Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN KELOMPOK RENTAN

PADA PENYANDANG CACAT

Di Susun Oleh
Kelompok 3
Kelas VIIA Keperawatan
1. Messy Yunanda (1726010017)
2. Hindrean Erva yudha (1726010012)
3. Ade Neken Apriyani (1726010025)
4. Tenti Yoseva (1726010020)
5. Fetria Chonika (1726010006)
6. M. Ichsan dwi putra (1726010095)

Dosen Pengampuh: Ns. Devi Listiana, S.Kep, M. Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ( STIKES )
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudu
l“Askep Pada Kelompok Rentan Penyandang Cacat “ Penulis mengucapkan
terimakasih kepada Teman – teman yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka


menambah wawasan serta pengetahuan. Penulis juga memahami bahwa dalam
penyusunan makalah ini terdapat kekurangan, baik dalam sistematika penulisan,
keefektipan kalimat, serta ke unsur kebahasaan yang penulis gunakan. Oleh sebab
itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang
akan penulis buat dimasa yang akan datang, Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami oleh siapa pun yang membacanya serta dapat berguna.

Bengkulu, Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI .................................................................................................iii
BAB IPENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latarbelakang..................................................................................... 1
B. Rumusan masalah............................................................................... 3
C. Tujuan ................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi penyandnag cacat disabilitas............................................... 4
B. Etiologi penyandnag cacat................................................................. 6
C. Macam – macam penyandang sisabilitas......................................... 6
D. Patofisiologi......................................................................................... 12
E. Pemeriksaan Penunjang..................................................................... 13

BAB III ASKEP KELOMPOK RENTAN PADA PENYANDANG CACAT


A. Pengkajian .......................................................................................... 16
B. Data lingkungan fisik.......................................................................... 18
C. Pemeriksaan fisik................................................................................ 18
D. Analisa data......................................................................................... 19
E. Diagnosa .............................................................................................. 20
F. Implementasi ...................................................................................... 20
G. Intervensi dan evaluasi....................................................................... 21

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN................................................................................... 23
B. SARAN................................................................................................. 23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuhan menciptakan manusia di dunia ini adalah sama, namun manusia itu
sendirilah yang membedakan di antara sesama manusia baik berwujud sikap,
perilaku, maupun perlakuannya. Pembedaan ini masih sangat dirasakan oleh
mereka yang mengalami keterbatasan secara fisik, mental, dan fisik-mental, baik
sejak lahir maupun setelah dewasa, dan kecacatan tersebut tentunya tidak
diharapkan oleh semua manusia, baik yang menyandang kecacatan maupun yang
tidak menyandang cacat.1 Menurut data World Health Organization (WHO),
jumlah penyandang cacat di negara-negara berkembang mencapai 10% (sepeluh
per seratus) dari total penduduk keseluruhan. 2 Pada tahun 2009 Badan Pusat
Statistik menerbitkan statisik disabilitas dalam SUSENAS 2009. Yang
menggunakan kategorisasi kecacatan sebagaimana diatur dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (selanjutnya
disingkat Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997). Statistik tersebut menunjukkan
bahwa jumlah penyandang cacat di pedesaan berjumlah 1.198.185 jiwa,
sementara di perkotaan berjumlah 928.600 jiwa, sehingga jumlah totalnya
sebanyak 2.126.785 jiwa.
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan
fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan
untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.1 Kata “disabilitas” tidak lain adalah kata “cacat”
yang selama ini di gunakan oleh orang-orang untuk menyebut orang yang
kekurangan fisik atau mental. Karena kata “penyandang cacat” mengandung
makna konotasi negatif, maka bahasa tersebut di ubah menjadi “penyandang
disabilitas”. Istilah “disabilitas atau cacat” memiliki konotasi yang negatif dan
tidak bersahabat terhadap mereka yang memiliki kelainan. Persepsi yang muncul
dari istilah “penyandang disabilitas” adalah kelompok sosial ini merupakan
kelompok yang serba kekurangan, tidak mampu, perlu dikasihani, dan kurang
bermartabat. Persepsi seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan konvensi
internasional yang mempromosikan penghormatan atas martabat “penyandang
disabilitas” dan melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka sebagai
manusia.
Penyandang disabilitas sering disebut sebagai orang cacat, yang dianggap
sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan. Indonesia
merupakan Negara yang memiliki berbagai risiko untuk kecacatan. Situasi ini
diperburuk oleh rendahnya keselamatan lalu lintas dan keselamatan kerja.
Indonesia memang telah mempunyai Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997
tentang Penyandang Cacat, namun selain implementasinya yang lemah, UU ini
dipandang kurang memberdayakan subyek hukumnya. Istilah “penyandang
cacat” yang digunakan dianggap menstigmatisasi karena kata “penyandang”
menggambarkan seseorang yang memakai “label atau tanda-tanda negatif”
kecacatan itu pada keseluruhan pribadinya (whole person).
Kelompok rentan adalah suatu kelompok yang idealnya diperhatikan oleh
pemerintah dan berbagai pihak. Hal ini tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999
tentang kelompok rentan. Penerapan undang-undang tersebut sangat penting
dilakukan oleh semua pihak termasuk akademisi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu penyandang cacat
2. Sebab penyandang cacat
3. Macam – macam penyandang cacat
4. Apa Patofisiologis penyandang cacat
5. Pemeriksaan penunjang pada penyandang cacat
6. Bagaimana askep kelompok rentan penyandang cacat disabilitas

