Anda di halaman 1dari 27

MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Kesehatan Reproduksi

Dosen Pengampu : dr. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid)

Disusun Oleh:
Rike Dianita (6411416001)
Riski Margareta (6411416004)
Faiqotunnuriyah (6411416005)
Akhsanu `Amala (6411416011)

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

A. Pengertian Kesehatan Reproduksi Remaja


Menurut FIGO (Federation International de Gynecology et d’Obstertrique)
batasan kesehatan reproduksi adalah kemampuan untuk bereproduksi, mengatur
reproduksi dan untuk menikmati hasil reproduksinya. Batasan tersebut harus diikuti
dengan keberhasilan untuk mempertahankan hasil reproduksi dan tumbuh kembangnya.
Kesehatan reproduksi merupakan suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang
berkaitan dengan sistim reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.
Kesehatan Reproduksi menurut Depkes (2015) adalah keadaan sehat secara fisik,
mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang
berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Ruang lingkup pelayanan
kesehatan repoduksi menurut International Conference Population and Development
(ICPD) tahun 1994 di Kairo terdiri dari kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana,
pencegahan dan penanganan infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, kesehatan
reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi, pencegahan dan
penanganan infertilitas, kesehatan reproduksi usia lanjut, deteksi dini kanker saluran
reproduksi serta kesehatan reproduksi lainnya seperti kekerasan seksual, sunat perempuan
dan sebagainya.
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem,
fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak
semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara
mental serta sosial kultural (Adjie, 2013).
B. Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja
a) Kehamilan Tidak Diinginkan (Unwanted pregnancy)
Kehamilan tidak diinginkan merupakan terminologi yang biasa dipakai untuk
memberi istilah adanya kehamilan yang tidak dikehendaki oleh wanita yang
bersangkutan (HappyAmalia & Azinar, 2017). Kehamilan yang tidak dikehendaki
(Unwanted pregnancy) merupakan salah satu akibat dari kurangnya pengetahuan
remajamengenai perilaku seksual remaja. Kehamilan tidak diinginkan pada remaja
merupakan salah satu dampak dari perilaku seks bebas. Hasil survei Badan Pusat
Statistik tahun 2012 mengungkapkan, angka kehamilan remaja pada usia 15-19 tahun
mencapai 48 dari 1.000 kehamilan (BKKBN, 2014). Australian National University
(ANU) bersama Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) tahun
2010/2011 juga melakukan penelitian terhadap 3.006 remaja dalam penelitian di
Jakarta, Tangerang dan Bekasi didapatkan hasil sebesar 20,9 persen remaja usia
17-24 tahun hamil sebelum menikah dan 38,7 persen remaja mengalami
kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah (Poskotanews, 2012).
Kasus kehamilan tidak diinginkan di Kota Yogyakarta juga cukup tinggi.
Sepanjang tahun 2013 terdapat 325 kasus kehamilan tidak diinginkan
(TribunJogja, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian Ismarwati & Utami (2017), bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi KTD (kehamilan tidak diinginkan) pada Remaja adalah:
1) Rendahnya Pengetahuan pengetahuan kesehatan reproduksi mendorong terjadinya
KTD;
2) sikap permisif dalam pergaulan sehingga mendorong terjadinya KTD:
3) mudahnya akses media pornografi mendorong remaja untuk mencoba dan meniru yang
pada akhirnya terjadi KTD;
4) pengaruh teman dekat dalam pergaulan mendukung terjadinya seks bebas;
5) pola asuh orang tua Permissive-indifferent cenderung membiarkan remaja dalam
pergaulan sehingga remaja mudah terpengaruh dalam pergaulan bebas.
Faktor lain penyebab semakin banyaknya terjadi kasus kehamilan yang tidak
dikehendaki (unwanted pregnancy) yaitu anggapan-anggapan remaja yang keliru seperti
kehamilan tidak akan terjadi apabila melakukan hubungan seks baru pertama kali, atau
pada hubungan seks yang jarang dilakukan, atau hubungan seks dilakukan oleh
perempuan masih muda usianya, atau bila hubungan seks dilakukan sebelum atau sesudah
menstruasi, atau hubungan seks dilakukan dengan menggunakan teknik coitus interuptus
(senggama terputus).
Kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy) membawa remaja pada
dua pilihan yaitu melanjutkan kehamilan kemudian melahirkan dalam usia remaja (early
childbearing) atau menggugurkan kandungan merupakan pilihan yang harus remaja itu
jalani. Banyak remaja putri yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted
pregnancy) terus melanjutkan kehamilannya.
Konsekuensi dari keputusan untuk melanjutkan kehamilan adalah melahirkan anak
yang dikandungnya dalam usia yang relatif muda. Hamil dan melahirkan dalam usia
remaja merupakan salah satu faktor resiko kehamilan yang tidak jarang membawa
kematian ibu. Kematian ibu yang hamil dan melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun
lebih besar 3-4 kali dari kematian ibu yang hamil dan melahirkan pada usia 20-35 tahun.
Dari sudut kesehatan obstetri, hamil pada usia remaja dapat mengakibatkan resiko
komplikasi pada ibu dan bayi antara lain yaitu terjadi perdarahan pada trimester pertama
dan ketiga, anemia, preeklamsia, eklamsia, abortus, partus prematurus, kematian
perinatal, berat bayi lahir rendah (BBLR) dan tindakan operatif obstetri.
Rendahnya tingkat pendidikan dan sosial ekonomi, lamanya menikah, dan
ketidakinginan pasangan terhadap kehamilan adalah faktor risiko dari kehamilan tidak
diinginkan (Nawati & Nurhayati, 2018). Wanita dengan kehamilan tidak diinginkan
berisiko tinggi terhadap perilaku tidak sehat, tidak merawat kehamilan dan memiliki
risiko tinggi terhadap aborsi (Shiadeh, et al, 2016).
Dampak kehamilan yang tidak diinginkan terhadap perawatan kehamilan pada
penelitian Ismarwati & Utami (2017) teridentifikasi 3 tema, yaitu:
1. Tema masalah psikososial dampak dari kehamilan tidak diinginkan
Masalah psikososial dalam keluarga yang tidak siap menerima kehamilan dan bayi
adalah faktor internal dari kehamilan tidak diinginkan. Tema ini timbul dari kategorik-
kategorik keluhan psikososial, masalah keluarga, masalah mengganggu, masalah
psikososial, psikosomatis.
Hasil penelitian kualitatif Widyoningsih (2011) menghasilkan tema stres yang
dirasakan keluarga. Dalam penelitian tersebut teridentifikasi adanya stres yang dirasakan
keluarga, meliputi stres fisik, stres finansial, stres psikologis dan stres sosial.
2. Tema penolakan terhadap kehamilan
Keluarga menolak terhadap kehamilan dan menganjurkan tindakan mengakhiri
kehamilan merupakan masalah dampak kehamilan yang tidak dinginkan terhadap
lingkungan atau keluarga. Tema ini timbul dari kategorik menolak kehamilan, keluarga
tidak menginginkan kehamilan , umur sudah tua, anak banyak, belum nikah,marah,
membenci.
Secara umum perasaan yang muncul dari remaja, orang tua, dan pasangan
terhadap kehamilan adalah perasaan tidak menyenangkan. Pandangan remaja terkait
kehamilannya adalah bahwa kehamilan terjadi dikarenakan pergaulan yang menuntun
remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Kehamilan remaja berdampak bagi
remaja itu sendiri dan anak yang dilahirkan. Dukungan pada saat kehamilan dan
perawatan anak datang dari orang tua dan teman. Status hubungan dengan pasangan
mempengaruhi perilaku perawatan kesehatan (Ratnaningrum, 2016).
3. Tema kurangnya perawatan kehamilan
Tema ini diperoleh dari kategorik tidak periksa kehamilan secara rutin, lupa
karena sering berganti tempat periksanya, malas, makan seadanya karena keluhan
psikosomatik, minum obat obatan , jamu untuk haid, dipijat, jamu pelancar haid, tidak
memakai khusus baju hamil.
Mengabaikan perawatan kehamilan dan pada awal kehamilan ada usaha untuk
mengakhirinya. Ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan berpeluang tidak
melakukan perawatan kehamilan 1,79 dibandingkan kehamilan diinginkan; berpeluang
sama terhadap perilaku tidak memberikan ASI eksklusif dan tidak memberikan imunisasi
dasar lengkap. Hasil analisis stratifikasi menunjukkan pengaruh status kehamilan tidak
diinginkan terhadap perilaku: perawatan kehamilan; pemberian ASI eksklusif dan
pemberian imunisasi dasar lengkap yang juga dipengaruhi oleh status ekonomi. Semakin
kaya cenderung melakukan perawatan (Dini, et al, 2016).
Sedangkan dampak kehamilan yang tidak diinginkan terhadap perawatan bayi
teridentifikasi 1 tema yaitu: butuh waktu untuk menerima bayi. Tema ini diperoleh dari
kategorik: tidak ada yang langsung menyusui, alasan tidak keluar ASI, bayi diberi susu
formula dan bubur, sejak bayi lahir langsung diberi makanan, menyayangi bayi, tidak ada
persiapan khusus, tidak mengetahui jenis immunisasi yang sudah diberikan, pertumbuhan
dan perkembangannya lebih lambat.
Kehamilan melahirkan di luar nikah dan kehamilan yang tidak diinginkan
