Anda di halaman 1dari 61

ASKEP KESEHATAN KOMUNITAS POPULASI RENTANG

PADA ANAK JALANAN, AREA BENCANA, AREA KERJA,


CORRECTIONAL SETTING DAN AREA RURAL

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Komunitas
Keluarga

Disusun Oleh:
Kelompok 3 kelas B
1 Amsiah 4002230339
2 Hilda Tira Puspita 4002230108
3 Indah Solehah 4002230113
4 Indri Kartika Dewi 4002230111
5 Liah Muflihah 4002230348
6 Neni Setiawati 4002230128
7 Nissa Sri Rejeki Nurjito 4002230123
8 Nurul Sevina Aulia 4002230106
9 Regina Nur Fadzrin 4002230134
10 Septian Nasution 4002230341
11 Siti Wasiah Meilani 4002230344
12 Syifa Nurfitriani 4002230351
13 Vina Marpiyani 4002230340
14 Vivi Fitriani K 4002230361

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


STIKes DHARMA HUSADA BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Askep
Kesehatan Komunitas Populasi Rentang Pada Anak Jalanan, Area Bencana, Area
Kerja, Correctional Setting Dan Area Rural”. Terimakasih kami ucapkan kepada
Dosen Mata Kuliah Keperawatan Komunitas Keluarga yang telah memberi
kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah ini dengan baik. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki juga banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami harapkan kepada
pembaca untuk memberikan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Bandung, Desember 2023

Penulis

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................1
C. Tujuan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. KONSEP TEORI........................................................................................3
1. Populasi Rentan.......................................................................................3
2. Konsep Anak Jalanan........................................................................4
3. Konsep Bencana......................................................................................7
4. Konsep Kesehatan Kerja......................................................................21
5. Ruang Lingkup Kesehatan Kerja........................................................26
6. Penyakit –Penyakit yang Disebabkan oleh Kerja..............................27
7. Konsep Potensial Hazard......................................................................28
8. Konsep APD...........................................................................................30
9. Definisi Correctional Setting............................................................32
10. Konsep Area Rural.........................................................................35
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PASCA BENCANA..............47
A. Pengkajian..............................................................................................47
B. Diagnosa Keperawatan.........................................................................49
C. Intervensi Keperawatan........................................................................51
BAB IV PENUTUP..............................................................................................56
A. Kesimpulan................................................................................................56
B. Saran..........................................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................58

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang
mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat
(Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera
mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi
atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok
sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk
menerima pelayanan kesehatan.
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi
masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang
belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan
kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat
kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan
tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan
mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi
orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum
terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan
diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak
bagi masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan?
2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan anak jalanan?

iv
3. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan area bencana?
4. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan area kerja?
5. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan correctional setting?
6. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan area rural?
7. Bagaimana Asuhan keperawatan dalam komunitas populasi rentan area
bencana?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang populasi rentan.
2. Untuk mengetahui tentang populasi rentan anak jalanan.
3. Untuk mengetahui tentang populasi rentan area bencana.
4. Untuk mengetahui tentang populasi rentan area kerja.
5. Untuk mengetahui tentang populasi rentan correctional setting.
6. Untuk mengetahui tentang populasi rentan area rural.
7. Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan dalam komunitas
populasi rentan area bencana.

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI
1. Populasi Rentan
Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap
orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah
orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang
cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa
yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
a. Refugees (pengungsi)
b. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c. National Minoritie (kelompok minoritas)
d. Migrant Workers (pekerja migran)
e. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
f. Children (anak)
g. Women (wanita)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik

6
dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi
pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) hal: Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental,
Penyandang cacat fisik dan mental.

2. Konsep Anak Jalanan


Menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), Anak jalanan adalah
anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk
mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum
lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai
dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di
jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak
terurus, mobilitasnya tinggi. Selain itu, Direktorat Kesejahteran
Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30)
memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian
besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah
atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia
mereka berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Adapun waktu yang
dihabiskan di jalan lebih dari 4 jam dalam satu hari. Pada dasarnya
anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan demi mencari
nafkah, baik dengan kerelaan hati maupun dengan paksaan orang
tuanya.
Anak mengacu pada usia yang hingga kini masih beragam
pendapatnya. Sedangkan jalanan mengacu pada tempat dimana anak
tersebut beraktifitas. Pembagian anak jalanan menurut UNICEF dibagi
menjadi tiga kelompok antara lain:
a. Street Living Children
Anak-anak yang pergi dari rumah dan meninggalkan orang tuanya.
Anak tersebut hidup sendirian dan memutuskan untuk tidak
berhubungan lagi dengan keluarganya. Biasanya anak-anak ini sering

7
disebut dengan gelandangan atau pun gembel. Mereka biasanya tidak
mempunyai tempat tinggal maupun pekerjaan tetap.
b. Street Working Children
Disebut juga sebagai pekerja anak di jalan. Mereka menghabiskan
sebagian besar waktu mereka di jalanan untuk bekerja baik di jalan
atau pun di tempat- tempat umum untuk membantu keluarganya.
Sehingga anak- anak ini masih memiliki rumah dan tinggal dengan
orang tua mereka.
c. Children from Street Families
Anak- anak yang hidup di jalanan, beserta dengan keluarga mereka.
Untuk jumlahnya sendiri, jumlah anak jalanan terus betambah setiap
tahunnya.
2.1 Penyebab Anak Jalanan
Departemen Sosial (2001: 25-26) menyebutkan bahwa
penyebab keberadaan anak jalanan ada 3 macam, yakni faktor
pada tingkat mikro(immediate causes), faktor pada tingkat
messo (underlying causes), danfaktor pada tingkat makro (basic
causes).
a. Tingkat Mikro (I mmediate Causes)
Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang
berhubungan dengan anak dan keluarganya. Departemen
Sosial (2001: 25-26) menjelaskan pula bahwa pada tingkat
mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga
yang berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni:
1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih
sekolah atau sudah putus, berpetualangan, bermain-main
atau diajak teman.
2) Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan
orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang
tua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan
berhubungan dengan keluarga atau tetangga, terpisah
dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak,

8
keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak
menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial. Hal ini
dipengaruhi pula oleh meningkatnya masalah keluarga
yang disebabkan oleh kemiskinan, pengangguran,
perceraian, kawin muda, maupun kekerasan dalam
keluarga.
3) Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak
mampu lagi membantu terhadap keluarga-keluarga inti,
hal ini diakibatkan oleh pergeseran nilai, kondisi
ekonomi, dan kebijaka pembangunan pemerintah.
4) Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak,
dimana orang tua sudah tidak mampu lagi memahami
kondisi serta harapan anak-anak, telah menyebabkan
anak-anak mencari kebebasan.
Selain itu, Odi Shalahudin (2004:71) menyebutkan pula
faktor-faktor yang disebabkan oleh keluarga yakni sebagai
berikut:
1) Keluarga miskin
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang
medoronganak-anak menjadi anak jalanan. Anak dari
keluarga miskin, karena kondisi kemiskinan kerap kali
kurang terlindungi sehinggamenghadapi risiko yang
lebih besar untuk menjad anak jalanan.
2) Perceraian dan kehilangan orang tua
Perceraian dan kehilangan orang tua menjadi salah
satufaktor risiko yang mendorong anak-anak pergi ke
jalanan. Perceraian atau perpisahan orang tua yang
kemudian menikah lagiatau memiliki teman hidup baru
tanpa ikatan pernikahan seringkali membuat anak
menjadi frustasi. Rasa frustasi ini akan semakin
bertambah ketika anak dititipkan ke salah satu
anggotakeluarga orang tua mereka atau tatkala anak yang

9
biasanya lebihmemilih tinggal bersama ibunya merasa
tidak mendapatkan perhatian, justru menghadapi
perlakuan buruk ayah tiri atau pacar ibunya.
3) Kekerasan keluarga
Kekerasan keluarga merupakan faktor risiko yang
palingbanyak dihadapi oleh anak-anak sehingga mereka
memutuskanuntuk keluar dari rumah dan hidup di
jalanan. Berbagai faktor risiko lainnya yang berkaitan
dengan hubungan antara anak dengan keluarga, tidak
lepas dari persoalan kekerasan.
4) Keterbatasan ruang dalam rumah
Keterbatasan ruang dalam rumah bisa menimbulkan
risiko anak-anak turun ke jalan. Biasanya ini dialami
oleh anak-anak yang berada di lingkungan perumahan
yang padat penduduknya.

3. Konsep Bencana
Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan
kerugian baik materiil dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat
(Urata, 2008). Fenomena atau kondisi yang menjadi penyebab bencana
disebut hazard (Urata, 2008).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bencana adalah
peristiwa pada suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi,
kerugian ekologi, kerugian hidup bagi manusia serta menurunnya derajat
kesehatan sehingga memerlukan bantuan dari pihak luar (Effendy &
Mahfudli, 2009). Disaster menurut WHO adalah setiap kejadian, situasi,
kondisi yang terjadi dalam kehidupan (Effendy & Mahfudli, 2009).
a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bencana
1) Faktor alami
Faktor alami merupakan keadaan mudah terjadinya bencana atau
kerentanan tergantung kondisi alam seperti bentuk geografis,
geologi, cuaca, iklim (Urata, 2008).

10
2) Faktor social
3) Faktor social adalah kerentanan akibat ulah manusia, contohnya:
pembangunan bangunan di daerah yang miring, meningkatnya
angka urbanisasi, kemiskinan, pengendalian bencana yang tidak
tepat (Urata, 2008).
b. Jenis Bencana Alam
Jenis-jenis bencana alam terdiri 3 bagian (Urata, 2008)
1) Bencana alam (natural disaster)
Bencana yang terjadi akibat kerusakan ekosistem dan telah terjadi
kelebihan kapasitas komunitas yang terkena dampaknya.
a) Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di
permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng
bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan.
Gempa bumi menyebabkan kerusakan fisik sarana dan prasarana
dan menyebabkan banyak korban. Masalah kesehatan yang
sering muncul cacat karena patah tulang dan masalah sanitasi.
b) Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik
yang dikenal dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api
dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu
lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar. Masalah
kesehatan yang di hasilkan adalah kematian, luka bakar,
gangguan pernafasan akibat gas. Letusan gunung merapi dapat
menyebabkan masalah gizi karena menyebabkan rusaknya
tanaman, pohon serta hewan ternak.
c) Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang
ombak lautan ("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang
ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut
raksasa yang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut
akibat gempa bumi. Tsunami menyebabkan kerusakan
bangunan, tanah, sarana dan prasarana umum, kerusakan sumber
air bersih.

