Di Susun Oleh
Kelompok 3
Kelas VIIA Keperawatan
1. Messy Yunanda (1726010017)
2. Hindrean Erva yudha (1726010012)
3. Ade Neken Apriyani (1726010025)
4. Tenti Yoseva (1726010020)
5. Fetria Chonika (1726010006)
6. M. Ichsan dwi putra (1726010095)
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudu
l“Askep Pada Kelompok Rentan Penyandang Cacat “ Penulis mengucapkan
terimakasih kepada Teman – teman yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI .................................................................................................iii
BAB IPENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latarbelakang..................................................................................... 1
B. Rumusan masalah............................................................................... 3
C. Tujuan ................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi penyandnag cacat disabilitas............................................... 4
B. Etiologi penyandnag cacat................................................................. 6
C. Macam – macam penyandang sisabilitas......................................... 6
D. Patofisiologi......................................................................................... 12
E. Pemeriksaan Penunjang..................................................................... 13
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian penyandang cacat
2. Mengetahui sebab penyandang cacat
3. Mengerti macam- macam penyandang cacat
4. Mengetahui patofisiologis nya
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang disabilitas
6. Dapat mempelajari askepnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Penyandang Cacat (Disabilitas)
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan
dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.1 Kata “disabilitas” tidak lain adalah
kata “cacat” yang selama ini di gunakan oleh orang-orang untuk menyebut
orang yang kekurangan fisik atau mental. Karena kata “penyandang cacat”
mengandung makna konotasi negatif, maka bahasa tersebut di ubah menjadi
“penyandang disabilitas”.
Istilah “disabilitas atau cacat” memiliki konotasi yang negatif dan tidak
bersahabat terhadap mereka yang memiliki kelainan. Persepsi yang muncul
dari istilah “penyandang disabilitas” adalah kelompok sosial ini merupakan
kelompok yang serba kekurangan, tidak mampu, perlu dikasihani, dan kurang
bermartabat. Persepsi seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan konvensi
internasional yang mempromosikan penghormatan atas martabat “penyandang
disabilitas” dan melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka sebagai
manusia. The International Classification of Impairment, Disability and
menyatakan bahwa ada tiga definisi berkaitan dengan kecacatan, Undang-
Undang RI No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yaitu
impairment, disability, dan handicap.
Menurut WHO (2014) disabilitas dianggap sebagi kondisi yang
menyebabkan gangguan pada hubungan seseorang dengan lingkungan,
penyandang disabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia,
dimana 80% dari penyandang disabilitas berada dikalangan negara-negara
berkembang.
Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi
psikologis, fisiologis atau anatomis. Disability adalah suatu keterbatasan atau
kehilangan kemampuan (sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu
kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi
seorang manusia. Handicap adalah suatu kerugian bagi individu tertentu,
sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau
menghambat terlaksananya suatu peran yang normal. Namun hal ini juga
tergantung pada usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor sosial atau budaya.2
Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
Pasal 1 Ayat 1, mendefinisikan “penyandang cacat” sebagai “setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara
selayaknya”.3
2. Tuna Netra
Jumlah tuna netra di Indonesia belum di tentukan dengan tepat.
Salah satu sebabnya ialah kesulitan mengenai definisi tentang tuna netra.
Jika ketajaman penglihatan sentral 20-200 di pakai sebagai kriterium
maka mungkin banyak sekali orang Indonesia termasuk dalam kategori
tuna netra. Orang yang memiliki kemampuan melihat semacam ini,
hanya dapat membaca huruf yang besar-besar (lebih dari 14 titik). Di
pihak lain, ada tuna netra yang masih mempunyai sedikit sisa
penglihatannya sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa
penglihatannya itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari
termasuk membaca tulisan berukuran besar setelah dibantu dengan
kacamata.8 Orang tuna netra yang masih mempunyai sisa penglihatan
yang fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang “kurang awas” atau
lebih dikenal dengan sebutan Low Vision.
Sikap masyarakat luas terhadap tuna netra jauh lebih baik di
bandingkan dengan sikap terhadap tuna rungu. Kebutaan adalah cacat
yang dapat di lihat dengan jelas oleh semua orang. Negara mungkin
memberikan kemudahan-kemudahan tertentu kepada mereka, misalnya di
beri potongan khusus terhadap pajak pendapatan dan kekayaan mereka.
Orang tuna netra pada umumnya menimbulkan simpati pada orang-orang
lain tetapi mungkin simpati tersebut disesalkan oleh orang tuna netra itu
sendiri.