dikaitkan dengan berbagai hasil yang merugikan untuk ibu dan anakanak mereka. Anak-
anak yang lahir di luar nikah lebih cenderung memburuk, termasuk prestasi sekolah,
perkembangan sosial dan emosional, kesehatan, dan kesuksesan mereka di pasar tenaga
kerja. Anak-anak ini juga berisiko lebih besar mengalami pelecehan dan penolakan dari
orang tua (terutama dari pasangan ibu mereka yang bukan ayah biologis mereka), dan
kecenderungan menjadi orang tua dini, tidak lulus dari sekolah menengah atau perguruan
tinggi (Waldfogel, Craigie, dan Brooks-Gunn, 2010). Anak-anak dari kehamilan yang
tidak diinginkan lebih cenderung memiliki kesehatan fisik atau mental yang buruk dan
lebih mungkin untuk terlibat perilaku nakal selama masa remaja, bahkan mengendalikan
karakteristik keluarga (Logan et al., 2007).
b) Aborsi
Aborsi (pengguguran) berbeda dengan keguguran. Aborsi atau pengguguran
kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan yang disengaja (abortus
provokatus). Abortus provocatus yaitu kehamilan yang diprovokasi dengan berbagai
macam cara sehingga terjadi pengguguran. Sedangkan keguguran adalah kehamilan
berhenti karena faktor-faktor alamiah (abortus spontaneus).
Aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma)
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Menurut istilah kesehatan, aborsi
didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah
dibuahi rahin (uterus), sebelum janin mencapai 20 minggu. Definisi lain menyebutkan
bahwa aborsi diartikan sebagai terjadinya keguguran janin, melakukan aborsi sebagai
melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang
dikandung) (Ayu & Kurniawati, 2017).
Berdasarkan penelitian WHO, sejak awal 2010 hingga kini, di Indonesia
diperkirakan ada sekitar 20-60% kasus aborsi yang disengaja (induced abortion).
Penelitian di 10 kota besar dan enam kabupaten di Indonesia juga memperkirakan sekitar
2 juta kasus aborsi, dengan 50% terjadi di perkotaan. Hasil penelitian di beberapa fasilitas
kesehatan seperti rumah sakit dan lembaga kesehatan lain, fenomena aborsi di Indonesia
perlu mendapat perhatian serius (Uddin, 2010). Ternyata sebanyak 21% remaja atau satu
di antara lima remaja di Indonesia pernah melakukan aborsi. Menurut Komnas
Perlindungan Anak (Komnas PA) dalam Forum Diskusi Anak Remaja pada tahun 2011,
disebutkan bahwa di 12 kotabesar di Indonesia, antara lain Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Makassar, Medan, Lampung, Palembang, Kepulauan Riau dan kota-kota di Sumatera
Barat hampir 93,7 % remaja pernah melakukan hubungan seks, 83% remaja pernah
menonton video porno, dan 21,2% remaja pernah melakukan aborsi.
Berkaitan dengan cara dan pelaku tindakan aborsi, ada beberapa cara yang biasa
dilakukan yang sesungguhnya mengandung resiko yang cukup tinggi bila dilakukan tidak
sesuai standar profesi medis (Wijayati, 2015). Berikut beberapa cara tindakan aborsi yang
dipraktekkan:
a. Tindakan sendiri;
biasanya dilakukan akibat Kehamilan Tak Dikehendaki (KTD) dengan melakukan
usaha-usaha yang dapat menggugurkan kandungan berdasarkan bacaan dan pengetahuan
yang didapatkannya. Biasanya teknik yang digunakan adalah dengan meminum obat-
obatan atau ramuan tertentu yang justru tidak diperbolehkan bagi ibu hamil, seperti air
tape ketan hitam, meica giling, jamu-jamu peluntur, aspirin campur sprite, dan lain-lain.
b. Menggunakan bantuan orang lain, seperti:
1. Dukun; pertolongan aborsi secara tradisional bisa sangat beragam. Cara yang paling
banyak dilakukan adalah dengan manipulasi fisik; yaitu dengan melakukan pijatan
pada rahim agar janin terlepas dengan efek rasa sakit yang luar biasa. Tindakan ini
biasanya dimodifikasi dengan ramuan atau dalam beberapa kasus dengan bantuan
magic.
2. Akupunktur; teknik akupunktur juga dapat meluruhkan menstruasi.
3. Tindakan bidan/dokter; pada umumnya bidan atau dokter melakukan pengguguran
kandungan dengan cara suntik ‘terlambat bulan’. Jika cara ini tidak berhasil, baru
digunakan kuretase atau penyedotan (suction). Pada usia 1-3 bulan, bagian tubuh
janin yang sudah terbentuk dihancurkan dengan tang khusus aborsi (cunan abortus).
Untuk usia kehamilan lebih lanjut, (3-6 bulan) pada saat janin sudah tumbuh
sempurna anggota fisiknya dengan syaraf yang sudah berfungsi, maka janin dibunuh
terlebih dahulu dalam rahim dengan cairan, untuk kemudian dikeluarkan.
Dalam perspektif medis, waktu yang relatif aman untuk melakukan pengakhiran
kehamilan adalah antara 6-10 minggu atau + 2,5 bulan sejak haidh terakhir. Berdasarkan
data Sudramaji Sumapraja, 97 % perempuan yang melakukan pengakhiran kehamilan
sebelum 12 minggu usia kehamilannya tidak melaporkan adanya komplikasi, 2,5 %
melaporkan adanya komplikasi ringan, dan kurang dari 0,5 % komplikasinya memerlukan
tindakan medis atau perawatan di rumah sakit.
Pada kasus aborsi dengan tindakan medis professional cenderung tidak
membutuhkan waktu perawatan yang lama. Namun, aborsi yang dilakukan tenaga medis
sekalipun tetap menyimpan resiko yang tidak ringan seperti kesehatan fisik, keselamatan
jiwa, dan gangguan psikologis. Komplikasi yang mungkin terjadi pada tindakan aborsi
adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan bekuan darah sehingga uterus memerlukan kuretase ulang.
2. Infeksi.
3. Robekan pada mulut rahim;
4. Perforasi (luka tembus) pada dinding peranakan, atau luka pada organ lain seperti
panggul atau usus;
5. Missed abortion, kegagalan dalam pengakhiran kehamilan, sehingga membutuhkan
tindakan ulang;
6. Abortus incompletes, pengakhiran kehamilan tidak lengkap akibat adanya jaringan
yang tertinggal, sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tertahan dalam
rahim yang menyebabkan infeksi dan berujung pada kematian;
7. Pendarahan banyak karena uterus gagal melakukan kontraksi.
8. Efek samping jangka panjang berupa sumbatan atas kerusakan di tuba falopi yang
menyebabkan kemandulan.
Secara mental, perempuan yang memilih melakukan aborsi apapun alasannya,
sedang mengalami kegalauan, rasa tidak percaya diri, kekhawatiran yang berlebihan,
keputusasaan, atau bahkan penyesalan dan perasaan bersalah dan berdosa. Gangguan ini
disebut Pasca Abortion Syndrom (Wijayati, 2015).
c) Penyakit Menular Seksual (PMS)
Penyakit Menular Seksual (PMS) merupakan penyakit anak muda atau remaja,
karena remaja atau anak muda adalah kelompok terbanyak yang menderita penyakit
menular seksual (PMS) dibandingkan kelompok umur yang lain. Penyakit menular
seksual (PMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau jamur,
yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang yang terinfeksi
kepada mitra seksualnya (Rahmi, Gustini, & Puspita, 2015). Remaja sering kali
melakukan hubungan seks yang tidak aman, adanya kebiasaan bergani-ganti pasangan
dan melakukan anal seks menyebabkan remaja semakin rentan untuk tertular Penyakit
Menular Seksual (PMS), seperti Sifilis, Gonore, Herpes, Klamidia. Cara melakukan
hubungan kelamin pada remaja tidak hanya sebatas pada genital-genital saja bisa juga
orogenital menyebabkan penyakit kelamin tidak saja terbatas pada daerah genital, tetapi
juga pada daerah-daerah ekstra genital.
Menurut World Health Organization (WHO, 2011) sebanyak 70% pasien wanita
dan beberapa pasien pria yang terinfeksi gonore atau klamidia mempunyai gejala yang
asimptomatik. Antara 10% – 40% dari wanita yang menderita infeksi klamidia yang tidak
tertangani akan berkembang menjadi pelvic inflammatory disease. Penyakit menular
seksual juga merupakan penyebab infertilitas yang tersering, terutama pada wanita. Di
Indonesia, berdasarkan Laporan Survei Terpadu dan Biologis Perilaku (STBP) oleh
Kementrian Kesehatan RI (2011), prevalensi penyakit menular seksual (PMS) pada tahun
2011 dimana infeksi gonore dan klamidia sebesar 179 % dan sifilis sebesar 44 %.
Data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia terakhir Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan sebanyak 5.912 wanita di umur
15 – 19 tahun secara nasional pernah melakukan hubungan seksual. Sedangkan pria di
usia yang sama berjumlah 6.578, atau 3,7% pernah melakukan hubungan seks.
Remaja dianggap sebagai kelompok yang mempunyai risiko secara seksual,
karena rasa keingintahuannya yang besar dan ingin mencoba sesuatu yang baru. Dimana
hal itu kadang tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kedewasaan yang cukup serta
pengalaman yang terbatas. Kematangan seks yang lebih cepat dengan dibarengi makin
lamanya usia untuk menikah menjadi salah satu penyebab meningkatnya jumlah remaja
yang melakukan hubungan seks pranikah. Sebagai dampaknya, aktifitas seksual yang
mendekati hubungan kelamin cukup tinggi. Hal ini tentu dapat menimbulkan beberapa
konsekuensi diantaranya, terinfeksi penyakit menular seksual bahkan HIV/AIDS (Nari,
Shaluhiyah, & Nugraha, 2015).
Berikut adalah beberapa penyakit menular seks (PMS):
1. Gonorea/kencing nanah