11
d) Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah
atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau
keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan
penyusun lereng.
e) Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu
daerah atau daratan karena volume air yang meningkat.
f) Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba
dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya
aliran sungai pada alur sungai.
2) Bencana buatan manusia
Bencana buatan manusia adalah penyebabnya ditimbulkan oleh
aktivitas manusia contohnya kecelakaan kereta, kecelakaan kereta,
kecelakaan lalulintas, kebocoran gas.
3) Bencana khusus
Bencana khusus dibedakan menjadi empat kategori yaitu:
a) Tipe menyebar ke wilayah yang luas contohnya radio aktif dan
nuklir
b) Tipe komplek jika terjadi bencana pertama di susul bencana
kedua dank ke tiga serta di susul penyebarannya.
c) Tipe gabungan atau campuran, bencana ini terjadi campuran
antara bencana alam dengan bencana akibat ulah manusia.
d) Tipe jangka panjang, tipe ini memerlukan waktu pengecekan
lokasi kejadian dan penyelamatan korban.
c. Kelompok Rentan
Memahami akibat dari bencana adalah manusia potensial menjadi
korban, sehingga perlu kita perlu memahami dua hal yang perlu
mendapatkan fokus utama adalah mengenali kelompok rentan dan
meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam
menanggulangi bencana. Kerentanan adalah keadaan atau sifat
manusia yang menyebaabkan ketidakmampuan menghadapi bencana
yang berfokus pada pencegahan, menjinakkan, mencapai kesiapan,
dan dalam menghadapi dampak tertentu.

12
Undang-undang penanggulangan bencana pada pasal 56 dan pasal
26 (1) menjelaskan bahwa masyarakat yang rentan adalah masyarakat
yang membutuhkan bantuan diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu
hamil, ibu menyusui, lansia. Kerentanan dalam masyarakat dapat
dikelompokkan menjadi:
1) Kerentanan fisik
Adalah resiko yang dihadapimasyarakat dalam menghadapi
ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan rekonstruksi
bangunan rumah pada daerah rawan banjir dan gempa.
2) Kerentanan ekonomi
Adalah kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
mengalokasikan dana utuk mencegas dan penanggulangan bencana.
3) Kerentanan social
Kerentanan social dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan
tentang ancaman dan penanggulangan bencana, serta ingkat
kesehatan yang rendah.
4) Kerentanan lingkungan
5) Kerentanan yang melihat aspek tempat tinggal masyarakat dan
lingkungan sekitarnya.
d. Peran Perawat Dalam Bencana
Peran perawat diharapkan dalam setiap bencana yang terjadi. Peran
perawat menurut fase bencana:
1) Fase pre impact
a) Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga
kesehatan dalam penanggulangan ancaman bencana untuk setiap
fasenya.
b) Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan,
organisasi lingkungan, Palang Merah Nasinal, maupun lembaga-
lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan
simulasi memberikan tanggap bencana.
c) Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka
meningkatkan tanggap bencana, meliputi usaha pertolongan diri

13
sendiri, pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga dan
menolong anggota keluarga yang lain, pembekalan informs cara
menyimpan makanan dan minuman untuk persediaan, perawat
memberikan nomer telepon penting seperti nomer telepon
pemadam kebakaran, ambulans, rumah sakit, memberikan
informasi peralatan yang perlu dibawa (pakaian, senter).
2) Fase impact
a) Bertindak cepat.
b) Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan
harapan palsu pada korban bencana.
c) Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan.
d) Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain.
e) Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang
master plan revitalizing untuk jangka panjang.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk
memutuskan tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana
“seleksi” pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih
efektif.
TRIASE:
a) Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang
mengancam kehidupan sebagian besar pasien mengalami
hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala
dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II.
b) Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi
injury dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok
karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat
bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur
tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis,
laserasi, luka bakar derajat II.
c) Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah
fraktur tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio,
abrasio, dan dislokasi.

14
d) Hitam meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat
selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan
meninggal.
3) Fase post-impact
a) Memberikan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi
trauma.
b) Selama masa perbaikan perawat membantu korban bencana
alam untuk kembali ke kehidupan normal.
c) Beberapa penyakit dan kondisi fisik yang memerlukan
pemulihan dalam jangka waktu lama memerlukan bekal
informasi dan pendampingan.
e. Permasalahan di Bidang Kesehatan
Berikut ini merupakan akibat – akibat bencana yang dapat muncul
baik langsung maupun tidak langsung terhadap bidang kesehatan.
1) Korban jiwa, luka, dan sakit (berkaitan dengan angka kematian dan
kesakitan).
2) Adanya pengungsi yang pada umumnya akan menjdai rentan dan
beresiko mengalami kurang gizi, tertular penyakit, dan menderita
stress.
3) Kerusakan lingkungan sehingga kondisi menjadi darurat dan
menyebabkan keterbatasan air dan sanitasi serta menjadi tempat
perindukan vector penyakit.
4) Seringkali system pelayanan kesehatan terhenti, selain karena
rusak, besar kemungkinan tenaga kesehatan setempat juga menjadi
korban bencana.
5) Bila tidak diatasi segera, maka derajat kesehatan semakin menurun
dan berpotensi menyebabkan terjadinya KLB.
Penyakit penyakit yang sering kali diderita para pengungsi di
Indonesia tidak lepas dari kondisi kedaruratan lingkungan, antara lain
diare, ISPA, campak dan malaria. WHO mengidentifikasi empat
penyakit tersebut sebagai The Big Four.

15
Meskipun dapat dikatakan dengan sepatah kata, ada bermacam-
macam penyebab bencana, kondisi kerusakannya, serta massa-massa
terkena dampak, dan lain-lain. Biasanya dalam menanggulangi
bencana, maka bencana tersebut akan dibagi menjadi 4 fase, yaitu:
1) Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana (prevention and
preparedne phase)
2) Fase tindakan (response phase) yang terdiri dari fase akut (acute
phase) dan fase sub akut (sub acute phase)
3) Fase pemulihan (recovery phase)
4) Fase rehabilitasi / rekonstruksi.
Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana,
dan tindakan terhadap bencana pertama berhubungan dengan
kesiapsiagaan untuk bencana selanjutnya, sehingga hal ini disebut
siklus bencana.
1) Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan
yang baik dengan memikirkan berbagai tindakan untuk
meminimalsisir berbagai kerugian yang ditimbulkan akibat
bencanadan menyusun perencanaan agar dapat melakukan kegiatan
pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana.
Tindakan terhadap bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu:
a) Pengkajian terhadap kerentanan
b) membuat perencanaan (pencegahan bencana)
c) Pengorganisasian
d) Sistem informasi
e) Pengumpulan sumber daya
f) Sistem alarm
g) Mekanisme tindakan
h) Pendidikan dan pelatihan penduduk
i) Gladi resik.

16
2) Fase tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi
darurat yang nyata untuk menjaga diri sendiri dan harta kekayaan.
Aktivitas yang dilakukan secara kongkret yaitu:
a) Instruksi pengungsian
b) Pencarian dan penyelamatan korban
c) Menjamin keamanan dilokasi bencana
d) Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e) Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi
darurat,
f) Pengiriman dan penyerahan barang material
g) Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit
lagi dengan membaginya menjadi fase akut dan fase sub akut.
Dalam fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase
penyelamatan dan pertolongan / pelayanan medis darurat terhadap
orang orang yang terluka pada saat mengungsi atau dievakuasi,
serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya
permasalahan kesehatan dalam pengungsian.
3) Fase pemulihan
Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan,
tetapi fase ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat
dengan kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya
seperti sedia kala, (sebelum terjadi bencana), orang-orang
melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah kerumah
sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil
memulihkan lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai
dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas untuk membuka
kembali usahanya. Institusi pemerintah juga memulai memberikan
kembali pelayanan seqqcara normal serta mulai menyusun rencana-
rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan

17
kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan
fase pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi
normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini
merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
4) Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi.
Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat
ditentukan, namun ini merupakan fase dimana individu atau
masyarakat berusaha menegembalikan fungsi-fungsinya seperti
sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh
komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak dapat kembali
pada keadaan yang sama seperti sebelum mengalami bencana,
sehingga dengan menggunaan pengalamannya tersebut diharapkan
kehidupan individu serta keadaan komunitas pun dapat
dikembangkan secara progresif.
f. Pelayanan Medis Bencana berdasarkan Siklus Bencana
Kehidupan dan kondisi fisik serta psikis orang banyak akan
mengalami perubahan saat berhdapan dengan setiap siklus bencana.
Oleh karena itu, pelayanan medis yang dibutuhkan adalah yang juga
akan berubah dalam menanggulangi setiapsiklus bencana. Secara
singkat akan diuraikan seperti di bawah ini.
1) Fase akut dalam siklus bencana
Dilokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan
evakuasi dari lokasi berbahaya ke tempat yang aman adalah hal
yang paling diprioritaskan. Untuk menyelamatkan korban luka
sebanyak mungkin, maka sangat diperlukan lancarnya pelaksanaan
Triage (triase), Treatment (pertolongan pertama), dan
transportation (transportasi) pada korban luka, yang dalam
pelayanan medis bencana disebut dengan 3T. selain tindakan
penyelamatan secara langsung, dibutuhkan juga perawatan
terhadap mayat dan keluarga yang ditinggalkan, baik di rumah
sakit, lokasi bantuan perawatan darurat maupun ditempat
pengungsian yang menerima korban bencana.

18
2) Fase menengah dan panjang pada siklus bencana.
Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal
yaitu dari tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah
yang direhabilitasi. Hal-hal yang dilakukan diantaranya adalah:
memperhatikan segi keamanan supaya dapat menjalankan aktivitas
hidup yang nyaman dengan tenang, membantu terapi kejiwaan
korban bencana, membantu kegiatan-kegiatan untuk memulihkan
kesehatan hidup dan membangun kembali komunitas social
3) Fase tenang pada siklus bencana
Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan
pendidikan penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat
bencana terjadi, pelatihan pencegahan bencana pada komunitas
dengan melibatkan penduduk setempat, pengecekan dan
pemeliharaan fasilitas peralatan pencegahan bencana baik di
daerah-daerah maupun pada fasilitas medis, srta membangun
sistem jaringan bantuan.
g. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan
Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka
penanggulangan bencana sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek
medis dan aspek kesehatan masyarakat. Pelaksanaanya tentu harus
melakukan koordinasi dan kloaborasi dengan sector dan program
terkait. Berikut ini merupakan ruang lingkup bidang pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan, terutama saat tanggap darurat
dan pasca bencana.
1) Sanitasi darurat
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan
jamban: kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan limbah
sesuai standard. Kekurangan jumlah maupun kualitas sanitasi ini
akan meningkatkan resiko penularan penyakit.
2) Pengendalian vector
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka
kemungkinan terdapat nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi.