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian penyandang cacat
2. Mengetahui sebab penyandang cacat
3. Mengerti macam- macam penyandang cacat
4. Mengetahui patofisiologis nya
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang disabilitas
6. Dapat mempelajari askepnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Penyandang Cacat (Disabilitas)
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan
dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.1 Kata “disabilitas” tidak lain adalah
kata “cacat” yang selama ini di gunakan oleh orang-orang untuk menyebut
orang yang kekurangan fisik atau mental. Karena kata “penyandang cacat”
mengandung makna konotasi negatif, maka bahasa tersebut di ubah menjadi
“penyandang disabilitas”.
Istilah “disabilitas atau cacat” memiliki konotasi yang negatif dan tidak
bersahabat terhadap mereka yang memiliki kelainan. Persepsi yang muncul
dari istilah “penyandang disabilitas” adalah kelompok sosial ini merupakan
kelompok yang serba kekurangan, tidak mampu, perlu dikasihani, dan kurang
bermartabat. Persepsi seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan konvensi
internasional yang mempromosikan penghormatan atas martabat “penyandang
disabilitas” dan melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka sebagai
manusia. The International Classification of Impairment, Disability and
menyatakan bahwa ada tiga definisi berkaitan dengan kecacatan, Undang-
Undang RI No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yaitu
impairment, disability, dan handicap.
Menurut WHO (2014) disabilitas dianggap sebagi kondisi yang
menyebabkan gangguan pada hubungan seseorang dengan lingkungan,
penyandang disabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia,
dimana 80% dari penyandang disabilitas berada dikalangan negara-negara
berkembang.
Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi
psikologis, fisiologis atau anatomis. Disability adalah suatu keterbatasan atau
kehilangan kemampuan (sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu
kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi
seorang manusia. Handicap adalah suatu kerugian bagi individu tertentu,
sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau
menghambat terlaksananya suatu peran yang normal. Namun hal ini juga
tergantung pada usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor sosial atau budaya.2
Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
Pasal 1 Ayat 1, mendefinisikan “penyandang cacat” sebagai “setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara
selayaknya”.3

Penyandang cacat tubuh adalah seseorang yang mempunyai kelainan


tubuh pada alat gerak yang meliputi tulang, otot dan persendian baik dalam
struktur atau fungsinya yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak. Cacat tubuh juga
disebut cacat orthopedic dan cacat muskuloskeletal yang berarti cacat yang ada
hubungannya dengan tulang, sendi dan otot. Cacat ortopedi adalah sakit jenis
cacat, dimana salah satu atau lebih anggota tubuh bagian tulang, persendian
mengalami kelainan (abnormal) sehingga timbul rintangan dalam melakukan
fungsi gerak (motorik).
Penyandang cacat tubuh berdasarkan jenis kecacatan dibedakan menjadi:
a. Putus (amputasi) pada kaki dan atau tangan,
b. Cacat tulang persendian, tungkai, tangan dan sebagainya,
c. Cacat tulang punggung,
d. Paraplegia,
e. Cacat akibat sakit folio,
f. TBC tulang dan sendi,
g. Cerebral palcy (cacat koordinasi dari gerak anggota badan yang
terganggu).
B. Etiologi / sebab
Berdasarkan definisi yang diterbitkan oleh Kementerian Sosial Tahun
2005, penyebab disabilitas dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. Disabilitas akibat kecelakaan (korban peperangan kerusuhan)
2. Kecelakaan kerja/industri, kecelakaan lalu lintas serta kecelakaan
lainnya
3. Disabilitas sejak lahir atau ketika dalam kandungan, termasuk yang
mengidap disabilitas akibat penyakit keturunan, dan disabilitas yang
disebabkan oleh penyakit (penyakit polio, penyakit kelamin, penyakit
TBC, penyakit kusta, diabetes dll).
Hasil Susenas 2012 menunjukkan bahwa secara umum penyebab
disabilitas perempuan adalah karena penyakit lainnya sebesar 64,98%,
kemudian bawaan sejak lahir sebesar 14,56%, dan kecelakaan/bencana
alam sebesar 13,64%.

