Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Genetic Developmental Disability


disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Biopsikologi
Dosen Pengampu : dr Dewi Nofianti, Sp.KJ

Disusun oleh Kelompok 1:

Rasdi (12314064)
Merlyndia Mutiara Kamila (12314074)
Rumaisha Yurdana (12314085)
Fatin Ardina (12314068)
Sri Putri Hasanah (12314072)
Artiya Maharani (12314080)
Tri Tusmiarti (12314073)
Atika Salsabila (12314063)
Kelas 2 C

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami lanturkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat digunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam pendidikan.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai pembelajaran tentang pendidikan
Biopsikologi yang tertuju kepada “Cacat perkembangan genetik diagnosis pada masa
dewasa”. Dalam kesempatan ini kami selaku penyusun mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
ini, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua Aamiin.

Pontianak, 26 Maret 2024

Penyusun
Kelompok 1

i
DAFTAR ISI
KARA PENGATAR..................................................................................................................i
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 2
A. Definisi Penyakit Laporan Kasus .............................................................................. 2
B. Faktor Mempengaruhi Persepsi Terhadap Disabilitas ................................................ 3
C. Faktor kecacatan perkembangan genetik pada masa dewasa...................................... 8
BAB II CASE REPORT..................................................................................................... 10
A. Terjemah ................................................................................................................ 10
B. Ringkasan .............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Genetic Developmental Disability (GDD) merujuk pada kondisi yang terkait dengan
gangguan perkembangan yang disebabkan oleh mutasi genetic yang mempengaruhi
perkembangan normal individu sejak lahir atau masa anak-anak. Genetic Developmental
Disability (GDD) adalah kondisi yang diidentifikasi sebelum usia 22 tahun dan biasanya
berlangsung selama hidup individu. Kondisi ini termasuk kebanyakan disabilitas intelektual,
cerebral palsy, autisme spektrum, Down syndrome, kekurangan telinga, dan kekurangan mata.
Kondisi ini termasuk dalam kategori Developmental Disabilities (DD), yang merupakan
istilah umbrella untuk kondisi yang terkait dengan gangguan fungsi dalam area fisik,
pembelajaran, bahasa, atau perilaku. Intellectual Disability (ID) adalah salah satu jenis
Developmental Disabilities yang mengakibatkan penundaan dalam fungsi kognitif atau
intelektual, seperti alasan, gangguan pada faktor-faktor seperti fisik-psikomotorik, kognitif &
bahasa, atau sosial & emosi, yang akan menghambat perkembangan dan keberfungsian
individu di usia-usia berikutnya. Developmental Disabilities dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, mulai dari eksposur lingkungan hingga mutasi genetik, dan studi menunjukkan bahwa
hingga 40% dari Developmental Disabilities mungkin disebabkan oleh masalah genetic.
Prevalensi disabilitas intelektual di Indonesia saat ini diperkirakan kira ± kira 1-3
persen dari populasi. Prevalensi untuk DI ringan 0,37 ± 0,59 % sedangkan untuk DI sedang,
berat dan sangat berat adalah 0,3 ± 0,4 %. Insidensi tertinggi adalah pada anak usia
sekolah,dengan puncak usia 10 sampai 14 tahun. Disabilitas intelektual pada anak laki-laki
1,5 kali lebih tinggi daripada wanita. Sedangkan pada usia lanjut dengan disabilitas intelektual
yang berat, prevalensinya lebih rendah karena mortalitas yang tinggi yang disebabkan dari
penyulit gangguan fisik yang menyertai. Sebagai sumber daya manusia tentunya mereka tidak
bisa dimanfaatkan karena 0.1% dari anak-anak ini memerlukan perawatan, bimbingan serta
pengawasan sepanjang hidupnya. Penderita DI ditandai dengan nilai Intelegent Quotient ( IQ
) < 70 dan keterbatasan dalam fungsi penyesuaian diri. Kondisi ini menyebabkan keberadaan
penderita DI tidak hanya membebani dirinya sendiri, namun juga keluarga dan masyarakat.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penulisan penelitian ini akan coba penulis kaitkan dengan beberapa karya ilmiah
terdahulu, sehingga akan didapatkan keterkaitan dengan karya ilmiah di atas. Adapun karya
ilmiah yang penulis maksud adalah sebagai berikut:

Carollo, A., Bonassi, A., Lim, M., Gabrieli, G., Setoh, P., Dimitriou, D., ... & Esposito,
G. (2021). Developmental disabilities across the world: A scientometric review from 1936 to
2020. Research in Developmental Disabilities, 117, 104031.

