Anda di halaman 1dari 170

SKRIPSI

PENGARUH LATIHAN RELAKSASI NAPAS DALAM TERHADAP


PERUBAHAN SKOR KECEMASAN PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT
PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

OLEH:

NOVITA NIPA
C12114316

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
SKRIPSI

PENGARUH LATIHAN RELAKSASI NAPAS DALAM TERHADAP


PERUBAHAN SKOR KECEMASAN PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT
PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

Skripsi ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH:

NOVITA NIPA
C12114316

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
ii
iii
ABSTRAK

Novita Nipa. C12114316. PENGARUH LATIHAN RELAKSASI NAPAS DALAM


TERHADAP PERUBAHAN SKOR KECEMASAN PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN, dibimbing oleh Hapsah dan Abdul Majid.

Latar Belakang : Penderita penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis dapat
mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan. Salah satu cara untuk mengatasi kecemasan
yaitu memberikan latihan relaksasi napas dalam. Tujuan : penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor kecemasan pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSP UNHAS.

Metode : Dalam penelitian ini digunakan Quasi Experimental dengan rancangan Time Series with
Control Group Design. Kelompok intervensi diberikan latihan relaksasi napas dalam diberikan
selama 2 minggu dan dilakukan 2 kali sehari selama 10 menit. Besar sampel masing-masing 15
responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada penelitian ini digunakan pendekatan
dengan uji Independent t-test dan uji Mann Whitney.

Hasil : Terdapat perbedaan skor kecemasan setelah intervensi dengan selisih mean sebesar 33,6
sehingga terdapat pengaruh latihan relaksasi napas dalam dengan p=0,000 atau p<0.005.
Sedangkan, pada kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan relaksasi napas dalam hanya
memiliki selisih mean sebesar 3,46.

Kesimpulan dan saran : Latihan relaksasi napas dalam dapat menurunkan skor kecemasan pasien
yang menjalani hemodialisis.

Kata kunci : Relaksasi napas dalam, skor kecemasan, pasien hemodialisis

Sumber literatur : 86 Kepustakaan (2000-2017)

iv
ABSTRACT

Novita Nipa. C121114316. THE EFFECT OF DEEP BREATHING RELAXATION


EXERCISE ON CHANGE ANXIETY SCORE IN PATIENTS WITH CHRONIC KIDNEY
DISEASE UNDERGOING HEMODIALYSIS AT EDUCATION HOSPITAL OF
HASANUDDIN UNIVERSITY, guide by Hapsah and Abdul Majid.

Background : Patients with chronic kidney disease (CKD) undergoing hemodialysis have a
psychological disorders that is anxiety. One way to overcome the anxiety is to provide deep
breathing relaxation exercises. Objective : this study was to determine the effect of deep breathing
relaxation exercises on change in anxiety score of patient with chronic kidney disease undergoing
hemodialysis at Hospital of Hassanuddin University.

Methods : The research used the Quasi Experimental Time Series with Control Group Design.
The intervention group was given a deep breathing relaxation exercise 2 weeks with twice a day
for 10 minutes. The sample size was 15 respondents each intervention and control group. On the
research also used approach with Independent t-test and Mann Whitney test.

Result : The results showed that the differences the mean anxiety score is 33.6 than there is the
influence of deep breathing relaxation exercise with p=0.000 or p<0.005. Whereas, in the control
group there was not given a deep breathing relaxation exercise just have a differences mean is
3.46.

Conclusions and suggestions : Deep breathing relaxation exercises can decreased anxiety score of
patient undergoing hemodialysis.

Key words : Deep Breathing Relaxation, Anxiety Score, Hemodialysis Patient.

Source of literature : 86 Literature (2000-2017).

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Latihan

Relaksasi Napas Dalam terhadap Perubahan Skor Kecemasan Pasien Gagal Ginjal

Kronik yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Pendidikan Universitas

Hasanuddin”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang

selalu mendoakan, mendukung, dan memberikan semangat dalam penyelesaian

skripsi ini.

Dari perencanaan hingga penyusunan skripsi ini tentunya menuai banyak

hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan, bantuan, dan kerjasama dari

berbagai pihak akhirnya hambatan dan kesulitan yang dihadapi peneliti dapat

diatasi. Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima

kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Ibu Dr. Ariyanti Saleh, S.Kp., M.Si selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Hasanuddin

2. Ibu Hapsah, S.Kep., Ns., M.Kep selaku pembimbing I dan Bapak Abdul

Majid, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB selaku pembimbing II yang telah setia

membimbing dan memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini

3. Ibu Dr. Yuliana Syam, S.Kep., Ns., M.Kes selaku penguji I dan Titi Iswanti

Afelya, S.Kep., M.Kep., Ns., Sp.KMB selaku penguji II yang senantiasa

memberikan saran demi menyempurnakan skripsi ini

4. Kepala ruangan hemodialisa Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin

serta staf yang telah memberi izin dan membantu dalam penelitian ini

vi
5. Segenap dosen, staf akademik, staf perpustakaan, dan staf tata usaha Program

Studi Ilmu Keperawatan UNHAS yang telah membantu penulis dalam

menyusun dan menyelesaikan skripsi ini

6. Sahabat-sahabat angkatan 2014 “CRAN14L” yang selalu memberikan

dukungan dan semangat agar segera menyelesaikan skripsi ini

7. Semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,

baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu.

Dari semua bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis tentunya

tidak dapat memberikan balasan yang setimpal kecuali berdoa semoga Tuhan

Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua

pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berharap

dengan adanya skripsi ini, pembaca dapat menambah ilmu dan dapat mengetahui

manfaat relaksasi napas dalam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh

dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun

dapat diterima dengan senang hati demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata dari

penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, 11 Desember 2017

Novita Nipa

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN ...................................Error! Bookmark not defined.

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................Error! Bookmark not defined.

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

ABSTRACT ............................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii

DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiii

DAFTAR DIAGRAM .......................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 10

A. Penyakit Ginjal Kronik ................................................................................ 10

1. Defenisi Penyakit Ginjal Kronik .............................................................. 10

2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik............................................................... 10

3. Tahap Perkembangan dan Derajat Penyakit Ginjal Kronik ..................... 11

4. Manifestasi Klinik Penyakit Ginjal Kronik.............................................. 13

viii
5. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik ....................................................... 14

6. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik ......................................................... 18

7. Penataksanaan Penyakit Ginjal Kronik .................................................... 18

B. Hemodialisis ................................................................................................ 19

1. Defenisi Hemodialisis .............................................................................. 19

2. Indikasi Hemodialisis ............................................................................... 20

3. Prinsip Kerja Hemodialisis ...................................................................... 21

4. Lama Terapi ............................................................................................. 23

5. Komplikasi Hemodialisis ......................................................................... 23

C. Kecemasan Pasien yang Menjalani Hemodialisis........................................ 27

1. Defenisi Kecemasan ................................................................................. 27

2. Penyebab dan Faktor yang Memengaruhi Kecemasan ............................ 28

3. Gejala-Gejala Kecemasan ........................................................................ 29

4. Tingkat Kecemasan .................................................................................. 30

5. Dampak Kecemasan ................................................................................. 32

6. Rentang respon kecemasan ...................................................................... 33

7. Penatalaksanaan Kecemasan ................................................................... 34

D. Relaksasi Napas Dalam ............................................................................... 36

1. Defenisi Relaksasi Napas Dalam ............................................................. 36

2. Manfaat Relaksasi napas dalam ............................................................... 36

3. Mekanisme kerja latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan


kecemasan .................................................................................................... 37

4. Indikasi relaksasi napas dalam ................................................................. 43

5. Langkah-Langkah Relaksasi Napas Dalam ............................................. 43

E. Kerangka Teori............................................................................................. 48

ix
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ........................................... 49

A. Kerangka Konsep......................................................................................... 49

B. Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 50

BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 51

A. Rancangan Penelitian ................................................................................... 51

B. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 53

C. Populasi dan Sampel .................................................................................... 53

D. Alur Penelitian ............................................................................................. 56

E. Variabel Penelitian ....................................................................................... 57

F. Instrumen Penelitian..................................................................................... 58

G. Pengolahan dan Analisa Data....................................................................... 62

H. Etika Penelitian ............................................................................................ 67

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 69

A. Hasil Penelitian ............................................................................................ 69

B. Pembahasan .................................................................................................. 76

C. Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 87

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 88

A. Kesimpulan .................................................................................................. 88

B. Saran ............................................................................................................. 88

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 90

x
DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Pembagian Derajat PGK ............................................................................. 12

Tabel II.2 Gejala-Gejala Kecemasan ........................................................................... 30

Tabel 5. 1 Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Usia, Lama Menderita


PGK, dan Lama menjalani Hemodialisis di Ruang Hemodialisa
Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (n=30) ................................... 70

Tabel 5. 2 Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat


Pendidikan, Pekerjaan, Status Pernikahan, dan Penyakit Penyerta di
Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (n=30) ... 71

Tabel 5.3 Distribusi skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis sebelum
diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
(n=30) ......................................................................................................... 72

Tabel 5.4 Distribusi skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis setelah
diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
(n=30) ......................................................................................................... 73

Tabel 5.5 Hasil analisis perbedaan rerata skor kecemasan pada kelompok
intervensi dan kelompok ontrol sebelum (pre), setelah 1 minggu (post
1), dan setelah 2 minggu (post 2) diberikan intervensi latihan relaksasi
napas dalam (n=30) ................................................................................... 73

Tabel 5.6 Hasil analisis perbedaan selisih skor kecemasan pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol setelah diberikan latihan relaksasi
napas dalam pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSP
UNHAS (n=30) ......................................................................................... 75

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Rentang respons kecemasan ......................................................... 34

xii
DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Mekanisme kerja latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan


kecemasan ............................................................................................................... 42

Bagan 2. Kerangka teori ...................................................................................... 48

Bagan 3. Kerangka konsep .................................................................................. 49

xiii
DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1. Perbedaan skor kecemasan kelompok intervensi sebelum, setelah 1


minggu, dan setelah 2 minggu diberikan latihan relaksasi napas dalam
pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin

Diagram 2. Perbedaan skor kecemasan kelompok kontrol sebelum, setelah 1


minggu, dan setelah 2 minggu diberikan latihan relaksasi napas dalam
pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Penjelasan untuk Responden

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Lampiran 3 Lembar Observasi Kemampuan Responden dalam Melakukan


Latihan Relaksasi Napas Dalam

Lampiran 4 Kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS)

Lampiran 5 Lembar data karakteristik responden

Lampiran 6 Lembar Tabulasi Skor Kecemasan Pasien yang Menjalani


Hemodialisis pada Kelompok Intervensi

Lampiran 7 Lembar Tabulasi Skor Kecemasan Pasien yang Menjalani


Hemodialisis pada Kelompok Kontrol

Lampiran 8 Lembar Kerja Prosedur Latihan Relaksasi Napas Dalam

Lampiran 9 Buku Panduan Latihan Relaksasi Napas Dalam

Lampiran 10 Master Tabel

Lampiran 11 Diagram

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) merupakan

ketidakmampuan ginjal membuang sisa metabolisme dan mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia (Baradero,

Dayrit, & Siswadi, 2008). Pendapat lain menurut Cahyaningsih (2009) penyakit

ginjal kronik juga terjadi ketika ginjal tidak dapat mempertahankan lingkungan

yang cocok bagi kelangsungan hidupnya, sedangkan menurut Suharyanto &

Madjid (2009) penyakit ginjal kronik bersifat progresif dan irreversible dimana

ginjal tidak mampu mengembalikan fungsinya. Sehingga, dapat disimpulkan

bahwa penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hilangnya fungsi ginjal dan

berakibat pada ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan komponen lain dalam

tubuh.

Pasien penyakit ginjal kronik ini mengalami banyak perubahan, seperti

perubahan fisik, perubahan psikologis, perubahan sosial dan lingkungan. Gejala

fisik yang ditimbulkan dari penyakit ginjal kronik, seperti: gangguan

kardiovaskuler (hipertensi), gangguan pencernaan, gangguan perkemihan,

gangguan reproduksi, gangguan endokrin, dan lain-lain. Sementara, dampak dari

perubahan psikologis yang terjadi salah satunya adalah kecemasan. Gangguan

psikologis tersebut terkait dengan kondisi medis pada umumnya dialami oleh

penderita (Andri, 2013). Pendapat yang sama menurut Wang & Chen (2012)

bahwa penyakit ginjal kronik cenderung memengaruhi aspek fisik dan mental

1
salah satunya ialah timbulnya rasa cemas. Sekitar 12%-52% pasien dengan

penyakit ginjal kronik mengalami kecemasan berat.

Gejala yang dialami tentunya dapat mengancam nyawa pasien bila tidak

diatasi dengan segera (RISKESDAS, 2013). Sehingga, untuk mengatasi gejala

tersebut pasien dianjurkan untuk menjalani terapi pengganti ginjal. Salah satu

terapi pengganti fungsi ginjal adalah hemodialisis. Hemodialisis akan mencegah

kematian namun tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal. Bagi

pasien penyakit gagal ginjal kronik, harus menjalani terapi dialisis sepanjang

hidupnya untuk meningkatkan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala

uremia (Smeltzer & G.Bare, 2001). Hingga sekarang, beberapa sumber mencatat

pasien dengan kasus PGK yang menjalani hemodialisis di seluruh dunia terus

meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya.

End-Stage Renal Disease (ESRD) Patients melaporkan adanya peningkatan

jumlah penderita PGK yang menjalani hemodialisis dari tahun 2010 hingga 2013.

