OLEH
OKTIKA RATNA PURNAMASARI
21.10.15201.011
A. Latar Belakang
Menurut WHO dalam Astuti (2017), dimensi pertama dari continuity of care
yaitu dimulai saat kehamilan, pra kehamilan, selama kehamilan, persalinan, serta
hari-hari awal dan tahun kehidupan. Dimensi kedua dari Continuity of care yaitu
tempat pelayanan yang menghubungkan berbagai tingkat pelayanan mulai dari
rumah, masyarakat, dan sarana kesehatan. Dengan demikian bidan dapat
memberikan asuhan secara berkesinambungan.
Continuity of care merupakan hal yang mendasar dalam model praktik
kebidanan untuk memberikan asuhan yang holistik, membangun kemitraan yang
berkelanjutan untuk memberikan dukungan, dan membina hubungan saling percaya
antara bidan dengan klien (Astuti, dkk, 2017).
Menurut Reproductive, Maternal, Newborn, And Child Health (RMNCH).
“Continuity Of Care” meliputi pelayanan terpadu bagi ibu dan anak dari
prakehamilan hingga persalinan, periode postnatal dan masa kanak-kanak. Asuhan
disediakan oleh keluarga dan masyarakat melalui layanan rawat jalan, klinik, dan
fasilitas kesehatan lainnya (Astuti, dkk, 2017).
Menurut World Health Organization (WHO) di dunia pada tahun 2016 Angka
Kematian Ibu (AKI) sebesar 527.000 jiwa. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB)
di dunia sebesar 10.000.000 jiwa (WHO,2016). Di Indonesia pada bulan Januari
sampai September 2016 Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 401 per 100.000 jiwa.
berdasarkan hasil Sementara Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2016
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia mencapai 26 per 1000 kelahiran hidup.
Pada tahun 2 2015, AKI Provinsi Jawa Timur mencapai 89,6 per 100.000 kelahiran
hidup. Sedangkan AKB di Jawa Timur pada tahun 2015 sebanyak 25,3 per 1.000 KH.
(Profil Kesehatan Provinsi Jatim, 2015). Asuhan kebidanan secara continuity of care
(COC) pada ibu dengan kebutuhan khusus membutuhkan penaganang dan perhatian
dari pemerintah dan tenaga kesehatan yang lebih karena ibu dengan kebutuhan
khusus berpotensi terjadi komplikasi yang lebih besar. Oleh itu karena petugas
kesehatan berperan sangat penting dalam hal ini.
B. Manfaat Continue Of Care
Continuity of care dapat diberikan melalui tim bidan yang berbagi beban
kasus, yang bertujuan untuk memastikan bahwa ibu menerima semua asuhannya dari
satu bidan atau tim praktiknya. bidan dapat bekerja sama secara multi disiplin dalam
melakukan konsultasi dan rujukan dengan tenaga kesehatan lainnya (Astuti, dkk,
2017).
C. Dampak tidak dilakukan asuhan berkesinambungan
Dampak yang akan timbul jika tidak dilakukan asuhan kebidanan yang
berkesinambungan adalah dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi pada ibu
yang tidak ditangani sehingga menyebabkan penanganan yang terlambat terhadap
komplikasi dan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Komplikasi yang
dapat timbul pada kehamilan diantaranya meliputi anemia, hipertensi, perdarahan,
aborsi, oedema apda wajah dan kaki, dan lain-lain. Komplikasi yang mungkin timbul
pada persalinan meliputi distosia, inersia uteri, presentasi bukan belakang kepala,
prolap tali pusat, ketuban pecah dini (KPD), dan lain-lain. Komplikasi yang mungkin
timbul pada masa nifas meliputi, bendungan ASI, dan lain-lain. Komplikasi yang
mungkin timbul pada bayi baru lahir meliputi berat badan lahir rendah (BBLR),
asfiksia, kelainan kongenital, tetanus neonatorum, dan lain-lain (Saifuddin, 2014).
D. Perempuan Berkebutuhan Khusus
Perempuan berkebutuhan khusus adalah perempuan yang rentan menjadi
korban perkosaan, pelecehan seksual, dan tindak kriminal lainnya. Hal ini karena
perempuan berkebutuhan khusus mengalami kesulitan bertubi-tubi. Pertama, ia
adalah perempuan yang posisinya selalu subordinat dalam masyarakat patriakat. Ia
akan selalu kalah, meskipun ia dalam posisi benar. Kedua, ia berkebutuhan khusus,
sehingga dianggap tidak mampu bersaksi di depan pengadilan. Selanjutnya, peristiwa
pelecehan pada anak perempuan berkebutuhan khusus ini dianggap sebagai kasus
saja sehingga jumlahnya tidak banyak. Oleh karena itu para pemimpin masyarakat
tidak mempedulikannya. Keempat, lingkungan keluarganya juga tidak
mendukungnya, karena perempuan harus segera menikah. Faktor keempat ini adalah
faktor budaya. Faktor-faktor ini cenderung mendorong perempuan untuk segera
menikah, sehingga bebaslah tanggung jawab orangtua, pemimpin masyarakat, dan
masyarakat secara keseluruhan.
