1. PATTY SISTER
2. RELI SULYANTI
3. SASTRAATRIYANTI
4. SELVI MEDIA ASTUTI
5. CINDI
6. VENI TEA ANGELA
7. YOSI OKTARIA
8. YULIYANI DAYU AGUSTINA
9. NOVA
T.A 2023/2024
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT atas berkat dan rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas ini yang berjudul masalah disabilitas dan kelainan genetik .
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen sebagai
pembimbing dalam pembuatan makalah ini. Tidak lupa terima kasih juga penulis sampaikan
kepada semua teman- teman yang telah bekerja sama meyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak
kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari dosen
pembimbing serta semua teman-teman untuk memberikan saran dan masukan yang berguna
bagi penulis.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, kami berharap semoga makalah ini membawa
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................2
A. Latar Belakang.................................................................................................................2
B. Rumusan masalah...............................................................................................................3
C. Tujuan...............................................................................................................................3
A. Disabilitas ........................................................................................................................6
A. Kesimpulan...................................................................................................................... 23
B. Saran................................................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA 24
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
a. Disabilitas
Orang-orang yang hidup dengan kebutuhan khusus merupakan kelompok
yang rentan. Mereka merupakan kaum yang umumnya memiliki keterbatasan
tertentu, baik itu fisik, mental, atau perpaduan dari keduanya yaitu fisik dan mental.
Dengan kondisi tersebut mereka ini sering disebut sebagai kaum disabilitas. Dalam
Raharjo (2016), Mangunsong (1998) mendefinisikan bahwa disabilitas merupakan
suatu kondisi yang menggambarkan adanya disfungsi atau berkurangnya suatu
fungsi secara objektif dapat diukur atau terlihat karena adanya kehilangan atau
kelainan pada bagian tubuh atau organ seseorang.
Secara medis, disabilitas dikelompokkan menurut jenis kekurangan yang
dialami yaitu: fisik, pendengaran dan kejiwaan (mental) (Sari & Satria, 2018).
Kelompok disabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar didunia (ILO, 2011).
Sekitar 15 persen dari jumlah penduduk dunia atau lebih dari satu miliar orang
adalah penyandang disabilitas (The World Bank, 2016). Menurut data dari Pusat
Data dan Informasi Kementerian Sosial dalam (Divelino & Jumaidi, 2020)
menyebutkan bahwa penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2010 mencapai
11.580.117 penduduk. Berdasarkan data PPKS dan PSKS tahun 2020 menyatakan
jumlah penyandang disabilitas di Sumatera Barat sebanyak 19.046 jiwa. Sementara
di Kota Padang sebanyak 3.187 jiwa.
Dalam UU RI penanggulangan bencana, penyandang disabilitas diatur untuk
mendapat perhatian khusus dan prioritas dalam upaya penanggulangan resiko
bencana. Kelompok disabilitas merupakan orang yang memiliki keterbatasan fisik,
intelektual, dan mental yang dalam berinteraksi dengan lingkungan menjadi
terhambat serta kesulitan berpartisipasi penuh dengan masyarakat lain berdasarkan
kesamaan hak. Penyandang disabilitas merupakan kelompok berisiko tinggi saat
terjadi bencana, hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan yang mereka miliki
dan keterbatasan akses lingkungan fisik, informasi dan komunikasi di masyarakat.
Bahkan, keberadaan disabilitas sulit dijangkau ataupun didata ketika terjadi bencana
(Susanti & Aprilia, 2020).
b. Kelainan Genetik
Penyakit genetika adalah adanya kelainan genetik akibat adanya satu atau
lebih materi gen yang menyebabkan sebuah kondisi kelianan fenotipe secara klinis.
Kelainan materi gen dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Dalam kasus
ini, penyakit genetik juga dikenal dengan istilah penyakit keturunan. Penyakit
genetik ini dapat diturunkan dari orang tua yang mengalami kelainan gen dan terjadi
ketika gen yang rusak tersebut merupakan gen yang dominan. Sekarang ini ada
sekitar 4.000 penyakit genetik yang sudah diidentifikasi. Kebanyakan penyakit
2
genetik adalah langka dengan hanya terjadi pada 1 individu dari sekitar ribuan atau
bahkan jutaan individu.
Penyakit genetik disebabkan karna adanya:
- Kelainan pada jumlah kromosom seperti sindrom Down memiliki jumlah
kromosom 47 karena adanya kelebihan satu kromosom pada kromosom ke 21)
atau sindrom Klinefelter, kelainan pada kelebihan kromosom X pada seorang
pria
- Terjadinya mutasi gen yang jumlahnya lebih dari satu pasang basa, sehingga
terjadi kelainan pada asam amino yang menyebabkan kelainan pada ekspresi
genetik.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa pengertian disabilitas dan kelainan genetik?
