Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KEPERAWATAN AGREGAT KOMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS POPULASI


RENTAN CORRECTIONAL SETTING
DAN AREA RURAL

KELOMPOK 9
Indrawati 1130223017
Asma’ul Kusnah 1130223022
Imroatus Sholikha 1130223028
Maulida farhana Agustin 1130223043
Ayis Thandi Kusuma 1130223050

Fasilitator :
Rusdianingseh, M. Kep.,Ns., M. Kes

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan
laporan ini dengan judul “makalah keperawatan agregat komunitas asuhan
keperawatan komunitas populasi rentan correctional setting dan area rural”
Sebagai tugas matakuliah agregat komunitas. Penulisan laporan ini tidak lepas
dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, baik materi, moral maupun spiritual.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Rusdianingseh, M. Kep.,Ns., M. Kes selaku fasilitator.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala amal dan perbuatan
yang telah diberikan dan penulis menyadari bahwa laporan ini belum sempurna,
oleh karena itu saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan
demi perbaikan laporam ini.

Akhirnya penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis dan pihak yang membutuhkannya.

Surabaya, Februari 2024

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 2
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 2
1.3 Tujuan....................................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3
2.1 Konsep Teori Populasi Rentan................................................................. 3
2.1.1 Definisi Populasi Rentan............................................................... 3
2.1.2 Keperawatan Komunitas................................................................ 3
A. Correctional Setting.................................................................. 3
1. Definisi Correctional Setting................................................ 3
2. Area Correctional Setting...................................................... 4
3. Masalah Kesehatan Di Correctional Setting......................... 5
4. Asuhan Keperawatan dalam Correctional Setting................ 7
a. Pengkajian keperawatan...................................................... 7
b. Diagnosa keperawatan........................................................11
c. Kriteris hasil keperawatan...................................................11
d. Intervensi keperawatan.......................................................11
B. Area Rural.................................................................................13
1. Definisi Rural........................................................................15
2. Ciri masyarakat Pedesaan / Rural........................................15
3. Kehidupan sosial Masyarakat Rural.....................................15
4. Masalah Kesehatan di Area Rural.........................................17
5. Tingkat Pencegahan Masalah Kesehatan di Area Rural.......19
6. Kelompok Resiko di Area Rural...........................................20
7. Hambatan Pemenuhan Perawatan di Area Rural..................22
8. Peran Perawat di Area Rural.................................................23
9. Asuhan KeperawatanDalam Area Rural...............................23
a. Pengkajian....................................................................... 23
b. Diagnosa keperwatan....................................................24
c. Kriteria hasil keperawatan............................................. 24
d.Intervensi keperawatan.................................................. 25
............................. 26

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang
mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau
sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004).
Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok –
kelompok sosial yang memiliki peningkatan yang relative atau rawan untuk
menerima pelayanan kesehatan.

Kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak


peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan,
tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian undang – undang
sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi
manfaat bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang –
undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang
berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan.
Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas
dinegeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindugi hak – hak dan
kepentingan – kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan
legislasi lainnya. Hak asasi orang – orang yang diposisikan sebagai
masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga
membawa konsekuensi bagi kehidupan diri, keluarga, serta secara tidak
langsung juga mempunyaidampak bagi masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep teori populasi rentan ?
2. Untuk mengetahui konsep correctional setting ?
3. Untuk mengetahui konsep area rural ?

1
4. Bagaimana Asuhan keperawatan komunitas populasi rentan correctional
setting dan rural ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep teori komunitas rentan
2. Untuk mengetahui konsep correctional setting
3. Untuk mengetahui konsep area rural
4. Bagaimana Asuhan keperawatan agregat komunitas populasi rentan
correctional setting dan rural

2
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Teori Populasi Rentan


2.1.1 Definisi Populasi Rentan
Populasi Rentan yaitu kelompok masyarakat yang rentan yang berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Menurut Departemen Hukum dan Hak asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupanynag layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakatyang berperadapan. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintahkarena kondisi social yang sedang mereka hadapi.

2.1.2 Keperawatan Komunitas


A. Correctional Setting
1. Definisi Correctional Setting

Correctional setting merupakan suatu tempat yang memiliki tujuan


untuk memberikan keamanan kepada masyarakat dengan memenjarakan
seseorang yang telah melakukan tindakan kejahatan dan dapat
membahayakan komunitas (Hidayati, 2009). Salah satu correctional
setting di Indonesia adalah LAPAS.
Tujuan LAPAS adalah melakukan pembinaan yang berdasarkan
Pancasila. Pembinaan dilakukan untuk membentuk warga binaan agar
menjadi manusia seutuhnya meningkatkan kualitas warga binaan agar
menyadari kesalahan, memperbaiki, dan tidak mengulangi tindak pidana,
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab (Malinda, 2016).
Correctional health setting merupakan suatu cabang profesi
keperawatan yang memberikan pelayanan keperawatan kepada klien di
3
fasilitas correctional (Moritz, 1982; ANA, 1995 dalam Hitchcock, Schubert,
& Thomas, 2003). Umumnya peran perawat di LAPAS adalah sebagai
seorang pembimbing, perencana, konselor, dan peneliti. Pelayanan
keperawatan di LAPAS diberikan dengan beberapa tujuan bagi warga
binaan, diantaranya adalah untuk mengatasi masalah kesehatan baik fisik
dan mental, mencegah penyakit menular terutama yang kronis seperti TB
dan kusta, rehabilitasi alkohol dan obat–obatan terlarang, mencegah bunuh
diri, terapi somatik, konseling psikososial, kesehatan lingkungan,
mengajarkan dasar-dasar kesehatan dan mengubah perilaku warga binaan
sehingga ketika bebas mampu berperan dalam kesehatan di masyarakat, dan
mengajarkan pertolongan pertama ( Mangestu D&M, 2006).