Tipe : Bakterial (Neisseria gonnorhoeae)


Cara penularan : Hubungan seks vaginal, anal dan oral.
Gejala : Walaupun beberapa kasus tidak menunjukkan gejala, jika
gejala muncul, sering hanya ringan dan muncul dalam 2-10
hari setelah terpapar. Gejala-gejala meliputi discharge dari
penis, vagina, atau rektum dan rasa panas atau gatal saat buang
air kecil. Penyakit ini bisa menyebar melalui aliran darah ke
bagian tubuh lainnya, terutama kulit dan persendian.
Pengobatan : Infeksi dapat disembuhkan dengan antibiotik. Namun tidak
dapat menghilangkan kerusakan yang timbul sebelum
pengobatan dilakukan.
Penanganan :
1. Pada masa kehamilan , berikan antibiotika seperti : a) Ampisilin 2 gram IV dosis
awal, lanjutkan dengan 3 x 1 gram per oral selama 7 hari. b) Ampisilin + Sulbaktan
2,25 gram oral dosis tunggal. c) Spektinomisin 2 gram IM dosis tunggal. d)
Seftriakson 500 mg IM dosis tunggal.
2. Masa nifas , berikan antibiotika seperti : a) Xiprofloksasin 1 gram dosistunggal. b)
Trimethroprim + Sulfamethoksazol (160 mg + 800 mg) 5 kaplet dosis tunggal.
3. Oftalmia neonatorum (konjungtivitis) : a) Garamisin tetes mata 3 x 2 tetes. b)
Antibiotika – Ampisilin 50 mg/ kgBB IM selama 7 hari; Amoksisilin + asam
klamtanat 50 mg/ kgBB IM selama 7 hari; Seftriakson 50 mg/ kgBB IM dosis
tunggal.
4. Lakukan konseling tentang metode barier dalam melakukan hubungan seksual .
5. Berikan pengobatan yang sama pada pasangannya.
6. Buat jadual kunjungan ulang dan pastikan pasangan & pasien akan menyelesaikan
pengobatan hingga tuntas.
Komplikasi terhadap orang yang terinfeksi:
1. Lelaki – prostatitis (radang kelenjar prostat), adanya jaringan parut pada saluran
kencing (urethra), mandul/ infertil, peradangan epididimis,
2. Perempuan – PID, infertil, gangguan menstruasi kronis, peradangan selaput lendir
rahim setelah melahirkan ( post partum endometriosis ), abortus , cistitis (peradangan
kandung kencing).
Bila gejala sudah meluas ke arah PID ( Pelvic Inflamatory Disease ) maka sering
timbul :
o Nyeri perut bagian bawah.
o Nyeri pinggang bagian bawah.
o Nyeri sewaktu hubungan seksual .
o Perdarahan melalui vagina diantara waktu siklus haid .
o Mual - mual .
o Terdapat infeksi rektum atau anus .
Konsekuensi yang mungkin timbul pada orang yang terinfeksi:
Pada perempuan jika tidak diobati, penyakit ini merupakan penyebab utama
Penyakit Radang Panggul, yang kemudian dapat menyebabkan kehamilan ektopik,
kemandulan dan nyeri panggul kronis. Dapat menyebabkan kemandulan pada pria.
Gonore yang tidak diobati dapat menginfeksi sendi, katup jantung dan/atau otak.
Konsekuensi yang mungkin timbul pada janin dan bayi baru lahir:
Gonore dapat menyebabkan kebutaan dan penyakit sistemik seperti meningitis
dan arthritis sepsis pada bayi yang terinfkesi pada prosespersalinan. Untuk mencegah
kebutaan, semua bayi yang lahir di rumah sakit biasanya diberi tetesan mata untuk
pengobatan gonore.
2. Sifilis/Raja Singa