2. Apa jenis penyandang disabilitas?
3. Bagaimana dasar kelainan Genetik ?
4. Bagaimana DNA dan kromosom sebagai unsur pembawa sifat?
5. Bagaimana kelainan genetik akibat kelainan kromosom?
6. Bagaimana kelainan genetik akibat mutase gen?
7. Bagaimana Mutasi gen pada kromosom X?
8. Bagaimana Mutasi gen pada Kromosom “Y”
9. Bagaimana Pola penurunan genetik?
10. Bagaimana Kelainan Multifaktorial?
C. TUJUAN
1. Mengerti pengertian disabilitas dan kelainan genetik
2. Memahami jenis penyandang disabilitas
3. Mengetahui dasar kelainan Genetik
4. Mengetahui DNA dan kromosom sebagai unsur pembawa sifat
5. Memahami kelainan genetik akibat kelainan kromosom
6. Memahami kelainan genetik akibat mutase gen
7. Memahami Mutasi gen pada kromosom X
8. Memahami Mutasi gen pada Kromosom “Y”
9. Memahami Pola penurunan genetik
10. Memahami Kelainan Multifaktorial
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. DISABILITAS
1. Pengertian Disabilitas
Disabilitas mengalami perubahan sesuai perkembangan pengetahuan yang
ada di masyarakat khususnya Indonesia, mulai dari penyandang cacat, penyandang
tuna, seseorang berkekurangan, anak luar biasa sampai menjadi istilah berkebutuhan
khusus dan difabel. Istilah difabel merupakan kepanjangan dari Differently abled
people atau orang yang memiliki kemampuan berbeda, dimana istilah ini muncul
sejak tahun 1998 (Aziz, 2014). Kemampuan yang berbeda itulah dapat
mempengaruhi aktivitas para difabel dikarenakan kekurangan-kekurangan yang
dimiliki individu tersebut.
Menurut Prasetyo (2014), disabilitas adalah hilangnya atau keterbatasan
individu dalam berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari di masyarakat, bukan saja
semata-mata karena gangguan fisik atau psikis melainkan juga akibat adanya
halangan-halangan sosial yang turut berkontribusi. Kementrian Kesehatan RI
(2014), istilah disabilitas dari Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
disabilitas adalah penyandang cacat atau orang yang memiliki kemampuan berbeda
dari orang normal serta menyebabkan keterbatasan fisik atau mental dan
halanganhalangan sosial yang turut berkontribusi sehingga mempengaruhi aktivitas
sehari-harinya.
Jenis-jenis penyandang disabilitas di Indonesia disebutkan dalam PP Nomor
72 Tahun 1991 yang berbunyi : “Jenis kelainan peserta didik terdiri atas kelainan
fisik dan/atau mental dan/kelainan perilaku. Kelainan fisik meliputi, tunanetra,
tunadaksa, dan tunarungu. Kelainan mental meliputi, tunagrahita ringan dan sedang.
Kelainan perilaku meliputi tunalaras. Peserta didik dapat juga terwujud sebagai
kelainan ganda”.melaksanakan sesuatu aktivitas atau kegiatan tertentu sebagaimana
orang normal yang disebabkan kondisi impairment (kehilangan/ketidakmampuan)
yang berhubungan dengan usia dan masyarakat.
2. Jenis Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas terdiri dari :
Kelainan Mental
Kelainan Perilaku
Kelainan Fisik
Kelainan Fisik terdiri dari :
a. Tunadaksa
Menurut Aziz (2014) adapun kriteria atau jenis-jenis difabel dilihat dari
jenis kelainan fisik, mental dan perilaku, salah satunya adalah tunadaksa.
Secara umum, tunadaksa adalah orang yang mengalami kelainan atau
4
kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian karena kecelakaan atau
kerusakan otak yang dapat mengakibatkan gangguan gerak, kecerdasan,
komunikasi, persepsi, koordinasi, perilaku dan adaptasi sehingga
memerlukan layanan informasi secara khusus.
Jenis-jenis Tunadaksa
Jenis-jenis penyandang tunadaksa dikategorikan sebagai berikut (Aziz,
2014) :
1) Tunadaksa Ortopedi
Individu yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu
pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian baik
yang dibawa sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian
sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal.
Penggolongan penyandang tunadaksa dalam jenis ini
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
a) Poliomyletis
Suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan
oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan bersifat
menetap. Kelumpuhan pada polio bersifat layu dan biasanya
tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat indra.
b) Muscle dystrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang
karena mengalami kelumpuhan yang bersifat progresif dan
simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
c) Spina bifida
Jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan
terbukanya satu tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya
kembali selama proses perkembangan.
2) Anak Tunadaksa Saraf
Individu yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan
saraf di otak. Salah satu bentuk kelainan yang terjadi pada fungsi
otak dapat dilihat pada cerebral palsy. Cerebral palsy ditandai oleh
adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan
koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan
sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecacatan
pada masa perkembangan otak.
