Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Secara tradisional, kesehatan reproduksi hanya dipelajari sebatas masalah
kesehatan ibu dan anak (Maternal and Child Health, disingkat MCH) dan menjadi
bagian dari studi kesehatan masyarakat (Fathalla,1990-1991: 3). Pada kurun 20 tahun
terakhir,ruang lingkup studi kesehatan reproduksi meluas, tidak sekedar MCH, tetapi
juga ada keterkaitan proses reproduksi dengan masalah-masalah sosial lain yang lebih
luas, seperti kependudukan, keluarga berencana, status wanita, dan penularan STD
(Sexual Transmitting Disease).
Kesehatan reproduksi tidak tercapai dibanyak negara, hal ini merupakan salah satu
kesimpulan hasil Konferensi kependudukan sedunia yang diselenggarakan di Kairo pada
tahun 1994, adapun faktor-faktor penyebabnya adalah sebagai berikut: 1) tingkat
pengetahuan yang tidak mencukupi tentang seksualitas serta informasi dan pelayanan
kesehatan reproduksi yang tidak tepat atau kurang bernilai; 2) kelaziman perilaku
seksual yang berisiko tinggi; praktek-praktek sosial yang diskriminatif; 3) sikap-sikap
negatif terhadap perempuan dan anak perempuan; dan kekuasaan terbatas yang dimiliki
banyak perempuan dan anak perempuan atas kehidupan seksual dan reproduksi mereka.
Selama ini pemerintah Indonesia hanya melihat soal seksualitas dan reproduksi
manusia dalam kepentingan kekuasaan-kontrol kependudukan agar berdaya guna secara
ekonomi dan politik. Khususnya mengontrol tubuh “kesuburan” perempuan (contoh:
Program KB yang menempatkan perempuan sebagai objek). Sebaliknya, pendekatan
humanisme dan HAM dalam melihat soal kependudukan dan soal-soal pembangunan,
menempatkan manusia (laki-perempuan) sebagai individu yang memiliki otonomi untuk
mengontrol tubuh dan seksualitasnya serta memiliki hak untuk menikmati standar
tertinggi dari kesehatan baik secara fisik, psikis maupun sosial, yang dilindungi oleh
negara-negara
Selain itu, suatu hal yang tak terbantah lagi. Permasalahan mengenai seksualitas
dan kesehatan reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas (different ability)
hingga saat ini masih menyisakan berbagai perdebatan terutama apabila dikaitkan
dengan kebijakan negara dalam merespon isu ini. Di satu sisi, meskipun negara telah
meratifikasi konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui UU No.19
tahun 2011, namun implementasi dari regulasi ini masih jauh dari efektif.
Dalam UU tersebut, secara eksplisit dijelaskan adanya kewajiban bagi negara dan
masyarakat agar tidak melakukan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, baik
perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala
aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olahraga, seni, dan
budaya, serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Namun dalam faktanya
di lapangan, penyandang disabilitas masih kesulitan untuk dapat memperoleh dalam
bidang pendidikan, pekerjaan, politik, olahraga, seni, dan budaya, apalagi berupa
kesehatan.
Bidang kesehatan semakin sulit didapat terutama bagi kelompok perempuan
penyandang disabilitas.Tentu saja permasalahan menjadi semakin kompleks, mengingat
perempuan yang disabilitas mengalami stigmatisasi ganda, yaitu sebagai perempuan, dan
juga sebagai disabilitas.Sehingga kelompok ini perlu untuk mendapat perhatian khusus
karena sangat rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terutama
berkaitan dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Pelayan Perempuan Disabilitas 1


Maka seharusnya ada suatu sikap profesional pemerintah dengan memberikan
kelebihan pelayanan akses, informasi pada perempuan penyandang disabilitas dalam
masalah pendidikan seksual dan reproduksi. Maka, disini penulis ingin membuka
wawasan dalam hal “Pelayanan Kesehatan Reproduksi Dan Seksual Bagi Perempuan
Penyandang Disabilitas.”
