Anda di halaman 1dari 98

i

EFEKTIVITAS KOMBINASI TERAPI RISPERIDON DAN


PSIKOTERAPI KELOMPOK TERHADAP PERBAIKAN
GEJALA KLINIS SKIZOFRENIA

The Effectiveness Of Combination Of Risperidone Therapy


And Group Psychotherapy On The Improvement Of
Schizophrenic Patients

NUR EDDY

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


PROGRAM STUDI BIOMEDIK SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii

EFEKTIVITAS KOMBINASI TERAPI RISPERIDON DAN


PSIKOTERAPI KELOMPOK TERHADAP PERBAIKAN
GEJALA KLINIS SKIZOFRENIA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Biomedik

Disusun dan Diajukan Oleh

NUR EDDY

Kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


PROGRAM STUDI BIOMEDIK SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii
iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Nur Eddy

No. Stambuk : P1507210026

Program Studi : Biomedik

Konsentrasi : Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari

terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini

hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, 17 Oktober 2017

Yang Menyatakan

Nur Eddy
v

PRAKATA

Segala puji bagi TUHAN Yang Maha Esa atas Rahmat dan

pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan

judul ―Efektivitas Kombinasi Terapi Risperidon Dan Psikoterapi

Kelompok Terhadap Perbaikan Gejala Klinis Skizofrenia‖. Penyusunan

tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,

olehnya itu dengan rasa hormat yang mendalam penulis menyampaikan

terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Hasanuddin, Direktur Program Pascasarjana

dan Dekan Fakultas Kedokteran beserta jajarannya serta Ketua

Program Studi Biomedik yang telah berkenan menerima penulis

sebagai mahasiswa dan atas pelayanan serta berbagai bantuan

yang telah diberikan selama penulis mengikuti Program

Pascasarjana.

2. Bapak Dr. dr. H.M. Faisal Idrus, Sp.KJ(K) sebagai Ketua Komisi

Penasehat, Ibu Prof. dr. A. Nur Aeni MA. Fattah, Sp.KJ(K) dan

Bapak Prof. Dr. dr. Satriono, MSc, Sp.A(K), Sp.GK(K) sebagai

Anggota Komisi Penasehat, yang telah meluangkan waktu dan

pikiran tanpa kenal lelah untuk memberikan bimbingan kepada

penulis dalam proses penyusunan tesis ini.


vi

3. Bapak Dr. dr. Sonny T. Lisal, Sp.KJ dan Bapak dr. Theodorus

Singara, Sp.KJ(K) sebagai dosen penguji yang telah memberikan

saran dan bimbingan demi penyempurnaan tesis ini.

4. Terima kasih banyak kepada Ketua Bagian Psikiatri FK-UNHAS

Bapak Prof. dr. A. Jayalangkara Tanra, Ph.D, Sp.KJ(K), Ketua

Program Studi Bapak Dr. dr. Sonny T. Lisal, Sp.KJ, Sekretaris

Program Studi Ibu Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ, Penasehat

Akademik Bapak dr. Theodorus Singara, Sp.KJ(K) yang telah sabar

membimbing penulis, banyak membantu serta memberikan

dukungan moril selama mengikuti pendidikan.

5. Seluruh Supervisor, Staf Dosen serta Staf Administrasi Bagian

Psikiatri FK-UNHAS yang telah ikhlas memberikan bimbingan,

masukan dan membagi ilmunya kepada penulis selama pendidikan.

6. Teman seangkatan penulis di Bagian Psikiatri serta teman-teman

residen Bagian Psikiatri atas bantuan, kerjasama, perhatian dan

dukungan semangat yang selalu diberikan kepada penulis selama

ini.

7. Kedua orang tua saya yang tercinta, Ayahanda Nurdin Manggu dan

Ibunda Nurhayati A. Gawi. Istri tercinta Tri Rahayu R dan anak-

anakku Muhammad Aunnurrafi Kafrawy dan Muhammad Athallah

Annur yang telah memberikan kasih sayang, dukungan dan doa

yang tak pernah putus sehingga penulis dapat melewati pendidikan

ini dengan baik.


vii

8. Khusus kepada para responden penelitian, terima kasih atas

kesediaannya mengikuti penelitian ini.

9. Terakhir kepada berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan

satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam berbagai hal,

penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

sebesar-besarnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih

jauh dari sempurna karena itu penulis mohon maaf bila terdapat hal-hal

yang tidak berkenan dalam penulisan ini. Hanya Tuhan jualah tempat

kami berlindung dan berserah diri memohon pertolongan, Aamiin.

Makassar, 17 Oktober 2017

NUR EDDY
viii

ABSTRAK

NUR EDDY. Efektivitas Kombinasi Terapi Risperidon dan Psikoterapi


Kelompok terhadap Perbaikan Gejala Klinis Skizofrenia (dibimbing oleh
Muhammad Faisal Idrus dan Nur Aeni MA Fattah).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas kombinasi


terapi antipsikotik standar risperidon dan psikoterapi kelompok terhadap
perbaikan gejala klinis skizofrenia.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental terhadap pasien


skizofrenia rawat inap di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan pada bulan Juni –Juli 2017. Sampel penelitian sebanyak 30
pasien yang di bagi menjadi dua kelompok yaitu, kelompok kontrol
sebanyak 15 pasien dan kelompok perlakuan sebanyak 15 pasien. Data di
analisis menggunakan uji statistik T-test dan Paired T-test.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan gejala klinis


berdasarkan penurunan nilai PANSS pada kelompok kontrol yang
diberikan terapi antipsikotik standar risperidon dengan dosis 2 mg per 12
jam oral selama 2 minggu dan kelompok perlakuan yang diberikan terapi
antipsikotik standar risperidon dengan dosis 2 mg per 12 jam oral
dikombinasikan dengan pemberian psikoterapi kelompok selama 2 minggu
(6 sesi) tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p =
0,134. Efektivitas kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi kelompok
baru tampak efektif setelah terapi selama 4 minggu (12 sesi) yang terlihat
dengan perbaikan gejala klinis yang lebih besar dibanding kelompok
kontrol dengan nilai p = 0,022.

Kata kunci : skizofrenia, risperidon, psikoterapi kelompok


ix

ABSTRACT

EDDY, N. Effectiveness of Risperidone Combine with Group


Psychotherapy for Schizophrenic Patients (supervised by Idrus FM and
Fattah AN)

This research aimed to know the effectiveness of risperidone


antipsychotic drug combine with group psychotherapy in reducing clinical
symptoms amongs schizophrenic patients.

This experimental study was conducted for inpateint schizophrenic


disorder patients at psychiatric hospital of South Sulawesi Indonesia
during June through July, 2017. The total samples is 30 patients which is
divided into two groups, group of patients who has treated with risperidone
2 mg twice per day orally (n=15) as a control group and group of patients
who has treated with risperidone 2 mg twice per day orally combined with
12 sessions of group psychotherapy (n=15). We used a PANSS scores to
measure the comparison of the clinical improvement between this two
groups. The data was analyzed with Paired T-test and T-test.

The results shows that clinical improvement between this two


groups after 2 weeks therapy was not significant (p = 0.134). the
effectiveness of risperidone combined with group psychotherapy compare
with control groups was significant after 4 weeks therapy with risperidone
and after 12 sessions of group psychotherapy (p = 0.022).

Keywords : schizophrenia, risperidone, group psychotherapy


x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGAJUAN TESIS ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iv

PRAKATA v

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

DAFTAR SINGKATAN xvi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan Penelitian 5

D. Hipotesis Penelitian 6

E. Manfaat Penelitian 7
xi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia 8

B. Risperidone 14

C. Psikoterapi Kelompok 17

D. Psikoterapi dan Perubahan pada Otak 23

E. Instrumen PANSS 32

BAB III. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori 35

B. Kerangka Konsep 36

BAB IV. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian 37

B. Tempat dan Waktu Penelitian 37

C. Populasi Penelitian 37

D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel 37

E. Perkiraan Besar Sampel 38

F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 38

G. Izin Penelitian dan Kelaikan Etik 39

H. Cara Kerja 39

I. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel 41

J. Definisi Operasional 42

K. Kriteria Obyektif 43

L. Pengolahan dan Analisis Data 43


xii

M. Alur Penelitian 45

BAB V. HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian 46

B. Pembahasan 61

C. Keterbatasan Penelitian 65

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan 67

B. Saran 68

DAFTAR PUSTAKA 69

LAMPIRAN 73
xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Distribusi karakteristik sampel penelitian 47

2 Distribusi karakteristik klinis sampel penelitian 49

3 Penurunan nilai PANSS kelompok kontrol 51

4 Penurunan nilai PANSS berdasarkan item penilaian

kelompok kontrol 52

5 Penurunan nilai PANSS kelompok perlakuan 53

6 Penurunan nilai PANSS berdasarkan item penilaian

kelompok perlakuan 54

7 Perbandingan penurunan nilai PANSS antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol 55

8 Perbandingan penurunan nilai PANSS berdasarkan item

penilaian antara kelompok perlakuan dan kontrol 57

9 Perubahan kriteria sakit berdasarkan penurunan nilai

PANSS kelompok perlakuan dan kontrol 59

10 Perbandingan selisih penurunan nilai PANSS antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol 60


xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Grafik perbandingan penurunan nilai PANSS antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol 56

2 Grafik selisih perubahan nilai PANSS kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol 61


xv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Skala PANSS 73

2 Rekomendasi persetujuan etik 79

3 Lampiran formulir persetujuan setelah penjelasan

subyek > 18 tahun 80

4 Lampiran data penelitian 82


xvi

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Keterangan

5HT2 5-Hydroxitryptamine Reseptor -2

5HT2A 5-Hydroxitryptamine Reseptor-2A

CBT Cognitive Behahioral Therapy

D2 Dopamine Reseptor -2

DBT Dialectic Behavioral Therapy

ECA Epidemiological Catchment Area

EPS Extra Pyramidal Syndrome

GABA Gamma-Aminobutiric Acid

H1 Histamine Reseptor -1

Inhibitor

mg milligram

MRI Magnetic Resonance Imaging

NMDA N-Methyl-D-Aspartate

PANSS Positive and Negative Symptom


Scale

PET Positron Emission Tomography

PPDGJ III Pedoman Penggolongan dan


Diagnosis Gangguan Jiwa III

SDA Serotonine-Dopamine Antagonist

SPECT Single Photon Emission CT

SSRI Selective Serotonine Reuptake


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis yang sangat bervariasi,

dan sangat menganggu, psikopatologi yang melibatkan kognisi, emosi,

persepsi, dan perilaku. Gambaran gangguan ini berbeda-beda pada

setiap pasien serta efek dari gangguan ini selalu berat dan

berlangsung kronis. Gangguan ini biasanya muncul dalam usia 25

tahun, berlangsung seumur hidup, dan ditemukan pada semua strata

sosial. Keduanya, baik penderita dan keluarganya akan mengalami

penderitaan dan pengasingan sosial oleh karena adanya stigma yang

buruk dan ketidakpedulian yang luas terhadap gangguan ini dalam

masyarakat (Kaplan, 2015).

Skizofrenia adalah gangguan dengan gejala-gejala yang

heterogen yang terdiri dari gejala positif, negatif, kognitif , dan mood.

Berat ringannya ke empat kelompok gejala tersebut relatif berbeda

pada setiap pasien dan untuk satu pasien berbeda pula sepanjang

perjalanan gangguannya. Selain dianggap berbeda mekanisme

timbulnya dan efeknya terhadap performa fungsi dan kualitas hidup

pasien, ke empat kelompok gejala tersebut juga memperlihatkan pola


2

respon terhadap pengobatan yang berbeda-beda pula (Tandon &

Jibson, 2002).

Skizofrenia termasuk dalam 10 besar penyakit yang

menyebabkan disabilitas pada orang dewasa muda dan produktif

(Jaeger et al., 2003; Wu et al., 2005). Pasien skizofrenia akan

mengalami berbagai disabilitas fungsional, termasuk hilangnya

kemampuan untuk hidup mandiri, fungsi sosial, serta kemampuan dan

kesempatan untuk menempuh pendidikan, mendapatkan pekerjaan

serta berkarya (Sharma & Antonova, 2003). Hampir semua pasien

skizofrenia membutuhkan lembaga sosial, keluarga, dan lingkungan

untuk membantu dan mendukungnya dalam mencapai fungsi-fungsi

tersebut, dan hanya sekitar 10 – 20 % saja dari mereka yang mampu

untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan (Anthony &

Blanch, 1987; Mueser et al., 2004). Di Amerika Serikat, total biaya

yang dikeluarkan untuk menangani gangguan ini ditambah dengan

timbulnya kerugian akibat skizofrenia diperkirakan sekitar 60 juta dollar

setiap tahun. Lebih dari ¾ dari jumlah tersebut akibat hilangnya

produktivitas (Jaeger et al., 2003; Soutre, 1997).

Masih banyak yang berpendapat bahwa psikoterapi tidak

mempunyai peranan yang penting dalam penatalaksanaan

skizofrenia, ternyata banyak sekali penelitian-penelitian yang

memperlihatkan hasil yang sebaliknya. Skizofrenia, sebagaimana

halnya semua gangguan mental lainnya, bukanlah gangguan yang


3

murni disebabkan oleh faktor genetik atau gangguan otak semata.

Oleh karena itu, penatalaksanaan skizofrenia dengan menggunakan

pendekatan psikoterapi yang tepat menjadi sangat penting. Pasien

skizofrenia, utamanya dengan gejala negatif yang menonjol, seringkali

mengalami kesulitan dalam melakukan keterampilan dan kebiasaan

yang sebelumnya bisa dilakukannya seperti mengurus diri sendiri dan

juga berkomunikasi dengan orang lain di lingkungan sekitarnya

(Grohol, 2016).

Terapi kelompok adalah salah satu metode psikoterapi yang sangat

berguna dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia. Dari 43 penelitian

controled-outcome yang di telaah kembali hasilnya, memperlihatkan

efektivitas modalitas terapi ini sebesar 80% pada pasien rawat jalan,

dan sebesar 67% pada pasien rawat inap. Terapi kelompok yang

diberikan pada pasien rawat inap menunjukkan adanya

kecenderungan bahwa metode terapi kelompok berbasiskan interaksi

yang disertai dengan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan lebih

efektif daripada berbasiskan tilikan (Kanas, 1986; Grohol, 2016).

