Anda di halaman 1dari 16

KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI BAGI PEREMPUAN PENYANDANG DISABILITAS DALAM

RANGKA PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL


“REPRODUCTION HEALTH SERVICE POLICY FOR DISABLED FEMALES TO PREVENT SEXUAL ABUSE”

DOSEN : HJ.NURHASANAH,S.ST.,M.Keb

KELOMPOK 4 :
 DEVHI NABILA JULIANTI

 EVARUNDANA

 FIDIA WIRYA SAFITRI

 IFA MUSTIKA

 MARNA SARINA

 NURUL AISA ADRIATI

 YULIANA THOMAS
KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI BAGI PEREMPUAN PENYANDANG
DISABILITAS DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL
“REPRODUCTION HEALTH SERVICE POLICY FOR DISABLED FEMALES TO PREVENT SEXUAL ABUSE “

 Permasalahan seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas (different ability), atau
difabel, hingga saat ini masih menyisakan berbagai perdebatan terutama apabila dikaitkan dengan kebijakan
negara dalam merespon isu ini. Di satu sisi, meskipun negara telah meratifikasi konvensi mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas melalui UU No.19 tahun 2011, namun implementasi dari regulasi ini masih jauh dari
efektif.
 Bidang kesehatan semakin sulit didapat terutama bagi kelompok perempuan penyandang disabilitas. Tentu saja
permasalahan menjadi semakin kompleks, mengingat perempuan yang disabilitas mengalami stigmatisasi ganda,
yaitu sebagai perempuan, dan juga sebagai disabilitas, sehingga kelompok ini perlu untuk mendapat perhatian
khusus karena sangat rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terutama berkaitan dengan
seksualitas dan kesehatan reproduksi
Bagi perempuan yang hidup dengan disabilitas, bentuk diskriminasi dan kekerasan yang mereka alami menjadi
berlapis. Artinya diskriminasi dan kekerasan yang mereka alami tidak hanya karena mereka adalah penyandang
disabilitas, tapi juga karena identitas mereka sebagai perempuan, yang sebagian besar dari mereka hidup dengan
kemiskinan.
Kemiskinan dan difabilitas merupakan dua hal yang saling terkait bagaikan sebuah siklus. Kemiskinan membuat
orang miskin beresiko mengalami difabilitas karena kekurangan nutrisi, tidak adanya layanan kesehatan yang
memadai, minimnya akses dan informasi terkait dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi.
MEMBANGUN KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI BAGI PEREMPUAN
PENYANDANG DISABILITAS DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL

Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Departemen Sosial yang menyangkut penyandang


cacat seluruhnya dibuat oleh para individu di luar penyandang cacat dan orang-orang yang
tidak punya pengalaman sebagai penyandang cacat, sehingga tidak heran jika banyak
kebijakan pemerintah yang menyangkut persoalan penyandang cacat menjadi biasa.
Di satu sisi kebijakan pemerintah untuk mendirikan pusat rehabilitasi bagi penyandang
cacat memiliki tujuan positif untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya
manusia penyandang cacat. Namun di sisi lain, pusat rehabilitasi menjadi institusi yang
menguatkan stigma dan sekaligus menjadi belenggu bagi pembauran para penyandang
cacat dengan kehidupan masyarakat secara umum.
 Ada beberapa hal yang menjadi dasar model kebijakan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan
penyandang disabilitas tersebut dalam rangka pencegahan kekerasan seksual adalah:
 1) Perlu adanya koordinasi, komunikasi dan bersinergi antar instansi pemerintah di bawah naungan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Kesejahteraan Sosial, Menteri Sosial, Menteri
Pekerjaan Umum, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Menteri Kesehatan, Menteri Perhubungan,
Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Agama serta Menteri Pendidikan
Nasional, dalam melihat kebutuhan perempuan penyandang disabiltas terutama bagi mereka yang mengalami
kekerasan seksual
 2) Program yang harus disediakan bagi instansi pemerintah di bawah naungan Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, Menteri Kesejahteraan Sosial, Menteri Sosial, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri
Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Menteri Kesehatan, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Riset dan
Teknologi, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Agama serta Menteri Pendidikan Nasional haruslah melakukan
mitra kerja dengan stakeholder (PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan) untuk
mengimplementasikan model kebijakan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas
tersebut,
 3) Kemitraan sangat efektif dalam mewujudkan model kebijakan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan
penyandang disabilitas melalui PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan melalui
keterlibatan mendalam dengan semua pemangku kepentingan baik dinas pemerintahan dengan PT, LSM,
organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan,
 4) Mitra kerja dengan stakeholder (PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan) dalam
mengimplementasikan model kebijakan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas
bagi instansi pemerintah orientasinya pada proses, bukan pada target.
 5) Program yang tersedia dalam pencegahan kekerasan seksual bagi perempuan penyandang disabilitas meliputi
layanan cegah kekerasan, layanan pendampingan dan layanan rehabilitasi dan reintegrasi.
 6) Dalam mewujudkan model kebijakan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas
tersebut dalam rangka pencegahan kekerasan seksual, leading sector nya dari program tersebut adalah P2TP2A.
P2TP2A lebih memperkuat koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI BAGI PEREMPUAN PENYANDANG DISABILITAS
DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN PENDEKATAN SOCIAL MODEL
AKAN BERHASIL APABILA ADA EMPAT NILAI YANG HARUS DIPENUHI ANTARA LAIN (MASDUQI
2009):