Tipe : Bakterial (Treponema pallidum)


Cara Penularan : Cara penularan yang paling umum adalah hubungan seks
vaginal, anal atau oral. Namun, penyakit ini juga dapat
ditularkan melalui hubungan non-seksual jika ulkus atau
lapisan mukosa yang disebabkan oleh sifilis kontak dengan
lapisan kulit yang tidak utuh dengan orang yang tidak
terinfeksi.
Gejala-gejala : berlangsung 3-4 minggu, terkadang sampai 13 minggu.Setelah itu
akan timbul benjolan di sekitar alat kelamin, kadang disertai
pusing dan nyeri tulang seperti flu serta hilang sendiri tanpa
diobati. Bercak kemerahan pada tubuh juga akan muncul sekitar
6-12 minggu setelah berhubungan seks. Seringkali penderita tidak
memperhatikan hal ini dan gejala ini akan hilang dengan
sendirinya. Pada fase awal, penyakit ini menimbulkan luka yang
tidak terasa sakit atau “chancres” yang biasanya muncul di daerah
kelamin tetapi dapatjuga muncul di bagian tubuh yang lain, jika
tidak diobati penyakit akan berkembang ke fase berikutnya yang
dapat meliputi adanya gejala ruam kulit, demam, luka pada
tenggorokan,rambut rontok dan pembengkakan kelenjar di
seluruh tubuh.
Pengobatan : Penyakit ini dapat diobati dengan penisilin; namun, kerusakan
pada organ tubuh yang telah terjadi tidak dapat diperbaiki.
Konsekuensi yang Mungkin Terjadi pada Orang yang Terinfeksi:
Jika tidak diobati, sifilis dapat menyebabkan kerusakan seriuspada hati, otak,
mata, sistem saraf, tulang dan sendi dan dapat menyebabkan kematian. Seorang yang
sedang menderita sifilis aktif risikonya untuk terinfeksi HIV jika terpapar virus tersebut
akan meningkat karena luka (chancres) merupakan pintu masuk bagi virus HIV.
Konsekuensi yang Mungkin Terjadi pada Janin dan Bayi:
Jika tidak diobati, seorang ibu hamil yang terinfeksi sifilis akan menularkan
penyakit tersebut pada janin yang dikandungnya. Janin meninggal di dalam dan
meninggal pada periode neonatus terjadi pada sekitar 25% darikasus-kasus ini. 40-70%
melahirkan bayi dengan sifilis aktif. Jika tidak terdeteksi, kerusakan dapat terjadi pada
jantung, otak dan mata bayi.
3. Trikonomiasis

Penyebab : Disebabkan oleh protozoa Trichomonas vaginalis.


Prevalensi : Trikomoniasis adalah PMS yang dapat diobati yang paling
banyak terjadi pada perempuan muda dan aktif seksual.
Diperkirakan, 5 juta kasus baru terjadi pada perempuan dan
laki-laki.
Cara Penularan : Trikomoniasis menular melalui kontak seksual. Trichomonas
vaginalis dapat bertahanhidup pada benda-benda seperti baju-
baju yang dicuci, dan dapat menular dengan pinjam meminjam
pakaian tersebut.
Gejala-gejala : Pada perempuan biasa terjadi keputihan yang banyak, berbusa,
dan berwarna kuning-hijau. Kesulitan atau rasa sakit pada saat
buang air kecil dan atau saat berhubungan seksual juga sering
terjadi. Mungkin terdapat juga nyeri vagina dan gatal atau
mungkin tidak ada gejala sama sekali. Pada laki-laki mungkin
akan terjadi radang pada saluran kencing, kelenjar, atau kulup
dan atau luka pada penis, namun pada laki-laki umumnya tidak
ada gejala.
Pengobatan : Penyakit ini dapat disembuhkan. Pasangan seks juga harus
diobati.
Konsekuensi yang Mungkin Terjadi pada Orang yang Terinfeksi:
Radang pada alat kelamin pada perempuan yang terinfeksi trikomoniasis
mungkin juga akan meningkatkan risiko untuk terinfeksi HIV jika terpapar dengan virus
tersebut. Adanya trikomoniasis pada perempuan yang juga terinfeksi HIV akan
meningkatkan risiko penularan HIV pada pasangan seksualnya.
Konsekuensi yang Mungkin Terjadi pada Janin dan Bayi: Trikomoniasis pada
perempuan hamil dapat menyebabkan ketuban pecah dini dan kelahiran prematur.
4. Ulkus Mole (Chancroid)

Tipe : Bakterial (Hemophilus ducreyi)


Gejala-gejala : Luka lebih dari diameter 2 cm, cekung, pinggirnya tidak
teratur, keluar nanah dan rasa nyeri; Biasanya hanya pada salah
satusisi alat kelamin. Sering (50%) disertai pembengkakan
kelenjar getah beningdi lipat paha berwarna kemerahan (bubo)
yang bila pecah akan bernanah dan nyeri.
Komplikasi yang mungkin terjadi : kematian janin pada ibu hamil yang tertular,
memudahkan penularan infeksi HIV.
5. Klamidia

Tipe : Bakterial (Chlamydia trachomatis)