C. Macam-macam Penyandang Disabilitas


Fisik seseorang merupakan faktor yang penting dalam pembentukan
gambaran tubuh dan dalam perkembangan selfconcept.4 Jika fisik jelas
berbeda atau menyimpang dari yang normal, dengan cacat pada indra atau
organ motorik, maka penyimpangan seperti itu akan sangat mempengaruhi
bentuk dari gambaran diri seseorang. Cara individu mengintregasikan
selfconcept yang muncul dengan variabel lain yang berarti dalam hidupnya
akan menentukan penyesuaian diri yang harmonis dan tidak harmonis. Harus di
perhatikan bahwa cacat fisik yang parah tidk terlalu mengakibatkan kerusakan
kepribadian.
1) Disabilitas fisik
Penyandang disabilitas fisik mengalami keterbatasan akibat gangguan
pada fungsi tubuh. Cacat dapat muncul sejak lahir atau akibat kecelakaan,
penyakit, atau efek samping dari pengobatan medis. Beberapa jenisnya
antara lain lumpuh, kehilangan anggota tubuh akibat amputasi, dan cerebral
palsy.
2) Disabilitas sensorik
Disabilitas sensorik adalah keterbatasan fungsi panca indra. Yang
termasuk jenis disabilitas ini, antara lain disabilitas wicara, rungu, dan netra.
Untuk membantu penyandang disabilitas netra, Anda perlu mempelajari
cara khusus berinteraksi dengan mereka. Ketahuilah jenis sentuhan dan nada
bicara yang bisa Anda gunakan untuk berkomunikasi. Selain itu, sebelum
membantu mereka, Anda juga perlu bertanya terlebih dahulu apakah mereka
memang membutuhkan bantuan Anda atau tidak.
Untuk berinteraksi dengan penyandang disabilitas wicara, rungu, atau
rungu wicara, Anda membutuhkan keahlian dalam menggunakan bahasa
isyarat. Sebaiknya Anda berbicara dengan tempo lebih lambat agar lebih
mudah dimengerti.
3) Disabilitas mental
Penyandang disabilitas mental mengalami keterbatasan akibat gangguan
pada pikiran atau otak. Disabilitas mental, termasuk bipolar, gangguan
kecemasan, depresi, dan gangguan mental lainnya. Mereka yang mengalami
disabilitas mental dapat mengalami kesulitas untuk berkonsentrasi, berpikir,
mengambil keputusan, dan mengutarakan isi pikiran mereka.
Salah satu cara menangani disabilitas mental adalah dengan tidak
menempatkan mereka pada kondisi yang rentan menimbulkan stres atau
tertekan. Selain itu, saat berinteraksi dengan penyandang disabilitas mental,
Anda sebaiknya menggunakan penjelasan yang menyeluruh dan pemilihan
kata yang mudah dimengerti. Jika perlu, Anda bisa memberikan pilihan cara
penyampaian informasi, beberapa lebih memilih untuk mendengarkan
penjelasan secara langsung dan beberapa lainnya lebih mudah memahami
tulisan. Terakhir, Anda butuh kesabaran dan pikiran yang terbuka untuk
memahami kondisi penyandang disabilitas mental.
4) Disabilitas intelektual
Disabilitas intelektual dapat ditandai dengan tingkat IQ di bawah standar
rata-rata, kesulitan memproses informasi, dan keterbatasan dalam
berkomunikasi, bersosialisasi, dan kepekaan terhadap lingkungan. Beberapa
jenis disabilitas intelektual adalah down syndrome dan keterlambatan tumbuh
kemban
1. Tuna Rungu
Pengertian tuna rungu sendiri sangat beragam yang mengacu pada
kondisi pendengaran anak tuna rungu. Tuna rungu juga merupakan suatu
istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan
sampai yang berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Tuna
rungu bukanlah cacat emosi. Faktor yang penting dalam perkembangan
kepribadian adalah apa yang di pikirkan oleh orang cacat itu sendiri
mengenai situasinya, dan apa yang di pikirkan serta di rasakannya
mengenai cacat tersebut sebagian besar merupakan cerminan dari apa
yang di pikirkan orang-orang lain. Karena sikap orang-orang yang
normal pendengarannya terhadap orang yang tuna rungu agak negatif,
maka tidak mengherankan jika emosi orang yang tuna rungu agak tidak
stabil di bandingkan dengan orang yang bukan tuna rungu.
a. Faktor pendorong
- Biologis
Infeksi atau penyakit lain yang menyebabkan hilangnya
pendengaran selama tahap-tahap yang sangat penting sebelum
perkembangan bahasa dan awal perkembangan bahasa. Ini menjadi
jelas pada tahap kemudian.
- Psikologis
Latar belakang keluarga yang menyebabkan perkembangan
kepribadian yang salah sekurang-kurangnya toleransi yang
rendah terhadap stres atau persaingan.
Reaksi keluarga terhadap kualitas pendengaran sehingga
memperkuat berkurangnya toleransi terhadap stres.
b. Faktor-faktor pemercepat
Banyak terjadi bahwa stres dan tegangan dalam penyesuaian
diri dengan teman-teman sebaya di sekolah dan faktor-faktor sosial
yng lain, dijumpai anak ketika ia meninggalkan lingkungan
keluarga yang lebih terlindung.

