OLEH
Kelompok 6 :
Sebagai insan yang penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, tak lupa
penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan karunia-Nya lah, maka penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul Asuhan Keperawatan Komunitas.
Selama proses penulisan makalah ini banyak bimbingan dan dukungan
yang diperoleh dari berbagai pihak, baik moril maupun material. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini di sampaikan ucapan terima kasih yang berlimpah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca akan penulis terima
sebagai bahan masukkan guna penyempurnaan makalah ini.
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang
mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat
(Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera
mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi
atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok
sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk
menerima pelayanan kesehatan.
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi
masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang
belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan
kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat
kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan
tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan
mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi
orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum
terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan
diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak
bagi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agregat populasi rentan?
5
2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?
3. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ?
4. Apa yang dimaksud populasi rentan terlantar ?
5. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi
rentan ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan
2. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental
3. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan
4. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar
5. Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat dalam
komunitas populasi rentan.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
1. Populasi Rentan
a. Refugees (pengungsi)
b. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c. National Minoritie (kelompok minoritas)
d. Migrant Workers (pekerja migran )
e. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
f. Children (anak)
g. Women (wanita)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.
7
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan
atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi
pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental,
Penyandang cacat fisik dan mental.
8
(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan
sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami
gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1
(pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat
fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.
b. Jenis-jenis Disabilitas
9
bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis
penyandang disabilitas 5 :
10
memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa
disebut tunawicara.
d. Kelainan Bicara (Tunawicara)
Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit
bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara
ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat
bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena
ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya
ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan
pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara.
3. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu
kecacatan (yaitu cacat fisik dan mental)
3. Tunawisma/ Gelandangan
a. Definisi
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak
memiliki tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja
dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam
golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga.
Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan
masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak
memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial,
tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka
menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem
pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma
adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam
rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun
11
penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan
akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.
12
perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga mereka
cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari
orang lain.
4) Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang
menurun, membuat seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan.
Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya.
Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk
bertahan hidup.
5) Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit
mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat
fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan hidup.
Menurut Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012 )) kondisi
kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya
seperti kesehatan.
6) Rendahnya ketrampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan
ketrampilan seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun,
ketrampilan perlu digali salah satunya melalui pendidikan serta
membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah
yang menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan
ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat
seseorang memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada
umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan
yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
7) Masalah sosial budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan
seseorang menjadi gelandangan dan pengemis. Antara lain:
a. Rendahnya harga diri.
13
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang,
mengakibatkan mereka tidak memiliki rasa malu untk
meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah sesuatu
yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya tunawisma yang berusia produktif.
b. Sikap pasrah pada nasib.
Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka
sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga
tidak ada kemauan untuk melakuan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.
8) Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika
bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja
sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang
untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan
mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama,
terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk
emmenuhi kebutuhan hidup.
9) Letak Geografis
14
10) Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis
Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang
dilakukan oleh pemerintah hanya setengah hati. Selama ini
penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi
dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat
asalnya. Pada kenyataannnnya, penanganan ini tidak
menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka
akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada
proses penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia
mereka dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang
sakit dan yang berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial
sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan
terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga
ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang
membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama yakni
menjadi gelandangan dan pengemis.
15
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama
untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam
situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan
karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam
keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang
berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap
pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat
kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai
pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan
dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang
memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan
ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan
masyarakat.
4) Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada
wanita masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun).
Hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum
menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena
faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya
agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut
kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko
tinggi pada saat persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian
dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan.
Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan
bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan
keputusan.
5) Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang
mulai seks bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14
tahun dan ada yang melakukan dengan saudaranya sendiri. Hal ini
16
menyebabkan anak jalanan rentan terhadap penyakit kelamin
misalnya HIV atau AIDS.
6) Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun
( merampas, mencuri, membeli, hubungan seks) yang penting bisa
mendapatkan uang untuk membeli minuman keras, pil dan zat
aditif lainnya. Mereka menggunakan itu karena ingin
menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan. (P.
Agus. A., 2015)
7) Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan
sangat rentan terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual
seperti pelecehan, penganiyaan secara seksual, pemerkosaan,
penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi
perdagangan anak keluar daerah khususnya Riau dan Batam.
d. Masalah Kesehatan Pada Tunawisma
17
Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul
seperti :
1) Kegelisahan
2) Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi
3) Masalah bahasa dan berbicara
4) Penyakit pernafasan atas dan asma
5) Infeksi telinga
6) Gangguan pencernaan/mata
7) Trauma
8) Terserang kutu rambut
1) Skizofrenia
2) Gangguan bipolar
3) Depresi
4) Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial
5) Kepribadian yang kacau
18
kepada mereka yang mengalami masalah kesehatan secara holistik
atau menyeluruh.
2) Perawat sebagai pendidik
Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya
pendidikan mereka yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh
karena itu, perawat menjelaskan kepada mereka informasi seputar
kesehatan dan menanamkan gaya hidup sehat. Diharapkan para
tunawisma tersebut dapat merubah perilaku mereka untuk mencapai
tingkat kesehatan yang maksimal.
3) Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada
tunawisma. Bentuk monitoring dapat berupa observasi, kunjungan
rumah, pertemuan atau pengumpulan data.
4) Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang
kesehatan kepada masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang
dapat ditiru dan dicontoh oleh mereka.
5) Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran
perawat yang lain. Perawat memberikan perawatan yang efektif,
memberikan pembuatan keputusan antara individu dan keluarga,
memberikan perlindungan bagi para tunawisma dari ancaman
terhadap kesehatan dan kehidupannya. Semua itu dilakukan dengan
komunikasi yang jelas agar kualitas kehidupan mereka terpenuhi.
6) Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke
tingkat fungsi maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang
menimbulkan ketidakberdayaan lainnya. Seringkali tunawisma
mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan
mereka dan perawat membantu mereka untuk beradaptasi
semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.
19
f. Level Pencegahan Homeless (Tunawisma)
1) Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar
tetap berada di rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a) Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya
bantuan publik, mengetahui tersedianya dana, dan
mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan bagi
tunawisma yang membutuhkan.
b) Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar
tidak terjadinya pengusiran.
c) Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis
kepada tunawisma.
d) Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk
membayar rumah dan kebutuhan dasar.
2) Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar
segala kebutuhan serta pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para
tunawisma sulit mengakses khususnya system pelayanan kesehatan
karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap,
sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari
kondisi tersebut dan mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi
tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder ialah :
a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang
rendah dan menimbulkan persoalan umum bagi populasi
tunawisma adalah mereka menjalani medikasi dan regimen
terapi.
20
b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan
ditempat penampungan agar tunawisma tetap mendapatkan
asupan makanan sesuai yang ada di tempat penampungan
tersebut.
d) Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk
mengompensasi defisit nutrisi
e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu
melakukan usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f) Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para
tunawisma agar tetap mendapatkan pelayanan kesehatan
3) Pencegahan tersier (Rehabilitasi)
Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi
ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003).
Langkah pencegahan tersier pada tunawisma antara lain:
a) Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh
pihak dinas sosial kepada para PMKS. Bagian ini merupakan
bagian yang sangat penting guna menumbuhkan rasa percaya
diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis.
Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa
percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya.
Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar,
hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana
penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi tersebut.
Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis
(gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat
memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada
juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam
therapy ini, dalam therapy individu dilakukan pengecekan
21
terhadap semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu
persatu secara psikis.
b) Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan
kesehatan, terlebih dahulu para penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan fasilitas penanganan
kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang
sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan
dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan
badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya
mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat
selama ini kehidupan di jalanan yang sangat keras dan serba
tidak sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu
masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat
sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan kesehatan
tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.
c) Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang
dilakukan 1 bulan sekali, dengan tujuan memberikan
pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan di
jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak
lagi berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di
jalanan sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu
lintas. Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak
dinas sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau
pihak kepolisian setempat. Menurut pengamatan peneliti pada
saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi para
gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias.
Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi, karena
pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng)
22
dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap
dan kemudian dipenjarakan.
d) Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh
pihak dinas sosial, guna untuk menguatkan kembali
spiritualitas para gelandangan dan pengemis.
23
mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak
sebagai seorang warna negara Republik Indonesia.Dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 1, 5 dan 6, ada beberapa
usaha untuk menanggulangi gelandangan adalah sebagai berikut :
1) Usaha preventif
2. Pembinaan sosial
3. Bantuan sosial
5. Pemukiman lokal
24
6. Peningkatan derajat kesehatan
2) Usaha represif
d. Diserahkan ke pengadilan
3) Usaha Rehabilitatif
25
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 7 di
jelaskan bahwa pelaksanaan penanggulangan gelandangan di
atur lebih lanjut oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri,
dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara
bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas
masing-masing.
26
2) Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress),
antara lain berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram,
terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3) Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability)
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan
diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup
(mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll). (Maslim,
tth:7).
Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat
didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan
fungsi mental atau kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan
mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental terhadap
stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul
gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang, atau
sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang sejalan
juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu:
“Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk
ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap
tuntutan dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan
ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa
bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasus-kasus reaksi
psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental
(mental disorder) adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak
berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun phsikis yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.
27
1) Gangguan mental organik dan simtomatik;
Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan
dengan penyakit atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di
diagnosis secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik
adalah gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh otak akibat
sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik di luar otak
(extracerebral). (Maslim, tth:22).
2) Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.
Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat
psikoaktif (dengan atau tidak menggunakan resep dokter).
(Maslim, tth:36).
3) Gangguan skizofrenia dan gangguan waham.
Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya
ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik
dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted).” (Maslim, tth:46).
Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di mana
jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi
bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan.
(Sudarsono, 1993:272).
28
6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat
badan dengan segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita
(Maslim, tth:90).
7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
Suatu kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang
cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang
khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri
maupun orang lain (Maslim, tth:102).
8) Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti
atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya
keterampilan selama masa perkembangan sehingga berpengaruh
pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
9) Gangguan perkembangan psikologis.
Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan
fungsifungsi yang berhubungan erat dengan kematangan biologis
dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus menerus
tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud
“yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan
bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering
menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).
29
berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang
relatif tenang (Maslim, tth:136).
Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja
(2004:15-16), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental
disorder) memiliki rentang yang lebar, dari yang ringan sampai
yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan
integrasi kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat)
dan distress personal. Istilah ini lebih sering digunakan
untuk perilaku maladaptif pada anak-anak.
b) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau
sebagai kata lain dari perilaku abnormal, psikologi
abnormal atau gangguan mental.
c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain
dari gangguan mental, namun penggunaannya saat ini
terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi
otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
d) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan
untuk nama gangguan-gangguan yang berhubungan dengan
patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama inipun
sering digunakan sebagai istilah yng umum untuk setiap
gangguan dan kelainan.
e) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara
khusus untuk gangguan yang berasal dari kegagalan belajar,
baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan
ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan
masalah yang maladaptif.
f) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang
mengidentifikasikan bahwa individu secara mental tidak
mampu untuk mengelolah masalah-masalahnya atau
melihat konsekuensikonsekuensi dari tindakannya. Istilah
30
ini menunjuk pada gangguan mental yang serius terutama
penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas
tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di
hukum atau tidak.
31
sulit. Banyak orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik
terbuka dengan orang lain, serta menderita macam-macam
gangguan psikis.
