Puji syukur kami panjatan kepada Tuhan yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan
tugas Makalah ini dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu. Kelompok kami juga
mengucapkan terimakasih banyak kepada setiap dukungan yang telah mendorong
kelompok untuk menyelesaikan tugas askep mental ini.
Kelompok kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam
menambah wawasan serta pengetahuan pembaca mengenai “Penyakit mental,
kecacatan, dan gelandangan atau terlantar” kelompok kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa didalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kelompok kami berharap adanya kritikan, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat, mengingat tidak adanya
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun
Kelompok
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C. Tujuan ......................................................................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konsep Teori ................................................................................................ 3
1. Gangguan Mental (Mental Disorder) .................................................. 4
a. Definisi Gangguan Mental............................................................... 4
b. Macam-Macam Gangguan Mental.................................................. 5
c. Faktor-Faktor Gangguan Mental..................................................... 8
d. Pencegahan Gangguan Mental........................................................ 9
2. Penyandang Cacat / Disabilitas............................................................ 11
a. Definisi Cacat/Disabilitas................................................................ 11
3. Tunawisma/ Gelandangan..................................................................... 14
a. Definisi Gelandangan/ Tunawisma ..................................... 14
b. Faktor Penyebab Munculnya Tunawism.................................. 15
c. Faktor Perilaku Dan Psikososial............................................. 17
d. Masalah Kesehatan Pada Tunawisma...................................... 19
e. Peran Perawat Di Area Homeless (Tunawisma)........................ 20
f. Level Pencegahan Homeless (Tunawisma).............................. 21
g. Perspektif Homeless Atau Gelandangan Di Indonesia............... 24
B. Asuhan Keperawatan.................................................................... 27
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 30
B. Saran...................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi
kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson,
Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor
resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu,
gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka
berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya
berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan
kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau
rawan untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa
Indonesia memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur tentang
Kelompok Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian
undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak
memberi manfaat bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-
undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan
dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat
kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan
aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui
penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang
diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal,
sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara
tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan?
2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?
3. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ?
4. Apa yang dimaksud populasi rentan terlantar ?
5. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat penyakit mental ?
1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan
2. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental
3. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan
4. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar
5. Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat penyakit
mental.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
1. Populasi Rentan
Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal
tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang
rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita
hamil dan penyandang cacat.
Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang
tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
a) Refugees (pengungsi)
b) Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c) National Minoritie (kelompok minoritas)
d) Migrant Workers (pekerja migran )
e) Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
f) Children (anak)
g) Women (wanita)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah
semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati
standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu
masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan
sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah
karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang
cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
3
melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi pengelompokkannya, maka
penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang
cacat fisik, Penyandang cacat mental, Penyandang cacat fisik dan mental.
4
adaptasi dari fungsifungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan
ketegangan-ketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau
struktural dari satu bagian, satu orang, atau sistem kejiwaan/mental
(Kartono, 2000:80). Pendapat yang sejalan juga dikemukakan Chaplin
(1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu: “Gangguan mental (mental
disorder) ialah sebarang bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang
serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang
mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber
gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis, mencakup
kasuskasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental
disorder) adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala
potensi baik secara fisik maupun phsikis yang menyebabkan terjadinya
gangguan dalam jiwanya.
5
persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted).” (Maslim, tth:46). Sedangkan gangguan waham adalah gejala
ganguan jiwa di mana jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu
tidak mau di koreksi bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan pikiran yang
tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272).
4. Gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana
perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa
anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang
meningkat). (Maslim, tth:60).
5. Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.
Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu
kesatuan dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis.
(Maslim, tth:72).
6. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan
faktor fisik. Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan
mengurangi berat badan dengan segaja, dipacu dan atau dipertahankan
oleh penderita (Maslim, tth:90).
7. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis
yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan
merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-
cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang lain (Maslim,
tth:102).
8. Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau
tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan
selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat
keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
9. Gangguan perkembangan psikologis.
Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan fungsifungsi
yang berhubungan erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf
pusat, dan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan
6
kekambuhan yang khas. Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya
berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun
defisit yang lebih ringan sering menetap sampai masa dewasa) (Maslim,
tth:122).
10.Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak.
Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas
berlebihan. Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini
tugas atau suatu kegiatan sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan
(hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang berlebihan, khususnya
dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang (Maslim,
tth:136).
Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja (2004:15-
16), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki
rentang yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi
kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress
personal. Istilah ini lebih sering digunakan untuk perilaku maladaptive
pada anak-anak.
b) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata
lain dari perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.
c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari
gangguan mental, namun penggunaannya saat ini terbatas pada
gangguan yang berhubungan dengan patologi otak atau disorganisasi
kepribadian yang berat.
d) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama
gangguan gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi
saat ini jarang digunakan. Nama inipun sering digunakan sebagai
istilah yang umum untuk setiap gangguan dan kelainan.
e) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk
gangguan yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari
kompetensi yang dibutuhkan ataupun gagal dalam mempelajari pola
7
penanggulangan masalah yang maladaptif.
f) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan
bahwa individu secara mental tidak mampu untuk mengelolah
masalahmasalahnya atau melihat konsekuensikonsekuensi dari
tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan mental yang serius
terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas
tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau
tidak.
8
sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap perubahan-
perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit. Banyak
orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan
orang lain, serta menderita macam-macam gangguan psikis.
9
b) Keterpaduan atau integrasi diri
Berarti adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri,
kesatuan pandangan (falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi
ketegangan emosi (stres) (Yahya, 1993:84).
c) Pewujudan diri (aktualisasi diri)
Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti sebagai
kemampuan mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan
sikap yang baik terhadap diri-sendiri serta meningkatkan motivasi dan
semangat hidup. Oleh karena itu, agar terhindar dari gangguan mental,
maka sedapat mungkin mengaktualisasikan diri dan memenuhi
kebutuhan dengan baik dan memuaskan (Kartono, 1986:231). Dengan
demikian upaya pencegahan dapat berhasil apabila manusia dapat
berpotensi untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan tidak
hanya pasrah pada kemampuan dasar manusia seperti menggembangkan
bakat dan sebagainya.
d) Kemampuan menerima orang lain
Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkunagn
tempat tinggal. Lingkungan di samping sebagai faktor penyebab
timbulnya gangguan mental, juga memiliki peran penting dalam usaha
mencegah timbulnya gangguan mental. Sebab bagi individu yang tidak
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan dan kesulitan dalam mengahadapi tuntutan dan
persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur, 2000:13). Dalam
ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak mempunyai
ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak mempunyai fungsi
atau peran dalam masyarakat lebih mudah mengalami gangguan
kejiwaan. (Hawari, 1999:11). Sebagai upaya pencegahannya manusia
sedapat mungkin menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas
sosial dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
e) Agama dan falsafah hidup
Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah
dan terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah
10
(preventif) terhadap kemungkinan gangguan mental dan merupakan
faktor pembinaan (konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat,
1975:80). Dengan keyakinan beragama, berarti seseorang telah hidup
dekat dengan Tuhan serta tekun menjalankan agama. Pada akhirnya
akan terwujud kesehatan mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup
merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai. Sehingga
setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan demikian
apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan dapat
menghadapi tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92).
f) Pengawasan diri
Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mukin
melindungi diri dari dorongan dan keinginan atau berbuat maksiat
dengan mengawasi diri kita. Secara umum orang yang wajar adalah
orang yang mampu mengendalikan keinginannya dan mampu menunda
sebagian dari pemenuhan kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan
kelezatankelezatan dengan segera, demi untuk mencapai keuntungan
(pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi, 1982:114).
Manfaat lain dari pengawasan diri adalah menghindarkan seseorang dari
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma dan adat yang
berlaku. Berdasarkan pada eksplorasi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pencegahan gangguan mental dimaksudkan untuk mewujudkan
kesehatan mental yang didasarkan pada kemauan dan kemampuan
setiap pribadi untuk merubah dari masalah yang buruk agar menjadi
baik.
11
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013
tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas,
penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang
terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental
serta penyandang disabilitas fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus
(disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik khusus dan
memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik
yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan
hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini. Orang
berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-
orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence
Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks,
sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan. Penyandang
Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan
memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan
hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari,
penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik
dan mental. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun
2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas,
penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang
terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental
serta penyandang disabilitas fisik dan mental.
Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup
dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada
umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan
khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di
muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat
12
luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ
(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat
kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.
b. Jenis-jenis Disabilitas
Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini
berarti bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-
masing yang mana kesemuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan
berkembang secara baik.
Jenis-jenis penyandang disabilitas :
1) Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:
a) Mental Tinggi.
Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain
memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki
kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.
b) Mental Rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ
(Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2
kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang
memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak
yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal
dengan anak berkebutuhan khusus.
c) Berkesulitan Belajar Spesifik
Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment)
yang diperoleh
2) Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu 7:
a) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang
bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ
tubuh), polio dan lumpuh.
b) Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)
13
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua
golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.
c) Kelainan Pendengaran (Tunarungu)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena
memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut
tunawicara.
d) Kelainan Bicara (Tunawicara)
Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan
pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat
dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat dimengerti
oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di
mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik
yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara
maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan
dengan bicara.
e) Tunaganda (disabilitas ganda).
Penderita cacat lebih dari satu kecacatan (yaitu cacat fisik dan
mental)
4. Tunawisma/ Gelandangan
a. Definisi Gelandangan/ Tunawisma
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki
tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur.
Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah
dan tidak memiliki keluarga. Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari
semua lapisan masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat
yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial,
tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi
tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung keluarga
14
mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan
pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu
alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya, tunawisma
lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan
kesehatan berkurang.
15
membuat mereka merasa kurang perhatian,kemyamanan dan
ketenangan sehingga mereka cenderung mencari kebebasan, belas kasih
dan ketenangan dari orang lain.
4) Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun,
membuat seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini
menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Menjadi
tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk bertahan hidup.
5) Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit
mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat
fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut
Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012 ) kondisi kesejahteraan seseorang
dapat diukur melalui kondisi fisiknya seperti kesehatan.
6) Rendahnya ketrampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan
seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu
digali salah satunya melalui pendidikan serta membutuhkan modal
pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah yang menjadi penghambat
seseorang dalam mengembangkan ketrampilan yang dimilki.
Ketidakberdayaan inilah yang membuat seseorang memilih menjadi
tunawisma untuk bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan
pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan
pasar kerja.
7) Masalah sosial budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang
menjadi gelandangan dan pengemis. Antara lain:
a) Rendahnya harga diri.
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan
mereka tidak memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal
ini, harga diri bukanlah sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya tunawisma yang berusia produktif.
16
b) Sikap pasrah pada nasib.
Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai
gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada
kemauan untuk melakuan perubahan.
c) Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.
8) Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan
banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis.
Momen ini digunakan mereka mencari uang untuk membantu suaminya
mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya untuk melakukan
pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan
lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
9) Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat
masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan
membuat masyarakat harus meninggalkan tempat tersebut untuk
mencari peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke
kota lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi yang alam
sedia untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin masuk dalam
garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan. Oleh karena
itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya
sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta.
17
2) Gender
Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin
menurut budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi
sosial mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda
dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga
berbeda-beda.
3) Pendidikan yang rendah
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung
dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya
anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai
pencari nafkah utama dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator
kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula
terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat
kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian
yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan
pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai
seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam
mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
4) Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita
masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak
kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu
dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-
cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan
diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti wanita
muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di samping
itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah
di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya
akan bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan
keputusan.
18
5) Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks
bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada
yang melakukan dengan saudaranya sendiri. Hal ini menyebabkan anak
jalanan rentan terhadap penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS.
6) Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas,
mencuri, membeli, hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang
untuk membeli minuman keras, pil dan zat aditif lainnya. Mereka
menggunakan itu karena ingin menumbuhkan keberanian saat
melakukan kegiatan di jalanan. (P. Agus. A., 2015)
7) Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat
rentan terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti
pelecehan, penganiyaan secara seksual, pemerkosaan, penjerumusan
anak dalam prostitusi dan adanya indikasi perdagangan anak keluar
daerah khususnya Riau dan Batam.
19
1) Kegelisahan
2) Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi
3) Masalah bahasa dan berbicara
4) Penyakit pernafasan atas dan asma
5) Infeksi telinga
6) Gangguan pencernaan/mata
7) Trauma
8) Terserang kutu rambut
3. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan
1) Perawatan pre-natal yang kurang baik
2) Kurang nutrisi
3) Komplikasi kehamilan
4. Masalah kesehatan mental
1) Skizofrenia
2) Gangguan bipolar
3) Depresi
4) Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial
5) Kepribadian yang kacau
20
maksimal.
3) Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada
tunawisma. Bentuk monitoring dapat berupa observasi, kunjungan rumah,
pertemuan atau pengumpulan data.
4) Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan
kepada masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan
dicontoh oleh mereka.
5) Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran perawat
yang lain. Perawat memberikan perawatan yang efektif, memberikan
pembuatan keputusan antara individu dan keluarga, memberikan
perlindungan bagi para tunawisma dari ancaman terhadap kesehatan dan
kehidupannya. Semua itu dilakukan dengan komunikasi yang jelas agar
kualitas kehidupan mereka terpenuhi.
6) Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi
maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan
ketidakberdayaan lainnya. Seringkali tunawisma mengalami gangguan
fisik dan emosi yang mengubah kehidupan mereka dan perawat membantu
mereka untuk beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.
21
b) Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak
terjadinya pengusiran.
c) Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada
tunawisma.
d) Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk
membayar rumah dan kebutuhan dasar.
2) Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala
kebutuhan serta pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma
sulit mengakses khususnya system pelayanan kesehatan karena mereka
tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap, sehingga dengan tujuan
mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan mengatasi
dampak yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk
pencegahan sekunder ialah :
a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah
dan menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah
mereka menjalani medikasi dan regimen terapi.
b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat
penampungan agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan
sesuai yang ada di tempat penampungan tersebut.
d) Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit
nutrisi
e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu
melakukan usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f) Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para tunawisma
agar tetap mendapatkan pelayanan kesehatan
3) Pencegahan tersier (Rehabilitasi)
Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi
22
ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah
pencegahan tersier pada tunawisma antara lain:
a) Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas
sosial kepada para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang
sangat penting guna menumbuhkan rasa percaya diri serta
spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Karena pada dasarnya
mereka memiliki semangat dan rasa percaya diri yang selama ini
tersimpan jauh di dalam dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai
potensi yang cukup besar, hanya saja belum memiliki penyaluran
atau sarana penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi
tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis
(gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat
memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada juga
yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam therapy ini,
dalam therapy individu dilakukan pengecekan terhadap semua
gelandangan dan pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis.
b) Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan,
terlebih dahulu para penyandang masalah kesejahteraan sosial
(PMKS) diberikan fasilitas penanganan kesehatan yaitu
pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian
kegiatan bimbingan kesehatan dimulai dengan penyadaran tentang
pentingnya kesehatan badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil
seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih.
Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang sangat keras dan
serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu
masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat
sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan kesehatan tidak
diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.
c) Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1
23
bulan sekali, dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata
tertib lalu lintas, serta peraturan di jalan raya, sehingga para
gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan raya,
karena keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu
keamanan serta ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan
ketertiban ini biasanya pihak dinas sosial mendatangkan
narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat. Menurut
pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari
pak polisi para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat
antusias. Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi, karena
pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng) dijalanan
sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian
dipenjarakan.
d) Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas
sosial, guna untuk menguatkan kembali spiritualitas para
gelandangan dan pengemis.
24
2. Program atau kebijakan pemerintah tentang penanggulangan homeless
atau gelandangan di Indonesia
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan
pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena itu perlu diadakan usaha-
usaha penanggulangan. Penanggulangan tersebut bertujuan untuk
memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan/atau pengemis agar
mereka mampu mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang
layak sebagai seorang warna negara Republik Indonesia.Dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 1, 5 dan 6, ada beberapa usaha
untuk menanggulangi gelandangan adalah sebagai berikut :
1) Usaha preventif
Adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan,
bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan
serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya
dengan pergelandangan dan pengemisan sehingga akan tercegah
terjadinya :
a. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-
keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit
penghidupannya
b. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan
pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya
c. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan
dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan
ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke
tengah masyarakat.
Dalam hal ini, usaha yang di maksud adalah dengan :
1. Penyuluhan dan bimbingan sosial
2. Pembinaan sosial
3. Bantuan sosial
4. Perluasan kesempatan kerja
25
5. Pemukiman lokal
6. Peningkatan derajat kesehatan
2) Usaha represif
adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun
bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan
pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat. Usaha
represif yang di lakukan sesuai PP No. 31 Tahun1980 Pasal 9 adalah
razia, penampungan sementara untuk di seleksi, dan pelimpahan.
Dalam pasal 12 disebutkan bahwa setelah gelandangan di seleksi,
tindakan selanjutnya terdiri dari :
a. Dilepaskan dengan syarat
b. Dimasukkan dalam panti sosial
c. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung
halamannya
d. Diserahkan ke pengadilan
e. Diberikan pelayanan kesehatan
3) Usaha Rehabilitatif
Adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha
penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan
kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah
pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-tengah
masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga dengan
demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki
kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat
manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 7 di
jelaskan bahwa pelaksanaan penanggulangan gelandangan di atur
lebih lanjut oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
26
B. Asuhan Keperawatan Pada Agregat Populasi Mental
Contoh kasus
Seorang perempuan, usia 30 tahun,dengan dua orang anak pulang dari rumah sakit
setelah 20 hari dirawat di rumah sakit, perempuan tersebut dirawat karena marah-
marah, tertawa, berbicara sendiri, merusak alat rumah tangga dan curiga dengan
suaminya. Diagnosa medis skizofrenia. Suami perempuan tersebut bekerja sebagai
buruh di kota dan pulang seminggu sekali. Perempuan tersebut sudah 2 kali dirawat
di rumah sakit. Dirumah ia hanya tinggal dengan kedua anaknya, 1 minggu setelah
pulang kader melaporkan keperawat puskesmas bahwa perempuan tersebut mulai
marah-marah, bicara dan tertawa sediri lagi dan tidak mau minum obat.
a) Pengkajian :
Satu minggu setelah pulang dari rumah sakit perempuan tersebut marah-
marah, bicara sendiri, tertawa sendiri, merusak alat rumah tangga, dan
curiga dengan suaminya. Selama satu minggu terakhir perempuan tersebut
tidak minum obat.
b) Diagnosa keperawatan
Individu : Diagnosa Halusinasi dan Resiko perilaku kekerasan
Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif
Keluarga : Kurang pengetahuan
Perencanaan : Tujuan jangka panjang
c) Intervensi
Individu
1. Halusinasi berkurang atau hilang
2. Perilaku mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan dapat di cegah
3. Patuh dalam penatalaksanaan regimen terapeutik
Tujuan jangka pendek Individu
1. Mengenal masalah dan mengontrol halusinasi dengan 4 cara :
menghardik, bercakap- cakap, kegiatan terjaduan dan patuh minum
obat
2. Mengontrol prilaku kekerasan dengan cara : fisik, sosial, spiritual,
deescalasi dan patuh obat
3. Memahami manfaat 6 benar obat dan dampak bila putus obat
27
Keluarga
Merawat pasien dengan halusinasi, resiko perilakukekerasan dan
penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
1. Mengenal masalah halusinasi, resiko perilaku kekerasan dan
penatalaksanaan regimen terapeutik
2. Memutuskan cara merawat perempuan tersebut
3. Memodivikasi lingkungan
4. Melakukan follow-up dan rujukan
d) Implementasi
Tindakan Individu
1. Melatih mengontrol halusinasi dengan 4 cara : menghardik,
bercakap-cakap, kegiatan terjadual dan patuh minum obat
2. Melatih mengontrol prilaku kekerasan dengan cara: fisik, sosial,
spiritual, deescalasi dan patuh obat
3. Mendiskusikan tentang manfaat obat
Keluarga :
1. Melatih mengenal masalah
2. Melatih keluarga mengambil keputusan
3. Melatih keluarga cara memodivikasi lingkungan
4. Melatih keluarga cara merawat ODGJ dengan halusinasi, resiko
perilaku kekerasan dan ketidak efektifan penatalaksanaan regimen
terapeutik
e) Evaluasi :
Individu :
1. Halusinasi terkontrol atau hilang
2. Tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungsn
3. Patuh minum obat
4. Keluarga
5. Pengetahuan keluarga meningkat
6. Mampu merawat perempuan tersebut
Pencegahan :
Primer : pendidikan kesehatan dan melatih cara manajemen setres untuk
28
suami dan anak-anak pasien tersebut
Sekunder : monitor kepatuhan minum obat dan memberikan perawatan
Tersier : meningkatkan kemampuan koping dan mengembangkan sistem
pendukung
29
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang
mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat
(Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera
mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik
biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang
dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau
outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial.
Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang
memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan
kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi
masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang
belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan
kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat
kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan
aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan- kepentingan mereka melalui
penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang
diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara
maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan
keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi
masyarakat.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk dapat
mengaplikasikan pada kehidupan dengan tujuan untuk mencapai
kesejahteraan hidup.
30
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik ,
Jakarta : EGC
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan
Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, & Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal. Bedah Brunner dan
Suddarth. Jakarta
: EGC
31