Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN KESEHATAN KOMUNITAS

POPULASI RENTAN: KECACATAN

Disusun Oleh:

 Arman Jaya Tafonao (032018010)


 Liza Sari BR Tarigan (032018011)
 Pricillia Madeleine Zebua (032018028)
 Sr Kristina FSE (032018038)
 Wilda Satriana Gea (032018045)

Dosen Pembimbing:
Lindawati Simorangkir, S.Kep.,Ns.,M.Kes

PRODI NERS TAHAP AKADEMIK


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTA ELISABETH
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya, makalah mengenai “Asuhan Keperawatan Kesehatan Komunitas
Populasi Rentan : Kecacatan” dapat diselesaikan untuk menjadi sumber
penugasan dan penilaian dalam mata kuliah Keperawatan Komunitas II.
Kami menyadari materi yang disajikan dalam makalah ini masih jauh dari
yang sempurna, karena itu kami mengharapkan masukan untuk
penyempurnaannya. Kiranya makalah “Asuhan Keperawatan Kesehatan
Komunitas Populasi Rentan : Kecacatan” ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian.
Kami mengucapkan terima kasih kepada anggota dosen mata kuliah kami;
(i) Lindawati Simorangkir S.Kep.,Ns.,M.Kes
atas penugasan, masukan dan pengarahan dalam menyusun makalah ini. Semoga
dapat memenuhi kebutuhan unsur penugasan dan penilaian terhadap kami yang
telah menyusun makalah ini.sekian dan terimaksih.

Medan, 11 Oktober 2021

Kelompok 9 A
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................. 2
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 4
2.1 Populasi Rentan ....................................................................................... 5
2.2 Penyandang Cacat / Disabilitas / Difabel ................................................ 6
2.2.1 Definisi ....................................................................................... 7
2.2.2 Karakteristik Kecacatan/Difabel ................................................ 8
2.2.3 Difabel dan Kebijakan Publik .................................................. 9
2.2.4 Strategi Perawat dalam Merawat Penyandang Difabel ........... 10
2.2.5 Isu Etik dalam Disabilitas / Difabel ......................................... 11
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ........................................................12
3.1 Kasus .........................................................................................................13
3.2 Pengkajian .................................................................................................14
3.3 Diagnosa Keperawatan .............................................................................15
3.4 Rencana Asuhan keperawatan ..................................................................16
BAB IV PENUTUP .......................................................................................17
4.1 Kesimpulan ...............................................................................................18
4.2 Saran …………………………………………………………………….19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap orang dilahirkan berbeda. Tidak ada manusia yang benar-benar
sama meskipun mereka kembar. Perbedaan tersebut dapat terjadi pada kondisi
fisik dan non fisik. Merupakan hal wajar jika setiap orang berbeda dalam banyak
hal seperti warna kulit, bentuk jasmani, minat, potensi atau kecerdasan. Oleh
karena itu dalam kehidupan sehari-hari disamping individu yang secara fisik