32
Tuhan. Hal ini dapat diperoleh dengan cara penerimaan diri,
keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri (Yahya,
1993:83).
b) Keterpaduan atau integrasi diri
Berarti adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa
dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah dalam hidup) dan
kesanggupan mengatasi ketegangan emosi (stres) (Yahya,
1993:84).
c) Pewujudan diri (aktualisasi diri)
Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti
sebagai kemampuan mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki
gambaran dan sikap yang baik terhadap diri-sendiri serta
meningkatkan motivasi dan semangat hidup. Oleh karena itu,
agar terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mungkin
mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan dengan baik
dan memuaskan (Kartono, 1986:231). Dengan demikian upaya
pencegahan dapat berhasil apabila manusia dapat berpotensi
untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan tidak hanya
pasrah pada kemampuan dasar manusia seperti
menggembangkan bakat dan sebagainya.
d) Kemampuan menerima orang lain
Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan
lingkunagn tempat tinggal. Lingkungan di samping sebagai
faktor penyebab timbulnya gangguan mental, juga memiliki
peran penting dalam usaha mencegah timbulnya gangguan
mental. Sebab bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, dapat menyebabkan timbulnya
kecemasan dan kesulitan dalam mengahadapi tuntutan dan
persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur, 2000:13).
Dalam ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak
mempunyai ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak
33
mempunyai fungsi atau peran dalam masyarakat lebih mudah
mengalami gangguan kejiwaan. (Hawari, 1999:11). Sebagai
upaya pencegahannya manusia sedapat mungkin
menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas sosial
dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
e) Agama dan falsafah hidup.
Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang
gelisah dan terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai
alat pencegah (preventif) terhadap kemungkinan gangguan
mental dan merupakan faktor pembinaan (konstruktif) bagi
kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan
beragama, berarti seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan
serta tekun menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud
kesehatan mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup
merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai.
Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya.
Dengan demikian apabila seseorang memiliki falsafah hidup,
maka akan dapat menghadapi tantangannya dengan mudah
(Fahmi, 1982:92).
f) Pengawasan diri
Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat
mukin melindungi diri dari dorongan dan keinginan atau
berbuat maksiat dengan mengawasi diri kita. Secara umum
orang yang wajar adalah orang yang mampu mengendalikan
keinginannya dan mampu menunda sebagian dari pemenuhan
kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan kelezatankelezatan
dengan segera, demi untuk mencapai keuntungan (pahala) yang
lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi, 1982:114).
Manfaat lain dari pengawasan diri adalah menghindarkan
seseorang dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
norma dan adat yang berlaku. Berdasarkan pada eksplorasi di
34
atas, maka dapat disimpulkan bahwa pencegahan gangguan
mental dimaksudkan untuk mewujudkan kesehatan mental
yang didasarkan pada kemauan dan kemampuan setiap pribadi
untuk merubah dari masalah yang buruk agar menjadi baik.
35
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
A. Data Inti Komunitas
2. Data Demografi
36
Wanita 597
No Pendidikan Frekuensi
1 Belum Sekolah 75
2 TidakSekolah 0
3 TK 34
4 SD 266
5 SMP 273
6 SMA 403
7 Perguruan Tinggi 95
Total 1.146
- Distribusi Pekerjaan
37
2 Tidak Bekerja/IRT 94
3 PNS 52
4 TNI/POLRI 3
5 Pensiunan 59
6 Swasta 491
Total 1.146
2 Kristen 0
3 Hindu 0
4 Budha 0
5 Konghucu 0
Total 1.146
38
B.Data Subsistem Komunitas
1. Lingkungan Fisik
b. Pembuangan Limbah
1 Resapan 30
2 Selokan 54
3 Sembarang tempat 10
Jumlah 94
c. Kualitas Udara
39
Kualitas udara di Kelurahan Patimuan cukup bersih tidak ada polusi udara,
karena Kelurahan tersebut masih banyak terdapat pohon-pohon rindang.
d. Perumahan
1. Tipe Perumahan
1 Pemanen 531
2 Semipermanen 45
3 Tidak permanen 0
Jumlah 576
3 Sewa 30
3. Jenis Lantai
Jumlah 686
No Lantai Frekuensi
1 Tanah 3
2 Papan 4
3 Tegel 498
40
4 Semen 59
Jumlah 564
Jenis lantai di rumah masyarakat terdiri dari lantai tanah 3, papan 4, tegel
498, semen 59.
