Anda di halaman 1dari 5

Aku Generasi Unggul Kebanggan Bangsa Indonesia

Oleh Abdul Rasyid Sahar


Setumpuk penelitian empiris menunjukan bahwa Indonesia pada tahun 2030
berpotensi akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ke-7 terbesar dunia. Tentunya,
menuju pencapaian tersebut ada beberapa indikator yang harus dipenuhi oleh bangsa
Indonesia salah duanya dalah peningkatan produktifitas serta daya saing negara dan
kompetensi birokrasi yang berdasar pada prinsip manajemen kinerja. Pendidikan dinilai
sebagai faktor yang dapat menunjang produktifitas dan daya saing suatu negara. Oleh
karenanya, pendidikan harus ditingkatkan di semua jenjang dan tingkatan masyarakat
khususnya generasi muda selaku tonggak kemajuan bangsa di masa depan dalam memenuhi
indikator diatas.
Menurut pembacaan saya, generasi unggul adalah generasi yang mampu berdaya
saing, produktif dalam mencipta karya dan inovasi serta memberikan inspirasi dan manfaat
secara luas untuk masyarakat Indonesia baik dalam tataran lokal, nasional, bahkan
internasional. Terlebih, di era ekonomi yang berlandaskan pengetahuan maka generasi bangsa
ini dituntut berpengetahuan di segala bidang dan konteks kajian keilmuan masing-masing
untuk menghadapi tantangan global yang semakin hari menjadi dinamis.
Secara personal, sebelum memutuskan melanjutkan pendidikan di Universitas
Indonesia, saya seorang karyawan PT Swadharma Sarana Informatika yang pernah menjabat
sebagai Staff Administrasi Perencana Sentra Operasi Bontang Kalimantan Timur. Saya
menduduki Jabatan cukup strategis dan termasuk salah satu unit yang berperan penting dalam
pencapaian target dan lancarnya operasional Perusahaan. Setelah klausul kontrak berakhir,
saya memutuskan tidak memperpanjang kontrak tersebut dengan alasan ingin melanjutkan
pendidikan. Keputusan ini sangat disayangkan oleh pimpinan dan rekan kerja saya, melihat
apa yang telah kami capai dalam mengembangkan dan menjadikan Sentra Operasi Bontang
sebagai salah satu sentra percontohan khususnya di Provinsi Kalimantan Timur dan Indonesia
pada umumnya. Bagi sebagian rekan kerja saya, mungkin keputusan ini keliru dan ironis
mengingat bahwa secara simultan saya memperoleh promosi jabatan. Disisi lain, dewasa ini
tingkat pengangguran nasional juga cukup tinggi.
Meskipun begitu, saya berkeyakinan bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuk
saya. Juga, sebagai generasi penerus tonggak percepatan pembangunan bangsa, saya
menyadari bahwa rencana dan target yang telah saya rumuskan jauh lebih besar dari
pencapaian atau prestasi yang pernah kami torehkan di Perusahaan. Rencana dan target saya,
berbanding lurus dengan apa yang ditanamkan Guru Agama yang juga Ibu saya bahwa sukses
dan sebaik-baik manusia adalah bermanfaat bagi sesama. Untuk itu, dalam menunjang dan
mempercepat target dan rencana diatas, saya memilih melanjutkan pendidikan di jenjang
strata dua (S2) di Universitas Indonesia di bidang kebijakan publik. Alasannya, dengan
menempuh pendidikan dan mendalami kajian kebijakan publik, saya dapat berkontribusi
secara praksis maupun teoritis baik dalam lingkungan akademis maupun di lingkungan
instansi pemerintah baik di tingkat nasional maupun di daerah asal saya di timur Indonesia.
Dinyatakan lulus pada program magister Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Indonesia pada 2017, menjadi langkah awal saya menapaki jenjang akademik dan praksis
yang akan berimplikasi terhadap pencapaian rencana dan target saya diatas jika merujuk
bahwa Universitas Indonesia merupakan salah satu kampus terbaik nasional. Selain dari
kualitas pendidikan yang terjamin, atmosfir akademik yang komprehensif, jaringan riset yang
luas, serta fasilitas akademik yang memadai, dan kesempatan bertukar pikiran dengan tokoh
nasional dan birokrat berpengalaman tentunya akan memperkaya pandangan dan perspektif
teoritis dan praksis. Dengan demikian lengkaplah kajian keilmuan yang dilengkapi dengan
skill dan pengalaman aplikatif yang akan saya dapatkan di tahun-tahun mendatang.