normal sering kita jumpai, ada pula individu yang memiliki fisik tidak
normal,yang sering dikenal sebagai penyandang cacat. Masalah penyandang cacat
bukan merupakan masalah yang kecil, terutama di negara seperti Indonesia.
Karena permasalahan yang dihadapi meliputi segala aspek hidup dan kehidupan
seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan.
Kebutaan merupakan masalah penglihatan yang menurunkan kualitas
hidup penderitanya dan orang-orang di sekelilingnya. Kebutaan merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, dan katarak merupakan
penyebab utama kebutaan di dunia dan di Indonesia.
WHO telah mencanangkan  Vision 2020 The Right to Sight yaitu program
dunia untuk  mengatasi kebutaan dan gangguan penglihatan. Ada tiga strategi
dalam visi ini, yaitu  Pengembangan pengendalian penyakit secara terintegrasi
melalui penyediaan SDM, infrastrukstur dan teknologi yang saling menunjang
disetiap tingkat pelayanan kesehatan; Advokasi dan promosi Vision 2020 disetiap
level pelayanan kesehatan dengan penguatan  strategi yang mendukung vision
2020; serta kemitraan antar negara, organisasi profesi, LSM, WHO dan
stakeholder lainnya. Di Indonesia sendiri, Kementrian Kesehatan (KEMENKES)
telah mengembangkan strategi yang sama untuk mengatasi masalah kebutaan
yang dituangkan  dalam Kepmenkes no. 1473/2005 tentang rencana strategi
nasional penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan (Renstranas PGPK)
untuk mencapai Visio 2020.
Pada saat memberikan pelayanan kesehatan, perawat komunitas harus
rnempertimbangkan beberapa prinsip, yaitu kemanfaatan dimana semua tindakan
dalam asuhan keperawatan harus memberikan manfaat yang besar bagi
komunitas, pelayanan keperawatan kesehatan komunitas dilakukan bekerjasama
dengan klien dalam waktu yang panjang dan bersifat berkelanjutan serta
melakukan kerjasama lintas program dan lintas sektoral, asuhan keperawatan
diberikan secara langsung mengkaji dan intervensi, klien dan, lingkungannya
termasuk lingkungan sosial, ekonomi serta fisik mempunyai tujuan utama
peningkatan kesehatan, pelayanan keperawatan komunitas juga harus
memperhatikan prinsip keadilan dimana tindakan yang dilakukan disesuaikan
dengan kemampuan atau kapasitas dari komunitas itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan?
b. Bagaimana penilian diri terhadap difabel?
c. Apa saja karakteristik dari difabel?
d. Apa hubungan antara difabel dan kebijakan publik?
e. Bagaimana stretegi perawat kesehatan dalam merawat penyandang
difabel?
f. Apa saja isu etik untuk difabel?
g. Bagaimana menyusun Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
difabel?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa dan mahasiswi mengerti tentang konsep Asuhan
Keperawatan Komunitas Populasi Rentan : Kecacatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Agar mahasiswa dan mahasiswi mengetahui konsep penilaian diri :
respon terhadap difabel.
b. Agar mahasiswa dan mahasiswi mengetahui karakteristik difabel
c. Agar mahasiswa dan mahasiswi mengerti bagaimana difabel dan
kebijakan politik
d. Agar mahasiswa dan mahasiswi mengetahui bagaimana strategi
perawat kesehatan dalam merawat penyandang difabel.
e. Agar mahasiswa dan mahasiswi mengetahui isu etik untuk difabel.
f. Agar mahasiswa dan mahasiswi mampu menyusun Asuhan
Keperawatan pada pasien dengan difabel.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Populasi Rentan

Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi


kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen,
Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera
mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik
biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan
rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif.
Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau
rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko
yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan (Surakarta et al.,
2017)
Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-
Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal
tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang
rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil
dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan,
bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
a. Refugees (pengungsi)
b. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c. National Minoritie (kelompok minoritas)
d. Migrant Workers (pekerja migran )
e. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
f. Children (anak)
g. Women (wanita)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.

2.2 Penyandang Cacat / Disabilitas / Difabel

2.2.1 Definisi
Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan
karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya.
Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia
mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang
berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang
yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah,
serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi
kognitifnya mengalami gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-pokok
konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu
atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental;
penyandang cacat fisik dan mental (Haines et al et al., 2019)

2.2.2 Karakteristik Kecacatan/Difabel


Sementara variasi atau spektrum pada setiap tipe atau jenis disabilitas
sangat luas sehingga karakteristik masing-masing tipe disabilitas pun menjadi
berbeda. Berikut adalah penjelasan empat ragam disabilitas beserta karakteristik
dan penjelasan bagaimana kita berinteraksi dengan masing-masing ragam
disabilitas (Laili, 2019)

a. Karakteristik Disabilitas Fisik


Masyarakat biasa disebut sebagai Penyandang Disabilitas Daksa atau
Orang dengan Gangguan Mobilitas. Mereka adalah individu yang
mengalami ketidakmampuan untuk menggunakan kaki, lengan, atau
batang tubuh secara efektif karena kelumpuhan, kekakuan, nyeri, atau
gangguan lainnya. Kondisi ini mungkin diakibatkan kondisi ketika lahir,
penyakit, usia, atau kecelakaan. Meski demikian, kondisi ini dapat berubah
dari hari ke hari dan kondisi ini juga dapat berkontribusi pada disabilitas
lain seperti gangguan bicara, kehilangan ingatan, tubuh pendek, dan
gangguan pendengaran. Orang dengan gangguan mobilitas dan gangguan
gerak seringkali terhambat secara sosial dan fisik untuk berpartisipasi di
dalam masyarakat. Hambatan sosial berupa stigma negatif di masyarakat
sementara hambatan fisik adalah lingkungan yang tidak aksesibel. Oleh
karena itu, penerimaan masyarakat dan lingkungan yang aksesibel sangat
dibutuhkan untuk memastikan para penyandang disabilitas fisik ini dapat
berpartisipasi dan berkontribusi di dalam masyarakat.
Terkait dengan kondisi penyandang disabilitas fisik, maka ada
beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan, antara lain: Perlu disediakan
bidang miring atau lift pada setiap perbedaan ketinggian pada lantai Perlu
disediakan toilet (kamar mandi) yang khusus dengan dilengkapi fasilitas
untuk berpegangan Disediakan tempat duduk prioritas pada ruang-ruang
publik dan tempat duduk tersebut sebaiknya dekat dengan pintu keluar dan
masuk ruangan Alat bantu bagi penyandang disabilitas daksa seperti
tongkat, kruk, dan kursi roda adalah barang pribadi yang penting, sehingga
jangan digunakan atau diperlakukan sebagai mainan

b. Karakteristik Disabilitas Intelektual


Disebut Cacat Mental dan sekarang banyak disebut sebagai Disabilitas
Mental. Disabilitas intelektual adalah mereka yang mengalami fungsi
intelektual secara signifikan serta gangguan prilaku adaptif. Spektrum atau
variasi penyandang disabilitas intelektual sangat luas, mulai dari mereka
mengalami down syndrome, autisme, kesulitan konsentrasi, dan gangguan
berpikir lainnya termasuk mereka yang disebut sebagai orang dengan
gangguan jiwa. Orang yang mengalami disabilitas intelektual rata-rata
memiliki tingkat IQ antara 35 hingga 70.

c. Karakteristik Disabilitas Runggu dan/ atau Wicara


Penyandang disabilitas rungu adalah mereka yang mengalami
hambatan untuk mendengar, sementara penyandang disabilitas wicara
adalah mereka yang mengalami gangguan atau hambatan melakukan
komunikasi verbal. Beberapa komunitas penyandang disabilitas rungu
lebih suka menyebut dirinya sebagai komunitas Tuli. Bagi mereka istilah
Tuli mengacu pada komunitas yang memiliki cara berkomunikasi sendiri
yang berbeda dengan komunitas orang dengar. Jadi istilah Tuli bagi
mereka bukan istilah yang berkonotasi negatif. Sementara orang yang
memiliki gangguan pendengaran adalah mereka yang memiliki persoalan
mendengar yang diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain
bertambahnya usia, penyakit, atau faktor lain misalnya benturan yang
menyebabkan gendang telinga rusak. Sehingga orang yang mengalami
gangguan pendengaran biasanya masih dapat menggunakan alat bantu
dengar untuk berkomunikasi. Sementara disabilitas wicara seringkali
disebabkan oleh rusaknya pita suara. Hal yang perlu diketahui adalah
seseorang yang sejak kecil tuli berpotensi juga memiliki disabilitas wicara.
Namun, seseorang yang memiliki disabilitas wicara belum tentu tuli
karena bisa jadi mereka hanya mengalami gangguan pada pita suara atau
organ verbal mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang memiliki
disabilitas rungu atau wicara dapat dikenali melalui karakteristik yaitu
mereka tidak menyadari adanya bunyi jika tidak melihat ke sumber bunyi
atau tidak ada getaran. Seorang yang tuli atau hambatan pendengaran
seringkali terlihat mendekatkan telinga ke sumber bunyi dan jika berbicara
keras dan tidak jelas. Selain itu mereka cenderung menggunakan mimik
atau gerakan baik tangan atau tubuh untuk berkomunikasi.