No Jendela Frekuensi
1 Ada 564
2 Tidak Ada
Jumlah
No Jarak Rumah
Jumlah Frekuensi
564
1 Bersatu 0
41
2 Dekat 204
3 Terpisah 360
Jumlah 564
Jarak rumah antara rumah satu dengan yang lain terdiri dari yang bersatu
tidak ada, rumah yang berdekatan sekitar <1 M sebanyak 204, terpisah 360.
.
No Halaman Rumah Frekuensi
1 Ada 522
2 Tidak Ada 42
Jumlah 564
No Pemanfaatan Frekuensi %
Pekarangan
1 Kebun 209
2 Kolam 15
3 Kandang 23
Jumlah
42
2. Pelayanan Kesehatan Dan Sosial
3. Ekonomi
a. Status Pekerja
masyarakat sebagian besar bekerja sebagai swasta, ada yang bertani, buruh dan
PNS
c. Pasar
d. Pusat bisnis
alat transportasi yang digunakan berupa mobil, motor, bentor dan sepeda.
b. Transportasi Umum
43
tidak terdapat layanan perlindungan kebakaran, jika terjadi kebakaran
biasanya pihak yang bersangkutan akan memanggil layanan kebakaran yang
berada di pusat kota.
d. Kantor Polisi
Desa ini memiliki karang taruna yang dianggotai remaja muda di desa huntu
barat.
Situasi politik di Desa Huntu Barat juga kurang terlihat. Pemerintah setempat
lebih tertarik membiayai pemenuhan sarana dan prasarana di Kelurahan
Patimuan, bukan tertarik di kesehatannya, lebih-lebih tertarik dengan
kesehatan jiwa masyarakat. Jadi pengaruhnya dengan jiwa masyarakat tidak
terdeteksi lebih dini. Banyak orang stress dengan semakin meningkatnya
kebutuhan, tetapi tingkat penghasilan minimal. Yang seperti itu kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat.
44
6. Komunikasi
a. Komunikasi Formal
informasi kesehatan melalui komunikasi formal seperti surat kabar, radio, dan
Tv namun seiring zaman penggunaan surat kabar sudah mulai berkurang, yang
mendengarkan melalui radio masih terdapat beberapa orang saja, dan televisi
sebagian besar.
b. Komunikasi Informal
7. Pendidikan
b. Perpustakaan
c. Pendidikan khusus
8. Rekreasi
45
a. Taman
b. Area Bermain
Selain itu warga juga bermain bersama di lapangan bola setiap sore, dan
sering berkumpul mengobrol di lingkungan rumah. Warga yang ada di
kelurahan Patimuan biasanya melakukan rekreasi di lapangan pada sore hari
dan berkumpul di lingkungan rumah pada saat malam sehabis magrib.
46
b. Pasangan usia subur yang menjadi akseptor KB
Pasangan yang menggunakan KB seabnyak 220 dan yang tidak
menggunakan KB 1 orang
c. Jenis kontrasepsi yang digunakan
1 IUD 74
2 Suntik 45
3 Pil 82
4 Susuk 5
5 Tubektomi 0
6 Kalender 14
Jumlah 220
Jenis kontrasepsi yang digunakan IUD sebanyak 74, suntik 45, pil 82,
susuk 5, tubektomi tidak ada, kalender 14.