3. Tuna Daksa
Tuna daksa merupakan sebutan halus bagi orang-orang yang
memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan,
atau bentuk tubuh. Tuna daksa adalah istilah lain dari tuna fisik, ialah
berbagai jenis gangguan fisik yang berhubungan dengan kemampuan
motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang
mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam
proses penyesuaian diri dengan lingkungannya.
Demikian pula, ada di antara anak tuna daksa hanya mengalami
sedikit hambatan sehingga mereka dapat mengikuti pendidikan
sebagaimana anak normal lainnya. Sedangkan pendapat lain
mengatakan bahwa tuna daksa di golongkan menjadi tiga golongan,
yaitu:
a. Tuna daksa tarif ringan: yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah
tuna daksa murni dan tuna daksa kombinasi ringan. Tuna daksa
jenis ini pada umumnya hanya mengalami sedikit gangguan mental
dan kecerdasannya cenderung normal. Kelompok ini lebih banyak
di sebabkan adanya kelainan anggota tubuh saja, seperti lumpuh,
anggota tubuh berkurang (buntung), dan cacat fisik lainnya.
b. Tuna daksa taraf sedang: yang termasuk dalam klasifikasi ini
adalah tuna daksa akibat cacat bawaan, celebral palsy ringan dan
polio ringan. Kelompok ini banyak di alami dari tuna akibat
celebral palsy (tuna mental) dan disertai dengan menurunnya daya
ingat walau tidak sampai jauh di bawah normal, dan
c. Tuna daksa taraf berat: yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah
tuna akibat celebral palsy berat dan keturunan akibat infeksi. Pada
umumnya, anak yang terkenal kecacatan ini tingkat kecerdasnnya
tergolong dalam kelas debil, embesil, dan idiot.
4. Tuna Grahita
Tuna grahita merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut
anak atau orang yang memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata
atau bisa juga di sebut dengan retardasi mental. Tuna grahita inilah yang
membuat para tuna grahita sulit untuk mengikuti program pendidikan
seperti anak pada umumnya. Oleh karena itu, anak-anak ini
membutuhkan sekolah khusus dengan pendidikan yang khusus pula. Ada
beberapa karakteristik tunagrahita, yaitu:
a. Keterbatasan intelegensi
Yang dimaksud keterbatasan intelegensi adalah kemampuan
belajar anak sangat kurang, terutama yang bersifat abstrak, seperti
membaca dan menulis, belajar dan berhitung sangat terbatas. Mereka
tidak mengerti apa yang sedang di pelajari atau cenderung belajar
dengan membeo.
b. Keterbatasan fungsi mental lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu yang lebih lama dalam
menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka
memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal rutin secara
konsisten.
5. Tuna Laras
Tuna laras merupakan sebutan untuk individu yang mengalami
hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Penderita
biasanya menunjukkan perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan
aturan atau norma yang berlaku di sekitarnya. Secara garis besar, anak
tuna laras dapat di klarifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak mengalami
gangguan emosi. Penderita tuna laras memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berani melanggar aturan yang berlaku;
b. Mudah emosi; dan
c. Suka melakukan tindakan agresif
Sedangkan penderita tuna laras, di sebabkan oleh beberapa hal, meliputi:
a. Kondisi keluarga yang tidak baik atau broken home;
b. Kurangnya kasih sayang dari orang tua;
c. Kemampuan sosial dan ekonomi rendah;
d. Adanya konflik budaya, yaitu adanya perbedaan pandangan hidup
antara keadaan sekolah dan kebiasaan keluarga; dan
e. Memiliki keturunan gangguan jiwa.
6. Autis
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang yang
didapatkannya sejak lahir atau masa balita, yang membuat dirinya
tidak dapat berhubungan sosial atau komunikasi secara normal. Di
tinjau dari segi bahasa, autis berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“sendiri”.
Secara neurologis atau berhubungan dengan sistem persarafan,
autis dapat diartikan sebagai anak yang mengalami hambatan
perkembengan otak, terutama pada area bahasa, sosial, dan fantasi.
Hambatan inilah yang kemudian membuat anak autis berbeda dengan
anak lainnya. Dia seakan memiliki dunianya sendiri tanpa
memerhatikan lingkungan sekitarnya. Ironisnya, banyak orang yang
salah dalam memahami anak autis. Anak-anak autis di anggap gila,
tidak waras, dan sangat berbayhaya, sehingga mereka seperti terisolasi
dari kehidupan manusia lain dan tidak mendapatkan perhatian secara
penuh.
Jika seorang anak terkena autis, gejala yang tampak anak satu
dengan yang lain berbeda. Gejala autis sangatlah bervariasi. Sebagian
anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri sendiri,
namun, tak hjarang ada juga yang bersikap pasif. Mereka cenderung sulit
mengendalikan emosinya. Namun, gejala yang paling menonjol adalah
sikap anak yang cenderung tidak memerdulikan lingkungan dan orang-
orang sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi.