Berdasarkan laporan tahun 2010 jumlah pasien yang menjalani hemodialisis

sebanyak 1.810.000 orang, tahun 2012 sebanyak 2.106.000 orang dan tahun 2013

sebanyak 2.250.000 orang (Fresenius Medical Care, 2010; 2012; 2013). Selain

itu, World Health Organization (WHO) mencatat lebih dari 500 juta orang

penyandang PGK. Dari tahun 2010 - 2014 sebanyak 36 juta orang meninggal

dunia dan yang harus menjalani hidup dengan bergantung pada terapi

hemodialisis sebanyak 1,5 juta orang (WHO, 2014).

Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah penderita PGK yang

cukup tinggi. Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), (2015) melaporkan

2
sekitar 25 juta sampai 30 juta orang di Indonesia mengidap penyakit ginjal baik

penyakit ginjal akut maupun kronik. Data dari Indonesian Renal Registry (2015)

menunjukkan adanya peningkatan pasien yang menjalani hemodialisis dari tahun

ke tahun, total pasien yang menjalani hemodialisis hingga 31 Desember 2015

sebanyak 51.604 orang dari 249 renal unit.

Di Sulawesi Selatan sendiri PGK menempati urutan ke-3 dari prevalensi

tertinggi yaitu sebesar 0,3 % setelah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara

(RISKESDAS, 2013). Data dari Indonesian Renal Registry (2015), di Sulawesi

Selatan sendiri terdapat 5 renal unit dan pada tahun 2015 melaporkan jumlah

pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 1.287 pasien. Di kota Makassar

berdasarkan hasil studi pendahuluan di ruang hemodialisis Rumah Sakit

Pendidikan Universitas Hasanuddin diperoleh data jumlah pasien yang menjalani

hemodialisis selama tahun 2015 sebanyak 770 pasien, tahun 2016 sebanyak 753

pasien dan tahun 2017 sampai bulan Agustus tercatat sebanyak 436 pasien.

Setiap pasien dijadwalkan menjalani hemodialisis 2-3 kali per minggu selama 4-

5 jam setiap kali menjalani hemodialisis.

Penelitian yang dilakukan oleh Tokala, Kandou, & Dundu (2015) mengenai

tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis menunjukkan hasil bahwa

dari 34 pasien, 16 orang (47,1%) tidak cemas, 11 orang (32,4%) mengalami

cemas ringan, 6 orang (17,6%) cemas sedang, dan 1 orang (2,95%) mengalami

cemas berat. Sedangkan pada penelitian Zhang & et.al (2014) pasien yang

menjalani hemodialisis merasakan kecemasan sebesar 43%, depresi 33%, dan

sisanya 24% tidak mengalami depresi maupun cemas. Penelitian yang sama

3
dilakukan oleh Vasilopoulou & et.al (2016) di Canada dengan hasil bahwa pasien

hemodialisis merasakan kecemasan berat sebanyak 47,8% dan depresi berat

sebanyak 38,2%.

Kecemasan yang dirasakan oleh pasien yang menjalani hemodialisis

tentunya menjadi perhatian khusus dari tenaga kesehatan. Apabila tidak diatasi

maka dapat berdampak pada masalah psikologis yang lebih berat. Sehingga,

dalam mengatasi hal ini digunakan terapi non farmakologi seperti terapi perilaku

dan terapi kognitif (Stuart, 2013). Menurut National Institute of Mental Health,

penelitian telah membuktikan bahwa kedua terapi tersebut sangat efektif

mengurangi kecemasan. Salah satu terapi perilaku yang dapat dilakukan yaitu

relaksasi napas dalam dengan ciri pernapasan lambat dan dalam (American

Psycological Association, 2008; Bulechek & et.al, 2013).

Relaksasi napas dalam dapat mengatasi kecemasan, mengurangi rasa nyeri,

insomnia, dan stress. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi

nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan

oksigenasi dalam darah. Relaksasi napas dalam juga dapat memunculkan

keadaan tenang dan rileks yaitu gelombang otak perlahan-lahan akan melambat

yang dapat membuat seseorang dapat beristirahat dengan tenang (Smeltzer &

G.Bare, 2001). Manfaat lain dari relaksasi napas yaitu terjadi penurunan kadar

kortisol, epineprin, dan norepineprin yang dapat menyebabkan perubahan

hemodinamik yaitu penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi (Dusek &

Benson, 2009).

4
Penelitian yang dilakukan (Gea, 2013) dengan intervensi relaksasi napas

dalam menunjukkan adanya perubahan skor kecemasan pada pasien pre operasi.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semua pasien yang menjalani

hemodialisis sebelum intervensi relaksasi napas dalam merasakan kecemasan

mulai dari kecemasan ringan 20%, kecemasan sedang 70%, dan kecemasan berat

10%. Namun, setelah diberikan relaksasi napas dalam pasien tidak lagi

merasakan kecemasan berat tetapi menurun ke tingkat kecemasan sedang sebesar

13,3%, kecemasan ringan 70% bahkan tanpa kecemasan sebesar 16,7%.

Penelitian lain dilakukan oleh (Hidayat & Ekaputri, 2015) dengan hasil

menunjukkan adanya penurunan tingkat kecemasan pada pasien diabetes mellitus

dan TB paru. Sedangkan dalam penelitian Irem Huzmeh,et.al (2016) yang

dilakukan di Turki, terapi napas dalam efektif dalam meningkatkan kualitas

hidup pasien penyakit ginjal kronik.

Relaksasi napas dalam merupakan salah satu intervensi mandiri

keperawatan yang dapat digunakan untuk mengatasi gejala psikologis pasien. Hal

ini penting untuk diajarkan kepada pasien mengingat kondisi yang dihadapi tidak

menentu, misalnya mengalami gejala psikologis. Relaksasi ini dapat berguna

untuk memperbaiki kondisi kesehatan dan menghambat timbulnya stres dan

kecemasan (Rickard, et.al, 2014). Oleh karena hubungan tubuh dengan pikiran

yang sangat kuat sehingga tidak hanya menimbulkan efek yang menenangkan

fisik tetapi juga bermanfaat dalam memberi ketenangan pada pikiran. Hingga

saat ini, relaksasi napas dalam masih termasuk salah satu terapi yang banyak

digunakan karena mudah dan tidak membutuhkan alat saat dilakukan. Hanya

5
memerlukan konsentrasi penuh, posisi yang nyaman, serta dapat menggunakan

imajinasi (Widyastuti & Yulianti, 2003).

Di Rumah Sakit UNHAS berdasarkan hasil wawancara 5 pasien,

mengatakan bahwa mereka cenderung merasakan cemas, khawatir, tidak tenang,

gelisah, dan takut terlebih saat pertama kali menjalani hemodialisis. Di antara

mereka bahkan masih ada yang merasa denial (menolak) menjalani hemodialisis.

Kondisi yang dialami tersebut sebagai tanda bahwa mereka mengalami

kecemasan (Barbara Kozier, et.al, 2010). Selain itu, di ruang hemodialisis pasien

diberikan napas dalam oleh perawat namun teknik yang digunakan belum sesuai

dengan standar operasional prosedur (SOP). Napas dalam yang diberikan hanya

pada saat pasien akan disuntik untuk menjalani hemodialisis demi mengurangi

rasa nyeri namun bukan untuk mengatasi gejala psikologis pasien, seperti:

kecemasan. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana

latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor kecemasan pada pasien

penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Pendidikan

Universitas Hasanuddin Makassar.

B. Rumusan Masalah

Kecemasan menjadi salah satu masalah psikologis pada pasien

hemodialisis. Hal ini berdampak buruk pada kondisi fisik maupun psikologis

pasien jika dibiarkan tanpa tindakan yang tepat. Pada kondisi seperti ini,

diperlukan terapi untuk mengatasi kecemasan pasien demi meningkatkan

kualitas hidupnya selama menjalani hemodialisis. Salah satu terapi kecemasan

ialah latihan relaksasi napas dalam.

6
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa latihan relaksasi napas

dalam menjadi salah satu dari intervensi keperawatan yang dapat menurunkan

kecemasan. Latihan relaksasi napas dalam dapat membuat perasaan rileks dan

tenang. Berdasarkan hasil studi awal, diperoleh data di Rumah Sakit

Universitas Hasanuddin bahwa gejala cemas yang dirasakan pasien yang

menjalani hemodialisis belum mendapat intervensi karena tenaga kesehatan

belum pernah melakukan pengkajian mengenai kecemasan pasien. Sehingga,

untuk mengatasi hal tersebut belum diberikan terapi salah satunya relaksasi

napas dalam.

Informasi lain yang diperoleh di ruang hemodialisis yaitu pasien telah

diberikan napas dalam oleh perawat sebelum disuntik namun teknik yang

digunakan belum sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Selain

itu, di ruang hemodialisis belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya

mengenai latihan relaksasi napas dalam kepada pasien yang menjalani

hemodialisis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh

latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor kecemasan pasien

hemodialisis di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin. Berdasarkan latar

belakang tersebut, pertanyaan untuk penelitian ini adalah: Bagaimana

pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor kecemasan

pasien hemodialisis di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin?

7
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan

skor kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di

Rumah Sakit Universitas Hasanuddin

2. Tujuan Khusus

a. Teridentifikasi gambaran karakteristik responden berdasarkan usia,

jenis kelamin, lama menderita penyakit ginjal kronik, lama menjalani

hemodialisis, penyakit penyerta, status pernikahan, tingkat pendidikan

terakhir, dan pekerjaan pasien yang menjalani hemodialisis

b. Teranalisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani

hemodialisis sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol

c. Teranalisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani

hemodialisis setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol

d. Teranalisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani

hemodialisis sebelum, setelah 1 minggu, dan setelah 2 minggu pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah diberikan latihan

relaksasi napas dalam

e. Teranalisis perbedaan selisih skor kecemasan antara kelompok

intervensi dan kelompok kontrol setelah diberikan latihan relaksasi

napas dalam

8
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Memberikan bukti-bukti empiris bahwa latihan relaksasi napas dalam

mampu mengubah skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Rumah sakit

Meningkatkan pengetahuan dan menjadi pembelajaran bagi tenaga

kesehatan tentang manfaat latihan relaksasi napas dalam terhadap

perubahan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis.

b. Bagi Masyarakat

Menambah wawasan masyarakat serta mampu menerapkan relaksasi

napas dalam dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih saat

mengalami gejala psikologis.

c. Bagi peneliti selanjutnya

Memberikan informasi terhadap penelitian selanjutnya tentang latihan

relaksasi napas dalam. Selain itu, perlu dilakukan pengembangan

penelitian terkait terapi lain yang mampu menurunkan skor kecemasan

pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronik

1. Defenisi Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan ketidakmampuan ginjal

mempertahankan lingkungan hidupnya dalam melaksanakan fungsi

membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Kerusakan ginjal menyebabkan

ginjal kehilangan fungsi dan tidak dapat pulih seperti sedia kala.

Akibatnya, terjadi kepenyakitan dalam mempertahankan keseimbangan

metabolisme, cairan dan elektrolit. Gangguan fungsi renal ini bersifat

progresif dan irreversible yang dapat menyebabkan uremia (retensi urea

dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & G.Bare, 2001;

Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008; Suharyanto & Madjid, 2009).

2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal

dalam mempertahankan kemampuan metabolisme serta keseimbangan

elektrolit dan cairan menyebabkan uremia. Hal ini terjadi karena

disebabkan oleh beberapa hal yang sangat bervariasi. Penyebab terjadinya

penyakit ginjal kronik menurut (Smeltzer & G.Bare, 2001; Suharyanto &

Madjid, 2009) diantaranya:

a) Penyakit sistemik:

1) Gangguan metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme,

amiloidosis

10
2) Peradangan: glomerulonephritis kronis

3) Obstruksi traktus urinarius

4) Penyakit kongenital dan herediter, seperti: penyakit ginjal

polikistik, asidosis tubulus ginjal

5) Gangguan vaskuler: hipertensi, nefrosklerosis benigna,

nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis

6) Penyakit infeksi: pielonefritis kronik

7) Medikasi dan agens toksik: penyalahgunaan analgesik

8) Gangguan jaringan penyambung: lupus eritematosus sistemik,

poliartritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.

9) Nefropati obstruktif: saluran kemih bagian atas yaitu kalkuli,

neoplasma, fibrosis retroperitoneal, sedangkan saluran kemih

bagian bawah yaitu hipertrofi prostat, striktur uretra, anomali

kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

b) Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi penyakit ginjal

kronis mencakup timah, kadmium, merkuri, dan kromium.

3. Tahap Perkembangan dan Derajat Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik dapat berlangsung melalui empat stadium

menurut (Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008) yaitu :

a) Stadium I (penurunan cadangan ginjal)

Stadium I ditandai sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi, laju filtrasi

glomerulus (GFR) adalah 40% sampai 50% laju normal, BUN dan

kreatinin serum masih normal, dan pasien asimtomatik.

11
b) Stadium II (insufisiensi ginjal)

Stadium II ditandai sekitar 75-80% nefron tidak berfungsi, laju

filtrasi glomerulus (GFR) adalah 20% sampai 40% laju normal, BUN dan

kreatinin serum mulai meningkat di atas batas normal, anemia ringan dan

azotemia ringan, serta nokturia dan poliuria.

c) Stadium III (penyakit ginjal)

Stadium III ditandai laju filtrasi glomerulus (GFR) 10% sampai 20%

laju normal, BUN dan kreatinin serum meningkat, anemia, azotemia, dan

asidosis metabolik, nokturia dan poliuria, serta gejala penyakit ginjal.

d) Stadium IV (tahap akhir)

Stadium IV ditandai lebih dari 85% nefron tidak berfungsi, laju

filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 10% laju normal, BUN dan

kreatinin serum tinggi, anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,berat

jenis urine tetap 1,010, oliguria, serta gejala penyakit ginjal.