Peminggiran Perempuan Salah satu kasus yang kerap terjadi dalam kehidupan
masyarakat adalah adanya diskriminasi. Perempuan merupakan salah satu kelompok
dalam masyarakat yang selama ini paling sering dipinggirkan secara disengaja,
apalagi untuk perempuan berkebutuhan khusus. Peranan perempuan dianggap
rendah, terutama di ruang-ruang publik (Setiani, 2011).
Ini adalah praktek yang lazim dilakukan terutama pada masyarakat patriakat.
Perempuan adalah sosok yang dikenal sebagai makhluk Tuhan dengan perasaan
lembutnya. Umpatan dengan porsi sekecil apapun, perempuan akan merasa
tersinggung bahkan air mata secara tidak sadar tumpah dengan sendirinya. Hal ini
cukup membenarkan bahwa perasaan perempuan sedemikian lembutnya meskipun
sering dibungkus dengan sikap keras kepala. Tentu saja perempuan juga ingin
keberadaannya diakui dan dihargai selayaknya kaum laki-laki yang dikenal superior
(Defikaaufa, 2015).
Sejarah menunjukkan keberanian pejuang pertama kaum perempuan yaitu
Raden Ajeng Kartini, dalam mengejar pendidikan disaat masyarakat Indonesia
dilarang mengenyam pendidikan. Pada masa Kartini yang sarat akan adat-istiadat
Jawa dengan kentalnya sistem patriarki, menjadikan sosok perempuan layaknya babu
/ budak yang tidak diijinkan mempunyai suara/pendapat. Perempuan harus siap
menikah di usia muda, dimulai dari usia 12 tahun dengan laki-laki yang sama sekali
tidak dikenalnya dan harus siap untuk dimadu. Perempuan juga dilarang mengeyam
bangku pendidikan (Afriyani, 2014).
Melihat kedudukan perempuan pada jaman penjajahan Belanda, peminggiran
perempuan terlihat jelas. Perempuan disepelekan dan tidak berdaya. Kartini – sebagai
pahlawan emansipasi perempuan Indonesia – juga merasakan ketidakadilan ini.
Meskipun ia mempunyai status sosial tinggi (anak Bupati Jepara), namun ia sering
merasa tidak berdaya menghadapi kekuasaan patriakat (Afriyani, 2014).
Perempuan yang normal saja mengalami penistaan dan ketidakadilan, apalagi
perempuan berkebutuhan khusus. Perempuan berkebutuhan khusus sering tidak
mendapatkan perhatian sama sekali, karena jumlahnya yang memang sedikit dan
dianggap tidak mempunyai masa depan cerah. Pernikahan anak perempuan sering
dianggap sebagai ‘karya terakhir orangtua’. Bila anak perempuan belum menikah,
maka ia hanya menjadi beban keluarga saja. Oleh karena itu anak perempuan (normal
atau berkebutuhan khusus) harus segera dinikahkan, agar orangtua menjadi lebih
ringan bebannya.
Perkawinan usia dini menjadi praktek yang sering terjadi dalam budaya
patriakat. Bahkan anak perempuan berkebutuhan khusus sering diperlakukan kasar
yaitu ‘diumpankan’ oleh keluarganya, agar ada anak laki-laki yang mau
menyuntingnya. Bila laki-laki tidak bisa menikahinya secara resmi, maka cukuplah
pernikahan siri. Dalam proses ‘mengumpankan’ itulah, perempuan berkebutuhan
khusus mengalami nasib yang mengenaskan. Diperkosa berkali-kali adalah hal biasa.
Hal ini dianggap tidak berbahaya bagi laki-laki pelaku pemerkosaan, karena
perempuan berkebutuhan khusus tidak mungkin menjadi saksi di pengadilan. Ia tidak
ada yang membelanya, termasuk keluarganya. Peminggiran perempuan semakin
menuju masalah yang mengkerucut saat tokoh masyarakat yang memiliki peranan
penting tidak berjalan sesuai posisinya. Misalnya yang paling terdekat adalah Ketua
RT atau RW. Seharusnya, ketua RT maupun RW dapat memberikan pengarahan pada
masyarakat terhadap peristiwa pelecehan seksual pada perempuan berkebutuhan
khusus itu. Hal ini karena pemimpin masyarakat memang sangat dihargai di Madura.
Para pemimpin masyarakat itu, misalnya, dapat menyadarkan orangtua untuk lebih
memperhatikan anak perempuannya. Mereka juga dapat mendampingi keluarga di
depan pengadilan, atau mengantarkan perempuan berkebutuhan khusus tersebut pada
LBH (Lembaga Bantuan Hukum) untuk dapat dimintakan pendampingan hukum.
Continuity Of Care berorientasi untuk meningkatkan kesinambungan pelayanan
dalam suatu periode
Adapun asuhan yang diberikan yaitu:
1. Dukungan emosional dalam bentuk dorongan, pujian, kepastian
2. Mendengarkan keluhan perempuan
3. Melibatkan perempuan dalam ASuhan