Dampak Ketunadaksaan
Ditinjau dari aspek psikologis, penyandang tunadaksa cenderung
merasa malu, rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari
lingkungan. Beberapa problem lain, antara lain (Aziz, 2014) :
1) Gangguan penglihatan
Penyandang tunadaksa cerebral palsy menunjukkan banyak yang
5
mengalami penyimpangan penglihatan.
2) Gangguan pendengaran
Didasari bahwa pendengaran tidak memiliki fungsi-fungsi motor
dan berbeda dengan penglihatan yang dibantu otot-otot mata.
3) Gangguan persepsi
Mencakup penglihatan, pendengaran, sentuhan serta kepekaan
modalitas yang lain.
Karakteristik Tunadaksa
Ada beberapa karakteristik dari tunadaksa, yaitu (Aziz, 2014) : 1)
Kognitif
Kedua jenis tunadaksa yaitu tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf
memiliki perbedaan yang mendasar, salah satunya kognitif. Wujud
konkret dari kognitif adalah indeks kecerdasan (IQ).
2) Inteligensi
Para ahli menciptakan tes yang dimodifikasi khusus untuk
mengukur inteligensi penyandang tunadaksa, kemudian dari hasil
tersebut akan diketahui dan diklasifikasikan berdasarkan rata-rata
IQ. Pada cerebral palsy¸ kelainan yang diderita secara langsung
menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan inteligensi,
bahkan lebih banyak mengalami kesulitan daripada penyandang
tunadaksa pada umumnya.
3) Kepribadian
Beberapa hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan
kepribadian penyandang tunadaksa, antara lain :
a) Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan
frustasi
b) Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan sehingga
dapat menghambat perkembangan kepribadian karena biasanya
terjadi pola asuh yang over protective.
c) Perlakuan orang sekitar yang membeda-bedakan sehingga
penyandang disabilitas merasa berbeda dengan orang lain.
Secara tidak langsung, hal-hal di atas dapat menimbulkan sifat
harga diri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki
inisiatif, atau mematikan kreativitasnya. Faktor dominan yang
mempengaruhi perkembangan kepribadian atau emosi
penyandang disabilitas adalah lingkungan.
d) Fisik
Pada penyandang tunadaksa potensi yang dimiliki tidak utuh
karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna.
e) Bahasa atau bicara
Pada penyandang tunadaksa polio, perkembangan bahasa atau
6
bicaranya tidak begitu normal, sedangkan cerebral palsy biasanya
berupa kesulitan artikulasi, fonasi dan sistem respirasi.
4) Perkembangan Emosi
Usia ketika ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi
perkembangan emosi. Ketunadaksaan yang dialami oleh individu
sejak lahir akan berbeda dengan individu yang baru mengalami
tunadaksa.
5) Perkembangan sosia
Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif
menimbulkan risiko bertambah besarnya kemungkinan munculnya
kesulitan dalam penyesuaian diri pada penyandang tunadaksa.
b. Tunanetra
Tunanetra merupakan orang yang tidak dapat melihat namun bukan
berarti buta melainkan masih bisa melihat sebagian, karena tunanetra dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori. Hal ini sesuai dengan Scholl
(dalam Aziz, 2014) yang mengatakan bahwa seseorang yang mengalami
gangguan penglihatan adalah orang yang rusak penglihatannya walaupun
dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan
bagi dirinya. Aziz (2014) mengatakan bahwa penyandang tunanetra adalah
individu yang indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai
saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas.
Klasifikasi Tunanetra
Menurut Aziz (2014), klasifikasi penyandang tunanetra berdasarkan
kemampuan daya penglihatan meliputi :
1) Tunanetra ringan
yakni orang yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan
tetapi masih dapat mengikuti program pendidikan dan mampu
melakukan kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
2) Tunanetra setengah berat
yakni orang yang kehilangan sebagian daya penglihatan hanya
dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti
pendidikan biasa atau membaca tulisan yang bercetak tebal.
3) Tunanetra berat
yakni orang yang sama sekali tidak dapat melihat. Selanjutnya,
menurut Aziz (2014) tunanetra yang memiliki hambatan dalam
penglihatan tetapi masih mampu mengikuti program-program
pendidikan dan melakukan pekerjaan dengan menggunakan fungsi
penglihatan memiliki ciri-ciri yang tampak, antara lain : mampu
menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat, hanya
dapat membaca huruf yang sangat besar, mata tampak lain.
Karakteristik Tunanetra
7
Menurut Aziz (2014), karakteristik tunanetra terdiri dari tiga macam,
meliputi :
1) Fisik
Secara umum tidak berbeda dengan orang normal lainnya hanya
saja perbedaan itu terletak pada penglihatannya. Gejala tunanetra
yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya mata juling, sering
berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, mata infeksi,
gerakan mata tak beraturan, dan lain-lain.