Sedangkan menurut Aguirre, et al. (2011), penurunan laju filtrasi

glomerulus sangat memengaruhi derajat penyakit ginjal kronik. Derajat

penyakit ginjal kronik dapat dibagi menjadi lima tahap yaitu :

Tabel II.1 Pembagian Derajat PGK


Derajat LFG Rencana tatalaksana
mL/menit/

Derajat 1: >90 Menegakkan diagnosa dan mengatasi dari


(kerusakan ginjal kondisi yang mendasari dan kondisi komorbid,
dengan LFG normal pemburukan lambat, memperkecil risiko
atau meningkat) kardiavasukuler
Derajat 2: (ringan) 60-89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal
Derajat 3: (sedang) 30-59 Evaluasi dan atasi komplikasi
Derajat 4: (berat) 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal
Derajat 5:(gagal ginjal) <15 atau dialysis Dialisis jika uremia
Sumber: (Aguirre, et al., 2011)

12
4. Manifestasi Klinik Penyakit Ginjal Kronik

Secara umum manifestasi klinis dari penyakit ginjal kronik dapat

dilihat dari berbagai gangguan sistem yang timbul menurut (Baughman &

Hackley, 2000; Smeltzer & G.Bare, 2001; Baradero, Dayrit, & Siswadi,

2008; Brunner & Suddarth, 2014) yaitu sebagai berikut :

a) Gangguan kardiovaskuler : hipertensi akibat retensi cairan dan natrium

dari aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, nyeri dada, sesak

napas, pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema perorbital,

pembesaran vena pada leher, hipervolemia, hyperlipidemia,

hyperkalemia, takikardia, disritmia, penyakit jantung kongestif,

perikarditis akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksin uremik,

edema pulmoner akibat cairan berlebih

b) Sistem respirasi : takipnea, ronkhi basah kasar (krekels), napas

dangkal, pernapasan kussmaul, sputum lengket dan kental, batuk

disertai nyeri, penurunan refleks batuk, pleural friction rub, edema

paru, nyeri pleura, dan sesak napas.

c) Sistem gastrointestinal : anoreksia, nausea dan vomitus, cegukan,

perdarahan saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan pada

mulut, parotitis atau stomatitis, distensi abdomen, diare dan konstipasi

d) Sistem muskuloskeletal : tremor, miopati, nyeri sendi, osteodistrofi

ginjal, kram otot, kehilangan kekuatan otot, dan fraktur

13
e) Sistem perkemihan : proteinuria, nokturia, poliuria, natrium dalam

urine berkurang, haluaran urine berkurang, berat jenis urine menurun,

fragmen dan sel dalam urine

f) Sistem endokrin : hiperlipedimia, gangguan hormone seksual,

penurunan libido, impotensi, amenorea pada wanita.

g) Sistem integumen : kulit berwarna pucat/keabu-abuan akibat anemia

dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom, pruritus akibat

toksik, kuku tipis dan rapuh, kulit kering, ekimosis, lecet, rambut tipis

dan kasar, dan uremic frosts.

h) Sistem reproduksi : Amenorea, atrofi testis, infertilitas, libido

menurun, disfungsi ereksi, dan lambat pubertas

i) Sistem hematopoietik : Anemia, cepat lelah, trombositopenia,

ekimosis, dan perdarahan

j) Sistem neurologi : kelemahan dan keletihan, tungkai tidak nyaman,

kejang, tidur terganggu, asteriksis, ketidakmampuan berkonsentrasi,

kedutan otot, perubahan tingkat kesadaran, seperti: letargi, bingung,

stupor, dan koma.

5. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik yang terus menerus berlanjut tidak mengubah

jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal. Disamping itu,

jumlah nefron yang berfungsi terus menurun secara progresif. Sebagai

bentuk adaptasi, sisa nefron yang masih tersisa dan masih berfungsi

mengalami hipertrofi dalam melaksanakan seluruh fungsi ginjal. Selain

14
itu, terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi

tubulus dalam setiap nefron meskipun laju filtrasi glomerulus (LFG) atau

Glomerular Filtration Rate (GFR) setiap nefron dibawah normal.

Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam hal mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit namun tidak dapat berangsung lama

(Price & Wilson, 2005).

Semakin besar massa nefron yang hancur menyebabkan fungsi ginjal

berangsur-angsur hilang. Apabila sekita 75% massa nefron telah hancur

maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron semakin

tinggi. Hal tersebut berdampak pada ketidakmampuan ginjal

mempertahankan keseimbangan antara filtrasi dan reabsorpsi oleh tubulus.

Hal ini juga diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth

factors dan mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang akan diikuti

dengan peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus (Smeltzer

& G.Bare, 2001; Price & Wilson, 2005).

Pada stadium awal penyakit ginjal kronik, belum nampak gejala klinis

secara serius. Keadaan ini ditandai dengan laju filtrasi glomerulus (LFG)

yang masih normal. Akan tetapi, perlahan-lahan terjadi penurunan jumlah

nefron secara progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan

kreatinin serum. Hal tersebut menyebabkan penurunan laju filtrasi

glomerulus (LFG). Penurunan laju filtrasi glomerulus dideteksi dengan

cara pengambilan urine 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin

(Smeltzer & Bare, 2010).

15
Penurunan laju filtrasi glomerulus menyebabkan klirens kreatinin

menurun dan kadar kreatinin serum serta kadar nitrogen urea darah (BUN)

meningkat. Kreatinin serum menjadi indikator paling sensitif dari ginjal

karena substansinya diproduksi secara konstan oleh tubuh. Akibat fungsi

ginjal untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal

telah menurun, menyebabkan terjadinya retensi cairan dan natrium.

Penumpukan cairan ini meningkatkan risiko edema paru, gagal jantung

kongestif, dan hipertensi (Setiati,et.al, 2014).

Fungsi renal menurun dan produk protein tertimbun dalam darah yang

normalnya protein diekskresikan ke dalam urine menyebabkan gejala

uremia semakin berat. Penyebab uremia yang belum diketahui pasti diduga

berasal dari abnormalitas yang diakibatkan oleh retensi urea dan hasil

akhir metabolism lainnya dalam darah. Uremia menggambarkan kegagalan

fungsi ekskretorik ginjal (Isselbacher, et.al, 2000). Masalah yang lain yaitu

terjadi gangguan klirens ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah

glomerulus yang berfungsi. Sehingga, terjadi penurunan klirens substansi

darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal dan diekskresikan

(Smeltzer & Bare, 2010).

Laju filtrasi glomerulus sampai 60% masih belum menimbulkan

gejala serius tetapi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum terus

terjadi. Namun, pada laju filtrasi glomerulus yang telah mencapai 30%

sudah mulai menimbulkan keluhan pada penderita. Gejala yang dirasakan,

seperti: letih, susah berkonsentrasi, nafsu makan menurun, penurunan

16
berat badan, susah tidur kram otot pada malam hari, bengkak pada kaki

dan pergelangan kaki pada malam hari, kulit gatal dan kering, sering

kencing terutama pada malam hari (Setiati,et.al, 2014).

Laju filtrasi glomerulus di bawah 30% telah memperlihatkan gejala

uremia dan gejala lain yang nyata. Gejala yang dirasakan semakin berat

dari sebelumnya. Masalah yang terjadi, seperti: hipertensi, pruritus akibat

bahan toksik pada kulit, mual, muntah, gangguan metabolisme dalam

tubuh, dan anemia sebagai akibat ketidakadekuatan produksi eritropoietin,

memendeknya usia eritrosit, dan defisiensi nutrisi (Smeltzer & G.Bare,

2001).

Pada kondisi lain, kecenderungan kehilangan garam meningkatkan

risiko hipotensi dan hipovolemia. Muntah dan diare menyebabkan

penipisan air dan natrium yang akan memperburuk status uremia. Gejala

yang lain dapat muncul, seperti terjadi asidosis metabolik. Hal ini

disebabkan ginjal tidak mampu mengekskresikan muatan asam (H+) yang

berlebih dalam tubuh dan tubulus ginjal tidak mampu menyekresi

ammonia (NH3) serta mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3)

(Setiati,et.al, 2014).

Sedangkan laju filtrasi glomerulus di bawah 15% akan terjadi gejala

dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi

pengganti ginjal (renal replacement therapy). Tujuan dari terapi pengganti

ginjal ini, agar fungsi ginjal tetap berjalan walaupun bukan ginjal yang

17
secara langsung menjalankan fungsinya tersebut. Salah satu terapi

pengganti ginjal ialah hemodialisis (Setiati,et.al, 2014).

6. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik

Komplikasi potensial yang dapat terjadi pada penyakit ginjal kronik

menurut (Smeltzer & G.Bare, 2001), mencakup:

a) Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,

katabolisme, dan masukan diet berlebih

b) Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi

produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat

c) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem

renin-angiotensin-aldosteron

d) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel

darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan

kehilangan darah selama hemodialisis

e) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar

kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal, dan

peningkatan kadar aluminium

7. Penataksanaan Penyakit Ginjal Kronik

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik dengan tujuan untuk

mempertahankan fungsi ginjal dan homeostatis selama mungkin. Faktor-

faktor yang berperan dalam penyakit ginjal kronik dapat diidentifikasi dan

ditangani dengan baik. Pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang

18
mengalami gangguan metabolisme dan cairan dalam tubuh yang dapat

memperburuk efek uremia (Smeltzer & G.Bare, 2001).

Dalam mengatasi gejala penyakit ginjal kronik tersebut, diperlukan

terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan

transplantasi ginjal. Hemodialisis merupakan alat atau sebuah mesin ginjal

buatan yang terdiri dari membran semipermeabel yang mana darah di satu

sisi dan cairan dialisis di sisi lain. Hemodialisis adalah suatu proses

pemisahan atau penyaringan darah untuk membuang sisa metabolisme dari

tubuh (Price & Wilson, 2005).

Dengan menjalani hemodialisis secara efektif, asupan makanan dan

cairan dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa

penyesuaian atau pembatasan pada asupan makanan, seperti: pembatasan

protein. Mengingat asupan protein yang tinggi dapat memungkinkan

terjadinya penumpukan limbah nitrogen dalam tubuh. Selain protein,

penumpukan cairan juga menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema

paru. Dengan demikian, dianjurkan bagi penderita penyakit ginjal kronik

untuk menjalani hemodialisis demi mengatasi gejala uremia dan gejala

lainnya (Smeltzer & Bare, 2010). Penjelasan lebih lanjut mengenai

hemodialisis akan dibahas pada sub bab berikut.

B. Hemodialisis

1. Defenisi Hemodialisis

Hemodialisis (cuci darah) merupakan salah satu terapi pengganti

ginjal yang digunakan oleh penderita penyakit ginjal baik akut maupun

19
kronik. Terapi ini dilakukan apabila fungsi ginjal yakni membuang zat sisa

metabolik yang beracun serta kelebihan cairan tubuh yang sangat menurun

(lebih dari 90%) sehingga tidak mampu menjaga kelangsungan hidup

pasien (Bakta & Suastika, 2014). Hemodialisis adalah suatu proses

penyaringan darah dari tubuh pasien melalui membran semipermeabel

(dialiser) yang kemudian dikembalikan ke dalam tubuh pasien.

Hemodialisis hanya sekedar terapi pengganti ginjal namun bukan untuk

mengobati kerusakan ginjal dan tidak dapat memperbaiki aktivitas

endokrin atau metabolik pada ginjal (Smeltzer & G.Bare, 2001; Baradero,

Dayrit, & Siswadi, 2008; Smeltzer & Bare, 2010).

2. Indikasi Hemodialisis

Beberapa hal yang menjadi indikasi hemodialisis yaitu sebagai berikut

(Price & Wilson, 2005; Aziz, J.Witjaksono, & Rasjidi, 2008; Setiati,et.al,

2014)

a. Kelebihan (overload) cairan ekstraselular yang sulit dikendalikan atau

hipertensi

b. Hiperkalemia berat yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi

farmakologis

c. Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi

bikarbonat

d. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi

pengikat fosfat

e. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi.

20
f. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa

penyebab yang jelas

g. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala

mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis

h. Gangguan neurologis (seperti neuropati perifer, ensefalopati, gangguan

psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang menjadi indikasi segera

dilakukannya hemodialisis.

i. Indikasi klinis, misalnya terjadi sindrom uremia yang berat seperti

mual, muntah hebat, penurunan kesadaran, dan kejang-kejang, terjadi

overhidrasi yang tidak teratasi dengan pemberian diuretik, dan edema

paru akut yang tidak bisa diatasi.

j. Indikasi biokimiawi, misalnya: ureum plasma lebih atau sama dengan

150 mg%, kreatinin plasma lebih atau sama dengan 10 mg%, dan

bikarbonat plasma kurang atau sama dengan 12 meq/L.

k. Penyandang PGK yang sudah tidak sanggup lagi bekerja purnawaktu,

kadar kreatinin serum biasanya di atas 6 mg/dl pada laki-laki dan 4

mg/dl pada perempuan, nilai GFR kurang dari 4 ml/menit.

3. Prinsip Kerja Hemodialisis

Dialiser sebagai ginjal buatan merupakan lempengan rata atau ginjal

serat artifisial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus,

bekerja sebagai membran semipermeabel dalam sirkulasi darah dan

pertukaran limbah. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara

21
cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) bersirkulasi di sekelilingnya

(Smeltzer & G.Bare, 2001).