Terapi kelompok yang dikombinasikan dengan pemberian

antipsikotik di anggap dapat memberikan hasil yang lebih baik di

banding hanya dengan terapi antipsikotik saja. Hasil yang positif akan

sangat tampak jika terapi kelompok difokuskan ke tujuan untuk

meningkatkan kemampuan pasien dalam merencanakan bagaimana

menghadapi situasi kehidupan saat ini setelah mengalami skizofrenia,


4

masalah-masalah yang dihadapi baik dari diri sendiri maupun dari

lingkungan, dan bagaimana melakukan hubungan sosial dengan

lingkungan sekitarnya, membicarakan tentang efek terapi obat yang

diberikan dan efek sampingnya, dan juga jika disertai dengan kegiatan-

kegiatan kerja dan kegiatan yang sifatnya rekreasional. Terapi

kelompok yang suportif ini akan sangat membantu dalam

meminimalisir isolasi sosial, meningkatkan motivasi, menghilangkan

sikap apatis dan pesimistik, dan meningkatkan penerimaan terhadap

kenyataan dan penilaian realitas pasien (Kanas, 1986 ; Grohol, 2016).

Oleh karena banyaknya masalah yang timbul sehubungan

dengan gejala-gejala gangguan skizofrenia yang diikuti dengan

memburuknya performa fungsional pasien skizofrenia, maka

dipandang perlu untuk dilakukan penelitian tentang efektivitas terapi

antipsikotik risperidon yang dikombinasikan dengan pemberian

psikoterapi kelompok dalam memperbaiki gejala klinis skizofrenia

dibandingkan dengan terapi risperidon saja.

Di Makassar sendiri khususnya dan di Sulawesi Selatan

umumnya belum pernah dilakukan penelitian untuk menilai dan melihat

efektivitas kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi kelompok

terhadap perbaikan gejala klinis skizofrenia.


5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

Apakah kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi kelompok

efektif dalam memperbaiki gejala klinis skizofrenia ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menilai efektivitas kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi

kelompok terhadap perbaikan gejala klinis skizofrenia yang di

ukur dengan menggunakan skala PANSS (Positive And

Negative Symptom Scale).

2. Tujuan Khusus

1. Menilai skala PANSS pasien skizofrenia yang mendapatkan

terapi risperidon selama 2 minggu.

2. Menilai skala PANSS pasien skizofrenia yang mendapatkan

kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi kelompok setelah

perlakuan selama 2 minggu.

3. Membandingkan nilai skala PANSS pasien skizofrenia yang

mendapatkan terapi risperidon dengan yang mendapatkan

kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi kelompok setelah

perlakuan selama 2 minggu.


6

4. Menilai skala PANSS pasien skizofrenia yang mendapatkan

terapi risperidon selama 4 minggu.

5. Menilai skala PANSS pasien skizofrenia yang mendapatkan

kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi kelompok setelah

perlakuan selama 4 minggu.

6. Membandingkan nilai skala PANSS pasien skizofrenia yang

mendapatkan terapi risperidon dengan yang mendapatkan

kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi kelompok setelah

perlakuan selama 4 minggu.

D. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat perbaikan gejala klinis skizofrenia pada pasien yang

diberikan terapi risperidon.

2. Terdapat perbaikan gejala klinis skizofrenia pada pasien yang

diberikan kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi kelompok.

3. Perbaikan gejala klinis skizofrenia pada pasien yang diberikan

kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi kelompok lebih

besar dibanding pasien yang hanya diberikan terapi risperidon.


7

E. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah tentang efektivitas kombinasi

terapi risperidon dan psikoterapi kelompok dalam memperbaiki

gejala klinis skizofrenia.

2. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam

penatalaksanaan pasien skizofrenia, khususnya untuk

meningkatkan performa fungsi dan kualitas hidup pasien

skizofrenia.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian-

penelitian skizofrenia selanjutnya dalam upaya meningkatkan

kualitas penatalaksanaan dan kualitas hidup pasien skizofrenia.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia
1. Epidemiologi

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang

umumnya berlangsung kronik dan berulang sehingga sering

memerlukan intervensi klinis secara terus-menerus. Menurut laporan

penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA), prevalensi

menderita skizofrenia seumur hidup di Amerika adalah 0,6 - 1,9 % dari

populasi total (Kaplan, 2015).

Frekuensi di Indonesia sendiri adalah 1-3 setiap 1000 orang,

dan di negara maju terdapat 1 orang skizofrenia pada setiap 100.000

orang. Diagnosis skizofrenia lebih banyak ditemukan di kalangan

dengan status sosioekonomi yang rendah (Ibrahim, 2005).

Skizofrenia ditemukan di semua kelompok masyarakat dan

wilayah geografis. Meskipun data yang tepat sulit diperoleh, namun

angka prevalensi dan insidensi di seluruh dunia secara kasar relatif

sama. Insidensi skizofrenia pada pria lebih besar dibandingkan wanita.

Ditemukan insiden skizofrenia yang lebih besar di daerah urban

dibandingkan di daerah rural (Buchanan & Carpenter, 2005).


9

2. Etiologi

Meskipun telah banyak dilakukan penelitian untuk

mengungkapkan psikopatogenesis gangguan skizofrenia, tetapi

sampai kini belum didapatkan hasil yang kiranya dapat diterima oleh

semua pihak. Sampai saat ini masih diyakini bahwa skizofrenia

merupakan suatu sindroma (fenomena kompleks) karena adanya

interaksi antara kondisi biologik, kondisi psikologik, dan kondisi sosial

(Maramis, 1998; Kaplan, 2015).

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam

menganalisis penyebab skizofrenia, antara lain :

1. Faktor Genetik

Faktor keturunan berperan dalam timbulnya skizofrenia. Hal

ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-

keluarga penderita skizofrenia terutama pada anak-anak

kembar monozigot. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah

0,9 – 1,8%, bagi saudara kandung 7 – 15%, bagi anak

dengan salah satu orangtua menderita skizofrenia sebesar

40 – 68%, bagi kembar heterozigot sebesar 2 – 15%, bagi

kembar monozigot sebesar 61 – 86%. Penelitian-penelitian

genetika terbaru telah memberikan bukti yang kuat bahwa

terdapat setidaknya sembilan area kromosom yang

berhubungan dengan gangguan skizofrenia yaitu : 1q, 5q,

6p, 6q, 8p, 10p, 13q, 15q, dan 22q. Penelitian selanjutnya
10

terhadap area-area kromosom ini memperlihatkan beberapa

gen yang berhubungan kuat dengan skizofrenia antara lain

yaitu α-7 nicotinic receptor, DISC 1, GRM 3, SCZD1 181510

pada kromosom 5q23-q35, COMT 116970 pada kromosom

22q11,21 yang berfungsi dalam encoding dopamin, NRG 1,

RGS 4, dan G 72. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa

mutasi yang terjadi pada gen-gen dystrobrevin (DTNBP1)

dan neureglin 1 berhubugan dengan gambaran atau gejala

negatif dari skizofrenia. Hal ini dapat menjelaskan mengapa

ada gradasi tingkat keparahan dari ringan sampai berat pada

orang-orang yang mengalami gangguan ini, dan mengapa

resiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan

semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki

riwayat mengalami gangguan ini (Maramis, 1998; Kaplan,

2015; Omim 2016).

2. Faktor Biokimia

Hipotesis yang paling sering dikemukakan ialah skizofrenia

timbul akibat hiperaktivitas neurotransmiter dopamin di

bagian-bagian tertentu dari otak sehingga terjadi pelepasan

dopamin yang berlebihan terutama pada jaras mesolimbik

dan jaras mesokortikal, atau adanya hipersensitivitas

reseptor-reseptor dopamin atau keduanya. Pelepasan

dopamin yang berlebihan sangat berhubungan dengan


11

beratnya gejala-gejala positif dan memburuknya gejala-

gejala negatif dari skizofrenia. Penelitian-penelitian dengan

menggunakan Positron Emission Tomography (PET-Scan)

terhadap reseptor-reseptor dopamin memperlihatkan adanya

peningkatan jumlah reseptor-reseptor D2 di nucleus

caudatus pasien skizofrenia yang belum mendapatkan obat

serta dilaporkan pula adanya peningkatan konsentrasi

dopamin di amygdala, penurunan densitas dopamin

transporter, dan peningkatan jumlah reseptor dopamin tipe 4

di cortex entorhinal. Hipotesis terbaru mengemukakan

tentang berlebihannya neurotransmiter serotonin dalam

timbulnya gejala positif dan gejala negatif dari skizofrenia.

Aktivitas antagonis yang kuat terhadap serotonin yang

diperlihatkan oleh obat-obat antipsikotik atipikal disertai

dengan efeknya yang sangat efektif dalam mengatasi gejala

positif dari skizofrenia dapat menjelaskan hipotesis ini.

Selain kedua neurotransmiter tersebut, juga dikemukakan

peranan neurotrasmiter lain seperti norepinephrine,

glutamat, dan juga GABA (gamma aminobutyric acid).

Penghambatan terhadap GABA memiliki implikasi terhadap

patofisiologi timbulnya skizofrenia berdasarkan penemuan

hilangnya neuron-neuron GABAergik pada area

hippocampus pasien skizofrenia. GABA berperan dalam


12

mengatur aktivitas neurotransmiter dopamin, sehingga

hilangnya kemampuan penghambatan neuron-neuron

GABAergik akan memicu hiperaktivitas dari neuron-neuron

dopaminergik (Kaplan, 2015).

3. Faktor Psikososial

Faktor psikososial meliputi adanya kerentanan yang

herediter terhadap stres yang semakin lama semakin kuat,

adanya peristiwa trauma psikis, adanya pola hubungan

orangtua-anak yang patogenik serta interaksi yang patogenik

dalam keluarga dan lingkungan sosial (Ibrahim, 2005).

3. Gambaran dan Perjalanan Klinis

Sebagaimana masalah psikopatogenesis yang sampai

sekarang masih belum jelas, maka kriteria klinis dari gangguan

skizofrenia pun hingga kini masih menyisakan beberapa masalah.

Pertama, tidak ada tanda dan gejala yang patognomonik untuk

skizofrenia, artinya setiap tanda dan gejala yang ditemukan pada

skizofrenia dapat ditemukan pada gangguan psikiatrik lain. Kedua,

tanda dan gejala skizofrenia dapat berubah dari waktu ke waktu,

artinya tanda dan gejala yang ditemukan saat ini dapat saja

menghilang di waktu yang lain atau sebaliknya, yang sekarang

tidak ditemukan mungkin akan muncul di waktu yang lain. Ketiga,

gangguan pikiran pasien harus ditegakkan setelah


13

mempertimbangkan tingkat pendidikan, kemampuan intelelektual,

dan faktor kultural, artinya klinisi tidak boleh menetapkan adanya

gangguan pemahaman konsep yang abstrak pada pasien bila

ternyata kultur yang berlaku di lingkungan pasien memang

mempercayai hal itu (Maramis, 1998).

Gangguan skizofrenia berlangsung secara perlahan-

lahan, meliputi beberapa fase, mulai dari fase prodromal, fase aktif,

dan keadaan residual.

1. Fase Prodromal

Fase prodromal adalah periode terjadinya perubahan

perilaku sebelum gejala yang nyata muncul. Tanda dan gejala fase

prodromal biasa berupa kecemasan, gelisah, merasa di teror, atau

depresi. Dari penelitian retrospektif terhadap pasien skizofrenia

didapatkan bahwa sebagian dari mereka mengeluhkan keluhan

somatik seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan,

dan masalah pencernaan. Perubahan minat, kebiasaan dan

perilaku, dan pasien mengembangkan gagasan abstrak, filsafat,

dan keagamaan. Gejala prodromal ini dapat berlangsung beberapa

bulan hingga tahun sebelum diagnosis pasti skizofrenia ditegakkan

(Kirkpatrick & Tek, 2005).

2. Fase Aktif

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang

nyata secara klinis, yaitu kekacauan alam pikiran, perasaan, dan


14

perilaku. Penilaian terhadap realitas mulai terganggu dan

pemahaman terhadap dirinya atau tilikannya buruk atau bahkan

tidak ada (Kirkpatrick & Tek, 2005).

3. Fase Residual

Fase residual atau stabil muncul setelah fase akut atau

setelah terapi dimulai. Ditandai dengan menghilangnya beberapa

gejala klinis skizofrenia sehingga tinggal hanya satu atau dua

gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, misalnya

penarikan diri secara sosial, hendaya fungsi peran, perilaku aneh

(bicara dan atau tertawa sendiri), hendaya dalam perawatan diri,

penumpulan afek, serta hendaya dalam fungsi peran sosial (Jones

& Buckleyd, 2005).

B. Risperidon

Risperidon adalah obat antipsikotik atipikal turunan

benzisoxazole yang bekerja memblok reseptor dopamin D2 dan

reseptor 5HT2. Obat ini juga bekerja memblokade adrenoseptor

alfa 1 dan alfa 2, resptor H1, dan tidak memberikan efek terhadap

beta adrenoseptor, muskarinik kolinoseptor, atau reseptor

peptidergik (Jayaram et al., 2010). Risperidon akan mengalami

metabolisme di hati menjadi 9-hydroxyrisperidone, suatu metabolit

dengan aktivitas antipsikotik yang sama kuatnya. Kadar puncak

risperidon dalam plasma darah tercapai dalam waktu 1 jam,


15

sedangkan metabolitnya dalam waktu 3 jam. Waktu paruh

gabungan dari risperidon dan metabolitnya rata-rata 20 jam,

sehingga cukup efektif jika diberikan dalam dosis tunggal sehari.

Dosis optimal untuk pasien skizofrenia berkisar antara 2 – 6 mg per

hari dalam dosis terbagi. Meskipun potensi aksinya terhadap

reseptor D2 sebanding dengan haloperidol, tapi obat ini sangat

jarang menimbulkan EPS dibanding haloperidol. Interaksi obat ini

ialah : adanya hambatan terhadap CYP 2D6 oleh obat seperti

paroxetine dan fluoxetine dapat menghambat terbentuknya

metabolit aktif dari risperidon. Kombinasi penggunaan risperidon

dan SSRI akan menyebabkan peningkatan prolaktin yang signifikan

sehingga menimbulkan galaktore dan pembesaran mamma.

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa risperidon sangat

efektif mengatasi gejala positif skizofrenia maupun gejala manik

pada bipolar, dan juga memperbaiki gejala negatif skizofrenia lebih

baik dibandingkan dengan antipsikotik konvensional (Arana, 2000;

Kaplan & Sadock’s, 2006; Stahl, 2008).