19
Ini termasuk timbunann sampah dan genagan air yang
memungkinkan tejadinya perindukan vector. Maka kegiatan
pengendalian vector terbatas saat diperlukan baik dalam bentuk
spraying, atau fogging, larvasiding, maupun manipulasi
lingkungan.
3) Pengendalian penyakit
Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan
kasus penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan
pengendalian melalui intensifikasi penatalaksanaan kasus serta
penanggulangan faktor resikonya. Penyakit yang memerlukan
perhatian adalah diare dan ISPA.
4) Imunisasi terbatas
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama
orang tua, ibu hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu
imunisasi campak bila dalam catatan program daerah tersebut
belum mendapatkan crash program campak. Jenis imunisasi lain
mungkin diperlukan ssuai dengan kebutuhan setempat seperti yang
dilakukan untuk mencegah kolera bagi sukarelawan di Aceh pada
tahun 2005 dan imunisasi tetanus toksoid (TT) bagi sukarelawan di
DIY dan jateng apda tahun 2006.
5) Surveilanse Epidemologi
6) Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi
penyakit potensi KLB dan faktor resiko atas informasi inilah maka
dapat ditentukan pengendalian penyakit, pengendalian vector, dan
pemberian imunisasi, informasi epidemologi yang harus diperoleh
melalui kegiatan surveilens epidemologi adalah:
a) Reaksi social
b) Penyakit menular
c) Perpindahan penduduk
d) Pengaruh cuaca
e) Makanan dan gizi
f) Persediaan air dan sanitasi

20
g) Kesehatan jiwa
h) Kerusakan infrastruktur kesehatan.
Menurut DepKes RI (2006) manajemen siklus penanggulangan
bencana terdiri dari:
a) Impact (saat terjadi bencana)
b) Acute Response (tanggap darurat)
c) Recovery (pemulihan)
d) Development (pembangunan)
e) Prevention (pencegahan)
f) Mitigation (Mitigasi)
g) Preparedness (kesiapsiagaan).
Aktivitas yang dilakukan untuk menangani masalah Kesehatan
dalam siklus bencana dibagi menjadi 2 macam, yaitu pada fase akut
untuk menyelamatkan kehidupan dan fase sub-akut sebagai
perawatan rehabilitatif. Menurut DepKes RI (2006) untuk
mengetahui manajemen penanggulangan bencana secara
berkesinambungan, perlu dipahami siklus penanggulangan bencana
dan peran tiap komponen pada setiap tahapan, sebagai berikut:
a) Kejadian bencana (impact)
Kejadian atau peristiwa bencana yang disebabkan oleh alam
atau ulah manusia, baik yang terjadi secara tiba-tiba atau
perlahan-lahan, dapat menyebabkan hilangnya jiwa manusia,
trauma fisik dan psikis, kerusakan harta benda dan lingkungan,
yang melampaui kemampuan dan sumberdaya masyarakat untuk
mengatasinya.
b) Tanggap darurat (acute response)
Upaya yang dilakukan segera setelah kejadian bencana yang
bertujuan untuk menanggulangi dampak yang timbul akibat
bencana, terutama penyelamatan korban dan harta benda,
evakuasi dan pengungsian.

21
c) Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana baik
dampak fisik dan psikis, dengan memfungsikan kembali sarana
dan prasarana pada keadaan semula. Hal ini dilakukan dengan
memperbaiki prasaran dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air
bersih, pasar, Puskesmas dll) dan memulihkan kondisi trauma
psikologis yang dialami anggota masyarakat.
d) Pembangunan (development)
Merupakan fase membangun kembali sarana dan prasarana yang
rusak akibat bencana. Pembangunan ini dapat dibedakan
menjadi 2 tahapan. Tahapan yang pertama yaitu rehabilitasi
yang merupakan upaya yang dilakukan setelah kejadian bencana
untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah, fasilitas
umum dan fasilitas sosial serta menghidupkan Kembali roda
ekonomi. Tahapan yang kedua yaitu rekonstruksi, yang
merupakan program jangka menengah dan jangka panjang yang
meliputi program fisik, sosial dan ekonomi untuk
mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama
atau lebih baik.
e) Pencegahan (prevention)
Tindakan pencegahan yang harus dilaksanakan antara lain
berupa kegiatan untuk meningkatkan kesadaran/kepedulian
mengenai bahaya bencana. Langkah-langkah pencegahan
difokuskan pada intervensi terhadap gejala-gejala alam dengan
tujuan agar menghindarkan terjadinya bencana dan atau
menghindarkan akibatnya dengan cara menghilangkan/
memperkecil kerawanan dan meningkatkan ketahanan/
kemampuan terhadap bahaya.
f) Mitigasi (mitigation)
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik
secara fisik struktural dengan pembuatan bangunan-bangunan
fisik maupun non-fisik struktural melalui perundang-undangan

22
dan pelatihan. Mitigasi merupakan semua aktivitas yang
dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi derajat risiko
jangka panjang dalam kehidupan manusia yang berasal dari
kerusakan alam dan buatan manusia itu sendiri (Stoltman et al.,
2004).
g) Kesiapsiagaan (preparedness)
Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui
pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya
guna. Persiapan adalah salah satu tugas utama dalam disaster
managemen, karena pencegahan dan mitigasi tidak dapat
menghilangkan vulnerability maupun bencana secara tuntas.
h. Pencegahan dan Mitigasi
Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang
dilakukan, bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta
mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi
dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
1) Mitigasi pasif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif
antara lain:
a) Penyusunan peraturan perundang-undangan
b) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah
c) Pembuatan pedoman/standar/prosedur
d) Pembuatan brosur/leaflet/poster
e) Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
f) Pengkajian / analisis risiko bencana
g) Internalisasi PB dalam muatan lokal Pendidikan
h) Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
i) Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
j) Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
2) Mitigasi aktif
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi
aktif antara lain:

23
a) Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya,
larangan memasuki daerah rawan bencana dsb.
b) Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang
penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan
lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana.
c) Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
d) Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke
daerah yang lebih aman.
e) Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat
f) Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur
evakuasi jika terjadi bencana.
g) Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan
tahan gempa dan sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi
yang bersifat non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan,
pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan
prasarana).

4. Konsep Kesehatan Kerja


Upaya Kesehatan Kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas,
beban, lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat
tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilinnya,
agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal). Konsep dari upaya
kesehatan kerja ini adalah mengidentifikasi permasalahan, mengevaluasi
dan dilanjutkan dengan tindakan pengendalian. Sasaran kesehatan kerja
adalah manusia dan meliputi aspek kesehatan dari pekerja itu sendiri
(Ferry efendi.2009).
Notoatmodjo menyatakan bahwa kesehatan kerja merupakan aplikasi
kesehatan masyarakat di dalam suatu tempat kerja (perusahaan, pabrik,
kantor, dan sebagainya) dan yang menjadi pasien dari kesehatan kerja

24
ialah masyarakat pekerja dan masyarakat sekitar perusahan tersebut. Ciri
pokoknya adalah preventif (pencegahan penyakit) dan promotif
(peningkatan kesehatan). Oleh sebab itu, dalam kesehatan kerja
pedomannya ialah: “penyakit dan kecelakaan akibat kerja dapat dicegah”.
Dari aspek ekonomi, penyelenggaraan kesehatan kerja bagi suatu
perusahaan adalah sangat menguntungkan karena tujuan akhir dari
kesehatan kerja ialah meningkatkan produktifitas seoptimal mungkin
Menurut International Labor Organization (ILO) salah satu upaya
dalam menanggulangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat
kerja adalah dengan penerapan peraturan perundangan antara lain melalui:
a. Adanya ketentuan dan syarat-ayarat K3 yang selalu mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi (up to date).
b. Penerapan semua ketentuan dan persyaratan keselamatan dan
kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
sejak tahap rekayasa.
c. Pengawasan dan pemantauan pelaksanaan K3 melalui pemeriksaan-
pemeriksaan langsung di tempat kerja.
ILO dan WHO (1995) menyatakan kesehatan kerja bertujuan untuk
peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial
yang setinggi-tingginya bagi pekerja disemua jenis pekerjaan, pencegahan
terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi
pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko
akibat faktor yang merugikan kesehatan dan penempatan serta
pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan
dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya.
Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan
setiap manusia kepada pekerjaan atau jabatannya. Selanjutnya dinyatakan
bahwa fokus utama kesehatan kerja, yaitu:
a. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan pekerja dan kapasitas kerja.
b. Perbaikan lingkungan kerja dan pekerjaan yang mendukung
keselamatan dan Kesehatan.

25
c. Pengembangan organisasi kerja dan budaya kerja kearah yang
mendukung kesehatan dan keselamatan di tempat kerja juga
meningkatkan suasana sosial yang positif dan operasi yang lancar
serta meningkatkan produktivitas perusahaan.
Dalam Permenaker No.3 tahun 1982 disebutkan tugas pokok
kesehatan kerja antara lain:
a. Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian pekerjaan terhadap
tenaga kerja.
b. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja.
c. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan sanitasi.
d. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan kesehatan kerja.
e. Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat
kerja, pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta
penyelenggaraan makanan ditempat kerja.
f. Memberikan laporan berkala tentang pelayanan kesehatan kerja
kepada pengurus.
g. Memberikan saran dan masukan kepada manajemen dan fungsi terkait
terhadap permasalahan yang berhubungan dengan aspek kesehatan
kerja.
a. Tujuan kesehatan kerja
Tujuan kesehatan kerja antara lain:
a. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat
pekerja di semua lapangan kerja setinggi-tingginya baik fisik,
mental maupun kesejahteraan sosialnya.
b. Melindungi para pekerja dan orang lain di tempat kerja.
c. Menjamin agar setiap sumber produksi dapat dipakai secara aman
dan efisien.
d. Menjamin proses produksi berjalan lancar
b. Kapasitas Kerja, Beban Kerja, dan Lingkungan Kerja
Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga
komponen utama dalam kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif

26
dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan menghasilkan
kesehatan kerja yang baik dan optimal.
Kapasitas kerja yang baik seperti statfus kesehatan kerja dan gizi
kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima diperlukan agar
seseorang pekerja dapat melakukan pekerjaannya secara baik.
Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat
beban kerja yang terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu
lemah dapat mengakibatkan seorang pekerja menderita gangguan atau
penyakit akibat kerja.
Kondisi lingkungan kerja (misalnya panas, bising, debu, zat kimia,
dll) dapat merupakan beban tambahan terhadap pekerja. Beban
tambahan tersebut secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat
menimbulkan gangguan atau penyakit akibatnya.
Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor-
faktor yang berhubungan dengan pekerjaan maupun yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa status kesehatan kerja dari masyarakat pekerja dipengaruhi
tidak hanya oleh bahaya-bahaya kesehatan ditempat kerja dan
kingkungan kerja tetapi juga faktor-faktor pelayanan kesehatan kerja,
perilaku kerja serta faktor-faktor lainnya
c. Model Kesehatan Kerja
1. Plan (Perencanaan)
Menetapkan sasaran dan proses yang diperlukan untuk mencapai
hasil sesuai dengan kebijakan K3 organisasi.
2. Do (Pelaksanaan)
Melaksanakan proses yang sudah dirancang.
3. Check (Pemeriksaan)
Memantau dan mengukur kegiatan proses terhadap kebijakan,
sasaran, peraturan perundang-undangan dan persyaratan K3
Iainnya serta melaporkan hasilnya.