Jurnal ini membahas tentang disabilitas perkembangan telah banyak dipelajari dalam
beberapa tahun terakhir. Mekanisme etiologinya didasarkan pada interaksi antara faktor
genetik dan lingkungan. Faktor-faktor ini menunjukkan variabilitas di seluruh dunia. Oleh
karena itu, penting untuk memahami dari mana pengetahuan yang diperoleh mengenai
disabilitas perkembangan berasal dan apakah pengetahuan tersebut dapat digeneralisasikan ke
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Disabilitas perkembangan adalah sekelompok kondisi seumur hidup di mana fungsi
fisik, pembelajaran, atau perilaku individu terganggu pada tahap awal kehidupan dengan
berbagai tingkat gangguan (Olusanya et al., 2018; Scherer, Verhey, & Kuper, 2019).
Saat ini, yang diketahui adalah bahwa kondisi ini memiliki etiologi yang kompleks di
mana pengaruh genetik dan lingkungan berinteraksi dan menentukan kerusakan atau
perubahan dalam perkembangan sistem saraf, sehingga menyebabkan kecacatan (El-Fishawy,
2010; Kiely, Vettam , & Adesman, 2016; Landrigan, Schechter, Lipton, Fahs, & Schwartz,
2002; Mefford, Batshaw, & Hoffman, 2012; Mendola, Selevan, Gutter, & Rice, 2002; Willcutt
dkk., 2010).

A. Definisi Penyakit Laporan Kasus


Penjelasan tentang penyakit yang di derita oleh pasien dalam laporan kasus saat usia 5
bulan dengan riwayat kesehatannya sebelum adopsi termasuk Ventricular Septal Defect
(VSD) atau Cacat Septum Ventrikel yang dapat diartikan dengan kelainan jantung bawaan
yang paling umum terjadi pada anak-anak dan merupakan kelainan bawaan kedua yang paling
umum pada orang dewasa, nomor dua setelah bicuspid aortic valve. VSD berkembang ketika

2
ada kelainan perkembangan atau gangguan pembentukan septum interventrikular selama
morfogenesis jantung embriologis yang kompleks. VSD sering kali diisolasi; namun, penyakit
ini dapat terjadi bersamaan dengan kelainan jantung bawaan lainnya seperti kelainan atrial
septal defects, patent ductus arteriosus, right aortic arch, and pulmonic stenosis.
Dia juga mengalami tremor tangan bilateral saat istirahat yang diagnosis sebagai
psikogenik oleh Neurologi Anak, diagnosis psikogenik juga dapat dijelaskan gangguan gerak
yang disebabkan oleh keadaan kejiwaan yang tidak normal, bukan kelainan organik pada
sistem saraf.
Pasien juga memiliki riwayat keterlambatan perkembangan (delayed developmental)
yang diartikan dengan kecacatan perkembangan dalam arti terdapat adanya penundaan yang
signifikan pada dua atau lebih domain perkembangan, yang meliputi aspek fisik-motorik,
emosional/sosial, kognitif, bicara/bahasa, dan aktivitas sehari-hari.
Pasien memiliki riwayat Developmental disabilities (ID) yang diartikan dengan
berkurangnya kemampuan menalar dan memahami informasi yang abstrak atau kompleks,
yang sangat membatasi pembelajaran di sekolah dan membatasi kemampuan individu untuk
beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari, termasuk transisi menuju masa dewasa.
Keterbatasan intelektual atau kecacatan mental merupakan hasil interaksi antara kerentanan
individu pengidap ID dan ekosistemnya, dengan kata lain, keluarga, serta lingkungan budaya
dan kelembagaan, yang dapat menjadi penghalang atau fasilitator. Serta pasien juga
mengalami static encephalopathy adalah kondisi yang disebabkan oleh perubahan permanen
atau tidak berubah dalam fungsi dan struktur otak. Ini dapat disebabkan oleh gangguan yang
berasal dari genetik, infeksi, traumatik, atau konsumsi alkohol dalam kondisi seperti fetal
alcohol syndrome (FAS) dan fetal alcohol effects (FAE).
Ditemukan bahwa pasien menunjukkan ciri khas Cri du Chat syndrome (CdCS) adalah
penyakit genetik akibat penghapusan ukuran variabel yang terjadi pada lengan pendek
kromosom 5. Gambaran klinis utama adalah tangisan monokromatik bernada tinggi,
mikrosefali, jembatan hidung lebar, lipatan epikantus, mikrognatia, dermatoglif abnormal, dan
keterbelakangan psikomotorik dan mental yang parah. Tidak ada pengobatan khusus untuk
CdCS karena kerusakan otak akibat mutasi terjadi pada tahap awal perkembangan embrio.
Meskipun demikian, pasien mendapatkan manfaat dari program rehabilitasi, yang harus
dimulai sesegera mungkin dan melibatkan kerja sama yang erat dengan keluarga, yang harus
didukung secara psikologis. Selain itu, penting untuk memberikan informasi terkini kepada
keluarga tentang sindrom ini.
B. Faktor Mempengaruhi Persepsi Terhadap Disabilitas
3
1. Faktor Kepribadian
a) Tempramen
penelitian sebelumnya menunjukkan adanya kesinambungan dalam perkembangan ciri-
ciri kepribadian dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Dengan demikian, ciri-ciri
kepribadian yang ditunjukkan oleh anak-anak selama tahun-tahun prasekolah berkorelasi
positif dengan ciri-ciri kepribadian yang ditunjukkan pada masa dewasa muda. Yang
penting, ciri-ciri kepribadian ini sebagian besar menentukan keyakinan, sikap, dan
perilaku seseorang. Misalnya, anak-anak usia 3-4 tahun yang percaya diri, mandiri,
tangguh, ekspresif, impulsif, dan sosial menjadi orang dewasa yang berpikiran terbuka,
berorientasi pada pendekatan, dan mencari hal-hal baru. Saat dewasa (pada usia 23 tahun),
mereka mengekspresikan pandangan liberal, sambil menyambut hal-hal baru, menerima
perubahan, menolak kesenjangan sosial, menunjukkan keterbukaan yang lebih besar
terhadap kelompok luar dan kecenderungan yang lebih kecil terhadap pembelaan
pandangan dunia.