Risperidon sering di sebut juga sebagai Serotonin-Dopamin

Antagonis (SDA). Mekanisme kerjanya melalui interaksi antara

serotonin dan dopamin pada ke empat jaras dopamin di otak

dengan cara memblokade secara bersamaan reseptor dopamin D2

dan reseptor serotonin 5HT2A. Hal ini yang menyebabkan efek

samping ekstrapiramidal lebih rendah dan sangat efektif untuk


16

mengatasi gejala positif dan negatif. Serotonin mempunyai peranan

penting dalam mempengaruhi dopamin tetapi pengaruhnya

berbeda pada tiap jalur dopamin yang ada (Sinaga, 2007; Stahl,

2008).

Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyebabkan

berkurangnya blokade terhadap antagonis D2 tetapi juga

menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin di jaras mesokortikal

sehingga terjadi keseimbangan antara serotonin dan dopamin oleh

karena jumlah reseptor 5HT2A lebih banyak dibanding reseptor D2

dalam korteks serebral. Antipsikotik atipikal akan lebih banyak

memblokade reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan

pelepasan dopamin sehingga meskipun terjadi juga blokade

terhadap reseptor D2 oleh obat ini tetapi jumlah dopamin tetap

mencukupi untuk memperbaiki gejala negatif (Sinaga, 2007; Stahl,

2008).

Secara teoritis, pengobatan yang ideal bagi pasien skizofrenia

adalah dengan memberikan obat yang dengan dosis klinis efektif

bekerja untuk berikatan secara menyeluruh dengan reseptor-

reseptor 5HT2A yang tersedia pada area prefrontal cortex selain

bekerja efektif untuk memblokade reseptor D2 di area mesolimbik

untuk memperbaiki gejala positif, namun tidak serta merta

menghilangkan mekanisme reward. Antipsikotik atipikal yang

memiliki efek antagonis terhadap reseptor 5HT2A sama baiknya


17

dengan efek antagonis terhadap reseptor D2 tampaknya adalah

obat yang paling tepat untuk memainkan peranan tersebut (Sinaga,

2007; Stahl, 2008).

Mekanisme kerja dari antipsikotik atipikal ini dikuatkan ketika

dilakukan pemeriksaan imaging terhadap gambaran reseptor-

reseptor 5HT2A pada korteks pasien yang mendapatkan

antipsikotik atipikal. Dalam kasus di mana antipsikotik tipikal

diberikan dengan dosis yang efektif secara klinis, secara esensi

tidak ada gambaran reseptor 5HT2A yang diikat di dalam korteks

oleh karena antipsikotik tipikal tidak memiliki afinitas yang kuat

dengan reseptor 5HT2A. Namun, jika antipsikotik atipikal dengan

dosis yang efektif secara klinis diberikan, maka terlihat gambaran

bahwa sebagian besar reseptor-reseptor 5HT2A berikatan. Area-

area di mana 5HT2A antagonis berikatan dengan reseptor-reseptor

5HT2A pada neuron-neuron dopamin mesolimbik menggambarkan

bahwa pada area-area tersebut telah terjadi peningkatan pelepasan

dopamin (Stahl 2008; Jayaram et al., 2010).

C. Psikoterapi Kelompok

Psikoterapi adalah modalitas terapi yang menggunakan

pendekatan atau metode psikologis dalam penatalaksanaan

masalah emosional dan masalah mental, misalnya untuk


18

membantu pasien mengembangkan dan meningkatkan strategi

atau mekanisme kopingnya (Pilling et al., 2002; Koehler, 2005).

Psikoterapi kelompok adalah bagian dari terapi psikososial

(psikoterapi) yang menggunakan metode kelompok dengan

gangguan yang sama dan tujuan yang sama, yang mana lebih

efisien dibanding tehnik psikoterapi sebelumnya yang dilakukan

secara individu. Mendapatkan terapi dalam suasana berkelompok

mempunyai beberapa keuntungan bagi pasien karena akan

mendapatkan dukungan selain dari terapis tapi juga oleh sesama

anggota kelompok yang memiliki masalah yang sama dan

mempunyai pengalaman dalam mengatasi masalah tersebut.

Bersama dengan terapis dan anggota kelompok lainnya, seorang

pasien akan memiliki dukungan untuk meningkatkan kepercayaan

dirinya dalam mengenali, memahami dan mengatasi masalah-

masalahnya, dan merubah perilaku serta pikiran maladaptifnya

(Pilling et al., 2002; Dennison, 2015).

Irvin Yalom adalah sosok utama dalam perkembangan

psikoterapi kelompok ini, dan faktor-faktor terapeutiknya tetap

merupakan rujukan utama bagi praktisi terapi kelompok hingga kini.

Yalom mengembangkan beberapa faktor-faktor terapeutik dalam

psikoterapi kelompok. Faktor-faktor dari Irvin Yalom tersebut

adalah (Dennison, 2015) :


19

Universality (universalitas) Faktor ini menekankan bahwa

segala sesuatu yang dialami oleh

pasien dan masukan dan dukungan

yang diberikan bersifat universal

atau juga dialami oleh orang lain.

Altruism (altruistik) Seorang pasien dalam sebuah

kelompok terapi akan terdorong

untuk membantu dan mendukung

anggota kelompok lainnya sehingga

berkembang kemampuan untuk

bersosialisasi dan koping yang

adaptif.

Instillation of Hope (menumbuhkan Dengan melihat masalah secara

harapan) bersama dan belajar mengatasi

masalah secara bersama-sama,

maka dalam diri pasien akan

tumbuh secara perlahan harapan

untuk bisa lebih baik dari

keadaannya sekarang ini.

Imparting Information (memberi dan Membantu pasien untuk

menerima informasi) memperkaya pengetahuan tentang

gangguan yang dialaminya dan

bagaimana mengatasinya.
20

Development of Socialising Dengan mengemukakan pendapat

Techniques (melatih kemampuan dan melakukan aktivitas bersama

bersosialisasi) dalam terapi kelompok akan

membantu pasien mengembangkan

kemampuan bersosialisasinya dan

timbul rasa percaya diri.

Imitative Behaviour (perilaku Dalam suasana terapi kelompok

mencontoh) memungkinkan seorang pasien

untuk mengamati dan mencontoh

perilaku positif yang timbul.

Cohesiveness (kebersamaan) Dengan adanya rasa kebersamaan

dalam suatu terapi kelompok akan

menimbulkan perasaan saling

peduli satu sama lain.

Existential Factors (eksistensi diri) Dengan berbicara dan melakukan

aktivitas secara bersama-sama

dalam terapi kelompok akan

menimbulkan rasa keberadaan

dalam diri pasien bahwa ia berguna

dan bermanfaat bagi orang lain.

Catharsis (katarsis) Timbulnya perasaan lega dan lepas

dari beban pada pasien dengan

berbagi cerita dengan orang lain.


21

Terapi kelompok dapat dilakukan untuk pasien rawat jalan

maupun pasien rawat inap. Jenis dan klasifikasi psikoterapi

kelompok terdiri dari beberapa bentuk seperti terapi kelompok

suportif (supportive group psychotherapy), behavioral group

psychotherapy, client-centered group psychotherapy, gestalt group

psychotherapy, transactional group psychotherapy, psychoanalytic

group psychotherapy, symptom spesific group psychotherapy, dan

terapi aktivitas kelompok. Jumlah anggota kelompok bervariasi

mulai dari 3 orang hingga maksimal 15 orang, namun kebanyakan

terapis menganggap jumlah anggota kelompok 8-10 adalah jumlah

yang paling optimal (Dennison, 2015; Kaplan, 2015).

Psikoterapi kelompok memiliki peranan yang besar dan penting

dalam penatalaksanaan skizofrenia rawat jalan maupun rawat inap,

khususnya dalam penatalaksanaan kombinasi atau sebagai terapi

tambahan. Pada pasien skizofrenia rawat inap, terapi kelompok

jangka pendek dengan metode terapi kelompok suportif, behavioral

group psychotherapy, maupun symptom spesific group

psychotherapy tampak lebih tepat dan efektif. Jumlah sesi yang

lebih banyak dalam seminggu atau bahkan dengan pertemuan

setiap hari lebih efektif untuk mempertahankan kontinuitas interaksi

dan kesinambungan topik dari sesi satu ke sesi berikutnya. Topik

diskusi pada terapi kelompok dengan pasien skizofrenia sebaiknya

dititikberatkan pada masalah-masalah yang dihadapi oleh pasien


22

saat ini dan bagaimana mereka memahami masalah-masalah

tersebut. Hal ini tampak efektif dalam meningkatkan kemampuan

koping pasien, termasuk kemampuan untuk mengatasi dan

menguasai gejala-gejala psikotik yang dialaminya. Tambahan pula,

pendekatan kelompok dapat membantu mengajarkan pasien-

pasien skizofrenia untuk meningkatkan kemampuan koping dan

kemampuan melakukan hubungan interpersonal serta

menyediakan interaksi sosial yang suportif pada pasien-pasien

yang cenderung mengisolasi diri (Lehman et al., 2004; Kaplan,

2015).

Kriteria pemilihan pasien untuk disertakan dalam terapi

kelompok dengan gangguan skizofrenia terutama berdasarkan

gambaran gejala klinis yang tampak. Pasien-pasien yang di pilih

haruslah sudah cukup stabil dan kooperatif sehingga mereka dapat

berpartisipasi dengan baik dalam setiap sesi. Kondisi-kondisi

pasien yang tidak dapat disertakan dalam sesi terapi kelompok

adalah pasien dengan preokupasi yang berat oleh waham dan

halusinasinya (utamanya skizofrenia tipe paranoid), kekacauan isi

pikir yang berat, dan pasien dengan kontrol impuls yang buruk.

Perbedaan usia di antara anggota kelompok sebaiknya tidak lebih

dari 25 tahun. Homogenitas dalam hal latar belakang pendidikan

dan tingkat intelegensia pasien sangat penting namun bukanlah hal

yang utama dan wajib. Status pernikahan secara relatif bukanlah


23

hal yang penting dalam pemilihan pasien. Terapi kelompok yang

heterogen berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan

lebih efektif pada psikoterapi kelompok rekonstruktif. Terapi

kelompok yang homogen dengan masalah yang sama serta tujuan

terapi yang sama tampak lebih efektif bagi pasien dengan

skizofrenia, terutama jika menggunakan metode psikoterapi

kelompok suportif dan reedukatif (Lehman et al., 2004; Wolberg,

2013).

D. Psikoterapi dan Perubahan Pada Otak

Seorang psikiater atau praktisi lain dalam kesehatan mental

akan selalu berhadapan dengan dikotomi yang mengatakan bahwa

psikoterapi adalah metode pengobatan terhadap gangguan mental

yang didasari oleh masalah psikologis sedangkan psikofarmaka

pengobatan gangguan mental yang didasari oleh gangguan

biologis.

Selama beberapa dekade terakhir, sudah semakin jelas bahwa

semua proses gangguan mental pasti melibatkan mekanisme yang

terjadi pada otak. Hal ini menegaskan bahwa gangguan mental

yang disebabkan karena adanya proses psikologis serta

penatalaksanaan terapi psikososial yang diberikan juga akan

merubah fungsi atau struktur otak di area-area dorsolateral korteks

prefrontal, korteks singular bagian ventral anterior dan dorsal

anterior, bagian ventral dan dorsal subregio medial korteks


24

prefrontal, korteks singular bagian posterior, precuneus, korteks

insular, amygdala, dan korteks prefrontal bagian ventrolateral

(Karlsson, 2011).

Dengan menggunakan alat-alat neuroimaging yang canggih

seperti single photon emission CT (SPECT), atau positron emission

tomography (PET), ataupun functional MRI, kini telah

memungkinkan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang

terjadi pada berbagai sistem otak tersebut. Berbagai penelitian-

penelitian telah dilakukan dan memperlihatkan bahwa Cognitive

Behavioral Therapy (CBT), Dialectic Behavior Therapy (DBT),

psychodynamic psychotherapy, dan psikoterapi kelompok dapat

menyebabkan perubahan pada fungsi otak pasien. Sebagian besar

dari penelitian tersebut melaporkan adanya perubahan yang sama

pada otak setelah diberikan psikoterapi dan psikofarmaka.

Terdapat berbagai literatur ilmiah yang telah dapat menjelaskan

hubungan komponen-komponen psikoterapi tersebut dengan

perubahan neurobiologik, komponen-komponen tersebut adalah :

Attachment (hubungan emosional)

Mekanisme neurokimiawi yang berperan dalam timbulnya

attachment atau hubungan emosional antara dua atau lebih

individu adalah neuropeptide oxytocin yang di produksi di

hypothalamus.
25

Pada manusia, oxytocin di kenal juga sebagai hormon ―kasih

sayang‖ yang akan dilepaskan oleh lobus posterior glandula

pituitary saat seseorang merasakan kesenangan dan bersosialisasi

sehingga dihubungkan dengan berbagai faktor yang mempengaruhi

kemampuan membangun hubungan emosional termasuk rasa

percaya pada orang lain, empati, kontak mata, dan kemurahan hati.

Selain itu, oxytocin juga berperan sebagai neurotransmiter di otak

dan berperan dalam pengaturan hypothalamic-pituitary-adrenal axis

(HPA axis) dengan cara secara tidak langsung menghambat

pelepasan ACTH dan kortisol (Welton & Kay, 2015).

Emphaty (berempati)

Korelasi antara neurobiologik dengan sikap empati pertamakali

dikemukakan pada awal tahun 1990an dengan ditemukannya teori

cerminan neuron-neuron (mirror neurons). Para peneliti yang

mempelajari aktivitas neuronal yang berhubungan dengan

organisasi pergerakan tubuh menemukan bahwa terdapat aktivasi

dari neuron-neuron korteks premotor yang sama ketika seseorang

melihat orang lain melakukan atau menirukan gerakan-gerakannya

atau gerakan yang sering dilakukannya. Neuron-neuron yang

teraktivasi tersebut dinamakan dengan mirror neurons.

Pada manusia, mekanisme mirror neurons ini tidak hanya terbatas

pada gerakan-gerakan tubuh sederhana saja tetapi juga jika


26

seseorang melihat ekspresi wajah seseorang yang berada

dihadapannya dan mengenali makna dari ekspresi wajah tersebut.