d. Karakteristik Disabilitas Netra


Disabilitas netra adalah hambatan atau gangguan penglihatan. Secara
umum netra terbagi ke dalam dua kelompok yaitu buta total (totally blind)
dan disabilitas netra ringan (low vision). Buta total adalah sebuah kondisi
di mana seseorang tidak dapat melihat obyek sama sekali kecuali hanya
bayang cahaya sehingga mereka hanya dapat membedakan situasi gelap
dan terang. Kondisi demikian dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran
(pre-natal) karena faktor genetik (keturunan) atau adanya virus yang
menyerang janin pada masa kehamilan. Para penyandang disabilitas netra
total mengandalkan komunikasi audio atau verbal. Tulisan braille
merupakan salah satu metode yang digunakan oleh mereka untuk
berkomunikasi. Pada era digital saat ini teknologi alat bantu bagi
penyandang disabilitas netra sudah berkembang dengan baik, di mana para
penyandang disabilitas netra dapat menggunakan komputer bicara. Dalam
penampilan sehari-hari pada umumnya mereka menggunakan kacamata
hitam dan untuk mobilitasnya mereka menggunakan tongkat khusus, yaitu
tongkat berwarna putih dengan garis merah horizontal.

2.2.3 Difabel dan Kebijakan Publik


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) Penyandang disabilitas
adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik
dalam jangka waktu lama, dimana ketika ia berhadapan dengan berbagai
hambatan, hal ini dapat menyulitkannya untuk berpartisipasi penuh dan efektif
dalam masyarakat berdasarkan kesamaan hak.
Pasal 1 Konvensi mengenai hak- hak Penyandang cacat dan Protokol
Opsional terhadap Konvensi yang di sahkan dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2011, disebutkan bahwa:
“Penyandang cacat termasuk mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental,
intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan
bertbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat
secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan.”
Kementerian Kesehatan RI sedang mengembangkan upaya untuk
meningkatkan kemandirian keluarga/orang tua dari anak penyandang disabilitas
(difabel). Pemberdayaan dilakukan dengan memberikan perawatan kesehatan,
pola asuh anak, dan upaya perlindungan dari penyakit, serta rehabilitasi disabilitas
di tingkat keluarga. Program ini difokuskan pada peningkatan kemampuan tenaga
kesehatan dalam membina orang tua/keluarga dari anak difabel. Program ini
berguna untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemandirian keluarga/orangtua
dari anak dengan disabilitas dalam memberikan perawatan kesehatan, pola asuh
anak dan upaya perlindungan terhadap penyakit serta rehabilitasi disabilitas di
tingkat keluarga (Kuliah et al., 2018)

2.2.4 Strategi Perawat dalam Merawat Penyandang Difabel


a. Proses kelompok (group process)
Seseorang dapat mengenal dan mencegah penyakit, tentunya setelah
belajar dari pengalaman sebelumnya, selain faktor
pendidikan/pengetahuan individu, media masa, televisi, penyuluhan
yang dilakukan petugas kesehatan dan sebagainya. Begitu juga dengan
masalah kesehatan di lingkungan sekitar masyarakat, tentunya
gambaran penyakit yang paling sering mereka temukan sebelumnya
sangat mempengaruhi upaya penangan atau pencegahan penyakit yang
mereka lakukan. Jika masyarakat sadar bahwa penangan yang bersifat
individual tidak akan mampu mencegah, apalagi memberantas
penyakit tertentu, maka mereka telah melakukan pemecahan-
pemecahan masalah kesehatan melalui proses kelompok.
b. Pendidikan Kesehatan (Health Promotion)
Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku yang dinamis,
dimana perubahan tersebut bukan hanya sekedar proses transfer
materi/teori dari seseorang ke orang lain dan bukan pula seperangkat
prosedur. Akan tetapi, perubahan tersebut terjadi adanya kesadaran
dari dalam diri individu, kelompok atau masyarakat sendiri.
Sedangkan tujuan dari pendidikan kesehatan menurut Undang-Undang
Kesehatan No. 23 Tahun 1992 maupun WHO yaitu ”meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan; baik fisik, mental dan sosialnya; sehingga produktif secara
ekonomi maupun secara sosial.
c. Kerjasama (Partnership)
Berbagai persoalan kesehatan yang terjadi dalam lingkungan
masyarakat jika tidak ditangani dengan baik akan menjadi ancaman
bagi lingkungan masyarakat luas. Oleh karena itu, kerja sama sangat
dibutuhkan dalam upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan
komunitas melalui upaya ini berbagai persoalan di dalam lingkungan
masyarakat akan dapat diatasi dengan lebih cepat.
Perawat atau pelayan kesehatan bekerja sama dengan seluruh
perangkat yang ada di masyarakat untuk mengurangi masalah
kesehatan. Ini juga merupakan bentuk agar masyarakat bisa lebih
mandiri (Dianti & Findyartini, 2019)