Sebaliknya, anak-anak yang penakut, ragu-ragu, menarik diri, terhambat, kaku, dan mudah
menjadi korban menjadi penakut, tidak nyaman dengan ketidakpastian, mencintai struktur
dan ketertiban, serta orang dewasa yang kaku. Saat dewasa, individu tersebut mendukung
pandangan konservatif, peraturan yang ketat, pengawasan domestik, penolakan terhadap
perubahan, pembatasan imigrasi, dan penerimaan ketidaksetaraan Dengan demikian,
temperamen awal dapat memfasilitasi pengembangan ciri-ciri kepribadian yang akan
mendorong atau menghambat pembentukan bias antarkelompok dan sikap negatif
terhadap anggota luar kelompok pada umumnya dan individu penyandang disabilitas pada
khususnya.

b) Empati dan Simpati


Empati dan simpati sangat penting untuk pengembangan perilaku prososial, kompetensi
sosial, dan penalaran moral Empati adalah kemampuan untuk merasakan dan memahami
keadaan atau kondisi emosi orang lain melalui pencocokan emosi dan pembagian
Pengaruh simpati adalah respons emosional terhadap situasi sulit yang dialami orang lain,
biasanya diungkapkan dalam bentuk perasaan kasihan, duka, atau kepedulian terhadap
orang lain. disabilitas Pengasuh adalah guru empati pertama bagi anak-anak mereka sering
kali mencerminkan emosi positif dan negatif bayi, seperti kebahagiaan, keterkejutan,
kemarahan, dan kesedihan. Sebagai responsnya, bayi mencoba meniru ekspresi wajah
4
pengasuh yang terkait dengan emosi tertentu, dan, dengan melakukan ini, secara bertahap
menginternalisasikan pengalaman emosional orang lain Misalnya, meniru senyum ibunya
mungkin akan membuat bayi merasa bahagia; dengan demikian, meniru ekspresi wajah
secara bertahap berubah menjadi berbagi keadaan emosi orang lain dan, akhirnya, menjadi
empati emosional.

2. Faktor Orang Tua


a) Pengaruh Orang Tua
Sebagai agen utama yang mengintegrasikan anak ke dalam masyarakat, orang tua
dapat secara signifikan mempengaruhi sikap anak-anak mereka terhadap kelompok luar
pada umumnya dan individu dengan disabilitas pada khususnya. Namun, penelitian
sebelumnya menunjukkan temuan yang tidak konsisten terkait keyakinan orang tua dan
anak tentang penyandang disabilitas: beberapa menemukan hubungan positif sementara
yang lain tidak menemukan hubungan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa sikap anak-
anak terhadap kelompok luar berkaitan dengan ekspresi sikap orang luar kelompok secara
eksplisit, bukan implisit, sebaliknya, penelitian lain menunjukkan efektivitas komunikasi
implisit: stereotip implisit orang tua memfasilitasi bias antarkelompok anak sedangkan
persahabatan antarkelompok orang tua mengurangi bias antarkelompok anak Diskusi
eksplisit orang tua-anak mengenai disabilitas meningkatkan pengetahuan anak mengenai
disabilitas yang, pada gilirannya, mengurangi bias antar kelompok anak.
Usia anak-anak mungkin memainkan peran penting dalam hubungan antara sikap
orang tua dan anak. Misalnya, anak-anak kecil mungkin memiliki lebih sedikit
kesempatan untuk secara eksplisit mendiskusikan bias antarkelompok dengan orang tua
mereka karena orang tua mereka tidak percaya bahwa anak-anak mereka siap untuk
melakukan percakapan semacam itu selain itu, anak-anak kecil mungkin belum cukup
paham secara sosial untuk secara efektif memproses keyakinan dan sikap implisit yang
dikomunikasikan oleh orang tua mereka dalam interaksi sehari-hari. Yang terakhir, anak-
anak yang lebih tua mungkin lebih rentan terhadap kekhawatiran akan keinginan sosial
yang akan membatasi ekspresi prasangka
dan bias antarkelompok yang eksplisit dan menjadikan sikap mereka yang
diungkapkan secara eksplisit terhadap kelompok luar lebih mirip dengan sikap orang tua
mereka yang telah berfungsi di bawah tekanan keinginan sosial yang sama. Sesuai dengan
gagasan ini, penelitian sebelumnya menemukan bahwa sikap anak-anak tampaknya lebih

5
terkait dengan sikap orang tua seiring bertambahnya usia anak, setidaknya sejak usia 5–6
tahun.