Sirkuit mirror neurons pada manusia juga akan teraktivasi pada

situasi timbulnya rasa nyeri dan tekanan emosional. Mirror neurons

juga akan teraktivasi bila seseorang melihat orang lain diperlakukan

kasar atau dipermalukan. Area-area dari otak yang paling sering

teraktivasi pada timbulnya rasa nyeri, tekanan emosional, dan

situasi sosial lain yang membuat tidak nyaman adalah area anterior

dari korteks singular dan insula. Area-area ini teraktivasi secara

otomatis jika seseorang membayangkan mengalami hal yang sama

dengan situasi yang dilihatnya terjadi pada orang lain. Aktivasi juga

akan meningkat jika ternyata perilaku seseorang tidak sesuai atau

berbeda dengan yang diprediksikan. Proses berempati tampaknya

melibatkan dan memerlukan aktivasi yang penuh dari area insula

dan area anterior dari korteks singular jika kita ingin dapat

merabarasakan situasi emosional yang dialami oleh orang lain

(Welton & Kay, 2015).

Learning (Proses Belajar)

Pada awal abad 20 Cajal mengajukan teori bahwa otak kita

menyimpan informasi dengan cara memodifikasi koneksi—koneksi

neuronal. Proses belajar adalah perubahan pada neuron-neuron

seseorang dan koneksinya dengan orang lain. Pada pertengahan


27

abad 20, Hebb mengajukan teorinya bahwa jika satu neuron

mengalami eksitasi secara berulang-ulang maka akan memicu

terjadinya eksitasi pada neuron yang berada didekatnya sehingga

koneksi antara kedua neuron tersebut akan efisien. Bahasa

sederhananya adalah, neuron-neuron yang aktif secara bersamaan

maka akan tersambung secara bersamaan. Hal ini berarti bahwa

sinaps-sinaps akan selalu berubah setiap waktu. Demonstrasi

tentang hal itu pada hypocampus pertamakali dilakukan pada tahun

1973. Setelah memberikaan stimulasi dengan frekwensi yang

sangat tinggi pada neuron-neuron, maka terlihat koneksifitasnya

dengan neuron lain di hypocampus menjadi lebih besar. Dengan

ditemukannya proses neurogenesis pada hippocampal ini

menegaskan bahwa terjadi proses plastisitas neuronal dan

pertumbuhan ujung-ujung neuronal dipercaya bahwa sel-sel SSP

secara neurofisiologis maupun neuroanatomis dapat bertumbuh.

Data eksperimental dari penelitian preeliminary pada manusia

ditemukan bahwa neuron-neuron pada otak akan berubah oleh

karena situmulus dari proses belajar. Psikoterapi baik yang bersifat

memberi pengetahuan seperti CBT maupun yang bersifat aktivitas

dianggap mampu memicu terjadinya perubahan pada otak pasien.

Metode pasikoterapi membantu pasien membentuk memori-memori

baru untuk menggantikan memori-memori yang lama dan tidak


28

berfungsi dengan baik dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu

membentuk struktur psikis yang baru (Welton & Kay, 2015).

Emotion Regulation (Pengaturan Emosi)

Pasien-pasien yang mendapatkan psikoterapi diharapkan dapat

memahami, menerima, memperbaiki respon-respon emosional

mereka dengan cara yang lebih baik. Banyak peneliti telah

mempelajari bagaimana regulasi emosi dapat memodifikasi

aktivitas dari otak. Salah satu strategi yang paling umum dilakukan

untuk mengubah emosi adalah strategi menilai dan menimbang

kembali apa yang ada dipikiran pasien terhadap pengalaman

emosional yang dialaminya. Upaya untuk mengurangi emosi

negatif, kesedihan, dan dorongan seksual dengan menilai dan

merenungkan kembali pikiran dan perilaku yang telah dilakukan

sehubungan dengan masalah emosional tersebut ternyata dapat

menimbulkan aktivasi pada area-area korteks prefrontal dan bagian

posterior dari korteks parietal. Aktivasi dari area-area ini selama

melakukan penilaian dan perenungan kembali ternyata dapat

memicu penurunan aktivitas pada area-area di amygdala.

Penelitian ini telah mendemonstrasikan telah terjadi sirkuit neuronal

yang spesifik, misalnya antara hippocampus, korteks prefrontal,

dan amygdala yang di picu dan di perkuat oleh pemberian

psikoterapi. Supresi, suatu defens berupa upaya sadar untuk


29

menekan dan meminimalisir efek emosional dari pengalaman yang

tidak menyenangkan adalah mekanisme yang matur dan efektif

untuk mengatur emosional seseorang. Jika mekanisme ini

dilakukan oleh seseorang terlihat ada peningkatan aktivitas pada

orbitofrontal bagian kanan dan dorsolateral dari prefrontal korteks.

Sedangkan penelitian lain, memperlihatkan aktivasi pada bagian

dorsal anterior korteks singular, dorsomedial korteks prefrontal, dan

bagian lateral korteks prefrontal sehubungan dengan mekanisme

supresi. Metode menilai dan merenungkan kembali dan defens

supresi tampaknya memperlihatkan mekanisme neurofisiologis

yang berbeda. Pada penelitian yang membandingkan antara kedua

metode tersebut, memperlihatkan bahwa keduanya mampu

menurunkan pengalaman-pengalaman emosional yang subyektif,

namun proses aktivasi yang terjadi pada otak berbeda. Penilaian

dan perenungan kembali memicu peningkatan aktivitas pada

korteks prefrontal serta penurunan aktivitas pada bagian kanan dari

amygdala dan insula bagian kiri. Sedangkan supresi meningkatkan

aktivitas ventrolateral bagian kanan dari korteks prefrontal tapi tidak

terjadi penurunan aktivitas pada amygdala dan insula.

Fear Extinction (Mengatasi rasa takut)

Proses belajar terhadap rasa takut, atau ketakutan yang

dikondisikan, melibatkan dua mekanisme yang bertolak belakang


30

yaitu stimulus yang tidak berbahaya (stimulus yang terkondisikan)

dengan stimulus yang berbahaya (stimulus yang tidak

terkondisikan). Isi pikir mulai menghubungkan stimulus-stimulus

tidak berbahaya yang sudah ada sebelumnya dengan stimulus

yang tidak menyenangkan, dan individu akan mengalami

peningkatan kecemasan ketika dihadapkan dengan stimulus baru

yang telah dikondisikan. Proses pengkondisian rasa takut

melibatkan interaksi antara amygdala, insula, bagian anterior

korteks singular, dan bagian medial korteks prefrontal. Proses

mengabaikan rasa takut dikenal dengan istilah fear extinction.

Menghilangkan rasa takut tidak berhubungan dengan upaya

menghapus memori-memori lama, akan tetapi lebih kepada

membangun dan memperbaharui asosiasi menjadi pemikiran baru

bahwa sesuatu itu tidak berbahaya. Sumber dari ketakutan itu tetap

ada, namun dengan upaya melawan dan mengabaikan rasa takut

akan memicu penurunan kekuatan rasa takut dan kebiasaan takut

tersebut. Hal ini hanya akan terjadi jika stimulus atau situasi yang

menimbulkan rasa takut sudah dapat dipahami tidak akan

menimbulkan konsekwensi seperti yang ditakutkan. Melawan rasa

takut memerlukan peranan dari area ventromedial korteks

prefrontal, rostral anterior korteks singular, dan hippocampus.

Aktivasi pada area-area otak ini akan memicu penurunan aktifitas

dari amygdala. Peneletian uji kinis yang meneliti pengaruh


31

penambahan D-cycloserine, suatu preparat yang bekerja sebagai

partial agonis terhadap N-methyl-D-Aspartate (NMDA) glutamate

memperlihatkan perbaikan yang signifikan pada terapi paparan

untuk pasien acrophobia dan fobia social. Sebaliknya, antagonis

NMDA yang menurunkan aktifitas NMDA dapat menghambat

pembentukan kemampuan melawan rasa takut pada pasien. Selain

menurunkan aktivitas dari amygdala yang memicu penurunan

persepsi negative terhadap penyebab rasa takut, terbentuknya

perilaku melawan dan mengatasi rasa takut yang bertahan lama

memerlukan aktifitas dari area ventromedial kortekd prefrontal dan

rostral anterior korteks singular. Kedua mekanisme ini sangat

penting dalam memperbaiki kognitif pasien terhadap pengalaman

emosional yang dihadapinya dan memperkuat perilaku belajar

tersebut. Peranan area hippocampus dalam kemampuan melawan

rasa takut dengan cara menempatkan situasi yang menimbulkan

rasa takut pada konteks yang sebenarnya. Hal ini membantu

menjelaskan seberapa besar peranan otak dalam proses belajar

hal-hal baru pada pasien. Oleh karena memori-memori rasa takut

yang lama tidak dihapus, ketika seseorang dihadapkan kembali

pada sesuatu yang menimbulkan rasa takut maka akan terjadi

aktivasi secara bersamaan dari sirkuit otak yang berperan dalam

timbulnya rasa takut dan sirkuit otak yang berperan dalam melawan

rasa takut tersebut. Dengan meletakkan konteks rasa takut yang


32

muncul pada keadaan atau realitas yang sebenarnya, yang mana

merupakan peran dari interaksi antara hippocampus dan

ventromedial korteks prefrontal, akan sangat menentukan sirkuit

mana dari kedua sirkuit/jalur diatas akan lebih dominan aktif

disbanding yang lainnya. Tugas dari psikoterapis dalam psikoterapi

adalah untuk menguatkan respon pasien yang lebih sehat, sesuai

realitas, dan lebih adaptif (Welton & Kay, 2015).

E. Instrumen PANSS

Suatu skala penilaian terhadap gejala positif dan gejala negatif

skizofrenia yang dikembangkan bermula dari ditemukannya

heterogenitas hasil-hasil penelitian yang tidak konsisten, yang

diduga akibat metode pengukuran yang kurang dapat di percaya

(Kusumawardhani, 1994). Berbagai instrumen dan kuesioner

dikembangkan untuk mengukur kedua jenis kelompok gejala

tersebut antara lain : The Scale for Assesment of Negative

Symptom (SANS, Andreasen tahun 1982), The Negative Symptom

Rating Scale (NSRS, Larger et.al tahun 1985), dan positive and

Negative Symptom Scale (PANSS, Kay tahun 1991).

PANSS dibuat oleh Stanley Kay, Lewis Opler, dan Abraham

Fizsbein pada tahun 1987 yang diambil dari dua instrumen

terdahulu yaitu Brief Psychiatric Rating Scale dan Psychopathology


33

Rating scale. Uji reliabilitas interrater dan test-retest telah dilakukan

oleh Kay dan Opler pada tahun 1987 dengan hasil yang tinggi (Kay,

1987). Untuk dapat digunakan di Indonesia, telah dilakukan uji

reliabilitas, validitas, dan sensitivitas oleh A. Kusumawardhani dan

tim FKUI pada tahun 1994. Reliabilitas internal di uji dengan rumus

koefisien alfa dari Cronbach terhadap 140 pasien skizofrenia. Hasil

terjemahan PANSS ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan

PANSS asli yang berbahasa Inggris (Kusumawardhani, 1994).

PANSS terdiri dari 33 item yang masing-masing item dinilai

dalam 7 skala poin.Tujuh item dikelompokkan ke dalam gejala

positif, tujuh item untuk gejala negatif, enam belas item untuk

menilai psikopatologi umum, dan terdapat tiga item tambahan yang

menilai adanya resiko agresi. Masing-masing item dinilai sebagai

berikut : 1 = tidak ada, 2 = minimal, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 =

agak berat, 6 = berat, 7 = sangat berat. Setelah dilakukan penilaian

untuk masing-masing item, maka akan didapatkan nilai akumulasi

yang diinterpretasi sebagai berikut : sakit ringan = ± 61, sakit

sedang = ± 78, sakit sedang-berat = ± 96, sakit berat = ± 118, dan

sakit sangat berat = ± 147.

Untuk menentukan adanya perbaikan klinis atau keberhasilan

suatu terapi dapat diukur saat sebelum terapi dan sesudah terapi.

Persentase perubahan total skor PANSS yang mengindikasikan

adanya perbaikan klinis adalah sebagai berikut : perbaikan minimal


34

jika didapatkan penurunan skor ± 19-28%, banyak perbaikan jika

terjadi penurunan skor ± 40-53%, sangat banyak perbaikan jika

terjadi penurunan skor ± 53-71%. Selain itu, penilaian perbaikan

klinis atau keberhasilan terapi dapat pula dilihat dari penurunan

kriteria sakit berdasarkan skor total PANSS (Amir, 2008).


35

BAB III

KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori

Genetik (Gen SCZD1 Lingkungan (Stresor


18510, Gen COMT Psikososial),
116970) Mekanisme Koping

PSIKOTERAPI KELOMPOK
RISPERIDON SKIZOFRENIA
Peningkatan
Blokade reseptor Disregulasi neuroplastisitas/
Pelepasan
dopamin D2 neurotransmiter sinaptogenesis
Oxytocin
neuron
Blokade reseptor (hiperaktivitas
serotonin 5HT2A dopaminergik,
hiperaktivitas
serotonergik,
penurunan aktivitas
GABA) Inhibisi
Aktivasi reseptor
ACTH &
Pelepasan dopamin di serotonin 5HT1A
kortisol
mesolimbic dan
mesocortical dopamine
pathway Akselerasi
pelepasan
dopamin

PERBAIKAN GEJALA
KLINIS SKIZOFRENIA
36

B. Kerangka Konsep

Umur Pendidikan Psikoaktif lain

Kombinasi Terapi Pelepasan Dopamin Di


Risperidone dan Mesolimbik dan Mesokortikal
Psikoterapi Dopamin Pathway Perbaikan
Kelompok Gejala
Inhibisi ACTH & Kortisol
Klinis
Peningkatan Skizofrenia

Risperidon Neuroplastisitas/Sinaptogenesis
Neuron

Lama Gangguan Onset Gangguan Relaps

: Variabel Bebas
: Variabel Antara
: Variabel Tergantung
: Variabel Perancu

: Hubungan Variabel Bebas


: Hubungan Variabel Tergantung
: Hubungan Variabel Perancu
37

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk melihat

efektivitas kombinasi terapi risperidon dan psikoterapi kelompok

dalam memperbaiki gejala klinis skizofrenia.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Khusus Daerah

(RSKD) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mulai bulan Juni –

Juli 2017.

C. Populasi Penelitian

Pasien skizofrenia rawat inap di Rumah Sakit Khusus Daerah

(RSKD) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu

dilakukannya penelitian.

D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel penelitian adalah semua pasien skizofrenia baik

penderita baru maupun berulang yang telah memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi penelitian di ambil sebagai sampel penelitian

dengan cara simple random sampling dengan menentukan urutan

pengambilan dengan nomor ganjil untuk kelompok sampel sebagai


38

kontrol dan urutan pengambilan dengan nomor genap untuk

kelompok sampel yang mendapatkan perlakuan.