II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pelayanan Kesehatan Reproduksi Dan Seksual Bagi Perempuan
Disabilitas ?
2. Bagaimana penanganan pemerintah dalam menghadapi kasus pelecehan seksual pada
perempuan disabilitas ?
III. Tujuan Masalah
1. Tujuan objektif
a. Untuk Memberikan wawasan dalam Pelayanan Kesehatan Reroduksi Dan
Seksual Bagi Perempuan Disabilitas.
b. Untuk mengetahui sikap pemerintah dalam menanggulangi pelecehan seksual
bagi perempuan disabillitas
2. Tujuan subjektif
Tujuan subjektif dari makalah ini adalah untuk melengkapi persyaratan dalam
mengikuti Latihan Kepemimpinan Keperempuanan (LKK)
IV. Manfaat
Manfaat dibuatnya makalah ini untuk :
1. Manfaat Akademis
a. Memberikan akses dan informasi dalam pelayanan kesehatan reproduksi dan
seksual bagi perempuan disabilitas.
b. Membuka wawasan dala bidang kepemerintahan bagaimana sikapnya dalam
menanggulangi pelecehan seksual dan pendidikan kesehatan reproduksi bagi
perempuan disabilitas.

Pelayan Perempuan Disabilitas 2


BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
1.1 Perempuan Disabilitas
Perlu dijelaskan bahwa dalam tulisan ini, digunakan istilah penyandang
disabilitas dibandingkan istilah penyandang cacat. Alasan digunakan istilah penyandang
disabilitas dikarenakan istilah penyandang cacat selama ini dipakai dalam meng-
gambarkan sosok anak cucu Adam yang mengalami kelainan fisik dan/ atau
mental.Sehingga istilah penyandang cacat tersebut dinilai tidak sejalan dengan prinsip
HAM dan me- rendahkan harkat dan martabat manusia. Menurut John C. Maxwell, pe-
nyandang disabilitas merupakan se- seorang yang mempunyai kelainan dan/atau yang
dapat mengganggu aktivitas. Sementara itu, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU No. 8 Tahun 2016) menyebutkan
bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keter- batasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambat- an dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Dari
definisi tersebut, penyandang disabilitas berdasarkan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2016
dapat dikategorikan kedalam empat kelompok, yaitu:
a. Penyandang Disabilitas fisik, yaitu terganggunya fungsi gerak, antara lain
amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat
kusta, dan orang kecil.
b. Penyandang Disabilitas intelektual, yaitu terganggunya fungsi pikir karena
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan
down syndrom.
c. Penyandang Disabilitas mental, yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan
perilaku, antara lain:
 psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan
kepribadian.
 disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial
di antaranya autis dan hiperaktif.
 Penyandang Disabilitas sen- sorik, yaitu terganggunya salah satu fungsi dari
panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.
Sementara itu, Organisasi Kese- hatan Dunia (WHO atau World Health
Organization) memberikan definisi disabilitas sebagai keadaan terbatas- nya
kemampuan untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas yang dianggap normal.
Sehingga oleh WHO, terdapat tiga kategori disabili-tas, yaitu:
a. Impairment, yaitu kondisi ketidak- normalan atau hilangnya struk-tur atau
fungsi psikologis, atau anatomis
b. Disability yaitu ketidak mampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya
impairment untuk melaku- kan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi
manusia
c. Handicap, yaitu keadaan yang me- rugikan bagi seseorang akibat adanya
impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan pe- ranan yang normal

Pelayan Perempuan Disabilitas 3


(dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersang-
kutan.
Maka oleh karena itu perempuan disabilitas adalah perempuan yang mengalami
kekurangan ataupun gangguan dalam hal mental maupun fisik dalam menghadapai
kehidupannya. Bisa dikarenakan terjadi sejak lahir atapun karena terjadi kecelakaan.