2) Perilaku
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak pada seseorang
yang mengalami gangguan penglihatan. Pertama, menggosok mata
berlebihan. Kedua, menutup atau melindungi mata sebelah,
memiringkan atau mencondongkan mata kepala ke depean. Ketiga,
sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang
sangat memerlukan bantuan mata. Keempat, berkedip lebih
banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan
suatu pekerjaan. Kelima, membawa bukunya ke dekat mata.
Keenam, tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
Ketujuh, menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi. Kedelapan,
tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan. Kesembilan,
janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan
mata. Kesepuluh, menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan
penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh.
3) Psikis
Dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Mental atau intelektual
Secara intelektual tuananetra tidak beda jauh dengan orang
normal.
b) Sosial
Hubungan sosial ini terjadi pertama kali pada kedua orang tua
dan anggota keluarga lainnya. Apabila anggota keluarga tidak
siap menerima kehadiran penyandang tunanetra maka berakibat
pada perkembangan kepribadiannya dengan berbagai masalah,
seperti curiga pada orang lain, perasaan mudah tersinggung dan
ketergantungan yang berlebihan.
c) Akademis
Secara akademis orang normal dengan tunanetra memiliki
perbedaan salah satunya pengalaman-pengalaman yang kurang
terintegrasi, pemahaman yang kurang baik, kosakata cenderung
definitive sehingga hal ini yang dapat membedakan tunanetra
dengan orang normal atau orang awas.
8
c. Tunarungu
Menurut Aziz (2014) tunarungu adalah orang yang mengalami
gangguan pendengaran sehingga mengakibatkan ketidakmampuan
mendengar, mulai dari tingkatan yang ringan sampai yang berat sekali, yang
dikategorikan tuli dan kurang dengar. Dampak langsung dari ketunarunguan
adalah terhambatnya komunikasi lisan baik secara ekspresif maupun reseptif
sehingga sulit berkomunikasi dengan lingkungan orang mendengar yang
lazim menggunakan bahasa verbal sebagai alat komunikasi.
Ciri-ciri tunarungu menurut Sumadi dan Talkah (dalam Aziz, 2014)
sebagai berikut :
a. Secara fisik
Penyandang tunarungu memiliki ciri khas. Pertama, cara berjalan
biasanya cepat dan agak membungkuk yang disebabkan adanya
kemungkinan kerusakan pada alat pendengaran bagian
keseimbangan. Kedua, gerak matanya cepat. Ketiga, gerak anggota
badannya cepat dan lincah yang terlihat ketika berkomunikasi.
Keempat, pada waktu bicara pernapasannya pendek dan agak
terganggu. Kelima, dalam keadaan biasa pernapasannya pendek.
b. Inteligensi
Secara umum memiliki kesamaan dengan orang normal hanya saja
perlu pemahaman yang lebih untuk bisa memahami
pengertianpengertian yang abstrak.
c. Emosi
Tunarungu kurang memahami bahasa lisan sehingga dalam
berkomunikasi sering menimbulkan kesalahpahaman. Apabila hal
ini terus berlanjut akan mempengaruhi perkembangan
kepribadiannya, seperti menutup diri, keragu-raguan, agresif atau
sebaliknya dan menampakkan kebimbangan.
d. Sosial
Secara umum sama seperti orang normal yang membutuhkan
interaksi dengan lingkungan sekitar, antar individu, dan sebagainya.
e. Bahasa
Tunarungu miskin perbendaharaan kata, sulit mengartikan ungkapan
bahasa yang mengandung arti kiasan dan abstrak, serta kurang
menguasai irama dan gaya bahasa.
9
B. KELAINAN GENETIK
1. Pengertian Kelainan Genetik
Penyakit genetika adalah adanya kelainan genetik akibat adanya satu atau lebih
materi gen yang menyebabkan sebuah kondisi kelianan fenotipe secara klinis.
Kelainan materi gen dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.
Kelainan genetik merupakan kondisi yang diakibatkan kelainan pada
kromosom atau gen tertentu. Kelainan genetik bisa disebabkan karena mutasi pada
satu gen (monogenic disorder), mutasi pada beberapa gen, kombinasi dari mutasi
gen dan faktor lingkungan atau karena kelainan kromosom (baik kelainan jumlah
maupun kelainan bentuk). Kelainan kromosom secara garis besar dibagi menjadi
dua, kelainan jumlah dan kelainan bentuk. Kelainan jumlah dapat berupa
penambahan atau pengurangan kromosom yang disebut aneuploidi atau penambahan
1 set kromosom yang disebut poliploidi. Kehilangan satu kromosom disebut
monosomi. Penambahan satu atau dua kromosom homolog disebut trisomi atau
tetrasomi.