D. Patofisiologi
Down syndrome, dikenal juga sebagai trisomi 21, merupakan penyakit genetik
yang paling umum diketahui yang menyebabkan gangguan intelektual dan
pertumbuhan. Penyakit ini umumnya ditandai oleh gangguan
pertumbuhan, intelligence quotient (IQ) di bawah rata-rata, dan karakteristik wajah
yang khas, misalnya berupa ukuran kepala yang kecil dan bagian belakang kepala
mendatar, serta tangan yang pendek dan lebar.
Down syndrome merupakan aneuploidi yang paling sering ditemukan, di mana
angka prevalensi secara global bervariasi 1 per 400-1500 kelahiran. Insidensi
kelahiran bayi dengan Down syndrome meningkat seiring dengan meningkatnya usia
ibu saat hamil. Kelainan genetik pada Down syndrome menyebabkan disabilitas
intelektual dan meningkatnya risiko beberapa penyakit seperti gangguan jantung,
gangguan saluran pernapasan, gangguan hematologi, gangguan sistem indera, dan
kelainan sendi. Pada Down syndrome, terjadi trisomi kromosom 21 pada sebagian
atau seluruh sel dalam tubuh yang menyebabkan ekspresi berlebih gen tersebut.
E. Pemeriksaan penunjang
1. Pengukuran sensitivitas getaran
Pengukuran sensitivitas getaran memberi informasi tentang
informasi serabut saraf yang membawa sensasi dalam, dan dianggap
sebagai sarana yang baikuntuk menilai ganggguan sensorik. Uji ini
termasuk pemeriksaan garpu tala (antara 128 – 256 Hz) pada suatu
tonjolan tulang. Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menghitung
sensitivitas vibrasi dengan getaran yang ditimbulkan secara
elektromagnetik atau elektrik.
2. Uji neurofisiologis.
Elektromiografi dapat membantu mendeteksi denervasi serat otot
akibat degenerasi akson. Selain itu dapat pula mendemonstrasikan
potensial llistrik pada otot yang sedang istirahat, menurunnya rekruitmen
unit motorik saat kontraksi otot, dan variasi parameter unit motorik.
3. Elektroneurografi
Memungkinkan pengukuran kecepatan konduksi impuls serabut
motorik maupun sensorik.
4. Elektroensefalografi.
Elektroensefalografi tidak dapat dianjurkan sebagai uji deteksi dini
gangguan fungsional sistem saraf pusat. Demikian pula teknik-teknik
baru seperti analisis frekuensi elektroensefalografi dan potensial yang
dibangkitkan otak.
5. Uji psikologis (neuro behavior)
Para pekerja yang berisiko tinggi terpapar zat neurotoksik hendaknya
menjalani pemeriksaan psikologis secara berkala untuk mencegah
terjadinya kemunduran fungsi yang irreversible pada sistem saraf yang
lebih tinggi. Kalau mungkin, hendaknya didapat suatu profil dasar
sebelum paparan
6. Pemeriksaan Radiologi dengan CT Scan dan MRI
- Pemeriksaan penunjang
- Lumbal punctie/cairan otak
- Elektro Fisiologi (EEG, EMG)
- Radiologi (foto kepala, CT Scan, MRI)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PENYANDANG CACAT
KASUS
Di suatu daerah X(bengkulu) terjadi bencana alam gempa bumi, tanah
longsor, dan sebagainya. Saat terjadi bencana sebagai tenaga medis maka
bertugas untuk memberi bantuan layanan kesehatan pada korban yang
mengalami luka secara fisik maupun mental. Salah satu pelayanan kesehatan
yaitu memberikan perlindungan pada komunitas salah satunya kelompok
penyandang cacat. Tenaga medis melakukan pelayanan kesehatan kelompok
berupa pengkajian, diagnosa keperawatan, implementasi, intervensi, dan
evaluasi.
Salah satu anggota kelompok penyandang cacat yaitu Tn.F yang berusia
65 tahun. Hasil yang di dapat setelah dilakukan pemeriksaan oleh tenaga medis
secara subjektif maupun objektif adalah Tn.F mengeluhkan bahwa pasca terjadi
bencana masih merasa cemas dan kakinya sakit karena terhimpit reruntuhan
bangunan. Tingkat kesadaran komposmentis, TD: 130/90Mmhg, N: 95x/m, S:
36oC, RR: 27x/m. Kondisi fisik Tn.F memiliki luka dibagian kaki kanan yang
cacat.