2. Tuna Netra
Jumlah tuna netra di Indonesia belum di tentukan dengan tepat.
Salah satu sebabnya ialah kesulitan mengenai definisi tentang tuna netra.
Jika ketajaman penglihatan sentral 20-200 di pakai sebagai kriterium
maka mungkin banyak sekali orang Indonesia termasuk dalam kategori
tuna netra. Orang yang memiliki kemampuan melihat semacam ini,
hanya dapat membaca huruf yang besar-besar (lebih dari 14 titik). Di
pihak lain, ada tuna netra yang masih mempunyai sedikit sisa
penglihatannya sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa
penglihatannya itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari
termasuk membaca tulisan berukuran besar setelah dibantu dengan
kacamata.8 Orang tuna netra yang masih mempunyai sisa penglihatan
yang fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang “kurang awas” atau
lebih dikenal dengan sebutan Low Vision.
Sikap masyarakat luas terhadap tuna netra jauh lebih baik di
bandingkan dengan sikap terhadap tuna rungu. Kebutaan adalah cacat
yang dapat di lihat dengan jelas oleh semua orang. Negara mungkin
memberikan kemudahan-kemudahan tertentu kepada mereka, misalnya di
beri potongan khusus terhadap pajak pendapatan dan kekayaan mereka.
Orang tuna netra pada umumnya menimbulkan simpati pada orang-orang
lain tetapi mungkin simpati tersebut disesalkan oleh orang tuna netra itu
sendiri.

3. Tuna Daksa
Tuna daksa merupakan sebutan halus bagi orang-orang yang
memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan,
atau bentuk tubuh. Tuna daksa adalah istilah lain dari tuna fisik, ialah
berbagai jenis gangguan fisik yang berhubungan dengan kemampuan
motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang
mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam
proses penyesuaian diri dengan lingkungannya.
Demikian pula, ada di antara anak tuna daksa hanya mengalami
sedikit hambatan sehingga mereka dapat mengikuti pendidikan
sebagaimana anak normal lainnya. Sedangkan pendapat lain
mengatakan bahwa tuna daksa di golongkan menjadi tiga golongan,
yaitu:
a. Tuna daksa tarif ringan: yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah
tuna daksa murni dan tuna daksa kombinasi ringan. Tuna daksa
jenis ini pada umumnya hanya mengalami sedikit gangguan mental
dan kecerdasannya cenderung normal. Kelompok ini lebih banyak
di sebabkan adanya kelainan anggota tubuh saja, seperti lumpuh,
anggota tubuh berkurang (buntung), dan cacat fisik lainnya.
b. Tuna daksa taraf sedang: yang termasuk dalam klasifikasi ini
adalah tuna daksa akibat cacat bawaan, celebral palsy ringan dan
polio ringan. Kelompok ini banyak di alami dari tuna akibat
celebral palsy (tuna mental) dan disertai dengan menurunnya daya
ingat walau tidak sampai jauh di bawah normal, dan
c. Tuna daksa taraf berat: yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah
tuna akibat celebral palsy berat dan keturunan akibat infeksi. Pada
umumnya, anak yang terkenal kecacatan ini tingkat kecerdasnnya
tergolong dalam kelas debil, embesil, dan idiot.

4. Tuna Grahita
Tuna grahita merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut
anak atau orang yang memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata
atau bisa juga di sebut dengan retardasi mental. Tuna grahita inilah yang
membuat para tuna grahita sulit untuk mengikuti program pendidikan
seperti anak pada umumnya. Oleh karena itu, anak-anak ini
membutuhkan sekolah khusus dengan pendidikan yang khusus pula. Ada
beberapa karakteristik tunagrahita, yaitu:
a. Keterbatasan intelegensi
Yang dimaksud keterbatasan intelegensi adalah kemampuan
belajar anak sangat kurang, terutama yang bersifat abstrak, seperti
membaca dan menulis, belajar dan berhitung sangat terbatas. Mereka
tidak mengerti apa yang sedang di pelajari atau cenderung belajar
dengan membeo.
b. Keterbatasan fungsi mental lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu yang lebih lama dalam
menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka
memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal rutin secara
konsisten.

