Anda di halaman 1dari 5

Aku Generasi Unggul Kebanggaan Bangsa Indonesia

Oleh Alvitra Salmalia Syaharani

Indonesia adalah singa yang tertidur.

Ungkapan tersebut kiranya tepat menggambarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini.
Sebagaimana diketahui, Indonesia menempati peringkat ke-4 setelah Tiongkok, India, dan
Amerika Serikat sebagai negara dengan penduduk terbanyak. Berdasarkan survei penduduk
antar sensus (Supas) 2015, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2019 diproyeksikan
mencapai 266,91 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk yang besar, apakah serta merta Indonesia
menjadi bangsa yang besar pula? Belum. Indonesia masih tertidur.

Mengapa? Salah satu indikator penting dalam pembangunan adalah Human


Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang terdiri atas indeks
ekonomi (pendapatan riil per kapita), indeks pendidikan (angka melek huruf dan lama sekolah),
dan indeks kesehatan (usia harapan hidup). Bagi sebuah negara, kesehatan merupakan salah
satu pilar sentral yang menopang kemajuan dan pembangunan bangsa. Ditinjau dari segi
kesehatan, Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Indonesia masih tergolong
rendah yakni 0,6087 dengan usia harapan hidup 69,19 tahun (Data Kemenkes, 2018).

Hal ini selaras dengan kecamuk masalah kesehatan yang melekat dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, salah satunya yakni kurangnya jangkauan akses kesehatan berupa unit
pelayanan dan tenaga kesehatan hingga daerah terpencil. Bukan hal yang baru lagi mengingat
Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang terpisahkan oleh lautan. Tentu distribusi
pelayanan dan tenaga kesehatan cukup sulit untuk dilakukan. Namun rintangan tersebut bukan
berarti membuat masalah ini dibiarkan sampai turun-temurun dan dianggap angin lalu. Masalah
ini butuh perhatian lebih dan tindakan yang tepat guna memperluas pemerataan fasilitas
kesehatan.

Masalah kesehatan yang serupa juga bermekaran di daerah tempat saya tinggal,
Kabupaten Situbondo. Kabupaten ini masuk dalam daftar daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan
Tertinggal) karena IPM yang rendah, di bawah rata-rata IPM nasional. Meskipun di Kabupaten
Situbondo sudah terdapat unit pelayanan kesehatan berupa Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) di kota kabupaten dan Puskesmas di setiap kecamatan, tetap saja penanganan masalah
kesehatan belum merata, hanya terjangkau oleh masyarakat menengah ke atas. Mengangkat
fakta yang terjadi, hal ini bukan salah pihak pemegang kebijakan karena sudah ada layanan
asuransi kesehatan seperti BPJS guna meringankan biaya pengobatan, tetapi masalah ini
bersumber dari pola pikir masyarakat mengenai fasilitas kesehatan itu sendiri.

Banyak masyarakat Situbondo yang enggan melakukan pengobatan ke rumah sakit


maupun puskesmas. Mereka lebih memilih datang ke kiai atau dukun untuk menangani
masalah kesehatan yang mereka hubungkan dengan kajian spiritual. Kejadian seperti ini
seringkali dijumpai di desa-desa di Kabupaten Situbondo yang jauh dari pusat kota. Selain
alasan ekonomi yang disebabkan oleh pendapatan masyarakat yang masih di bawah rata-rata,
alasan yang kedua yakni ketidaksabaran masyarakat untuk mengikuti prosedur kesehatan yang
dikeluarkan oleh pihak pelayanan kesehatan.

Sebagai contoh berdasarkan pengalaman beberapa orang di sekitar saya, mereka


terkadang meminta obat injeksi dengan alasan agar lebih cepat sembuh daripada obat oral.
Namun obat injeksi diberikan ketika pasien dalam keadaan tertentu (mual-mual, muntah,
kejang-kejang, pingsan, tidak dapat menelan, atau keadaan genting dimana tubuh
membutuhkan reaksi cepat terhadap obat). Pertimbangan keadaan harus dilakukan oleh dokter
untuk tidak menerima permintaan pengobatan pasien secara spontan. Dokter dituntut untuk
bekerja secara profesional dan tidak sembarangan mengambil keputusan mengingat setiap
dokter telah mengucapkan sumpah.

Beberapa masyarakat desa juga enggan untuk mengikuti prosedur administrasi seperti
kelengkapan surat rujukan dan pembelian obat menggunakan resep dokter. Mereka akhirnya
memilih jalan pintas dengan mengobati menurut keyakinan pribadi tanpa tahu takaran dosis
maupun jenis obat yang dikonsumsi. Kesembuhan adalah hal yang diinginkan oleh pasien,
namun terkadang mereka lupa bahwa bukan hanya sembuh saja, akan tetapi bagaimana caranya
agar penyakit tidak sering kambuh dan terhindar dari resisten terhadap obat.