1. Area Correctional Setting

Correctional setting dibagi dalam 3 type fasilitas:

a. Prisons, yaitu fasilitas federal atau negara bagian yang memberikan


hukuman lebih dari 1 tahun bagi para Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP) dan biasanya dengan kasus kriminal.
b. Jails, yaitu fasilitas untuk wilayah lokal untuk menahan para detaines
dan imates. Detaines atau tahanan yaitu orang yang belum diputuskan
bersalah dan belum ada jaminan atau karena belum ada jaminan bagi
mereka.
c. Juvenille detention facillities, yaitu tempat untuk anak-anak dan remaja
yang dihukum karena masalah criminal dan menjalani masa percobaan
tetapi tidak dapat dibebaskan tanpa ada tanggungjawab dari orang
dewasa.

Pelayanan kesehatan correctional setting perlu sekali dilakukan


karena beberapaalasan:

a. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara adil dan optimal


dan melarang kekejaman serta hukuman yang tidak wajar bagi para
tahanan untuk mencegah terjadinya cedera atau penyakit. Para
penghuni hidup dalam kemiskinan atau kekurangan, berpendidikan

4
rendah dan gaya hidup yang tidak sehat seperti penyalahgunaan obat.
Karena banyak penghuni yang tidak mampu membayar pelayanan
kesehatan diluar maka biaya akan ditanggung oleh lembaga tersebut.
b. Untuk mencegah penularan penyakit dari lembaga pemasyarakatan ke
komunitas, atau para antar penghuni.
2. Masalah Kesehatan di Correctional Setting
a. Kesehatan mental

Menurut data dari Bureau of justice, 1999 kira-kira 285.00 tahanan


dilembaga pemasyarakatan mengalami gangguan jiwa. Penyakit jiwa yang
sering dijumpai adalah skozofrenia, bipolar affective disorder dan
personallity disorder. Karena banyak yang mengalami gangguan kesehatan
jiwa maka pemerintah harus menyediakan pelayanan kesehatan mental.

b. Kesehatan fisik

Perawatan kesehatan yang paling penting adalah penyakit kronis (TB


dan kusta) dan penyakit menular seperti HIV, Hepatitis, Tuberculosis, dan
Scabies.

1) HIV
Angka kejadian HIV diantara para Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP)diperkirakan 6 kali lebih tinggi daripada populasi umum.
Tingginya angka infeksi HIV ini berkaitan dengan perilaku yang
beresiko tinggi seperti penggunaan obat-obatan, seksual intercourse yang
tidak aman dan pemakaian tato. Pendekatan yang dilakukan untuk
menekan angka kejadian yaitu dengan dilakukannya penegaan dan
program pendidikan kesehatan mengenai HIV dan AIDS.
2) Hepatitis
Hepatitis B dan C meningkat lebih tinggi daripada populasi
umum walaupun data yang ada belum lengkap. Hal ini berkaitan dengan
penggunaan obat-obat lewat suntikan, tato, imigran dari daerah dengan
insiden hepatitis B dan C tinggi. National Commision On Correction
Health Care (NCCHC) menyarankan agar dilakukan skrinning pada
semua tahanan dan jika di indikasikan pendidikan bagi semua staff dan
5
tahanan mengenai cara penyebaran, pencegahan, pengobatan, dan
kemajuan penyakit.
3) Tuberculosis
Angka TB tiga kali lebih besar di LP dibanding populasi umum.
Hal ini terkait dengan kepadatan penjara dan ventilasi yang buruk, yang
mempengaruhi penyebaran penyakit. Pada tahun 1996, lembaga yang
menangani tuberkulosis yaitu CC merekomendasikan pencegahan dan
pengontrolan TB dilembaga masyarakat yaitu :
a) Diadakannya skrinning TB bagi semua staf dan tahanan
b) Diadakan pencegahan transmisi penyakit dan diberikan pengobatan
yang sesuai
c) Monitoring dan evaluasi skrinning

4) Scabies.
Penyakit kulit Skabies sendiri adalah infeksi kulit yang disebabkan
Sarcoptes scabei tungau berukuran kecil yang hidup didalam kulit
penderita. Penyakit skabies ini umum terjadi di Lembaga
Pemasyarakatan dengan keadaan over kapasitas, dikarenakan penularan
yang terjadi dari seorang penderita pada orang lain adalah melalui kontak
langsung yang erat.

Populasi yang memiliki masalah kesehatan pada lembaga


pemasyarakatan yang unik, yaitu :

1) Wanita
Masalah kesehatan yang ada mungkin lebih kompleks misalnya
tahanan wanita yang dalam keadaan hamil, meningggalkan anak dalam
pengasuhan oranglain (terpisah dari anak), korban penganiayaan dan
kekerasan sosial, penyalahgunaan obat terlarang. Tetapi pelayanan
kesehatan yang diberikan belum cukup maksimal untuk memenuhi
kebutuhan mereka seperti pemeriksaan ginekologiuntuk wanita hamil dan
korban kekerasan seksual. NCCHC menawarkan ketentuan-ketentuan
berikut untuk pemenuhan pelayanan kesehatan :
a) LP memberikan pelayanan lengkap secara rutin termasuk
6
pemeriksaan ginekologi secara komprehensif
b) Pelayanan kesehatan komprehensif meliputi kesehatan reproduksi,
korban dari penipuan, konseling berkaitan dengan peran sebagai
orangtua dan pemakaian obat-obatan dan alkohol.
2) Remaja
Meningkatnya jumlah remaja yang terlibat tindak kriminal
membuat mereka harus ikut dihukum dan ditahan seperti orang dewasa.
Hal ini akan menghalangi penemuan kebutuhan untuk berkembang
seperti perkembangan fisik, emosi dan nutrisi yang dibutuhkan. Para
remaja ini akan mempunyai masalah-masalah kesehatan seperti kekerasan
seksual, penyerangan oleh tahanan lain atau tindakan bunuh diri. Disini
perawat harus memantau tingkat perkembangan dan pengalaman mereka
perlu waspada bahwa pada usia ini paling rentan terkena masalah
kesehatan.

