semua sektor. Baik fasilitas umum, pendidikan,
kesehatan, berpolitik, dan kesamaan bidang hukum serta sektor lain, ungkapnya, Minggu
(18/1/2015).

Artikel 32 : Puskesmas Ramah Anak dan Difabel Habiskan Dana Rp 3,234 Miliar

JAWAPOS Puskesmas modern yang layak anak dan mengakomodasi kebutuhan


penyandang difabel, dibangun di lereng Gunung Merbabu. Tepatnya di Kecamatan
Sawangan, Kabupaten Magelang. Puskesmas II Sawangan ini juga dilengkapi
ruang rawat inap. Sehingga bisa digunakan untuk perawatan rawat inap pasien.

Bupati Magelang, Zaenal Arifin SIP menyatakan, puskesmas ini memenuhi standar sesuai
Permenkes 75 tahun 2014. Puskesmas dilengkapi fasilitas lengkap, serta ramah difabel, ramah
lansia, dan ramah anak. Puskemas juga dikengkapi sarana bermain anak-anak.

Pembangunan Puskesmas II Sawangan ini menghabiskan dana Rp 3,234 miliar dengan


kapasitas rawat inap 10 kamar tidur. Kami berharap ada peningkatan kinerja dan perbaikan
kualitas pelayanan kesehatan dari petugas kepada masyarakat, termasuk kesiapan
mengatisipasi ancaman bencana erupsi Gunung Merapi, kata Bupati Zaenal Arifin,
didampingi Wabup Zaenal Arifin SH, serta pimpinan OPD, dan Muspika Sawangan.

Disebutkan saat ini Pemkab Magelang memiliki 29 Puskesmas yang tersebar di 21 kecamatan.
Dari jumlah itu, tiga di antaranya telah memiliki fasilitas rawat inap, yaitu Puskesmas Grabag
1, Puskesmas Borobudur dan Puskesmas Salaman 1. Tiga Puskesmas lainnya sedang
dipersiapkan untuk menjadi Puskesmas rawat inap. Yakni Puskesmas Pakis, Puskesmas
Kaliangkrik, dan Puskesmas Sawangan II.

Penambahan jumlah Puslkesmas rawat inap ini diharapkan akan meningkatkan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Terutama warga pedesaan, sesuai dengan sistem kesehatan
nasional. Sebab idealnya, 30 persen total Puskesmas yang ada merupakan Puskesmas rawat
inap.

Oleh karena itu, pembangunan, rehabilitasi dan peningkatan Puskesmas akan dijadikan
agenda utama tahun 2017. Rencananya, Pemkab akan membangun kembali Puskesmas
Kajoran II, dan memindahkan lokasi Puskesmas Candimulyo.
Tahun 2018 akan dibangun Puskesmas Salaman 1 pengganti, karena Puskesmas Salaman 1
akan menjadi Rumah Sakit Kelas D, ujarnya.

Kepala Puskesmas Sawangan II, dokter Rochmi Waflifah menambahkan, pihaknya


menyediakan ruang khusus untuk ibu menyusui dan area bebas rokok.

Ke-11 proyek infrastruktur ini menghabiskan dana Rp 6,841 milyar, seluruh proyek sudah
selesai 100 persen dan bisa dimanfaatkan masyarakat. Perbaikan fasilitas intrastruktur dan
sarana prasarana publik ini kami harapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
tandas Wisnu.

Artikel 33 : Kini, Ada Layanan Kesehatan Khusus untuk Difabel

JAWAPOS Untuk pertama kalinya, layanan jaminan kesehatan khusus bagi para
penyandang disabilitas dilaksanakan di Kulonprogo. Ratusan difabel dari seluruh kecamatan
menerima layanan kesehatan hingga menerima alat bantu dalam kegiatan yang digelar di
kantor Kecamatan Sentolo, Sabtu (21/11/2015).

Wakil Bupati Kulonprogo Sutedjo menyambut baik kegiatan yang digagas Pemda DIY dalam
hal ini Dinas Kesehatan DIY sebagai bentuk perhatian bagi masyarakat penyandang
disabilitas.

Melalui kegiatan ini, Sutedjo berharap, penyandang disabilitas dapat menerima layanan
kesehatan yang lebih baik, bahkan dapat diakses secara berkesinambungan.

Tentunya hal ini juga seirama dengan yang telah dilakukan kami melalui Dinsosnakertrans
untuk memberikan pelayanan terbaik bagi para difabel. Selain itu, kami juga mendukung
upaya untuk memberikan pelatihan teknis bagi tenaga medis di seluruh Puskesmas agar dapat
melayani para difabel lebih baik lagi, ujar Sutedjo usai membuka acara Pembukaan Layanan
Jaminan Kesehatan Khusus Penyandang Disabilitas Terpadu.