2. Dasar Kelainan Genetik
Kromosom merupakan unsur penanggung jawab penurunan sifat dari orang tua
kepada keturunannya. Kromosom tersusun atas sekumpulan gen yang terdiri atas
untaian asam deoksiribonukleat (DNA) yang akan menentukan fenotip seseorang.
Kromosom mulai diamati sejak pertengahan abad 19 setelah perkembangan teknik
pewarnaan sel. DNA baru ditemukan pada tahun 1953 oleh Watson dan Crick.
Kelainan genetik merupakan kelainan yang jarang terjadi, setidaknya 2% dari
kelahiran mengalami kelainan genetik. Proses replikasi DNA merupakan mekanisme
yang menjawab bagaimana proses penurunan sifat terjadi. Pada saat pembelahan sel,
DNA akan mengalami replikasi, rantai ganda DNA akan terpisah dan masing-
masing rantai akan menyintesis rantai komplementernya. Pada akhir pembelahan sel
akan terbentuk dua rantai DNA yang yang sama persis dengan rantai yang ada
sebelumnya. Rantai DNA yang baru ini, terdiri atas 1 utas rantai lama dan 1 utas
rantai baru.1 Diperkirakan ada sekitar 20.000‒25.000 gen yang terdapat pada inti
sel. Distribusi gen ini pada kromosom sangat bervariasi sehingga menghasilkan
daerah heterokromatin dan eukromatin. Daerah yang paling banyak mengandung
non koding DNA dengan densitas tinggi adalah daerah subtelomerik.
3. DNA Dan Kromosom Sebagai Unsur Pembawa Sifat
DNA adalah kepanjangan dari deoxyribonucleic acid yang merupakan rantai
panjang polimer nukleotida. DNA merupakan rantai double helix. Setiap nukleotida
terdiri atas basa nitrogen, gula, dan fosfat. Basa nitrogen terdiri atas purin (adenin
dan guanin) dan pirimidin (sitosin, timin, dan urasil). Serangkaian urutan DNA akan
membentuk gen yang nantinya akan menghasilkan protein tertentu. Gen terdiri atas
bagian yang disebut ekson dan intron.
10
DNA dikemas dalam beberapa tahap untuk menjadi kromosom. DNA dikemas
melingkar pada protein histon untuk membentuk nukleosom. Nukleosom digulung
untuk membentuk benang-benang kromatin yang membentuk loop panjang pada
rangka protein asam nonhiston, yang selanjutnya membentuk kumparan ketat
sehingga terbentuk kromosom. Manusia memiliki 23 pasang kromosom (46 buah),
terdiri atas 22 pasang autosom dan 1 pasang kromosom seks. Pada saat fertilisasi,
masing-masing gamet akan membawa sifat dari ayah dan ibu untuk selanjutnya
bergabung membentuk embrio.
Fertilisasi didefinisikan sebagai interaksi antara gamet pria (sperma) dan gamet
wanita (ovum), selanjutnya terjadi fusi, membentuk zigot, dan menghasilkan
individu baru. Oosit dihasilkan dalam ovarium dan berhenti pada meiosis I, dalam
perkembangannya oosit menghasilkan matriks ekstraseluler yang disebut Zona
Pelusida (ZP). ZP pada manusia terdiri atas ZP1, ZP2, ZP3, dan ZP4. Pertumbuhan
oosit diikuti dengan pertumbuhan sel granulosa yang mengelilinginya, yang akan
mendukung terjadinya fertilisasi. Spermatozoa dihasilkan di testis kemudian
dipindahkan ke epididimis untuk ditambahkan beberapa jenis protein. Spermatozoa
akan diejakulasikan dalam keadaan matang tetapi belum mempunyai kemampuan
fertilisasi. Setelah diejakulasikan, spermatozoa perlu mengalami beberapa tahap
perubahan agar dapat melakukan fertilisasi. Spermatozoa mengalami beberapa
perubahan fisiologi pada kepala, leher, dan ekor yang disebut kapasitasi. Sekali
terkapasitasi, spermatozoa akan mempunyai kemampuan berenang yang kuat untuk
dapat mencapai oosit. Selanjutnya akan mengalami reaksi akrosom agar dapat
mencerna zona pelusida dan melakukan fusi dengan oosit.
Fertilisasi dimulai ketika spermatozoa menembus kumulus ooforus dan korona
radiata. Spermatozoa dengan akrosom yang intak akan menempel pada zona
pelusida, menstimulasi terjadinya reaksi akrosom. Akrosom adalah organel
subseluler yang ditemukan di ujung apikal kepala sperma, terdiri atas berbagai
enzim dan protein pengikat ZP. Penetrasi spermatozoa akan dilanjutkan hingga
terjadi fusi dengan oolemma. Kepala spermatozoa akan mengalami dekondensasi
dan membentuk pronukleus. Dua pronuklei dari sperma dan oosit setelah terbentuk
akan berpindah ke tengah saling terkait erat tetapi tidak mengalami fusi. Proses
asosiasi akan mengakibatkan lapisan masing-masing pronukleus akan menghilang
dan mengalami singami.
