Anda di halaman 1dari 7

Menekuni profesi dokter gigi hingga saat ini, merupakan hal yang tidak pernah terlintas

di benak saya sejak kecil. Sebenarnya, saya bercita-cita menjadi seorang dokter umum,
seperti cita-cita sebagian besar anak-anak Indonesia. Akan tetapi, hasil seleksi
penerimaan mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin tahun 2007 itu membuka
jalanku mengenyam pendidikan kedokteran gigi.

Kuliah di kedokteran gigi bagi saya yang hanya seorang anak PNS biasa, termasuk
suatu hal yang tidak mudah. Saya adalah anak sulung dari empat bersaudara yang
tentunya membuat orangtua kami berusaha bekerja keras untuk bisa membiayai
pendidikan kami. Saya sangat bangga dengan mereka berdua, dukungan besar
merekalah yang menjadi penyemangat saya untuk bisa selesai kuliah tepat waktu,
supaya biaya yang dikeluarkan juga tidak besar. Berbeda dengan kedokteran umum, di
fakultas ini, biaya terbesarnya bukan pada pembelian buku-buku bacaan tebal dan
mahal, tapi pada alat-alat yang digunakan untuk menunjang praktikum. Di awal tahun
kedua perkuliahan, ujian berat harus saya hadapi. Ada kabar buruk dari kampung,
orangtua saya bercerai. Inilah cobaan terberat yang harus saya jalani di tengah usaha
untuk beradaptasi dengan dunia kampus. Pada saat itu, mulanya, saya seperti
kehilangan arah dan terpuruk dalam kesedihan. Banyak hal yang menjadi ketakutan
saya, termasuk mengenai masa depan saya. Akumulasi dari kesedihan saya itu
kemudian berubah menjadi depresi, namun sahabat-sahabat di sekitar saya tidak
mengetahui keadaan saya sesungguhnya, karena saya menganggap itu adalah sebuah
aib yang perlu ditutupi. Saya tetap mengikuti perkuliahan sebagaimana mestinya, meski
terkadang di sela-sela waktu itu, saya pun berkunjung ke rumah sakit menemui dokter
untuk menyampaikan berbagai keluhan yang saya alami pada saat itu. Di tahun itu,
saya seperti tur poliklinik dan rumah sakit, mulai dari dokter kulit, penyakit dalam, saraf,
hingga berujung ke dokter jiwa. Setelah tes kejiwaan, dokter menyimpulkan bahwa saya
sudah mengarah ke gejala depresi dan untuk beberapa saat perlu obat penenang.
Masa ini saya anggap sebagai sebuah masa yang penuh dengan perjuangan dalam
hidup saya. Saya berusaha menyemangati diri untuk tetap berjuang setidaknya hingga
menyelesaikan sarjana dengan nilai yang baik. Saya bertekad untuk selalu lulus dalam
setiap mata kuliah agar setiap jadwal libur semester, saya bisa pulang menemani
Ibunda tercinta yang tentunya juga terganggu psikisnya.

Di sela jadwal perkuliahan, saya bersyukur masih bisa ikut berorganisasi, menjadi
aktivis yang berkecimpung menjadi kakak asuh dari adik-adik kaum ekonomi lemah
yang tinggal di pinggiran kampus. Kami sebagai kakak asuh bertugas setiap akhir
pekan memberikan pengajaran kepada mereka, mulai dari pelajaran umum hingga
agama. Dengan terlibat di kegiatan ini, bisa mengurangi beratnya cobaan yang saya
hadapi selama kuliah. Saya bisa lebih bersyukur atas kehidupan yang sedang saya
jalani Selain itu, hal ini juga membantu membuka mata saya terkait kurangnya edukasi
pada kaum marginal yang menjadi sebuah permasalahan besar khususnya di bidang
kesehatan.