E. Perkiraan Besar Sampel

Besaran sampel yang diperlukan di hitung dengan

menggunakan rumus :
2
(Zα + Zβ) S

n1 = n2 = n1 = n2 = 14,59 (15)

X1 – X2

Zα : 1,96 S : 4,09

Zβ : 0,842 X1 – X2 : 3

F. Kriteria inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien skizofrenia penderita baru maupun berulang yang

didiagnosis berdasarkan kriteria diagnosis PPDGJ III.

b. Jenis kelamin laki-laki.

c. Berusia 20 – 45 tahun.

d. Sedang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Khusus

Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun

waktu penelitian.

e. Nilai skala PANSS awal 70 - 95.


39

f. Bersedia turut serta dan kooperatif dalam mengikuti

penelitian.

2. Kriteria Eksklusi

a. Pasien skizofrenia dengan kasus hukum sehingga

diperlukan visum et repertum psychiatricum.

b. Pasien skizofrenia yang mengalami komorbid dan komplikasi

dengan penyakit fisik yang tidak memungkinkan untuk

disertakan dalam penelitian ini.

c. Menderita kecacatan (buta, tuli, bisu) dan retardasi mental.

G. Izin penelitian dan kelaikan Etik

Penelitian ini telah mendapatkan izin penelitian dan telah

memenuhi persyaratan etik untuk dilaksanakan dari Komisi Etik

Penelitian Biomedik pada Manusia Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin dengan nomor : 346/H4.8.4.5.31/PP36-KOMETIK/2017

tertanggal 24 Mei 2017.

H. Cara Kerja

1. Alokasi Subyek

Subyek dalam penelitian ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu

kelompok yang mendapat terapi risperidon sebagai kontrol dan

kelompok yang mendapat kombinasi terapi risperidon dan

psikoterapi kelompok.
40

2. Cara Penelitian dan Pengumpulan Data

a. Alat dan Bahan

1. Status rawat inap pasien

2. Lembar penilaian skala PANSS

b. Pasien laki-laki dengan rentang usia 20 – 45 tahun dan di

diagnosis skizofrenia (berdasarkan PPDGJ III), yang telah

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diambil sebagai

sampel penelitian.

c. Sampel penelitian selanjutnya dibagi dalam dua kelompok

yaitu, kelompok yang mendapatkan terapi antipsikotik

risperidon dengan dosis 2 mg per 12 jam oral (kelompok

kontrol), dan kelompok yang mendapat kombinasi terapi

antipsikotik risperidon dengan dosis 2 mg per 12 jam oral

dan disertakan dalam sesi psikoterapi kelompok sebanyak

12 sesi (kelompok perlakuan).

d. Dilakukan pencatatan data-data sekunder setiap sampel

penelitian.

e. Melakukan penilaian skala PANSS pada kedua kelompok

sebelum dilakukan perlakuan.

f. Melakukan penilaian skala PANSS pada kelompok kontrol

setelah terapi risperidon selama 2 minggu.


41

g. Melakukan penilaian skala PANSS pada kelompok

perlakuan setelah terapi risperidon selama 2 minggu dan 6

kali sesi terapi kelompok.

h. Membandingkan perbaikan gejala klinis berdasarkan nilai

skala PANSS antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan setelah 2 minggu terapi.

i. Melakukan penilaian skala PANSS pada kelompok kontrol

setelah terapi risperidon selama 4 minggu.

j. Melakukan penilaian skala PANSS pada kelompok

perlakuan setelah terapi risperidon selama 4 minggu dan 12

kali sesi terapi kelompok.

k. Membandingkan perbaikan gejala klinis berdasarkan nilai

skala PANSS antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan setelah 4 minggu terapi.

I. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel

1. Variabel Bebas : Kombinasi terapi risperidon dan

psikoterapi kelompok.

2. Variabel Tergantung : Perbaikan Gejala Klinis Skizofrenia

3. Variabel Antara : Pelepasan dopamin di mesolimbik dan

mesokortikal, inhibisi ACTH & kortisol

neuroplastisitas.
42

4. Variabel Random : Onset, lama gangguan, tipe skizofrenia

relaps, umur, obat psikotropika lainnya.

J. Definisi Operasional

a. Skizofrenia : gangguan jiwa berat yang di diagnosis dengan

menggunakan kriteria PPDGJ III.

b. Risperidon : obat antipsikotik atipikal yang bekerja

memblokade reseptor dopamin dan serotonin pasca sinaps

neuron di otak.

c. Psikoterapi Kelompok : metode psikoterapi yang dilakukan

secara berkelompok.

d. Perbaikan gejala klinis skizofrenia : perbaikan gejala klinis

yang dinilai dengan adanya penurunan nilai skala PANSS.

e. PANSS (Positive and Negative Symptom Scale) : instrumen

penilaian gejala klinis skizofrenia. Terdiri dari 33 item

penilaian berdasarkan wawancara klinis dan pengamatan.

Dari 33 item tersebut dikelompokkan menjadi 7 item untuk

gejala positif, 7 item untuk gejala negatif, 16 item

psikopatologi umum, dan 3 item gejala tambahan.


43

K. Kriteria Obyektif

a. Risperidon : obat antipsikotik atipikal yang diberikan dengan

dosis 2 mg per 12 jam secara oral.

b. Psikoterapi Kelompok : bagian dari psikoterapi yang

dilakukan secara berkelompok dengan jumlah anggota

dalam satu kelompok 5 hingga 15 orang.setiap sesi

psikoterapi berlangsung selama 1 hingga 2 jam.

c. Skor PANSS : setiap masing-masing item di nilai dengan 7

poin tingkatan yaitu : 1. Tidak ada, 2. Minimal, 3. Ringan, 4.

Sedang, 5. Sedang-berat, 6. Berat, dan 7. Sangat berat.

Setelah di akumulasi, kemudian diinterpretasi sebagai

berikut : sakit ringan ± 61, sakit sedang ± 78, sakit sedang-

berat ± 96, sakit berat ± 118, dan sakit sangat berat ± 147.

L. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul diolah melalui analisa statistik parametrik

untuk melihat karakteristik sampel dan perbandingan perbaikan

gejala klinis skizofrenia yang di ukur dengan penurunan nilai

PANSS antara kelompok yang mendapat terapi antipsikotik standar

risperidon sebagai kelompok kontrol dengan kelompok yang

mendapat terapi antipsikotik standar risperidon yang


44

dikombinasikan dengan pemberian psikoterapi kelompok sebagai

kelompok perlakuan dengan menggunakan program komputer dan

disajikan dalam bentuk diagram dan tabel.


45

M. Alur Penelitian

Pasien Skizofrenia n = 43

Memenuhi kriteria inklusi n = 30

Randomisasi

Kelompok Perlakuan
Kelompok Kontrol
Kombinasi Terapi Risperidon dan
Terapi Risperidon n= 15
Psikoterapi Kelompok n= 15

nn minggu 2
Nilai PANSS Nilai PANSS minggu 2

n = 15 n = 15

Nilai PANSS minggu 4 Nilai PANSS minggu 4

n = 15 n = 15

Analisis

Kesimpulan
46

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental untuk mengetahui

efektivitas kombinasi terapi obat antipsikotik risperidon dengan psikoterapi

kelompok terhadap perbaikan gejala klinis gangguan skizofrenia.

Penelitian ini dilakukan terhadap pasien gangguan skizofrenia rawat inap

di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan sejak bulan

Juni hingga bulan Juli 2017. Jumlah total sampel yang disertakan dalam

penelitian ini sebanyak 30 pasien laki-laki yang telah memenuhi kriteria

inklusi. Dilakukan randomisasi dengan metode simple random sampling

untuk membagi sampel menjadi dua kelompok yaitu, 15 sampel sebagai

kelompok kontrol yang mendapatkan terapi antipsikotik standar risperidon

dengan dosis 2 mg per 12 jam secara oral, dan 15 sampel sebagai

kelompok perlakuan yang selain mendapatkan terapi antipsikotik yang

sama dengan dosis yang sama pula, juga diberikan psikoterapi kelompok

selama 12 sesi. Berikut di bawah ini akan dipaparkan karakteristik umum

maupun klinis dari sampel serta hasil analisa olah data penelitian ini.
47

1. Karakteristik sampel penelitian

Karakteristik umum sampel penelitian tergambar pada tabel 1 di

bawah berdasarkan kelompok umur, pendidikan dan status pernikahan.

Tabel 1: Distribusi karakteristik sampel penelitian

Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol


Variabel (n=15) (n=15)
n % n %
Umur (tahun)
20-26 3 20,0 0 0,0
27-34 7 46,7 11 73,3
35-42 5 33,3 4 26,7
Pendidikan
SD 5 33,3 6 40,0
SMP 5 33,3 5 33,3
SMA 5 33,3 4 26,7
Status Pernikahan
Menikah 3 20,0 4 26,7
Tidak Menikah 9 60,0 6 40,0
Cerai 3 20,0 5 33,3
Sumber : Data Primer, 2017

Karakteristik sampel berdasarkan kelompok umur, terlihat bahwa

kelompok umur dengan rentang usia 27-34 tahun lebih banyak, dimana

pada kelompok kontrol sebanyak 11 pasien (73,3%) dan kelompok

perlakuan sebanyak 7 pasien (46,7%). Berdasarkan tingkat pendidikan,

sampel terbagi atas 3 jenjang pendidikan yaitu SD, SMP dan SMA dengan

proporsi sebarannya pada kedua kelompok hampir sama. Berdasarkan


48

status pernikahan, terlihat proporsi pasien yang tidak menikah lebih

banyak yaitu, pada kelompok kontrol sebanyak 6 pasien (40,0%) dan

kelompok perlakuan sebanyak 9 pasien (60,0%), sedangkan jumlah

pasien yang menikah dan telah bercerai di kedua kelompok hampir sama.

2. Karakteristik klinis sampel penelitian

Karakteristik klinis sampel penelitian di bagi berdasarkan tipe

gangguan skizofrenia, usia onset (awitan) pertama kali mengalami

gangguan, lamanya perlangsungan gangguan dan jumlah relaps

(kekambuhan) gangguan yang di alami oleh pasien. dapat dilihat pada

tabel 2, berdasarkan jenis skizofrenia, lama gangguan, frekwensi

kekambuhan dan kelompok awitan. Berdasarkan tipe skizofrenia terlihat

bahwa tipe paranoid adalah tipe dengan jumlah pasien terbanyak dari

keseluruhan sampel dan terbagi sama besar untuk dua kelompok yaitu

sebanyak 8 pasien (53,3%). Tipe tak terinci untuk kelompok kontrol

sebanyak 5 pasien (33,3%), sedangkan untuk kelompok perlakuan

sebanyak 3 pasien (20,0%). Skizofrenia YTT untuk kelompok kontrol

sebanyak 2 pasien (13,3%), sedangkan untuk kelompok perlakuan

sebanyak 4 pasien (26,7%). Berdasarkan usia onset (awitan), jumlah

sampel dengan rentang usia onset terbanyak adalah 21-25 tahun yaitu,

untuk kelompok kontrol sebanyak 9 pasien (60,0%) dan untuk kelompok

perlakuan sebanyak 6 pasien (40,0%).


49

Tabel 2. Distribusi karakteristik klinis sampel penelitian

Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol


Variabel (n=15) (n=15)
n % n %
Tipe Skizofrenia
Skizofrenia Paranoid 8 53,3 8 53,3
Skizofrenia Tak Terinci 3 20,0 5 33,3
Skizofrenia YTT 4 26,7 2 13,3
Usia Onset (Tahun)
15-20 3 20,0 0 0,0
21-25 6 40,0 9 60,0
26-30 4 26,7 6 40,0
31-35 2 13,3 0 0,0
Lama Gangguan (Tahun)
0-5 8 53,3 4 26,7
6-10 6 40,0 9 60,0
11-15 1 6,70 2 13,3
Frekuensi Relaps (Kali)
0-3 6 40,0 8 53,3
4-6 6 40,0 5 33,3
7-10 3 20,0 2 13,3
Sumber : Data Primer, 2017

Usia onset dengan rentang 26-30 tahun untuk kelompok kontrol

sebanyak 6 pasien (40,0%) dan untuk kelompok perlakuan sebanyak 4

pasien (26,7%). Usia onset dengan rentang 15-20 tahun untuk kelompok

kontrol tidak ada dan untuk kelompok perlakuan sebanyak 3 pasien

(20,0%). Usia onset dengan rentang usia 31-35 tahun untuk kelompok

kontrol juga tidak ada dan untuk kelompok perlakuan sebanyak 2 pasien
50

(13,3%). Berdasarkan lamanya perlangsungan gangguan skizofrenia,

jumlah sampel terbanyak dengan lama gangguan antara 6-10 tahun

dengan sebaran untuk kelompok kontrol sebanyak 9 pasien (60,0%) dan

untuk kelompok perlakuan sebanyak 6 pasien (40,0%). Lama gangguan

antara 0-5 tahun untuk kelompok kontrol sebanyak 4 pasien (26,7%) dan

untuk kelompok perlakuan sebanyak 8 pasien (53,3%). Lama gangguan

antara 11-15 tahun untuk kelompok kontrol sebanyak 2 pasien (13,3%)

dan untuk kelompok perlakuan hanya 1 pasien (6,70%). Berdasarkan

frekuensi relaps (kekambuhan), jumlah sampel terbanyak adalah

kekambuhan 0-3 kali dengan sebaran untuk kelompok kontrol sebanyak 8

pasien (53,3%) dan untuk kelompok perlakuan sebanyak 6 pasien

(40,0%). Frekuensi kekambuhan 4-6 kali untuk kelompok kontrol sebanyak

5 pasien (33,3%) dan untuk kelompok perlakuan sebanyak 6 pasie

(40,0%). Frekuensi kekambuhan 7-10 kali untuk kelompok kontrol

sebanyak 2 pasien (13,3%) dan untuk kelompok perlakuan sebanyak 3

pasien (20,0%).

3. Analisis Penurunan Nilai PANSS Kelompok Kontrol

Berdasarkan uji normalitas data penelitian, didapatkan penyebaran

data yang terdistribusi normal sehingga digunakan uji T berpasangan

(paired T-test) untuk melihat perubahan nilai PANSS pada kelompok

kontrol yang dapat di lihat pada tabel 3 berikut ini.


51

Tabel 3. Penurunan nilai PANSS kelompok kontrol

Variabel N Rerata Simpang Nilai Nilai Sig.