b) Gaya Pengasuhan Anak


Praktik pengasuhan anak sebagian besar mempengaruhi sifat-sifat kepribadian dan sikap
anak-anak terhadap orang lain. Pola asuh orang tua dapat diklasifikasikan menurut
dimensi daya tanggap dan kontrol, menghasilkan empat gaya orang tua: otoriter,
berwibawa, permisif, dan tidak terlibat. Orang tua yang otoriter bersifat menuntut, namun
tidak responsif; mereka mempromosikan kontrol berlebihan, kepatuhan pada otoritas,
kekakuan, dan penggunaan hukuman. Orang tua yang otoritatif menunjukkan daya
tanggap dan kontrol yang tinggi; mereka hangat namun menuntut, mereka menetapkan
aturan dan memberikan panduan, namun juga mengedepankan rasa hormat dan otonomi.
Orang tua yang permisif bersifat hangat dan tanggap, tetapi tidak menuntut; mereka tidak
menetapkan aturan, namun memberikan otonomi yang luas. Orang tua yang tidak terlibat
bersikap dingin dan tidak banyak menuntut; anak-anak mereka tidak menerima
kehangatan, tidak ada aturan, dan sangat sedikit perhatian atau bimbingan.

Penelitian mengenai gaya pengasuhan permisif dan tidak terlibat dalam kaitannya dengan
pandangan dan sikap anak membuahkan hasil yang tidak meyakinkan. Sebaliknya, gaya
pengasuhan otoriter terbukti berhubungan dengan pandangan konservatif pada anak-anak
yang sudah dewasa, sedangkan pola asuh otoritatif dikaitkan dengan pandangan liberal
Secara umum, anak-anak yang berada di bawah kendali cenderung tumbuh menjadi orang
dewasa yang berpandangan liberal, sedangkan anak-anak yang terlalu dikontrol sering kali
menjadi konservatif Pola asuh yang ketat, tidak penuh kasih sayang, dan menghukum
menghasilkan konformis sosial yang memandang dunia sebagai sesuatu yang bermusuhan
dan mengancam, mempromosikan sikap sosiopolitik otoriter dan lebih cenderung
menampilkan bias antarkelompok. Sikap sosiopolitik orang tua dapat diturunkan kepada
anak-anaknya melalui praktik orang tua yang membentuk ciri-ciri kepribadian tertentu.
Misalnya, orang tua dengan pandangan konservatif cenderung menegakkan aturan yang
ketat, disiplin, dan menghormati otoritas. Praktik-praktik orang tua ini, pada gilirannya,
lebih cenderung menghasilkan individu yang penuh rasa takut dan harga diri yang rendah,
yang mungkin bersikap protektif terhadap kelompok dalam dan diskriminatif terhadap
kelompok luar. Sebaliknya, orang tua dengan pandangan liberal cenderung penuh kasih
sayang dan empati; mereka menumbuhkan sikap penuh kasih sayang, empati, menerima,
6
dan berpikiran terbuka pada anak-anak mereka. Anak-anak yang sudah dewasa ini lebih
cenderung mengutuk bias antarkelompok dan pengucilan sosial.

3. Faktor Masyarakat
a) Paparan
Menurut “hipotesis kontak” prasangka mungkin timbul dari informasi yang tidak lengkap
atau salah tentang kelompok luar, yang mengarah pada generalisasi berlebihan dan
pengucilan sosial; namun, kontak positif dengan anggota luar kelompok dapat mengurangi
stereotip dan bias antarkelompok. Keakraban dengan kelompok luar memungkinkan
identifikasi kesamaan antara anggota kelompok dalam dan luar, meningkatkan
pemahaman orang lain, mengurangi kecemasan dan persepsi ancaman dari luar kelompok,
serta meningkatkan pengambilan perspektif dan empati Dalam hal ini, pendidikan inklusif,
yang menempatkan anak-anak dalam masa pertumbuhan dan penyandang disabilitas di
kelas yang sama, harus mengurangi bias antarkelompok dan meningkatkan sikap terhadap
anak-anak penyandang disabilitas.

Usia adalah faktor lain yang mempengaruhi respons anak-anak terhadap lingkungan
inklusif dan kelenturan sikap mereka terhadap teman-teman penyandang disabilitas.
Setelah melakukan kontak tatap muka dengan temanteman penyandang disabilitas, anak-
anak usia 7–10 tahun yang biasanya sedang berkembang melaporkan sikap yang lebih baik
dibandingkan anak usia 11–16 tahun. Demikian pula, anak usia 9 tahun menunjukkan
tingkat sikap positif dan inklusi sosial yang lebih tinggi dibandingkan anak usia 12 tahun.
Oleh karena itu, dampak paling positif dari paparan dalam konteks sekolah inklusif
ditunjukkan pada siswa sekolah dasar, dibandingkan siswa sekolah menengah pertama.
kemungkinan karena anak-anak yang lebih muda sikap anak-anak terhadap kelompok luar
tidak terlalu menstigmatisasi dan lebih mudah dibentuk. Selain itu, pengalaman awal
(tahun sekolah dasar dan menengah) di lingkungan sekolah inklusif dapat memajukan
perkembangan penalaran moral anak-anak, menjadikan mereka lebih inklusif secara sosial
selama tahun-tahun sekolah
menengah atas.