3. Kelainan Genetik akibat Kelainan Kromosom
Kelainan jumlah kromosom dapat berupa adanya penambahan atau
pengurangan pada jumlah kromosom yang seharusnya. Penambahan ini dapat terjadi
pada kromosom autosom maupun kromosom seks. Kelainan kromosom dapat terjadi
akibat adanya perubahan dalam hal jumlah dan ukuran dari kromosom tersebut.
Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan ciri secara turun – temurun
(diwariskan) pada keturunan selanjutnya yang mengalami aberasi kromosom.
Kelainan pada kromosom baik secara struktur, jumlah dan morfologi dapat
11
menyebabkan terjadinya kelainan fenotipe penderita. Beberapa jenis jenis kelainan
kromosom berdasarkan letak kelainan adalah :
Alel Resesif tertaut Kromosom Sex “X”
Alel Resesif tertaut Kromosom Sex “Y”
Aberasi kromosom
Di bawah ini merupakan beberapa contoh kelainan yang diakibatkan oleh kelebihan
atau kekurangan jumlah kromosom.
a. Sindrom Down
Kelainan ini pertama kali diperkenalkan oleh John Langdon Down pada
tahun 1866. Kelainan ini disebabkan adanya kelebihan kromosom 21, sebagian,
atau seluruhnya. Sindrom Down merupakan penyakit genetik paling umum di
seluruh dunia dan penyebab genetik paling umum terjadinya kecacatan
intelektual, terjadi sekitar 1 dari 400–1500 bayi baru lahir.
Ada tiga tipe kelainan pada Sindrom Down, yaitu tipe klasik di mana
terjadi trisomi pada kromosom nomor 21, tipe ini adalah tipe tersering, terjadi
pada sekitar 94% dari kejadian Sindrom Down. Tipe translokasi, di mana
kromosom nomor 21 terlepas pada saat pembelahan dan menempel pada
kromosom akrosentrik yang lain, kromosom nomor 13, 14, 15, dan 22. Tipe ini
terjadi pada 3-4% kasus. Tipe mosaik di mana ada sebagian kromosom yang
normal dan ada sebagian yang mengalami trisomi. Kelainan tipe klasik dan
mosaik tidak diturunkan, terjadi karena kesalahan pembelahan sel pada sperma,
oosit, maupun embrio. Pada tipe translokasi, pada beberapa kasus diturunkan
dari orang tuanya.
b. Sindrom Turner
Didefinisikan sebagai keadaan di mana seorang wanita kehilangan
seluruh atau sebagian kromosom X, terjadi pada 1 di antara 2500 kelahiran
hidup wanita. Penderita Sindrom Turner memiliki ciri-ciri postur pendek,
pubertas yang lambat, tidak terbentuknya ovarium, hipergonadotropin
hipogonadisme, infertil, kelainan jantung bawaan, kelainan endokrin seperti
diabetes mellitus tipe 1 dan 2, osteoporosis, dan penyakit autoimun. Ciri-ciri
lain sangat bervariasi, dapat meliputi edema pada tangan dan kaki, webbed
neck, garis rambut belakang yang rendah, displasia kuku, rahang bawah yang
kecil, hipoplasia kuku, kuku hiperkoveks, cubituc valgus, dan jarak puting yang
12
jauh.
c. Sindrom Klinefelter
Sindrom Klinefelter merupakan kelainan kromosom yang paling sering
terjadi pada laki-laki. Kelainan ini terjadi akibat adanya kelebihan kromosom X,
kelebihan kromosom ini bisa didapatkan baik dari ayah maupun ibunya.
Kelainan ini terjadi pada 1/500 sampai 1/1000 laki-laki.18,19 Gambaran
pemeriksaan Sindrom Klinefelter 80% menunjukkan 47,XXY dan 20% grade
yang lebih tinggi dari kromosom aneuploidi, 46,XY/47,XXY mosaik atau
adanya kelainan struktur pada koromosom X.
Ciri-ciri Sindrom Klinefelter adalah kegagalan testis primer dengan
ukuran testis kecil, azoospermia, hipergonadotropin hipogonadisme, postur
tubuh tinggi dengan tipe tubuh eunukoid, ginekomastia, kriptokidisme, penis
kecil, rambut pubis sedikit, sindrom metabolik, osteoporosis, kelainan psikiatri,
defisiensi growth hormone, prolaps katup mitral, mengalami kesulitan dalam
belajar, interaksi sosial dan perilaku.Sangat sulit menegakkan diagnosis tanpa
pemeriksaan kromosom.