(n=15) Baku Maksimum Minimum
PANSS Awal 83,73 4,682 92 77
PANSS 79,87 4,207 87 74
Minggu 2
PANSS Akhir 74,07 3,990 80 68
PANSS Awal – 3,867 0,834 4,328 3,405 0,000
Minggu 2
PANSS Awal - 9,667 1,175 10,317 9,016 0,000
Akhir
Uji Paired T-test. Sumber : Data Primer, 2017

Perubahan nilai PANSS awal dan nilai PANSS setelah 2 minggu

terapi maupun nilai PANSS akhir setelah 4 minggu terapi untuk kelompok

kontrol memperlihatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p = 0,000.

4. Analisis Penurunan Nilai PANSS Berdasarkan Item Penilaian Skala

PANSS Kelompok Kontrol

Pada Tabel 4 berikut ini dipaparkan perubahan nilai PANSS

kelompok kontrol berdasarkan item penilaian skala PANSS. Hasil yang

didapatkan adalah nilai PANSS awal dan akhir setelah terapi selama 4

minggu baik gejala positif, gejala negatif, maupun gejala psikopatologi

umum untuk kelompok kontrol memperlihatkan perbedaan yang bermakna

dengan nilai p = 0,000.


52

Tabel 4. Penurunan nilai PANSS berdasarkan item penilaian skala PANSS


kelompok kontrol
Variabel N Rerata Simpang Nilai Nilai Sig.
(n=15) Baku Maksimum Minimum
Gejala Positif 25,73 1,280 28 26
Awal
Gejala Positif 21,27 1,033 23 20
Akhir
Gejala Positif 4,467 0,743 4,878 4,055 0,000
Awal-Akhir
Gejala Negatif 22,33 1,397 25 20
Awal
Gejala Negatif 20,60 1,549 23 18
akhir
Gejala Negatif 1,733 0,594 2,062 1,405 0,000
Awal-Akhir
Psikopatologi 35,67 2,820 40 31
Umum Awal
Psikopatologi 32,20 2,513 35 28
Umum Akhir
Psikopatologi 3,467 0,743 3,878 3,055 0,000
Umum Awal-
Akhir
Uji Paired T-test. Sumber : Data Primer, 2017

5. Analisis Penurunan Nilai PANSS Kelompok Perlakuan

Tabel 5 berikut ini menyajikan perubahan Nilai PANSS awal, nilai

PANSS setelah terapi selama 2 minggu dan nilai PANSS setelah terapi

selama 4 minggu untuk kelompok perlakuan.


53

Tabel 5. Penurunan nilai PANSS kelompok perlakuan

Variabel N Rerata Simpang Nilai Nilai Sig.


(n=15) Baku Maksimum Minimum
PANSS Awal 82,53 4,190 90 75
PANSS 77,47 4,307 84 70
Minggu 2
PANSS Akhir 70,27 4,559 78 62
PANSS Awal – 5,067 0,594 5,395 4,738 0,000
Minggu 2
PANSS Awal - 12,267 1,438 13,063 11,471 0,000
Akhir
Uji Paired T-test. Sumber : Data Primer, 2017

Dari tabel 5 terlihat bahwa perubahan nilai PANSS awal, nilai

PANSS setelah 2 minggu terapi, maupun nilai PANSS setelah 4 minggu

terapi untuk kelompok perlakuan mengalami penurunan yang bermakna

dengan nilai p = 0,000.

6. Analisis Penurunan Nilai PANSS Berdasarkan Item Penilaian Skala

PANSS Kelompok Perlakuan

Pada Tabel 6 berikut ini dapat dilihat perubahan nilai PANSS

kelompok perlakuan berdasarkan item penilaian skala PANSS. Hasil yang

didapatkan adalah nilai PANSS awal dan akhir setelah terapi selama 4

minggu baik gejala positif, gejala negatif, maupun gejala psikopatologi

umum untuk kelompok perlakuan memperlihatkan perbedaan yang

bermakna dengan nilai p = 0,000.


54

Tabel 6. Penurunan nilai PANSS berdasarkan item penilaian skala PANSS


kelompok perlakuan
Variabel N Rerata Simpang Nilai Nilai Sig.
(n=15) Baku Maksimum Minimum
Gejala Positif 25,33 1,496 28 23
Awal
Gejala Positif 19,40 1,404 22 17
Akhir
Gejala Positif 5,933 0,884 6,423 5,444 0,000
Awal-Akhir
Gejala Negatif 21,87 0,990 23 20
Awal
Gejala Negatif 19,47 1,060 21 18
akhir
Gejala Negatif 2,400 0,507 2,681 2,119 0,000
Awal-Akhir
Psikopatologi 35,33 2,845 39 29
Umum Awal
Psikopatologi 31,40 3,043 37 25
Umum Akhir
Psikopatologi 3,933 0,961 4,466 3,401 0,000
Umum Awal-
Akhir
Uji Paired T-test. Sumber : Data Primer, 2017

7. Analisis Perbandingan Penurunan Nilai PANSS Antara Kelompok

Perlakuan Dan Kelompok Kontrol

Pada tabel 7 berikut ini akan diperlihatkan perbandingan perubahan

nilai PANSS antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.


55

Berdasarkan uji normalitas data penelitian, didapatkan sebaran

data yang terdistribusi normal sehingga digunakan uji T-test untuk menilai

perbandingan perubahan nilai PANSS antara kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol.

Tabel 7. Perbandingan penurunan nilai PANSS antara kelompok


perlakuan dan kelompok kontrol

Variabel Kelompok N Rerata Simpang Sig.


(n=30) Baku
Kontrol 15 83,73 4,682
PANSS Awal 0,466
Perlakuan 15 82,53 4,190
Kontrol 15 79,87 4,207
PANSS 0,134
Minggu 2
Perlakuan 15 77,47 4,307
Kontrol 15 74,07 3,990
PANSS Akhir 0,022
Perlakuan 15 70,27 4,559
Uji T-test. Sumber : Data Primer, 2017

Pada tabel 7 terlihat bahwa perbedaan nilai PANSS awal antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak bermakna dengan nilai p

= 0,466. Setelah 2 minggu terapi, perbedaan nilai PANSS antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tetap tidak bermakna dengan

nilai p = 0,134. Perbedaan nilai PANSS antara kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol baru terlihat bermakna setelah 4 minggu terapi dengan

nilai p = 0,022. Hasil ini dapat pula dilihat pada grafik 1. Dari grafik
56

tersebut terlihat bahwa penurunan nilai PANSS antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol semakin menunjukkan perbedaan setelah

diberikan terapi selama 4 minggu.

85.00
83.73

82.53 79.87
80.00

77.47
74.07
75.00
Kontrol
70.27 Perlakuan
70.00

65.00

60.00
PANSS Awal PANSS Minggu 2 PANSS Akhir

Grafik 1. Perbandingan penurunan nilai PANSS antara kelompok


perlakuan dan kontrol

8. Perbandingan Penurunan Nilai PANSS Berdasarkan Item Penilaian

Skala PANSS Antara Kelompok Perlakuan Dan Kelompok Kontrol

Pada tabel 8 berikut ini diperlihatkan perbedaan perubahan nilai

PANSS berdasarkan item penilaian skala PANSS antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol.


57

Tabel 8. Perbandingan penurunan nilai PANSS berdasarkan item


penilaian skala PANSS antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol

Variabel Kelompok N Rerata Simpang Sig.


(n=30) Baku
Kontrol 15 25,73 1,280
Gejala Positif Awal 0,438
Perlakuan 15 25,33 1,496
Kontrol 15 21,27 1,033
Gejala Positif Akhir 0,000
Perlakuan 15 19,40 1,404
Kontrol 15 22,33 1,397
Gejala Negatif Awal 0,301
Perlakuan 15 21,87 0,990
Kontrol 15 20,60 1,549
Gejala Negatif Akhir 0,027
Perlakuan 15 19,47 1,060
Kontrol 15 35,67 2,820
Psikopatologi 0,750
Umum Awal
Perlakuan 15 35,33 2,845
Kontrol 15 32,20 2,513
Psikopatologi 0,439
Umum Akhir
Perlakuan 15 31,40 3,043
Uji T-test. Sumber : Data Primer, 2017

Pada tabel 8 terlihat bahwa perbedaan nilai PANSS untuk item

penilaian gejala positif awal antara kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol tidak bermakna dengan nilai p = 0,438. Setelah terapi selama 4


58

minggu, perbedaan nilai PANSS untuk item penilaian gejala positif akhir

antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sangat bermakna

dengan nilai p = 0,000. Perbedaan nilai PANSS untuk item penilaian

gejala negatif awal antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak

bermakna dengan nilai p = 0,301 sedangkan perbedaan nilai PANSS

untuk item penilaian gejala negatif akhir antara kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol setelah terapi selama 4 minggu terlihat cukup bermakna

dengan nilai p = 0,027. Untuk item penilaian gejala psikopatologi umum

awal antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terlihat tidak

berbeda bermakna dengan nilai p = 0,750 begitupun setelah terapi selama

4 minggu, perbedaan nilai PANSS item penilaian gejala psikopatologi

umum antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tetap tidak

bermakna dengan nilai p = 0,439.

9. Perubahan Kriteria Sakit Berdasarkan Penurunan Nilai PANSS (Positive

And Negative Symptom Scale) Antara Kelompok Perlakuan Dan

Kelompok Kontrol

Pada tabel 9 berikut ini terlihat perubahan kriteria sakit sampel

penelitian berdasarkan perubahan nilai PANSS untuk kelompok perlakuan

dan kelompok kontrol. Pada periode awal penelitian, kriteria sakit

berdasarkan nilai PANSS untuk kelompok kontrol yaitu, sakit ringan tidak

ada, sakit sedang sebanyak 13 pasien (86,7%) dan sakit sedang-berat

sebanyak 2 pasien (13,3%). Di periode akhir penelitian terjadi perubahan


59

kriteria sakit yaitu sakit ringan menjadi 1 pasien (6,70%), sakit sedang

menjadi 14 pasien (93,3%) dan sakit sedang-berat tidak ada lagi.

Tabel 9: Perubahan kriteria sakit berdasarkan perubahan nilai PANSS


kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol


Variabel (n=15) (n=15)
n % n %
Kriteria Sakit Awal
Sakit Ringan 0 0,0 0 0,0
Sakit Sedang 14 93,3 13 86,7
Sakit Sedang-Berat 1 6,70 2 13,3
Kriteria Sakit Akhir
Sakit Ringan 4 26,7 1 6,70
Sakit Sedang 11 73,3 14 93,3
Sakit Sedang-Berat 0 0,0 0 0,0
Sumber : Data Primer, 2017

Untuk kelompok perlakuan, kriteria sakit sampel di periode awal

penelitian yaitu, sakit ringan tidak ada, sakit sedang sebanyak 14 pasien

(93,3%) dan sakit sedang-berat sebanyak 1 pasien (6,70%). Di periode

akhir penelitian setelah diberikan terapi selama 4 minggu, terjadi

perubahan kriteria sakit untuk kelompok perlakuan yaitu, sakit ringan

menjadi 4 pasien (26,7%), sakit sedang menjadi 11 pasien (73,3%) dan

sakit sedang-berat juga tidak ada lagi.


60

10. Perbandingan Selisih Nilai PANSS antara Kelompok Perlakuan dan

Kelompok Kontrol

Tabel 10 memperlihatkan perbandingan selisih nilai PANSS antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah 2 minggu terapi dan

setelah 4 minggu terapi.

Tabel 10. Perbandingan selisih nilai PANSS antara kelompok perlakuan


dan kelompok kontrol

Variabel Kelompok N Rerata Simpang Sig.


(n=30) Baku
Kontrol 15 3,87 0,834
Selisih PANSS
Awal-Minggu 2 0,000

Perlakuan 15 5,07 0,594

Kontrol 15 9,67 1,175


Selisih PANSS
Awal-Akhir 0,000
Perlakuan 15 12,27 1,438
Uji T-test. Sumber : Data Primer, 2017

Dari tabel 10 terlihat bahwa selisih perubahan nilai PANSS antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah terapi 2 minggu

maupun setelah terapi 4 minggu berbeda secara bermakna dengan nilai

p= 0,000. Hal ini dapat pula di lihat pada grafik 2 berikut ini.
61

14.00
12.27
12.00
10.00
9.67
8.00 Kontrol
5.07
6.00 Perlakuan
4.00
3.87
2.00
0.00
Selisih PANSS Awal- Selisih PANSS Awal-
minggu 2 Akhir

Grafik 2. Perbandingan selisih nilai PANSS antara kelompok perlakuan

dan kelompok kontrol

B. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan nilai PANSS,

baik pada kelompok kontrol yang diberikan terapi standar antipsikotik

risperidon dengan dosis 2 mg per 12 jam secara oral selama 4 minggu

maupun pada kelompok perlakuan yang diberikan terapi standar

antipsikotik risperidon dengan dosis 2 mg per 12 jam secara oral dan

dikombinasikan dengan pemberian psikoterapi kelompok sebanyak 12

sesi selama 4 minggu. Hal ini terlihat pada tabel 3 dan tabel 5 untuk

masing-masing kelompok yang menggambarkan perubahan nilai PANSS

setelah 2 minggu terapi maupun nilai PANSS akhir setelah 4 minggu

terapi yang sangat bermakna untuk kedua kelompok dengan nilai p =

0,000 dengan uji parametrik T berpasangan (paired T-test). Begitupun


62

pada tabel 4 dan tabel 6 ketika dilakukan uji parametrik T berpasangan

(paired T-test) untuk melihat perubahan nilai PANSS berdasarkan item-

item penilaian gejala positif, gejala negatif dan gejala psikopatologi umum

untuk kedua kelompok memperlihatkan perubahan yang sangat bermakna

dengan nilai p = 0,000.

Hal di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya pemberian terapi

standar antipsikotik risperidon dengan dosis terapeutik maupun

dikombinasikan dengan pemberian sesi terapi psikoterapi kelompok sama-

sama efektif dalam memperbaiki gejala klinis gangguan skizofrenia.

Pada saat dilakukan uji parametrik T-test untuk melihat perbedaan

penurunan nilai PANSS antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan

didapatkan hasil yang berbeda dengan uji parametrik paired T-test yang

menilai perubahan nilai PANSS untuk masing-masing kelompok. Pada

tabel 7 terlihat perbedaan penurunan nilai PANSS antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol pada awal periode penelitian maupun

setelah terapi selama 2 minggu tidak memperlihatkan perbedaan yang

bermakna dengan nilai p = 0,466 pada awal terapi dan nilai p = 0,134

setelah terapi selama 2 minggu. Namun, pada periode akhir penelitian

setelah terapi selama 4 minggu, perbedaan penurunan nilai PANSS

antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terlihat bermakna

dengan nilai p = 0,022. Dengan demikian didapatkan hasil bahwa setelah

terapi selama 4 minggu pada kelompok perlakuan yang diberikan terapi

antipsikotik standar risperidon dikombinasikan dengan pemberian sesi


63

terapi psikoterapi kelompok memiliki penurunan nilai PANSS yang lebih

besar dibanding kelompok kontrol yang hanya diberikan terapi antipsikotik

standar risperidon.