b) Perbedaan Budaya
Definisi disabilitas bergantung pada sifat dan kapasitas yang dinilai dalam konteks budaya
atau sosial tertentu. Misalnya, orang Tuareg di Sahara menganggap bintik-bintik
7
berlebihan dan bokong kecil sebagai suatu kelainan, karena ciri-ciri ini tidak disetujui
secara sosial dan mungkin melarang pernikahan dan, dengan demikian, berpartisipasi
penuh dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, di pulau Martha's Vineyard di Massachusetts,
ketulian tidak dianggap sebagai gangguan, melainkan sebagai variasi manusia yang
normal: dari generasi ke generasi, individu dengan tuli bawaan bawaan sangat umum
terjadi sehingga sebagian besar populasi pendengaran menjadi fasih dalam bahasa isyarat,
yang mana memungkinkan warga tunarungu untuk berintegrasi sepenuhnya ke dalam
masyarakat. Kedua contoh ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai yang dibentuk secara
budaya secara sewenang-wenang mendefinisikan disabilitas. Selain itu, dalam masyarakat
“sederhana”, seperti Martha's Vineyard, di mana setiap individu mempunyai ikatan
kekerabatan yang luas, kontak tatap muka yang teratur, interkoneksi yang cukup besar,
dan integrasi ke dalam kehidupan komunitas, satu karakteristik saja, misalnya disabilitas
fisik tidak bisa dianggap hal yang penting. Tidak bisa mendefinisikan identitas seseorang.

C. Faktor kecacatan perkembangan genetik pada masa dewasa


1. Paparan Faktor Eksternal
Paparan zat kimia, sinar radiasi, sinar ultraviolet (UV), dan kebiasaan merokok
dapat meningkatkan risiko terkena kelainan genetik. Paparan zat kimia dan radiasi
dapat merusak struktur DNA, sementara sinar UV dapat menyebabkan mutasi genetik
yang dapat menyebabkan kelainan genetik. Merokok dapat menyebabkan kerusakan
pada sel-sel tubuh yang dapat mempengaruhi proses replikasi DNA dan menyebabkan
mutasi genetik 1.

2. Kelainan Genetik Monogenik


Kelainan genetik monogenik terjadi akibat perubahan pada gen tertentu.
Kondisi ini bisa diturunkan dari orang tua kepada anak, atau terjadi secara acak akibat
paparan faktor tertentu. Beberapa contoh kelainan monogenik adalah cystic fibrosis,
hiperkolesterolemia familial, hemokromatosis, anemia sel sabit, sindrom Isaac,
sindrom Barber Say, abetalipoproteinemia, sindrom Usher, atau Zellweger spectrum
disorders 1.

3. Kelainan Genetik Kromosomal

8
Kelainan genetik kromosomal terjadi akibat perubahan pada kromosom, yang
dapat menyebabkan penurunan fungsi genetik. Contoh kelainan genetik kromosomal
adalah Down syndrome, Turner syndrome, dan Fragile X syndrome.

4. Kelainan Genetik Multifaktorial atau Kompleks


Kelainan genetik ini terjadi akibat kombinasi perubahan pada beberapa gen
tertentu dan faktor lain, seperti paparan zat kimia, penggunaan obat-obatan, atau
kekurangan zat gizi tertentu. Contoh kelainan genetik kompleks adalah kanker,
autisme, spina bifida, dan penyakit Alzheimer 1.

Pencegahan kelainan genetik melibatkan skrining genetik sebelum merencanakan


kehamilan, menjalani pola hidup sehat, memperbanyak konsumsi buah dan sayuran, tidak
merokok dan tidak mengonsumsi minuman beralkohol, berolahraga rutin, beristirahat
yang cukup dan mengelola stres dengan baik, membatasi konsumsi makanan yang
mengandung pengawet, dan menjalani skrining kanker secara rutin

9
BAB III

CASE REPORT

A. Terjemahan
Pasiennya adalah seorang wanita Tionghoa-Amerika berusia 18 tahun yang
sedang dievaluasi di Adoption Medicine Clinic (AMC) di Universitas Minnesota. Dia
diadopsi pada usia 3 tahun dari Tiongkok. Sebelum diadopsi, ia pernah tinggal di panti
asuhan setelah dilepaskan oleh orang tua kandungnya pada usia 5 bulan. Riwayat
kesehatannya sebelumnya termasuk cacat septum ventrikel (VSD) yang diperbaiki
sebelum adopsi dan strabismus bilateral yang telah diperbaiki selama masa kanak-
kanak. Dia mengalami tremor tangan bilateral saat istirahat yang didiagnosis sebagai
psikogenik oleh Neurologi Anak. Tere memiliki riwayat keterlambatan
perkembangan, termasuk keterlambatan motorik kasar dan bicara.
Pasien baru mulai berjalan sekitar usia 24 bulan. Dia tidak mulai berbicara
dalam frasa atau kalimat sampai usia 4 tahun. Setelah adopsi, ibu angkat pasien
berusaha untuk mendapatkan sumber daya untuk membantu mendukung
pertumbuhan dan perkembangan pasien. Dia menerima layanan terapi okupasi dari
usia 3 hingga 4 tahun, namun layanan ini dihentikan karena kurangnya perlindungan
asuransi. Sepanjang masa kanak-kanak, keluarga tersebut mengalami kesulitan
mendapatkan dukungan terapeutik yang tepat, dan pasien dipindahkan ke beberapa
distrik sekolah untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber daya. Dia mampu
mendapatkan dukungan keuangan dari layanan daerah pada usia 16 tahun.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, pasien secara umum dapat terus
mengalami kemajuan sesuai dengan tonggak perkembangannya. Kasus ini menyoroti
pentingnya memasukkan pengujian genetik dalam pemeriksaan anak dengan ID untuk
mengidentifikasi penyebab genetik yang mendasari keterlambatan ini, tanpa
memandang usia atau faktor lingkungan lainnya.
Pasien memiliki riwayat disabilitas intelektual. Dia menjalani evaluasi program
pendidikan individual sekolah (IEP) pada usia 13 tahun yang menunjukkan kecerdasan
intelektual (IQ) skala penuh sebesar 70. Dia diberikan layanan sekolah dalam kategori
Disabilitas Kognitif Perkembangan, ringan-sedang. Dia dievaluasi oleh
Neuropsikologi Pediatrik pada usia 15 tahun karena kekhawatiran akan disabilitas
intelektual dan keterlambatan perkembangan dan didiagnosis dengan disabilitas