Kepala Dinsosnaketrans Kulonprogo Eko Prasetya memaparkan, penyandang disabilitas di


wilayah ini terbilang cukup banyak. Angka difabel di Kulonprogo bahkan mendekati kisaran
4.000 orang yang tersebar di 12 kecamatan. Melalui kegiatan ini, pihaknya berharap dapat
memberikan solusi terbaik bagi pelayanan kesehatan para difabel.

Kepala Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan Sosial (Bapel Jamkesos) DIY Elfi Effendi
menuturkan, kegiatan tersebut berangkat dari persoalan yang dialami para penyandang
disabilitas. Elfi mengatakan, pelayanan kesehatan bagi para difabel tidak dapat dilakukan
secara konvensional. Artinya, pelayanan yang diberikan tidak bisa disamakan dengan pasien
atau orang biasa.

Harus mengurus macam-macam, misal sakit harus ke puskesmas, baru minta rujuk ke rumah
sakit dan lain sebagainya. Mereka memiliki keterbatasan, jadi kami mencoba
mengembangkan metode pelayanan terpadu ini. Agar dapat mendekatkan pelayanan pada
mereka, ujar Elfi.

2.2 Rangkuman Artikel

Berdasarkan artikel-artikel yang telah kami kumpulan, dapat disimpulkan :

Definisi penyandang cacat (baca penyandang disabilitas) menurut Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 1997 adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental,
yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
secara selayaknya. (Artikel 10)
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 pasal 1 angka 1, penyandang cacat
dikelompokkan atas tiga kelompok, yaitu :
1. Penyandang cacat fisik,
Disabilitas fisik adalah kedisabilitasan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi
tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara.
2. Penyandang cacat mental, dan
Disabilitas mental adalah kelainan mental dan/atau tingkah laku, baik herediter
maupun akibat dari penyakit
3. Penyandang cacat ganda

Disabilitas ganda adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis


kedisabilitasan sekaligus.
(Artikel 10)

Definisi disabilitas menuruti WHO, disabilitas dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu:

1. Impairment
Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau
fungsi psikologis, atau anatomis.
2. Disability
Disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya
impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi
manusia.
3. Handicap
Handicap merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat
adanya imparment, disability, yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang
normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang
bersangkutan.
(Artikel 10)

Menurut International Clasification of Functioning Disability and Health (ICF), ada


dua komponen yang perlu dipelajari dalam memahami masalah disable yaitu:
1. Functioning (keberfungsian), meliputi keberfungsian badan/ anatomi dan struktur serta
aktivitas dan partisipasi
2. Disability (ketidakmampuan), bagian pertama meliputi keberfungsian badan/anatomi
dan struktur serta aktivitas dan partisipasi, sedangkan bagian kedua terdiri dari faktor-
faktor kontekstual seperti faktor lingkungan dan faktor-faktor yang sifatnya personal.
(Artikel 10)

Kedisabilitasan dapat disebabkan karena berbagai faktor yaitu


1. Kecacatan akibat kecelakaan :
a. Kecelakaan kerja
b. Kecelakaan lalu lintas (Artikel 18)
2. Cacat sejak lahir atau ketika dalam kandungan
3. Kecacatan karena malnutrisi (Artikel 11)

Anak penyandang cacat adalah setiap anak yg mengalami hambatan fisik dan/atau
mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. (Artikel
11,12)
Yang termasuk anak penyandang cacat adalah
Tunanetra (anak yang mengalami hambatan penglihatan).
Tunarungu / tunawicara (anak yang mengalami hambatan pendengaran dan bicara).
Tunagrahita (anak yang mengalami keterbelakangan mental).
Tunadaksa (anak yang mengalami cacat tubuh seperti anak yang mengalami polio dan
gangguan gerak).
Tunalaras (anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial).
Autis (anak yang mengalami gangguan interaksi, komunikasi, dan perilaku yang
berulang-ulang dan terbatas).
Tunaganda (anak yang mengalami lebih dari satu hambatan).

Anak penyandang cacat berhak memperoleh pelayanan dokter spesialis atau psikolog
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan. Anak penyandang cacat berhak memperoleh
informasi kesehatan seperti kesehatan reproduksi dan kesehatan diri. (Artikel 11,12)
Hak-hak kesehatan bagi anak-anak penyandang disabilitas adalah
1. berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan tahapan tumbuh kembang
anak, seperti pelayanan imunisasi, pemenuhan gizi seimbang, dan pemantauan tumbuh
kembang anak;
2. berhak memperoleh pelayanan dokter spesialis atau psikolg sesuai dengan jenis dan
derajat kedisabilitasan;
3. Anak penyandang disabilitas berhak memperoleh informasi kesehatan seperti
kesehatan reproduksi dan kesehatan diri;
4. Anak penyandang disabilitas dari keluarga tidak mampu, pengemis, atau terlantar
berhak mendapat jaminan pemeliharaan kesehatan (jamkesmas atau jamkesda
setempat) untuk memperoleh pelayanan kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit
(Artikel 11,12,32)