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi antipsikotik standar

risperidon yang dikombiasikan dengan pemberian sesi psikoterapi

kelompok lebih efektif dalam memperbaiki gejala klinis gangguan

skizofrenia dibanding jika hanya diberikan terapi antipsikotik standar

risperidon saja.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

Kanas N di tahun 1986 dan 1996 yang meneliti efektivitas pemberian

terapi kelompok selama 9 sesi dengan hasil yang menunjukkan bahwa

pemberian terapi kelompok lebih efektif dalam memperbaiki gejala-gejala

klinis skizofrenia dibandingkan jika hanya diberikan terapi standar saja.

Hasil yang sama didapatkan pula pada penelitian yang dilakukan Koster et

al. 2006 dan penelitian yang dilakukan oleh Gabrovsek di tahun 2009

serta Koukorikos et al. 2014.

Pada tabel 8, dilakukan uji T-test untuk melihat perbedaan penurunan

nilai PANSS antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan

berdasarkan item-item penilaian skala PANSS. Untuk gejala positif pada

periode awal penelitian untuk kedua kelompok tidak memperlihatkan

perbedaan yang bermakna dengan nilai p = 0,438, namun setelah 4

minggu terapi didapatkan perbedaan penurunan nilai PANSS gejala positif


64

yang sangat bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

dengan nilai p = 0,000. Untuk item gejala negatif, pada awal periode

penelitian juga memperlihatkan tidak ada perbedaan yang bermakna

antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan nilai p = 0,301

dan setelah terapi selama 4 minggu didapatkan perbedaan penurunan

nilai PANSS gejala negatif yang cukup bermakna antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,027. Untuk item

penilaian gejala psikopatologi umum baik periode awal penelitian maupun

setelah 4 minggu terapi tidak didapatkan perbedaan penurunan nilai

PANSS gejala psikopatologi umum yang bermakna antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,750 pada awal periode

penelitian dan nilai p = 0,439 setelah terapi selama 4 minggu.

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi antipsikotik standar

risperidon yang dikombinasikan dengan pemberian psikoterapi kelompok

selama 4 minggu sangat efektif untuk memperbaiki gejala positif

skizofrenia, cukup efektif dalam memperbaiki gejala negatif skizofrenia,

namun tidak efektif dalam memperbaiki gejala psikopatologi umum

skizofrenia. Hasil ini mungkin memperlihatkan bahwa perlu pemberian

psikoterapi kelompok dengan waktu yang lebih panjang dan lebih spesifik

untuk perbaikan gejala negatif dan gejala psikopatologi umum skizofrenia.

Pada tabel 9 digambarkan perubahan kriteria sakit berdasarkan nilai

PANSS kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Pada awal

periode penelitian, pada kelompok kontrol terdapat 13 pasien dengan


65

kriteria sakit sedang, 2 pasien dengan kriteria sakit sedang-berat, tidak

ada pasien dengan kriteria sakit ringan dan setelah terapi selama 4

minggu jumlah pasien dengan keriteria sakit ringan menjadi 1 pasien dan

kriteria sakit sedang menjadi 14 pasien dan kriteria sakit sedang-berat

tidak ada. Pada kelompok perlakuan, pada awal periode terapi terdapat 14

pasien dengan kriteria sakit sedang, 1 pasien dengan kriteria sakit

sedang-berat, dan tidak ada pasien dengan kriteria sakit ringan. Setelah 4

minggu terapi, jumlah pasien dengan kriteria sakit ringan menjadi 4

pasien, kriteria sakit sedang menjadi 11 pasien dan tidak ada pasien

dengan kriteria sakit sedang-berat.

Hal ini menunjukkan bahwa baik kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan terjadi perubahan kriteria sakit berdasarkan nilai skala PANSS

namun perubahan tersebut tampak lebih banyak pada kelompok

perlakuan yang diberi terapi antipsikotik standar risperidon yang

dikombinasikan dengan psikoterapi kelompok selama 4 minggu

dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya diberikan terapi

antipsikotik standar risperidon saja.

C. Keterbatasan Penelitian

Karena adanya keterbatasan kemampuan penulis, waktu penelitian

dan biaya maka terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini :

1. Tidak dilakukan pengukuran tingkat kemampuan kognitif sampel

sebelum dilakukan penelitian.


66

2. Tidak dilakukan penelitian terhadap kelompok pasien wanita

sehingga hasil yang didapatkan tidak dapat di generalisasi.

3. Tidak dilakukan follow up, untuk mengetahui seberapa lama

perbaikan gejala klinis skizofrenia dapat bertahan.


67

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Terdapat perbaikan gejala klinis skizofrenia baik pada kelompok

perlakuan yang diberikan terapi antipsikotik standar risperidon

yang dikombinasikan dengan psikoterapi kelompok maupun

kelompok kontrol yang diberikan terapi antipsikotik standar

risperidon saja.

2. Perbaikan gejala klinis skizofrenia pada kelompok perlakuan

lebih besar dibandingakan kelompok kontrol.

3. Psikoterapi kelompok efektif jika dikombinasikan dengan terapi

antipsikotik standar risperidon dalam memperbaiki gejala klinis

skizofrenia.
68

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian pada pasien laki-laki maupun wanita

dan waktu pemberian psikoterapi yang lebih panjang untuk

mendapatkan efektivitas psikoterapi kelompok yang lebih

bermakna.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan membandingkan psikoterapi

kelompok pada pasien skizofrenia rawat inap dan rawat jalan.

3. Perlu dilakukan penelitian yang membandingkan efektivitas

psikoterapi kelompok dengan modalitas psikoterapi lainnya

pada pasien skizofrenia.

4. Perlu dilakukan penelitian dengan metode cohort prospective

untuk melihat seberapa besar pengaruh kombinasi terapi

antipsikotik standar dan psikoterapi kelompok dalam

menurunkan angka kekambuhan dan perbaikan performa

fungsional pasien skizofrenia.


69

DAFTAR PUSTAKA

Amir N. 2001. Pengenalan Instrumen PANSS. FKUI. Jakarta.

Andersen NC, Carpenter WT, Kane JM. 2007. Remission in Schizophrenia


: Proposed Criteria and Rationale Concensus. The Am J of Psych.
162(3) :441-9.

Anna G, Maria CT. 2010. Schizophrenia and Quality of Life : How


Important are Symptoms and Functioning ?. Int J of Mental Health
System. 4:31.

Anthony WA, Blanch A. 1987. Supported Employment for Person Who Are
Psychiatrically Disabled An Historical and Conceptual Perspective.
Psychosoc Rehabil J. 11 :5-23.

Arana GW. 2000. Antipsychotic Drugs In Handbook of Psychiatry Drug


Therapy. Fourth Edition. Lippincott Williams & Wilkins. New York
USA.35-36.

Buchanan RW, Carpenter WT. 2015. Concept of Schizophrenia in Kaplan


& Sadock Synopsis of Psychiatry, 11th Edition. New York : 467-97.

Dennison R. 2015. Aspects and Benefits of Group Therapy. Counseling


Directory. Jun 2015.

Gabrovsek VP. 2009. Inpatient Group Therapy of Patients with


Schizophrenia. Psychiatr Danub, 21 Suppl 1 : 67-72.

Georg J, Pier LM. 2008. The New Approach : Psychosocial Functioning as


a Necessary Outcome Criterion for Therapeutic Success in
Schizophrenia. Current opinion in Psychiatry. 21: 630-9.
70

Grohol J. 2016. Schizophrenia Treatment. Psychiatric Central.


http://psychcentral.com/disorder/schizophrenia-treatment/

Http :/www.Omim.Org/entry. Schizophrenia. 2016

Ibrahim SA. 2005. Skizofrenia dalam Splitting Personality. Dian Ariesta


Jakarta.

Jaeger J, Berns SM, Czobor P. 2003. The Multidimensional Scale of


Independent Functioning. A New Instrument for Measuring
Functional Disability in Psychiatric Population. Schizophr Bull. 29 :
153-68.

Jayaram MB, Hossali P, Stroup TS. 2010. Risperidone versus Olanzapine


for Schizophrenia : Review. www.thecochranelibrary.com.

Jelastopulu E, Giourou E, Merekouilas G, Mestouisi A, Moratis E,


Alexopolous CE. 2014. Correlation between the Personal and Social
Performance Scale (PSP) and the Positive and Negative syndrome
Scale in Greek Sample of Patients with Schizophrenia. BMC
psychiatry ; 14 : 197.

Jones PB, Buckley PF. 2005. Schizophrenia. Churchill Livingstone.


Philadelphia. 2005.

Kanas N. 1986. Inpatient and Outpatient Group Therapy for Schizophrenia


Patient. Am J of Psychotherapy. Jul. 36 : 339-51.

Kanas N. 1991. Group Therapy with Schizphrenic Patients : a Short-term


Homogenous Approach. Int. J Group Psychother. Jan 41 (1) : 33-48.

Kanas N. 1996. Group Therapy for Schizophrenic Patients. Arlington :


American Psychother Press. P. 157.

Kaplan, Saddock’s. 2015. Schizophrenia in Synopsis of Psychiatry. Ed


11th. New York : 467-97.
71

Kaplan, Sadock’s. 2006. Serotonine-Dopamine Antagonists. Atypical


Antipsychotics in Pocket Handbook of Psychiatric Drug Treatment.
Ed 4th. Lippincott Williams & Wilkins. New York USA : 208-13.

Karlsson H. 2011. How Psychotherapy Changes The Brain. Psych Times.


Aug 2011.

Kay S, Opler L, Fizsbein A. 1987. Positive and Negative Symptoms Scale :


The New Approach for Schizophrenia Evaluation.

Kirkpatrick B, Tek C. 2005. Schizophrenia. Clinical features and


Psychopathology in Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Ed 8th. Williams & Wilkins New York.

Koehler J. 2005. Symptoms versus Neurocognitive Skills as Correlates of


Everyday Functioning in Severe Mental Illness. Expert Rev
Neurother. 6 : 47-56.

Koster M, Burlingame MG, Nachtigall C, Strauss B. 2006. A Meta-Analytic


Review of the Effectiveness of Inpatient Group Psychotherapy. Group
Dynamic : Theory, Research and Practice. American Psychol Assoc.
Vol 10. No. 2, 146-163.

Koukorikos K, Pasmatzi E. 2014. Group Therapy in Psychotic Inpatients.


Health Scien J. Vol 8 Issue 3 : 400-407.

Kusumawardhani A dkk. 1994. Pedoman Definisi PANSS. FKUI Jakarta.

Lehman FA, Lieberman JA, Dixon BL, McGlashan HT, Miller LA, Perkins
OD, Kreyenbuhl J. 2004. Practice Guideline for The Treatment of
Patients With Schizophrenia. Work Group on Schizophrenia.
American Psychiatric association. Second Edition. 109.

Lieberman JA, Murray RM. 2001. The Outcome of Psychotic Illness in


Comprehensive Care of Schizophrenia. A Textbook of Clinical
Management.
72

Maramis WF. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University


Press.Surabaya.

Mueser KT, Becker DR, Mc Kurk SR. 2004. Cognitive Functioning


Symptom and Work in Supported Employment. A Review and
Heuristic Model.Schizophr Res. 26 : 71-80.

Pilling S, Bebington P, Kuipers E et.al. 2002. Psychological Treatments in


Schizophrenia. Psychol Med. Jul; 32 : (5) : 763-82.

Sharma T, Antonova L. 2003. Cognitive Function in Schizophrenia.


Deficits, Functional Consequences, and Future Treatment. Psychiatr
Clin North Am; 26 : 25-40.

Sinaga BR. 2007. Skizofrenia dan Diagnosis Banding.FKUI Jakarta.

Soutre E. 1997. Economic Evaluation in Schizophrenia.Neuropsychobiol. .


35 : 67.

Stahl SM. 2008. Antipsychotic Agents in Stahl’s Essential


Psychopharmacology. Neuroscientific Basis and Practical
Applications. Ed 3th. Cambridge University Press.New York USA.
327-367.

Tandon R, Jibson M. 2002. Negative Symptoms of Schizophrenia, How To


Treat Them Most Effectively. www.currentpsychiatry.com.vol 1 No. 9.

Welton J, Kay R. 2015. The Neurobiology of Psychotherapy.J Clin Psych.


2015.66 : 1122-29.

Wolberg RL. 2013. Techniques in Group, Family, and marital Therapies.


The Technique of Psychotherapy. 4th Edition. 1495-1526.