5. Tuna Laras
Tuna laras merupakan sebutan untuk individu yang mengalami
hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Penderita
biasanya menunjukkan perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan
aturan atau norma yang berlaku di sekitarnya. Secara garis besar, anak
tuna laras dapat di klarifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak mengalami
gangguan emosi. Penderita tuna laras memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berani melanggar aturan yang berlaku;
b. Mudah emosi; dan
c. Suka melakukan tindakan agresif
Sedangkan penderita tuna laras, di sebabkan oleh beberapa hal, meliputi:
a. Kondisi keluarga yang tidak baik atau broken home;
b. Kurangnya kasih sayang dari orang tua;
c. Kemampuan sosial dan ekonomi rendah;
d. Adanya konflik budaya, yaitu adanya perbedaan pandangan hidup
antara keadaan sekolah dan kebiasaan keluarga; dan
e. Memiliki keturunan gangguan jiwa.
6. Autis
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang yang
didapatkannya sejak lahir atau masa balita, yang membuat dirinya
tidak dapat berhubungan sosial atau komunikasi secara normal. Di
tinjau dari segi bahasa, autis berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“sendiri”.
Secara neurologis atau berhubungan dengan sistem persarafan,
autis dapat diartikan sebagai anak yang mengalami hambatan
perkembengan otak, terutama pada area bahasa, sosial, dan fantasi.
Hambatan inilah yang kemudian membuat anak autis berbeda dengan
anak lainnya. Dia seakan memiliki dunianya sendiri tanpa
memerhatikan lingkungan sekitarnya. Ironisnya, banyak orang yang
salah dalam memahami anak autis. Anak-anak autis di anggap gila,
tidak waras, dan sangat berbayhaya, sehingga mereka seperti terisolasi
dari kehidupan manusia lain dan tidak mendapatkan perhatian secara
penuh.
Jika seorang anak terkena autis, gejala yang tampak anak satu
dengan yang lain berbeda. Gejala autis sangatlah bervariasi. Sebagian
anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri sendiri,
namun, tak hjarang ada juga yang bersikap pasif. Mereka cenderung sulit
mengendalikan emosinya. Namun, gejala yang paling menonjol adalah
sikap anak yang cenderung tidak memerdulikan lingkungan dan orang-
orang sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi.

D. Patofisiologi
Down syndrome, dikenal juga sebagai trisomi 21, merupakan penyakit genetik
yang paling umum diketahui yang menyebabkan gangguan intelektual dan
pertumbuhan. Penyakit ini umumnya ditandai oleh gangguan
pertumbuhan, intelligence quotient (IQ) di bawah rata-rata, dan karakteristik wajah
yang khas, misalnya berupa ukuran kepala yang kecil dan bagian belakang kepala
mendatar, serta tangan yang pendek dan lebar.
Down syndrome merupakan aneuploidi yang paling sering ditemukan, di mana
angka prevalensi secara global bervariasi 1 per 400-1500 kelahiran. Insidensi
kelahiran bayi dengan Down syndrome meningkat seiring dengan meningkatnya usia
ibu saat hamil. Kelainan genetik pada Down syndrome menyebabkan disabilitas
intelektual dan meningkatnya risiko beberapa penyakit seperti gangguan jantung,
gangguan saluran pernapasan, gangguan hematologi, gangguan sistem indera, dan
kelainan sendi. Pada Down syndrome, terjadi trisomi kromosom 21 pada sebagian
atau seluruh sel dalam tubuh yang menyebabkan ekspresi berlebih gen tersebut.

Skrining Down syndrome dapat dilakukan pada masa prenatal melalui


kombinasi ultrasonografi dan pemeriksaan marker tertentu dalam serum maternal.
Diagnosis Down syndrome dapat dilakukan di masa prenatal melalui prosedur
amniosentesis di trimester kedua kehamilan atau pengambilan sampel vilus korion
pada trimester pertama, serta pemeriksaan noninvasif seperti tes DNA janin cell-
free yang diisolasi dari darah ibu.