27
4. Act (Tindakan)
Mengambil tindakan untuk perbaikan kinerja K3 secara
berkelanjutan.
Pada tahun 1990, silabus keperawatan kesehatan kerja
dikembangkan dengan menggunakan kerangka model ‘Hanasaari’,
Finlandia. Model ini dibuat untuk memungkinkan keluwesan praktik
keperawatan kesehatan kerja. Model ini disajikan dalam uraian
berikut.
a. Konsep lingkungan total
Sistem lingkungan umjum yang mencapai aspek kesehatan dan
keselamatan di tamoilkan oleh lingkaran luar besar atau satu
konsep global. Didalam lingkaran luar tersebut, pengaruh yang
memberikan efek global, yang selanjutnya memberikan efek pada
kesehatan, mucul dalam bentuk faktor ekonomi, politik, sosial,
ekologi, dan organisasi.
b. Konsep manusia, kerja, dan Kesehatan
Diwakili oleh segitiga manusia, kerja dan kesehatan, dan
berlangsung didalam lingkungan total, aspek- aspek lingkungan
total yang mempunyai efek nyata pada kesehatan ditempat kerja.
Sebagai contoh, kebijakan politik dan sosial akan memperluas atau
mempersempit pengembangan kesehatan kerja. Budaya dan strategi
organisasi dapat dipengaruhi segitiga manusia, pekerja, dan
kesehatan secara langsung dan lebih kuat.
c. Interaksi keperawatan kesehatan kerja
Perawatan kesehatan kerja, disajikan di tengah- tengah model
tersebut. Interaksi dipakai untuk menggambarkan bidang- bidang
yang dikenal oleh kelompok- kelompok sebagai peranan perawat
kesehatan kerja.

28
5. Ruang Lingkup Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja
dengan pekerjaan dan lingkungan kerjana baik fisik maupun psikis dalam
hal cara atau metode, proses, dan kondisi pekerjaan yang bertujan untuk:
 Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat
pekerja di semua lapangan kaerja setinggi-tingginya baik fisik, mental,
maupun kesejahteraan sosialnya.
 Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekarja
yang diakibatkan oleh keadaan atau kondisi lingkungan kerjanya.
 Memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerjan di dalam
ekerjaanya dari kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-
faktor yang membahayakan Kesehatan.
 Menempatlkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan
yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya (Efendi,
2009).
Ruang lingkup hyperkes dapat dijelaskan sebagai berikut (Rachman,
1990) :
a. Kesehatan dan keselamatan kerja diterapkan di semua tempat kerja
yang di dalamnya melibatkan aspek manusia sebagai tenaga kerja,
bahaya akibat kerja dan usaha yang dikerjakan.
b. Aspek perlindungan dalam kesehatan kerja meliputi :
1. Tenaga kerja dari semua jenis dan jenjang keahlian
2. Peralatan dan bahan yang dipergunakan
3. Faktor-faktor lingkungan fisik, biologi, kimiawi, maupun sosial
4. Proses produksi
5. Karakteristik dan sifat pekerjaan
6. Teknologi dan metodologi kerja
c. Penerapan penkes dilaksanakan secara holistik sejak perencanaan
hingga perolehan hasil dari kegiatan industri barang maupun jasa.
d. Semua pihak yang terlibat dalam proses industri/perusahaan ikut
bertanggung jawab atas keberhasilan usaha kesehatan kerja.

29
6. Penyakit –Penyakit yang Disebabkan oleh Kerja
a. Golongan Fisik
1. Suara yang keras dapat menyebabkan tuli.
2. Suhu tinggi dapat menyebabkan heat stroke, heat cramps, atau
hyperpyrexia.
3. Suhu rendah menyebabkan chilblains, trench foot, atau frostbite..
Penerangan yang kurang atau yang terlalu terang (menyilaukan)
menyebabkan kelainan penglihatan dan memudahkan terjadinya
kecelakaan.
4. Penurunan tekanan udara (dekompressi) yang mendadak dapat
menyebabkan.
5. Radiasi dan sinar Roentgent atau sinar radio aktif menyebabkan
penyakit-penyakit darah, kemandulan, kanker kulit dan sebagainya.
6. Sinar infra merah dapat menyebabkan catharfact lensa mata.
7. Sinar ultra violet dapat mnyebabkan conjunctivitis photo electrica.
b. Golongan Kimiawi
1. Gas yang menyebabkan keracunan misalnya: CC, HCN, H2S, SQ2.
2. Uap dan logam dapat menyebabkan “metal fume fever”, ataupun
keracunan logam misalnya karena Hg, Pb.
3. Larutan ataupun cairan misalnya H2S04, HC1 dapat menyebabkan
keracunan ataupun dermatosis (penyakit kulit).
4. Debu-debu misalnya debu silica, kapas, asbest ataupun debu logam
berat bila terhirup ke dalam paru-paru menyebabkan
pneumoconiosis.
5. Awan atau kabut dan insecticida ataupun fungicida pada
penyemprotan erangga dan hama tanaman dapat menyebabkan
keracunan.
c. Golongan Penyakit Infeksi
Misalnya penyakit anthrax yang disebabkan bakteri Bacillus
anthracis pada penyamak kulit atau pengumpul wool. Penyakit-
penyakit infeksi pada karyawan yang bekerja dalam bidang
mikrobiologi ataupun dalam perawatan penderita penyakit menular.

30
d. Golongan Fisiologi
Penyakit yang disebabkan karena sikap badan yang kurang
baik; karena konstruksi mesin yang tidak cocok, ataupun karena
tempat duduk yang tidak sesuai.
e. Golongan Mental-Psikologi
Penyakit yang timbul karena hubungan yang kurang baik
antara sesama karyawan, antara karyawan dengan pimpinan, karena
pekerjaan yang tidak cocok dengan psikis karyawan, karena pekerjaan
yang membosankan ataupun karena upah (imbalan) yang terlalu
sedikit sehingga tenaga pikirannya tidak dicurahkan kepada
pekerjaannya melainkan kepada usahausaha pribadi untuk. Menambah
penghasilannya.

7. Konsep Potensial Hazard


Hazard adalah segala sesuatu yang dapat berpotensi menjadi bahaya
bahkan accident atau incident. Di berbagai lingkungan kerja dipastikan
kita dapat menemukan hazard tersebut dengan melakukan identifikasi
HAZARD ID. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam
mengidentifikasi hazard di suatu lingkungan, tapi kita harus tau dulu ada
berapa pengelompokan hazard berdasarkan teori yang ada. hazard di
kelompokkan menjadi 5, berdasarkan potensi bahaya yang ada, yaitu:
a. Hazard Biologi
Hazard biologi adalah potensi bahaya yang ditimbulkan dari faktor
makluk hidup. Biasanya hazard biologi ini berada di lingkungan-
lingkungan yang tidak bersih, kotor, dll.
Contoh dari hazard biologi adalah seperti cacing tambang, cacing
tambang dapat membuat kaki kita berlubang seperti dimakan oleh
cacing tersebut. Maka dari itu, dipertambangan diharapkan selalu
menggunakan APD sepatu safety agar sebagai pencegahan terhadap
hazard biologi.
b. Hazard Kimia

31
Hazard kimia adalah potensi bahaya yang disebabkan oleh sifat dan
karakteristik kimia yang dimiliki bahan tersebut. Hazard kimia ini
sangat berbahaya jika kita tidak menggetahuinya secara detail seperi
apa sifat dari bahan tersebut. Perlunya penanganan yang intensif
terhadap potensi bahaya ini.
Contoh dari hazard kimia adalah amoniak yang bercampur di udara
karena sifatnya yang berbahaya bagi tht pada manusia. Msds adalah
salah satu cara melakukan penanganan dini terhadap potensi bahaya
yang ditimbulkan oleh bahan kimia.
c. Hazard Fisik
Hazard fisik adalah potensi bahaya yang disebabka oleh faktor fisik
dari seseorang yang sedang melakukan pekerjaan. Hazard fisik erat
sekali hubungannya dengan manusia, kita sendiripun terkadang adalah
sumber masalah dari permasalahan yang terjadi. Managemen kegiatan
adalah salah satu cara untuk mengendalikan hazard yang muncul ini.
d. Hazard Ergonomi
Hazard ergonomi adalah potensi bahaya yang disebabkan terjadi
karena tidak efisiennya hubungan alat kerja dengan manusianya,
biasanya berhubungan dengan prilaku kerja manusia dengan alatnya.
Disini ini adalah yang menyebabkan juga munculnya penyakit akibat
kerja karena kesalahan-kesalahan dalam prilaku penggunaan alat
kerjanya.
e. Hazard Psikologi
Hazard psikologi adalah potensi bahaya yang disbabkan terjadinya
suatu konfik dalam lingkungan kerja tersebut. Konflik yang terjadipun
sudah terbagi menjadi langsung dan tidak langsung. Psikologi ini juga
merupakan hal penting karena dapat mempengaruhi juga bagaimana
orang tersebut bekerja, semakin banyak konflik maka pekerjaan yang
di kerjakan semakin tidak efisien dan malah banyak menimbulkan
masalah yang terjadi. Pengendaliannya biasaya mengunakan
managemen konflik dan ketetapan disiplin.