3. Asuhan Keperawatan dalam Correctional Setting


a. Pengkajian
1) Pengkajian Sosial

a) Umur

Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti


rehabilitasi baik anak muda maupun dewasa. Sebagian besar
pelanggaran yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan
kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak muda
yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal
ini berarti bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus
memenuhi kebutuhan perkembangan usia ini seperti memenuhi
kebutuhan fisik dan psikologis. Dalam institusi correctional juga
terjadi peningkatan jumlah orang dewasa secara signifikan. Proses
penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat harus
mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa.
b) Fisik
Saat ini semakin banyak orang tinggal dalam panti

7
rehabilitas baik anak muda maupun dewasa. Sebagian besar
pelanggaran yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan
kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak muda
yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal
ini berarti bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus
memenuhi kebutuhan perkembangan usia ini seperti memenuhi
kebutuhan fisik dan psikologis.
Dalam institusi correctional juga terjadi peningkatan
jumlah orang dewasa secara signifikan. Proses penuaan pada
penghuni penjara berarti bahwa perawat harus mengatasi masalah
utama yang terjadi pada orang dewasa.
c) Genetik
Ada 2 faktor genetik yang mempengaruhi kesehatan dalam
correctional setting adalah jenis kelamin dan etnisitas.
Jenis kelamin
 Secara umum fasilitas dalam institusi correctional terpisah
antara pria dan wanita. Sehingga perawat yang bekerja
dengan tahanan pria tidak bekerja seperti tahanan wanita.
Namun apapun gender, perawat munkin menemukan
masalah yang unik dalam kelompok baik pria maupun
wanita. Tahanan wanita mengalami maalah kesehatam
yang berbeda karena jumlah mereka kecil.
 Etnisitas
Merupakan aspek lain yang dipertimbangkan dalam
populasi penjara. Anggota kelompok minoritas
mempunyai status kesehatan yang rendah dan memiliki
resiko terkena penyakit menular selama di penjara.
Perawat mengkaji kelompok minoritas ini untuk
mengetahui masalah utama yang terjadi pada kelompok
ini.
2) Pengkajian Epidemiologi
Perawat dalam Correctional setting perlu mengkaji klien

8
secara individu untuk mengetahui masalah kesehatan fisik. Perawat
perlu untuk mengidentifikasi masalah yang memiliki kejadian yang
tinggi di institusi. Area yang perlu diperhatikan meliputi penyakit
menular, penyakit kronik, cedera dan kehamilan.
 Penyakit menular meliputi TBC, HIV, AIDS, hepatitis B, dan
penyakit seksual lain.
 TBC
Perawat sebaiknya menanyakan gejala dan riwayat
penyakit agar pasien yang terinfeksi dapat diisolasi.
 HIV AIDS
Perawat mengkaji riwayat HIV, perilaku beresiko
tinggi dan riwayat atau gejala infeksi oportunistik yang
mungkin terjadi pada semua tahanan.
 Hepatitis B dan penyakit seksual lain
Perawat mengkaji riwayat penyakit menular seksual
dan hepatitis B serta waspada adanya tanda fisik dan gejala
penyakit ini.
 Penyakit kronis yang biasa terjadi antara lain: diabetes,
hipertensi, penyakit jantung, dan paru serta kejang. Perawat
harus mengkaji dengan tepat riwayat kesehatan dari klien,
anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan di
komunitas. Perawat harus mengkaji adanya penyakit/kondisi
kronik pada klien dan mengidentifikasi masalah dengan
tingkat kejadian yang tinggi di institusi/populasi dimana ia
bekerja.
 Cedera
Merupakan area lain dari fungsi fisiologis yang harus
dikaji oleh perawat. Cedera mungkin diakibatkan karena
aktivitas sebelum penahanan, tindakan petugas atau kecelakaan
yang terjadi selama di tahanan. Perawat harua memperhatikan
potensial terjadinya cedera internal dan mengkaji tanda- tanda
trauma.

9
 Kehamilan
3) Pengkajian Perilaku dan Lingkungan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan di correctional
setting meliputi diet, penyalahgunaan obat, merokok, kesempatan
berolahraga/rekreasi, serta penggunaan kondom di lingkungan
correctional setting. Pengkajian psikologis pada correctional setting
juga penting karena:

a) Banyak tahanan yang mengalami penyakit mental yang


terjadi selama berada di tahanan.
b) Berada di tahanan merupakan hal yang menimbulkan stress dan
menimbulkan efek psikis seperti depresi dan bunuh diri. Perawat
di correctional setting harus mewaspadai tanda-tanda depresi
dan masalah mental (correctional setting) lain pada tahanan dan
mengkaji potensi terjadinya bunuh diri. Semua correctional
setting harus mempunyai program pencegahan bunuh diri dan
penanganan bunuh diri. Perawat harus melakukan pengawasan
yang ketat pada tahanan yang berada dalam isolasi.
c) Lingkungan dalam correctional setting juga dapat menimbulkan
kekerasan seksual yang menimbulkan konsekuensi psikis.
Dalam mengkaji hal ini, perawat harus mewaspadai tanda-tanda
kekerasan dan menanyakan pada klien mengenai masalah ini.
Jika kekerasan seksual telah terjadi, perawat perlu untuk
melindungi klien dari cedera yang lebih lanjut. Layanan
kesehatan mental mungkin kurang di beberapa correctional
setting.
d) Tahanan yang dihukum mati, memerlukan dukungan emosi dan
psikologis. Perawat harus mengkaji masalah psikis yang timbul
dan membantu mereka melalui konseling dengan tepat.