Wu EQ, Birnbaum HG, Shi L, et.al. 2005. The Economic Burden of


Schizophrenia in United States.J Clin Psych. 66 : 1122-29.
73

Lampiran 1. Skala PANSS

PANSS Versi Bahasa Indonesia

Lembar Penilaian

A. Identitas
1. Nama Pasien : Penilai :
2. Umur :
3. Jenis Kelamin :
4. Pendidikan :
5. Pekerjaan :
6. Alamat :
7. Suku :
8. Diagnosis :
9. Usia onset :
10. Lama Gangguan :
11. MRS yang ke :
12. Riwayat Keluarga :
13. Stres Psikososial :
14. Caregiver : No Telp/HP :
No RM :
B. Petunjuk Penilaian
Berikan penilaian dengan memberikan tanda silang (X) pada kolom
nilai yang sesuai, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. = tidak ada
2. = minimal
3. = ringan
4. = sedang
5. = agak berat
6. = berat
7. = sangat berat
74

No Uraian penilaian observasi dan wawancara


1 2 3 4 5 6 7
P1 Waham (isi pikiran tidak realistik, aneh, egosentrik, dan
sulit dikoreksi). Adakah keyakinan, keadaan, dan
kemampuan luar biasa yang terjadi dan dialami pasien ?
P2 Kekacauan Proses Pikir (proses / aliran pikiran yang
terputus atau mengalami sisipan, atau keluar jalur oleh
karena asosiasi yang longgar, sirkumstansial,
tangensial,inkoheren, atau neologisme).
P3 Halusinasi atau Perilaku Halusinatorik (persepsi
sensorik tanpa adanya stimulus, atau perilaku aneh
akibat adanya halusinasi). Ditemukan baik dalam
wawancara, observasi, laporan dari orang lain
(keluarga/perawat).
P4 Perilaku Gaduh Gelisah (hiperaktivitas motorik dengan
atau tanpa tujuan, kewaspadaan berlebihan, labilitas
mood yang berlebihan). Ditemukan baik dengan
observasi maupun laporan dari orang lain
(keluarga/perawat).
P5 Waham Kebesaran (keyakinan tentang keadaan diri
yang berlebihan, memiliki kekuatan dan kemampuan
luarbiasa, kekayaan, status sosial yang tinggi, yang tidak
sesuai kenyataan yang sebenarnya).
P6 Waham Kejaran/Rujukan (keyakinan yang tidak
realistik tentang adanya seseorang atau kelompok orang
atau organisasi yang memusuhi, mengawasi, membenci,
atau ingin mencelakai dirinya dan/atau anggota
keluarganya).
P7 Hostilitas/Sikap Permusuhan (perilaku motorik dan
ekspresi verbal berupa kemarahan, kebencian, mencaci
maki, ataupun agresi/menyerang secara fisik).
Ditemukan melalui observasi maupun laporan dari orang
lain (keluarga/perawat).
75

N1 Afek Tumpul (sangat berkurangnya atau tidak adanya


sama sekali respon emosional). Ditemukan dalam
observasi selama wawancara dengan melihat ekspresi
wajah, modulasi emosi, perubahan intonasi suara, dan
bahasa tubuh.
N2 Penarikan diri secara emosional / emotional
withdrawn (berkurangnya minat atau tidak adanya
sama sekali minat untuk berpartisipasi secara aktif
terhadap kegiatan-kegiatan harian dan kegiatan
kelompok). Ditemukan dengan observasi maupun
laporan dari orang lain (keluarga/perawat).
N3 Kemiskinan Interaktif / Poverty of Rapport
(berkurangnya perilaku interaktif dengan pewawancara).
Ditemukan dengan observasi saat wawancara.
N4 Asosial / Social Withdrawn (berkurangnya atau tidak
adanya sama sekali dorongan untuk membangun
interaksi sosial dengan orang lain yang berada
dilingkungan sekitarnya secara pasif). Ditemukan
dengan observasi atau laporan dari orang lain
(keluarga/perawat).
N5 Gangguan Abstraksi (kesulitan atau kurangnya
kemampuan dalam berpikir abstrak atau simbolik).
Ditemukan dengan wawancara uji pikiran abstrak.
N6 Kemiskinan Isi Pikir dan Produktifitas Pikir
(berkurangnya spontanitas pembicaraan, atau
berkurangnya pembicaraan / poverty of speech atau
berkurangnya isi pembicaraan / poverty of content of
speech). Ditemukan dengan observasi selama
wawancara.
N7 Pikiran Stereotipik (pikiran yang kaku, berulang-ulang
yang tampak dalam pembicaraan yang miskin atau
diulang-ulang, verbigerasi, perseverasi, echolalia).
Ditemukan dengan observasi selama wawancara.
76

G1 Keluhan Somatik (keluhan-keluhan fisik yang berulang-


Ulang, atau keyakinan tentang mengalami penyakit
medis lain). Ditemukan dengan observasi selama
wawancara maupun laporan dari orang lain
(keluarga/perawat).
G2 Ansietas (kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, dan
ketidaktenangan yang berlebihan). Ditemukan dengan
wawancara.
G3 Rasa Bersalah / Guilty Feeling (rasa penyesalan atau
menyalahkan diri sendiri terhadap perilaku buruk yang
telah dilakukannya).
G4 Ketegangan Motorik dan Hiperaktifitas Otonomik
(manifestasi fisik yang jelas akibat adanya perasaan
takut, ansietas, rasa bersalah seperti kekakuan motorik,
tremor, keringat berlebihan, dan kegelisahan).
Ditemukan dengan observasi selama wawancara
maupun dilaporkan oleh orang lain (keluarga/perawat).
G5 Mannerisme dan Sikap Tubuh yang Aneh (gerakan
atau sikap tubuh yang janggal atau tidak wajar atau
penampilan yang aneh dan kacau). Ditemukan dengan
observasi selama wawancara maupun dilaporkan oleh
orang lain (keluarga/perawat).
G6 Depresi (mood yang sedih, murung, putus asa, dan
pesimistik). Ditemukan dengan observasi dan
wawancara.
G7 Retardasi Motorik (menurunnya aktivitas motorik yang
tampak sebagai perlambatan atau kurangnya
pergerakan tubuh dan aktivitas). Ditemukan dengan
observasi selama wawancara maupun dilaporkan oleh
orang lain (keluarga/perawat).
G8 Tidak Kooperatif (secara aktif menolak untuk patuh
terhadap instruksi yang diberikan oleh seseorang, baik
petugas medis maupun sosok panutan dalam keluarga).
77

G9 Pikiran Aneh / Bizarre Thingking (isi pikiran yang tidak


logis, aneh, tidak wajar, asing, bersifat magis, atau
mengalami distorsi yang berat).
G10 Disorientasi (hilangnya kemampuan untuk menyadari
dengan benar waktu yang sedang berjalan, keadaan,
situasi, orang disekitarnya, tempatnya berada saat ini).
G11 Gangguan Atensi (ketidakmampuan untuk
memusatkan perhatian oleh karena konsentrasi yang
buruk, distraktibilitas baik oleh stimulus eksternal
maupun internal, ataupun kesulitan dalam mengarahkan
perhatian terhadap stimulus baru yang diberikan).
G12 Gangguan Uji Daya Nilai dan Tilikan
(ketidakmampuan untuk memahami gangguan psikiatrik
yang dialaminya, kondisi psikologisnya, situasi
kehidupannya saat ini, perilaku buruknya, termasuk
kepatuhan dalam pengobatannya).
G13 Gangguan Dorongan dan Kehendak / Motivasi
(ketidakmampuan untuk memunculkan motivasi untuk
melakukan aktifitas harian dan memenuhi kebutuhan
primernya).
G14 Gangguan Pengendalian Impuls (ketidakmampuan
untuk mengendalikan impuls berupa perilaku emosional
dan agresivitas yang tiba-tiba tanpa mempertimbangkan
tata kesopanan dan konsekwensi dari perilakunya).
G15 Preokupasi (terpaku pada pikiran dan perasaan yang
timbul terus-menerus yang biasanya disertai dengan
perilaku autistik, ataupun dengan kata atau kalimat yang
berulang).
G16 Penghindaran Sosial (dengan sengaja dan secara aktif
menghindari interaksi sosial dengan orang lain di
lingkungan sekitarnya, yang biasanya disertai dengan
sikap ketakutan, permusuhan, atau ketidakpercayaan.
78

S1 Kemarahan / Anger (kemarahan yang timbul terhadap


obyek atau situasi yang berasal dari dalam dirinya
maupun terhadap orang lain dan situasi diluar dirinya).
S2 Gratifikasi Segera (ketidakmampuan untuk menerima
dan memaklumi, ataupun merubah tujuan jika
keinginannya tertunda atau tidak dapat dipenuhi).
S3 Afek Labil (suasana perasaan dan emosi yang tidak
menetap atau tidak stabil, berfluktuatif dari waktu ke
waktu).
79
80

FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN UNTUK


SUBYEK >18 TAHUN

Kami yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Pekerjaan :

Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti tentang manfaat dan


resiko dari penelitian ini, dengan ini menyatakan bersedia secara sukarela
tanpa paksaan untuk mengikuti/menyertakan keluarga kami dalam
penelitian ini dan mentaati semua prosedur yang akan dilakukan pada
saat penelitian ini.

Saya mengerti bahwa prosedur pemeriksaan Kejiwaan (Psikiatri)


terhadap saya/keluarga kami tidak akan menyebabkan hal-hal yang
merugikan dan saya percaya bahwa akan dilakukan tindakan-tindakan
kewaspadaan untuk mencegah hal-hal tersebut, dan tidak ada biaya
tambahan yang harus saya keluarkan bila dilakukan tindakan-tindakan
kewaspadaan.

Bila dalam penelitian ini terjadi perselisihan antara peneliti dan saya,
maka keluarga saya berhak untuk tidak ikut penelitian ini.

Saya/keluarga kami juga berhak menolak untuk menjalani


pemeriksaan Kejiwaan (Psikiatri) atau tidak ikut dalam penelitian ini tanpa
kehilangan hak saya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari
dokter.

Makassar, Juni 2017

(……………………………)
81

Nama Saksi, Tanda tangan

1. . . . . . . . . ............

2. . . . . . . . . ............

Peneliti Utama : dr. Nur Eddy

Komp. Hasanuddin Blok A 22 Gowa - SulSel /081341666619

Dokter Penanggung Jawab Medis : Dr. dr. H. M. Faisal Idrus, Sp.KJ(K)

Alamat : Jl. Bonto Mene No. 27 Makassar

Tlp : 081355473741

Disetujui oleh Reviewer

KEPK. Fak Kedokteran UNHAS

Tanggal :
82

USIA LAMA PANSS PANSS 2 PANSS 4 POSITIF POSITIF NEGATIF NEGATIF KATEGORI SAKIT KATEGORI SAKIT
NO NAMA GROUP UMUR PENDIDIKAN STATUS TIPE SKIZOFRENIA RELAPS PU AWAL PU AKHIR
ONSET GANGGUAN AWAL Mgg Mgg AWAL AKHIR AWAL AKHIR AWAL AKHIR
1 Tn. R 1 32 SMP KAWIN SKIZOFRENIA PARANOID 28 4 4 88 84 79 26 22 24 23 38 34 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
2 Tn. J 1 30 SD CERAI SKIZOFRENIA TAK TERINCI 21 9 4 90 85 79 28 23 25 23 37 33 SAKIT SEDANG-BERAT SAKIT SEDANG
3 Tn. YM 1 36 SMA CERAI SKIZOFRENIA PARANOID 26 10 5 83 78 74 25 21 23 21 35 32 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
4 Tn. B 1 33 SD TIDAK SKIZOFRENIA PARANOID 27 6 3 85 82 77 25 22 21 20 39 35 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
5 Tn. F 1 29 SD CERAI SKIZOFRENIA TAK TERINCI 21 8 4 80 77 71 24 20 22 20 34 31 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
6 Tn. BA 1 30 SMP TIDAK SKIZOFRENIA PARANOID 27 3 3 87 83 77 27 22 22 20 38 35 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
7 Tn. RB 1 34 SD KAWIN SKIZOFRENIA PARANOID 22 12 8 79 76 71 24 20 20 18 35 33 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
8 Tn. L 1 35 SMP KAWIN SKIZOFRENIA PARANOID 28 7 3 80 77 70 25 21 22 19 33 30 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
9 Tn. MH 1 28 SD TIDAK SKIZOFRENIA TAK TERINCI 23 5 2 78 74 69 25 20 22 21 31 28 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
10 Tn. M 1 27 SMP KAWIN SKIZOFRENIA TAK TERINCI 23 4 1 89 85 78 27 22 23 21 39 35 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
11 Tn. DS 1 36 SMA CERAI SKIZOFRENIA YTT 25 11 7 92 87 80 28 23 24 22 40 35 SAKIT SEDANG-BERAT SAKIT SEDANG
12 Tn. AT 1 35 SMA CERAI SKIZOFRENIA PARANOID 28 7 3 77 74 68 25 21 20 18 32 29 SAKIT SEDANG SAKIT RINGAN
13 Tn. IM 1 31 SMA TIDAK SKIZOFRENIA TAK TERINCI 25 6 3 85 80 74 26 20 22 20 37 34 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
14 Tn. SS 1 34 SD TIDAK SKIZOFRENIA PARANOID 24 10 6 82 79 72 26 21 22 21 34 30 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
15 Tn. AW 1 31 SMP TIDAK SKIZOFRENIA YTT 25 6 3 81 77 72 25 21 23 22 33 29 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
16 Tn. S 2 30 SMA KAWIN SKIZOFRENIA YTT 25 5 2 83 78 71 25 20 21 18 37 33 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
17 Tn. A 2 28 SD TIDAK SKIZOFRENIA TAK TERINCI 24 4 0 88 83 78 26 20 23 21 39 37 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
18 Tn. RA 2 23 SMA TIDAK SKIZOFRENIA PARANOID 20 3 1 80 75 69 23 18 21 19 36 32 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
19 Tn. Au 2 39 SD TIDAK SKIZOFRENIA PARANOID 27 12 8 82 78 72 26 21 22 20 34 31 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
20 Tn. Y 2 35 SD CERAI SKIZOFRENIA PARANOID 25 10 7 79 74 67 24 19 21 18 34 30 SAKIT SEDANG SAKIT RINGAN
21 Tn. AR 2 40 SMA CERAI SKIZOFRENIA PARANOID 32 8 6 85 81 73 27 21 22 19 36 33 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
22 Tn. Sy 2 37 SMP KAWIN SKIZOFRENIA TAK TERINCI 30 7 3 77 71 62 26 18 22 19 29 25 SAKIT SEDANG SAKIT RINGAN
23 Tn.N 2 36 SD TIDAK SKIZOFRENIA PARANOID 32 4 4 75 70 63 24 18 21 19 30 26 SAKIT SEDANG SAKIT RINGAN
24 Tn. Su 2 24 SMP TIDAK SKIZOFRENIA YTT 23 1 2 83 78 70 25 18 23 20 35 32 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
25 Tn.AM 2 28 SMA TIDAK SKIZOFRENIA PARANOID 26 2 1 78 72 65 23 17 20 18 35 30 SAKIT SEDANG SAKIT RINGAN
26 Tn. I 2 31 SMP TIDAK SKIZOFRENIA YTT 28 3 4 90 84 76 28 22 23 20 39 34 SAKIT SEDANG-BERAT SAKIT SEDANG
27 Tn. DL 2 25 SMP KAWIN SKIZOFRENIA PARANOID 20 5 4 86 81 72 27 20 21 19 38 33 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
28 Tn. P 2 29 SMP TIDAK SKIZOFRENIA TAK TERINCI 23 6 4 84 79 71 26 20 22 20 36 31 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
29 Tn. HC 2 30 SMA TIDAK SKIZOFRENIA PARANOID 20 10 7 86 81 75 26 20 23 21 37 34 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG
30 Tn. AL 2 28 SD CERAI SKIZOFRENIA YTT 22 6 4 82 77 70 24 19 23 21 35 30 SAKIT SEDANG SAKIT SEDANG

Anda mungkin juga menyukai