Cara Penularan : Hubungan seks vaginal dan anal.
Gejala : Sampai 75% kasus pada perempuan dan 25% kasus pada laki-
laki tidak menunjukkan gejala. Gejala yang ada meliputi
keputihan yang abnormal, dan rasa nyeri saat kencing baik
pada laki-laki maupun perempuan. Perempuan juga dapat
mengalami rasa nyeri pada perut bagian bawah atau nyeri saat
hubungan seksual, pada laki-laki mungkin akan mengalami
pembengkakan atau nyeri pada testis.Nyeri di rongga panggul;
Perdarahansetelah hubungan seksual.
Pengobatan : Infeksi dapat diobati dengan antibiotik. Namun pengobatan
tersebut tidak dapat menghilangkan kerusakan yang timbul
sebelum pengobatan dilakukan.
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada orang yang terinfeksi:
Pada perempuan, jika tidak diobati, sampai 30% akan mengalami Penyakit
Radang Panggul (PRP) yang pada gilirannya dapat menyebabkan kehamilan ektopik,
kemandulan dan nyeri panggul kronis. Pada laki-laki, jika tidak diobati, klamidia akan
menyebabkan epididymitis, yaitu sebuah peradangan pada testis (tempat di mana sperma
disimpan), yang mungkin dapat menyebabkan kemandulan. Individu yang terinfeksi
akan berisiko lebih tinggi untuk terinfeksi HIV jika terpapar virus tersebut.
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada janin dan bayi baru lahir:
lahir premature, pneumonia pada bayi dan infeksi matapada bayi baru lahir yang
dapat terjadi karena penularan penyakit ini saat proses persalinan.
6. HIV-AIDS

Tipe : Viral (Human Immunodeficiency Virus)


Cara Penularan : Hubungan seks vaginal, oral dan khususnya anal; darah atau
produk darah yang terinfeksi; memakai jarum suntik
bergantian pada pengguna narkoba; dan dari ibu yang
terinfeksi kepada janin dalam kandungannya, saat persalinan,
atau saat menyusui.
Gejala-gejala : Beberapa orang tidak mengalami gejala saat terinfeksi pertama
kali. Sementara yang lainnyamengalami gejala-gejala seperti
flu, termasuk demam, kehilangan nafsu makan, berat badan
turun, lemah danpembengkakan saluran getah bening. Gejala-
gejala tersebut biasanya menghilang dalam seminggu sampai
sebulan, dan virus tetap ada dalam kondisi tidak aktif
(dormant) selama beberapa tahun. Namun, virus tersebut
secara terus menerus melemahkan sistem kekebalan,
menyebabkan orang yang terinfeksi semakin tidak dapat
bertahan terhadap infeksi-infeksi oportunistik.
Pengobatan : Belum ada pengobatan untuk infeksi ini. Obat-obat anti
retroviral digunakan untuk memperpanjang hidup dan
kesehatan orang yang terinfeksi. Obat-obat lain digunakan
untuk melawan infeksi oportunistik yang juga diderita.
Konsekuensi yang Mungkin Terjadi pada Orang yang Terinfeksi:
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV akhirnya akan menjadi AIDS dan
meninggal karena komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan AIDS. Konsekuensi
yang Mungkin Terjadi pada Janin dan Bayi: 20-30% dari bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV akan terinfeksi HIV juga dan gejala-gejala dari AIDS akan muncul dalam
satu tahun pertama kelahiran. 20% dari bayi-bayi yang terinfeksi tersebut akan meninggal
pada saat berusia 18 bulan. Obat antiretroviral yang diberikan pada saat hamil dapat
menurunkan risiko janin untuk terinfeksi HIV dalam proporsi yang cukup besar.
7. Herpes

Tipe : Viral (virus Varicella zoster dan herpes simplex virus )


Cara Penularan : Herpes menyebarmelalui kontak seksual antar kulit dengan
bagian-bagian tubuh yang terinfeksi saat melakukan hubungan
seks vaginal, anal atau oral, Juga melalui seperti : alat-alat tidur
, pakaian, handuk, dll, secara bergantia. Virus sejenis dengan
strain lain yaitu Herpes Simplex Tipe 1 (HSV-1) umumnya
menular lewat kontak non-seksual dan umumnya
menyebabkan luka di bibir. Namun, HSV-1 dapat juga
menular lewat hubungan seks oral dan dapat menyebabkan
infeksi alat kelamin. Saat ini dikenal dua macam herpes yakni
herpes zoster dan herpes simpleks. Kedua herpes ini berasal
darivirus yang berbeda. Herpes zoster disebabkan oleh virus
Varicella zoster. Zoster tumbuh dalam bentuk ruam
memanjang pada bagian tubuh kananatau kiri saja. Jenis yang
kedua adalahherpes simpleks, yang disebabkan oleh herpes
simplex virus (HSV). HSV sendiri dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu HSV-1 yang umumnya menyerang bagian badan
dari pinggang ke atas sampai di sekitar mulut (herpes simpleks
labialis), dan HSV-2 yang menyerang bagian pinggang ke
bawah. Sebagian besar herpes genitalis disebabkan oleh HSV-
2, walaupun ada juga yang disebabkan oleh HSV-1 yang terjadi
akibat adanya hubungan kelamin secara orogenital, atau yang
dalam bahasa sehari-hari disebut dengan oral seks, serta
penularan melalui tangan.
Gejala-gejala : Gejala-gejala biasanya sangat ringan dan mungkin meliputi
rasa gatal atau terbakar; rasa nyeri di kaki, pantat atau daerah
kelamin; atau keputihan. Bintil-bintil berair atau luka terbuka
yang terasa nyeri juga mungkin terjadi, biasanya di daerah
kelamin, pantat, anus dan paha, walaupun dapat juga terjadi di
bagian tubuh yang lain. Luka-luka tersebut akan sembuh
dalam beberapa minggu tetapi dapat munculkembali.
Pengobatan : Belum ada pengobatan untuk penyakit ini. Obatanti virus
biasanya efektif dalam mengurangi frekuensi dan durasi
(lamanya) timbul gejala karena infeksi HSV-2.
Konsekuensi yang Mungkin Terjadi pada Orang yang Terinfeksi:
Orang yang terinfeksi dan memiliki luka akan meningkat risikonya untuk
terinfeksi HIV jika terpapar sebab luka tersebut menjadi jalan masuk virus HIV.
Konsekuensi yang Mungkin Terjadi pada Janin dan Bayi: Perempuan yang mengalami
episode pertama dari herpes genital pada saat hamil akan memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk terjadinya kelahiran prematur. Kejadian akut pada masa persalinan merupakan
indikasi untuk dilakukannya persalinan dengan operasi cesar sebab infeksi yang
mengenai bayi yang baru lahir akan dapat menyebabkan kematian atau kerusakan otak
yang serius.
8. Kutil Genitalis (Kondiloma Akuminata)
Tipe : Viral (Human Papiloma Virus)
Cara Penularan : Hubungan seksual vaginal, anal atau oral.
Gejala-gejala : Tonjolan yang tidak sakit, kutil yang menyerupai bunga kol
tumbuh di dalam atau pada kelamin, anus dan tenggorokan.
Pengobatan : Tidak ada pengobatan untuk penyakit ini. Kutil dapat
dihilangkan dengan cara-cara kimia, pembekuan, terapi laser
atau bedah.
Konsekuensi yang Mungkin Terjadi pada Orang yang Terinfeksi:
HPV adalah virus yang menyebabkan kutil kelamin. Beberapa strains dari virus
ini berhubungan kuat dengan kanker serviks sebagaimana halnya juga dengan kanker
vulva, vagina, penis dan anus. Pada kenyataannya 90% penyebab kanker serviks adalah
virusHPV. Kanker serviks ini menyebabkan kematian 5.000 perempuan Amerika setiap
tahunnya.
Konsekuensi yang Mungkin Terjadi pada Janin dan Bayi:
Pada bayi-bayi yang terinfeksi virus ini pada proses persalinan dapat tumbuh kutil
pada tenggorokannya yang dapat menyumbat jalan nafas sehingga kutil tersebut harus
dikeluarkan.
9. Hepatitis B (HBV)