I.2 Reproduksi dan Seksual
Kesehatan Kesehatan reproduksi merupakan sustu kondisi sehatmenyangkut
sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Kesehatan reproduksi merupakan suatu hal yang
penting mengingat reproduksi adalah sarana untuk melahirkan generasi penerus bangsa.
I.2.1 Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi yang ada dalam konteks pembangunan masyarakat
Indonesia mencakup 5 (lima) komponen/program terkait, yaitu Program
Kesehatan Ibu dan Anak, Program Keluarga Berencana, Program
Kesehatan Reproduksi Remaja, Program Pencegahan dan Penanggulangan
Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, dan Program
Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut. Pelaksanaan Kesehatan
Reproduksi dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan siklus hidup
(life-cycle approach) agar diperoleh sasaran yang pasti dan pelayanan yang
jelas berdasarkan kepentingan sasaran/klien dengan memperhatikan hak
reproduksi.
Kesehatan reproduksi memiliki tiga komponen yaitu kemampuan prokreasi,
mengatur dan menjaga tingkat kesuburan, dan menikmati kehidupan
seksual secara bertanggung jawab. Prioritas dari pelayanan kesehatan
reproduksi pada konteks saat ini masih dalam hal kesehatan iibu dan anak
(KIA), Keluarga Berencana (KB), kesehatan reproduksi Remaja (KRR) dan
penanggulangan Pengakit Menular Seksual (PKMS).
I.2.2 Sistem Organ Reproduksi Manusia
Pada remaja, organ reproduksi mulai mengalami perkembangan dan
pertumbuhan. Organ reproduksi merupakan bagian tubuh seseorang yang
digunakan untuk menjalankan reproduksi. Organ reproduksi adalah organ
seksualitas baik pada laki-laki dan perempuan dibagian dalam maupun
bagian luar tubuh manusia. Organ reproduksi pada laki-laki terdiri dari
penis/buah zakar yang berfungsi sebagai alat melakukan senggama,
mengeluakan air seni, dan sebagao jalan keluarnya sperma. Organ lainnya
adalah kepala penis yang berda di ujung penis berupa lubang untuk
menyalurkan air kencing dan sperma. Bagian ini sangat sensitif dan mudah
terangsang karena memiliki banyak pembuluh darah. Bagian ketiga adalah
kantong pelir yang terdiri dari biji pelir dan testi), serta sperma. Kantung
pelir merupakan tempat biji testis. Testis memiliki fungsi sebagai tempat
produksi sperma yang akan terbentuk karena hormone testosterone. Spema
merupakan sel berbentuk seperti berudu berekor. Sperma dapat membuahi
sel telur yang matang, dalam tubuh perempuan yang selanjutnya
menyebabkan kehamilan. Saluran kemih merupakan organ reproduksi yang
berfungsi menyalurkan air kencing dan air mani yang mengandung sperma.
Epididimis berfungsi sebagai tempat mematangkan sperma yang dihasilkan
testis. Saluran sperma berfungsi sebagai tempat menyalurkan sperma dari
testis menuju prostat. Dan kelenjar prostat berfungsi menghasilkan air mani
yang ikut mempengaruhi kesuburan sperma. Organ reproduksi pada
perempuan terdiri dari ovarium, tuba volopi, uterus, vagina (kemaluan),
selaput dara, bibir kemaluan, klitoris, saluran kemih. Ovarium adalah organ

Pelayan Perempuan Disabilitas 4


reproduksi yang berfungsi mengeluarkan sel telur. Tuba falopi berfungsi
menyalurkan sel telur setelah keluar dari indung telur dan tempat terjadinya
pembuahan. Uterus berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya
tempat calon bayi. Vagina adalah lubang tempat masuknya sel sperma pada
saat bersenggama. Vagina juga merupakan jalan keluarnya darah saat haid
dan janin yang akan dilahirkan. Hymen merupakan lapisan tipis yang
berada di dalam liang kemaluan. Bibir kemaluan adalah bagian paling luar
yang memiliki banyak pembuluh darah. Klitoris adalah organ reproduksi
yang memiliki tingkat kepekaan terhadap rangsangan yang sangat tinggi
karena tersusun dari banyak pembuluh darah. Saluran kemih berguna untuk
mengeluarkan air kencing dan terletak di antara klitoris dan mulut vagina.