 Pertama adalah nilai pluralisme (keberagaman) yang berpandangan bahwa dalam masyarakat, keberagaman
merupakan fakta sosial.
 Kedua adalah equity (kesetaraan), sebuah nilai yang menganut prinsip bahwa setiap individu memiliki kesetaraan
hak dan posisi yang setara dalam masyarakat.
 Ketiga adalah dignity (martabat) yaitu sebuah nilai yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan
seorang individu.
 Keempat adalah active participotion (partisipasi aktif) dari setiap anggota masyarakat di dalam menjalankan
aktifitas sosial.
JURNAL KEBIDANAN
ANALYSIS FACTORS THE FULFILLMENT OF HEALTH RIGHTS IN CHILDREN WITH DISABILITY
“FAKTOR ANALISIS PEMENUHAN HAK KESEHATAN PADA ANAK PENYANDANG DISABILITAS”
PENDAHULUAN

 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Disabilitas menjelaskan Pada pasal 4
disebutkan ragam penyandang disabilitas meliputi : Disabilitas fisik, intelektual, mental dan atau sensorik.
 Sedangkan pada pasal 5 bagian kesatu disebutkan penyandang Disabilitas memiliki hak: hidup, bebas dari stigma,
privasi, keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi, kesehatan, politik
dan keagamaan
 Disabilitas (orang berkebutuhan khusus) adalah orang yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki
perbedaan dengan orang pada umumnya.
 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), diartikan sebagai individu-individu yang mempunyai karakteristik yang
berbeda dari individu lainnya yang dipandang normal oleh masyarakat pada umumnya. Secara lebih khusus anak
berkebutuhan khusus menunjukkan karakteristik fisik, intelektual, dan emosional yang lebih rendah atau lebih
tinggi dari anak normal sebayanya atau berada di luar standar normal yang berlaku di masyarakat.
 Berdasarkan data 2012 penyandang disabilitas terbanyak adalah penyandang yang mengalami lebih dari satu jenis
keterbatasan yaitu sebesar 39,97%. Jawa Tengah penyandang disabilitas sebesar 3,19%. Data dari Yayasan
Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Semarang terdapat sejumlah 215 anak yang menyandang disabilitas
 Penyandang Disabilitas mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, hal ini juga di sebut
dalam Undang-undang RI No 8 Tahun 2016 Bagian kedelapan pasal 12 menyebutkan tentang hak kesehatan bagi
penyandang Disabilitas Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh peneliti mendapatkan hasil yaitu di Yayasan
Pendidikan Anak Cacat Kota Semarang telah menyediakan fasilitas pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai dengan
menengah atas.
 Hubungan antara usia ibu saat hamil dengan terpenuhinya hak kesehatan pada anak dengan disabilitas

Umur ibu
saat hamil Hak Kesehatan pada anak disabilitas
Terpenuhi Tidak
Terpenuhi P value
Berisiko(<20 tahun, >35 tahun) 7 2 0,008
Tidak Berisiko
(20-35 tahun) 11 26