10
intelektual ringan dan ensefalopati statis. Dia kemudian dievaluasi oleh Neurologi
Pedi-atrik, yang setuju dengan diagnosis ini. Pasien juga menjalani tes diagnostik
untuk gangguan spektrum autisme (ASD) pada usia 15 tahun, yang tidak sesuai dengan
diagnosis ASD.
Saat pasien mencapai usia remaja, ia mulai mengalami kesulitan yang
signifikan dalam pengaturan emosi dan suasana hati serta didiagnosis menderita
depresi berat. Dia dirawat di rumah sakit pada dua kesempatan terpisah karena
kekhawatiran akan kecemasan, depresi, perilaku melukai diri sendiri, dan keinginan
untuk bunuh diri. Dia dirujuk untuk psikoterapi dan tetap menjalani pengobatan
penstabil suasana hati, termasuk fuoxetine dan escitalopram. Dia menggunakan
escitalopram pada saat evaluasi. Pasien sebelumnya menjalani terapi perilaku dialektis
(DBT) dan terapi desensitisasi dan pemrosesan ulang gerakan mata (EMDR). Dia juga
pernah dirawat karena gangguan makan pada program rawat jalan. Sepanjang masa
remaja, ia terus melakukan isolasi sosial dan perilaku yang merugikan diri sendiri,
termasuk mengupil dan memotong kulit, meskipun suasana hatinya telah membaik
setelah memulai pengobatan dan terapi. Dia baru-baru ini memulai dengan pelatih
kesehatan mental sebelum evaluasinya. Ibu pasien dan ibu angkatnya terus mengalami
kesulitan keterikatan. Pasien juga melaporkan riwayat tidur buruk yang berhubungan
dengan kecemasan dan penggunaan perangkat elektronik sebelum tidur. Dia
mengonsumsi melatonin.
Pada saat kunjungannya ke AMC, meskipun terdapat penundaan global,
diagnosis disabilitas intelektual ringan, dan riwayat penyakit jantung bawaan, pasien
belum menjalani tes genetik. Keluarga telah menjalin kontak dengan keluarga
kandung pasien. Tere tidak diketahui hubungan kekerabatan antara orang tuanya. Dia
memiliki kakak laki-laki dengan kelainan bentuk tangan dan aadiknya tanpa masalah
medis yang teridentifikasi. Tidak ada saudara kandung yang dilaporkan mengalami
keterlambatan perkembangan.
Tidak ada riwayat keluarga yang menyalahgunakan narkoba atau masalah
kesehatan mental. Pasien memiliki IEP adaptif dengan dukungan terapi okupasi dan
rencana transisi ke masa dewasa setelah tahun terakhir sekolah menengah atas.
Sebagai catatan, pasien menghabiskan sebagian besar waktu kelas sembilan di rumah
karena gejala kecemasan dan mengikuti program terapi setengah hari sepanjang kelas
sepuluh.