Diperkirakan ada 18.000 penyandang disabilitas psikososial yang dipasung, baik di


rumah maupun di panti perawatan. Pemasungan biasanya dilakukan dengan disertai
kekerasan. Pemasungan adalah cara yang dipilih untuk diterapkan bagi penyandang disabilitas
psikososial, yakni orang dengan masalah kesehatan, seperti depresi, bipolar disorder,
skizofrenia, dan katatonia. Pemasungan dilakukan dengan merantai atau mengurung
seseorang di ruangan yang sesak dan tak sehat. Mereka yang dipasung tidak diperkenankan
keluar dari ruangan dan melakukan semua aktivitas di dalam kurungan. (Artikel 20,25,27)

Meski pemerintah melarang praktik pemasungan sejak 1977, namun baik keluarga maupun
panti sosial masih melakukan praktik ini terhadap penyandang disabilitas psikososial.

Perjalanan hidup mantan pasien panti 'sakit jiwa' yang berhasil sembuh
Bukan gila tetapi menderita sakit jiwa
Resesi berdampak besar pada kesehatan jiwa
Gangguan jiwa masalah dunia (Artikel 20,25,27)

Penyandang disabilitas memiliki keterbatasan dalam melakukan kegiatannya.


Sayangnya, mereka masih mendapat stigma. Padahal sebenarnya mereka bisa lebih berdaya
jika mendapat kesempatan. Kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap penyandang
cacat memang masih kurang. Sangat sedikit dijumpai fasilitas umum dan fasilitas sosial
terhadap mereka .(Artikel 2,14,15,16,18,31)
Keterbatasan Akses Pelayanan Kesehatan yang dialami oleh penyandang disabilitas
meliputi hal :

1. Biaya Mahal
2. Terbatasnya Ketersediaan Layanan
3. Hambatan Fisik
4. Ketrampilan dan Pengetahuan tentang Kesehatan yang tidak memadai
(Artikel 2,9,14,15,16,18,31)

Kesehatan merupakan subsistem Ketahanan Nasional. Oleh sebab itu harus melibatkan
sub-sistem lainnya melalui interaksi, interrelasi dan interpedensi, disamping kemandirian agar
tercapai kesehatan bangsa , antara lain:

1. Warga berhak atas kesehatan optimal, agar hidup layak;


2. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab memelihara kesehatan;
3. Penyelenggaraan upaya kesehatan diatur dan dilakukan pemerintah dan masyarakat
secara terpadu;
4. Dilandasi nilai ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan, kepentingan rakyat banyak
persatuan dan bukan kesatuan atau perorangan;
5. Kekeluargaan dan kegotongroyongan bagi pembangunan kesehatan;
6. Adil dan merata;
7. Warga wajib menjunjung tinggi regulasi kesehatan
8. Pembangunan kesehatan bersendikan kepribadian bangsa.(Artikel 10)

Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat


termasuk penyandang disabilitas idealnya diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
Metode yang diutamakan sebaiknya dengan cara promotif dan preventif serta meningkatkan
upaya kuratif dan rehabilitasi. Adapun upaya yang dilakukan pemerintah dan pihak kesehatan
lainnya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat disabilitas yang
setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif dan
berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia.

(Artikel 1,3,4,5,6,7,8,13,17,19,21,22,23,24,26,28,29,30,33)

Beberapa model yang dipakai dalam penanganan masalah penyandang cacat, yaitu :
(Konferensi Nasional I DNIKS, Jakarta, Juli 2001)
1. Model Individual/ Model Medis
Model individual/ model medis adalah model yang didasari pada penggunaan strategi
medis atau yang disebut juga strategi individual karena berfokus pada individu penyandang
disabilitas itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan konsep rehabilitasi pada program-
program yang ditujukan kepada penyandang disabilitas dan pembentukan organisasi
pelayanan yang diperuntukan bagi penyandang disabilitas. Misalnya, melalui posbindu
disabilitas untuk mimiliki kesedaran terhadap pentingnua memantau kesehatan penderita
disabilitas secara mandiri, cek kesehatan gratis, pelayanan gigi dan mulut yang optimal
(Artikel 5,6,19,22,23,29)
2. Model sosial
Model social merupakan bentuk model yang mengakomodasi faktor-faktor diluar individu
penyandang disabilitas, seperti lingkungan fisik dan non fisik yang turut berperan. Menurut
model sosial bahwa hambatan-hambatan yang berasal dari luar lingkungan itulah yang
menyebabkan ketidakmampuan seseorang yang mengalami impairment dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, terjadi karena lingkungan tidak mengakomodasi kebutuhan dari seorang
penyandang disabilitas, misalnya fasilitas yang ada disiapkan untuk disabilitas,seperti toilet
untuk disabilitas, ada juga huruf braile untuk penyandang disabilitas, kartu sakit tanpa antre
(Artikel 1,2,4,7,8,14,21,24,26,28)
(Artikel 11)

2.3 Tinjauan Etis Kristen Mengenai Pelayanan Medis terhadap Pasien Cacat
Definisi disabilitas dari sudut pandang medis, yang berisikan bahwa disabilitas adalah
persoalan medis dan karenannya orang dengan disabilitas perlu diupayakan program
rehabilitasi, menjadi tidak memadai.