e. Usia Kehamilan
1 Trimester I 4
2 Trimester II 11
3 Trmester III 8
Jumlah 23
47
Usia kehamilan pada trimester I sebanyak 3 orang, trimester II
sebanyak 6 orang dan trimester III sebanyak 8 orang
f. Frekuensi Kehamilan
No Kehamilan Frekuensi
Keberapa
1 I 9
2 II 6
3 III 2
4 Lebih III 6
Jumlah 23
1 16-24 9
2 25-35 11
3 Lebih dari 35 3
Jumlah 23
Usia ibu hamil 11 orang untuk usia 25-35, 3 orang untuk usia lebih
dari 35, dan 9 orang untuk 16-24. Ibu hamil usia muda dibawah umur 2
orang di usia 16 dan 17 tahun dikarenakan nikah muda
48
No Tempat periksa Frekuensi
kehamilan
1 Puskesmas 6
2 Bidan 13
3 Lainnya 4
Jumlah 23
1 2 Kali 13
2 3 Kali 10
Jumlah
No Imunisasi TT Frekuensi
1 Lengkap 17
2 Tidak lengkap 6
49
Jumlah
1 Hipotensi 1
2 Anemia 1
3 Bengkak 5
4 Mual/Muntah 19
5 Varises 0
Jumlah 19
1 Ya Meneteki 36
2 Tidak Meneteki 23
Jumlah 59
50
tidak menetek mengatakan berbagai alasan mereka tidak memberi asi
untuk bayinya dari mulai bayi yang tidak bisa menyusu, ASI tidak keluar,
ataupun sibuk bekerja sehingga susu formula menjadi alternatif.
2 1-4 Bulan 10
3 5-12 Bulan 33
Jumlah 59
Lama ibu menyusui 1-4 bulan sebanyak 10 ibu, 5-12 bulan 33 ibu,
lebih dari 12 bulan 16 ibu dan kurang dari 1 bulan tidak ada.
2. Balita
a. Jumlah Balita
No Balita Frekuensi
1 Ya Tergolong balita 48
2 Tidak tergolong
balita
Jumlah 48
b. Kebiasaan Ke Posyandu
No Kebiasaan Frekuensi
51
1 Ke Posyandu 0
2 Tidak Ke posyandu 0
Jumlah 0
c. Imunisasi Balita
No Imunisasi Frekuensi
1 Lengkap 40
2 Belum Lengkap 8
3 Tidak Lengkap 0
Jumlah 48
No Imunisasi Frekuensi
1 Ya Memiliki 48
2 Tidak memiliki 0
Jumlah 48
3. Remaja
a. Kegiatan remaja di luar sekolah
52
sekolah
1 Keagamaan 15
2 Karang Taruna 47
3 Olah raga 26
4 Dan lain-lain 28
Jumlah 116
1 Musik/Tv/Hp 50
2 Olahraga 26
3 Rekreasi 25
4 Keagamaan 15
Jumlah 116
4. Lansia
a. Keluhan Lansia
53
No Keluhan penyakit Frekuensi
lansia
1 Ya Mengeluh 59
Jumlah 59
Semua lansia punya keluhan baik itu keluhan ringan, sedang maupun
berat.
1 Asma 2
2 TBC 2
3 Hipertensi 59
4 DM 4
5 Rematik 8
6 Katarak 0
7 Lain-Lain 0
Jumlah 75
No Penanganan Frekuensi
54
Penyakit
1 Sarana Kesehatan 37
2 Non Medis 15
3 Diobati Sendiri 7
Jumlah 59
1 Berkebun 38
2 Rekreasi 12
3 Senam 2
4 Lain-Lain 7
Jumlah 59
55
Koping komunitas di Desa Huntu Barat menjadi efektif dalam
menjalani masalah.
56
III. INTERVENSI KEPERAWATAN
Kriteri
Dx Tujuan Umum Tujuan Khusus Strategi Rencana Kegiatan Sumber Tempat Waktu Standar Evaluasi PJ
a
.I Setelah dilakukan Setelah dilakukan Proses 1. Pembentukan 1. Kader Aula Setiap Respon 1. Warga Mahasiswa
tind.keperawatan tind. keperawatan kelompok kelompok kerja kesehatan Kantor hari verbal mengikuti
selama 3 minggu selama 1 minggu: desa minggu, Kader
kesehatan jiwa di 2. Tokoh kelompok kerja kesehatan
diharapkan huntu dilakukan
orangtua bisa Warga Kelurahan desa masy. barat 2 kali/ kesehatan jiwa
melakukan Patimuan dapat minggu.