Diagnosis Sindrom Klinefelter sulit ditegakkan pada masa anak-anak,
biasanya dilahirkan dengan fenotip normal walaupun pada beberapa kasus
ditemukan sex ambigus. Diagnosis biasanya baru bisa ditegakkan sekitar usia
30 tahun saat mencari penyebab infertilitas. Hanya 10% kasus yang bisa
ditegakkan sebelum pubertas.Diperkirakan 50–75% laki-laki dengan Sindrom
Klinefelter tidak terdiagnosis.
13
d. Sindrom Jacobs
Penderita mempunyai 44 Autosom dan 3 kromosom seks (XYY).
Kelainan ini mengakibatkan penderita memiliki ciri ciri bertubuh normal,
berperawakan tinggi, antisosial, perilaku kasar dan agresif, berwatak criminal,
dan tingkat kecerdasan IQ dibawah normal.
e. Sindrom Edward
Penderita mengalami trisomi atau kelebihan satu autosom nomor 18.
Penderita memiliki ciri ciri kelainan pada telinga dan rahang bawah yang
kedudukannya lebih rendah, mulut kecil, tulang dada pendek, mental
terbelakang dan biasanya hanya mencapai umur 6 bulan saja.
14
f. Sindrom Patau
Penderita memiliki 45 autosom, sehingga bisa disebut trisomi. Trisomi ini
terjadi pada kromosom nomor 13, 14 atau 15. Ciri ciri penderita yaitu kepala
kecil, mata kecil, sumbing celah langit, tuli, polidaktil, mengalami kelainan
otak, ginjal dan jantung, dan memiliki keterbelakangan mental.
h. Sindrom Fragile X
Kelainan berupa keterbelakangan mental yang umum terjadi. Hal ini
karena bagian kromoson X yang mengalami pelekukan di bagian ujung lengan
kromosom.
i. Sindrom Lesch-Nyhan
15
Kelainan ini muncul akibat adanya pembentukan purin yang berlebih.
Sehingga memperlihatakan perilaku yang abnormal, seperti kejang otak saat
menggerakkan kaki dan atau jari jari tangan, ketebelakangan mental, sering
menggigit jari jari tangan dan jaringan bibir. Penderita yang telah dilaporkan
adalah pria di bawah umur 10 tahun. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya gen
resesif pada kromosom X.
b. Fibrosis
Kistik
16
c. Galaktosemia
Penderita galaktosemia mengalami mutase gen penghasil enzim laktose
sehingga tidak dapat memecah laktosa yang mengandung galaktosa pada susu.
Tingkat galaktosa yang tinggi pada darah mengakibatkan kerusakan mata, hati,
dan otak. Adapun gejala Galaktosemia adalah malnutrisi, diare dan muntah-
muntah. Gejala ini dapat terdeteksi dengan melakukan tes urin. Gejala penyakit
inipun dapat dihindari dengan diet bebas laktosa.
d. Albino
Penderita albino mengalami mutase pada gen enzim yang dapat
merubah asam amino tirosin menjadi beta-3,4-dihidroksipheylalanin untuk
selanjutnya diubah menjadi pigmen melanin penghasil pigmen kulit. Sehingga
penderita albino mengalami kelainan berupa kulit yang tidak berpigmen.
17
e. Fenilketonuria
Penderita fenilketonuria mengalami mutase gen enzim untuk
metabolism fenilalanin. Sehingga penderita fenilalanin tidak dapat diubah
menjadi fenil piruvat dan tirosin yang akan dibuang keluar tubuh. Akibatnya
dalam tubuh fenilalanin menumpuk dalam darah dan terbuang melalui urin,
sehingga mengakibatkan keterbelakangan mental, rambut putih, mata kebiruan
(kekurangan melanin), bentuk tubuh khas (seperti psychotic), dan gerakan
tersentak. Pada penderita bayi mengakibatkan kerusakan otak dan mengalami
permasalahan kejiwaan setelah berumur 6 tahun sebagai akibat banyaknya
kadar fenilalanin dalam darah.
f. Thalassemia
Penyakit thalassemia terjadi karena adanya mutase pada gen penghasil
rantai globin α dan gen globin β, sehingga penderita akan kekurangan rantai
hemoglobin dan akibatnya kekurangan oksigen yang hanya mampu diikat oleh
rantai globin. Penyakit ini menyebabkan pelebaran tulang muka, karena tulang
pipih dipaksa memproduksi sel darah merah, secara berkala penderita harus
mengalami transfuse darah merah. Pada kondisi yang tidak parah mempunyai
gejala pembengkakan limpa dan pada kondisi yang parah dapat menyebabkan
kematian.