(Sumber : Vicki Terrell, Celebrating Just Living with Disability in the Body of Christ,
The Ecumenical Review (2012), 563.)

Orang-orang dengan disabilitas telah dianggap bukan sebagai subyek-pelaku


melainkan lebih sebagai obyek-penderita atau paling-paling subyek penderita yang kepadanya
tafsiran teks-teks Alkitab perlu diimplementasikan. Orang-orang normal perlu merawat,
memperhatikan, mertabilitasi, dan membuat mujizat-mujizat penyembuhan modern bagi
mereka yang tidak beruntung, termasuk orang dengan disabilitas.

(Sumber : Olyan, Disability in the Hebrew Bible, 47.)

Menurut Christina MH Powell, Ph.D, ada beberapa hal yang dapat dilakukan gereja
untuk melayani para kaum tunanetra ini:

Mengunjungi pasien
Memberikan dukungan terus menerus
Menciptakan lingkungan yang ramah bagi penyandang cacat
Melatih anggota staf gereja dan pemimpin
Menyambut penyandang cacat dengan senyum hangat dan berbicara langsung
kepadanya.

(Sumber : Powell Christina, Ministry and Medical Ethics, InterVarsity Press,


(2010).)

Menurut The Consortium for Citizens with Disabilities (CCD) perawatan


kesehatan bagi penyandang cacat, mempedomani beberapa prinsip yaitu:

1 Non-diskriminasi
Perawatan kesehatan terhadap pasien disabilitas dilakukan tanpa adanya
pembedaan status.
2 Kelengkapan
Pasien disabilitas berhak mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang baik dan
juga dukungan layanan kesehatan,rehabilitaasi dan bantuan pribadi.
3 Kelayakan
Perawatan kesehatan terhadap pasien disabilitas yang ada disediakan berdasarkan
kebutuhan individu pasien, preferensi pasien dan juga pilihan yang dikehendaki
pasien.
4 Ekuitas
Prinsip yang dipedomani salah satunya adalah ekuitas, pasien tidak dibebani
dengan biaya-biaya. Biaya seharusnya disesuaikan dengan kemampuan pasien
tersebut.
5 Efisiensi
Perawatan kesehatan terhadap pasien disabilitas juga harus mempedomani bahwa
harus memiliki akses ke sebuah sistem perawatan kesehatan yang maksimum
tepat,efektif, layanan berkualitas tinggi dengan biaya administrasi minimal.

(Sumber : Andrew I. Batavia,Health care reform and people with


disabilities(1993),7)

Setiap manusia diciptakan Allah sesuai dengan gambaran-Nya. Semua baik dan indah
di mataNya. Namun, mungkin kita pernah berpikir mengapa ada orang-orang cacat yang
Tuhan izinkan untuk ada bersama-sama dengan kita sekarang. Mengapa ada orang buta, tuli,
bisu yang tidak bisa merasakan kesempurnaan hidup seperti kita. Kita perlu tahu bahwa Allah
lah yang telah merancangkan itu semua (Keluaran 4:11). Kita juga harus selalu mengingat
kalau Tuhan tidak pernah merancangkan hal-hal yang buruk atau mencelakakan untuk setiap
anak-anakNya, melainkan rancangan damai sejahtera (Yeremia 29:11). Tuhan telah
menetapkan setiap rancangan-Nya sejak kita ada di dalam rahim ibu kita, begitu pun dengan
mereka, orang-orang yang buta. Bahkan dari mereka lah Tuhan banyak memperlihatkan kuasa
dan kemuliaan-Nya (Yohanes 9:1-3).

Apapun juga bentuk dan rupa ciptaan-Nya, satu hal yang pasti adalah "segala yang
dijadikan-Nya itu sungguh amat baik" (Kej 1:31) dalam pandangan-Nya. Tetapi apa yang
dipandang baik oleh Allah tidak selalu, bahkan lebih sering, dipandang tidak baik oleh
manusia. Mengapa? Karena manusia hanya dapat memandang apa yang kelihatan di depan
mata.
1 Samuel 16:7 Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya
atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang
dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati."

Kita sebagai umat Kristen, khususnya sebagai petugas medis harus lah meneladani
pekerjaan Tuhan yang begitu luar biasa. Tuhan sendiri mengatakan kalau Dia mau memimpin
orang buta dan mau berjalan dengan mereka (Yesaya 42:16). Inilah peran kita untuk
merangkul mereka seperti teladan Tuhan Yesus dan tentunya mengasihi mereka seperti
saudara kita sendiri (Markus 12:31a). Kita juga tidak boleh menuntun mereka ke jalan yang
salah apalagi membiarkan mereka terlantar ketika menjalani pengobatan atau tindakan medis
lainnya, karena Tuhan sangatlah menentang hal itu (Ulangan 27:18a). Tetapi sebaliknya, kita
harus lah menjadi penopang bagi mereka (Ayub 29:15).