2.2.5 Isu Etik dalam Disabilitas / Difabel


Difabel dan keluarganya prihatin tentang masalah etika dan hukum
kontemporer yang sama yang menyangkut orang tidak di fabel. Namun, beberapa
isu terkait membawa kepentingan tertentu bagi difabel dan keluarga mereka,
termasuk pertanyaan dan masalah definisi kepribadian, menghormati manusia
sekitarnya, dan hak-hak difabel.
Isu terkait memilih antara aborsi dan melanjutkan kehamilan ketika
screening prenatal menunjukkan adanya gangguan dan masalah kesehatan dan
menentukan pelayanan medis yang tepat untuk bayi, anak-anak, dan orang dewasa
difabel. Karena tenaga profesional perawatan kesehatan dapat menyampaikan
sikap negatifnya tengtang kehidupan difabel, informasi yang akurat dan seimbang
harus disediakan, perspektif spiritual masyarakat memainkan peran penting dalam
penygambilan keputusan ketika ada perubahan status keehatan atau penyakit yang
mengancam jiwa. Orang-orang yang membangun harapan dan makna dalam hidup
mereka dapat memilih untuk secara positif membingkai ulang kesulitan yang
berhubungan dengankeerbatasan fungsional yang lain mungkin tertahankan.
pelaku rawat pemberian perawatan holistik membutuhkan perawat untuk menilai
dan meningkatkan kesehatan spiritual bersama dengan fisik dan kesejahteraan
psikologis.
Data angka yang menunjukkan jumlah kaum difabel dari dulu hingga
sekarang tidak pernah ada hitungan pasti (underrepresentatifw). Referensi dari
Organisasi Kesehatan Dunia WHO mengatakan ada 15 persen dari total penduduk
dunia adalah penyandang cacat. Sedangkan di Indonesia, terdapat informasi
terbaru dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan ada 4,45% persen
penyandang cacat dari total penduduk di Indonesia. Mereka, kaum difabel
memiliki gangguan fisik, sensorik, intelektual, ataupun mental dengan berbagai
kondisi berbeda. Populasi dunia yang semakin tua sangat berdampak pada
meningkatnya persentase penyandang disabilitas beberapa tahun ke depan. Oleh
karena itu, masyarakat perlu menyadari tentang pentingnya peningkatan taraf
hidup dan peran serta penyandang disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat
demi tercapainya persamaan hak setiap manusia, penciptaan lingkungan yang
lebih baik dan inklusif.
Pada faktanya, penyandang disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih
besar dibandingkan masyarakat normal pada umumnya, dikarenakan mereka
memiliki hambatan dalam mengakses layanan umum. Penyandang disabilitas
seringkali tidak memiliki akses untuk pendidikan yang layak, pelayanan
kesehatan, dan kegiatan perekonomian. Kurangnya akses dalam transportasi,
bangunan fisik, pendidikan, dan pekerjaan merupakan beberapa contoh yang
menjadi penghambat dalam kehidupan merkea sehari-hari.
Sekalipun Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang (UU) No.4 tahun
1997 yang mengusung enam isu utama, diantaranya kesamaan kesempatan,
pendidikan, tenaga kerja, aksebilitas, dan kesehatan, tetapi untuk pemenuhannya
kurang terimplementasikan dengan baik. pengelolaan-nyapun masih terkesan
karikatif. Maksud karikatif disini adalah ketika membuat kebijakan-kebijakan
terkait penyandang cacat tidak benar-benar di konsep untuk membangun si kaum
difabel sepenuhnya, tetapi cenderung hanya diberikan beberapa manfaat saja.
Konsep pemerintah dalam membangun kaum difabel disamakan dengan konsep
pemeliharaan orang tidak mampu (orang miskin), yang biasanya hanya
menggantungkan hidupnya dari si pemberi bantuan. Begitu bantuannya di
tiadakan maka yang terjadi hidupnya semakin terpuruk.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus

Pada hari tanggal 21 Oktober 2021, mahasiswa keperawatan mengunjungi


SLB Kota S, Hasil pengamatan terhadap perilaku anak tuna netra dan cara
bimbingan guru SLB terhadap siswa dengan tunanetra. Pada saat berkunjung
sedang di adakan kegiatan membuat sate dan cara memanggang sate. Asuhan
keperawatan yang dilakukan pada anak dengan tunanetra, meliputi: pengkajian,
diagnose keperawatan, rencana tindakan, implementasi dan evaluasi.