Belum genap satu semester menempuh pendidikan di Fakultas Administrasi
Kekhususan Kebijakan Publik Universitas Indonesia, saya mendapatkan kesempatan magang
(student internship) di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) Komisi X
yang membidangi pendidikan, olahraga, dan sejarah. Ada banyak pengalaman dan
pengetahuan yang saya peroleh selama tergabung dalam alat kelengkapan DPR RI ini.
Dimulai dengan terlibat langsung dalam proses pengumpulan data untuk menunjang
pembuatan naskah akademik serta menjadi bagian dalam prosesi perumusan rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009
tentang Perfilman. Dengan demikian, kami dapat memberikan informasi dan sosialisasi
terkait urgensi perfilman nasional sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa.
Sebagaimana kita tahu bahwa film adalah aset diplomasi yang memiliki nilai seni dan
kreatifitas serta berperan dalam proses pembentukan citra sebuah bangsa. Film mampu
memvisualisasikan dan merepresentasikan karakter dan identitas masyarakat dan negara.
Film mengandung unsur soft power. Untuk itu film dapat dimanfaatkan sebagai aset penting
diplomasi.
Selain melakukan tugas pembantuan terkait perumusan RUU Nomor 33 tahun 2009,
saya juga diikutkan oleh anggota fraksi untuk memberikan data dan tinjauan kritis terkait
kondisi objektif pendidikan di salah satu lokus konstituen anggota fraksi di Jawa Timur.
Sejauh mana keluaran (output) dan dampak (impact) kebijakan dan Program Indonesia Pintar
mampu mempengaruhi tingkat aksesibilitas pendidikan masyarakat di Jawa Timur. Ada tiga
kondisi objektif permasalahan yang kami suarakan kepada anggota fraksi saat itu sebagai
bahan pertimbangan dalam proses monitoring dan evaluasi program tersebut. Pertama, data
penerima perogram masih menggunakan data 2011 sehingga kurang tepat sasaran dan
pernyataan yang berbeda dari penyelenggara kebijakan yang membuat Pro-Kontra di
kalangan masyarakat serta menimbulkan kebingungan. Kenyataan di lapangan, banyak kartu
yang salah sasaran. Diantara penerima KIP ada yang sudah lulus sekolah, jenjang pendidikan
yang sudah berbeda, bahkan telah menikah. Sehingga berpengaruh penundaan distribusi KIP
yang mengakibatkan penumpukan KIP di kelurahan atau kecamatan disebabkan penerimanya
tidak jelas. Kedua, Pemerintah dalam pendistribusian KIP Program Indonesia Pintar ini
melibatkan pihak swasta seperti PT (Persereon Terbatas), jelas ini menimbulkan
permasalahan dalam pemanfaatan KIP karena pihak PT atau swasta tidak akan paham secara
keseluruhan siapa siapa saja yang berhak atau tidak berhak menerima, sehingga pada
akhirnya kebanyakan penerima KIP kurang tepat sasaran. Ketiga, sosialisasi yang
pelaksanaannya tidak berorientasi pada kepahaman dan kebermanfaatan langsung terhadap
masyarakat karena dalam pelaksanaan penyaluran KIP mengarah pada konflik kepentingan
oleh partai politik sehingga hal ini menambah dinamika dan persoalan tersendiri terhadap
efektifitas program ini.
Setelah menyelesaikan periode student internship di DPR RI, saya kembali
mengabdikan diri untuk bergabung di lembaga non struktural negara Republik Indonesia,
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada Unit Eselon II Bidang Kajian dan
Pengembangan Sistem sebagai student internship. Di unit ini, saya dipercaya membantu
Asisten Komisioner merumuskan Kerangka Acuan Kerja Pengkajian dan Penyiapan Draft
Pedoman Pengawasan KASN Terhadap Netralitas Aparatur Sipil Negara Tahun Anggaran
2018. Urgensi penyiapan dan penyusunan draft pedoman pengawasan netralitas ASN ini
menjadi penting, karena berdasarkan laporan dan data dari KASN menunjukan sejak
November 2017 sampai dengan Januari 2018 ada 24 tembusan surat KASN ke Kementerian
Dalam Negeri tentang rekomendasi pelanggaran kode etik/perilaku ASN di lingkungan
instansi Pemerintah Daerah.