32
8. Konsep APD
Alat Pelindung Diri atau APD merupakan seperangkat peralatan yang
dikenakan sebagai perlindungan sebagian atau keseluruhan tubuh dari
resiko kecelakaan kerja. Sehingga pekerja lebih nyaman dan aman
selama menjalankan tugasnya.
Penggunaan peralatan pelindung diri bermanfaat sebagai pelindung
tenaga kerja dari berbagai resiko kecelakaan kerja. Sekaligus
meningkatkan produktivitas, efektivitas dan menciptakan lingkungan
kerja yang nyaman dan aman. Peralatan yang dikenakan seharusnya
memenuhi berbagai kriteria yang ditentukan, untuk menunjang keamanan
pekerja. Seperti nyaman dikenakan, tidak mengganggu aktivitas bekerja
dan memberikan perlindungan secara optimal.
Secara teknis memang penggunaan berbagai alat tersebut tidak bisa
menjamin keselamatan jiwa secara menyeluruh. Tapi setidaknya bisa
meminimalisir resiko keparahan terhadap keluhan penyakit tertentu dan
kecelakaan kerja. Setiap alat biasanya memiliki kelemahan tersendiri,
seperti kemampuan perlindungan kurang sempurna, kurang nyaman saat
dikenakan, mengganggu komunikasi dan lain sebagainya. Untuk
memastikan alat bisa berfungsi dengan baik, pengecekan secara rutin
wajib diterapkan pada Alat Pelindung Diri.
Ada beragam Alat Pelindung Diri yang biasa digunakan sebagai
ketika sedang bekerja, seperti di kawasan tambang, pembangunan
property dan sebagainya.
a. Safety helmet
Alat ini memiliki fungsi dalam melindungi kepala dari resiko terkena
benda jatuh. Sehingga mengurangi potensi cedera atau bahkan
kematian.
b. Safety google atau kacamata pengaman
Fungsinya untuk melindungi daerah mata, agar partikel kecil, sinar
yang menyilaukan, radiasi dan debu tidak mengganggu penglihatan.
Sebagai contoh saat proses pengelasan besi.
c. Face shield atau perisai muka

33
Fungsinya sebagai perlindungan pada mata dan wajah. Sehingga
terhindar dari paparan bahan kimia yang bisa merusak mata dan
wajah. Alat ini bisa dipasang di helm atau memegangnya memakai
tangan.
d. Safety belt atau sabuk keselamatan
Bentuknya mirip ikat pinggang yang fungsinya sebagai perlindungan
dari bahaya terjatuh saat bekerja di ketinggian.
e. Full body hardness atau sabuk pengaman penuh
Fungsi alat ini hampir serupa dengan safety belt, tapi alat tersebut
lebih aman. Hal ini karena memiliki kelebihan dengan tali pengaman
yang bisa melindungi seluruh tubuh. Jadi tidak hanya bagian pinggang
saja, sehingga sangat nyaman saat dikenakan ketika bekerja di
ketinggian lebih dari 2 meter.
f. Respirator dan masker
g. Fungsinya sebagai penutup hidung, sehingga bisa membantu
penyaringan udara yang terhirup ketika sedang bekerja. Terutama di
kawasan yang kualitas udaranya sangat rendah, seperti beracun dan
berdebu.
h. Penutup dan pelindung telinga
Alat ini fungsinya dalam melindungi telinga ketika bekerja di daerah
yang sangat bising. Sangat cocok dikenakan pada kawasan dengan
tingkat kebisingan lebih dari 85 dBA. Peralatan ini bisa menekan
intensitas udara yang memasuki telinga.
i. Sarung tangan
Material sarung tangan sangat beragam, seperti karet, kulit dan kain.
Fungsinya sebagai pelindung tangan dari goresan benda tajam,
paparan benda dingin atau panas, bahan kimia dan aliran listrik.
Sehingga tangan tidak mudah mengalami cedera atau kerusakan
tertentu.
j. Rubber boot atau sepatu karet
Fungsinya untuk alat pengaman kaki, ketika sedang bekerja di
kawasan yang becek atau berlumpur. Sekaligus melindungi kaki dari

34
bahaya aliran listrik, cairan kimia, benda panas, benda tajam dan lain
sebagainya.
k. Safety shoes atau sepatu keselamatan
Berfungsi mirip sepatu karet, tapi sepatu ini dilapisi dengan material
metal dan sol karet yang kuat serta tebal. Pada ujung kaki biasanya
dilengkapi material anti hantaran listrik dan baja.

9. Definisi Correctional Setting


Correctional setting adalah pelayanan kesehatan pada suatu
komunitas yang terisolasi, tertutup dari masyarakat, yang
mempunyai aturan dan kehidupan dengan karakteristik yang
dibentuk oleh penghuninya dan perawat harus menseting
lingkungan tersebut agar pelayanan kesehatan dapat terpenuhi.
Correctional setting merupakan praktik keperawatan yang
relatif baru bagi keperawatan komunitas. Praktik ini menawarkan
posisi yang menantang bagi perawat kesehatan komunitas untuk
memperluas batas praktek keperawatan.
Correctional health setting merupakan suatu cabang profesi
keperawatan yang memberikan pelayanan keperawatan kepada
klien di fasilitas correctional (Moritz, 1982; ANA, 1995 dalam
Hitchcock, Schubert, & Thomas, 2003).
a. Area Correctional Setting
Correctional setting dibagi dalam 3 type fasilitas:
1. Prisons, yaitu fasilitas federal atau negara bagian yang
memberikan hukuman lebih dari 1 tahun bagi para
narapidana dan biasanya dengan kasus kriminal.
2. Jails, yaitu fasilitas untuk wilayah lokal untuk menahan para
detaines dan imates. Detaines atau tahanan yaitu orang yang
belum diputuskan bersalah dan belum ada jaminan atau
karena belum ada jaminan bagi mereka.
3. Juνenille detention facillities, yaitu tempat untuk anak-anak
dan remaja yang dihukum karena masalah criminal dan

35
menjalani masa percobaan tetapi tidak dapat dibebaskan
tanpa ada tanggungjawab dari orang dewasa.
Pelayanan kesehatan correctional setting perlu sekali
dilakukan karena beberapa alasan:
1. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara adil
dan optimal dan melarang kekejaman serta hukuman yang
tidak wajar bagi para tahanan untuk mencegah terjadinya
cedera atau penyakit.
2. Para penghuni hidup dalam kemiskinan atau kekurangan,
berpendidikan rendah dan gaya hidup yang tidak sehat
seperti penyalahgunaan obat. Karena banyak penghuni
yang tidak mampu membayar pelayanan kesehatan diluar
maka biaya akan ditanggung oleh lembaga tersebut.
3. Untuk mencegah penularan penyakit dari lembaga
pemasyarakatan ke komunitas, atau para antar penghuni.
b. Hasaaam Kesematan baaah Gcrregticnaa Settink
1. Kesehatan mental
Menurut data dari Bureau of justice, 1999 kira-kira 285.00
tahanan dilembaga pemasyarakatan mengalami gangguan
jiwa. Penyakit jiwa yang sering dijumpai adalah skozofrenia,
bipolar affectiνe disorder dan personallity disorder. Karena
banyak yang mengalami gangguan kesehatan jiwa maka
pemerintah harus menyediakan pelayanan kesehatan mental.
2. Kesehatan fisik
Perawatan kesehatan yang paling penting adalah penyakit
kronis dan penyakit menular seperti HIV, Hepatitis, dan
Tuberculosis.
1) HIV
Angka kejadian HI dianara parra narapidana diperkirakan
6 kali lebih tinggi daripada populasi umum. Tingggiinya
angka infeksi HIV ini berkaitan dengan perilaku yang
beresiko tinggi seperti penggunaan obat-obatan, seksual

36
intercourse yang tidak aman dan pemakaian tato.
Pendekatan yang dilakuukan untuk menekan angka
kejadian yaitu dengan dilakukannya penegaan dan
program pendidikan kesehatan mengenai HIV dan AIDS.
2) Hepatitis
Hepatitis B dan C meningkat lebih tinggi daripada
populasi umum walaupun data yang ada belum lengkap.
Hal ini berkaitan dengan penggunaan obat-obat lewat
suntikan, tato, imigran dari daerah dengan insiden
hepatitis B dan C tinggi. National Commision On
Correction Health Care (NCCHC) menyarankan agar
dilakukan skrinning pada semua tahanan dan jika di
indikasikan pendidikan bagi semua staff dan tahanan
mengenai cara penyebaran, pencegahan, pengobatan, dan
kemajuan penyakit.
3) Tuberculosis
Angka TB tiga kali lebih besar di LP dibanding
populasi umum. Hal ini terkait dengan kepadatan penjara
dan ventilasi yang buruk, yang mempengaruhi penyebaran
penyakit. Pada tahun 1996, lembaga yang menangani
tuberculosis yaitu CC merekomendasikan pencegahan
dan pengontrolan TB dilembaga masyarakat yaitu:
a) Diadakannya skrinning TB bagi semua staf dan
tahanan.
b) Diadakan pencegahan transmisi penyakit dan
diberikan pengobatan yang sesuai.
c) Monitoring dan evaluasi skrinning
Populasi yang memiliki masalah kesehatan pada
lembaga pemasyarakatan yang unik, yaitu:
a) Wanita
Masalah kesehatan yang ada mungkin lebih kompleks
misalnya tahanan wanita yang dalam keadaan hamil,

37
meningggalkan anak dalam pengasuhan oranglain
(terpisah dari anak), korban penganiayaan dan
kekerasan sosial, penyalahgunaan obat terlarang.
Tetapi pelayanan kesehatan yang sela ini diberikan
belum cukup maksimal untuk memenuhi kebutuhan
mereka seperti pemeriksaan ginekologi untuk Wanita
hamil dan korban kekerasan seksual. NCCHC
menawarkan ketentuan-ketentuan berikut untuk
pemenuhan pelayanan kesehatan:
 LP memberikan pelayanan lengkap secara rutin
termasuk pemeriksaan ginekologi secara
komprehensif.
 Pelayanan kesehatan komprehensif meliputi
kesehatan reproduksi, korban dari penipuan,
konseling berkaitan dengan peran sebagai orangtua
dan pemakaian obat-obatan dan alkohol.
b) Remaja
Meningkatnya jumlah remaja yang terlibat tindak
kriminal membuat mereka harus ikut dihukum dan
ditahan seperti orang dewasa. Hal ini akan
menghalangi penemuan kebutuhan untuk berkembang
seperti perkembangan fisik, emosi dan nutrisi yang
dibutuhkan. Para remaja ini akan mempunyai masalah-
masalah kesehatan seperti kekerasan seksual,
penyerangan oleh tahanan lain atau tindakan bunuh
diri. Disini perawat harus memantau tingkat
perkembangan dan pengalaman mereka perlu waspada
bahwa pada usia ini paling rentan terkena masalah
kesehatan.