I.2.3 Kesehatan Reproduksi Menurut Islam
Kesehatan dalam Islam merupakan syarat mendasar mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Islam dalam konteks ini berfungsi tidak
hanya sebatas aturan, melainkan pedoman yang mengatur segala kehidupan
manusia dalam rangka kebahagiaan. Islam mengatur reproduksi yang sehat
sebagai upaya memuliakan dan menjunjung derajat kemanusiaan.Salah satu
bentuk kesehatan yang juga sangat diperhatikan Islam adalah kesehatan
reproduksi. Kesehatan reproduksi berkaitan dengan seksualitas dan
pembentukan keluarga.15 Islam senantiasa mewajibkan para pemeluknya
untuk menjaga kebersihan, baik kebersihan jasmani maupun ruhani, lahir
maupun batin.16 Kesehatan jasmani dengan kesehatan rohani merupakan
kesatuan sistem terpadu, sebab kesehatan jasmani dan rohani menjadi
syarat bagi tercapainya suatu kehidupan yang sejahtera di dunia dan
kebahagiaaan di akhirat. Islam sebagai pedoman hidup tentunya memiliki
kaitan erat dengan kesehatan reproduksi mengingat Islam memiliki
aturanaturan dalam kehidupan manusia yang bertujuan untuk mencapai
kondisi yang sesuai dengan persyaratan kesehatan reproduksi.
I.2.4 Fungsi Kesehatan Reproduksi
Fungsi memahami kesehatan reproduksi diantaranya adalah mengenal
tubuhnya dan organ-organ reproduksinya; memahami fungsi dan
perkembangan organ reproduksi secara benar. Memahami perubahan fisik
dan psikisnya; melindungi diri dari berbagai risiko yang mengancam
kesehatan dan keselamatannya; mempersiapkan masa depan yang sehat dan
cerah; mengembangkan sikap dan perilaku bertanggungjawab mengenai
proses reproduksi.
I.2.5 Problem Kesehatan Reproduksi.
Faktor pemahaman mengenai kesehatan reproduksi menymbangkan
kontribusi yang begitu besar terkait dengan persoalan-persoalan reproduksi
remaja. Orang dengan pemahaman tentu mengarahkan dirinya untuk tidak
melakukan faktor yang menyebabkan resiko dan dampak negatif bagi diri
sendiri. Sebaliknya, perempuan yang memiliki pemahaman rendah,
cenderung kurang memiliki kepedulian, kesadaran dalam menjaga dan
memelihara organ reproduksinya, yang selanjutnya sering berakhir pada
terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual pada perempuan, dengan
melakukan berbagai cara hingga menyebabkan penularan penyakit dari luar
ataupun menyebabkan penyakit itu sendiri akaibat ulah seksual yang
dilakukannya hingga organ reproduksinya mengalami penyakit.
I.2.6 Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual pada saat ini sangat marak terjadi salah satunya akibat
kurangnya pemahaman akan kesehatan reproduksi. Sehingga

Pelayan Perempuan Disabilitas 5


mengakibatkan manusia pada saat ini melakukan seks bebas, pelecehan
seksual, bisa akibat pergaulan dari luar ataupun media sosial.