Perjuangan menimba ilmu di kampus dan klinik akhirnya bisa menjadi secercah sinar
terang. Saya akhirnya lulus tepat waktu, di jenjang sarjana, saya bisa mendapat
predikat cum laude, wisudawan terbaik ketiga pada waktu itu. Hal yang tentunya
sangat membanggakan bagi mereka, karena di keluarga besar kami belum ada satu
pun yang menjadi dokter. Tak lama setelah lulus, saya ikut seleksi CPNS, dan hasilnya
dinyatakan lulus untuk menjadi dokter gigi di sebuah Puskesmas. Sebuah pencapaian
manis setelah banyak ujian di keluarga kami.

Sekarang, sudah hampir satu dekade, saya mengabdi di Puskesmas, terhitung telah
ada empat Puskesmas yang menjadi tempat saya mengabdi. Dari keempatnya, ada
satu masalah terbesar yang masih belum bisa ditangani saat ini, yaitu masalah edukasi
kesehatan di masyarakat. Sebagai tulang punggung dan garda terdepan kesehatan di
daerah, fungsi Puskesmas umumnya belum optimal. Puskesmas yang memiliki fungsi
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, mayoritasnya hanya fungsi kuratif yang
berjalan cukup baik. Upaya-upaya promotif maupun preventif seringkali mendapat
hambatan dan menjadi tantangan besar bagi petugas Puskesmas. Padahal
sebenarnya, menurut Permenkes no 43 tahun 2019 Bab 1 Pasal 1,” Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat
dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan
upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya”. Peran ini juga tertuang dalam
RJPMN Bidang Kesehatan tahun 2020-2024, yaitu meningkatkan akses dan mutu
pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta dengan penekanan pada
penguatan pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care) dan peningkatan upaya
promotif dan preventif didukung oleh inovasi dan pemanfaatan teknologi.

Permasalahan kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat acap kali menjadi faktor


penyebab tidak berhasilnya suatu daerah mengatasi penyakit atau permasalahan
kesehatan. Terlebih lagi, di masa pandemi saat ini. Mengalami situasi pandemi adalah
sebuah hal baru untuk kita semua. Adanya virus penyebar penyakit yang menyebar dan
tak kasat mata bagi orang-orang yang memiliki tingkat pengetahuan rendah atau tanpa
latar belakang pendidikan kesehatan tentunya menjadi sebuah hal yang cukup sulit
untuk diyakini. Hal mendasar saja seperti upaya edukasi “Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat” belum berhasil sampai saat ini. Buktinya, penyakit-penyakit yang disebabkan
sanitasi buruk masih saja menjadi penyumbang angka penyakit tertinggi di setiap
Puskesmas.

Selain itu, di era digitalisasi sekarang ini, akses informasi dari segala penjuru dunia
sudah tersedia dalam genggaman. Seharusnya hal tersebut bisa memberikan manfaat
untuk menambah pengetahuan masyarakat awam. Namun, faktanya justru
perkembangan teknologi tersebut menjadi bumerang bagi edukasi kesehatan. Jumlah
hoax-hoax informasi kesehatan yang beredar di masyarakat justru semakin melimpah.
Hal ini yang kemudian banyak memberikan pemahaman kesehatan yang menyesatkan
di masyarakat dan bahkan memicu ketidakpercayaan mereka terhadap pengobatan
modern dan informasi dari tenaga kesehatan.