Berdasarkan alkitab, tentunya sudah banyak teladan-teladan Tuhan yang harus kita
contoh terutama dalam hal pelayanan kita di bidang medis bagi mereka pasien-pasien buta.
Sudah seharusnya lah kita merangkul mereka, bukan menyisihkan mereka, dan mendahulukan
mereka ketika mereka ada dalam penanganan kita. Tetapi, jauh dari semua itu, harus lah kita
selalu mendasarkan apa yang kita perbuat sesuai dengan ajaran Tuhan Yesus bahwa apa yang
kita perbuat haruslah dengan segenap hati seperti kita melakukannya untuk Tuhan (Kolose
3:23). Pastilah kita dapat melakukan setiap tugas kita dengan hati yang tulus dan dapat
menjadi berkat bagi setiap pasien.

Berdasarkan Undang-Undang di Indonesia.

Upaya pemerintah dalam melindungi kehidupan penyandang disabilitas sudah tertuang


dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Seperti halnya yang belum lama ini
diterbitkan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas. Khususnya
dalam pasal 12 yang membahas hal kesehatan. Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa
penyandang cacat:

a. Memperoleh informasi dan komunikasi yang mudah diakses dalam pelayanan


kesehatan;
b. Memperoleh kesamaan dan kesempatan akses atas sumber daya di bidang kesehatan;
c. Memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
dan terjangkau;
d. Memperoleh kesamaan dan kesempatan secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya;
e. Memperoleh Alat Bantu Kesehatan berdasarkan kebutuhannya;
f. Memperoleh obat yang bermutu dengan efek samping yang rendah;
g. Memperoleh Pelindungan dari upaya percobaan medis; dan
h. Memperoleh Pelindungan dalam penelitian dan pengembangan kesehatan yang
mengikutsertakan manusia sebagai subjek.

Peraturan lain yang berisi kebijakan tentang penyandang cacat lain nya adalah
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN No. 104/MENKES/PER/II/1999 TENTANG
REHABILITASI MEDIK pasal 7 dan pasal 8. Dari Keputusan Menteri Kesehatan tersebut,
dapat dilihat bahwa penyandang cacat di golongkan sesuai dengan tingkat
ketidakmampuannnya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Terdapat 6 golongan dalam
undang-undang ini, dan penggolongan ini bertujuan agar pemberian bantuan sesuai dengan
kemampuan dan ketidakmampuan yang diderita penyandang cacat ini. Contohnya, penderita
buta sebagian beberbeda perlakuan, ketersediaan sarana, dan lingkungan nya (khususunya
dalam bidang pelayanan kesehatan) dengan penyandang cacat buta seluruhnya. Perbedaan ini
bertujuan agar terjadi keadilan dalam pemberian pelayanan kesehatan dan agar pemerintah
memberi bantuan yang tepat dan sesuai dengan kecacatan penderita.

Undang-undang lainnya adalah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN pasal 139 dan pasal 140. Undang-
undang ini berisi tentang pemerintah menyediakan fasilitas yang baik dan sesuai bagi
penyandang cacat. Penyediaan fasilitas ini harus sesuai dengan tingkat kecacatanya, seperti
yang telah disampaikan sebelumnya, namun undang-undang ini berisi tujuan pemberian
pelayanan yang tidak sama antar penyandang cacat. Hal ini karena pemerintah ingin
mensejahterakan dan memajukan para penyandang cacat dengan memberi mereka
kemampuan untuk mandiri, sehingga mereka dapat berkembang seperti layaknya individu
normal lain seutuhnya. Sehingga, penyandang cacat dengan bantuan fasilitas pemerintah
dapat belajar unuk hidup normal, dan menjadi mandiri, sehingga mereka tidak tergantung
dengan pemberian bantuan saja.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Menurut artikel yang sudah kami kumpulkan dan kami cermati, dapat disimpulkan
bahwa penyandang cacat sebagai manusia membutuhkan kebutuhan yang sama dengan
manusia normal pada umumnya yaitu kebutuhan fisik, psikis dan sosial. Lebih khususnya
kebutuhan fisik yang salah satunya meliputi bidang kesehatan. Penyandang disabilitas
membutuhkan kebutuhan khusus dalam pelayanan medis yang lebih luas dan lebih baik
dibanding manusia normal pada umumnya.