2. Pelayanan Kesehatan Reproduksi dan Seksual Pada Perempuan Disabilitas
Para Para aktivis gerakan penyandang cacat memperkenalkan istilah
disabilitas sebagai ganti penyandang cacat yang secara kontekstual bersifat
diskriminatif.Istilah disabilitas diperkenalkan pada 1998 merupakan singkatan dari
frosa dalam Bahasa Inggris different ability people. Istilah disabilitas lebih mengacu
kepada pembedaan kemampuan, bukan lagi kepada kecacatan atau
ketidaksempurnaan. Konvensi Hak-hak Penyandang Disablitas (Convention on the
Rights of Persons with Disabilities) sebagaimana telah disahkan oleh Majelis Umum
PBB melalui Resolusi No A/61/06 pada Desember 2006, mulai berlaku di Indonesia
pada tanggal 10 November 2011. Pemberlakuan ini ditetapkan melalui Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas. Konvensi ini merupakan bagian penting dari kerangka kerja
hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, dan meneguhkan hak untuk bebas dari
berbagai bentuk diskriminasi serta hak yang sama untuk menikmati hak-hak lainnya
sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi Indonesia.
Data statistik mengenai jumlah penyandang disabilitas di dunia merupakan
salah satu potret yang menunjukkan betapa isu disabilitas penting untuk dijadikan
agenda bersama. Disabled Peoples’ International Asia Pasific (DPIAP)
menyebutkan lebih dari 665 juta orang di dunia adalah orang dengan
disabilitas.Artinya lebih dari 15% dari populasi dunia menyandang disabilitas. PBB
mencatat ada sekitar 60% dari 650 orang dengan disabilitas di seluruh dunia tinggal
di kawasan Asia dan Pasifik, sedangkan UN Department of Economic and Social
Affairs dalam lembar infonya menyebutkan 80 persen orang dengan disabilitas hidup
di pedesaan dengan kondisi miskin (N.N. 2010:1).
Di Indonesia, mendapati jumlah pasti orang dengan disabilitas bukanlah
perkara mudah. Kementerian Sosial diperkirakan sebesar 3,11%, sedangkan menurut
data Kementerian Kesehatan jumlahnya 6%. Data BPS menyebutkan penduduk
difabel di Indonesia sebanyak 2.126.785 (BPS Susenas 2009).Selain itu, paradigma
malu dan aib bila ada anggota keluarga menyandang disabilitas membuat pihak
keluarga cenderung menutupi kenyataan tersebut dari publik, dan menutup akses
bagi pendataan.
Bagi perempuan yang hidup dengan disabilitas, bentuk diskriminasi dan
kekerasan yang mereka alami menjadi berlapis. Artinya diskriminasi dan kekerasan
yang mereka alami tidak hanya karena mereka adalah penyandang disabilitas, tapi
juga karena identitas mereka sebagai perempuan, yang sebagian besar dari mereka
hidup dengan kemiskinan.
Selain itu Penyandang disabilitas sangat kurang mendapatkan akses informasi
seksual, meski sesungguhnya setiap orang berhak mendapatkan informasi kesehatan
seksual dan reproduksi. Orang sering lupa bahwa penyandang disabilitas adalah juga
makhluk seksual yang perlu mendapat perhatian. Merekapun membutuhkan
informasi soal menstruasi dan bagaimana harus memasang pembalut, mencuci
pembalut, membuang pembalut dan lain-lain.
Sering terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan difabel oleh orang
terdekat (selama penelitian ditemukan orang terdekat adalah tetangga). Kekerasan
seksual dan juga kekerasan psikis perlu kita perhatikan bersama, dengan memberi
informasi seksual yang memadai. Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi tidak
bisa diberikan langsung kepada perempuan difabel tetapi bisa diberikan melalui
orangtuanya.
Bukan itu saja, masyarakat seringkali berpandangan bahwa perempuan dengan
disabilitas adalah makhluk yang aseksual (NWCI 2006, Piotrowski and Snell 2007).
Pelayan Perempuan Disabilitas 6
Apapun bentuk disabilitas yang mereka miliki, masyarakat awam menganggap
mereka pasti mengalami disabilitas dalam fungsi seksual juga. Pandangan inilah
yang mengakibatkan orang-orang di sekeliling perempuan dengan disabilitas
seringkali membatasi perempuan dengan disabilitas dari segala hal yang
berhubungan dengan seksualitas. Salah satunya menutup mereka dari pendidikan
seksual.