Sebenarnya, Kementerian Kesehatan telah banyak meluncurkan berbagai program


untuk mendorong keberhasilan upaya-upaya promotif ini di jenjang terbawah, yaitu
Puskesmas. Namun, proses eksekusi di lapangan yang tidak optimal membuatnya
hanya menjadi seremonial belaka. Salah satu penyebabnya ialah dari aspek sumber
daya manusia. Petugas yang melakukan edukasi masih kurang inovatif dan improvisasi.
Cara-cara penyuluhan yang monoton membuat masyarakat tidak tertarik menyimak
penjelasan yang diberikan. Selain itu, materi penyuluhan yang dibawakan juga
terkadang sama dengan materi-materi sebelumnya tanpa ada improvisasi untuk
menambah minat masyarakat mendengarkan. Perkembangan teknologi pun
tampaknya tidak menjadi jalan untuk bisa melakukan inovasi terhadap metode promosi
yang diberikan. Belum ada edukasi dari Puskesmas yang tersaji dalam bentuk digital
yang dapat diakses oleh masyarakat kapan dan di mana saja. Setiap tahun kami
melakukan evaluasi kinerja di Puskesmas termasuk dalam upaya promotif, Namun,
belum ada peningkatan signifikan dari tahun ke tahun, meskipun anggaran untuk upaya
promotif ke masyarakat, contohnya di Puskesmas saya saat ini, Puskesmas Sendana,
mencapai lebih dari 50% dari total anggaran upaya kesehatan masyarakat yang
disetujui.

Sebagai seorang dokter gigi Puskesmas yang tidak hanya melakukan upaya promotif
kesehatan gigi dan mulut, saya juga dipercaya untuk melakukan pembinaan usaha
kesehatan sekolah (UKS) mulai dari jenjang TK/RA sampai SMA/MA. Pengalaman
bertugas langsung melayani kesehatan masyarakat baik di puskesmas maupun terjun
langsung ke lapangan memberikan banyak pelajaran yang berarti buat saya. Saya
menyadari betapa jauh jarak ketertinggalan pengetahuan masyarakat kita akan
kesehatan bila dibandingkan dengan negara maju. Di lapangan, saya pun pernah
melakukan pembinaan kesehatan sekolah di sebuah sekolah dasar yang terletak di
pedalaman gunung. Mengajarkan mereka mengenai pengetahuan dasar kesehatan
menerbitkan harapan di hati saya agar mereka kelak menjadi generasi penerus yang
bisa mengubah derajat kesehatan dari diri mereka sendiri dan kemudian keluarga
mereka. Penanaman kesadaran kesehatan sejak dini inilah yang perlu mendapatkan
perhatian yang besar.

Dari pengalaman bertahun-tahun di lapangan, yaitu sejak tahun 2015, saya menyadari
jika saya pun masih belum bisa maksimal melaksanakan tugas tersebut. Ada banyak
ilmu-ilmu dan metode-metode yang perlu saya perbaharui. Saya perlu memperdalam
ilmu mengenai promosi kesehatan untuk bisa melakukan upaya promotif yang lebih
baik. Pada bangku kuliah dulu, ilmu promosi kesehatan yang diberikan sangat terbatas.
Sementara, pihak Kementerian Kesehatan maupun Dinas Kesehatan setempat juga
hampir tidak pernah memberikan pengetahuan metode promosi kesehatan kepada
kami dan tenaga kesehatan terkait lainnya di Puskesmas. Selain itu, faktor regulasi dan
pedoman-pedoman yang kurang jelas mengenai Promosi Kesehatan yang dikeluarkan
pusat juga menjadi kendala para penyuluh di lapangan.

Untuk itu, saya sangat tertarik melanjutkan studi magister dalam bidang kesehatan
masyarakat dengan peminatan promosi kesehatan dengan tujuan untuk bisa menjadi
bekal bagi saya membantu menyelesaikan persoalan promosi kesehatan di Puskesmas
hingga memungkinkan ke skala nasional. Saya berencana mengambil konsentrasi
Promosi Kesehatan di Universitas Diponegoro Semarang, alasan pertama karena
tertarik dengan kurikulumnya. Setelah meriset beberapa prodi Promosi Kesehatan yang
ada di kampus-kampus favorit di Indonesia, saya mendapatkan hanya di Undip terdapat
mata kuliah residensi sebagai salah satu mata kuliah semester akhir. Residensi ini
merupakan suatu kegiatan aplikasi langsung ke lapangan teknik promotif yang sudah
dipelajari selama perkuliahan. Selain itu, hal lain yang membuat saya tertarik pada
UNDIP ialah ada banyak mata kuliah yang akan mendukung kompetensi para lulusan
Promkes nantinya, seperti: advokasi dan konseling di bidang kesehatan, aplikasi dan
desain metode Promkes, hingga current issue Promosi Kesehatan. Hal ini tentunya
sangat penting untuk meningkatkan kompetensi para lulusan. Selain itu, program
magister Promkes UNDIP juga menjadi satu-satunya prodi magister promkes yang
terbagi lagi menjadi empat konsentrasi, sehingga dengan kekhususan ini, saya
berharap bisa menimba ilmu yang lebih banyak. Hal tambahan lainnya ialah sudah
terakreditasi A.