Dalam menangani masalah-masalah terkait kesehatan tersebut, saya memiliki solusi


sekaligus misi yang harus saya lakukan ketika saya menjadi seorang dokter di masa depan.
Pertama, adalah mengubah cara pikir atau pandangan masyarakat desa mengenai berobat ke
dokter serta mengangkat eksistensi dokter di daerah desa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengadakan sosialisasi pentingnya kesadaran dalam melakukan prosedur kesehatan saat
proses pemeriksaan dan pengobatan. Mengenai masalah finansial, masyarakat dapat
menggunakan KIS (Kartu Indonesia Sehat), ASKES, BPJS, atau jaminan kesehatan lainnya
sehingga dapat mengurangi beban biaya pengobatan serta memberikan pemahaman tegas
kepada masyarakat mengenai langkah-langkah penggunaan dan kemudahan yang ditawarkan
oleh asuransi kesehatan tersebut.

Kedua, membangun pengetahuan masyarakat mengenai Tanaman Obat Keluarga


(TOGA) sebagai pertolongan pertama di rumah yang aman dan tanpa efek samping. Hal ini
guna mengatasi atau meredakan masalah kesehatan yang seringkali datang tiba-tiba, seperti
demam, luka bakar, flu, dan lain-lain. Utamanya untuk masayarakat desa yang memiliki jarak
tempuh cukup jauh untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang biasanya terdapat di kota.
Dengan adanya pemahaman tersebut, masyarakat desa tidak gegabah dalam mengonsumsi obat
tanpa perhatian dokter dan memiliki jangka waktu lebih banyak hingga akhirnya mendapat
penanganan tenaga kesehatan.

Sejak kecil, saya memiliki kepedulian lebih terhadap kegiatan sosial dan dunia
kesehatan. Hal ini bermula karena Ayah saya bekerja di RSUD Kabupaten Situbondo dan saya
kerap kali ikut Ayah pada saat jam kerja ketika saya sedang libur atau pulang sekolah.
Memandang kesibukan hilir mudik di lobi poli, tindakan cepat tanggap dokter di UGD, hingga
pasien yang dibawa menggunakan ranjang transfer dengan cepat karena dalam kondisi tubuh
yang genting mengetuk hati saya untuk terjun langsung menolong orang-orang yang
membutuhkan bantuan kesehatan. Pada akhirnya, dokter menjadi mimpi yang ingin saya
wujudkan di masa depan.

Ketertarikan saya pada kegiatan sosial dan kesehatan terus berlanjut dengan
bergabungnya saya pada program Generasi Berencana (GenRe) dari BKKBN sejak duduk di
bangku SMA. Melalui program ini, saya bersama teman-teman “GenRengers” terus berupaya
mengkampanyekan Triad KRR atau tiga hal yang harus dihindari oleh remaja yakni say no to
(katakan tidak pada) early marriage (nikah dini), sex berfore marriage (seks pranikah), dan
Napza. Kampanye tersebut guna mengokohkan pondasi remaja yang sehat dan berkualitas
demi mewujudkan ketahanan keluarga di Indonesia. Kegiatan-kegiatan yang bersinggungan
langsung dengan masyarakat juga kerap dilakukan seperti penyuluhan, bakti sosial, talkshow,
dan pemberdayaan masyarakat. Kegigihan dan dedikasi saya terhadap program GenRe
mengantarkan beberapa prestasi yakni Duta GenRe Jawa Timur 2019 sebagai Juara II Putri,
Juara III Pidato Kependudukan 2018 tingkat kabupaten, dan Juara I Karya Tulis Kependudukan
2018 tingkat kabupaten.

Saya juga memiliki satu pengalaman yang membuat miris terkait kondisi kesehatan di
negeri ini yakni ketika saya berkesempatan mengikuti program Pengajar Jelajah Nusa 2019 di
daerah penempatan Halmahera Selatan, Maluku Utara. Saat itu saya bertugas selama sepekan
di Desa Sawangakar, sebuah desa kecil yang bahkan masih belum tercatat di peta digital. Di
sana akses air bersih dan listrik sangat sulit didapat, sama sulitnya untuk mendapatkan akses
pelayanan dan tenaga kesehatan.