Perubahan yang terjadi pada tubuh mereka seperti pembesaran payudara,
tumbuhnya rambut di sekitar alat kelamin, proses mentruasi, dan hal yang
berhubungan dengan seksualitas lainnya seringkali tidak dijelaskan penyebab dan
akibatnya. Imbas dari perubahan itu seperti penggunaan pakaian dalam dan pembalut
dilakukan dengan komando, instruksi dan pengawasan dari orang sekitarnya. Bahkan
terkadang semua itu dilakukan juga atas bantuan sepenuhnya dari orang lain.
Pemberian informasi terkait perkembangan organ dan fungsi seksual yang
dialami oleh perempuan dengan disabilitas di kala remaja dianggap bukan sesuatu
yang penting. Akibatnya, mereka sama sekali tidak tahu penyebab dan akibat
perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Kalaupun ada pendidikan seks bagi remaja
perempuan dengan disabilitas, sering kali cara menyampaikannya kurang tepat dan
tidak sesuai. Pengorbanan waktu, tenaga dan dana menjadi sia-sia; tidak memberikan
pengetahuan seks yang sehat dan tepat kepada mereka. Teman-teman perempuan
dengan disabilitas intelektual yang memiliki daya tangkap dan pemahaman yang di
bawah rata-rata mengalami kesulitan mendapatkan pendidikan seks yang mampu
mereka pahami dengan tepat (ASHA 2009). Padahal, perempuan dengan disabilitas,
apa pun jenis disabilitasnya juga mengalami perkembangan organ dan fungsi seksual
yang sama seperti perempuan pada umumnya. Selain itu, mereka juga memiliki
hasrat dan cinta dan ingin mendapatkan kepuasan seksual (Anderson dan Kitchin
2000).
Selain minimnya akses untuk mendapatkan pendidikan seksual, perempuan dengan
disabilitas juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang alat
kontrasepsi atau metode pengontrol kehamilan lainnya yang sesuai dengan
disabilitas mereka (Kaplan 2006). Sebuah artikel kesehatan menyebutkan bahwa
perempuan dengan disabilitas mental sebaiknya tidak direkomendasikan untuk
menggunakan metode obat untuk mengontrol kehamilan mereka. Hal ini dikarenakan
besarnya kemungkinan mereka akan keliru makan obat, tidak bisa makan obat
dengan teratur, atau mereka lupa jadwal minum obat mereka (Hakim-eahi 1991).
Alat kontrasepsi yang sebaiknya digunakan oleh perempuan dengan disabilitas
mental adalah IUD (intra-uterine devices) atau metode lain yang sifatnya lebih
permanen (Kaplan 2006). Bahkan ada beberapa perempuan dengan disabilitas yang
memutuskan untuk melakukan tubektomi karena mereka takut disabilitas yang
mereka miliki akan menurun pada anak mereka atau merasa takut akan membuat
malu anak mereka dengan disabilitas yang mereka miliki.
Akses dan layanan kesehatan reproduksi merupakan hak setiap warga negara
terkait pelayanan publik yang harus dipenuhi negara. Bicara ihwal hak dan layanan
kesehatan reproduksi yang diskriminatif dan belum berpihak pada kepentingan
perempuan, sama dengan membicarakan hal-hal yang menghantui perempuan dan
memicu perdebatan. Mulai dari pengabaian hak kebahagiaan seksual, orientasi
seksual yang berbeda, kekerasan, penyakit menular seksual, masalah kehamilan tidak
diinginkan, aborsi, angka kematian ibu, akses informasi dan pelayanan, pendidikan
seks yang sensitif gender, kontrasepsi, kesehatan ibu dan anak, kebijakan publik,
hingga kemiskinan. Kesehatan reproduksi nyatanya bukan sekadar masalah medis,
melainkan juga masalah sosial dan kultural. Bukan karena perempuan yang bersalah
karena kurang memahami dan menjadi tidak peduli terhadap kondisi kesehatannya
sendiri, tetapi lebih terkait pada akses yang tidak sensitif pada situasi yang dihadapi
Pelayan Perempuan Disabilitas 7
perempuan. Sementara negara tidak cepat tanggap, kaum perempuan yang menjadi
korban, terus bertambah.