Tetapi dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat pelayanan medis yang buruk
terhadap penyandang disabilitas. Bahkan masih terdapat orang dengan disabilitas yang tidak
menerima pelayanan medis sama sekali. Alasan orang dengan disabilitas untuk tidak
menerima pelayanan medis yang diperlukan dapat berupa: aksesibilitas, ketersediaan, dan
penerimaan. Aksesibilitas adalah faktor-faktor yang lebih erat kaitannya dengan lingkungan.
Sedangkan, ketersediaan dan penerimaan yang lebih erat kaitannya dengan faktor individu.

Walapun sudah ada beberapa tempat/daerah yang menyediakan pelayanan medis


terhadap pasien disabilitas yang cukup baik dan memadai, tetapi masih ada keterbatasan.
Keberhasilan untuk meningkatkan pelayanan medis terhadap disabilitas dapat dilaksanakan
pelaksanaan model individual dan model sosial.

Untuk itu, permasalahan penyandang cacat haruslah dilihat sebagai sesuatu yang
universal dan menyeluruh, dalam pengertian bahwa kecacatan merupakan kondisi yang wajar
dalam setiap masyarakat, karena itu pembuat kebijakan seharusnya juga memandang bahwa
kebutuhan penyandang cacat adalah sama seperti warga negara lainnya dengan
mengintegrasikan penyandang cacat dalam semua kebijakan yang menyangkut segala aspek
hidup dan penghidupan. Dalam hal meningkatkan akses ke pelayanan medis untuk difabel,
pengembangan kebijakan harus fokus pada menghilangkan hambatan lingkungan di bidang
asuransi kesehatan, dan akses layanan kesehatan itu sendiri.
3.2 Saran
1. Saran bagi keluarga penderita penyandang disabilitas
Salah satu fungsi keluarga adalah sebagai tempat berlindung yang aman bagi
anggotanya. Perlakuan keluarga yang wajar kepada anggota keluarga yang cacat akan
membuat mereka merasa aman dan nyaman. Akan tetapi banyak keluarga yang tidak dapat
menerima anggota keluarga yang cacat karena ketidaktahuan dan persepsi yang salah.
Oleh karena itu diperlukan sosialisasi guna penyadaran bagi keluarga agar dapat
menerima penyandang cacat dan memperlakukan secara wajar. Hadirnya persatuan orangtua
keluarga penyandang cacat sebagai wadah sosialisasi sangat penting guna peningkatan
persepsi yang benar sehingga dapat dilakukan penanganan penyandang cacat secara optimal
agar penyandang cacat dapat mandiri.
2. Saran bagi masyarakat umum
Perlu dijelaskan kepada masyarakat bahwa penyandang cacat tubuh mempunyai
kesamaan kesempatan dengan melibatkan penyandang cacat tubuh dalam organisasi
kemasyarakatan. Masyarakat perlu diberikan bimbingan agar muncul kepedulian, partisipasi
dan tanggung jawab
Penyandang cacat sejak lahir adalah makhluk sosial, kelangsungan hidup tergantung
pada orang disekelilingnya, kebutuhan rasa aman dan kasih sayang merupakan hal utama. Hal
ini dialami oleh penyandang cacat tubuh dan kebutuhan ini makin lama makin bertambah
seiring dengan perkembangan usia anak-anak dan membutuhkan teman bermain. Penyandang
cacat membutuhkan pengakuan, dihargai dan diterima oleh teman-temannya dan timbul
keinginan akan status sosial yang layak dalam kelompok/ masyarakat. Apabila perkembangan
ini mengalami hambatan akibat kecacatannya maka akan berpengaruh kepada perkembangan
kejiwaan anak.
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam kalangan masyarakat bagi penderita
disabilitas
1. Destigmatisasi
Pendekatan ini berusaha untuk tidak memberikan stigma, dan bergiat untuk
menghilangkan stigma yang diberikan kepada penyandang cacat.
2. Deisolasi
Pendekatan ini menghindari kegiatan yang akan mengisolasi penyandang cacat
dari lingkungnya. Sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan lingkungan.
3. Desensitifisasi
Pendekatan ini menitik beratkan untuk menghilangkan rasa sensiti/ rendah diri
atas kecacatan yang mereka derita.

4. Di sini dan saat ini (here and now)


Pendekatan ini menyesuaikan ruang dan waktu, dimana dan kapan pelayan
sosial dapat dilaksanakan, sehingga sesuai dengan kebutuhan mereka.
5. Diversifikasi
Pendekatan ini mengupayakan untuk meningkatkan mentalitas kemandirian
penyandang cacat, sehingga mereka mampu hidup dan mengembangkan
potensi yang dimiliki serta menghindari ketergantungan peran orang lain.
6. Dedramatisasi
Pendekatan ini mencoba untuk meminimalisir bentuk hiperbola atas suatu
masalah yang dialami oleh penyandang cacat.
7. Mengembangkan Empati, bukan Simpati
Pendekatan ini mengkedepankan rasa simpati untuk membantu para
penyandang cacat untuk mengembangkan diri dan berdiri dalam kemandirian.
Bukan di jaga secara berlebihan yang justru semakin membatasi ruang gerak
mereka.
3. Saran bagi pelayan kesehatan
Upaya yang akan dilakukan oleh pelayanan kesehatab adalah menyediakan karyawan
sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas dan menambah fasilitas yang dapat
dijangkau bagi penyandang disabilitas. Disarankan kepada pihak pelayan kesehatan untuk
mengadakan pelatihan khusus kepada karyawan serta memperbaharui sumber daya manusia
yang ada, sedangkan pada sarana transportasi penyediaan fasilitas harus dapat menjangkau
seluruh penyandang disabilitas tidak hanya pada satu penyandang disabilitas saja. Pihak
rumah sakit dan sarana transportasi mengajukan anggaran dana untuk pembangunan fasilitas
serta pelayanan yang optimal
4. Saran bagi pemerintah