4) Pengkajian Administratif dan Policy


Perawat di Correctional setting juga mengkaji keadekuatan

10
sistem pelayanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan tahanan.
Fasilitas di correctional setting bisa menggunakan salah satu
pendekatan di bawah ini untuk menyediakan perawatan kesehatan
untuk tahanan.
a) Layanan kesehatan diberikan oleh staf yang bekerja di institusi.

b) Membuat kontrak dengan agensi untuk menyediakan


pelayanankesehatan.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Defisit Kesehatan komunitas
2) Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain.
c. Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan 1
Defisit kesehatan masyarakat
Penyebab :
 Hambatan akses ke pemberi pelayanan kesehatan
 Keterbatasan sumber daya
 Program tidak memiliki anggaran yang cukup
 Program tidak/kurang didukung masyarakat
 Komunitas kurang puas dengan program yang dijalankan
 Program tidak memiliki rencana evaluasi yang optimal
 Program tidak memilik data hasil yang memadahi
 Program tidak mengatasi seluruh masalah kesehatan komunitas
Kriteria Hasil
 Status kesehatan komunitas.
 Ketahanan komunitas
 Status koping komunitas
Intervensi
a.Observasi
 Lakukan skrining resiko gangguan kesehatan
lingkungan
 Identifikasi faktor risiko kesehatan yang diketahui

11
terapeutik
b. terapeutik
 Libatkan partisipasi masyarakat dalam memelihara
keamanan lingkungan
c. edukasi
 Promosikan kebijakan pemerintah untuk mengurangi
risiko penyakit
 Berikan pendidikan kesehatan untuk kelompok risiko
 Informasikan layananan kesehatan ke individu, keluarga,
berisiko dan masyarakat
d. Kolaborasi
 Kolaborasi dalam tim multidisiplin untuk mengindentifikasi
ancaman keamanan di masyarakat
 Kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam program
kesehatan komunitas untuk menghadapi risiko yang
diketahui
 Kolaborasi dalam pengembangan program aksi masyarkat
 Kolaborasi dengan kelompok masyarkat dalam menjalankan
peraturan pemerintah

Diagnosa keperawatan 2
Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain
Faktor resiko :
 Curiga pada orang lain
 Disfungsi sistem keluarga
 Kerusakan kognitif
 Persepsi pada lingkungan tidak akurat
 Lingkungan tidak teratur
Kriteria Hasil
 Kontrol diri
 Orientasi kognitif

12
 Status orientasi

Intervensi
a. Observasi
 Identifikasi kemampuan yang dimiliki
 Identifikasi dampak situasi terhadap peran dan hubungan
 Identifikasi metode penyelesaian masalah
 Identifikasi kebutuhan dan keinginan terhadap dukungan sosial
b. Terapeutik
 Motivasi terlibat dalam kegiatan sosial
 Motivasi mengidentifikasi sistem pendukung yang tersedia
 Kurangi rangsangan lingkungan yang mengancam
c. Edukasi
 Anjurkan memecahkan masalah secara konstruktif
 Latih keterampilan sosial, sesuai kebutuhan
 Latih mengembangkan penilaian obyektif

B. Area Rural / Pedesaan


1. Pengertian
Komunitas rural yaitu sekumpulan individu yang berinteraksi
satu sama lain dan tinggal disuatu wilayah diluar perkotaan dimana
wilayah tersebut biasanya memiliki keterbatasan dalam intensitas
pembangunan yang menyebabkan pelayanan (sarana dan prasarana)
tidak selalu memadai.
Salah satu hal yang dapat mempengaruhi tingkat potensial
kejadian penyakit dalam suatu daerah yaitu pada daerah rural
(pedesaan) dan urban (perkotaan). Menurut Anderson (2006), rural atau
pedesaan adalah masyarakat yang tinggal di daerah yang penduduknya
jarang dan biasanya terletak pada daerah yang agak jauh dari kota besar.
Kondisi area rural atau pedesaan dapat dilihat dari sangat
banyaknya keluarga yang berpenghasilan rendah dan tidak memiliki
asuransi.Faktor penghalang yang lazim terhadap akses pelayanan