E. Pemeriksaan penunjang
1. Pengukuran sensitivitas getaran
Pengukuran sensitivitas getaran memberi informasi tentang
informasi serabut saraf yang membawa sensasi dalam, dan dianggap
sebagai sarana yang baikuntuk menilai ganggguan sensorik. Uji ini
termasuk pemeriksaan garpu tala (antara 128 – 256 Hz) pada suatu
tonjolan tulang. Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menghitung
sensitivitas vibrasi dengan getaran yang ditimbulkan secara
elektromagnetik atau elektrik.
2. Uji neurofisiologis.
Elektromiografi dapat membantu mendeteksi denervasi serat otot
akibat degenerasi akson. Selain itu dapat pula mendemonstrasikan
potensial llistrik pada otot yang sedang istirahat, menurunnya rekruitmen
unit motorik saat kontraksi otot, dan variasi parameter unit motorik.
3. Elektroneurografi
Memungkinkan pengukuran kecepatan konduksi impuls serabut
motorik maupun sensorik.
4. Elektroensefalografi.
Elektroensefalografi tidak dapat dianjurkan sebagai uji deteksi dini
gangguan fungsional sistem saraf pusat. Demikian pula teknik-teknik
baru seperti analisis frekuensi elektroensefalografi dan potensial yang
dibangkitkan otak.
5. Uji psikologis (neuro behavior)
Para pekerja yang berisiko tinggi terpapar zat neurotoksik hendaknya
menjalani pemeriksaan psikologis secara berkala untuk mencegah
terjadinya kemunduran fungsi yang irreversible pada sistem saraf yang
lebih tinggi. Kalau mungkin, hendaknya didapat suatu profil dasar
sebelum paparan
6. Pemeriksaan Radiologi dengan CT Scan dan MRI
- Pemeriksaan penunjang
- Lumbal punctie/cairan otak
- Elektro Fisiologi (EEG, EMG)
- Radiologi (foto kepala, CT Scan, MRI)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PENYANDANG CACAT

KASUS
Di suatu daerah X(bengkulu) terjadi bencana alam gempa bumi, tanah
longsor, dan sebagainya. Saat terjadi bencana sebagai tenaga medis maka
bertugas untuk memberi bantuan layanan kesehatan pada korban yang
mengalami luka secara fisik maupun mental. Salah satu pelayanan kesehatan
yaitu memberikan perlindungan pada komunitas salah satunya kelompok
penyandang cacat. Tenaga medis melakukan pelayanan kesehatan kelompok
berupa pengkajian, diagnosa keperawatan, implementasi, intervensi, dan
evaluasi.
Salah satu anggota kelompok penyandang cacat yaitu Tn.F yang berusia
65 tahun. Hasil yang di dapat setelah dilakukan pemeriksaan oleh tenaga medis
secara subjektif maupun objektif adalah Tn.F mengeluhkan bahwa pasca terjadi
bencana masih merasa cemas dan kakinya sakit karena terhimpit reruntuhan
bangunan. Tingkat kesadaran komposmentis, TD: 130/90Mmhg, N: 95x/m, S:
36oC, RR: 27x/m. Kondisi fisik Tn.F memiliki luka dibagian kaki kanan yang
cacat.
A. Pengkajian
Pengkajian terhadap klien meliputi :
1. Kota Bengkulu adalah Ibu Kota Provinsi Bengkulu, Indonesia. Kota ini
merupakan kota terbesar kedua di pantai barat Pulau Sumatra, setelah Kota
Padang. Kota Bengkulu memiliki luas wilayah sebesar 144,52 km² dengan
jumlah penduduk sebesar 351.298 jiwa yang terdiri atas 176.535 orang
laki-laki dan 174.763 orang perempuan pada tahun 2015.
2. Data demografis :
Kota Bengkulu memiliki luas wilayah sebesar 144,52 km² dengan
jumlah penduduk sebesar 351.298 jiwa yang terdiri atas 176.535 orang
laki-laki dan 174.763 orang perempuan pada tahun 2015.
3. Vital Statistik
Jumlah penyandang disabilitas 1.803 jiwa, dibagi menjadi 5 kategori
disabilitas diantaranya: Tuna daksa :571 jiwa, Tuna netra 305, Tuna rungu /
wicara 268 jiwa, Tunagrahita 283 dan disabilitas lainnya 205 jiwa.
4. Status kesehatan komunitas
a. Keluhan yang dirasakan komunitas rentan pada penyandang cacat
Tn.F mengeluhkan bahwa pasca terjadi bencana masih merasa
cemas dan kakinya sakit karena terhimpit reruntuhan bangunan.
b. Tanda – tanda vital
Tingkat kesadaran komposmentis, TD: 130/90Mmhg, N: 95x/m,
S: 36oC, RR: 27x/m
c. Riwayat kesehatan pada komunitas rentan pada penyandang cacat
Tn.F tidak pernah mengalami penyakit serius namun Tn.F pernah
mengalami penyakit malaria pada tahun lalu.
d. Riwayat penyakit keluarga pada komunitas rentan pada penyandang
cacat
Keluarga Tn.F tidak memiliki riwayat penyakit yang serius
e. Pola pemenuhan kebutuhan sehari- hari:
1) Pola pemenuhan nutrisi
Tn.F mengatakan makanan yang dia makan berasal dari
makanan yang telah disediakan oleh tim bantuan bencana
2) Pola pemenuhan cairan dan elektrolit
Tn.F mengatakan pasca bencana ditolong oleh tim medis
dengan bantuan cairan infus
3) Pola istirahat tidur
Tn.F merasa tida nyaman saat tidur karena rasa nyeri di kakinya
4) Pola eliminasi
5) Pola aktifitas gerak
Tn.F mengalami kesulitan dalam berjalan karena kakinya sakit.
6) Pola pemenuhan kebersihan diri
Tn.F mandi, menyikat gigi, mengganti pakaian, untuk menjaga
kebersihan diri
7) Status psikologi
Tn.F merasa cemas dengan kejadian yang telah terjadi dan
menyebabkan kakinya sakit
8) Status pertumbuhan dan perkembangan