Negara bisa menangani peningkatan risiko anak menjadi miskin dengan inisiatif-
inisiatif perlindungan sosial seperti program bantuan tunai, yang telah ter - bukti bermanfaat
bagi anak. Semakin banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah yang membangun
berdasarkan hasil-hasil yang menjanjikan dari usaha-usaha yang lebih luas dan telah
meluncurkan inisiatif perlindungan sosial yang ditargetkan yang meliputi bantuan tunai
terutama untuk anak-anak penyandang disabilitas. Monitoring dan evaluasi rutin tentang efek
dari bantuan tunai itu pada kesehatan, pendidikan dan rekreasi anak penyandang disabilitas
akan penting untuk memastikan program-program ini bisa mencapai tujuannya. Perangkat lain
yang bisa dipakai oleh Pemerintah adalah penganggaran khusus disabilitas, dimana
pemerintah menetapkan tujuan-tujuan khusus untuk anak penyandang disabilitas dalam
sebuah inisiatif yang lebih luas dan mengalokasikan sejumlah sumber daya yang ada yang
memadai untuk tujuan tersebut. Akses yang efektif pada pelayanan termasuk pendidikan,
pelayahan kesehatan, rehabilitasi, dan rekreasi harus diberikan secara cuma-cuma dan dengan
cara yang dapat meningkatkan integrasi sosial secara penuh dan perkembangan individu anak.
5. Saran bagi Gereja.

Semakin mendukung pasien disabilitas dan menguatkan pasien disabilitas dalam


keterbatasannya sebagai satu kesatuan dalam Tubuh Kristus. Mendukung mereka dengan
mengatakan, bahwa yang baik, yang indah, dan yang sempurna dalam pandangan Tuhan tidak
ditentukan oleh kesempurnaan tubuh manusia (cantik/ganteng/tidak cacat tubuh, dsb). Yang
baik, yang indah dan yang sempurna di mata Tuhan ialah manusia yang hidup berkenan
kepada Tuhan, yakni manusia yang mau mengasihi Tuhan dan sesamanya manusia.
Gereja juga dapat memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan dunia
kedokteran yang semakin maju Gereja yang lebih memperhatikan kehidupan jemaatnya, yaitu
dengan melahirkan sosok Kristus yang dokter bukan dokter yang Kristus.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan gereja untuk melayani para kaum disabilitas
ini:
Mengunjungi pasien
Memberikan dukungan terus menerus
Menciptakan lingkungan yang ramah bagi penyandang cacat
Melatih anggota staf gereja dan pemimpin
Menyambut penyandang cacat dengan senyum hangat dan berbicara langsung
kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA

Olyan, Saul M. 2008. Disability in the Hebrew Bible: Interpreting Mental and Physical
Differences. Cambridge: Cambrigde University.

Powell,Christina M. 2008. Ministry and Medical Ethics. Cambridge:InterVarsity Press.


Terrell, Vicki. 2012. Celebrating Just Living with Disability in the Body of Christ:The
Ecumenical Review.
Batavia,Andrew I. 1993. Health Care reform and people with disabilities. Canada:Jones and
Bartlett Publishers.
http://jabar.tribunnews.com/2017/02/23/puskesmas-cimaung-jadi-puskesmas-ramah-
disabilitas-pertama-di-jawa-barat (Diakses 09 Mei 2017,13.00 wib)

http://www.tempo.com/penyandang-disabilitas-belum-dapat-pelayanan-khusus/ (Diakses 09
Mei 2017,13.00wib)

http://www.kompas.com/4bi/melihat-aceh-penuhi-hak-hak-kaum-
difabel_550e0a3e813311b62dbc6061(Diakses 09 Mei 2017,13.10 wib)

http://www.tribunnews.com/1849859/penuhi-layanan-kesehatan-difabel.AA (Diakses 09 Mei