13
kesehatan adalah jarak geografik yang jauh dan transportasi yang tidak
adekuat (Anderson, 2006).
Faktor penyebab terjadinya perbedaan tingkat potensial kejadian
penyakit dan kematian akibat penyakit antara daerah rural dengan
daerah urban antara lain perbedaan kepadatan penduduk dan komposisi
unsur penduduk, perbedaan pekerjaan dan kebiasaan hidup, konsep
sehat dan sakit, perbedaan lingkungan hidup, dan keadaan sanitasi
penduduk serta berbagai perbedaan lainnya (Noor, 2008).
Menurut Long dan Weinert (1989), ada lima teori keperawatan
pedesaan yang mengidentifikasi karakteristik kunci dari masyarakat
pedesaan yang memengaruhi pelayanan keperawatan, yaitu:
a. Kesehatan dan etos kerja
Penduduk pedesaan mengartikan kesehatan sebagai
kemampuan untuk bekerja (Anderson, 2006). Orientasi pelayanan
kesehatan dari penduduk desa sebagai orientasi terhadap kondisi
kesehatan saat ini dan orientasi krisis.
Seseorang akan merasa sehat jika ia masih mampu bekerja
seperti biasanya, meskipun secara biologis maupun psikologis,
seseorang sebenarnya berada dalam kondisi yang tidak sehat.
Penduduk di daerah ini tidak aktif dalam usaha peningkatan
kesehatan, jarangnya partisipasi penduduk terhadap penghentian
program aktivitas pemeliharaan kesehatan ini adalah hal yang biasa
terjadi pada daerah rural. Apabila mereka sakit, mereka cenderung
mencari pengobatan alternatif atau tradisional.
b. Jarak dan isolasi

Jarak merupakan hal yang terintegrasi dalam hidup


keseharian di daerah rural. Di daerah rural, jarak tetap menjadi
faktor penghalang seseorang menempuh perjalanan untuk mencari
pelayanan kesehatan, kecuali jika orang tersebut benar-benar sakit.
Penduduk menerima kondisi ini sebagai suatu kewajaran dan tidak
mempersoalkannya lebih jauh selama sakit itu tidak mengganggu

14
pekerjaannya. Waktu penyembuhan dan rehabilitasi optimal akan
terganggu oleh terapi yang tidak adekuat dan tidak tepat waktu.
c. Kepercayaan diri
Demi kelangsungan hidup, jarak dan isolasi menuntut
individu untuk menumbuhkan motivasi yang kuat dan penuh
percaya diri (Anderson, 2006). Seseorang yang berada jauh dari
pusat pelayanan kesehatan, akan memilih untuk melakukan
perawatan secara mandiri di rumah apabila dirinya atau anggota
keluarganya yang lain sakit atau mengalami luka sampai seseorang
tersebut tidak menyadari dampak pada dirinya sendiri dari
tindakan yang dilakukannya tersebut. Untuk melakukan perawatan
luka secara mandiri misalnya, dibutuhkan rasa percaya diri bahwa
ia mampu melakukannya dengan perawatan terbaik.
d. Kurangnya anonimitas
Anonimitas yaitu tindakan merahasiakan nama seseorang
terkait dengan partisipasinya dalam sebuah kegiatan (Brockopp,
1999). Seorang pemberi pelayanan kesehatan akan dikenal oleh
seluruh penduduk di daerah rural, sehingga privasinya menjadi
terbatas. Hal ini disebabkan karena orang-orang dengan pendidikan
tinggi dan kemampuan untuk memimpin sebuah komunitas tidak
ada atau memilih pindah ke daerah urban (perkotaan). Kredibilitas,
kepercayaan, dan efektivitas seorang perawat komunitas pedesaan
sebagai agens perubahan (change agent) dalam upaya membangun
kemitraan, bergantung pada penilaian komunitas terhadap perawat
komunitas tersebut secara keseluruhan.
e. Identifikasi orang dalam/orang luar dan penduduk lama/pendatang
baru
Kategori pendatang lama adalah mereka yang sudah
menetap selama 15-20 tahun di suatu daerah (Anderson,
2006).Orang dalam maupun penduduk lama, mereka cenderung
lebih berhari-hati dalam menjalin interaksi dengan orang luar
maupun pendatang baru. Penerimaan terhadap perawat komunitas

15
di daerah rural dan peranannya dipengaruhi oleh pemikiran
mengenai orang dalam/orang luar dan penduduk lama/pendatang
baru (Anderson, 2006).
2. Ciri-ciri masyarakat pedesaan atau rural:
a. Mempunyai perilaku homogeny
b. Mempunyai perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan
kebersamaan
c. Mempunyai perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status .
d. Isolasi sosial, sehingga static
e. Kesatuan dan keutuhan cultural
f. Masih banyak ritual dan nilai-nilai sakral
g. Kolektivisme
3. Kehidupan Sosial Masyarakat Rural
Kehidupan masyarakat perdesaan dicirikan oleh kegiatan yang
pada umumnya bercorak agraris. Aktivitas kesehariannya masih
didominasi oleh pengaruh lingkungan alam. Dengan kata lain pengaruh
lingkungan atau kondisi alam setempat masih sangat erat mewarnai
tatanan dan pola hidup penduduk desa. Hubungan antarwarga
masyarakat masih sangat erat, saling mengenal, dan gotong royong.
Penderitaan seseorang di perdesaan pada umumnya menjadi derita
semua pihak. Menurut para ahli sosiologi, hubungan semacam ini
dikenal dengan istilah gemeinschaft (paguyuban). (Bambang,2007)
Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang
lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan
warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya
berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan. Ciri-ciri relasi sosial yang
ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem
kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan
penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari
pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan
bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah
pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan

16
pekerjaan sambilan saja. Golongan orang-orang tua pada masyarakat
pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu
meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang
dihadapi. Daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya
terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.
Pedesaan merupakan sebuah komunitas kecil, sehingga para warganya
saling mengenal dan bergaul secara intensif, karena kecil, maka setiap
bagian dan kelompok khusus yang ada di dalamnya tidak terlalu
berbeda antara satu dan lainnya, para warganya dapat menghayati
lapangan kehidupan mereka dengan baik. Selain itu masyarakat
pedesaan memiliki sifat solidaritas yang tinggi, kebersamaan dan
gotong royong yang muncul dari prinsip timbal balik. Artinya sikap
tolong menolong yang muncul pada masyarakat desa lebih dikarenakan
hutang jasa atau kebaikan. (Koentjaraningrat ,2005)