Persoalan pelayanan publik, terutama kesehatan reproduksi, menjadi semakin rumit
ketika kita mencoba membuka mata pada berbagai lapisan yang harus ditembus
untuk mendapatkan pemenuhan hak dan layanan bagi perempuan minoritas dan
marjinal. Jika bagi perempuan yang tidak memiliki keterbatasan saja begitu banyak
hambatan yang dihadapi terkait akses hak dan layanan kesehatan reproduksi yang
baik, tentu menjadi sulit membayangkan apa yang harus dialami oleh perempuan
berkebutuhan khusus atau difabel (different ability).
Pemberian informasi tentang reproduksi sehat, pengetahuan seks dan
kesehatan lainnya sangat dibutuhkan oleh perempuan khususnya tidak terkecuali
pada perempuan disabilitas, sama halnya pada remaja normal, perempuan disabilitas
juga mengalami perkembangan seksual dan perubahanperubahan yang dialami oleh
remaja lainnya. Orang-orang menganggap remaja disabilitas tidak layak diberikan
informasi pelayanan mengenai reproduksi akibat ke-disabilitassan mereka. Padahal
salah satunya anak disabilitas yang dikeluarkan dari sekolah Yayasan Penyandang
Anak Cacat (YPAC) akibat pelecean seksual.
Maka jelaslah harus adanya sikap keadilan bahwa setipa manusia adalah
ciptaan Allah sama, membawa fitrah dan makhluk yang sempurna seperti ada dalam
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) BAB 2 Tetang pengertian Dasar Kemanusiaan ,
kemudian sesui dengan NDP BAB 6 tentang konsep Keadilan Sosial dan Keadilan
ekonomi bahwa manusia berhak memperoleh hak-hak nya sesuai dengan
kemerdekaan manusia.
Jadi berhaklah jika perempuan disabilitas memperoleh pelayanan yang sama seperti
manusia normal lainnya dalam hal kesehatan reproduksi dan seksual guna
menghindari pelecehan seksual yang semakin marak.
3. Peranan Pemerintah Dalam Menanggulangi Pelecehan Seksual Terhadap
Perempuan Disabilitas
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas ke
dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2011. Sebelumnya pemerintah telah
mengesahkan Undang-undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.Undang-
undang ini kemudian dijabarkan melalui berbagai macam peraturan pemerintah
hingga menteri sebagai petunjuk pelaksanannya. Bagi para pegiat gerakan difabel
pengesahan Konvensi Penyandang Disabilitas sebagai undang-undang merupakan
angin segar bagi pemenuhan hak-hak difabel di Indonesia setelah undang-undang
tentang Penyandang Cacat dianggap sebagai undang-undang yang diskriminatif
terhadap difabel. Kabupaten Malang telah memiliki Peraturan Daerah Kabupaten
Malang Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pemenuhan Hak Anak.
Sayang, segala bentuk peraturan perundangan maupun PERDA yang ada masih
sebatas di atas kertas.
Sikap pemerintah terhadap difabel pun masih mendua. Di satu sisi diakui
adanya kesamaan hak antara difabel dan non difabel namun di sisi lain masih
menempatkan difabel sebagai bagian dari PMKS (Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial). Difabilitas masih dianggap sebagai masalah kesejahteraan
belaka sehingga isu-isu difabilitas masih menjadi porsi dinas sosial saja. Padahal
secara tegas dan jelas disebutkan dalam undang-undang yang ada bahwa masalah
difabel bukan hanya masalah difabilitas dan kesejahteraan tetapi difabel juga
membutuhkan pendidikan, pekerjaan, kesehatan, kehidupan sosial, dan juga
kemandirian. Semua kebutuhan difabel tidak akan pernah bisa selesai jika persoalan
difabel hanya diurus oleh dinas sosial saja. Persoalan difabel merupakan persoalan
yang multi sektor dan membutuhkan kordinasi lintas instansi untuk
menyelesaikannya.Mainstreaming merupakan salah satu strategi agar masalah
Pelayan Perempuan Disabilitas 8
difabel dan difabilitas bisa teratasi dan difabel dapat menikmati hak-haknya yang
berarti juga meningkatkan kualitas hidupnya.