Selain itu, saya berkontribusi terhadap penyusunan proposal kajian netralitas yang
berorientasi pada tersusunnya suatu laporan yang berisi tentang kajian dan rekomendasi
kebijakan yang menjadi acuan dan pedoman Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam
pengawasan netralitas pegawai ASN. Secara garis besar, saya memformulasi deskripsi dan
kriteria netralitas ASN menjadi empat kategori. Pertama, netralitas pegawai ASN terhadap
politik yaitu kecenderungan Pegawai ASN menjalin kontak dan pertemuan rahasia dengan
orientasi kepentingan peningkatan karir masih kerap terjadi di lingkungan instansi pemerintah
baik pusat maupun daerah. Lebih lanjut, menjelang PILKADA, PILEG, dan PILPRES
berlangsung, Calon Pejabat Politik yang terhitung masih aktif menjabat sebagai kepala daerah
seringkali memberikan instruksi tidak mengikat kepada tenaga honorer dari tingkat kelurahan
sampai provinsi untuk terlibat dalam sosialisasi dan deklarasi salah satu kandidat paslon.
Kedua, netralitas pengambilan kebijakan/keputusan. Kecederungan pengambilan
kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dan provinsi seringkali mengarah pada
penyalahgunaan kekuasaan dan berorientasi terhadap kepentingan ras, golongan, agama, dan
kelompok. Ketiga, netralitas pelayanan publik. Ada beberapa kecenderungan terkait
profesionalisme Pegawai ASN dalam memberikan pelayanan publik. Diantaranya,
kerawananan pegawai ASN terlibat politik praktis dalam memberikan pelayanan publik dan
menjadikan pelayanan publik salah satu cara untuk melakukan kampanye terselubung serta
memberikan pelayanan tidak sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku seperti meminta
atau menerima pungutan diluar biaya resmi yang berlaku. Keempat, netralitas terhadap
manajemen ASN. Dalam lingkup instansi pemerintah pusat dan daerah, masih terdapat
pengangkatan, promosi, dan mutasi jabatan yang tidak sesuai dengan kualifikasi,
kemampuan, dan keterampilan pegawai ASN.
Meskipun aktif sebagai student internship di dua lembaga negara diatas, tentunya
tidak menjadikan saya sebagai Mahasiswa yang melupakan tanggung jawab memberikan
kontribusi di bidang penelitian dan riset yang berkorelasi dengan keilmuan saya. Pada 22
Maret 2018, riset yang telah saya lakukan dengan tiga rekan Mahasiswa Fakultas Ilmu
Administrasi Negara mendapatkan apresiasi dari asosiasi profesi internasional “Asian
Association for Public Administration”. Riset yang kami lakukan diterbitkan di jurnal yang
terindeks internasional. Judul riset kami adalah Does Leadership Background Matter in
Performance of Local Government?. Selain itu, saya dipercaya menjadi panelis untuk
memaparkan hasil riset dan rekomendasi yang kami rumuskan untuk perbaikan kinerja
pemerintahan khususnya di lingkungan instansi pemerintahan daerah di Indonesia. Adapun
rekomendasi yang kami berikan untuk pemerintah berupa reformasi proses kaderisasi partai
politik sebagai upaya menghasilkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas jika nantinya
terpilih menjadi pejabat publik melalui kontestasi elektoral. Juga, mendorong akademisi dan
profesional untuk “going politics” dalam konteks pemerintahan. Sehingga proses formulasi
kebijakan akan berkualitas, efektif, efisien, serta berlandaskan “evidence based policy”.
Pada kesimpulannya, menurut pemahaman saya, generasi unggul tidak hanya
berprestasi dan mumpuni di bidang keilmuan dan pengalaman praksis semata, tapi juga harus
memiliki karakter yang kuat untuk terus memberi inspirasi dan bermanfaat kepada
masyarakat di manapun mereka berada, baik dalam lokus lokal, nasional, bahkan
internasional. Sampai saat ini, saya terus berupaya dapat memberikan kontribusi dan
pengabdian kepada masyarakat baik dalam konteks keilmuan dan keagamaan. Dalam
beberapa momentum keagamaan, saya senantiasa menyisipkan pesan moral dalam khutbah
Juma’at maupun hari raya idul fitri agar menjadi “trigger” kepada mayarakat untuk terus
belajar dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan global yang semakin dinamis dengan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga, generasi unggul semestinya menjadi
“entry point” dalam menyebarkan semangat persatuan dan persaudaraan dalam kondisi
keberagaman Bangsa ini. Oleh karenanya, menjadi generasi unggul adalah proses yang terus
berkutat dan panjang, sebelum proses itu berhenti, terus bermanfaat dan mengabdi kepada
Bangsa, Negara, dan Agama untuk Indonesia yang lebih maju dan bermartabat di masa
depan.

Anda mungkin juga menyukai