10. Konsep Area Rural


Pengertian desa dan pedesaan sering dikaitkan dengan pengertian

38
rural dan village, dan sering dibandingkan dengan kota (town/city) dan
perkotaan (urban). Pedesaan diartikan seperti desa atau seperti di desa,
dan perkotaan (urban) diartikan seperti kota atau seperti di kota-kota.
Berdasarkan batasan tersebut, pedesaan dan perkotaan mengacu pada
karakteristik masyarakat, sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu
satuan wilayah administrasi atau territorial. Dalam hal ini, suatu daerah
pedesaan dapat mencakup beberapa desa.
Menurut Tarigan (2003), masyarakat desa memiliki karakteristik
seperti peranan kelompok primer sangat besar, faktor geografik sangat
menentukan pembentukan kelompok masyarakat, hubungan lebih
bersifat intim dana wet, struktur masyarakat bersifat homogeny, tingkat
mobilitas sosial rendah, keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai
unit ekonomi, serta proporsi jumlah anak cukup besar dalam struktur
kependudukan.
Desa adalah komunitas kecil yang menetap di suatu tempat (Tarigan,
2003). Desa juga diklasifikasikan menurut tujuan analisis statistik,
analisis sosial-psikologik, dan analisis ekonomi. Dalam analisis
statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduk
kurang dari 2.500 orang. Menurut analisis sosial-psikologik, desa
merupaan suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan
yang akrab dan bersifat informal diantara sesame warganya. Sedangkan
menurut analisis ekonomi, desa merupakan lingkungan dengan
penduduknya tergantung kepada pertanian.
Kondisi area rural atau pedesaan dapat dilihat dari sangat banyaknya
keluarga yang berpenghasilan rendah dan tidak memiliki asuransi.
Faktor penghalang yang lazim terhadap akses pelayanan kesehatan
adalah jarak geografik yang jauh dan transportasi yang tidak adekuat
(Anderson, 2006). Faktor penyebab terjadinya perbedaan tingkat
potensial kejadian penyakit dan kematian akibat penyakit antara daerah
rural dengan daerah urban antara lain perbedaan kepadatan penduduk
dan komposisi unsur penduduk, perbedaan pekerjaan dan kebiasaan
hidup, konsep sehat dan sakit, perbedaan lingkungan hidup, dan

39
keadaan sanitasi penduduk serta berbagai perbedaan lainnya (Noor,
2008).
Menurut Long dan Weinert (1989), ada lima teori keperawatan
pedesaan yang mengidentifikasi karakteristik kunci dari masyarakat
pedesaan yang memengaruhi pelayanan keperawatan, yaitu:
1. Kesehatan dan etos kerja
Penduduk pedesaan mengartikan kesehatan sebagai kemampuan
untuk bekerja (Anderson, 2006). Seseorang akan merasa sehat jika ia
masih mampu bekerja seperti biasanya, meskipun secara biologis
maupun psikologis, seseorang sebenarnya berada dalam kondisi yang
tidak sehat. Apabila mereka sakit, mereka cenderung mencari
pengobatan alternatif atau tradisional.
2. Jarak dan isolasi
Jarak merupakan hal yang terintegrasi dalam hidup keseharian di
daerah rural. Di daerah rural, jarak tetap menjadi faktor penghalang
seseorang menempuh perjalanan untuk mencari pelayanan
kesehatan, kecuali jika orang tersebut benar-benar sakit.
3. Kepercayaan diri
Demi kelangsungan hidup, jarak dan isolasi menuntut individu
untuk menumbuhkan motivasi yang kuat dan penuh percaya diri
(Anderson, 2006). Seseorang yang berada jauh dari pusat pelayanan
kesehatan, akan memilih untuk melakukan perawatan secara mandiri
di rumah. Contohnya untuk melakukan perawatan luka secara
mandiri misalnya, dibutuhkan rasa percaya diri bahwa ia mampu
melakukannya dengan perawatan yang terbaik
4. Kurangnya Anomimitas
Anonimitas yaitu tindakan merahasiakan nama seseorang terkait
dengan partisipasinya dalam sebuah kegiatan. Seorang pemberi
pelayanan kesehatan akan dikenal oleh seluruh penduduk di daerah
rural, sehingga privasinya menjadi terbatas. Hal ini disebabkan
karena orang- orang dengan pendidikan tinggi dan kemampuan untuk
memimpin sebuah komunitas tidak ada atau memilih pindah ke

40
daerah urban (perkotaan). Kredibilitas, kepercayaan, dan efektivitas
seorang perawat komunitas pedesaan sebagai agens perubahan
(change agent) dalam upaya membangun kemitraan, bergantung
pada penilaian komunitas terhadap perawat komunitas tersebut
secara keseluruhan.
5. Identifikasi orang dalam/orang luar dan penduduk lama/pendatang
baru
Kategori pendatang lama adalah mereka yang sudah
menetap selama 15-20 tahun di suatu daerah (Anderson,
2006). Orang dalam maupun penduduk lama, mereka cenderung
lebih berhari-hati dalam menjalin interaksi dengan orang luar
maupun pendatang baru. Penerimaan terhadap perawat komunitas di
daerah rural dan peranannya dipengaruhi oleh pemikiran mengenai
orang dalam/orang luar dan penduduk lama/pendatang baru
(Anderson, 2006).
a. Kelompok Risiko di Area Rural
1. Balita (usia 30-33 bulan), rentan mengalami malnutrisi.
Balita usia 30-33 bulan di area rural berisiko tinggi mengalami
malnutrisi. Kejadian kekurangan gizi biasanya terjadi pada 1000 hari
pertama kehidupan karena merupakan usia yang paling rentan dalam
gangguan pertumbuhan dan kejadian malnutrisi. Kejadian malnutrisi
pada usia ini juga terjadi karena tidak adekuatnya kualitas makanan
tambahan setelah pemberian ASI dan peningkatan kejadian infeksi.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah balita dalam keluarga
merupakan faktor determinan kejadian malnutrisi akut pada balita di
wilayah rural. Pada daerah rural, biasanya memiliki jumlah anggota
keluarga yang besar sehingga akan memengaruhi konsumsi pangan.
Pangan yang tersedia pada sebuah keluarga yang besar menyebabkan
distribusi makanan tidak seimbang. Padahal, kebutuhan nutrisi pada
balita baik kualitas maupun kuantitas seharusnya lebih banyak
daripada anggota keluarga lain. Faktor lainnya adalah mata
pencaharian di daerah pedesaan adalah bertani dan berdagang

41
sehingga penghasilan mereka pun cenderung lebih rendah. Selain itu,
tingkat pendidikan orang tua di daerah pedesaan cenderung rendah,
sehingga dapat menyebabkan risiko malnutrisi akut pada balita
(Huriah, 2013).
2. Kelompok perempuan usia 55 – 64 tahun rentan mengalami hipertensi
Kejadian hipertensi berdasarkan jenis kelamin pada masyarakat
rural lebih banyak pada perempuan. Kejadian hipertensi
diakibatkan oleh konsumsi makanan asin, konsumsi makanan
berlemak, tidak konsumsi buah dan sayur, dan obesitas lebih banyak
terjadi pada masyarakat rural (Nabila, 2014).
3. Kelompok lansia
Peningkatan angka harapan hidup membawa kebaikan pada
derajat kesehatan bangsa. Namun, hal tersebut mengarah pada
transisi epidemiologi, ditandai dengan pergeseran pola penyakit dari
penyakit infeksi menjadi penyakit degenerative yang berhubungan
dengan proses penuaan. Penyakit tersebut antara lain diabetes
mellitus, hipertensi, demensia, pembesaran prostat jinak, katarak, dan
beragam masalah kejiwaan seperti depresi, ansietas, dan gangguan
tidur. Di daerah pedesaan kondisi pelayanan lansia semakin sulit.
Kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, lapangan pekerjaan
yang terbatas, sarana/prasarana publik yang buruk, perhatian
pemerintah daerah yang kurang, pergeseran nilai-nilai sosial budaya,
serta kualitas sumberdaya manusia yang rendah menjadi penyebab
masalah kesehatan lansia di Indonesia (Pramono, 2012).
b. Hambatan Pemenuhan Perawatan Kesehatan di Area Rural
Akses masyarakat dalam menggunakan pelayanan kesehatan
Puskesmas Penggunaan puskesmas di daerah pedesaan antara lain
dipengaruhi oleh akses pelayanan. Kemudahan akses ke puskesmas
sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan berhubungan dengan
beberapa faktor, antara lain jarak tempat tinggal dan waktu tempuh ke
sarana kesehatan, serta status sosial ekonomi dan budaya. Akses
pelayanan tidak hanya disebabkan masalah jarak, tetapi terdapat

42
dua faktor penentu yaitu determinan penyediaan yang merupakan
faktor-faktor pelayanan, dan determinan permintaan yang merupakan
faktor-faktor pengguna. Faktor-faktor pelayanan terdiri atas organisasi
pelayanan dan infrastruktur fisik, tempat pelayanan, ketersediaan,
pemanfaatan dan distribusi petugas, biaya pelayanan serta mutu
pelayanan. Sedangkan determinan permintaan yang merupakan faktor
pengguna meliputi rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya
masyarakat serta tingkat pendapatan masyarakat yang rendah atau
miskin.
1. Faktor Pelayanan
Permasalahan yang dialami dalam melayani kesehatan masyarakat
dalam gedung atau di luar gedung adalah kurangnya tenaga. Hal ini
akan sangat terasa pada saat petugas harus terjun ke lapangan, namun
di waktu bersamaan harus memberikan pelayanan di puskesmas yang
bersifat darurat atau tidak bisa ditunda, misalnya ada pasien yang
sudah waktunya melahirkan. Disamping itu, kurangnya jumlah
transportasi juga menjadi permasalahan tersendiri. Puskesmas tidak
mempunyai sarana puskesmas keliling (pusling) karena mobil
pusling sudah tidak layak digunakan akibat mengalami
kecelakaan.Peralatan yang dimiliki puskesmas sangat minim sekali.
2. Faktor Pengguna
Tradisi masyarakat pedesaan biasanya pergi ke dukun dulu, baru
ke bidan, tetapi juga melihat keadaan pasiennya. Dukun kampung
lebih dominan karena biaya dan transportasi lebih terjangkau.
Masyarakat pada umumnya memilih bidan yang sudah
berpengalaman dan sudah punya anak dibanding bidan yang masih
bujangan. (Suharmiati, 2012).
c. Masalah Kesehatan Fisik dan Psikososial di Area Rural
Masalah kesehatan di pedesaan dapat ditinjau dari dua segi, antara lain:
1. Substantial (hal kesehatan sendiri)
Masalah kesehatan substantial dapat berupa berbagai jenis
penyakit. Dari hasil penelitian masalah kesehatan yang paling sering