4. Masalah Kesehatan di Area Rural


a. Jenis masalah kesehatan
Masalah kesehatan di pedesaan dapat ditinjau dari dua segi, antara
lain:
1). Substantial (hal kesehatan sendiri)
Masalah kesehatan substantial dapat berupa berbagai jenis
penyakit. Dari hasil penelitian masalah kesehatan yang paling
sering muncul adalah penyakit-penyakit infeksi (pernafasan,
perut, kulit, dll). Penyakit-penyakit infeksi mempunyai hubungan
erat dengan lingkungan hidup yang kurang sehat dan daya tahan
tubuh rendah. Daya tahan tubuh yang rendah dapat terjadi karena
ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan gizi. Sedangkan
kemajuan ekonomi dapat mendorong perbaikan gizi. Kemajuan
ekonomi juga akan mendorong perbaikan lingkungan hidup yang
mengurangi wabah penyakit. Dengan rendahnya wabah penyakit
dan tingginya daya tahan tubuh, taraf kesehatan masyarakat akan
meningkat.

17
2). Management (hal penyelenggaraan kesehatan)
Masalah penyelenggaraan kesehatan meliputi masalah
peningkatan, perlindungan, penemuan masalah, pengobatan dan
pemulihan kesehatan pada perseorangan maupun pada kesehatan
masyarakat. Masalah kesehatan yang menonjol adalah tingginya
angka kejadian penyakit menular, kurangnya pengertian
masyarakat tentang hidup sehat, gizi yang buruk dan keadaan
hygiene dan sanitasi yang kurang memuaskan.
Fasilitas pelayanan kesehatan yang kurang di daerah
pedesaan menyebabkan sebagian besar masyarakat sulit
mendapatkan atau memperoleh pengobatan. Selain itu hal penting
yang mempersulit usaha pertolongan terhadap masalah kesehatan
pada masyarakat desa adalah penderita atau keluarga tidak dengan
segera mencari pertolongan pengobatan karena terbatasnya
fasilitas yang ada atau bahkan pengetahuan mereka. Perilaku yang
menunda untuk memperoleh pengobatan dari praktisi kesehatan
ini disebut dengan treatment delay. Perilaku menunda ini
dikarenakan tingkat pendidikan di daerah pedesaan rendah dan
kondisi ekonomi yang kurang (Sarafino, 2006).

b. Pola Makan dan Penyakit yang Berpotensi Timbul


Pola makan masyarakat pedesaan memiliki akses terbatas untuk
berbelanja di toko. Orang pedesaan masih tetap mematuhi pola diet
rendah lemak dan mempunyai prevalensi hiperkolesterolemia yang
rendah. Bagi masyarakat pedesaan, pedoman diet berbasis pangan
tentang konsumsi susu rendah lemak (Michael, 2008).
Air untuk minum dan mencuci harus cukup bebas kuman, akan
tetapi penelitian-penelitian lapangan secara konsisten menunjukan
bahwa begitu air memenuhi suatu standart minimum, jumlah air yang
bisa sampai ke rumah-rumah lebih mempengaruhi kesehatan mereka
daripada kebersihan air itu sendiri. Hal itu merupakan cerminan dari
pentingnya air bersih.

18
Dengan sedikitnya pengetahuan dan kurangnya kesadaran diri
dari masyarakat pedesaan membuat mereka menggunakan air tersebut
untuk di konsumsi maupun mencuci makanan-makanan yang mereka
makan. Hal tersebut perpengaruh dengan pola makan masyarakat
pedesaan. Dengan demikian, berpotensi untuk menimbulkan penyakit
menular, seperti disentri (diare), pneumonia, tuberculosis, bronchitis,
influenza, penyakit campak, dll.
Kondisi masyarakat pedesaan yang didominasi oleh banyaknya
lahan, dapat menimbulkan penyakit parasiter seperti schistosomiasis
dan filariasis. Schistosomiasis dan filiriasis tumbuh secara tepat akibat
kesembronoan dan kelalaian manusia. Parasit schistosomiasis berpindah
dari orang ke orang lain melalui kotoran manusia dan siput air (inang
perantara), dan juga saluran irigasi maupun selokan yang system
pengairannya tidak baik.
Masyarakat pedesaan senang mengonsumsi siput air yang
mereka cari sendiri, karena penghasilan yang sangat cukup untuk
memenuhi kebutuhannya. Dengan begitu bisa saja mereka
mengonsumsi siput air yang mengandung Shistosomiasis dan filariasis.
Penyakit yang di derita oleh masyarakat pedesaan biasanya yaitu,
tuberkulosis (TB), stroke dan hipertensi.
5. Tingkat Pencegahan Masalah Kesehatan di Area Rural
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu
penyakit selama prapatogenesis (sebelum proses suatu penyakit
dimulai). Pencegahan primer yang dapat dilakukan di area rural seperti
pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan yang diberikan oleh
petugas kesehatan, perbaikan status gizi dan kesehatan, pemberian
imunisasi, pengembangan personalitas dan pembentukan karakter
seperti peningkatan kebiasaan cuci tangan sebelum makan, karena
kebanyakan masyarakat di pedesaan bekerja sebagai petani sehingga
perlu diberi tahu tentang cara hidup bersih dan sehat.