Suatu ketika ada salah satu balita yang demam dan saya bersama satu teman lain
dimintai tolong untuk menjaga balita tersebut oleh sang Ibu. Selang beberapa menit, ibu dari
balita datang membawa obat dan saya disuruh untuk meminumkannya pada si balita. Alangkah
terkejutnya saya ketika melihat dosis kandungan obat yang tertera, bahkan pada bungkus obat
tersebut jelas sekali peringatan hanya boleh dikonsumsi oleh orang dewasa. Namun sang Ibu
tidak punya pilihan lain karena tidak ada tenaga kesehatan yang bertugas di Poskesdes dan obat
tersebut sudah lumrah digunakan untuk balita di desa itu. Saat itu saya sangat miris sekaligus
sedih menghadapi situasi tersebut. Untungnya, berbekal kemampuan obat keluarga yang biasa
dilakukan di rumah, saya segera menumbuk bawang merah lalu dicampur minyak kelapa dan
saya usapkan ke dahi balita yang demam. Pengetahuan obat sederhana seperti ini sangat
penting dimiliki oleh setiap orang sebagai pertolongan pertama yang aman dalam menghadapi
masalah kesehatan. Hal ini semakin menguatkan misi saya untuk mengembangkan
pengetahuan tentang obat keluarga di kehidupan masyarakat, utamanya masyarakat desa.

Berangkat dari pengalaman tersebut, tekad saya semakin bulat untuk turut serta
membenahi konstruksi kesehatan bangsa Indonesia melalui impian saya menjadi seorang
dokter. Dengan demikian, seusai SMA saya memilih program studi S1 Pendidikan Dokter,
Fakultas Kedokteran, Universitas Jember sebagai batu loncatan menuju impian yang ingin saya
capai. Usaha, doa, dan niat untuk mewujudkan harapan banyak orang serta mimpi masyarakat
desa yang saya temui di garis terdepan Indonesia telah mengantarkan saya hingga diterima
melalui jalur SBMPTN setelah melalui Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK).

Pengembangan agromedis yang dimiliki oleh Universitas Jember juga menjadi tujuan
saya menimba ilmu di FK UNEJ dan mewujudkan salah satu misi yakni pentingnya tanaman
obat keluarga dan kesehatan bagi profesi masyarakat desa (petani, nelayan, dan peternak).
Beberapa upaya yang dilakukan tim agromedis FK UNEJ antara lain dengan
diselenggarakannya Seminar Nasional dengan tema PINTAR (Pertemuan Ilmiah Tahunan
Agromedis) yang telah dilaksanakan mulai tahun 2016 dan akan diadakan secara terus-menerus
tiap tahun, serta Konferensi ICATD (International Conference Agromedicine and Tropical
Desease) yang di dalamnya diharapkan terbentuk suatu perkumpulan Agromedis yang
beranggotakan fakultas-fakultas kedokteran yang memiliki tujuan yang sama. Difasilitasi
dengan Agro Techno Park yang berada di lingkungan Universitas Jember semakin
memudahkan mahasiswa untuk belajar dan mendalami ilmu agromedik.

Harapannya, sebagai seorang dokter di masa depan, dengan solusi dan misi yang saya
rancang untuk mengatasi masalah kesehatan di Kabupaten Situbondo dapat memberi dampak
berupa peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya berobat ke dokter dengan tujuan
agar masalah kesehatan segera ditangani oleh dokter dengan tepat. Selain itu, pola pikir
masyarakat terkait fasilitas kesehatan serta pemahaman tentang obat keluarga juga bisa
dibenahi. Secara perlahan hal ini akan mengangkat eksistensi dokter di mata masyarakat,
khususnya masyarakat desa. Dalam waktu yang bertahap kesehatan masyarakat Situbondo
akan sejahtera karena didukung oleh pengobatan yang baik, terpenuhinya gizi seimbang, dan
pengetahuan kesehatan serta pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari yang telah
dipahami dengan benar.

Saya sangat yakin, bahwa Indonesia saat ini adalah singa yang tertidur. Hal ini
mengingatkan betapa besarnya pengaruh yang bisa diberikan oleh bangsa Indonesia ketika
terbangun. Pembangunan di bidang kesehatan bersama-sama dengan bidang lainnya dapat
menjadi kesatuan adidaya yang mampu menandingi segala terjangan zaman sehingga
Indonesia dapat bangun serta bangkit menjadi negeri yang lebih baik lagi. Melalui esai ini,
sebagai pemuda, saya sungguh ingin memajukan bangsa Indonesia lewat kemampuan dan
tekad untuk menjadi insan cerdas dan kompetitif di bidang kesehatan. Bangunlah wahai singa
yang tertidur, mari buktikan bahwa aku—kita adalah generasi unggul kebanggaan bangsa
Indonesia!

Sumber Referensi

Data IPKM Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018.

fk.unej.ac.id

Samsi Jacobalis. 1999. Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika. Jakarta:
CV Sagung Seto.

unej.ac.id

Anda mungkin juga menyukai