43
muncul adalah penyakit- penyakit infeksi (pernafasan, perut, kulit,
dll). Penyakit-penyakit infeksi mempunyai hubungan erat dengan
lingkungan hidup yang kurang sehat dan daya tahan tubuh rendah.
Daya tahan tubuh yang rendah dapat terjadi karena
ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan gizi. Sedangkan kemajuan
ekonomi dapat mendorong perbaikan gizi. Kemajuan ekonomi juga
akan mendorong perbaikan lingkungan hidup yang mengurangi
wabah penyakit. Dengan rendahnya wabah penyakit dan tingginya
daya tahan tubuh, taraf kesehatan masyarakat akan meningkat.
2. Management (hal penyelenggaraan kesehatan)
Masalah penyelenggaraan kesehatan meliputi masalah
peningkatan, perlindungan, penemuan masalah, pengobatan dan
pemulihan kesehatan pada perseorangan maupun pada kesehatan
masyarakat. Masalah kesehatan yang menonjol adalah tingginya
angka kejadian penyakit menular, kurangnya pengertian masyarakat
tentang hidup sehat, gizi yang buruk dan keadaan hygiene dan
sanitasi yang kurang memuaskan.
Fasilitas pelayanan kesehatan yang kurang di daerah pedesaan
menyebabkan sebagian besar masyarakat sulit mendapatkan atau
memperoleh pengobatan. Selain itu hal penting yang mempersulit
usaha pertolongan terhadap masalah kesehatan pada masyarakat desa
adalah penderita atau keluarga tidak dengan segera mencari
pertolongan pengobatan karena terbatasnya fasilitas yang ada atau
bahkan pengetahuan mereka. (Sarafino, 2006).
d. Pola Makan dan Penyakit yang Berpotensi timbul
Pola makan masyarakat pedesaan memiliki akses terbatas untuk
berbelanja di toko. Orang pedesaan masih tetap mematuhi pola diet
rendah lemak dan mempunyai prevalensi hiperkolesterolemia yang
rendah. Bagi masyarakat pedesaan, pedoman diet berbasis pangan
tentang konsumsi susu rendah lemak (Michael, 2008).
Air untuk minum dan mencuci harus cukup bebas kuman, akan tetapi
penelitian-penelitian lapangan secara konsisten menunjukan bahwa

44
begitu air memenuhi suatu standart minimum, jumlah air yang bisa
sampai ke rumah-rumah lebih mempengaruhi kesehatan mereka
daripada kebersihan air itu sendiri. Hal itu merupakan cerminan dari
pentingnya air bersih.
Dengan sedikitnya pengetahuan dan kurangnya kesadaran diri dari
masyarakat pedesaan membuat mereka menggunakan air tersebut untuk
di konsumsi maupun mencuci makanan-makanan yang mereka makan.
Hal tersebut perpengaruh dengan pola makan masyarakat pedesaan.
Dengan demikian, berpotensi untuk menimbulkan penyakit
menular, seperti disentri (diare), pneumonia, tuberculosis,
bronchitis, influenza, penyakit campak, dan lain-lain.
Kondisi masyarakat pedesaan yang didominasi oleh banyaknya
lahan, dapat menimbulkan penyakit parasiter seperti schistosomiasis
dan filariasis. Schistosomiasis dan filiriasis tumbuh secara tepat akibat
kesembronoan dan kelalaian manusia. Parasit schistosomiasis
berpindah dari orang ke orang lain melalui kotoran manusia dan
siput air (inang perantara), dan juga saluran irigasi maupun selokan
yang system pengairannya tidak baik.
Masyarakat pedesaan senang mengonsumsi siput air yang mereka
cari sendiri, karena penghasilan yang sangat cukup untuk memenuhi
kebutuhannya. Dengan begitu bisa saja mereka mengonsumsi siput air
yang mengandung Shistosomiasis dan filariasis. Penyakit yang di derita
oleh masyarakat pedesaan biasanya yaitu, tuberkulosis (TB), stroke dan
hipertensi.
e. Peran Perawat di Area Rural
1. Perawat sebagai care giver atau pemberi pelayanan, perawat akan
memberikan pelayanan keperawatan langsung dan tidak langsung
pada klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan
pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
2. Perawat sebagai educator atau pendidik, perawat memberikan
pendidikan kesehatan kepada klien dengan resiko tinggi atau kader
kesehatan.

45
3. Perawat sebagai koordinator, perawat akan merencanakan,
mengorganisasi, menggerakkan, dan mengevaluasi pelayanan
keperawatan baik langsung maupun tidak langsung dan
menggunakan peran serta aktif masyarakat dalam kegiatan
keperawatan komunitas.
4. Perawat sebagai konselor, perawat akan memberikan konseling atau
bimbingan kepada kader, keluarga, dan masyarakat tentang masalah
kesehatan komunitas dan kesehatan ibu dan anak.
5. Perawat sebagai klien advokat atau pembela klien, perawat harus
melindungi dan memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam
pelayanan keperawatan komunitas.
6. Perawat sebagai peneliti, perawat melakukan penelitian ubtuk
mengembangkan keperawatan komunitas dalam rangka
mengefektifkan program keperawatan di area rural.
f. Level Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier
Level pencegahan di area rural antara lain (Clark, Mary Jo. 2001)
1. Primer
Dalam area rural, pencegahan primer fokus pada pencegahan risiko
tinggi masalah Kesehatan endemic pada komunitas rural.
Pencegahan dicapai melalui kegiatan promosi kesehatan,
pencegahan penyakit umum, dan pencegahan kecelakaan dan cedera
yang terkait dengan kegiatan kerja dan rekreasi.
a) Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan merencanakan kegiatan promosi
Kesehatan di lembaga masyarakat tertentu adalah tugas yang
bermanfaat bagi perawat kesehatan masyarakat. salah satu hal
dari agenda sekolah untuk decade berikutnya adalah
memperkenalkan praktik promosi kesehatan kepada anak-anak
yang dimulai di taman kanak-kanak. perawat sekolah daerah rural
(pedesaan) dan perawat kesehatan masyarakat dapat memainkan
peran utama dalam upaya ini. perawat kesehatan masyarakat juga
dapat merencanakan untuk mengajarkan prinsip nutrisi yang baik

46
kepada wanita yang merawat dan untuk pekerja kantin dan juru
masak yang merencanakan dan menyajikan makanan di sekolah
dan lembaga lainnya. Kurangnya akses makanan sehat kadang-
kadang terlihat di komunitas pedesaan di mana orang lanjut usia
dan pekerja migran harus berbelanja di toko-toko yang menjual
makanan yang sarat kolesterol, tinggi lemak, dan sarat natrium.
untuk mengatasi masalah yang singkat ini, perawat kesehatan
masyarakat dapat membantu merencanakan dukungan masyarakat
untuk transportasi untuk perjalanan belanja ke supermarket terdekat
untuk memungkinkan penduduk pedesaan mempertahankan
kebiasaan makan yang sehat.
Di masyarakat pedesaan, sering ada beberapa program formal
untuk kebugaran kardiovaskular, dan perawat kesehatan
masyarakat dapat berperan dalam merancang program jenis ini.
kelas aerobik kesehatan masyarakat dan gereja dan program diet
adalah cara lain bagi perawat untuk menggunakan keahlian
profesional mereka untuk promosi kesehatan di masyarakat
pedesaan.
b) Illness prevention / pencegahan penyakit
Perawat kesehatan masyarakat rural dapat merencanakan
intervensi keperawatan yang bertujuan memodifikasi faktor risiko
di antara kelompok klien pedesaan dengan beberapa cara.
Contohnya di Amerika, didirikan stan di pameran tahunan negara
yang menawarkan kesempatan untuk anak-anak dan orang dewasa
untuk mempresentasikan proyek yang berkaitan dengan promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit. Perawat adalah narasumber
dalam jenis kegiatan ini. Beberapa kegiatannya yaitu
merencanakan hipertensi, kolesterol, pemeriksaan payudara
sendiri, atau peluang skrining glaukoma melalui bantuan gereja
lokal atau organisasi komunitas lainnya adalah cara lain untuk
membantu masyarakat untuk fokus pada kebutuhan untuk
menurunkan risikopenyakit.

47
c) Injury prevention/pencegahan cidera
Perencanaan untuk mencegah kecelakaan dalam komunitas
pedesaan adalah peran utama bagi perawat kesehatan komunitas
pedesaan. Kecelakaan pertanian dan kendaraan bermotor
menduduki peringkat nomor satu penyebab morbiditas dan
mortalitas bagi kaum muda di pedesaan Amerika. Perawat
kesehatan masyarakat pedesaan berfungsi baik sebagai pendidik
formal dan informal serta perencana komunitas untuk strategi
pencegahan kecelakaan.
2. Sekunder
Perencanaan untuk pencegahan sekunder diarahkan untuk
menyelesaikan masalah kesehatan yang diidentifikasi selama
penilaian. Perawat di area rural fokus pada skrining untuk masalah
kesehatan, dan menyediakan perawatan episodik, melakukan triase,
dan merujuk klien dalam situasi darurat.
a) Skrinning
Kegiatan skrining utama perawat komunitas di pedesaan dapat
dilakukan dalam satu dari dua pengaturan. Sistem sekolah
setempat atau departemen kesehatan masyarakat. Anak-anak,
misalnya, biasanya diskrining untuk skoliosis, masalah
pendengaran dan penglihatan dan status imunisasi. Perawat juga
secara rutin memantau pola pertumbuhan dan tes atau anemia
anak-anak. Orang dewasa diskrining atau hipertensi dan TBC,
pemeriksaan skrining untuk kanker payudara, leher rahim, dan
usus juga dapat dilakukan.
b) Skrining lingkungan
Perawat komunitas daerah rural sering membantu masalah
kesehatan lingkungan yang diidentifikasi selama penilaian.
Termasuk identifikasi tentang pipa saluran air di dalam ruangan,
persediaan air yang terkontaminasi, perawatan hewan yang tidak
dapat diterima, adanya pelaporan gigitan hewan, dan wabah
infeksi yang disebabkan oleh giarda atau salmonella.

48
c) Perawatan kondisi yang ada
Perawat yang bekerja di daerah pedesaan menghabiskan
sebagian besar waktu mereka untuk merawat klien dengan
masalah kesehatan yang ada dan menyediakan perawatan
kesehatan secara episodik, yang memungkinkan rumah sakit
pedesaan memperluas pusat perawatan primer untuk
menyediakan manajemen perawatan klien di daerah pedesaan, di
mana layanan kesehatan mental sangat kurang, perawat seringkali
membantu klien dan keluarga untuk mengatasi beban stres
emosional dan penyakit mental kronis. Pasien kesehatan mental
tunawisma adalah bagian dari keluarga besar di pedesaan, dan
kebutuhan perawatan kesehatan mereka.
d) Keperawatan darurat, triase dan rujukan
Keperawatan kesehatan masyarakat pedesaan lainnya yang
penting adalah perawatan darurat. Penelitian telah menunjukkan
bahwa jam perawatan dini sangat penting untuk hasil yang sukses
untuk situasi darurat. Jaringan telekomunikasi seperti kemampuan
telemetri dan faksimili membuat perawat pedesaan itu
berhubungan erat dengan keahlian medis dan keperawatan.
3. Tersier
Upaya pencegahan tersier perawat kesehatan masyarakat yang
bekerja di pengaturan praktik pedesaan diarahkan untuk mencegah
komplikasi penyakit kronis dan mencegah kekambuhan masalah
kesehatan akut. Langkah- langkah asuhan keperawatan ini dilakukan
terutama oleh perawat kesehatan rumah berbasis komunitas yang
merawat klien lansia dan yang tinggal di rumah secara kronis yang
dimonitor secara ketat untuk memastikan stabilitas proses penyakit
mereka. Kegiatan manajemen kasus untuk mengoordinasikan
perawatan dan sumber daya bisa sangat efektif dalam mencegah
komplikasi.