Oleh karena itu, saya berharap, setelah saya menyelesaikan studi magister di bidang
promosi kesehatan, saya dapat berkontribusi melalui peran saya dalam meningkatkan
edukasi kesehatan kepada masyarakat dalam jangka pendek, yaitu khususnya dengan
melakukan pembinaan kesehatan mulai dari usia dini yaitu di UKS sekolah.
Pengoptimalan peran UKS sekolah dapat membantu kegiatan promotif berjalan dengan
lebih baik Edukasi yang berfokus pada usia dini,menurut saya akan bisa memberikan
hasil yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat, utamanya pada beberapa tahun
mendatang. Hasil penelitian menunjukkan, usia yang lebih muda akan menerima
informasi yang lebih mudah dan diiringi juga dengan perubahan perilaku yang lebih
besar bila dibandingkan dengan pemberian edukasi kepada yang lebih tua dalam hal ini
kelompok dewasa. Bersama tim Puskesmas, kami akan berkoordinasi dengan lintas
sektoral, yaitu pihak sekolah dan kecamatan setempat untuk pengoptimalan UKS. Di
tingkat Puskesmas, saya akan berupaya melakukan pembinaan terhadap tim promotor
Puskesmas untuk bisa memberikan edukasi yang lebih inovatif dan kreatif, sehingga
upaya penyuluhan tidak lagi hanya menjadi kegiatan yang menggugurkan kewajiban.

Selain itu, beberapa tahun kemudian, dengan bekal ilmu yang telah saya peroleh di
jenjang S2 serta pengalaman terjun ke lapangan berhadapan dengan masyarakat, saya
berharap bisa menjadi salah satu tenaga ahli di dinas kesehatan daerah maupun
provinsi yg menjadi narasumber pelatihan-pelatihan yang diadakan untuk meningkatkan
kinerja penyuluh atau promotor kesehatan di setiap Puskesmas di daerah sekaligus
mempunyai peranan dalam hal menentukan berbagai kebijakan dan regulasi terkait
Promosi Kesehatan yang dilakukan di lingkup Kabupaten/Kota dan Provinsi. Dengan
intervensi ini, tentunya tujuan saya untuk bisa meningkatkan pengetahuan kesehatan
masyarakat bisa menjangkau cakupan yang lebih luas

Untuk jangka panjang, agar dapat merealisasikan konsep-konsep promotif yg inovatif,


besar harapan saya, nantinya saya pun bisa berkarir hingga ke pusat, yaitu
Kementerian Kesehatan, dengan menjadi staf ahli penyusun atau kontributor pedoman-
pedoman, regulasi, maupun juknis-juknis yang akan menjadi acuan bagi semua
promotor atau penyuluh kesehatan Puskesmas di seluruh Indonesia. Dimana semua
hal tersebut disusun berdasarkan ilmu yang saya peroleh dan hasil praktik di daerah-
daerah selama bertahun-tahun. Dari level pusat, saya akan berkolaborasi dengan
semua stakeholder terkait untuk bisa mengoptimalkan peranan promosi kesehatan
sampai ke Puskesmas pelosok Indonesia. Sehingga, tidak ada lagi kesenjangan
pengetahuan dan perilaku kesehatan di negara kita ini, dan tentunya derajat kesehatan
masyarakat Indonesia juga akan meningkat. Bila kesehatan optimal, hidup pun akan
berkualitas, dan otomatis Indonesia sudah siap untuk menyongsong Generasi Emas
2045

Anda mungkin juga menyukai