2017, 13.00 wib)

https://tempo.com/2017/04/07/posbindu-disabilitas-dorong-kemandirian-kesehatan-
masyarakat-difabel (Diakses 09 Mei 2017,13.00 wib)

http://www.koransindo.com/sosial/disabilitas-pelayanan-kesehatan-bagi-masyarakat/ (Diakses
09 Mei 2017,13.05 wib)

http://tribunnews.com/read/180468/pelayanan-kesehatan-bagi-disabilitas-ditarget-lebih-
komprehensif-.html (Diakses 09 Mei 2017,13.05 wib)

http://tibunnews.com/read/156437/disabilitas-pelayanan-kesehatan-untuk--masyarakat-di-
sorong-.html (Diakses 09 Mei 2017,13.05 wib)

https://kompas.com/2012/12/07/hak-kesehatan-anak-anak-penyandang-disabilitas/ (Diakses
09 Mei 2017,13.05 wib)

https://kompas.com/2012/12/07/hak-kesehatan-anak-anak-penyandang-disabilitas/ (Diakses
09 Mei 2017,13.05 wib)
http://www.koransindo.com/anak-anak/1048-melindungi-kesehatan-anak-penyandang-cacat
(Diakses 09 Mei 2017,13.10 wib)

https://www.tempo.co.id/pemkab-bantul-gulirkan-layanan-ekstra-bagi-difabel/ (Diakses 09
Mei 2017,13.10 wib)

http://www.koransindo.com/kesehatan/383092-sarana-publiyandang-disabilitas.html (Diakses
09 Mei 2017,13.10 wib)

http://www.kompas.com/kesehatan/383092-sarana-publik-dinilai-belum-ramah-penyandang-
disabilitas.html (Diakses 09 Mei 2017,13.10 wib)

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/12/23/18140641/penyandang.disabilitas.curhat.ke.
agus.soal.fasilitas.yang.belum.ramah. (Diakses 09 Mei 2017,13.10 wib)

http://jabar.tribunnews.com/2016/12/17/pertama-digelar-begini-suasana-peringatan-hari-
disabilitas-internasional-tingkat-jabar (Diakses 09 Mei 2017,13.15 wib)

http://kompas.com/2017/03/22/sudahkah-memproitaskan-penyandang-disabilitas/ (Diakses 09
Mei 2017,13.15 wib)

http://www.kompas.com/marulijuara/disabilitas-punya-hak-yang-sama-untuk-menerima-
pelayanan-gigi-dan-mulut-yang-optimal_56d5949a5893733a1e261231 (Diakses 09 Mei
2017,13.15 wib)

http://entertainment.kompas.com/read/2016/08/18/074500923/Kemerdekaan.bagi.Orang.deng
an.Gangguan.Jiwa (Diakses 09 Mei 2017,13.15 wib)

https://koransindo.com/berita/d-3452040/wali-kota-akan-jadikan-semarang-sebagai-kota-
ramah-disabilitas.html (Diakses 09 Mei 2017,13.15 wib)
http://jawapost.com/berita/342929/250-pasien-penyandang-disabilitas-nikmati-layanan-
rs.html (Diakses 10 Mei 2017,10.00 wib)

https://m.tempo.co/read/news/2016/10/17/058812810/penyandang-disabilitas-di-yogyakarta-
dapat-jaminan-kesehatan (Diakses 10 Mei 2017,10.00 wib)

http://www.kompas.co.id/read/142938/20170222/151353/pertama-di-indonesia-rumah-sakit-
ini-punya-kartu-sakti-tanpa-antre/ (Diakses 10 Mei 2017,10.00 wib)

http://lifestyle.kompas.com/read/2016/03/22/170700723/Belasan.Ribu.Penyandang.Disabilita
s.Psikososial.Alami.Kekerasan (Diakses 10 Mei 2017,10.00 wib)
http://www.koransindo.com/berita/620683/rsud-banyuwangi-luncurkan-kartu-gandrung-
untuk-lansiadifabel (Diakses 10 Mei 2017,10.00 wib)

http://www.kompas.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160320_indonesia_hrw_pasung
(Diakses 10 Mei 2017,10.05 wib)

http://www.jawapos.com/read/2017/02/07/107962/bentuk-pelayanan-khusus-buat-
penyandang-disabilitas (Diakses 10 Mei 2017,10.05 wib)

http://www.koransindo.com/health/2016/11/25/050300/kemenkes-janji-tingkatkan-akses-
kesehatan-bagi-disabilitasrtikel 29.html (Diakses 10 Mei 2017,10.05 wib)
TINJAUAN ETIS KRISTEN TENTANG PELAYANAN MEDIS

TERHADAP ORANG YANG CACAT

DISUSUN OLEH :

Asnita Bella Putri Tamba (160100002)

Nathasia Omega Parhusip (160100006)

Yesika Maria Permatasari Tambunan (160100033)

Imelda Clara Napitupulu (160100130)

Rosarina (160100137)

Ruth Jean Tri Apriliyanty (160100140)

Evita Sola Gracia (160100191)

Tugas Mata Kuliah Agama

Prof. Dr. Risnawaty Sinulingga, S.Th

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2016-2017

Anda mungkin juga menyukai