49
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PASCA BENCANA

A. Pengkajian
1. Umum
 Nama
 Usia
 Jenis Kelamin
 Alamat
 Status
 Pekerjaan
 Agama
2. Khusus
a. Data Subjektif
 Menceritakan kejadian / periatiwa yang traumatis
 Mengatakan takut atas kejadian bencana yang terjadi
 Mengatakan resah saat teringat kembali peristiwa bencana yang
dialaminya
 Mengatakan merasa tidak berguna
 Menyatakan was-was
 Merasakan fikiran terganngu
 Tidak ingin mengingat peristiwa itu kembali dengan menceritakannya
lagi
 Mengingkari peristiwa trauma
 Merasa malu
 Mengatakan setiap mengingat kejadian bencana merasa jantung
berdebar-debar
b. Data Objektif
 Mengasingkan diri
 Menangis
 Marah

50
 Gelisah
 Menghindar
 Mengasingkan diri
 Depresi
 Sulit berkomunikasi
 Keadaan mood terganggu
 Sesak didada
 Lemah
3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi kehilangan:
a. Genetik
Individu yang dilahirkan dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai
riwayat depresi biasanya sulit mengembangkan sikap optimis dalam
menghadapi suatu permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.
b. Kesehatan fisik
Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang sedang mengalami gangguan fisik.
c. Kesehatan mental / jiwa
Individu yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi yang ditandai
dengan perasaan tidak berdaya pesimis dan dibayangi dengan masa
depan yang suram, biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.
d. Pengalaman kehilangan di massa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna dimasa kanak-
kanak akan mempengaruhi individu dalam menghadapi kehilangan
dimasa dewasa
4. Faktor Presipitasi
Stress yang nyata seperti kehilangan yang bersifat Bio-Psiko-Sosial
antara lain kehilangan kesehatan (sakit), kehilangan fungsi sseksualitas,
kehilangan keluarga dan harta benda. Individu yang kehilangan sering
menunjukkan perilaku seperti menangis atau tidak mampu menangis,

51
marah, putus asa, kadang ada tanda upaya bunuh diri atau melukai orang
lain yang akhirnya membawa pasien dalam keadaan depresi.
5. Spiritual
a. Keyakinan terhadap Tuhan YME
b. Kehadiran ditempat Ibadah
c. Pentingna Agama dalam kehidupan pasien
d. Kepercayaan akan kehidupan setelah kematian
6. Orang-orang terdekat
a. Status perkawinan
b. Siapa orang terdekat
c. Anak-anak
d. Kebiasaan pasien dalam tugas-tugas keluarga dan fungsi-fungsinya
e. Bagaimana pengaruh orang-orang terdekat terhadap penyakit atau
masalah
f. Proses interaksi apakah yang terdapat dalam keluarga
g. Gaya hidup keluarga, misal: Diet, mengikuti pengajian
7. Sosioekonomi
a. Pekerjaan: keuangan
b. Faktor-faktor lingkungan: rumah, pekeerjaan dan rekreasi
c. Penerimaan sosial terhadap penyakit/kondisi, misal: PMS, HIV, Obesitas,
dll.
8. Kultural
a. Latar belakang etnis
b. Tingkah laku mengusahakan kesehatan, rujuk penyakit
c. Faktor-faktor kultural yang dihubngkan dengan penyakit secara umum
dan respon terhadap rasa sakit
d. Kepercayaan mengenai perawatan dan pengobatan

B. Diagnosa Keperawatan
1. Berduka berhubungan dengan Aktual atau perasaan
2. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, stress, perubahan status
lingkungan, ancaman kematian, kurang pengetahuan

52
3. Takut berhubungan dengan perubahan status lingkungan (bencana alam)
4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kehilangan (keluarga dan
harta benda)
5. Resiko distress spiritual dengan faktor resiko perubahan lingkungan
bencana alam

53
C. Intervensi Keperawatan
Dari beberapa diagnosa maka intervensi yang dapat kita lakukan adalah:
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Berduka berhubungan dengan aktual atau NOC: NIC:


perasaan kehilangan, ditandai dengan Kontrol Koping  Bina dan jalin hubungan saling percaya.
DO/DS: Setelah dilakukan asuhan  Identifikasi kemungkinan faktor yang
 penolakan terhadap kehilangan, keperawatan selama 3 kali menghambat proses berduka
 menangis pertemuan diharapkan individu  Kurangi atau hilangkan faktor
 menghindar mengalami proses berduka secara penghambat proses berduka.
 marah normal, melakukan koping terhadap  Beri dukungan terhadap respon
kehilangan secara bertahap dan kehilangan pasien
 Mengatakan bersedih
menerima kehilangan sebagai  Tingkatkan rasa kebersamaan antara
bagian dari kehidupan yang nyata anggota keluarga.
dan harus dilalui, dengan kriteria  Identifikasi tingkat rasa duka pada fase
hasil: berikut:
 Individu mampu Fase pengingkaran
mengungkapkan perasaan duka.  Memberi kesempatan kepada pasien
 Menerima kenyataan kehilangan untuk mengungkapkan perasaannya.

54
dengan perasaan damai  Menunjukkan sikap menerima, ikhlas
 Membina hubungan baru yang dan mendorong pasien untuk berbagi
bermakna dengan objek atau rasa.
orang yang baru.  Memberikan jawaban yang jujur
terhadap pertanyaan pasien tentang
sakit, pengobatan dan kematian.
Fase marah
 Mengizinkan dan mendorong pasien
mengungkapkan rasa marahnya secara
verbal tanpa melawan dengan
kemarahan.
Fase tawar menawar
 Membantu pasien mengidentifikasi
rasa bersalah ddan perasaan takutnya.
Fase depresi
 Mengidentifikasi tingkat depresi dan
resiko merusak diri pasien
 Membantu pasien mengurangi rasa

55
bersalah.
Fase penerimaan
 Membantu pasien untuk menerima
kehilangan yang tidak bisa dielakkan
Kecemasan berhubungan dengan NOC : NIC :
krisis situasional, stress, perubahan status - Kontrol kecemasan Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
lingkungan, ancaman kematian, kurang - Koping  Gunakan pendekatan yang menenangkan
pengetahuan. Setelah dilakukan asuhan selama 3  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
DO/DS: kali pertemuan klien kecemasan pelaku pasien
- Insomnia teratasi dgn kriteria hasil:  Temani pasien untuk memberikan
- Kontak mata kurang  Klien mampu mengidentifikasi keamanan dan mengurangi takut
- Kurang istirahat dan mengungkapkan gejala  Libatkan keluarga untuk mendampingi
- Berfokus pada diri sendiri cemas klien
- Iritabilitas  Mengidentifikasi,  Instruksikan pada pasien untuk
- Takut mengungkapkan dan menggunakan tehnik relaksasi
- Nyeri perut menunjukkan tehnik untuk  Dengarkan dengan penuh perhatian
- Penurunan TD dan denyut nadi mengontol cemas  Identifikasi tingkat kecemasan
- Diare, mual, kelelahan  Vital sign dalam batas normal  Bantu pasien mengenal situasi yang
- Gangguan tidur

56
- Gemetar  Postur tubuh, ekspresi wajah, menimbulkan kecemasan
- Anoreksia, mulut kering bahasa tubuh dan tingkat  Dorong pasien untuk mengungkapkan
- Peningkatan TD, denyut nadi, RR aktivitas menunjukkan perasaan, ketakutan, persepsi
- Kesulitan bernafas berkurangnya kecemasan  Kelola pemberian obat anti cemas
- Bingung
- Bloking dalam pembicaraan
- Sulit berkonsentrasi
Takut berhubungan dengan perubahan status NOC : Anxiety control NIC:
lingkungan (bencana alam), Fear control Coping Enhancement
ditandai dengan Setelah dilakukan tindakan  Bina dan jalin hubungan saling percaya.
DS : Peningkatan ketegangan,panik, penurunan keperawatan selama 3 kali  Sediakan reinforcement positif ketika
kepercayaan diri, cemas pertemuan takut klien teratasi pasien melakukan perilaku untuk
DO : dengan kriteria hasil : mengurangi takut
 penurunan produktivitas kemampuan belajar  Memiliki informasi untuk  Sediakan perawatan yang
 penurunan kemampuan menyelesaikan mengurangi takut berkesinambungan
masalah  Menggunakan tehnik relaksasi  Kurangi stimulasi lingkungan yang dapat
 mengidentifikasi obyek ketakutan,  Mempertahankan hubungan menyebabkan misinterprestasi
 peningkatan kewaspadaan sosial dan fungsi peran  Dorong mengungkapkan secara verbal

57
 Anoreksia  Mengontrol respon takut perasaan, persepsi dan rasa takutnya
 mulut kering  Perkenalkan dengan orang yang
 diare, mual mengalami kejadian bencana yang sama

 pucat, muntah  Dorong klien untuk mempraktekan

 perubahan tanda-tanda vital tehnik relaksasi

58
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang
mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat
(Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera
mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, Kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi
atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok
sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk
menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia
memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur tentang
Kelompok Rentan, tetapi Tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian
undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak
memberi manfaat bagi masyarakat.
Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum
sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan
kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat
kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan
tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan- kepentingan
mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi
orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum
terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan
diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak
bagi masyarakat.

59
B. Saran
Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk dapat
mengaplikasikan pada kehidupan dengan tujuan untuk mencapai
kesejahteraan hidup.

60
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E. 2006. Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik ,


Jakarta : EGC

Mary A. Nies, Melaine McEwen kesehatan komunitas dan keluarga.2019.

Elsevier Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas;


Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika Riyadi.

Sugeng (2007), Keperawatan Kesehatan Masyarakat, retieved may 12nd.

Smeltzer, & Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Jakarta : EGC

R, Fallen. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas. (2010). Yogyakarta: Nuha


Medika Vaughan, 2000, General Oftamology, Jakarta.

61

Anda mungkin juga menyukai