Anda di halaman 1dari 17

Dosen : Ani T. Prianti, S.St., M.Kes., M.

Keb
Mata Kuliah : Asuhan Kasus Kompleks

MAKALAH

KOMUNIKASI PADA PEREMPUAN DENGAN DISABILITAS

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 8 :

A1A221093 Nikma
A1A221211 Juniarti Mutiara Syafi
A1A221233 Olivia Selanno
A1A221242 Nur Aolia

UNIVERSITAS MEGA REZKY MAKASSAR

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan tema
“Komunikasi Pada Perempuan Dengan Disabilitas” tepat pada waktunya.

Kami menyadari dengan sepenuhnya dalam makalah ini masih jauh dari
kata sempurna karena sesungguhnya kami hanya manusia biasa yang tak luput dar
salah dan dosa kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, untuk itu dengan
senang hati kami menerima segala saran dan kritik yang sifatnya membangun
demi hasil makalah yang lebih baik. Sadar akan kemampuan dan ilmu kami yang
terbatas, tetapi kami berusaha untuk mendapatkan hasil yang semaksimal
mungkin.
Dalam makalah ini, tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam bentuk spiritual, materil, maupun moril.
Semoga dengan tersusunnya makalah dengan tema “Komunikasi Pada
Perempuan Dengan Disabilitas” ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
bagi para pembaca dan dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

Makassar, 05 Oktober 2022

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... ii

Daftar Isi ............................................................................................................iii


BAB I Pendahuluan ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 2

BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................... 3


A. Definisi Distabilitas ................................................................................ 3
B. Jenis – jenis Penyandang Disabilitas ..................................................... 5
C. Derajat Kecacatan Penyandang Distabilitas ........................................... 8
D. Asas dan Hak – hak Penyadang Distabilitas ........................................... 9
E. Berikut ini cara berinteraksi dengan penyandang distabilitas ............... 11

BAB III Penutup ............................................................................................. 13


A. Kesimpulan .......................................................................................... 13
B. Saran ..................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuhan menciptakan manusia di dunia ini adalah sama, namun manusia itu
sendirilah yang membedakan di antara sesama manusia, baik berwujud sikap,
perilaku, maupun perlakuannya. Perbedaan ini masih sangat dirasakan oleh
mereka yang mengalami keterbatasan secara fisik, mental, dan fisik-mental,
baik sejak lahir maupun setelah dewasa, dan kecacatan tersebut tentunya tidak
diharapkan oleh semua manusia, baik yang menyandang kecacatan maupun
yang tidak menyandang cacat. Menurut data World Health Organization
(WHO), jumlah penyandang cacat di negara-negara berkembang mencapai
10% (sepeluh per seratus) dari total penduduk keseluruhan. Pada tahun 2009
Badan Pusat Statistik menerbitkan statisik disabilitas dalam 2009. Yang kk
Rm kategorisasi kecacatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (selanjutnya
disingkat Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997). Statistik tersebut
menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat di pedesaan berjumlah
1.198.185 jiwa, sementara di perkotaan berjumlah 928.600 jiwa, sehingga
jumlah totalnya sebanyak 2.126.785 jiwa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,masalah yang bisa dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kesetaraan hak-hak para
penyandang disabilitas ,dapat berkomunikasi dengan baik dan
memperhatikan hak haknya?
2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat kesetaraan
3. hak para penyandang disabilitas?

1
4. Apa urgensi masalah komunikasi pada penderita disabilitas/fisik serta
adanya informed concent

C. Tujuan
1. Menjelaskan perlindungan hukum terhadap kesetaraan hak-hak para
penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia
2. Menjelaskan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat komunikasi

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Disabilitas
(Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak

Penyandang Disabilitas).

Disabilitas dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang

Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental,

intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi

dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang

menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak

Penyandang Disabilitas. Kendala yang dihadapi dalam FGD terkait

penempatan kerja yang tepat bagi penyandang disabilitas fisik. Hasil FGD

tersebut adanya kesempatan kerja yang diberikan oleh aparat pemerintah dan

dunia usaha dengan dibekali pelatihan keterampilan terlebih dahulu. Kata

Kunci: Aksesibilitas, Pekerjaan, Penyandang Disabilitas Fisik, Konsep.

Istilah disabilitas berasal dari bahasa inggris yaitu different ability yang

artinya manusia memiliki kemampuan yang berbeda.

Berikut ini beberapa pengertian penyandang disabilitas dari beberapa sumber:

1. Menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006,

penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang tidak mampu

menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan

individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari kecacatan

3
mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan

fisik atau mentalnya.

2. Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, penyandang cacat/disabilitas merupakan kelompok masyarakat

rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih

berkenaan dengan kekhususannya.

3. Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan

Sosial, penyandang cacat/disabilitas digolongkan sebagai bagian dari

masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara

kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial.

4. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai

kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan

rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,

yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental;

penyandang cacat fisik dan mental.

5. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas, Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami

keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka

waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami

hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif

dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

4
B. Jenis-jenis Penyandang Disabilitas

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat, Penyandang Disabilitas dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai

berikut:

1. Cacat Fisik

Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi

tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan

kemampuan berbicara. Cacat fisik antara lain: a) cacat kaki, b) cacat

punggung, c) cacat tangan, d) cacat jari, e) cacat leher, f) cacat netra, g)

cacat rungu, h) cacat wicara, i) cacat raba (rasa), j) cacat

pembawaan.Cacat tubuh atau tuna daksa berasal dari kata tuna yang

berarati rugi atau kurang, sedangkan daksa berarti tubuh. Jadi tuna daksa

ditujukan bagi mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna.

Cacat tubuh dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Menurut sebab cacat adalah cacat sejak lahir, disebabkan oleh

penyakit, disebabkan kecelakaan, dan disebabkan oleh perang.

b. Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) tungkai dan

lengan; cacat tulang, sendi, dan otot pada tungkai dan lengan; cacat

tulang punggung; celebral palsy; cacat lain yang termasuk pada

cacat tubuh orthopedi; paraplegia.

2. Cacat Mental

Cacat mental adalah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik

cacat bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain: a) retardasi

5
mental, b) gangguan psikiatrik fungsional, c) alkoholisme, d) gangguan

mental organik dan epilepsi.

3. Cacat Ganda atau Cacat Fisik dan Mental

Yaitu keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan

sekaligus. Apabila yang cacat adalah keduanya maka akan sangat

mengganggu penyandang cacatnya.

Menurut Reefani (2013:17), penyandang disabilitas dibagi menjadi

beberapa jenis, yaitu:

a. Disabilitas Mental

Disabilitas mental atau kelainan mental terdiri dari:

1) Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat

intelektual, di mana selain memiliki kemampuan intelektual di

atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab

terhadap tugas.

2) Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas

intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow

learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient)

antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence

Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan

khusus.

3) Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan

dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh.

6
b. Disabilitas Fisik

Disabilitas Fisik atau kelainan fisik terdiri dari:

1) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tuna daksa adalah individu

yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan

neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan,

sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio

dan lumpuh.

2) Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra). Tunanetra

adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.

Tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan

yaitu: buta total (blind) dan low vision.

3) Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah

individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik

permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki

hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki

hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut

tunawicara.

4) Kelainan Bicara (Tunawicara). Tunawicara adalah

seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan

pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak

dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat

dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat

fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena

7
ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya

ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan

pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara.

c. Tunaganda (disabilitas ganda)

Tunaganda atau penderita cacat lebih dari satu kecacatan

(cacat fisik dan mental) merupakan mereka yang menyandang

lebih dari satu jenis keluarbiasaan, misalnya penyandang tuna netra

dengan tuna rungu sekaligus, penyandang tuna daksa disertai

dengan tuna grahita atau bahkan sekaligus.

C. Derajat Kecacatan Penyandang Disabilitas

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

104/MENKES/PER/II/1999 tentang Rehabilitasi Medik pada Pasal 7

mengatur derajat kecacatan dinilai berdasarkan keterbatasan kemampuan

seseorang dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, yaitu sebagai berikut:

1. Derajat cacat 1: Mampu melaksanakan aktivitas atau mempertahankan

sikap dengan kesulitan.

2. Derajat cacat 2: Mampu melaksanakan kegiatan atau mempertahankan

sikap dengan bantuan alat bantu.

3. Derajat cacat 3: Dalam melaksanakan aktivitas, sebagian memerlukan

bantuan orang lain dengan atau tanpa alat bantu.

4. Derajat cacat 4: Dalam melaksanakan aktivitas tergantung penuh

terhadap pengawasan orang lain.

8
5. Derajat cacat 5: Tidak mampu melakukan aktivitas tanpa bantuan penuh

orang lain dan tersedianya lingkungan khusus.

6. Derajat cacat 6: Tidak mampu penuh melaksanakan kegiatan sehari-hari

meskipun dibantu penuh orang lain.

D. Asas dan Hak-hak Penyandang Disabilitas

Menurut Rahayu, dkk (2013:111), terdapat empat asas yang dapat

menjamin kemudahan atau aksesibilitas penyandang disabilitas yang mutlak

harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

1. Asas kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau

bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.

2. Asas kegunaan, yaitu semua orang dapat mempergunakan semua tempat

atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.

9
3. Asas keselamatan, yaitu setiap bangunan dalam suatu lingkungan

terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk

disabilitas.

4. Asas kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai dan masuk

untuk mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu

lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

Menurut Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia mengatur bahwa setiap penyandang

cacat/disabilitas, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak,

berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Berdasarkan hal

tersebut maka penyandang cacat/disabilitas berhak atas penyediaan sarana

aksesibilitas yang menunjang kemandiriannya, kesamaan kesempatan dalam

pendidikan, kesamaan kesempatan dalam ketenagakerjaan, rehabilitasi,

bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Dalam hal ini yang

dimaksud rehabilitasi meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi pendidikan,

rehabilitasi pelatihan, dan rehabilitasi sosial.

Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat ditegaskan bahwa setiap penyandang cacat/disabilitas berhak

memperoleh:

1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.

2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat

kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.

10
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati

hasil-hasilnya

4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya.

5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

6. Hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan, dan

kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam

lingkungan keluarga dan masyarakat.

E. Berikut ini cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas:

1. Sapa dan bicara secara langsung dengan kontak mata. Hindari berbicara

satu arah melalui orang lain, baik melalui penerjemah atau pendamping

2. Fokus kepada penyandang disabilitas yang diajak bicara, bukan pada

kondisinya.

3. Bicara dengan jelas, mudah dipahami, dan tetap santun.

4. Bahasa tubuh yang ramah. Contohnya usahakan bicara dalam posisi sejajar

dan jangan dengan sengaja membelakanginya.

5. Jangan membuat penyandang disabilitas sebagai orang yang aneh.

6. Kenalilah kebutuhan spesifik penyandang disabilitas, misalnya disabilitas

fisik membutuhkan kursi roda.

7. Jika merasa penyandang disabilitas yang datang membutuhkan bantuan,

jangan ragu untuk menanyakan apakah dia butuh bantuan. Kemudian

tanyakan bagaimana cara penyandang disabilitas ingin dibantu.

11
8. Kursi roda, tongkat, alat bantu dengar, tangan palsu, kaki palsu, dan alat

bantu lainnya merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Jadi, jangan

menyentuh, memindahkan, atau melakukan sesuatu pada alat bantu tadi

tanpa persetujuan.

9. Tidak memberikan pertanyaan yang berulang-ulang.

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pada dasarnya setiap manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat
hiduptanpa bantuan orang lain, sehingga komunikasi sangat berperan
dalammembentukinteraksi sosial antar manusia. Interaksi sosial tersebut dapat
terjadi baikantar individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok
dengan kelompok. Scheidel dalam Mulyana (2014) menyatakan bahwa
komunikasi bertujuan untukmenyatakan dan mendukung identitas diri,
membangun kontak sosial denganorang sekitar dan untuk mempengaruhi
orang lain agar merasa, berpikir ataubertindak seperti yang diinginkan. Seiring
dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat menunjukkanadanya
perubahan dalam komunikasi yang semakin mempermudah manusiadalam
berkomunikasi dan mencari informasi. Perkembangan teknologi tersebut
memunculkan terjadinya komunikasi interaktif yang ditandai dengan
kemunculaninternet. Dengan adanya internet, masyarakat dapat menerima
informasi secaracepat tanpa terhalang jarak dan waktu, serta menjangkau
semua kalanganmasyarakat. (Tamburaka, 2013)

B. SARAN
Sebagai akhir dari makalah ini, mahasiswa diharapkan mampu untuk
memahami bagaimana cara berkomunikasi serta memberikan pelayanan pada
perempuan dengan disabilitas.

13
DAFTAR PUSTAKA

Arfiudin, M. B., & Yuliastrid, D. (2021). TINGKAT ANTUSIASME SISWA TUNA RUNGU DAN
TUNA WICARA TERHADAP PORONG KABUPATEN SIDOARJO Dita Yuliastrid. Jurnal
Kesehatan Olahraga, 09(04), 175–182.
Ari Atu Dewi, A. A. I. (2018). Aspek Yuridis Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas. Pandecta: Research Law Journal, 13(1), 50–62.
https://doi.org/10.15294/pandecta.v13i1.13933
Fariska, I. W. (2019). DUKUNGAN SOSIAL LEMBAGA TERHADAP PENYANDANG
DISABILITAS (Studi Di Lingkar Sosial Kabupaten Malang).
https://eprints.umm.ac.id/55222/%0Ahttps://eprints.umm.ac.id/55222/1/PENDAH
ULUAN.pdf
Itasari, E. R. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Di
Kalimantan Barat. Journal.Unnes.Ac.Id, 32(1), 70–82.
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/integralistik/article/view/25742
Karim, M. A. (2018). Implementasi Kebijakan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas di Kota Makassar. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 11(2), 86–102.
Lina. (2017). Implementasi Perda No 3 Tahun 2016 Tentang Pemenuhan dan
Perlindungan Hak-hak Penyandang Distabilitas Dalam Aksesbilitas Fasilitas Umum
(Studi di Jalan Permindo Kota Padang) Penelitian. Ekp, 13(3), 1576–1580.
Mira Damayanti. (2019). Pembinaan Tunanetra Dalam Pembentukan Perilaku
Keagamaan. 1–106.
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu/article/download/835/692
Musoliyah, A. (2019). Pemenuhan Hak-hak Anak Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas: Studi Kasus
Di Desa Sonoageng Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk. SAKINA : Journal of
Family Studies , 3(2), 1–12. http://urj.uin-malang.ac.id/index.php/jfs

Anda mungkin juga menyukai