2. Pembentukan 3. Maha di desa
tindakan koping membentuk
kelompok kerja kelompok siswa 2. Warga
yang efektif.
kesehatan jiwa di pendukung seperti 4. Materi ttg mengikuti
desa dan
kelompok kesehatan kelompok
kelompok
pendukung . pengajian, jiwa pengajian
kelompok diskusi
kesehatan jiwa.
Setelah dilakukan Pedidikan 3. Latihan 1. kader Aula desa Setiap Respon 1. Warga Mahasiswa
tindakan kesehatan kepemimpinan kesehatan huntu hari verbal mengikuti
keperawatan Jiwa barat minggu, Kader
(mengadakan 2. Tokoh training motivasi kesehatan
selama 2 minggu melalui dilakukan
warga kelurahan Formasi training motivasi) masy. 2 kali/ 1 2. Warga bisa
57
patimuan dapat kepemimp 4. Edukasi 3. Tokoh minggu menyebut
melakukan inan (penyuluhan Agama bagaimana cara
demonstrasi ttg
tentang 4. mahasiswa memecahkan
bagaimana cara
menyelesaikan bagaimana cara 5. materi masalah
suatu masalah memecahkan tentang
yang baik.
masalah) kesehatan
jiwa
Setelah dilakukan Pemberda 1. Pembinaan 1. Kader Aula Setiap Respon 1. Warga aktif Mahasiswa
tind. keperawatan yaan dan keluarga sehat dan kesehatan kantor hari Psikom diskusi terkait
selama 3 minggu kemitraan desa minggu, otor Kader
anggota keluarga 2. Tokoh kasus yang ada kesehatan
warga kelurahan huntu dilakukan
patimuan dapat resiko gang. jiwa masy. barat 2 kali/ 1 2. Warga
melakukan studi membahas kasus 3. Maha minggu terkontrol
kasus tentang
terkait manajemen siswa emosinya
masalah yang
sering dihadapi stress dan di 4. Materi dengan
diskusikan. tentang kelompok
2. Pembinaan kesehatan diskusi tersebut
kelompok & jiwa Respon 3. Masyarakat
masy. melalui Afektif lebih mampu
58
kunjungan Perawa menghadapi
t Puskesmas/ kemungkinan
Komunitas masalah yg ada
3. Kerjasama LP warga terbuka
dengan Dinas wawasan dan
Kesehatan peluang usaha
Kabupaten berupa untuk perbaikan
pengadaan ekonominya.
kegiatan rutin Life
Skill Education
dan LS berupa
pelatihan
kewirausaan dari
Dinas Perikanan.
Setelah dilakukan Intervensi 1. Terapi modalitas 4. Perawat Aula Setiap 2 Respon 1. Warga merasa Mahasiswa
tind.keperawatan profesiona keperawatan 5. Tokoh kantor hari verbal lebih tenang dan kader
selama 4 minggu l desa sekali/min kesehatan
berupa pemberian masy. 2. Warga merasa
warga kelurahan huntu ggu
patimuan dapat teknik relaksasi 6. Tokoh barat lebih semangat
melakukan studi
59
kasus tentang nafas dalam. agama 3. Warga bisa
masalah yang 2. Terapi 7. Maha mengontrol
sering dihadapi
komplementer siswa emosinya
berupa
manajemen stress
3. Pemberian
bimbingan
keagamaan
(spiritual)
60
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Kelompok Rentan adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil
dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa
yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
h. Refugees (pengungsi)
i. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
j. National Minoritie (kelompok minoritas)
k. Migrant Workers (pekerja migran )
l. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat pemukimannya)
m. Children (anak)
n. Women (wanita)
Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.
Kelompok rentan terbagi menjadi 3:
a. Penyandang cacat
b. Tunawisma
c. Gangguan mental/mental disorder
61