g. Huntington
Penyakit huntington terjadi karena adanya mutase gen huntingtin yang
menyebabkan degenerasi sistem saraf yang cepat dan tidak dapat kembali. Hal
ini dicirikan dengan adanya gerakan abnormal yang lama kelamaan akan
memengaruhi kinerja otak, fungsi kelenjar tiroid yang tidak baik berupa
kecemasan yang berlebihan dan dalam kondisi yang parah penderita tidak dapat
melakukan aktifitas, kemudian mulai terjadi keterbelakangan mental,
18
kehilangan ingatan dan kemampuan untuk berpikir rasional.
h. Polidaktil
Penderita polidaktili mengalami mutase yang menyebabkan
pertumbuhan jari tangan atau kaki yang berlebihan. Ciri cirinya berupa
terdapatnya jari tambahan pada satu atau kedua tangan atau kaki. Tempat jari
tambahan itu berbeda beda, ada yang terdapat dekat ibu jari dan adapula yang
berada pada jari kelingking.
19
hanya mempunyai sebuah kromosom X sehingga hanya dapat normal XY atau
buta warna XcY.
c. Distrofi Otot
Kelainan ini terjadi karena mutase gen penghasil protein distrofin, yang
terletak pada lokus yang spesifik pada kromosom X.sehingga makin
melemahnya otot otot dan hilangnya koordinasi.
20
Kelainan yang pola pewarisannya mengikuti pola ini antara lain
achondroplasia, aniridia, glaukoma, Sindrom Costello, Renal Cysts and
Diabetes (RCAD) Syndrome, Myotonic Dystrophy, Huntington Disease,
spinoserebral ataksia, dan Familial Hypercholesterolemia.
b. Autosomal resesi
Kelainan autosomal resesif akan muncul ketika individu mewarisi sifat
dari kedua orang tuanya (homozigot). Pada individu heterozigot yang hanya
mewarisi sifat dari salah satu orang tuanya saja, kelainan ini tidak akan muncul.
Individu ini sehat tetapi karier.1 Perkawinan sesaudara (consanguity) akan
meningkatkan angka kejadian, terjadi pada laki-laki maupun perempuan.
8. Kelainan Multifaktorial
Kelainan multifaktorial merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor risiko,
baik yang bersifat genetik maupun karena pengaruh lingkungan. Depresi, penyakit
paru obstruktif kronis, penyakit jantung, dan endokrin merupakan contohnya.
Penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus,
multiple sclerosis, diabetes mellitus tipe 1, psoriasis, inflammatory bowel disease,
serta penyakit neurodegeneratif seperti Parkinson dan Alzheimer adalah contoh
kelainan multifaktorial lainnya.
Faktor genetik meliputi perubahan urutan basa pada genom manusia,
beberapa polimorfisme berhubungan lebih dari satu macam penyakit, walaupun
polimorfisme yang spesifik hanya berhubungan dengan satu jenis penyakit, mutasi
yang berbeda pada gen yang sama akan berakibat timbulnya penyakit yang berbeda.
Paparan faktor lingkungan dapat terjadi seumur hidup, faktor lingkungan meliputi
polusi, intervensi medis (obat-obatan, operasi), gaya hidup (diet, rokok, aktivitas
fisik), dan status sosial ekonomi.
22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kelainan genetik dapat terjadi pada tingkat gen sampai tingkat kromosom.
Kelainan genetik tingkat kromosom akan mengakibatkan kelainan yang cukup kompleks
dan berupa sindrom (kumpulan gejala). Kelainan genetik tingkat gen akan
mengakibatkan kelainan yang lebih spesifik dan hanya berkenaan dengan gen yang rusak
saja. Kelainan genetik tidak selalu tampak pada awal kehidupan.
B. SARAN
1. Menambah pengetahuan mahasiswa mengenai disabilitas dan kelainan genetik
sebagai bahan belajar S1
2. Sebagai literature tambahan mengenai disabilitas dan kelainan genetik.
23
DAFTAR PUSTAKA.
Freeman, Scott (2011). Biological Science (6th ed.). Hoboken, NY: Pearson. p. 210.
LODÉ T (2011). "Sex is not a solution for reproduction: the libertine bubble theory".
BioEssays. 33 (6): 419– 422. doi:10.1002/bies.201000125. PMID 21472739.
Hassold, Terry; Hunt, Patricia (1 April 2001). "To err (meiotically) is human: the genesis
of human aneuploidy". Nature Reviews Genetics. 2 (4): 280– 291.
doi:10.1038/35066065. PMID 11283700.
J.B. Farmer and J.E.S. Moore, Quarterly Journal of Microscopic Science 48:489 (1905)
as quoted in the Oxford English Dictionary, Third Edition, June 2001, s.v.
Battaglia E. (1985). Meiosis and mitosis: a terminological criticism. Ann Bot (Rome) 43:
101–140. Link
https://repository.um-surabaya.ac.id/2415/3/BAB_II.pdf
24