Tipe : Viral
Cara Penularan : Hubungan seks vaginal, oral dan khususnya anal; memakai
jarum suntik bergantian; perlukaan kulit karena alat-alat medis
dan kedokteran gigi; melalui transfusi darah.
Gejala : Sekitar sepertiga penderita HBV tidak menunjukkan gejala.
Gejala yang muncul meliputi demam, sakit kepala, nyeri otot,
lemah, kehilangan nafsu makan, muntah dan diare. Gejala-
gejala yang ditimbulkan karena gangguan di hati meliputi air
kencing berwarna gelap, nyeri perut, kulit menguning dan mata
pucat.
Pengobatan : Belum ada pengobatan. Kebanyakan infeksi bersih dengan
sendirinya dalam 4-8 minggu. Beberapa orang menjadi
terinfeksi secara kronis.
Konsekuensi yang mungkin timbul pada orang yang terinfeksi:
Untuk orang-orang yang terinfeksi secara kronis, penyakit ini dapat berkembang
menjadi cirrhosis, kanker hati dan kerusakan sistem kekebalan. Konsekuensi yang
mungkin timbul pada janin dan bayi baru lahir: Perempuan hamil dapat menularkan
penyakit ini pada janin yang dikandungnya. 90% bayi yang terinfeksi pada saat lahir
menjadi karier kronik dan berisiko untuk tejadinya penyakit hati dan kanker hati. Mereka
juga dapat menularkan virus tersebut. Bayi dari seorang ibu yang terinfeksi dapat diberi
immunoglobulin dan divaksinasi pada saat lahir, ini berpotensi untuk menghilangkan
risiko infeksi kronis.
d) HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus and Acquired Immunodeficiency
Syndrome)
HIV adalah singkatan dari Human Immunodefi ciency Virus. HIV adalah infeksi
yang menyerang sistem kekebalan dan melemahkan kemampuan tubuh untuk memerangi
infeksi. Tanpa perawatan, setelah beberapa tahun, seseorang yang mengidap HIV tidak
dapat melawan beberapa infeksi dan kanker. Tahap HIV ini disebut AIDS (Acquired
Immune Defi ciency Syndrome). Tidak ada penyembuhan untuk HIV. Seorang yang
terinfeksi akan menularkan HIV kepada orang lain selama sisa hidupnya (Directorate,
Communicable Disease Control Department of Health, 2013).
Pada tahun 2015 diprekirakan terdapat 36,7 juta (34 juta - 39,8 juta) orang hidup
dengan HIV, meningkat sebanyak 3,4 juta dibandingkan tahun 2010. Sebanyak 2,1 juta
di antaranya merupakan kasus baru HIV. Namun, dalam laporan yang sama terjadi
penurunan kematian, WHO mencatat sejak AIDS ditemukan hingga akhir 2015 terdapat
34 juta orang meninggal dan di tahun 2015 tercatat sebesar 1,1 juta orang meninggal
terkait dengan AIDS, menurun dibandingkan tahun 2010 yang sebesar 1,5 juta kematian.
Di Indonesia, HIV AIDS pertama kali ditemukan di Provinsi Bali pada tahun 1987.
Hingga saat ini HIV AIDS sudah menyebar di 407 dari 507 kabupaten/kota (80%) di
seluruh provinsi di Indonesia. Berbagai upaya penanggulangan sudah dilakuakan oleh
pemerintah bekerjasama dengan berbagai lembaga di dalam maupun di luar negeri
(Kementerian Kesehatan RI, 2016). Pada tahun 2012, tercatat ada 4,5% remaja pria dan
0,7% remaja wanita usia 15-19 tahun yang telah melakukan aktivitas seksual pra nikah
(Kementerian Kesehatan, 2015)
Istilah AIDS dipergunakan untuk tahap infeksi HIV yang paling lanjut. Sebagian
besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan akan menunjukkan tanda-
tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun.
AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu, yang dikelompokkan
oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai berikut:
 Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak dikategorikan sebagai
AIDS.
 Tahap II meliputi infeksi-infeksi saluran pernafasan bagian atas yang tak kunjung
sembuh.
 Tahap III meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya yang berlangsung lebih
dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, dan TBC paru-paru, atau
 Tahap IV meliputi penyakit parasit pada otak (toksoplasmosis), infeksi jamur kandida
pada saluran tenggorokan (kandidiasis), saluran pernafasan (trachea), batang saluran
paru-paru (bronchi) atau paru-paru.
HIV dapat ditemukan dalam cairan tubuh seperti darah, cairan semen, cairan vagina
dan air susu ibu.
HIV dapat ditularkan melalui beberapa cara, yaitu:
a. Penularan secara seksual: HIV dapat ditularkan melalui seks penetratif yang tidak
terlindungi.
b. Penularan melalui pemakaian jarum suntik secara bergantian
c. Penularan dari ibu ke anak: HIV dapat ditularkan ke anak selama masa kehamilan, pada
proses persalinan, dan saat menyusui. Pada umumnya, terdapat 15-30% risiko penularan
dari ibu ke anak sebelum dan sesudah kelahiran.
d. Penularan melalui transfusi darah: kemungkinan risiko terjangkit HIV melalui transfusi
darah dan produk- produk darah yang terkontaminasi ternyata lebih tinggi (lebih dari
90%). Kendati demikian, penerapan standar keamanan darah menjamin penyediaan darah
dan produk- produk darah yang aman, memadai dan berkualitas baik bagi semua pasien
yang memerlukan transfusi.
Penularan HIV dapat dicegah dengan:
a. Berpantang seks, menghindari perilaku seks bebas dan tetap setia pada pasangan/tidak
berganti-ganti pasangan, atau melakukan seks secara “aman”.
b. Apabila kita akan menjalani transfusi darah, pastikan bahwa darah dan alat-alatnya
steril dan telah melalui tes HIV dan standar keamanan darah.
c. Katakan TIDAK pada narkoba, apapun bentuknya.
Faktor yang beresiko menyebabkan HIV pada remaja adalah perubahan fisiologis,
aktifitas sosial, infeksi menular seksual, perilaku penggunaan obat terlarang dan anak
jalanan dan remaja yang lari dari rumah. Perubahan fisiologis yang dapat menjadi resiko
penyebab infeksi dan perjalanan alamiah HIV meliputi perbedaan perkembangan sistem
imun yang berhubungan dengan jumlah limfosit dan makrofag pada stadium pubertas
yang berbeda dan perubahan pada sistem reproduksi.
Aktifitas seksual tanpa proteksi merupakan resiko perilaku yang paling banyak
pada remaja. Hubungan seksual dengan banyak pasangan juga meningkatkan resiko
kontak dengan virus HIV. Ada tiga tipe hubungan seksual yang berhubungan dengan
transmisi HIV yaitu vaginal, oral, dan anal.
Analsis Jurnal Masalah Kesehatan Reproduksi

Judul : Management of sexual partners of pregnant women with syphilis in northeastern