Prinsip-prinsip kerja yang mendasari hemodialisis terbagi atas 3

Setiati,et.al, 2014) yaitu difusi, ultrafiltrasi, dan osmosis. Difusi

merupakan perpindahan molekul zat terlarut karena adanya perbedaan

konsentrasi zat terlarut dalam darah dan dialisat. Pada proses hemodialisis

sendiri, terjadi perpindahan darah yang berkonsentrasi tinggi ke cairan

dialisat dengan konsentrasi rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua

elektrolit penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal (Smeltzer &

G.Bare, 2001).

Proses perpindahan zat pelarut atau air melalui membran semi

permiabel akibat perbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah

dan dialisat termasuk dalam proses ultrafiltrasi. Trans Membran Pressure

(TMP) merupakan kompartemen dialisat yang mengatur besarnya tekanan

hidrostatik dimana tekanan tersebut ditentukan oleh tekanan positif dalam

kompartemen darah dan tekanan negatif dalam kompartemen dialisat.

Gradien tekanan pada proses osmosis ditingkatkan melalui penambahan

tekanan negatif pada mesin dialisis. Tekanan negative tersebut sebagai

pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Setiati,et.al,

2014).

Cairan tubuh yang berlebih adakan dikendalikan dengan menciptakan

tekanan melalui proses osmosis pada prinsip kerja hemodialisis. Proses

osmosis terjadi dimana air berpindah dari tekanan yang lebih tinggi (tubuh

22
pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat) (Smeltzer & G.Bare,

2001; Setiati,et.al, 2014).

4. Lama Terapi

Pasien penyakit ginjal kronik menjalani terapi hemodialisis sepanjang

hidupnya. Tujuan dari hemodialisis adalah untuk mengeluarkan toksik dan

limbah nitrogen serta air yang berlebihan dari dalam tubuh. Pasien

dijadwalkan menjalani hemodialisis sesuai kondisi yang dialami dan

biasanya dijalani 1-3 kali seminggu selama 2-5 jam setiap kali terapi atau

sampai pasien menerima ginjal baru melalui pencangkokan yang berhasil

(transplantasi) (Smeltzer & G.Bare, 2001).

Lamanya waktu menjalani hemodialisis tergantung dari ukuran badan,

fungsi ginjal residual, masukan diet, komplikasi penyakit, dan derajat

anabolisme dan katabolisme (Isselbacher,et.al, 2013). Namun demikian,

bagi mereka yang mengidap gangguan jantung, stroke, atau lanjut usia

(lansia) diperlukan hemodialisis berulang (8-10 kali per bulan).

Hemodialisis juga dapat membebani kerja jantung sewaktu proses

pemerasan cairan tubuh untuk dibersihkan dalam waktu lama (2-5 jam)

(Bakta & Suastika, 2014).

5. Komplikasi Hemodialisis

Tindakan hemodialisis menyebabkan pasien mengalami berbagai

permasalahan dan komplikasi sebagai berikut (Doenges, Moorhouse, &

Geissler, 2000; Smeltzer & G.Bare, 2001; Smeltzer & Bare, 2010;

Vasilopoulou, et.al, 2016).

23
a. Pra hemodialisis

Sebelum menjalani hemodialisis, pasien yang baru pertama kali

divonis akan menjalani hemodialisis cenderung merasakan gejala

psikologis, seperti kecemasan terhadap status kesehatan, khawatir

terhadap status sosioekonomi, rasa takut menjalani hemodialisis, stres

dan gejala psikologis lainnya (Smeltzer & G.Bare, 2001;

Vasilopoulou, et.al, 2016). Penelitian Hargyowati (2016) juga

membuktikan bahwa dari 44 responden, terdapat 36 responden

(81,8%) yang mengalami kecemasan tingkat sedang sebelum

dilakukan hemodialisis. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara pasien

yang menjalani hemodialisis dan perawat di ruang hemodialisis Rumah

Sakit Universitas Hasanuddin.

b. Intra hemodialisis

Selama menjalani hemodialisis, pasien dengan penyakit ginjal

kronik sangat berpotensi mengalami masalah sebagai komplikasi

hemodialisis menurut (Smeltzer & G.Bare, 2001; Isselbacher, et.al,

2000; Smeltzer & Bare, 2010) yaitu:

1) Hipotensi disebabkan oleh banyak faktor salah satunya cairan yang

dikeluarkan terlalu banyak. Mual dan muntah, diaporesis,

takikardia, dan pusing merupakan gejala umum hipotensi.

Perkiraan terhadap cairan ekstraseluler yang akan dibuang dan

penggunaan ultrafiltrasi terpisah serta dialisat natrium yang lebih

tinggi membantu dalam mencegah hipotensi.

24
2) Emboli udara terjadi akibat adanya udara memasuki sistem

vaskuler pasien

3) Nyeri dada akibat menurunnya pCO2 bersamaan dengan terjadinya

sirkulasi darah di luar tubuh

4) Pruritus terjadi ketika produk akhir metabolisme meninggalkan

kulit

5) Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan caian

serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Hal ini dapat

kemungkinan besar terjadi jika terdapat gejala uremia berat

6) Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan

cepat meninggalkan ruang ekstrasel

7) Kekurangan volume cairan (hipovolemia) akibat pembatasan

cairan dan kehilangan darah secara aktual

Komplikasi saat menjalani hemodialisis bukan hanya komplikasi

fisik yang telah dicantumkan di atas tetapi juga ditemukan komplikasi

psikologis yang dirasakan oleh pasien. Hasil penelitian Rosdiana,

Yetty, & Sabri (2014) membuktikan bahwa saat menjalani

hemodialisis, pasien masih cenderung merasakan cemas. Cemas yang

dirasakan dapat berhubungan dengan gangguan tidur pasien. Pasien

yang mengalami kecemasan disertai gangguan tidur memiliki tingkat

kecemasan lebih berat dibanding yang tidak mengalami gangguan

tidur. Data dari 58 responden yang mengalami kecemasan disertai

gangguan tidur (insomnia) memiliki tingkat kecemasan ringan

25
sebanyak 21 orang (42,9%) dan kecemasan berat 37 orang (64,9%).

Sedangkan, responden yang tidak mengalami gangguan tidur,

cenderung memiliki kecemasan tingkat lebih ringan. Dari 48

responden, 28 diantaranya mengalami kecemasan ringan (57%) dan 20

orang (35,1%) mengalami kecemasan berat.

Data yang diperoleh tersebut, meyakinkan peneliti dalam

menggunakan kuesioner Hamilton Rating for Anxiety (HARS)

sebagaiinstrumen penelitian untuk menilai gangguan tidur responden

saat penelitian. Mengenai penjelasan lebih lanjut tentang kuesioner

HARS, akan dibahas pada Bab IV penelitian ini pada bagian instrumen

penelitian.

c. Post hemodialisis

Komplikasi hemodialisis bukan hanya sebelum dan saat menjalani

hemodialisis, namun efek samping atau komplikasi yang terjadi dapat

dialami pasien setelah menjalani terapi hemodialisis. Gangguan yang

dapat terjadi, seperti: kekurangan nutrisi akibat gangguan

gastrointestinal, seperti: mual dan muntah, anoreksia, dan pembatasan

diet (halus dan makanan tak berasa), konstipasi karena penurunan

masukan cairan, ketidakseimbangan elektrolit, dan perubahan pola diet

(Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2000).

Penelitian Luana,et.al (2012) menunjukkan hasil rerata kadar

hemoglobin di bawah normal dan masuk dalam kondisi anemia. Hal

ini disebabkan oleh proses eritropoesis yang terganggu pada penderita

26
PGK. Hal tersebut menjadi komplikasi dari hemodialisis. Selain itu,

gejala psikologis setelah hemodialisis, seperti: kecemasan sudah mulai

menurun dan berbeda jika dibandingkan sebelum tindakan

hemodialisis. Hargyowati (2016) membuktikan bahwa dari 44

responden setelah dilakukan hemodialisis, 22 responden (50%)

mengalami kecemasan sedang dan 22 (50%) mengalami kecemasan

ringan. Hal ini tergolong baik jika dibandingkan dengan kecemasan

sebelum hemodialisis yakni 36 responden (81,8%) mengalami

kecemasan sedang.

C. Kecemasan Pasien yang Menjalani Hemodialisis

1. Defenisi Kecemasan

Kecemasan (ansietas) merupakan respons emosi individu terhadap

suatu keadaan secara subjektif yang dialami tanpa objek spesifik dan

penyebab yang jelas. Hal ini dihubungkan dengan perasaan tidak menentu,

merasa tidak aman, putus asa, dan mengurung diri (Stuart, 2013).

Kecemasan dapat menjadi masalah ketika individual tersebut tidak dapat

mencegah kecemasan yang dapat mengganggu kemampuan untuk

memenuhi keinginan mendasar (Suliswati, et.al, 2005; Townsend, 2012).

Kecemasan berbeda dengan rasa takut, karakteristik rasa takut yaitu

adanya objek/sumber yang spesifik yang dapat diidentifikasi dengan jelas.

Ketakutan disebabkan oleh hal-hal yang bersifat fisik dan psikologis yang

terbentuk dari proses kognitif yang mengancam seorang individu

(Suliswati, et.al, 2005).

27
2. Penyebab dan Faktor yang Memengaruhi Kecemasan

Seseorang dengan rasa cemas dapat disebabkan atau dipengaruhi oleh

berbagai hal. Kecemasan yang dirasakan oleh penderita penyakit ginjal

kronik yang menjalani hemodialisis dapat disebabkan oleh gangguan

dalam kehidupannya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru,

masalah finansial, masalah dalam pekerjaan, masalah dalam hubungan

dengan keluarga baik istri maupun suami yang dapat berdampak pada

komplikasi penyakit misalnya impotensi, menurunnya gairah seksual

bahkan hilang, dan masalah lainnya. Selain itu, pasien hemodialisis dapat

pula merasa cemas akibat tekanan batin dalam rumah tangganya sendiri

(Smeltzer & G.Bare, 2001; Marsh, 2015).

Menurut Asmadi (2008) dan Stuart (2013) faktor yang ikut

memengaruhi pasien hemodialisis merasa cemas, seperti: ancaman

kehilangan harga diri, ancaman kehilangan status/peran diri, dan tidak

memperoleh pengakuan dari orang lain (Suliswati, et.al, 2005). Selain itu,

penelitian Luana,et.al. (2012) menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, dan

tingkat pendidikan menjadi faktor penyebab kecemasan pasien

hemodialisis. Pada pasien usia 40-60 tahun sangat mungkin bisa terjadi

tingkat kecemasan yang tinggi karena cenderung sudah tidak bekerja,

perasaan tidak berguna bagi keluarga, dan sebagian besar mempunyai anak

usia sekolah yang membutuhkan kebutuhan finansial yang cukup besar

Perempuan lebih cemas jika dibandingkan dengan laki-laki, dimana laki-laki

lebih memiliki sifat yang lebih aktif dan ekploratif sedangkan perempuan

memiliki sifatnya lebih sensitif (Jangkup & et.al, 2015).

28
Penelitian yang sama dilakukan oleh Marlina & Andika (2013) yang

berjudul “Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan dengan

tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik selama menjalani terapi

hemodialisis”. Hasilnya, pengetahuan yang baik memungkinkan pasien

mengalami kecemasan yang tidak cukup berat. Begitupun dukungan

keluarga yang baik dapat membuat pasien tidak merasa cemas atau cemas

berkurang, serta pasien yang menjalani hemodialisis kurang dari 1 tahun

lebih cemas dibanding yang telah menjalani terapi hemodialisis lebih dari

1 tahun.

Faktor lain yang juga memengaruhi kecemasan pasien hemodialisis

yaitu pekerjaan. Pasien yang tidak bekerja pun merasa menjadi beban

tanggungan keluarga karena biaya pencucian darah (hemodialisis) yang

akan dilakukan secara rutin. Selain itu, pasien memiliki beban pekerjaan

yang besar untuk dislesaikan. Sementara jadwal hemodialisis dan waktu

yang dibutuhkan untuk hemodialisis dapat berlangsung lama. Ditambah

lagi dengan masalah pendapatan yang relatif kecil menambah beban pasien

(Jangkup & et.al, 2015).

3. Gejala-Gejala Kecemasan

Seseorang yang sedang mengalami kecemasan mampu

mengidentifikasi gejala yang sedang dirasakan. Cemas yang dirasakan

berbeda-beda setiap individu. Beberapa gejala umum kecemasan yang

dapat dirasakan pasien yang menjalani hemodialisis misalnya gejala fisik

dan gejala psikologis.

29
Tabel II.2 Gejala-Gejala Kecemasan

Gejala Fisik Gejala Psikologis


1. Mual (merasa sakit) 1. Khawatir berlebihan, gugup,
2. Ketegangan otot gelisah
3. Sakit kepala 2. Tegang, cemas, takut
4. Pusing 3. Rasa tidak aman
5. Seperti tertusuk jarum 4. Lekas terkejut
6. Pernapasan cepat 5. Kehilangan rasa percaya diri
7. Berkeringat dingin pada telapak tangan 6. Ketidakmampuan untuk
8. Peningkatan tekanan darah merasakan rileks
9. Palpitasi 7. Kehilangan konsentrasi/fokus
10. Mudah lelah 8. Susah tidur

Sumber: (Maramis, 2005; Lee, 2008; Barbara Kozier, et.al, 2010; Young, et.al, 2011;
Marsh, 2015)

Penelitian (Jangkup & et.al, 2015) menyatakan bahwa gejala

kecemasan yang dialami pasien yang menjalani hemodialisis hampir

dengan gejala kecemasan pada umumnya. Gejala fisik yang timbul seperti

peningkatan tekanan darah, palpitasi, dan pusing. Sementara gejala

psikologis yang dirasakan pasien, seperti: susah tidur, kehilangan

konsentrasi, tegang, gelisah dan takut terhadap kondisi penyakit yang

dialami.