11
Pada evaluasi klinis, pasien menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan
fisik yang sesuai. Berat badan menurut umur berada pada persentil ke-67 dan tinggi
badan terhadap umur berada pada persentil ke-37. Indeks massa tubuh (BMI) sesuai
usia berada pada persentil ke-72. Tanda-tanda vital, termasuk tekanan darah (91/70)
dan detak jantung (71), sesuai dengan usia. Dia tidak menunjukkan ciri-ciri dismorfik
apa pun. Dia memiliki bukti perilaku yang merugikan diri sendiri, termasuk bekas luka
yang telah sembuh di lengannya dan bukti adanya kulit yang terkelupas di kulit
kepalanya. Dia menjalani sayatan bedah yang telah sembuh dari perbaikan VSD-nya.
Dia tidak menunjukkan temuan fisik yang konsisten dengan sindrom alkohol janin.
Pemeriksaan kepala dan leher biasa-biasa saja. Paru-paru bersih pada auskultasi. Dia
menunjukkan murmur jantung sistolik pelan yang paling terdengar di tepi kiri atas
tulang dada. Perutnya lembut dan tidak nyeri tekan. Saraf kranial masih utuh. Refleks
tendon dalam simetris. Dia menunjukkan kekuatan dan tonus otot bilateral yang
sesuai. Nilai laboratorium termasuk hitung darah lengkap (CBC) dan kadar vitamin D
dalam batas normal. Dia memiliki bukti kekurangan zat besi tahap 2 dengan feritin
rendah dan peningkatan kapasitas pengikatan zat besi. Dia mulai mengonsumsi
suplemen zat besi. Sebagai bagian dari pemeriksaan klinisnya, pasien dievaluasi oleh
seorang konselor genetik, yang merekomendasikan untuk melakukan hibridisasi
genom komparatif (CGH) dan microarray polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) dan
pengujian untuk sindrom Fragile X, mengingat riwayat keterlambatan
perkembangannya. dan diagnosis disabilitas intelektual. Dia dirujuk ke terapi okupasi
untuk mengatasi sensitivitas sensorik dan keterlambatan motoriknya.
Microarray kromosom mengidentifikasi penghapusan 6,8 Mb pada lokasi
kromosom 5p15.31-5p15.33 (arr[GRCh37] arr[GRCh37]
5p15.33p15.31(26142_6858476)x1). Area kromosom 5 ini termasuk dalam
penghapusan yang lebih besar yang terkait dengan sindrom Cridu-chat. Meskipun
lebih kecil dibandingkan penghapusan Cri-du-chat pada umumnya, penghapusan yang
dialami pasien ini mungkin merupakan penjelasan atas riwayat keterlambatan
perkembangan mentalnya, cacat intelektual, dan perawakannya yang pendek. Hal ini
mungkin juga berkontribusi pada kelainan jantung bawaannya.
Menariknya, pada diskusi lebih lanjut dengan ibu angkat dan tinjauan rekam
medis, ditemukan bahwa pasien menunjukkan ciri khas sindrom Cri-du-chat dengan
nada tinggi selama masa bayi. Pasien ini dirujuk untuk evaluasi lebih lanjut oleh ahli
genetika medis dan didorong untuk menghubungi keluarga kandungnya untuk
12
mendiskusikan hasil pengujian genetik dan apakah diperlukan pengujian lebih lanjut
terhadap saudara kandungnya. Dia secara resmi diperiksa dan dinilai oleh ahli genetika
dan konselor genetik. Pada saat itu, pengujian genetik tambahan melalui kariotipe
dilakukan, yang mampu mengesampingkan kemungkinan bahwa penghapusan
terminal ini adalah akibat dari translokasi. Kunjungan tersebut juga penting untuk
menentukan apakah diperlukan pengujian tambahan atau manajemen layanan
kesehatan berdasarkan gen yang termasuk dalam wilayah yang dihapus, dan untuk
mendiskusikan implikasi terhadap warisan dan kemampuan melahirkan anak di masa
depan. Dia dievaluasi oleh Neurologi dan menjalani pencitraan resonansi magnetik
otak (MRI) yang tidak menunjukkan kelainan intrakranial selain dugaan adanya
kavernoma insidental di tala-mus kanan yang tidak berkorelasi dengan gejalanya.

B. Ringkasan
Pasien adalah seorang wanita Tionghoa-Amerika berusia 18 tahun yang
diadopsi secara internasional pada usia tiga tahun.
 Riwayat kesehatannya sebelumnya termasuk;
- Cacat septum ventrikel (VSD) yang telah di perbaiki sebelum diadopsi dan strabis-
mus bilateral pada masa kanak-kanak.
- Tremor tangan bilateral, didiagnosis sebagai psikogenik oleh Neurologi Anak
- Keterlambatan perkembangan (termasuk keterlambatan motorik kasar dan bicara)
- Didiagnosis disabilitas intelektual dan dan ensefalopati ststis (Kerusakan otak
yang tidak berubah atau permanen, biasanya disebabkan oleh paparan etanol
sebelum melahirkan)
- Didiagnosis menderita depresi berat, saat remaja ia mulai mengalami kesulitan
dalam pengaturan emosi dan susasana hati.
- Gangguan makan
- Riwayat tidur yang buruk, berhubungan dengan kecemasan dan penggunaan alat
elektronik sebelum tidur.
- Kekurangan zat besi tahap 2 dengan fertin rendah dan peningkatan kapasitas
pengikatan zat besi
- Mengidap sindrom Cri-cu-cat saat bayi.
- Cacat septum ventrikel adalah salah satu jenis kelainan jantung bawaan. Bawaan
artinya sudah ada sejak lahir. Pada bayi tanpa kelainan jantung bawaan, jantung
bagian kanan memompa darah miskin oksigen dari jantung ke paru-paru, dan
13
jantung bagian kiri memompa darah kaya oksigen ke seluruh tubuh. Pada bayi
dengan kelainan septum ventrikel, darah sering mengalir dari ventrikel kiri melalui
kelainan septum ventrikel ke ventrikel kanan dan masuk ke paru-paru. Darah
ekstra yang dipompa ke paru-paru memaksa jantung dan paru-paru bekerja lebih
keras.