Brazil – a qualitative study
Penulis : Ana Fátima Braga Rocha1* , Maria Alix Leite Araújo1, Angélica Espinosa
Miranda2, Rodolfo Gómez Ponce de Leon3, Geraldo Bezerra da Silva Junior1 and Lea
Dias Pimentel Gomes Vasconcelos4
Jurnal : Rocha et al. BMC Health Services Research (2019) 19:65

Manajemen Pasangan Seksual Wanita Hamil dengan sifilis di timur laut Brasil -
studi Kualitatif
Latar Belakang : Meskipun ada kebijakan publik untuk memberantas sifilis bawaan,
mereka tampaknya tidak menjadi rutinitas di sebagian besar layanan kesehatan. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengelolaan pasangan seksual wanita hamil
dengan sifilis di perawatan kesehatan primer di timur laut Brasil.
Metode : Ini adalah penilaian kualitatif yang dilakukan dari Februari hingga Oktober
2014 di kota Fortaleza, Ceará, wilayah timur laut Brasil, melalui pengamatan enam pusat
perawatan kesehatan primer dan wawancara dengan 21 profesional, enam koordinator,
sembilan wanita yang didiagnosis sifilis selama perawatan antenatal dan empat pasangan
seksual. Data diserahkan ke analisis konten tematik.
Hasil : Kelemahan penting diidentifikasi di pusat kesehatan primer yang diteliti tentang
pengelolaan sifilis selama kehamilan. Mengakses pengujian dan perawatan sulit, dan
tidak ada strategi standar untuk memberi tahu pasangan. Tanggung jawab untuk memberi
tahu mereka ditransfer ke perempuan, dan konseling tidak menawarkan bimbingan yang
tepat atau dukungan emosional yang cukup untuk membantu mereka.
Kesimpulan: Manajemen wanita hamil dan pasangan seksual mereka di wilayah kami
tidak mematuhi rekomendasi global. Kualifikasi profesional, kepekaan, dan standardisasi
perilaku profesional kesehatan diperlukan. Menawarkan dukungan kepada para
profesional kesehatan tentang praktik klinis mereka melalui proses pengawasan dapat
berkontribusi pada adopsi pedoman yang direkomendasikan dan untuk promosi
perawatan berdasarkan privasi, rasa hormat, kerahasiaan informasi, dan kesadaran akan
masalah yang dihadapi oleh wanita sebagai hasil diagnosis sifilis.
Kata kunci: Sifilis kongenital, Sifilis dalam kehamilan, Keterlibatan pasangan laki-laki,
Layanan kesehatan
PEMBAHASAN
Departemen Kesehatan Brasil(Depkes) menyatakan bahwa pemberitahuan mitra
seksual orang dengan Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk sifilis di preg- nancy,
harus melibatkan strategi yang berbeda, yang pergi dari pemberitahuan dari pasien indeks
pencarian aktif dari pasangan seksual pasien. Strategi-strategi ini tentu saja dapat
membantu para profesional kesehatan, tetapi perlu untuk mempertimbangkan bahwa
diagnosis IMS mengungkap beberapa situasi sulit seperti kemungkinan ketidaksetiaan,
ketakutan untuk mengomunikasikan diagnosis karena risiko menderita kekerasan, dan
takut putus hubungan.
Di Brasil, beberapa upaya telah dilakukan untuk menarik perhatian laki-laki ke
layanan kesehatan - misalnya, penerapan Kebijakan Pelayanan Kesehatan Komprehensif
Nasional untuk Pria (Política Nacional de Atenção Integral à Saúde do Homem) . Namun,
untuk mencapai cakupan pengobatan yang lebih baik untuk pasangan seksual wanita
hamil dengan sifilis, perlu untuk melatih para profesional dengan baik untuk memenuhi
tuntutan subjektif yang muncul dari diagnosis.
Mengingat konteks ini, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi manajemen
[pemberitahuan, pengujian, pengobatan dan tindak lanjut] dari pasangan seksual wanita
hamil dengan sifilis dalam perawatan kesehatan primer di daerah metropolitan wilayah
timur laut Brasil.
Di Brasil, perawatan kesehatan diberikan kepada penduduk dengan sistem
kesehatan nasionalnya, Sistema Único de Saúde (SUS). Ini dirancang dalam jaringan
hierarkis yang layanannya disediakan dalam berbagai tingkat kompleksitas; perawatan
primer, sekunder, dan tersier. Perawatan primer adalah pintu depan untuk SUS dan
bekerja sesuai dengan program Strategi Kesehatan Keluarga (FHS) yang timnya termasuk
dokter, perawat, asisten perawat, dan agen kesehatan masyarakat (CHA).
Tim-tim FHS bertanggung jawab atas area yang dibatasi secara geografis dan paling
banyak dihadiri oleh 4000 orang . Hal ini memungkinkan untuk memberikan perawatan
lanjutan dan membangun hubungan tanggung jawab profesional antara suamidan pasien.
Patut digaris bawahi fakta bahwa hanya 53,4% keluarga Brasil yang dilayani oleh tim
FHS pada 2013.
Penelitian ini dilakukan di kota Fortaleza, ibukota Negara Bagian Ceará, yang
terletak di wilayah timur laut Brasil. Kota ini memiliki populasi 2,5 juta orang yang tidak
dirawat dan, sejauh menyangkut perawatan kesehatan, dibagi menjadi enam Kantor
Koordinasi Kesehatan (HCO), yang fungsinya adalah untuk menegakkan kebijakan
sektoral, menetapkan tujuan spesifik untuk setiap kelompok populasi dan menyediakan
artikulasi. layanan dalam jaringan perlindungan sosial.
Dua puluh satu profesional perawatan kesehatan berpartisipasi dalam penelitian ini
(tujuh dokter dan 14 perawat) dari total 43 (20 dokter dan 23 perawat) yang membentuk
tim FHS dari pusat terpilih. Wawancara diadakan di Puskesmas pada pusat kesehatan,
mereka dihubungi melalui telepon dan diinformasikan tentang tujuan penelitian.
Kemudian, mereka diundang untuk menghadiri pusat wawancara. Semua dari mereka
menghadiri pusat dan sembilan dimasukkan, karena mereka adalah satu-satunya yang
memiliki pasangan yang sama sejak saat diagnosis.
Pada saat wawancara, pewawancara bertanya kepada setiap wanita tentang
hubungannya dengan pasangannya, pengungkapan diagnosis sifilis, dan pendapatnya
tentang pasangannya yang berpartisipasi dalam penelitian. Mereka yang mengaku
kemungkinan pasanganmereka partisipasi diberi peneliti'nomor kontak dan tujuh hari'
waktubagi mereka untuk berbicara dengan pasangan mereka dan memanggil kembali
untuk mengkonfirmasi atau tidak. Lima mitra menolak undangan dan empat menerima
untuk berpartisipasi jika wawancara dilakukan di rumah - suatu kondisi yang diterima.
HASIL
Dari 21 profesional yang diwawancarai, 19 adalah wanita, 14 memiliki gelar
Keperawatan dan tujuh di bidang Kedokteran. Usia bervariasi antara 25 dan 60, sebagian
besar peserta berusia antara 35 dan 50 (12). Waktu pascasarjana berkisar antara enam
bulan hingga 31 tahun dan sebagian besar dari mereka telah lulus selama lebih dari lima