A. Pengkajian
Pengkajian terhadap klien meliputi :
1. Kota Bengkulu adalah Ibu Kota Provinsi Bengkulu, Indonesia. Kota ini
merupakan kota terbesar kedua di pantai barat Pulau Sumatra, setelah Kota
Padang. Kota Bengkulu memiliki luas wilayah sebesar 144,52 km² dengan
jumlah penduduk sebesar 351.298 jiwa yang terdiri atas 176.535 orang
laki-laki dan 174.763 orang perempuan pada tahun 2015.
2. Data demografis :
Kota Bengkulu memiliki luas wilayah sebesar 144,52 km² dengan
jumlah penduduk sebesar 351.298 jiwa yang terdiri atas 176.535 orang
laki-laki dan 174.763 orang perempuan pada tahun 2015.
3. Vital Statistik
Jumlah penyandang disabilitas 1.803 jiwa, dibagi menjadi 5 kategori
disabilitas diantaranya: Tuna daksa :571 jiwa, Tuna netra 305, Tuna rungu /
wicara 268 jiwa, Tunagrahita 283 dan disabilitas lainnya 205 jiwa.
4. Status kesehatan komunitas
a. Keluhan yang dirasakan komunitas rentan pada penyandang cacat
Tn.F mengeluhkan bahwa pasca terjadi bencana masih merasa
cemas dan kakinya sakit karena terhimpit reruntuhan bangunan.
b. Tanda – tanda vital
Tingkat kesadaran komposmentis, TD: 130/90Mmhg, N: 95x/m,
S: 36oC, RR: 27x/m
c. Riwayat kesehatan pada komunitas rentan pada penyandang cacat
Tn.F tidak pernah mengalami penyakit serius namun Tn.F pernah
mengalami penyakit malaria pada tahun lalu.
d. Riwayat penyakit keluarga pada komunitas rentan pada penyandang
cacat
Keluarga Tn.F tidak memiliki riwayat penyakit yang serius
e. Pola pemenuhan kebutuhan sehari- hari:
1) Pola pemenuhan nutrisi
Tn.F mengatakan makanan yang dia makan berasal dari
makanan yang telah disediakan oleh tim bantuan bencana
2) Pola pemenuhan cairan dan elektrolit
Tn.F mengatakan pasca bencana ditolong oleh tim medis
dengan bantuan cairan infus
3) Pola istirahat tidur
Tn.F merasa tida nyaman saat tidur karena rasa nyeri di kakinya
4) Pola eliminasi
5) Pola aktifitas gerak
Tn.F mengalami kesulitan dalam berjalan karena kakinya sakit.
6) Pola pemenuhan kebersihan diri
Tn.F mandi, menyikat gigi, mengganti pakaian, untuk menjaga
kebersihan diri
7) Status psikologi
Tn.F merasa cemas dengan kejadian yang telah terjadi dan
menyebabkan kakinya sakit
8) Status pertumbuhan dan perkembangan
C. Pemeriksaan fisik
1. TTV: Tingkat kesadaran komposmentis, TD: 130/90Mmhg, N: 95x/m, S:
36oC, RR: 27x/m
2. Kepala : bentuk kepala simetris , tidak terdapat nyeri tekan, rambut
beruban, bentuk rambut keriting
3. Mata : simetris, konjungtiva an anemis, an ikterik
4. Hidung: simetris ,kurang bersih, tida ada polip,fungsi penciuman baik
5. Mulut :simetris, bibir kering, warna gusi sedikit kuning, warna lidah
normal, fungsi pengecapan normal
6. Telinga: posisi telinga simetris kiri kanan, bentuknya normal,kebersihan
telinga terdapat serumen, fungsi pendengaran sedikit terganggu
7. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, nadi karotis teraba
8. Dada : bentuk simetris, pergerakan dinding dada simetris, tidak ada
penggunaan otot bantu pernafasan
9. Abdomen : simetris , bentuk normal, tida ada nyer tekan
10. Ekstremitas bawah: kaki kanan terdapat luka terbuka
11. Genetalia : normal, tida menggunakan alat bantu
D. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
F. Implementasi
No Diagnosa SLKI SIKI
B. Saran
Diharapkan makalah Asuhan Keperawatan ini dapat menambah
pengetahuan mahasiswa STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu dalam
memberikan pelayanan Keperawatan dan dapat menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dan untuk para tim medis agar dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang keperawatan sehingga dapat
memaksimalkan kita untuk memberikan health education dalam perawatan
kelompok pada penyandang cacat.
DAFTAR PUSTAKA
https://media.neliti.com/media/publications/52813-ID-kebutuhan-pelayanan-
sosial-penyandang-ca.pdf
http://eprints.ums.ac.id/48508/1/BAB%20I.pdf
https://www.emc.id/id/care-plus/kenali-ragam-disabilitas-lain-dan-
penanganannya