19
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mengendalikan atau
membatasi penyebaran suatu penyakit atau diagnosis dini dan
pengobatan segera/adekuat. Pencegahan sekunder yang dapat dilakukan
di area rural adalah pencarian penderita, skrining kesehatan tujuannya
untuk mendeteksi keberadaan penyakit selama masa pathogenesis awal.
Untuk penyakit menular terkadang pengendalian sekunder dapat
mengakibatkan isolasi atau karantina. Upaya lebih lanjut adalah
desinfeksi, pengobatan masal dengan antibiotik, menjaga kontak
langsung dengan penderita penyakit menular.

c. Pencegahan Tersier
Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat di desa
tentang kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak
melanjutkan pengobatan sampai tuntas. Pengobatan yang tidak lengkap
dapat mengakibatkan kecacatan atau ketidakmampuan bagi
penderitanya, maka diperlukan rehabilitasi untuk pemulihan dari
penyakit yang diderita, dan pendidikan kesehatan masih diperlukan
dalam pencegahan tersier agar keluarga pasien yang sudah direhabilitasi
karena kecacatan dari penyakit yang dideritanya dapat menerima pasien
tersebut kembali ke keluarga, perbaikan fasilitas kesehatan.

6. Kelompok Risiko di Area Rural


a. Balita (usia 30-33 bulan), rentan mengalami malnutrisi.
Balita usia 30-33 bulan di area rural berisiko tinggi mengalami
malnutrisi. Kejadian kekurangan gizi biasanya terjadi pada 1000 hari
pertama kehidupan karena merupakan usia yang paling rentan dalam
gangguan pertumbuhan dan kejadian malnutrisi. Kejadian malnutrisi
pada usia ini juga terjadi karena tidak adekuatnya kualitas makanan
tambahan setelah pemberian ASI dan peningkatan kejadian infeksi.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah balita dalam keluarga merupakan
faktor determinan kejadian malnutrisi akut pada balita di wilayah

20
rural. Pada daerah rural, biasanya memiliki jumlah
memengaruhi konsumsi pangan. Pangan yang tersedia pada
sebuah keluarga yang besar menyebabkan distribusi makanan tidak
seimbang. Padahal, kebutuhan nutrisi pada balita baik kualitas maupun
kuantitas seharusnya lebih banyak daripada anggota keluarga lain.
Faktor lainnya adalah mata pencaharian di daerah pedesaan adalah
bertani dan berdagang sehingga anggota keluarga yang besar sehingga
akan penghasilan mereka pun cenderung lebih rendah. Selain itu,
tingkat pendidikan orang tua di daerah pedesaan cenderung rendah,
sehingga dapat menyebabkan risiko malnutrisi akut pada balita (Huriah,
2013).
b. Kelompok perempuan usia 55 – 64 tahun rentan mengalami
hipertensi
Kejadian hipertensi berdasarkan jenis kelamin pada masyarakat
rural lebih banyak pada perempuan. Kejadian hipertensi
diakibatkan oleh konsumsi makanan asin, konsumsi makanan
berlemak, tidak konsumsi buah dan sayur, dan obesitas lebih banyak
terjadi pada masyarakat rural (Nabila, 2014).
c. Kelompok lansia
Peningkatan angka harapan hidup membawa kebaikan pada derajat
kesehatan bangsa. Namun, hal tersebut mengarah pada transisi
epidemiologi, ditandai dengan pergeseran pola penyakit dari penyakit
infeksi menjadi penyakit degenerative yang berhubungan dengan proses
penuaan. Penyakit tersebut antara lain diabetes mellitus, hipertensi,
demensia, pembesaran prostat jinak, katarak, dan beragam masalah
kejiwaan seperti depresi, ansietas, dan gangguan tidur. Di daerah pedesaan
kondisi pelayanan lansia semakin sulit. Kemiskinan, tingkat pendidikan
yang rendah, lapangan pekerjaan yang terbatas, sarana/prasarana publik
yang buruk, perhatian pemerintah daerah yang kurang, pergeseran nilai-
nilai sosial budaya, serta kualitas sumberdaya manusia yang rendah
menjadi penyebab masalah kesehatan lansia di Indonesia (Pramono, 2012).

21
7. Hambatan Pemenuhan Perawatan Kesehatan di Area Rural
a. Akses masyarakat dalam menggunakan pelayanan kesehatan
Puskesmas Penggunaan puskesmas di daerah pedesaan antara lain
dipengaruhi oleh akses pelayanan. Kemudahan akses ke puskesmas
sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan berhubungan dengan
beberapa faktor, antara lain jarak tempat tinggal dan waktu tempuh ke
sarana kesehatan, serta status sosial ekonomi dan budaya. Akses
pelayanan tidak hanya disebabkan masalah jarak, tetapi terdapat dua
faktor penentu yaitu determinan penyediaan yang merupakan faktor-
faktor pelayanan, dan determinan permintaan yang merupakan faktor-
faktor pengguna. Faktor-faktor pelayanan terdiri atas organisasi
pelayanan dan infrastruktur fisik, tempat pelayanan, ketersediaan,
pemanfaatan dan distribusi petugas, biaya pelayanan serta mutu
pelayanan. Sedangkan determinan permintaan yang merupakan faktor
pengguna meliputi rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya
masyarakat serta tingkat pendapatan masyarakat yang rendah atau
miskin.
b. Faktor pelayanan

Permasalahan yang dialami dalam melayani kesehatan masyarakat


dalam gedung atau di luar gedung adalah kurangnya tenaga. Hal ini
akan sangat terasa pada saat petugas harus terjun ke lapangan, namun di
waktu bersamaan harus memberikan pelayanan di puskesmas yang
bersifat darurat atau tidak bisa ditunda, misalnya ada pasien yang sudah
waktunya melahirkan. Disamping itu, kurangnya jumlah transportasi
juga menjadi permasalahan tersendiri. Puskesmas tidak mempunyai
sarana puskesmas keliling (pusling) karena mobil pusling sudah tidak
layak digunakan akibat mengalami kecelakaan.Peralatan yang dimiliki
puskesmas sangat minim sekali.
c. Faktor Pengguna
Tradisi masyarakat pedesaan biasanya pergi ke dukun dulu, baru ke
bidan, tetapi juga melihat keadaan pasiennya. Dukun kampung lebih
dominan karena biaya dan transportasi lebih terjangkau. Masyarakat pada
umumnya memilih bidan yang sudah berpengalaman dan sudah punya
22
anak dibanding bidan yang masih bujangan. (Suharmiati, 2012).

8. Peran Perawat di Area Rural

a. Perawat sebagai care giver atau pemberi pelayanan, perawat akan


memberikan pelayanan keperawatan langsung dan tidak langsung pada
klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat.
b. Perawat sebagai educator atau pendidik, perawat memberikan pendidikan
kesehatan kepada klien dengan resiko tinggi atau kader kesehatan.
c. Perawat sebagai koordinator, perawat akan merencanakan, mengorganisasi,
menggerakkan, dan mengevaluasi pelayanan keperawatan baik langsung
maupun tidak langsung dan menggunakan peran serta aktif masyarakat
dalam kegiatan keperawatan komunitas.
d. Perawat sebagai konselor, perawat akan memberikan konseling atau
bimbingan kepada kader, keluarga, dan masyarakat tentang masalah
kesehatan komunitas dan kesehatan ibu dan anak.
e. Perawat sebagai klien advokat atau pembela klien, perawat harus
melindungi dan memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam pelayanan
keperawatan komunitas.
f. Perawat sebagai peneliti, perawat melakukan penelitian ubtuk
mengembangkan keperawatan komunitas dalam rangka mengefektifkan
program keperawatan di area rural.
9. Asuhan Keperawatan dalam Area Rural
a. Pengkajian
1). Karakteristik Masyarakat
Kumpulkan data tentang demografi, struktur sosial, dan budaya
masyarakat pedesaan. Pertimbangkan faktor-faktor seperti kebiasaan
hidup, keyakinan tradisional, dan hubungan sosial.
2). Kondisi Lingkungan
Amati faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan,
seperti kebersihan air, sanitasi, dan kemungkinan paparan lingkungan.
3). Aksesibilitas Terhadap Layanan Kesehatan
Evaluasi ketersediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan di wilayah

23
pedesaan. Perhatikan jarak, transportasi, dan faktor-faktor ekonomi yang
mungkin mempengaruhi akses masyarakat terhadap perawatan.
b. Diagnosa Keperawatan
Mamajemen kesehatan tidak efektif
Penyebab :
 Kompleksitas sistem pelayanan kesehatan
 Kompleksitas program perwatan / pengonatan
 Kurang terpapar informasi
 Kesulitan ekonomi
 Konflik keluarga
 Ketidakefektifan pola perawatan kesehatan keluarga
 Kekurangan dukungan sosial
c. Kriteria Hasil
 Manajemen kesehatan
 Pemeliharaan kesehatan
 Proses informasi
 Tingkat kepatuhan
 Tingkat pengetahuan
d. Intervensi Keperawatan
a. Observasi
 Identifikasi kebutuhan keselamatan ( misal kondisi fisik,fungsi
kognitif dan riwayat perilaku )
 Monitor perubahan sistem keselamatan lingkungan
b. terapeutik
 Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan, jika memungkinkan
 Modifikasi lingkungan untuk memaksimalkan bahay dan resiko
 Sediakan alat bantu keamanan lingkungan
 Gunakan perangkat pelindung
 Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas (misal polisi,
damkar, puskesmas )
 Fasilitasi rekolasi ke lingkungan yang aman

24
c. Edukasi
ajarkan individu, keluarga dan kelompok risiko tinggi bahaya lingkungan
e. Implementasi Keperawatan
Implementasikan intervensi pencegahan primer, sekunder, dan tersier
sesuai dengan diagnosa. Ini bisa mencakup kampanye penyuluhan,
program imunisasi, deteksi dini penyakit, dan manajemen penyakit kronis.
f. Kolaborasi Keperawatan
1. Kolaborasi Antarprofesional
Bangun kerja sama dengan pihak terkait seperti dokter, perawat,
pekerja sosial, dan komunitas lokal untuk menyediakan layanan yang
komprehensif.
2. Pengembangan Layanan Kesehatan Lokal
Dukung pengembangan infrastruktur kesehatan lokal, termasuk
pusat kesehatan, klinik, atau layanan kesehatan mobile untuk
meningkatkan aksesibilitas.

25
DAFTAR PUSTAKA
Afriyani, E. (2014). Makalah Konsep Area Rural.
Andreson, E. T. (n.d.). Buku Ajar Keperawan Komunitas: Teori dan Praktik Ed 3.
Jakarta: EGC
Andriany, M. (2021). Keperawatan Komunitas Correctional Setting.
Clark, M. J. (2001). Nursing in the Community: Dimensions of Community
Health Nursing. USA
Marzeli, R. (2020). Instrument Assesment Correctional Setting.
Noor, N. N. (2008). Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Prisma, E. (2013). Asuhan Keperawatan Correctional Setting.

26
27

Anda mungkin juga menyukai