4. Tingkat Kecemasan

Peplau (1963) menggambarkan empat tingkatan dari kecemasan, yaitu

kecemasan ringan, sedang, berat, dan panik menurut (Suliswati, et.al,

2005; Videbeck, 2008; Townsend, 2012):

a) Kecemasan ringan : Berhubungan dengan stres dalam merespon

kegiatan hidup sehari-hari dan masih jarang terdapat masalah yang

serius. Dalam kondisi ini dapat meningkatkan motivasi untuk belajar,

bekerja keras, dan memecahkan masalah secara efektif.

30
b) Kecemasan sedang : seseorang kurang mempedulikan kejadian yang

terjadi di lingkungan sekitarnya dan konsentrasi berkurang sehingga

masih membutuhkan bimbingan/arahan orang lain dalam

menyelesaikan sebuah masalah. Meningkatnya ketegangan otot dan

kurangnya istirahat merupakan bukti individu tersebut mengalami

kecemasan sedang.

c) Kecemasan berat : memiliki sudut pandang yang kurang baik dan

berkurangnya pusat konsentrasi. Perhatian terbatas dan susah untuk

menyelesaikan sesuatu bahkan pekerjaan yang mudah sekali pun.

Gejala kejiwaan (seperti sakit kepala, detak jantung meningkat, susah

tidur) dan gejala emosi (seperti gelisah, kebingungan, rasa takut)

merupakan sebuah bukti kecemasan berat. Sehingga, individu

membutuhkan banyak arahan dari orang lain untuk berfokus.

d) Panik: tidak dapat berkonsentrasi pada masalah yang terjadi di

lingkungan sekitarnya. Karena hilang kontrol, individu tidak mampu

melakukan apapun sekalipun dengan perintah. Kepanikan berhubungan

dengan perasaan takut dan penderita meyakini bahwa mereka sedang

sakit yang dapat membahayakan jiwa mereka atau takur akan menjadi

gila atau kehilangan kendali (APA, 2000). Kepanikan yang

berkepanjangan dapat berakibat kejiwaan, seperti: mengalami

halusinasi atau ilusi.

Penelitian yang dilakukan oleh Tokala, Kandou, & Dundu (2015)

yang berjudul “Hubungan Antara Lamanya Menjalani Hemodialisis

31
dengan Tingkat Kecemasan pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUP

Prof. Dr. R. D. Kandou Manado” menunjukkan hasil bahwa dari 34

pasien, 16 orang (47,1%) tidak cemas, 11 orang (32,4%) mengalami cemas

ringan, 6 orang (17,6%) cemas sedang, dan 1 orang (2,95%) mengalami

cemas berat. Sedangkan pada penelitian Zhang & et.al (2014) pasien yang

menjalani hemodialisis merasakan kecemasan sebesar 43%.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Vasilopoulou & et.al (2016)

“The Impact of Anxiety and Depression on the Quality of Life of

Hemodialysis Patients” di Canada dengan hasil bahwa pasien hemodialisis

merasakan kecemasan berat sebanyak 47,8%. Sedangkan, penelitian

Jangkup & et.al, (2015) menunjukkan hasil bahwa terdapat tingkat

kecemasan 40 orang responden (100%), terdiri dari: tingkat kecemasan

ringan 8 orang responden (25,8%), tingkat kecemasan sedang 23 orang

responden (57,5%) dan tingkat kecemasan berat 9 orang responden

(22,5%). Hasil tersebut menunjukkan pasien yang menjalani hemodialisis

cenderung mengalami kecemasan dalam berbagai derajat.

5. Dampak Kecemasan

Kecemasan dapat berdampak pada kondisi fisik maupun psikologis

pasien yang menjalani hemodialisis menurut (Smeltzer & G.Bare, 2001;

Marsh, 2015), antara lain:

a) Dampak fisik

Kecemasan jangka pendek dapat memengaruhi kondisi fisik,

seperti: meningkatkan ketegangan otot yang dapat menyebabkan

32
ketidaknyamanan dan sakit kepala, meningkatnya frekuensi

pernapasan, dan tekanan darah meningkat. Sedangkan, kecemasan

jangka panjang dapat menimbulkan rasa takut disertai ketegangan otot

dan kurangnya waktu tidur yang dapat menyebabkan menurunnya

sistem imun dalam tubuh, dan meningkatnya tekanan darah yang dapat

menimbulkan gangguan pada jantung dan ginjal.

b) Dampak psikologis

Pasien yang menjalani hemodialisis cenderung merasa lebih

takut/khawatir, suka marah, tidak dapat rileks/konsentrasi, mudah

menangis, ketergantungan penuh, bahkan depresi. Dapat pula

memengaruhi jalan pikiran apabila khawatir hal buruk akan terjadi

yang membuat segala sesuatu terlihat negatif dan menjadi sangat

pesimis. Selain berdampak pada kondisi mental, kecemasan berat juga

dapat menurunkan kinerja seseorang dalam pekerjaan, gangguan tidur

yang dialami dapat mengurangi kemampuan berpikir untuk mengatasi

masalah, dan menurunnya kualitas hidup seseorang (Smeltzer &

G.Bare, 2001; Vasilopoulou & et.al, 2016).

6. Rentang respon kecemasan

Rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi antara respon

adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah

antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas

yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah

panik dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas

33
yang dihadapi sehingga mengalami ganguan fisik, perilaku maupun

kognitif. Seseorang yang dapat berespon adaptif terhadap kecemasannya

memiliki tingkat kecemasan ringan (Stuart, 2007). Semakin maladaptif

respon seseorang terhadap kecemasan maka semakin berat pula tingkat

kecemasan yang dialaminya, seperti gambar dibawah ini:


Rentang Respons Kecemasan

Respon adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Gambar 2.1. Rentang respons kecemasan (Suliswati, et.al, 2005; Stuart, 2013)

7. Penatalaksanaan Kecemasan

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan

pada pasien hemodialisis salah satunya ialah terapi relaksasi napas dalam.

napas dalam. Relaksasi napas dalam sebagai cara mudah dan murah untuk

mengendalikan kecemasan, mengubah stress menjadi gairah hidup, dan

dapat mengendalikan emosi serta menunda kemarahan sebelum

memutuskan tindakan yang sesuai (Smeltzer & Bare, 2010; Hayat, 2014).

Terapi relaksasi napas dalam ini, memungkinkan mengembalikan

semangat hidup dan dan perasaan menjadi lebih tenang. Saat merasa

cemas, pernapasan menjadi tidak teratur, lebih pendek, dan tersengal-

sengal yang mengakibatkan pikiran dan perasaan pun ikut terganggu.

Asupan oksigen ke paru-paru tidak kuat sehingga mempengaruhi kadar

oksigen dalam darah. Akibatnya, sel-sel tubuh, termasuk sel-sel otak

34
menjadi kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen di sel-sel otak akan

mengacaukan aktivitas tubuh dan emosi. Dengan latihan relaksasi napas

dalam, pasokan oksigen dalam darah akan meningkat untuk memenuhi

kebutuhan sel-sel otak dan tubuh (Hayat, 2014).

Penelitian D'silva, H., & Muninarayanappa (2014) dengan judul

“Effectiveness Of Deep Breathing Exercise (DBE) On The Heart Rate

Variability, BP, Anxiety & Depression Of Patients With Coronary Artery

Disease” menunjukkan hasil bahwa relaksasi napas dalam efektif dalam

menurunkan kecemasan pada pasien penyakit arteri coroner. Hal tersebut

terbukti dari hasil penelitian dimana responden yang diberikan intervensi

relaksasi napas dalam mengalami penurunan kecemasan dari kecemasan

berat menjadi kecemasan ringan dan sedang. Dari 65 responden, 21

responden (52.5%) memiliki kecemasan ringan dan 17 responden (42.5%)

dengan kecemasan sedang, dan sisanya mengalami depresi depresi ringan

serta hipertensi baik pre hipertensi maupun yang termasuk dalam

hipertensi.

Penelitian yang sama dilakukan Sellakumar (2015) dengan judul

“Effect of slow-deep breathing exercise to reduce anxiety among

adolescent school students in a selected higher secondary school in

Coimbatore, India” menunjukkan hasil bahwa penggunaan relaksasi napas

dalam kepada remaja di sekolah efektif menurunkan kecemasan. Mengenai

pembahasan relaksasi napas dalam, akan dibahas pada sub bab berikut

beserta langkah-langkah prosedurnya.

35
D. Relaksasi Napas Dalam

1. Defenisi Relaksasi Napas Dalam

Relaksasi napas dalam merupakan suatu teknik relaksasi sederhana

dimana paru-paru dibiarkan menghirup oksigen sebanyak mungkin. Napas

dalam berbeda dengan hiperventilasi karena relaksasi napas dalam

merupakan gaya pernapasan yang pada dasarnya lambat, dalam, dan rileks

yang memungkinkan seseorang merasa lebih tenang (Townsend, 2012;

Widyastuti, 2003). Relaksasi napas dalam menjadi salah satu bentuk

asuhan keperawatan dimana perawat mengajarkan klien cara melakukan

relaksasi napas dalam dan lambat secara maksimal (Smeltzer & G.Bare,

2001).

2. Manfaat Relaksasi napas dalam

Relaksasi napas dalam telah diketahui dapat mengurangi kecemasan,

depresi, emosi, ketegangan otot, nyeri, dan kelelahan. Keunggulan dari

latihan ini yaitu dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun. Petunjuk untuk

melakukan latihan pernapasan yang baik yaitu dilakukan sekitar 5-15

menit selama 2-4 kali sehari atau kapanpun saat merasakan ketegangan

(Townsend, 2012; O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2013).

Penelitian yang dilakukan D'silva, H., & Muninarayanappa (2014)

dengan judul “Effectiveness Of Deep Breathing Exercise (DBE) on The

Heart Rate Variability, BP, Anxiety & Depression of Patients With

Coronary Artery Disease”. Penelitian tersebut memiliki jumlah sampel

sebanyak 45 orang dan dibagi dalam 2 kelompok yakni kelompok

36
intervensi sebanyak 23 orang dan kelompok kontrol sebanyak 22 orang.

Intervensi latihan napas dalam dilakukan selama 2 minggu dimana

pemberian latihan napas dalam selama 2-3 hari. Selanjutnya, responden

diinstruksikan latihan secara mandiri selama 2 minggu. Latihan napas

dalam dilakukan 2 kali sehari selama 10 menit. Setelah 2 minggu berlalu,

responden akan difollow up untuk mengukur kecemasannya.

Relaksasi napas dalam didasarkan pada keyakinan, pikiran yang

rileks/tenang, posisi yang nyaman, dan konsentrasi (Asmadi, 2008).

Relaksasi napas dalam sampai saat ini masih menjadi metode relaksasi

termudah karena metode yang digunakan sangat mudah dipelajari, tidak

memerlukan peralatan khusus, dan dapat digunakan dimana saja dan kapan

saja (O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2013). Selain itu, dapat dilakukan

secara normal tanpa perlu berpikir lama atau merasa ragu (Widyastuti,

2003). Sementara Smeltzer & G.Bare (2001) menyatakan bahwa relaksasi

napas dalam bertujuan untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara

pertukaran gas, mencegah atelektasis paru, meningkatkan efisiensi batuk,

mengurangi stress, serta menurunkan intensitas nyeri dan kecemasan.

3. Mekanisme kerja latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan

kecemasan

Beberapa gejala yang timbul akibat kecemasan dapat berupa gejala

fisik maupun psikologis. Dari beberapa gejala ini dapat mengakibatkan

peningkatan saraf simpatis. Respon dari peningkatan respon saraf simpatis,

diantaranya: peningkatan tekanan darah, mempercepat denyut jantung,

37
meningkatkan ketegangan otot, dan keringat berlebihan. Gejala ini

disebabkan oleh meningkatnya kerja otak akibat pikiran-pikiran yang

terlalu banyak dan tidak pasti sehingga menjadikan kerja otot-otot

pernapasan dikendalikan oleh otak tidak stabil yang kemudian

mengakibatkan napas terengah-engah sehingga penyerapan oksigen dari

luar tubuh dan pembentukan karbondioksida dalam tubuh menjadi tidak

maksimal (Smeltzer & G.Bare, 2001; Handoyo, 2002).

Hal ini juga menyebabkan otak dan darah kekurangan suplai oksigen

sehingga sistem metabolisme tubuh terganggu. Akibatnya, berbagai gejala

fisik maupun psikologis mulai beriringan muncul. Gejala fisik seperti:

mual (merasa sakit), ketegangan otot, mudah lelah, sakit kepala, pusing,

seperti tertusuk jarum, pernapasan cepat, berkeringat dingin pada telapak

tangan, peningkatan tekanan darah, dan palpitasi. Sementara itu, gejala

psikologis juga seperti: gelisah, khawatir, takut, tidak tenang, sulit

berkonsentrasi, susah tidur, dll. Hal ini tentunya membutuhkan alternatif

solusi yang efektif untuk mengatasi gejala yang dialami. Salah satu

alternatif dengan relaksasi napas dalam (Barbara Kozier, et.al, 2010;

Young, et.al, 2011).

Relaksasi napas dalam merupakan suatu usaha melakukan inspirasi

dan ekspirasi secara maksimal sehingga menstimulasi reseptor regang paru

secara perlahan. Hal tersebut berpengaruh terhadap peregangan

kardiopulonari dan memicu peningkatan refleks baroreseptor yang dapat

merangsang saraf parasimpatis dan menghambat saraf simpatis. Saraf

38
parasimpatis akan menurunkan dan menaikkan semua fungsi yang

dinaikkan dan diturunkan oleh saraf simpatis. Dari hal tersebut dapat

secara perlahan akan terjadi dilatasi pembuluh darah (arteri) dan

melancarkan peredaran darah yang memungkinkan terjadinya peningkatan

oksigen ke semua jaringan tubuh (Purwanto, 2006).