B. Data lingkungan fisik


1. Pemukiman
Kondisi sebelum bencana rumah TN.F yaitu rumah dengan dinding bata
dan beratap seng, lantai semen, tetapi pasca bencana kondiri rumah
runtuh.
2. Sanitasi
Persediaan air bersih cukup
3. Ekonomi
Ekonomi keluarga di bantu oleh anaknya yang sudah dewasa dan
berkerja.
4. Keamanan dan tranfortasi
Sulitnya sarana tranfortasi pasca terjadi bencana
5. Sistem komunikasi
Dapat berkomunikasi dengan baik dengan bahasa daerah
6. Rekreasi
Berkumpul dengan keluarga di rumah

C. Pemeriksaan fisik
1. TTV: Tingkat kesadaran komposmentis, TD: 130/90Mmhg, N: 95x/m, S:
36oC, RR: 27x/m
2. Kepala : bentuk kepala simetris , tidak terdapat nyeri tekan, rambut
beruban, bentuk rambut keriting
3. Mata : simetris, konjungtiva an anemis, an ikterik
4. Hidung: simetris ,kurang bersih, tida ada polip,fungsi penciuman baik
5. Mulut :simetris, bibir kering, warna gusi sedikit kuning, warna lidah
normal, fungsi pengecapan normal
6. Telinga: posisi telinga simetris kiri kanan, bentuknya normal,kebersihan
telinga terdapat serumen, fungsi pendengaran sedikit terganggu
7. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, nadi karotis teraba
8. Dada : bentuk simetris, pergerakan dinding dada simetris, tidak ada
penggunaan otot bantu pernafasan
9. Abdomen : simetris , bentuk normal, tida ada nyer tekan
10. Ekstremitas bawah: kaki kanan terdapat luka terbuka
11. Genetalia : normal, tida menggunakan alat bantu

D. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah

1. Data Subjektif : Agen pencedera Nyeri akut


fisik
 Mengeluh nyeri
Data Objektif :
 Tampak meringis
 Tekanan darah meningkat
 Gelisah
 Frekuensi nadi meningkat

2. Data Subjektif : Kecemasan Gangguan


mobilitas fisik
 Mengeluh sulit menggerakan
ekstremitas
 Merasa cemas saat bergerak
Data Objektif :
 Gerakan terbatas
 Gelisah
E. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedra fisik dibuktikan dengan
mengeluh nyeri, tampak gelisa, frekuensi nadi meningkat, dan pola nafas
berubah
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kecemasan dibuktikan
dengan mengeluh sulit menggerakan ekstremitas, merasa cemas saat
bergerak, dan gerakan terbatas

F. Implementasi
No Diagnosa SLKI SIKI

1. Nyeri akut berhubungan TUJUAN KHUSUS Setelah dilakukan intervensi keperawatan


dengan agen pencedra Setelah dilakukan selama 1 pertemuan kelompok mampu
fisik dibuktikan dengan intervensi mengenal masalah
Manajemen Nyeri
mengeluh nyeri, tampak keperawatan selama 1
- Observasi ( identifikasi lokasi,
gelisa, frekuensi nadi pertemuan kelompok
karakteristik, durasi, frekuensi,
meningkat, dan pola mampu mengenal
kualitas dan intensitas nyeri,
nafas berubah masalah
identifikasi skala nyeri)
Tingkat nyeri
- Terapeutik (kontrol lingkungan yang
- Keluhan nyeri
memperberat rasa nyeri )
- Meringis
- Edukasi (jelaskan penyebab dan
- Gelisah
pemicu nyeri, jelaskan strategi
- Pola tidur
meredakan nyeri, anjurkan
- Pola nafas
menggunakan analgetik secara tepat)
- Kolaborasi ( pemberian analgetik,
jika perlu)
2. Gangguan mobilitas fisik TUJUAN KHUSUS Setelah dilakukan intervensi keperawatan
berhubungan dengan Setelah dilakukan selama 1 pertemuan kelompok mampu
kecemasan dibuktikan intervensi mengenal masalah

dengan mengeluh sulit keperawatan selama 1 Dukungan ambulasi


- Observasi (identifikasi adanya nyeri
menggerakan pertemuan kelompok
atau keluhan fisik lainnya, monitor
ekstremitas, merasa mampu mengenal kondisi umum selama melakukan
cemas saat bergerak, dan masalah ambulasi)
gerakan terbatas Mobilitas fisik - Terapeutik (fasilitasi aktivitas
- Pergerakan ambulasi dengan alat bantu , libatkan
ektremitas keluarga untuk membantu paien
- Nyeri dalam meningkatkan ambulasi)
- Kecemasan - Edukasi (jelaskan prosedur dan
- Gerakan terbatas tujuan ambulasi, anjurkan ambulasi
sederhana yang harus dilakukan)