tahun (16). Waktu kerja di pusat perawatan kesehatan di bawah tiga tahun untuk sembilan
profesional.
Empat koordinator memiliki gelar di bidang Kedokteran Gigi dan dua di
Keperawatan. Mereka berusia antara 33 dan 60 dan waktu kerja profesional mereka
berkisar antara tiga hingga 29 tahun. Sebagai koordinator yang bekerja di pusat perawatan
kesehatan ini, waktu kerja mereka bervariasi dari satu hingga tiga tahun.
Para wanita yang diwawancarai berusia antara 18 dan 33, memiliki kurang dari
delapan tahun sekolah, dan tujuh dari mereka menganggur. Empat wanita memiliki
riwayat penyalahgunaan obat-obatan terlarang, satu dari mereka sudah dikirim ke penjara,
dan tujuh lainnya telah menjalani perawatan penuh untuk sifilis.
Mengenai empat pasangan seksual, tiga berusia di atas 30 dan memiliki antara lima
dan delapan tahun sekolah lengkap. Mereka semua dipekerjakan, dua memiliki riwayat
penyalahgunaan obat-obatan terlarang, tiga sudah dikirim ke penjara, dan dua telah
menjalani perawatan penuh untuk sifilis.
Selain itu, tidak ada pusat yang menyediakan manual dan protokol untuk
mendukung profesional dan mengklarifikasi keraguan mereka. Juga, tidak ada bahan
edukasi yang digunakan memberikan pedoman dan klarifikasi kepada pasien. Para
profesional juga menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan protokol dan
pedoman Kemenkes yang menyediakan langkah-langkah yang harus diikuti untuk
pemberitahuan.
Manajemen wanita hamil dengan sifilis dan pasangan seksual mereka di Fortaleza,
Brasil, tidak patuh dengan rekomendasi global. Kelemahan dalam konseling, kesulitan
mengakses pengujian, perawatan tidak dilakukan di tempat diagnosis, dan tidak ada
tindak lanjut yang utama rintangan diidentifikasi. Ini menunjukkan bahwa pedoman
tersebut sedikit yang diketahui oleh para profesional kesehatan dan tidak
diimplementasikan di pusat perawatan kesehatan primer. Agar pemberantasan sifilis
kongenital a kenyataan di Brasil, kualifikasi profesional, kepekaan, dan standarisasi
perilaku profesional kesehatan diperlukan. Selanjutnya, pusat perawatan kesehatan
primer harus menjalani proses pengawasan yang menawarkan dukungan untuk
implementasi pedoman yang direkomendasikan dan untuk promosi perawatan
berdasarkan privasi, rasa hormat, dan kerahasiaan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, J. S. (2013, September 10). KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DALAM ASPEK
SOSIAL. Diambil kembali dari Ikatan Dokter Anak Indonesia:
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/kesehatan-reproduksi-remaja-
dalam-aspek-sosial
Ayu, S. M., & Kurniawati, T. (2017). HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN
REMAJA PUTRI TENTANG ABORSI DENGAN SIKAP REMAJA TERHADAP
ABORSI DI MAN 2 KEDIRI JAWA TIMUR. Unnes Journal of Public Health, 6(2),
2–5.
BKKBN.2014.KajianProfilPendudukRemaja (10-24 tahun):
Adaapadenganremaja?.BKKBN
Dini, L. I., Riono, P., & Sulistiyowati, N. 2016. Pengaruh Status Kehamilan Tidak
Diinginkan Terhadap Perilaku Ibu Selama Kehamilan dan Setelah Kelahiran Di
Indonesia (Analisis Data SDKI 2012). Jurnal Kesehatan Reproduksi, 7(2), 119-133.
Directorate, Communicable Disease Control Department of Health, W. A. (2013). HIV /
AIDS Indonesia. Communicable Disease Control Directorate Department of Health,
Western Australia.
HappyAmalia, E., & Azinar, M. (2017). KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN PADA
REMAJA. HIGEIA : JOURNAL OF PUBLIC HEALTH RESEARCH AND
DEVELOPMENT, 1(1), 1–7.
Ismarwati, & Utami, I. (2017). Faktor faktor yang mempengaruhi kejadian kehamilan tidak
diinginkan pada remaja. Journal of Health Studies, 1(2), 168–177.
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Situasi penyakit HIV AIDS di Indonesia. Pusat Data
Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 1–8. Retrieved from
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin hive
aids.pdf
Logan, Cassandra, Emily Holcombe, Jennifer Manlove, and Suzanne Ryan. 2007. The
consequences of Unintended Childbearing: A White Paper. Washington: Child
Trends. Ratnaningrum, D., Nisman, W. A., Kep, S., Lusmilasari, L., & Kp, S. 2016.
Gambaran Perilaku Perawatan Kehamilan pada Kehamilan Remaja Di Kabupaten
Sleman, Yogyakarta. [Disertasi]. Yogyakata: Universitas Gadjah Mada.
Nari, J., Shaluhiyah, Z., & Nugraha, P. (2015). Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian IMS pada Remaja di Klinik IMS Puskesmas Rijali dan Passo Kota
Ambon. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 10(2).
Nawati, & Nurhayati, F. (2018). Dampak Kehamilan Tidak Diinginkan terhadap Perawatan
Kehamilan dan Bayi ( Studi Fenomenologi ). Jurnal Kesehatan, 9(April), 21–25.
Rahmi, U., Gustini, K., & Puspita, A. P. W. (2015). PENGETAHUAN SISWA KELAS XI
TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL. Jurnal Pendidikan Keperawatan
Indonesia, 1(2), 105–114.
Rocha, Ana Fatima Braga,dkk. 2019. Manajement of sexual Partners of Pregnant Women
with syphilis in Northeastern Brazil- A qualitative Study. Junal BMC Health Service
Research. Vol.19 No.65
Shiadeh, Malihe Nourollahpour Shiadeh, Nourossadat Kariman, Maryam Bakhtiari,
Samaneh Mansouri, Saeed Mehravar. 2016. Unwanted Pregnancy and Its Risk
Factors Among Pregnant Women in Tehran, Iran. Nurse Midwifery Study.
September; 5(3):e29740.
Widyoningsih. 2011. Pengalaman Keluarga Merawat Anak Remaja dengan Kehamilan
Tidak Diinginkan (KTD) Di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah: Studi
Fenomenologi. [Tesis]. Jakarta: Magister Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan.
Universitas Indonesia.
Wijayati, M. (2015). ABORSI AKIBAT KEHAMILAN YANG TAK DIINGINKAN
(KTD): Kontestasi Antara Pro-Live dan Pro-Choice. Jurnal Studi Keislaman, 15(1),
43–62.
http://ismorosiyadi.blogspot.com/2011/12/jenis-jenis-penyakit-menular-seksual.html
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2022058-jenis-
penyakit-menular-seksual-dan/#ixzz1r41TRnwR
http://www.lusa.web.id/penyakit-menular-seksual/
http://marhamah123.wordpress.com/2011/03/27/macam-macam-penyakit-menular-
seksual-dan-cara-menanggulanginya/
http://jekethek.blogspot.com/2010/06/tips-mendeteksi-penyakit-seksual.html

Anda mungkin juga menyukai