Peningkatan oksigen dalam tubuh memungkinkan aktivitas dalam

tubuh dapat berjalan dengan baik. Sehingga, dari relaksasi napas dalam

akan menstimulasi reseptor regang paru untuk menimbulkan rangsang atau

sinyal yang dapat dikirim ke otak untuk memberikan informasi mengenai

peningkatan aliran darah. Informasi tersebut mengakibatkan saraf

parasimpatis mengalami peningkatan aktivitas sementara saraf simpatis

mengalami penurunan aktivitas pada kemoreseptor. Akibatnya, terjadi

respon akut peningkatan tekanan darah yang akan menurunkan frekuensi

denyut jantung dan terjadi vasodilatasi sejumlah pembuluh darah (Rice,

2006).

Mekanisme informasi yang dikirim ke otak akan mengalami proses

yang masih panjang. Aksis Hypothalamus Pituitary Adrenal (HPA) yang

ada di otak merupakan pengatur sistem neuendokrin, metabolisme, serta

gangguan perilaku. HPA ini terdiri dari 3 komponen, yaitu: Corticotropin

Releasing Hormone (CRH), Adenocorticotropin Hormone (ACTH), dan

kortisol. CRH akan menstimulasi ACTH dan selanjutnya ACTH

menstimulasi kortes adrenal untuk menghasilkan kortisol yang dapat

mengatur keseimbangan sekresi CRH dan ACTH. HPA dan serotonergik

39
berkaitan erat dimana sistem limbik mengatur aktivitas tubuh, seperti:

bangun atau terjaga dari tidur, rasa lapar, emosi, dan pengaturan mood

(Purba, 2006).

Pembahasan tentang sistem limbik, di sinaps sistem limbik sendiri

terdapat neurotransmitter sebagai reseptor agen antiansietas alami tubuh

yaitu Gamma Amino Butyric Acid (GABA). GABA sendiri dapat

mengurangi eksitabilitas sel sehingga mengurangi frekuensi bangkitan

neuron. Selain tempat memproduksi GABA, di sinaps sistem limbik dan

lokus seruleus juga sebagai tempat produksi neurotransmitter norepinefrin

yang menstimulasi sel. GABA sendiri mengurangi ansietas sedangkan

norepinefrin meningkatkan ansietas. Selain norepinefrin, serotonin juga

sebagai neurotransmitter indolamin yang biasanya terlibat dalam psikosis,

dan gangguan mood. Salah satu tipe serotonin yakni 5-HT1a berperan

dalam terjadinya ansietas dan memengaruhi agresi dan mood. Serotonin

diyakini berperan dalam gangguan panik dan ansietas. Sedangkan

norepinefrin yang berlebihan dicurigai ada pada gangguan panik,

gangguan ansietas, dan gangguan stress (Videbeck, 2008).

Individu yang sedang mengalami kecemasan memiliki aktivitas tubuh

dimana saraf simpatis sementara bekerja. Sedangkan, saat seseorang

merasa rileks maka yang bekerja ialah saraf parasimpatis. Dengan

demikian, relaksasi napas dalam yang dilakukan dapat menekan rasa

cemas sehingga menimbulkan perasaan rileks dan tenang. Perasaan rileks

tersebut akan diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan CRH dan

40
CRH sendiri akan mengaktifkan anterior pituitary (adenohipofisis) untuk

mensekresi enkephalin dan endorphin yang berperan sebagai

neurotransmitter yang memengaruhi suasana hati menjadi rileks dan

tenang. Selain itu, gangguan yang terjadi pada GABA di sistem limbik

akan perlahan-lahan hilang sehingga norepinefrin dapat ditekan dan fungsi

GABA sendiri dapat kembali meningkat (Videbeck, 2008).

Di samping itu, di anterior pituitary terjadi penurunan sekresi ACTH

yang kemudian ACTH mengontrol korteks adrenal untuk mengendalikan

sekresi kortisol. Menurunnya kadar ACTH dan kortisol menyebabkan

terjadi penurunan kecemasan, stress, dan ketegangan. Sementara itu,

dengan penurunan saraf simpatis menjadikan pembuluh darah lebih elastis

dan sirkulasi atau aliran darah lancar sehingga tubuh menjadi hangat

pernapasan menjadi lebih lancar dan efektif, kerja jantung lebih ringan,

dan melancarkan sistem metabolisme. Sedangkan, secara emosi sebagai

respon relaksasi napas dalam dapat membantu mencapai ketenangan jiwa,

mengarahkan atau memfokuskan pikiran dan perasaan agar lebih tenang,

tidak memikirkan hal-hal yang tidak pasti agar kinerja otak dapat

berkurang. Sedangkan, dari peningkatan fungsi saraf parasimpatis dapat

mengendalikan fungsi denyut jantung sehingga tekanan darah menurun

dan timbul efek/sensasi yang menyenangkan dan lebih rileks (Handoyo,

2002).

41
Bagan 1. Mekanisme kerja latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan kecemasan

(Smeltzer & G.Bare, 2001; Handoyo, 2002; Purba, 2006; Purwanto, 2006; Rice, 2006; Videbeck,
2008; Barbara Kozier, et.al, 2010; Young, et.al, 2011)

42
4. Indikasi relaksasi napas dalam

Relaksasi napas dalam dapat diterapkan pada pasien yang menjalani

hospitalisasi dan sepakat diberikan relaksasi (Guidelines for Medical

Record, 2014). Relaksasi napas dalam dapat diberikan bagi pasien yang

mengalami gangguan paru-paru, seperti: chronic obstructive lung disease,

pneumonia, atelektasis, dan acute respiratory disease, penumpukan sekret

pada saluran pernapasan dan sulit dikeluarkan dan nyeri. Selain untuk

gangguan fisik, relaksasi napas dalam juga dapat digunakan untuk

mengatasi gejala psikologis yang muncul, seperti: kecemasan, stress,

ketegangan dan kegelisahan serta prosedur rileksasi (Rusli, Muthiah, &

Hasbiah, 2015).

5. Langkah-Langkah Relaksasi Napas Dalam

Adapun teknik relaksasi napas dalam yang dapat dilakukan dengan

langkah-langkah berikut menurut (Potter & Perry, 2005; Townsend, 2012;

O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2013; Rusli, Muthiah, & Hasbiah, 2015;

Lewis, Heitkemper, & Harding, 2017):

a. Jelaskan kepada pasien mengenai tujuan napas dalam yakni untuk

mendapatkan suasana hati yang lebih tenang, rileks, damai dengan

frekuensi 2 kali sehari selama 2 minggu. Setiap latihan dilakukan 4

kali tarikan dan hembusan napas. Setiap sesi napas dalam dilakukan

sekitar 10 menit dan siapkan prosedur latihan relaksasi napas dalam

(lihat gambar II.1)

43
Gambar II.1

b. Tubuh dalam posisi yang nyaman dan menyenangkan, misalnya:

duduk di kursi dengan sandaran atau berbaring di tempat tidur dengan

menggunakan bantal sebagai alas kepala (lihat gambar II.2)

Gambar II.2

c. Pastikan tulang belakang dalam keadaan lurus. Tungkai dan kaki tidak

menyilang dan seluruh badan rileks (termasuk lengan dan paha) (lihat

gambar II.3)

Gambar II.3

d. Ucapkan dalam hati bahwa dalam waktu 5 sampai 10 menit tubuh akan

kembali stabil, tenang, dan rileks (lihat gambar II.4)

44
Gambar II.4

e. Letakkan satu tangan pada abdomen (perut) dan tangan yang lain pada

dada. Lulut difleksikan (ditekuk) dan mata dipejamkan (lihat gambar

II.5)

Gambar II.5

f. Mulai menarik napas dalam dan lambat melalui hidung sehingga udara

masuk ke dalam paru-paru secara perlahan. Rasakan pergerakan

abdomen akan mengembang dan minimalisir pergerakan dada.

Inspirasi dapat dilakukan dalam hitungan 1…2…3…4… sambil

mengucapkan kata atau ungkapan pendek (frasa) dalam hati, seperti: “I

am/saya” (lihat gambar II.6)

Gambar II.6

g. Menghebuskan napas (ekspirasi) secara perlahan melalui mulut dengan

mengerutkan bibir seperti ingin bersiul (pursed lip breathing) tanpa

45
bersuara. Ekspirasi dapat dilakukan dalam hitungan 1…2…3…4…

sambil mengucapkan kata atau ungkapan pendek (frasa) dalam hati,

seperti: “rileks atau tenang”. Jangan melakukan ekspirasi kuat karena

dapat meningkatkan turbulensi di airway/jalan napas akibat

bronchospasme. Saat ekspirasi, rasakan abdomen mengempis/datar

sampai paru-paru tidak terisi dengan udara (lihat gambar II.7)

Gambar II.7

h. Ulangi prosedur (gambar II.6 dan II.7) dengan menarik napas lebih

dalam dan lebih lambat sebanyak 4 kali setiap sesi relaksasi napas

dalam. Fokus dan rasakan tubuh benar-benar rileks. “Bayangkan

sedang duduk di bawah air terjun atau shower dan air membasuh serta

menghilangkan perasaan tegang, gelisah, cemas, dan pikiran

mengganggu yang sedang dirasakan”

i. Untuk mengakhiri relaksasi napas dalam, secara perlahan-lahan

melakukan stretching atau peregangan otot tangan, kaki, lengan dan

seluruh tubuh (lihat gambar II.9) (catatan: stretching hanya dapat

dilakukan ketika pasien tidak menjalani hemodialisis)

46
Gambar II.9

j. Buka mata perlahan-lahan dan nikmati seperti matahari terbit pada

pagi hari dan mulai bernapas normal kembali. Duduk dengan tenang

beberapa saat (1-2 menit) kemudian melanjutkan aktivitas

Gambar II.10

Pernapasan dapat dilakukan 10 menit (3-4 kali) setiap 1 sesi untuk

menghindari hiperventilasi dengan frekuensinya 2-4 kali sehari. Saat pikiran

mulai kacau, dengan lembut atau tenang membawa pikiran kembali sadar dan

mulai melakukan relaksasi napas dalam dengan mengucapkan dalam hati

“saya rileks” atau “saya tenang”. Saat menguasai teknik ini, dapat berguna

untuk melepaskan ketegangan dan dilakukan secara mandiri tanpa didampingi

oleh tenaga kesehatan (O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2013; Lewis,

Heitkemper, & Harding, 2017; Tusaie & Fitzpatrick, 2017).

47
E. Kerangka Teori

Kerangka teori berisi prinsip teori yang menggambarkan langkah dan arah

kerja serta membahas masalah dalam penelitian (Arifin, 2008). Adapun

kerangka teori pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:


Diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis, dll Penyakit ginjal kronik

Kadar ureum dan kreatinin meningkat menyebabkan uremia

Penurunan fungsi ginjal <15%

Intervensi

Transplantasi Hemodialisis Dialisis peritoneal


ginjal
Komplikasi

Fisik Psikologis Kecemasan

Nyeri Pruritus Kram otot Dampak


dada
Fisik Psikologis

Peningkatan Peningkatan Suka


Ketegangan Khawatir Depresi
tekanan frekuensi marah
otot r
darah pernapasan
Intervensi
Dilatasi pembuluh darah dan
peningkatan O2 ke jaringan Peningkatan saraf Relaksasi napas
parasimpatis dalam

Respon dan fungsi GABA Tubuh


kembali stabil sehingga kerja melepaskan Perasaan
norepinefrin ditekan enkephalin dan rileks/tenang
endorphin

Bagan 2. Kerangka teori


(Smeltzer & G.Bare, 2001; Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008; Setiati,et.al, 2014)

48
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dapat membantu peneliti menghubungkan hasil peneliti

dengan teori (Nursalam, 2011). Secara konsep, dalam penelitian ini dapat

diketahui pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor

kecemasan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di

Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin.

Variabel independen Variabel antara Variabel dependen


Pasien
Latihan Perubahan Skor
Penyakit Peningkatan endorfin
Relaksasi Kecemasan
Ginjal Kronik
Napas Dalam
yang
Menjalani Variabel Perancu

Hemodialisis 1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Lama menderita PGK
4. Lama menjalani hemodialisis
5. Penyakit penyerta
6. Tingkat pendidikan terakhir
7. Status pernikahan

Keterangan:

Variabel antara: tidak diteliti

Bagan 3. Kerangka konsep

49
B. Hipotesis Penelitian

1. Skor kecemasan sebelum dan setelah diberikan latihan relaksasi napas

dalam berbeda secara signifikan dimana kelompok intervensi mengalami

penurunan skor kecemasan lebih besar dibanding kelompok kontrol

2. Latihan relaksasi napas dalam menurunkan skor kecemasan pasien

penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

50
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif menggunakan bentuk

desain penelitian Quasi Experimental Design dengan rancangan Time Series

with Control Group Design. Penggunaan desain ini untuk melihat perbedaan

kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan setelah perlakuan

(Sugiyono, 2014). Pada penelitian ini, semua anggota populasi diberi pretest

dengan cara mengukur skor kecemasan menggunakan kuesioner Hamilton

Rating Scale for Anxiety (HARS) untuk mengetahui skor kecemasan awal.

Selanjutnya, kelompok intervensi diberikan perlakuan berupa latihan relaksasi

napas dalam sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.

Perlakuan latihan relaksasi napas dalam dilakukan selama 2 minggu.

Pertemuan pertama dengan responden dilakukan pengukuran kecemasan (pre

test), pertemuan kedua hingga keempat dengan responden kelompok

intervensi sesuai jadwal hemodialisis diberikan perlakuan berupa latihan

relaksasi napas dalam sambil didampingi oleh peneliti. Setiap prosedur latihan

relaksasi ini diulangi sebanyak 4 kali setiap gerakan dan dilakukan 2 kali

sehari selama kurang lebih 10 menit. Latihan relaksasi napas dalam diberikan

sebelum menjalani hemodialisis dan berselang 2 jam dari intervensi pertama

(pasien sementara menjalani hemodialisis). Jadi, peneliti mendampingi

responden sebanyak 3 kali dalam melakukan latihan napas dalam. Dalam 1

minggu jadwal pasien menjalani hemodialisis rata-rata 2-3 kali. Sehingga, hari

51
dimana pasien tidak menjalani hemodialisis diberikan log book prosedur

latihan relaksasi napas dalam, lembar observasi kemampuan pasien melakukan

latihan relaksasi napas dalam, dan lembar kerja prosedur yang diisi responden

saat dan setelah melakukan latihan napas dalam.

Setelah pertemuan keempat, pada kedua kelompok dilakukan

pengukuran skor kecemasan untuk nilai post test 1. Setelah itu, responden

kelompok intervensi melakukan latihan relaksasi secara mandiri selama 1

minggu. Setelah 1 minggu intervensi mandiri, pada kedua kelompok kembali

dilakukan pengukuran skor kecemasan untuk nilai post test 2. Data skor

kecemasan yang telah diperoleh dibandingkan dan dianalisis.

Rumus:
Q X Q2 X Q3

Q4 Q5 Q6

Keterangan:

Q1 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok intervensi


sebelum diberikan relaksasi napas dalam (pre-test)
Q2 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok intervensi
setelah diberikan relaksasi napas dalam pada minggu I (post-test 1)
Q3 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok intervensi
setelah diberikan relaksasi napas dalam pada minggu II (post-test 2)
Q4 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok kontrol tanpa
perlakuan (pre-test)
Q5 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok kontrol tanpa
perlakuan (post-test 1)
Q6 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok kontrol tanpa
perlakuan (post-test 2)
X : intervensi relaksasi napas dalam

52
B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Pendidikan Universitas

Hasanuddin. Pemilihan lokasi berdasarkan hasil studi awal yang diperoleh.

2. Waktu Penelitian

Pengambilan data primer pada penelitian ini dilaksanakan mulai 14

November hingga 1 Desember 2017. Pemberian intervensi berupa latihan

relaksasi napas dalam dilaksanakan sekitar 2 minggu (17 November-1

Desember 2017) yang disesuaikan dengan jadwal hemodialisis pasien.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang tercatat pada

rekam medik Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun 2017 yang

menjalani hemodialisis dan mengalami kecemasan mulai dari cemas ringan

hingga cemas berat. Data terakhir bulan November sebanyak 40 pasien yang

menjalani hemodialisis.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total sampling dan

simple random sampling. Total sampling dilakukan dengan cara mengambil

semua anggota populasi menjadi sampel. Sedangkan simple random sampling

merupakan suatu teknik pengambilan sampel secara acak. Pengambilan

sampel dapat dilakukan dengan undian dimana setiap anggota populasi diberi

nomor terlebih dahulu sesuai dengan jumlah anggota populasi. Teknik sampel

secara random ini memberi peluang yang sama kepada semua populasi untuk

dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2014).

53
Teknik pengambilan sampel yang pertama dilakukan yaitu total sampling

untuk melakukan skrining kecemasan dengan memberikan kuesioner

kecemasan Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS). Sehingga, dari hasil

skrining tersebut peneliti mengambil sampel yang mengalami cemas ringan

hingga cemas berat. Teknik pengambilan sampel yang kedua yaitu simple

random sampling yang dilakukan untuk membagi sampel ke dalam kelompok

intervensi dan kelompok kontrol.

1. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria inklusi

1) Pasien bersedia menjadi responden penelitian

2) Mengikuti penelitian hingga selesai

b. Kriteria Eksklusi:

1) Pasien dalam keadaan tidak sadar

2) Pasien meninggal dunia

3) Pasien mengalami kecemasan berat atau panik

2. Besar Sampel

Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah sampel yang

memenuhi kriteria inklusi, sedangkan sampel yang tergolong dalam

kriteria eksklusi tidak dijadikan sampel. Anggota populasi yang berjumlah

40 orang diberikan pre test untuk skrining kecemasan. Untuk menentukan

besar sampel apabila populasi kurang dari 100. Lebih baik diambil semua

sehingga penelitiannya penelitian populasi (Arikunto, 2010).

54
Dari jumlah populasi sebanyak 40 orang tersebut, digunakan total

sampling untuk melakukan screening kecemasan menggunakan kuesioner

HARS. Dari hasil screening, sampel yang mengalami kecemasan sebanyak

30 orang sementara 10 orang lainnya tidak mengalami kecemasan. Sampel

yang mengalami kecemasan tersebut kemudian diterapkan teknik simple

random sampling untuk menggolongkan sampel sebagai kelompok kontrol

dan kelompok intervensi. Pada teknik sampling ini, masing-masing sampel

diberikan nomor urut sesuai jumlah sampel. Peneliti mengambil nomor

ganjil untuk memenuhi kelompok kontrol sedangkan nomor genap untuk

memenuhi kelompok intervensi. Setiap nomor yang keluar dimasukkan

kembali agar setiap nomor yang dipilih memiliki peluang yang sama. Bila

nomor yang telah diambil keluar lagi, maka dianggap tidak sah dan

dikembalikan lagi.

55
D. Alur Penelitian

Adapun alur penelitian daripoluasi terjangkau, pengumpulan data hingga

kesimpulan yaitu sebagai berikut


Menentukan besar populasi dari data sekunder (N= 40)

Populasi dipilih secara total sampling dan pada pertemuan pertama dengan responden
dilakukan skrining skor kecemasan menggunakan kuesioner HARS (pre test)

Melakukan skrining sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi dengan teknik simple
random sampling (N=30) karena 10 diantaranya tidak mengalami kecemasan

Kelompok intervensi (n=15) Kelompok kontrol (n=15)

Informed consent
Informed consent

Intervensi : latihan napas dalam di ruang HD untuk pertemuan ke-2, ke-3,


dan ke-4 sesuai jadwal HD responden (didampingi peneliti). Intervensi
dilakukan 2 kali yaitu sebelum HD dan berselang 2 jam dari intervensi
pertama (sementara menjalani HD). Setiap intervensi dilakukan 10 menit

Hari dimana tidak menjalani HD, responden diberikan log book


prosedur napas dalam untuk melakukan latihan napas dalam
secara mandiri di rumah (peneliti follow up lewat telpon) Pengukuran skor
kecemasan (post test
1) bersamaan dengan
Pada pertemuan ke-5 dengan responden, dilakukan kelompok intervensi
pengukuran skor kecemasan (post test 1)

Latihan relaksasi napas dalam dilanjutkan oleh responden secara


mandiri selama 1 minggu. Latihan dilakukan 2 kali sehari selama 10
menit. Peneliti selalu melakukan follow up setiap hari

Setelah 2 minggu, dilakukan pengukuran Setelah 2 minggu, dilakukan pengukuran skor


skor kecemasan (post test 2) kecemasan (post test 2)

Pengolahan data dan analia data

Hasil dan pembahasan

Kesimpulan dan saran

56
E. Variabel Penelitian

1. Identifikasi variabel

Variabel independen atau sering disebut variabel bebas merupakan

variabel yang dapat memengaruhi atau menjadi sebab perubahan pada

variabel dependen. Sedangkan, variabel dependen atau sering disebut

variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat

dari adanya variabel independen.

Variabel independen pada kerangka penelitian ini adalah latihan

relaksasi napas dalam, sedangkan variabel dependen adalah skor

kecemasan.

2. Defenisi operasional dan kriteria objektif

Adapun definisi operasional pada penelitian ini adalah relaksasi napas

dalam sebagai variabel independen dan kecemasan sebagai variabel

dependen

a. Relaksasi napas dalam

Relaksasi napas dalam adalah suatu teknik relaksasi sederhana

yang didasarkan pada pernapasan lambat dan dalam, pikiran dan

perasaan yang rileks/tenang. Latihan relaksasi ini dilakukan selama 2

minggu dan prosedurnya diulangi sebanyak 4 kali setiap gerakan serta

dilakukan 2 kali sehari selama kurang lebih 10 menit

Hasilnya dilihat berdasarkan standar prosedur operasional (SOP)

dengan kriteria objektif sebagai berikut:

57
1) Sesuai jika melakukan 10 langkah relaksasi napas dalam

dengan benar

2) Tidak sesuai jika tidak melakukan 10 langkah relaksasi napas

dalam dengan benar

b. Skor kecemasan

Kecemasan adalah perasaan tidak tenang, gelisah, khawatir,

tegang, takut dan berbagai macam kondisi/gejala yang memberi

ketidaknyamanan yang dialami pasien yang menjalani hemodialisis.

Dari berbagai gejala tersebut telah memungkinkan untuk mengukur

keparahan kecemasan. Skor kecemasan dapat diukur menggunakan

kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS) melalui

pemberian skor mulai 0 hingga 4. Kriteria objektif sebagai berikut:

1. Cemas ringan jika nilai kurang dari 17

2. Cemas ringan sampai sedang jika nilai 18-24

2. Cemas sedang sampai berat jika nilai 25-30

3. Cemas sangat berat jika nilai lebih dari 30

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengukur

suatu fenomena yang diamati atau diteliti. Instrumen yang digunakan terlebih

dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya (Sugiyono, 2014). Penelitian ini

menggunakan 5 instrumen yang terdiri atas, lembar observasi kemampuan

responden dalam melakukan latihan relaksasi napas dalam, kuesioner

Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS), lembar data demografi responden,

58
lembar tabulasi skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dan panduan pelaksanaan

prosedur relaksasi napas dalam.

1. Lembar observasi kemampuan responden dalam melakukan latihan

relaksasi napas dalam yang diisi oleh peneliti saat pemberian perlakuan.

Pada lembar observasi tersebut diberikan tanda ceklis (√) pada kolom (ya)

apabila prosedur dilaksanaakan atau ceklis (√) pada kolom (tidak) apabila

prosedur tidak dilakukan. Lembar observasi latihan relaksasi napas dalam

ada pada bagian lampiran (lampiran 3)

2. Mengukur skor kecemasan menggunakan skala kecemasan Hamilton

Rating Scale for Anxiety (HARS) (lampiran 4). Skala ini digunakan untuk

mengukur kecemasan yang terdiri dari 14 elemen/parameter. Setiap

elemen terdiri dari beberapa item sesuai dengan gejala pada elemen

tersebut. Kuesioner ini juga terdiri dari gejala psikologis dan somatik,

antara lain: rasa cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, intelektual,

perasaan depresi, gejala somatik (otot), gejala somatic (sensorik),

kardiovaskuler, pernapasan, gejala gastrointestinal, genitourinaria, gejala

otonom, dan perilaku yang diamati saat wawancara (Hamilton, M, 1959).

Setiap item dinilai pada skor numerik mulai dari 0 (tidak ada

gejala), 1 (gejala ringan/mengalami 1 gejala dari pilihan yang ada), 2

(gejala sedang/ mengalami separuh gejala dari pilihan yang ada), 3 (gejala

berat/ mengalami lebih dari separuh gejala dari pilihan yang ada), dan 4

(gejala sangat berat/mengalami semua gejala dari pilihan yang ada) dengan

59
total skor 0-56. Adapun penggolongan total skor sesuai dengan tingkat

keparahan seperti berikut: kurang dari 14 (tidak cemas), 14-20 (kecemasan

ringan), 21-27 (kecemasan sedang), 28-41 (kecemasan berat), dan 42-56

(kecemasan sangat berat/panik). Penggunaan kuesioner HARS ini dengan

cara memberi tanda ceklis (√) pada kolom sesuai dengan perasaan yang

dialami dan membutuhkan waktu pengisian sekitar 15-20 menit untuk

menyelesaikan wawancara dan penilaian (Hamilton, M, 1959).

Sebelum penggunaan kuesioner, dilakukan uji validitas dan

reliabilitas kuesioner tersebut. Sebuah kuesioner dinyatakan valid jika

tidak memiliki nilai Corrected Item-Total Correlation bertanda negatif dan

lebih besar dari 0,05 (>0,05). Uji validitas pada kuesioner HARS

menggunakan pendapat ahli (experts judgement) dan korelasi Pearson

Product Moment dengan bantuan SPSS pada kolom Corrected Item-Total

Correlation. Hasil uji validitas kuesioner HARS menunjukkan bahwa

seluruh item memiliki nilai positif dan lebih besar dari 0,05 dengan

rentang hasil perhitungan yaitu antara 0,208-0,589. Hasil tersebut

membuktikan bahwa kuesioner HARS telah valid dan dapat digunakan

dalam pengukuran kecemasan (Kautsar, Gustopo, & Achmadi, 2015).

Selain uji validitas, dibutuhkan uji reliabilitas sebagai ukuran

kestabilan dan konsistensi suatu kuesioner. Reliabilitas suatu kuesioner

dinayatakan baik jika memiliki nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dari

0,60 (>0,60). Hasil uji reliabilitas kuesioner HARS menunjukkan bahwa

seluruh item pada kuesioner memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar

60
0,793. Hasil tersebut membuktikan bahwa kuesioner HARS telah reliabel

dan dapat digunakan dalam pengukuran kecemasan (Kautsar, Gustopo, &

Achmadi, 2015).