G. Intervensi Dan Evaluasi


No Diagnosa Intervensi Evaluasi

1. Nyeri akut Kelompok mampu S : Tn.F mengatakan mengetahui


berhubungan mengenal masalah penyebab, periode dan cara meredakan
dengan agen Manajemen Nyeri nyeri
pencedra fisik - Observasi ( identifikasi Tn. F mengatakan bisa mengontrol
dibuktikan lokasi, karakteristik, durasi, nyeri secara mandiri
dengan frekuensi, kualitas dan Tn. F Mengatakan mau
mengeluh nyeri, intensitas nyeri, identifikasi menggunakan cara obat obatan tradisional
tampak gelisa, skala nyeri) maupun non tradisional untuk mengurangi
frekuensi nadi - Terapeutik (kontrol rasa nyeri
meningkat, dan lingkungan yang O : Keluhan nyeri menurun
memperberat rasa nyeri ) Meringis menurun
pola nafas
- Edukasi (jelaskan penyebab Rasa gelisah menurun
berubah
dan pemicu nyeri, jelaskan Pola nafas membaik

strategi meredakan nyeri, Pola tidur membaik

anjurkan menggunakan A : Kelompok mampu mengenal masalah


analgetik secara tepat) yang terjadi pada anggota

- Kolaborasi ( pemberian kelompoknya.

analgetik, jika perlu) P: Lanjutkan intervensi untuk masalah


selanjutnya
2. Gangguan Kelompok mampu S : Tn.F mengatakan mengetahui cara
mobilitas fisik mengenal masalah ambulasi mandiri dengan alat bantu
berhubungan Dukungan ambulasi Tn. F mengatakan bisa mengontrol
- Observasi (identifikasi
dengan aktivitas ambulasi secara mandiri
adanya nyeri atau keluhan
kecemasan Tn. F Mengatakan mau
fisik lainnya, monitor
dibuktikan menggunakan cara obat obatan tradisional
kondisi umum selama
dengan maupun non tradisional untuk dapat
melakukan ambulasi)
mengeluh sulit berjalan dengan baik lagi
- Terapeutik (fasilitasi
menggerakan O : pergerakan ekstremitas meningkat
aktivitas ambulasi dengan Nyeri menurun
ekstremitas,
alat bantu , libatkan Kecemasan menurun
merasa cemas
keluarga untuk membantu Gerakan terbatas menurun
saat bergerak,
paien dalam meningkatkan A : Kelompok mampu mengenal masalah
dan gerakan
ambulasi) yang terjadi pada anggota
terbatas
- Edukasi (jelaskan prosedur kelompoknya.
dan tujuan ambulasi, P: intervensi dihentikan
anjurkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif
dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.1 Kata
“disabilitas” tidak lain adalah kata “cacat” yang selama ini di gunakan oleh
orang-orang untuk menyebut orang yang kekurangan fisik atau mental.
Karena kata “penyandang cacat” mengandung makna konotasi negatif,
maka bahasa tersebut di ubah menjadi “penyandang disabilitas”.
Di askep kita terdapat 2 diagnosa yang dimana diagnosa pertama kami
ambil nyri akut dengan implementasi tujuan khusus Setelah dilakukan
intervensi keperawatan selama 1 pertemuan kelompok mampu mengenal
masalah Tingkat nyeri : Keluhan nyeri menurun, Meringis menurun, rasa
Gelisah mmenurun, Pola tidur membaik, Pola nafas meningkat

B. Saran
Diharapkan makalah Asuhan Keperawatan ini dapat menambah
pengetahuan mahasiswa STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu dalam
memberikan pelayanan Keperawatan dan dapat menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dan untuk para tim medis agar dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang keperawatan sehingga dapat
memaksimalkan kita untuk memberikan health education dalam perawatan
kelompok pada penyandang cacat.
DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/52813-ID-kebutuhan-pelayanan-
sosial-penyandang-ca.pdf

Eva Rahmi Kasim, 2008. Tinjauan Terhadap Kebijakan Integrasi Sosial


Penyandang Cacat Kedalam Mainstream Masyarakat, Jakarta: PRSPC

Justika S. Baharsjah, 1999. Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial,


Pelajaran dari Krisis. Jakarta: Departemen Sosial RI

http://eprints.ums.ac.id/48508/1/BAB%20I.pdf

https://www.emc.id/id/care-plus/kenali-ragam-disabilitas-lain-dan-
penanganannya

Anda mungkin juga menyukai