3.2 Pengkajian

a. Identitas klien: Umur: 13 tahun, jenis kelamin: laki-laki kelas: 5 SD.


b. Riwayat kesehatan: menurut cerita klien ini seperti yang dituturkan oleh
ibunya, dia menderita kelainan mata dimana kedua kelopak matanya tidak
bisa membuka dan bola mata kecil dari sejak lahir, mejelang besar anak
tidak mampu mnelihat apa-apa.
c. Keadaan umum: tampak berpenampilan gempal, tinggi 90 cm dengan
berat badan 40 kg dan berpakaian bersih.
d. Riwayat sosial: Kedua orang tua masih hidup dan hidup bersama dengan
kedua orang tuanya. Saat kesekolah di antar jemput oleh ibunya. Sejak
kecil selalu di bantu ibunya untuk melakukan aktifitas sehari hari, saat ini
klien mampu mengganti pakaian sendiri, dan mandiri terhadap kebutuhan
eliminasi. Kebutuhan makan disediakan oleh ibunya, klien mampu makan
dan minum sendiri.
e. Kemampuan kemandirian: Ketersedian baju ganti oleh orang tuanya, klien
bisa memakai baju sendiri. Klien masih minta bantuan untuk mengenali
tempat eliminasi yang ada di samping kelas. klien mampu mengganti
pakaian sendiri, dan mandiri terhadap kebutuhan eliminasi.
f. Pada pemeriksaan berfocus pada mata: tampak kedua bola mata kecil,
kelopak mata atas tidak bisa di buka hanya ada kernyitan kedua kornea
mata tampak keputihan, tidak bisa mengidentifikasi objek di depan
matanya.

3.3 Analisa Data

Analisa Data Diagnosa


DS:
Menurut cerita klien ini seperti yang
dituturkan oleh ibunya, dia menderita
kelainan mata dimana kedua kelopak
matanya tidak bisa membuka dan bola
mata kecil dari sejak lahir, mejelang
besar anak tidak mampu mnelihat
apa-apa.
Gangguan (persepsi sensori) penglihatan total
DO:
berhubungan dengan cacat sejak lahir
Anak ber umur 13 tahun, jenis kelamin:
laki-laki kelas: 5 SD tampak kedua
bola mata kecil, kelopak mata atas
tidak bisa di buka hanya ada kernyitan,
kedua kornea mata tamak keputihan,
tidak bisa mengidentifikasi objek di
depan matanya.

DS:
Sejak kecil selalu di bantu ibunya
untuk melakukan aktifitas sehari hari.
Kebutuhan menuju tempat eliminasi
masih di bantu guru

DO: Defisit kemandirian berhubungan


Ketersedian baju ganti oleh orang tuanya, dengan keterbatasan aktifitas fisik
klien bisa memakai baju sendiri. klien
mampu mengganti pakaian sendiri,
Klien masih minta bantuan untuk
mengenali tempat eliminasi yang ada di
samping kelas, secara umum mandiri
terhadap kebutuhan eliminasi.
3.4 Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Intervensi Keperawatan


Tujuan (NOC)
. Keperawatan (NIC)
1. Gangguan (persepsi Vision Pencapaian Komunikasi:
compensation Defisit Penglihatan
sensori) penglihatan
behavior a. Kaji reaksi  pasien
total berhubungan Kriteria hasil: terhadap gangguan
a. Memakai huruf penglihatan.
dengan cacat sejak lahir
braile b. Ajak pasien untuk
b. Memakai menentukan tujuan
penyinaran/ dan belajar melihat
cahaya yang dengan cara yang
sesuai lain.
c. Deskripsikan
lingkungan
disekitar pasien.
d. Jangan
memindahkan
sesuatu di ruangan
pasien tanpa
memberi informasi
pada pasien.
e. Sediakan huruf
braile.
f. Informasikan letak
benda-benda yang
sering diperlukan
pasien.