Dari tabel 1 dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara umur ibu saat hamil dengan terpenuhinya hak
kesehatan pada anak dengan disabilitas dengan p value 0,008 (<0,05). Semakin cukup umur tingkat
kematangan dan kekuatan seseorangakan lebih matang dalam berpikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat
yang lebih dewasa akan lebih percaya dari pada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya.
 Hubungan antara pekerjaan ibu dengan terpenuhinya hak kesehatan pada anak dengan disabilitas

Pekerjaan Hak Kesehatan pada anak


Ibu disabilitas

Terpenuhi Tidak P value

Terpenuhi

Ibu Rumah 1 14 0,002


Tangga
Dari tabel 2 dapat
Karyawan 17 diambil
14 kesimpulan bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan hak kesehatan pada
Swasta
anak dengan disabilitas. Disabilitas dalam keluarga seringkali dikaitkan dengan biaya hidup yang semakin
tinggi dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan, dan dengan demikian dapat meningkat
risiko menjadi miskin atau tetap miskin
 Analisis faktor yang mempengaruhi terpenuhinya hak kesehatan anak dengan disabilitas secara multivariate.

Analisis Multivariat
Variabel P Exp(B) CI

value

Umur Ibu saat 0,053 0,153 0,022-1.027


hamil

Pekerjaan Ibu 0,018 14,593 1,596-133,4

33

Terpenuhinya hak kesehatan pada anak dengan disabilitas diharapkan dapat membentuk Karakter mandiri pada
peserta didik disabilitas. Ekmandirian kecerdasan adalah terbentuknya kepribadian dari mereka dengan perilaku-
perilaku yang mampu melakukan dan mengatasi masalah kehidupan sehari-hari dalam lingkungan
sekolah,keluarga,dan mashyarakat
JURNAL
ASESMEN TINGKAT KEPUASAN DAN PERSEPSI ASUHAN ANTENATAL PADA
IBU – IBU TUNANETRA DI KOTA PADANG (STUDI KASUS)

Dari penelitian yang dilakukan Homeyard (2016) didapatkan hasil bahwa Perempuan dengan disabilitas sangat jarang
mengunjungi fasilitas kesehatan. Hal ini pun terjadi ketika hamil. Perempuan dengan disabilitas juga sangat jarang
melakukan kunjungan antenatal. Hal ini mengakibatkan buruknya kesejahteraan ibu dan bayi serta outcome
kehamilan jika dibandingkan dengan populasi pada umumnya, termasuk lebih sering mengalami prematur dan bayi
dengan berat lahir rendah.
Masalah dalam berkomunikasi ketika memberikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan menjadikan pelayanan
antenatal tidak berkualitas. (Malouf, Henderson, & Redshaw, 2017)
BIDAN SEBAGAI SALAH SATU PROFESSIONAL KESEHATAN YANG SANGAT DEKAT DENGAN PEREMPUAN,
SEHARUSNYA MAMPU MENJAWAB TANTANGAN – TANTANGAN DIATAS. BIDAN DALAM KONTEKS SOSIAL HARUS
MEMPUNYAI KECAKAPAN DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN PADA KELOMPOK PEREMPUAN YANG
TERMARGINALISASI SEPERTI IBU – IBU MUDA, PEREMPUAN DISABILITAS, KELOMPOK LESBIAN, DAN PEKERJA
SEKS KOMERSIL. BIDAN HARUS MEMPUNYAI KEMAMPUAN KOMUNIKASI YANG BAIK SEHINGGA DAPAT
MEMBANGUN KEPERCAYAAN DAN HUBUNGAN BAIK DENGAN KLIEN. (DIANE M. FRASER; MARGARETH A.
COOPER, 2009)

Dari tahun ke tahun, jumlah perempuan disabilitas yang menjadi ibu terus meningkat,
akan tetapi studi tentang akses dan pengalaman mereka selama kehamilan, persalinan, dan masa nifas sangat jarang
dilakukan. (Malouf et al., 2017). Hal yang sama terjadi juga di Indonesia. Terbukti dengan belum adanya artikel
publikasi yang membahas masalah akses pelayanan antenatal bagi perempuan disabilitas khususnya tunanetra di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai