Anda di halaman 1dari 18

KEPERAWATAN KOMUNITAS II

“ Konsep Populasi Telantar, Miskin dan Tunwisma"

DISUSUN OLEH :

1 Adinda Aulia P. Y (17.156.01.11.086)


2 Annisa F. Matondang (17.156.01.11.092)
3 Desi Deria (17.156.01.11.097)
4 Diana Rakhman N (17.156.01.11.101)
5 Lucya Mentary (17.156.01.11.109)
6 Putri Melati (17.156.01.11.114)
7 Rahmat Hidayat (17.156.01.11.115)

4.C Keperawatan

S1 Ilmu Keperawatan

STIKes Medistra Indonesia

JL . Cut Mutia Raya No.88 A- Kel. Sepanjang jaya-Bekasi


Telp. (021) 82431375, Fax. (021) 82431374
Website : http//www.stikesmedistra-indonesia.ac.id, email : stikesmi@yahoo.co.id
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-NYA sehingga kami diberi kesempatan untuk dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Populasi Terlantar, Miskin Dan
Tunawisma.”. Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini kami akan menyampaikan
terimakasih kepada Bapakselaku dosen mata kuliah Keperawatan Komunitas II, dan
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami sadar bahwa sebagai manusia tentu mempunyai kesalahan dan
kekhilafan. Oleh karena itu kami selaku penyusun makalah ini mohon maaf apabila
dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khusus
dan umumnya bagi para pembaca.

Bekasi, 30 November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5
A. Definisi............................................................................................................................5
B. Prevalensi........................................................................................................................6
C. Karakteristik Populasi Terlantar......................................................................................7
D. Faktor – Faktor yang Berkontribusi Terhadap Populasi Terlantar..................................8
E. Status Kesehatan Tunawisma.........................................................................................10
F. Faktor Perilaku dan Psikososil yang Menyebabkan Kesehatan Tunawisma.................12
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TUNAWISMA............................................................13
BAB III PENUTUP..................................................................................................................17
A. Kesimpulan...................................................................................................................17
B. Saran..............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuna Wisma adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan
layak, orang yang tidak mempunyai mata pencaharian yang tetap dan layak atau orang
yang berpindah-pindah tempat tinggalnya dan berkeliaran di kota, makan dan minum
disembarangan tempat.
Masalah sosial seperti pada populasi terlantar, miskin dan tuna wisma
merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam
kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan. Salah satu faktor
yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah
kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus urbanisasi
dari daerah pedesaan ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk.
Terbatasnya lapangan pekerjaan, pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka
banyak yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dan terpaksa menjadi
gelandangan.

B. Rumusan Masalah
Mengetahui Konsep Populasi Terlantar, Dan Tunawisma

C. Tujuan Masalah
Agar mahasiswa dapat mengetahui Konsep Populasi Terlantar, Dan Tunawisma

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Populasi berasal dari Bahasa latin yaitu populous (rakyat,berarti penduduk). Jadi popula
si adalah kumpulan individu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu tertentu. Ko
munitas pada populasi terlantar, Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam
keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat
setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah
tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Tuna Wisma adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan layak, orang
yang tidak mempunyai mata pencaharian yang tetap dan layak atau orang yang berpindah-
pindah tempat tinggalnya dan berkeliaran di kota, makan dan minum disembarangan
tempat.
Masalah sosial seperti pada populasi terlantar, miskin dan tuna wisma merupakan
fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat,
terutama yang berada di daerah perkotaan. Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi
perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia
berdampak negatif terhadap meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke kota-
kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk. Terbatasnya lapangan pekerjaan,
pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang mencari nafkah untuk
mempertahankan hidup dan terpaksa menjadi gelandangan.
Gelandangan atau tunawisma sering dikategorikan sebagai kelompok yang terisolasi,
terpinggirkan, tidak beruntung dan kelompok rentan. Definisi pemerintah tentang
gelandangan atau tuna wisma yang dapat diterima secara luas pada saat sekarang adalah
orang yang kekurangan suatu tempat tinggal permanen pada malam hari, atau yang
memiliki tempat tinggal hanya pada saat malam hari sebagai tempat bermukim sementara
seperti pada fasilitas publik atau tempat–tempat pribadi / swasta yang tidak dirancang
sebagai akomodasi tempat tidur bagi manusia (Situmorang, 2008 ).
Tunawisma atau gelandangan ada yang berusia produktif, ada pula yang lanjut usia.
Tunawisma atau gelandangan lanjut usia adalah orang atau lanjut usia yang tidak
mempunyai tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah
kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api, atau

5
berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai
pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma sering menggunakan lembaran kardus,
lembaran seng atau aluminium, lembaran plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan,
atau tenda sesuai dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada.Untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali hidup dari belas kasihan orang lain atau
bekerja sebagai pemulung
Penanganan terhadap kaum Tunawisma pun di atur dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Pasal 34 Ayat (1) yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara” sebenarnya menjamin nasib kaum ini. Namun Undang-
Undang belum dapat terlaksanakan di seluruh lapisan masyarakat, dikarenaka bahwa
kebijakan pemerintah selama ini hanyalah kebijakan yang menyentuh dunia perkotaan
secara makroskopis dan bukan mikroskopis. Pemerintah daerah cenderung menerapkan
kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan mekanisme lanjutan kepada para stakeholder
sehingga terkesan demi menjadikan sesuatu lebih baik, mereka mengorbankan hak-hak
individu orang lain.

B. Prevalensi
Penanganan masalah gelandangan dilakukan dengan melibatkan Dinas Sosial beserta
Satuan Polisi Pamong Praja yaitu dengan melakukan razia, kemudian yang tertangkap
dilakukan pembinaan serta pelatihan ketrampilan, dan dikirim ke tempat asal mereka.
Masalah gelandangan masih relatif tinggi, hal ini dibuktikan dengan data pada tahun 2004-
2009 jumlah populasi gelandangan dan fakir miskin di Indonesia tercatat 36,10 juta,
sedangkan tahun 2009 berjumlah 32, 5 juta orang (Badan Pusat Statistik, Februari 2009)
Menurut data Dinas Sosial di seluruh Indonesia yang dihimpun Kementerian
Sosial (Kemensos), angka Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) pada 2017
ada sebanyak 23.595 pengemis dan 30.019 gelandangan. Sedangkan data PMKS 2018, ada
sebanyak 22.797 pengemis dan 56.785 gelandangan.
Dari angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan sebanyak 26.766
orang gelandangan dari 2017 ke 2018. Kata Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian
Sosial (Kemensos) Edi Suharto, sebetulnya ada empat faktor permasalahan adanya PMKS,
Pertama adalah kemiskinan, tingkat pendidikan, rendahnya keterampilan dan moralitas,"
Jumlah anak telantar masih sangat banyak. Kementerian Sosial (Kemsos) menyebut,
jumlahnya mencapai 4,1 juta anak, dan jumlah itu bertambah. Kondisi tersebut

6
mencerminkan amanat Konstitusi agar fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara
belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, Kemsos juga menyebut sedikitnya 35.000 anak
mengalami eksploitasi. Keberadaan anak-anak telantar tersebut, antara lain masih
minimnya rumah singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak (RSPA). Belum semua
provinsi memiliki RSPA.
Menurut sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi, jutaan anak telantar tersebut
mencerminkan kondisi ketimpangan sosial di Tanah Air. Rasio gini tercatat masih relatif
tinggi, yakni mencapai 0,394. Rasio itu bermakna pemerataan kesejahteraan menjadi
persoalan yang mengkhawatirkan.
Data terbaru yang dirilis secara resmi oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia mengenai jumlah anak jalanan pada tahun 2007 di
seluruh Indonesia mencapai 104.497 anak. Provinsi dengan jumlah anak jalanan terbanyak
berturut-turut adalah Jawa Timur, yaitu sebanyak 13.136 anak, Nusa Tenggara Barat
12.307 anak, dan Nusa Tenggara Timur 11.889 anak, sedangkan 3 provinsi dengan jumlah
anak jalanan paling sedikit berturut-turut adalah Kalimantan Tengah 10 anak, Gorontalo
66 anak, dan Kepulauan Riau 186 anak.12 Data tersebut adalah data yang paling baru
yang dirilis resmi, dan untuk Tahun 2014 ini belum ada data terbaru yang dirilis secara
resmi oleh kementrian manapun terkait dengan jumlah anak jalanan. Dalam sebuah
wawancara dengan salah satu media cetak nasional pada tahun 2011 Menteri Sosial Dr.
Salim Segaf Al-Jufri, M.A menyatakan bahwa saat itu jumlah anak jalanan Indonesia
mencapai 230.000 anak namun, belum ada rilis resmi atas data yang mencengangkan
tersebut terkait peningkatan jumlah anak jalanan Indonesia yang sangat besar.
 Kota Makassar yang merupakan satu dari empat kota di Indonesia telah menerapkan
Peraturan Daerah (Perda) Anak Jalanan namun berdasarkan data jumlah pengemis serta
gelandangan sekitar 42.986 orang.

C. Karakteristik Populasi Terlantar


Indonesia masih tergolong negara yang berkembang dan belum mampu
menyelesaikan masalah kemiskinan. Dari beberapa banyak masalah sosial yang ada
sampai saat ini pengemis, gelandangan dan orang terlantar adalah masalah yang harus di
perhatikan lebih dari pemerintah, karena saat ini masalah tersebut sudah menjadi bagian
dari kehidupan kota-kota besar. Keberadaan PGOT saat ini semakin banyak dan sulit
diatur, Mereka dapat ditemui diberbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan tempat
umum di kota-kota besar, bahkan di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka

7
menjadikan mengemis sebagai profesi.
Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat.
Penyebab dari semua itu antara lain adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak
diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang memadai dan kesempatan kerja yang tidak
selalu sama. Disamping itu menyempitnya lahan pertanian di desa karena banyak
digunakan untuk pembangunan pemukiman dan perusahaan atau pabrik. Keadaan ini
mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi dengan maksud untuk merubah nasib, tapi
sayangnya, mereka tidak membekali diri dengan pendidikan dan keterampilan yang
memadai. Sehingga keadaan ini akan menambah tenaga yang tidak produktif di kota.
Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bekerja apa saja asalkan
mendapatkan uang termasuk meminta-minta (mengemis). Demi untuk menekan biaya
pengeluaran, mereka 2 memanfaatkan kolong jembatan, stasiun kereta api, emperan toko,
pemukiman kumuh dan lain sebagainya untuk beristirahat, mereka tinggal tanpa
memperdulikan norma social.
Karakteristik dari gepeng (gelandangan dan pengemis) yaitu :
1. Tidak memiliki tempat tinggal Kebanyakan dari gepeng dan pengemis ini mereka
tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal mereka ini biasa mengembara d
i tempat umum.
2. Hidup di bawah garis kemiskinan, Para gepeng mereka tidak memiliki pengahsial
n tetap yang bias menjamin untuk kehidupan mereka kedepan bahkan untuk sehar
i hari saja mereka harus mengemis atau memulung untuk membeli makanan untu
k kehidupannya.
3. Hidup dengan penuh ketidak pastian, Para gepeng mereka hidup mengelandang d
an mengemis di setiap harinya mereka ini sangat memprihatikan karena jika mere
ka sakit mereka tidak bisa mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh peg
awai negeri yaitu BPJS untuk berobat dan lain lain.
4. Memakai baju yang compang camping, Gepeng bisanya tidak pernah mengunaka
n baju yang rapi atau berdasi melaikan baju yang kumal dan dekil.

D. Faktor – Faktor yang Berkontribusi Terhadap Populasi Terlantar


Menurut Parsudi Suparlan (1984: 2009) mengemukakan bahwa standar kehidupan
yang rendah ini secara langsung mempengaruhi tingkat kesehatan, kehidupan moral dan
rasa percaya diri mereka yang tergolong orang miskin. Mereka diwarnai oleh mentalitas
yang mendambakan pola kehidupan bebas tanpa diikat oleh norma-norma sosial yang ada

8
sehingga dengan pola pikir yang demikian mereka serasa bebas untuk memenuhi setiap
kehendaknya misalkan: kawin tanpa harus mengurus surat nikah, dengan begitu pun
masyarakat tidak ada yang menggunjingnya sebagai kumpul kebo. Kemiskinan sebagai
realitas pada kaum tuna wisma sebenarnya bukan sesuatu yang dikehendakinya. Unsur
keterpaksaan lebih menunjukkan unsur relevansinya.
Hal-hal yang melatar belakangi tuna wisma atau gelandangan disebabkan faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi: malas, tidak mau bekerja keras,
mental yang tidak kuat, sedangkan faktor eksternal yaitu: faktor ekonomi, geografi, sosial,
pendidikan, kultural, lingkungan, dan agama.
Artidjo Alkotsar (Suroto, 2004: 56) mengemukakan bahwa yang melatar belakangi
gelandangan dan tuna wisma yaitu:
1. faktor ekonomi (kurangnya lapangan kerja, rendahnya pendapatan perkapita dan tidak
tercukupi kebutuhan hidup); daerah asal yang minus dan tandus, sehingga tidak
memungkinkan untuk pengolahan lahan;
2. faktor sosial, arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya partisipasi
masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial;
3. faktor pendidikan, relatif rendahnya pendidikan sehingga kurangnya bekal
ketrampilan untuk hidup layak dan kurangnya bekal pendidikan informal dalam
keluarga;
4. faktor psikologis, adanya perpecahan dalam keluarga dan keinginan untuk melupakan
masa lalu yang menyedihkan serta kurangnya semangat kerja;
5. faktor kultural, pasrah terhadap nasib dan adat istiadat yang merupakan rintangan dan
hambatan mental;
6. faktor lingkungan, khususnya pada tuna wisma yang berkeluarga atau mempunyai
anak secara tidak langsung sudah nampak adanya pembibitan tuna wisma;
7. faktor agama, kurangnya dasar-dasar ajaran agama, sehingga menyebabkan tipisnya
iman membuat mereka tidak tahan menghadapi cobaan dan tidak mau berusaha.
Gelandangan tidak saja merupakan penyakit sosial, tetapi juga merupakan suatu
masalah yang memerlukan penanganan dan pembinaan yang cukup serius. Oleh karena
ini apabila tidak segera ditangani maka penyakit masyarakat ini akan merajarela,
sehingga diperlukan suatu langkah positif yang berupa tindakan penanganan dari
pemerintah.
Gambaran latar belakang timbulnya gelandangan dan tuna wisma tersebut di atas jelas
ada banyak faktor yang saling berkaitan dan berpengaruh antara lain: faktor kemiskinan

9
(struktural dan pribadi), faktor keterbatasan kesiapan kerja (intern dan ekstern). Faktor
yang berhubungan dengan urbanisasi yang masih ditambah lagi dengan faktor pribadi,
tidak perlu mengindahkan kaidah normatif yang barlaku umum, biasanya hidup sesuai
dengan keinginan sendiri, biasanya memuaskan kebutuhan secara cepat, dapat dikatakan
mereka hidup dalam taraf primer.
E. Status Kesehatan Tunawisma
Kesehatan tuna wisma menjadi tanggung jawab pemerintah dan semua pihak untuk
menciptakan derajat kesehatan warga negara yang optimal. Tuna wisma juga merupakan
klien yang patut mendapat perhatian khusus bagi perawat kesehatan komunitas. Teori
Perawatan Diri banyak digunakan dalam ilmu keperawatan untuk memberikan kerangka
kerja konseptual sebagai panduan praktik dan membangun pengetahuan perawatan diri
melalui riset. Orem mendeskripsikan perawatan diri sebagai tindakan yang
berkesinambungan yang diperlukan dan dilakukan oleh orang dewasa untuk
mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini juga digunakan dalam
konteks tuna wisma oleh banyak ahli. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep
Teori Perawatan Diri Orem, mendeskripsikan kondisi perawatan diri tuna wisma, dan
mengaplikasikan Teori Perawatan Diri Orem dalam konteks tuna wisma.
Tuna wisma, dengan segala kondisi lingkungan dan kemampuan yang seadanya,
melakukan perawatan diri dengan seadanya pula. Hal ini menimbulkan banyak masalah
kesehatan yang muncul pada populasi tersebut. Setiap warga negara berhak atas kesehatan
tidak terkecuali tuna wisma. Kesehatan tuna wisma menjadi tanggung jawab pemerintah
dan semua pihak untuk menciptakan derajat kesehatan warga negara yang optimal. Tuna
wisma juga merupakan klien yang patut mendapat perhatian khusus bagi perawat
kesehatan komunitas.
Kebutuhan Perawatan Diri pada Tuna Wisma Kebutuhan perawatan diri merupakan hal
yang tidak dapat dielakkan mengingat kondisi minimnya perlindungan dari segi fisik dan
psikologis bagi mereka. Ditinjau dari jenis kebutuhan perawatan diri Orem, tuna wisma
mempunyai semua jenis kebutuhan yang ada. Kebutuhan perawatan diri universal
dibutuhkan oleh semua tuna wisma sebagai manusia. Mulai dari kebutuhan udara, cairan,
nutrisi, eliminasi, istirahat-aktivitas, menyendiri dan interaksi sosial, serta pencegahan dari
bahaya. Kondisi tuna wisma membuat kebutuhan-kebutuhan perawatan tersebut
terganggu. Udara jalanan yang penuh dengan polusi, air yang kotor, makanan yang kurang
higienis, tempat eliminasi, interaksi sosial yang keras, serta bahaya-bahaya fisik dan
psikologis yang ditemui di jalanan merupakan kebutuhan yang menjadi perhatian penting

10
perawat. Kebutuhan perawatan diri perkembangan disesuaikan dengan tahap
perkembangan individu dan keluarga. Misalnya tahap perkembangan bayi baru lahir
hingga lansia sebagai individu, atau tahap perkembangan keluarga pasangan baru menikah
hingga keluarga dengan lansia. Tahap perkembangan ini perlu diperhatikan karena
masingmasing tahap perkembangan pada tuna wisma mempunyai karakteristik misalnya
anak jalanan yang sudah terbiasa bebas dan tidak ingin terikat membutuhkan strategi
untuk menanamkan nilai-nilai dalam diri mereka. Gagalnya memenuhi tugas
perkembangan akan mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya. Kebutuhan
perawatan diri penyimpangan kesehatan diperlukan sesuai dengan kondisi-kondisi
masalah yang banyak ditemui pada tuna wisma. Misalnya masalah anemia, malnutrisi,
penyakit kulit, infeksi telinga, gangguan mata, masalah gigi, infeksi saluran pernafasan
atas, dan masalah gastrointestinal. Masalah kesehatan mental yang ditemukan pada tuna
wisma anak-anak meliputi keterlambatan perkembangan, depresi, ansietas, keinginan
bunuh diri, gangguan tidur, pemalu, penarikan diri, dan agresi. Perawat perlu mencari
sumber masalah dan berusaha menyelesaikan penyebab untuk mengatasi masalah yang
ada.
Praktik keperawatan pada konteks tuna wisma dilakukan karena kurangnya akses
pelayanan kesehatan yang tersedia bagi mereka. Pelayanan yang dapat diberikan kepada
mereka mencakup pelayanan kesehatan primer, nutrisi, pelayanan legal, peer education,
bantuan finansial, dan konseling NARKOBA. Perawat sebagai case manager melakukan
home visit (kunjungan ke tempat persinggahan mereka) untuk melakukan pengkajian,
intervensi dan rujukan kepada agen perawatan diri lain yang diperlukan sesuai dengan
permasalahan yang ditemui.
Mengingat keunikan kondisi klien tuna wisma, asuhan keperawatan yang diberikan
harus mempertimbangkan aspek-aspek berikut ini :
a. Accessibility : kemampuan tuna wisma untuk menggunakan pelayanan, meliputi
jarak, usaha, biaya, dan kesadaran tentang butuhnya perawatan diri sebagai kunci bagi
para tuna wisma. Akses meliputi waktu dan lokasi pelayanan.
b. Acceptability : tingkat penerimaan tuna wisma yang dapat mereka gunakan. Hal ini
ditinjau dari perspektif individu, keluarga, dan komunitas. Tuna wisma akan memilih
menggunakan pelayanan kesehatan berdasar persepsi kompetensi perawatan,
pengalaman sebelumnya, bahasa, dan budaya atau sensitivitas perilaku pemberi
pelayanan kesehatan (Magilvy, Congdon, & Martinez, 1994).
c. Affordability : kesanggupan ekonomi. Kondisi tuna wisma yang kurang mampu

11
dalam perekonomian dapat dibantu oleh pemerintah. Diperlukan suatu bentuk
pelayanan yang optimal dengan dukungan dari pemerintah berupa dana dan kebijakan.
d. Appropriateness : Bentuk asuhan keperawatan yang diberikan harus sesuai dengan
kebutuhan perawatan diri tuna wisma dan hal ini merasa dibutuhkan sebagai
kebutuhan utama bagi mereka. Perawat perlu menumbuhkan kepedulian tuna wisma
tentang kebutuhan perawatan diri yang diperlukan mereka.
e. Adequacy : Keadekuatan intervensi keperawatan berbasis komunitas meliputi kualitas
dan kelengkapan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri sesuai dengan
tingkat kebutuhannya (wholly compensatory, partially compensatory, atau supportive-
educative system). Diperlukan rancangan program yang sangat bagus untuk dapat
menghasilkan outcome yang optimal pada populasi tuna wisma dengan segala kondisi
yang ada.

F. Faktor Perilaku dan Psikososil yang Menyebabkan Kesehatan Tunawisma


1. Kemiskinan, Antara lain : makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang
gizi, persediaan air yang kurang, tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
2. Pendidikan yang rendah, kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi
tergantung dari kemampuan membiayai.
3. Kawin muda, hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah
diusia tertentu diangap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua
cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawab dan diserahkan anak
wanita tersebut kepada suaminya.
4. Seks bebas. Dari perilaku seksual usia dini anak jalanan perempuan, yang mulai seks
bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahundan ada yang
melakukan dengan saudaranya sendiri.

12
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TUNAWISMA

1. Pengkajian
a. Struktur dan sifat keluarga
- Kepala keluarga (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, suku, pendidikan)
b. Kebutuhan Nutrisi
- Cara menyaji makanan
- Kebiasaan mengolah air minum
- Kebiasaan keluarga mengelolah makanan
c. Kebutuhan istirahat dan tidur
- Kebiasaan tidur dalam keluarga
d.. Sosial
e . Pendidikan
f . Psikologis
g . Spiritual
h . Faktor lingkungan
I . Pemeriksaan status mental:
- Tingkat kesadaran: sadar/ tidak sadar
- Memori : mampu mengingat memori jangka pendek/ panjang
- Konsentrasi atau kalkulasi: daya kemampuan berhitung dan fokus
- Informasi dan intelegensi
- Penilaian: mampu membuat keputusan sendiri berbagai pilihan dengan alasan
tertentu/ tidak
- Penghayatan atau insight: mampu memahami keadaan diri/ tidak
- Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki
dan bau, kuku panjang dan kotor.
- Ketidak mampuan berhias atau berdandan ditandai dengan rambut acak – acakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki- laki tidak
bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
- Ketidak mampuan makan secara mandiri, ditandai dengan ketidak mampuan

13
mengambil makanan sendiri, makan bececeran dan tidak pada tempatnya.
- Ketidak mampuan BAB/BAK secara mandiri, di tandai dengan BAB/BAK tidak
pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB/BAK.

2. Diagnosa Keperawatan
a. defisit perawatan diri mandi atau kebersihan b.d hambatan lingkungan
b. Resiko kekerasan terhadap diri sendiri b.d kesehatan mental ( depresi berat,
psikokis, gangguan personalitas berat, penyalahgunaan alcohol/obat).
c. Pola seksualitas tidak efektif b.d kurang pengetahuan/ ketrampilan mengenai
respon alternative terhadap kesehatan yang berubah.

3. Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


1 defisit perawatan diri NOC :
mandi atau kebersihan b.d
hambatan lingkungan Setelah dilakukan
Batasan karakteristik intervensi keperawatan
- ketidakmampuan selama …x 24 jam
untuk mandi diharapkan klien mampu
- ketidakmampuan mengontrol diri dan
untuk berpakaian perilaku kekerasan tidak - Monitor kemempuan klien
- ketidakmampuan terjadi dengan kriteria untuk perawatan diri yang
untuk makan hasil : mandiri.
- ketidakmampuan 1. Klien terbebas dari - Monitor kebutuhan klien
untuk toileting bau badan. untuk alat-alat bantu untuk
kebersihan diri, berpakaian,
berhias, toileting dan makan.
- Sediakan bantuan sampai
klien mampu secara utuh
untuk melakukan self-care.
- Dorong klien untuk
melakukan aktivitas sehari-
2. Menyatakan hari yang normal sesuai
kenyamanan kemampuan yang dimiliki.
terhadap - Dorong untuk melakukan
kemampuan untuk secara mandiri, tapi beri
melakukan bantuan ketika klien tidak
aktivitas mampu melakukannya.
keseharianya.
-  Ajarkan klien/ keluarga
untuk mendorong
3.  Dapat melakukan kemandirian, untuk

14
Aktivitas dengan memberikan bantuan hanya
bantuan jika pasien tidak mampu
untuk melakukannya.

- Berikan aktivitas rutin sehari-


hari sesuai kemampuan.

- Pertimbangkan usia klien jika


mendorong pelaksanaan
aktivitas sehari-hari. 

2 Resiko kekerasan terhadap Setelah dilakukan


intervensi keperawatan
diri sendiri b.d kesehatan
selama …x 24 jam
mental ( depresi berat, diharapkan klien mampu
mengontrol diri dan
psikokis, gangguan
perilaku kekerasan tidak
personalitas berat, terjadi dengan kriteria
hasil :
penyalahgunaan
1. Mampu
alcohol/obat ) mengidentifikasi - Diskusikan dengan pasien
perilaku emosi tentang pengalaman emosi
-  Dukung penggunaan
mekanisme yang tepat
- Bantu pasien mengenali
perasaannya seperti cemas,
2. Mampu marah atau kesedihan.
mengidentifikasi
perasaan yang - Mendengarkan ungkapan
mendorong kearah perasaaan klien dan
kekerasan menanamkan kepercayaan

- Diskusikan konsekuensi dari


tidak menghadapi rasa
bersalah dan malu

3. Mampu - Fasilitasi pasien untuk


menghindari situasi mengidentifikasi pola respon
dan lingkungan yang biasa dilakukan pada
yang beresiko saat mengatasi rasa takut
menimbulkan - Sediakan dukungan selama
perilaku kekerasan. penolakan, marah tawar
menawar dan fase
penerimaan dari berduka
4. Menyatakan secara
lisan mampu - Identifikasi fungsi
mengendalikan marah,frustasi, dan kegusaran
emosi. klien
- Dukung pembicaraan atau

15
biarkan pasien menangis
sebagai alat untuk
menurunkan emosi
- Temani klien dan sediakan
jaminan keamanan selama
periode cemas
- Sediakan bantuan dalam
membuat keputusan
Turunkan kebutuhan dalam
fungsi kognisi pada saat
5. Mempertahankan pasien sakit atau lelah.
pengendalian diri
tanpa adanya - Ciptakan lingkungan yang
pengawasan aman bagi pasien
-  Identifikasi kebutuhan
keamanan pasien berdasarkan
tingkat fungsi fisik dan
cognitif dan riwayat tingkah
laku masa lalu.
- Pindahkan lingkungan yang
berbahaya.
- Pindahkan obyek yang
berbahaya dari  lingkungan

3 Ketidakseimbangan nutrisi NOC: NIC:


Setelah dilakukan - Kaji asupan nutrisi klien.
kurang dari kebutuhan
intervensi keperawatan - Monitor adanya penurunan
tubuh b/d selama …x 24 jam berat badan.
diharapkan klien mampu - Monitor lingkungan selama
ketidakmampuan untuk
mengontrol diri dan makan.
memasukan atau mencerna perilaku kekerasan tidak - Monitor turgor kulit.
terjadi dengan kriteria - Monitor kekeringan, rambut
nutrisi oleh karena faktor
hasil : kusam.
ekonomi 1. Albumin serum - Monitor pucat, kemerahan
2. Pre albumin serum dan kekeringan jaringan
3. Hematokrit konjungtiva.
4. Hemoglobin - Informasikan pada klien
5. Total iron binding tentang manfaat nutrisi.
capacity - Anjurkan banyak minum.
6. Jumlah limfosi - Kolaborasi dengan team
kesehatan yang lain untuk
memenuhi nutrisi pasien

BAB III
PENUTUP

16
A. Kesimpulan
Angka Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) pada 2017 ada sebanyak
23.595 pengemis dan 30.019 gelandangan. Sedangkan data PMKS 2018, ada sebanyak
22.797 pengemis dan 56.785 gelandangan, dari angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa
terjadi peningkatan sebanyak 26.766 orang gelandangan dari 2017 ke 2018. Kata Dirjen
Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) Edi Suharto, sebetulnya ada empat
faktor permasalahan adanya PMKS, Pertama adalah kemiskinan, tingkat pendidikan,
rendahnya keterampilan dan moralitas

B. Saran
Di era modern sekarang ini sudah banyak berkembang penyakit yang tidak ditemukan
obatnya termasuk diantaranya penyakit menular dan sekarang ini, masih banyak yang
belum memahami bagaimana cara menjaga lingkungan yang sehat. Oleh karena itu, perlu
untuk memperlajari tentang pembarantasan penyakit menular dan bagaimana penyehatan
lingkungan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

17
Riskawat. I., Syani. A.(2012). Faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis.jurnal
sosiologie. Vol.1.No.1:43-52
Anderson, Judith A. (2001). Understanding homeless adults by testing the theory of
self-care. Nursing Science Quarterly, 14(1), 59-67
Dianne, McCormack. (2003). An examination of the self-care concept uncovers a
new direction for healthcare reform. Nursing Leadership (CJNL), 16(4), 48-65
Meleis, Afaf Ibrahim. (1997). Theoretical Nursing : Development and progress. (3rd
Ed.). Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher.
Orem, D. E., (1985). Nursing : Concept of practice. (3rd Ed.). New York : McGraw-
Hill.
Orem, D. E., (2001). Nursing : Concept of practice. (6th Ed.). St. Louis : Mosby Inc.
Perry, Merry Lynn & Jones, Polite Aretha. Project house call : Preventing
Homelessness through improved adherence and continuity of care. Savanah :
Union Mission, Inc. http://www.anacnet.org/media/docs/posterabstracts.htm.,
diperoleh 15 Desember 2006.
Parker, Marlin E. (Editor) (2006). Nursing theories and nursing practice. (2ndEd).
Philadelphia : F.A. Davis Company.
Nursing Diagnoses:Definition and Classification 2005-2006/NANDA:alih bahasa, Budi
Santosa:editor, Budi Santosa:Prima Medika,2005

18

Anda mungkin juga menyukai