Manajemen Lingkungan
a. Ciptakan
lingkungan yang
aman bagi pasien.
b. Pindahkan benda-
benda. berbahaya
dari lingkungan
pasien
c. Tempatkan benda
+benda pada
tempat yang dapat
dijangkau pasien

2. Defisit kemandirian Mandiri dalam self Self Care assistance : ADLs


berhubungan care : Activity of a. Monitor
Daily Living kemampuan klien
dengan keterbatasan
(ADLs) untuk perawatan
aktifitas fisik Kriteria Hasil : diri yang mandiri.
a. Menyatakan b. Monitor kebutuhan
kenyamanan klien untuk alat-alat
terhadap bantu untuk
kemampuan kebersihan diri,
untuk berpakaian berhias,
melakukan toileting dan
ADLs. makan.
b. Dapat c. Sediakan bantuan
melakukan sampai klien
ADLS dengan mampu secara utuh
bantuan untuk melakukan
self-care.
d. Dorong klien untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari yang
normal sesuai
kemampuan yang
dimiliki.
e. Dorong untuk
melakukan secara
mandiri, tapi beri
bantuan ketika
klien tidak mampu
melakukannya.
f. jarkan klien /
keluarga untuk
mendorong
kemandirian, untuk
memberikan
bantuan hanya jika
pasien tidak mampu
untuk
melakukannya
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pengertian Kelompok Rentan adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir
miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights
Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
a. Refugees (pengungsi)
b. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c. National Minoritie (kelompok minoritas)
d. Migrant Workers (pekerja migran )
e. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
f. Children (anak)
g. Women (wanita)
Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang
mereka hadapi. Kelompok rentan terbagi menjadi 3:
a. Penyandang cacat
b. Tunawisma
c. Gangguan mental/mental disorder
Kecacatan merupakan keterbatasan yang dialami makhluk hidup,
khususnya manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Keterbatasan ini
bisa berupa ketidakberfungsian organ tubuh sebagai mestinya. Perubahan fisik
sangat berpengaruh terhadap proses mental. Perubahan fisik dan perkembangan
fisik yang optimal berpengaruh pada kemampuannya beradaptasi dan berkembang
terhadap lingkungan disekitarnya. Konsep diri yang baik akan lebih mudah
terbentuk dalan anugrah fisik yang baik. Sementara dengan cacat fisik mungkin
tidak mengalami ketidakpercayaan diri yang akhirnya berpengaruh besar pada
pembentukan konsep dirinya. populasi adalah sekelompok makhluk hidup dengan
spesies yang sama, yang hidup pada suatu wilayah yang sama dalam kurun waktu
yang sama pula.

4.2 Saran

Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk dapat


mengaplikasikan pada kehidupan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan
hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Dianti, N. A., & Findyartini, A. (2019). Hubungan Tipe Motivasi terhadap
Kejadian Burnout pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia pada Masa Transisi dari Pendidikan Preklinik ke Klinik Tahun
2018. EJournal Kedokteran Indonesia, 7(2).
https://doi.org/10.23886/ejki.7.10771.
Haines et al, 2019, goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A., Haines et al,
2019, goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A., Haines et al, 2019, &
goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A. (2019). Disabilitas. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Kuliah, M., Politik, I., Ngabiyanto, D., Si, M., Lestari, P., Pd, S., Si, M.,
Wiratomo, G. H., Pd, S., Politik, J., & Kewarganegaraan, D. A. N. (2018).
Jurusan politik dan kewarganegaraan fakultas ilmu sosial universitas negeri
semarang 1. 1–4.
Laili, F. N. (2019). Asuhan Asuha n K e p e rawa raw a t a n K o m unitas unita s
Popula Pop ulasi si R e nta nt a n : K e cacat cac atan an dan d an Pop P
opulasi ulasi T e r lantar lanta r ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah.
Surakarta, S. M. A. N., Yudhanto, R., Budiarti, A. C., & L, S. I. (2017). 1
INTERAKSI SOSIAL SISWA DIFABEL DALAM SEKOLAH INKLUSI DI
SMA NEGERI 8 SURAKARTA Rifki Yudhanto, Atik Catur Budiarti, Siany
Indria L. 1–19.

Anda mungkin juga menyukai