 Penanganan
- Karena pasien mengalami keterlambatan perkembangan termasuk keterlambatan
motorik kasar dan berbicara, ibu angkatnya berusaha untuk mendapatkan sumber
daya untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Dia menerima
layanan terapi okupasi dari usia 3 hingga 4 tahun, namun layanan ini dihentikan
karena kurangnya perlindungan asuransi.
- Dia menjalani evaluasi program pendidikan individual sekolah (IEP) pada usia 13
tahun yang menunjukkan kecerdasan intelektual (IQ) skala penuh sebesar 70. Dia
diberikan layanan sekolah dalam kategori Disabilitas Kognitif Perkembangan,
ringan-sedang. Dia dievaluasi oleh Neuropsikologi Pediatrik pada usia 15 tahun
karena kekhawatiran akan disabilitas intelektual dan keterlambatan perkembangan
dan didiagnosis dengan disabilitas intelektual ringan dan ensefalopati statis.
- Terhadap diagnosa depresi berat yang dalami, ia mendapatkan penanganan dengan
dirujuk untuk psikoterapi dan tetap menjalani pengobatan penstabil suasana hati,
termasuk fuoxetine dan escitalopram.
- Sepanjang masa remaja, ia terus melakukan isolasi sosial dan perilaku yang
merugikan diri sendiri, termasuk mengupil dan memotong kulit, meskipun suasana
hatinya telah membaik setelah memulai pengobatan dan terapi.
- Sebagai bagian dari pemeriksaan klinisnya, pasien dievaluasi oleh seorang
konselor genetik, yang merekomendasikan untuk melakukan hibridisasi genom
komparatif (CGH) dan microarray polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) dan
pengujian untuk sindrom Fragile X, mengingat riwayat keterlambatan
perkembangannya. dan diagnosis disabilitas intelektual. Dia dirujuk ke terapi
okupasi untuk mengatasi sensitivitas sensorik dan keterlambatan motoriknya.
- Dia dievaluasi oleh Neurologi dan menjalani pencitraan resonansi magnetik otak
(MRI) yang tidak menunjukkan kelainan intrakranial selain dugaan adanya
kavernoma insidental di tala-mus kanan yang tidak berkorelasi dengan gejalanya.

14
- Perawatan untuk cacat septum ventrikel bergantung pada ukuran lubang dan
masalah yang mungkin ditimbulkannya. Banyak cacat septum ventrikel berukuran
kecil dan menutup dengan sendirinya; Jika lubangnya kecil dan tidak
menimbulkan gejala apa pun, dokter akan memeriksa bayi secara rutin untuk
memastikan tidak ada tanda-tanda gagal jantung dan lubang tersebut akan menutup
dengan sendirinya. Jika lubang tidak menutup dengan sendirinya atau ukurannya
besar, tindakan lebih lanjut mungkin perlu diambil.

Dari faktor-faktor kecacatan perkembangan genetik yang ada, untuk kasus


yang dialami oleh pasien ini mengalami kelainan genetik multifaktorial atau kompleks.
Kelainan genetik ini terjadi akibat kombinasi perubahan pada beberapa gen tertentu
dan faktor lain, seperti paparan zat kimia, penggunaan obat-obatan, atau kekurangan
zat gizi tertentu.
Selain itu terdapat kelainan genetik kromosomal yang terjadi akibat perubahan
pada kromosom, yang dapat menyebabkan penurunan fungsi genetik. Microarray
kromosom mengidentifikasi penghapusan 6,8 Mb pada lokasi kromosom 5p15.31-
5p15.33 (arr[GRCh37] arr[GRCh37] 5p15.33p15.31(26142_6858476)x1). Area
kromosom 5 ini termasuk dalam penghapusan yang lebih besar yang terkait dengan
sindrom Cri-du-chat. Meskipun lebih kecil dibandingkan penghapusan Cri-du-chat
pada umumnya, penghapusan yang dialami pasien ini mungkin merupakan penjelasan
atas riwayat keterlambatan perkembangan mentalnya, cacat intelektual, dan
perawakannya yang pendek. Hal ini mungkin juga berkontribusi pada kelainan jantung
bawaannya. Pada diskusi lebih lanjut dengan ibu angkat dan tinjauan rekam medis,
ditemukan bahwa pasien menunjukkan ciri khas sindrom Cri-du-chat dengan nada
tinggi selama masa bayi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Carollo, A., Bonassi, A., Lim, M., Gabrieli, G., Setoh, P., Dimitriou, D., ... & Esposito, G.
(2021). Developmental disabilities across the world: A scientometric review from
1936 to 2020. Research in Developmental Disabilities, 117, 104031.
Cerruti Mainardi, Paola. "Cri du Chat syndrome." Orphanet journal of rare diseases 1
(2006): 1-9.
Dakkak, Wael, and Tony I. Oliver. "Ventricular septal defect." (2017).
Des Portes, Vincent. "Intellectual disability." Handbook of Clinical Neurology. Vol. 174.
Elsevier, 2020. 113-126.
Peckham, Elizabeth L., and Mark Hallett. "Psychogenic movement disorders." Neurologic
clinics 27.3 (2009): 801-819.
Wisnu, Kumaralalitya. "Kemampuan Morfosintaksis Anak Disabilitas Intelektual: Studi
Kasus." Madah: Jurnal Bahasa dan Sastra 14.1 (2023): 24-23.

16

Anda mungkin juga menyukai