Mainstreaming isu difabilitas menjadi sebuah hal yang mendesak untuk
dilakukan agar masalah difabel masuk dalam program semua departemen dan dinas.
Tanpa mainstreaming isu difabilitas akan sangat sulit untuk memastikan bahwa
program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat dapat
diakses oleh difabel. Akses yang minim membuat proses pengentasan kemiskinan
bagi difabel sulit tercapai untuk mengentaskan difabel dari kemiskinan yang telah
tersistematis sejak lama.
Peraturan terbaru yang diterbitkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pembentukan
Pusat Informasi dan Konsultasi Bagi Perempuan Penyandang Cacat (PIKPPC).
PIKPPC menjadi peluang bagi perempuan difabel untuk mendapatkan perlindungan
dan pelayanan informasi dan konsultasi tentang hak-haknya.Peluang ini juga
merupakan jawaban atas kebutuhan di masyarakat yang selama ini sulit mendapatkan
informasi dan konsultasi tentang difabilitas, perawatan dan penanganannya,
pendidikan, kesempatan kerja magang maupun pelatihan. Peraturan terbaru ini
diharapkan mewujudkan hak-hak difabel dan merubah kualitas hidup difabel
menjadi lebih berkualitas untuk bisa berperan dan berpartisipasi dalam
pembangunan.

Pelayan Perempuan Disabilitas 9


BAB III
KESIMPULAN
Dalam akses informasi pelayanan bagi perempuan disabilitas sangatlah perlu
dilakukan, walaupun pandangan masyarakat sampai saat ini masih beranggapan bahwa
perempuan disabilitas baik itu anak keci, remaja, hingga dewasa bahkan sudah menua
tidak perlu diadakannya pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual bagi mereka
dengan anggapan bahwa mereka tidak mungkin mempunyai nafsu seksual ataupun
terkena pelecehan seksual, dan itu adalah anggapan yang salah. Setiap manusia pasti
memiliki girah seksual dan tidak menuntut kemungkinan orang disabilitas tidak
mengalami pelecehan seksual dengan keadan saat ini yang melihat angka pelecehan
seksual mencapai 65% dari 70% , akibat tergerusnya oleh aman globalisasi yang
semakin maju.
Dalam menanggapi kasus seksual pada kaum disabilitas pun harusnya lebih
ditingkatkan kemabli bukan hanya pada tingkat dinas sosial saja yang hanya mengurusi
masalah sandang pangan dan papan, sedangkan pada ilmu pengetahuan tentag kesehatan
reproduksi dan seksual nya tidak diberikan. Semua kebutuhan difabel tidak akan pernah
bisa selesai jika persoalan difabel hanya diurus oleh dinas sosial saja. Persoalan difabel
merupakan persoalan yang multi sektor dan membutuhkan kordinasi lintas instansi untuk
menyelesaikannya. Peraturan terbaru yang diterbitkan oleh Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Pusat Informasi dan Konsultasi Bagi Perempuan Penyandang Cacat
(PIKPPC). PIKPPC menjadi peluang bagi perempuan difabel untuk mendapatkan
perlindungan dan pelayanan informasi dan konsultasi tentang hak-haknya, tidak hanya
sebatas peraturan belaka.

Pelayan Perempuan Disabilitas 10


Pelayan Perempuan Disabilitas 11

Anda mungkin juga menyukai