Tiap responden memilih satu dari 2 jawaban yang tersedia dengan

memberikan tanda ceklis (√) di kuesioner yang menggunakan skala Likert

yang mempunyai gradasi tidak ada gejala atau ada gejala yang dapat

berupa kata–kata dan diberikan skor seperti berikut:

a. Tidak ada gejala sama sekali diberi skor : 0


b. Ringan/satu gejala dari pilihan yang ada diberi skor : 1
c. Sedang/separuh gejala dari pilihan yang ada diberi skor : 2
d. Berat/lebih dari separuh gejala dari pilihan yang ada diberi skor : 3
e. Sangat berat/semua gejala ada diberi skor : 4
Jawaban responden berupa data ordinal yang diperiksa dan

digolongkan dalam rentang skor kecemasan berupa data interval dengan

kategori cemas ringan, cemas sedang, cemas berat, dan cemas sangat

berat. Kemudian untuk menentukan skor kecemasan melalui kelas interval

sebagai berikut :

Nilai kurang dari 14 : tidak cemas

Nilai 14-20 : cemas ringan

Nilai 21-27 : cemas sedang

Nilai 28-41 : cemas berat

Nilai 42-56 : cemas sangat berat/panik

Pada penelitian ini, peneliti mengambil nilai kecemasan responden

sesuai total skor tanpa mengkategorikan ke dalam tingkat kecemasan.

Tujuan dari hal tersebut agar peneliti mengetahui perbedaan skor

61
kecemasan sebelum dan setelah perlakuan berupa latihan relaksasi napas

dalam.

3. Lembar data karakteristik responden, seperti: usia, jenis kelamin, lama

menderita penyakit ginjal kronik, lama menjalani hemodialisis, penyakit

penyerta, status pernikahan, tingkat pendidikan terakhir, dan pekerjaan

(Gerogianni & et.al, 2014; Jangkup & et.al, 2015). Mengenai pengukuran

karakteristik responden, peneliti membuat lembaran berisi pertanyaan

mengenai data karakteristik responden (lampiran 5)

4. Lembar kerja prosedur responden untuk diisi responden pada saat

melakukan latihan relaksasi napas dalam secara mandiri. Lembar kerja

tersebut diberikan tanda ceklis (√) apabila langkah prosedur telah

dilakukan (lampiran 8). Untuk membantu pasien dalam melakukan latihan

relaksasi secara mandiri, peneliti menyertakan buku panduan latihan

relaksasi napas dalam sebagai pegangan responden (lampiran 9)

G. Pengolahan dan Analisa Data

 Pemilihan populasi yaitu semua pasien menjalani hemodialisis dan tercatat

pada rekam medik Rumah Sakit Universitas Hasanuddin.

 Menerapkan total sampling untuk pengukuran kecemasan menggunakan

kuesioner HARS sebagai identifikasi/skrining skor kecemasan (pre test)

terhadap populasi selama 3 hari. Sampel yang terpilih ialah yang

mengalami kecemasan mulai dari cemas ringan hingga cemas berat.

 Sampel kemudian diskrining lagi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi

menggunakan teknik simple random sampling dan dibagi menjadi 2

62
kelompok yaitu kelompok kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Setelah itu, peneliti memberikan informed consent pada responden.

 Kelompok intervensi diberikan perlakuan berupa latihan relaksasi napas

dalam, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan. Perlakuan

latihan relaksasi napas dalam dilakukan selama 2 minggu. Pertemuan

pertama dengan responden dilakukan pengukuran kecemasan (pre test),

pertemuan kedua hingga keempat dengan responden kelompok intervensi

sesuai jadwal hemodialisis akan diberikan perlakuan berupa latihan

relaksasi napas dalam sambil didampingi oleh peneliti. Setiap prosedur

latihan relaksasi ini diulangi sebanyak 4 kali setiap gerakan dan dilakukan

2 kali sehari selama kurang lebih 10 menit. Latihan relaksasi napas dalam

diberikan sebelum menjalani hemodialisis dan berselang 2 jam dari

intervensi pertama (pasien sementara menjalani hemodialisis). Jadi,

peneliti mendampingi responden sebanyak 3 kali dalam melakukan latihan

napas dalam.

 Dalam 1 minggu jadwal pasien menjalani hemodialisis rata-rata 2-3 kali.

Sehingga, hari dimana pasien tidak menjalani hemodialisis diberikan log

book prosedur latihan relaksasi napas dalam, lembar observasi kemampuan

pasien melakukan latihan relaksasi napas dalam, dan lembar kerja

prosedur yang diisi responden saat dan setelah melakukan latihan napas

dalam.

 Setelah pertemuan keempat, pada kedua kelompok dilakukan pengukuran

skor kecemasan menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale for

63
Anxiety (HARS) untuk nilai post test 1. Setelah itu, responden kelompok

intervensi melakukan latihan relaksasi secara mandiri selama 1 minggu.

Setelah 1 minggu intervensi mandiri, pada kedua kelompok kembali

dilakukan pengukuran skor kecemasan menggunakan kuesioner Hamilton

Rating Scale for Anxiety (HARS) untuk nilai post test 2.

 Data yang diperoleh dari hasil pengukuran skor kecemasan sebelum

intervensi (pre test) dan setelah intervensi yaitu post test 1 dan post test 2

dikumpulkan sebagai bahan perbandingan dan dibahas bagaimana

perbedaan skor kecemasan sebelum dan sesudah pemberian latihan

relaksasi napas dalam serta hal-hal yang dapat memengaruhi skor

kecemasan.

 Pembahasan tersebut disimpulkan bagaimana hasil perbandingan dari

kedua kelompok tersebut. Selanjutnya, data yang diperoleh diolah melalui

proses selection, editing, scoring, koding, tabulating, dan analisa data.

1. Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah melalui tahap-tahap

menurut (Notoadmodjo, 2012) yaitu sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data (Editing)

Langkah ini untuk mengantisipasi kesalahan-kesalahan dari data

yang telah terkumpul dari hasil wawancara atau kuesioner. Apabila ada

data atau informasi yang tidak lengkap dan tidak memungkinkan untuk

wawancara ulang maka kuesioner tersebut dikeluarkan (droup out).

64
b. Pemberian Kode (Coding)

Untuk memudahkan dalam pengolahan data maka setiap hasil yang

telah diperoleh dapat diberi kode dengan karakter masing-masing.

Hasil skor kecemasan sebelum dan setelah intervensi di beri kode 1

untuk pre test dan kode 2 untuk post test.

c. Pengelompokan Data (Tabulating)

Membuat tabel yang telah diberikan kode sebagai kategori hasil

penelitian kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Pengelompokan data

ke dalam tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki, kemudian data

dianalisa secara statistik. Pada penelitian ini, tabel untuk data tabulasi

dibedakan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (lampiran

6 dan lampiran 7)

d. Memasukkan data (Data Entry)/Proses (Processing)

Hasil wawancara dari responden yang telah diberi kode (angka atau

huruf) dimasukkan ke dalam perangkat lunak/software komputer salah

satunya ialah SPSS. Proses memasukkan data ini membutuhkan

ketelitian jangan sampai terjadi kesalahan yang menyebabkan data

menjadi bias.

e. Pembersihan data (Cleaning)

Setelah data telah selesai dimasukkan, dilakukan proses

pengecekan data untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan

kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya kemudian

dilakukan koreksi. Pembersihan data dilakukan dengan mengetahui

65
data yang hilang (missing), mengetaui variasi data, dan konsistensi

data.

2. Analisa Data

a. Analisa Univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan untuk

menjelaskan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya

dalam analisa ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan

persentase dari tiap variabel. Untuk data numerik digunakan nilai mean

atau rata-rata, median dan standar deviasi (Notoadmodjo, 2012). Pada

penelitian ini menganalisis distribusi frekuensi reaponden berdasarkan

karakeristik responden, diantaranya: usia, jenis kelamin, lama

menderita penyakit ginjal kronik, lama menjalani hemodialisis,

penyakit penyerta, status pernikahan, tingkat pendidikan terakhir, dan

pekerjaan responden.

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dalam penelitian ini dimana data statistik sebaran

tidak normal menggunakan uji Mann whitney untuk membandingkan

hasil pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol (data numerik

tidak berpasangan). Sedangkan, untuk membandingkan hasil pada 3

kategori dalam 1 kelompok (berpasangan) yaitu pre, post test 1, dan

post test 2 dengan data sebaran tidak normal menggunakan uji

Friedman.

66
H. Etika Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip etik yang

bertujuan untuk melindungi subjek penelitian sesuai dengan pedoman

Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (2007) yang meliputi:

1. Respect for persons (Menghormati harkat dan martabat manusia)

Peneliti mempertimbangkan hak responden dalam memperoleh

suatu informasi berdasarkan tujuan peneliti. Selain itu, peneliti juga

memberikan kebebasan kepada responden untuk memberikan

informasi atau tidak. Dalam hal ini, peneliti mempersiapkan formulir

persetujuan responden (informed consent) mengenai manfaat

penelitian latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor

kecemasan. Dijelaskan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang

dapat ditimbulkan, manfaat, dan jaminan kerahasiaan identitas dan

informasi yang diberikan kepada responden.

2. Beneficence dan non maleficence (Prinsip etik berbuat baik)

Peneliti mempertimbangkan manfaat dan kerugian/risiko penelitian

yang akan dilakukan. Peneliti mengupayakan manfaat dari latihan

relaksasi napas dalam secara maksimal dan dapat diterapkan oleh

responden (beneficence). Peneliti berusaha meminimalkan dampak

yang merugikan dengan mencegah hal-hal yang dapat membahayakan

responden selama mengikuti latihan relaksasi napas dalam.

67
3. Justice (Prinsip keadilan)

Dalam penelitian ini, perlakuan latihan relaksasi napas dalam pada

kelompok intervensi diberikan pula pada kelompok kontrol.

Responden pada kelompok kontrol diberikan latihan relaksasi napas

dalam setelah pemberian perlakuan pada kelompok intervensi selesai

namun tidak diukur skor kecemasan responden setelah diberikan

latihan tersebut. Latihan relaksasi ini untuk mengatasi kecemasan yang

dialami agar responden dapat merasa senang dengan perlakuan yang

adil seperti pada kelompok intervensi.

68
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pengambilan data primer dalam penelitian ini dilaksanakan mulai tangal

14 November hinga 1 Desember 2017. Pelaksanaannya bertempat di ruang

Hemodialisa Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin (RSP

UNHAS). Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi Experimental

Design dengan rancangan Time Series with Control Group Design. Data

berupa skor kecemasan diperoleh dengan melakukan wawancara kepada

responden menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety

(HARS). Adapun responden dalam penelitian ini ialah pasien penyakit ginjal

kronik yang menjalani hemodialisis di RSP UNHAS. Populasi sebanyak 40

responden dan digunakan teknik total sampling. Namun, pada screening

kecemasan terdapat 10 responden tidak mengalami kecemasan sehingga

jumlah sampel untuk penelitian sebanyak 30 responden.

Sebelum penelitian dimulai, peneliti terlebih dahulu menjelaskan lembar

penjelasan untuk responden. Apabila responden setuju, diberikan lembar

persetujuan setelah penjelasan (informed consent) untuk ditandatangani.

Responden yang bersedia mengikuti penelitian dibagi ke dalam 2 kelompok

yakni kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Dari 30 responden yang

bersedia, 15 responden termasuk kelompok intervensi dan 15 responden

lainnya termasuk kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan latihan

69
relaksasi napas dalam sedangkan kelompok kontrol diberikan latihan napas

dalam setelah penelitian selesai.

Hasil penelitian yang telah didapatkan selanjutnya diolah dan dianalisa

secara univariat dan bivariat. Hasil pengolahan dan analisa data disajikan

dalam bentuk tabel yang meliputi distribusi karakteristik responden, skor

kecemasan sebelum intervensi dan setelah intervensi, serta perbandingan skor

kecemasan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Hasil penelitian

sebagai berikut:

a. Karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, pekerjaan, lama menderita PGK, lama menjalani hemodialisis,

status pernikahan, dan penyakit penyerta.

Tabel 5. 1
Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Usia, Lama Menderita PGK, dan
Lama menjalani Hemodialisis di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Universitas
Hasanuddin (n=30)

Intervensi Kontrol
Karakteristik (n=15) (n=15)
Min-
Mean±SD Min-maks Mean±SD
maks
Usia (tahun) 42.40±13.032 22-64 45.07±10.787 23-67
Lama menderita PGK
2.67±1.291 1-5 1.67±0.816 1-3
(tahun)
Lama menjalani HD
2±1.069 1-4 1.60±0.737 1-3
(tahun)
Sumber : Data Primer (2017)

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa responden pada kelompok intervensi

memiliki rata-rata usia 42,40 tahun mulai dari usia 22-64 tahun, sementara

pada kelompok kontrol memiliki rata-rata usia 45,07 tahun mulai dari usia

23 tahun hingga 67 tahun. Lama menderita PGK pada kelompok intervensi

rata-rata 2,67 tahun mulai dari 1 tahun hingga 5 tahun, sementara pada

70
kelompok kontrol rata-rata 1,67 tahun mulai 1 tahun hingga 3 tahun. Lama

menjalani hemodialisis pada kelompok intervensi rata-rata 2 tahun mulai 1

tahun hingga 4 tahun sementara pada kelompok kontrol rata-rata 1,6 tahun

mulai dari 1 tahun hingga 3 tahun.

Tabel 5. 2
Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat
Pendidikan, Pekerjaan, Status Pernikahan, dan Penyakit Penyerta di Ruang
Hemodialisa Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (n=30)

Intervensi Kontrol
Karakteristik (n=15) (n=15)
n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 6 40 13 86.7
Perempuan 9 60 2 13.3
Tingkat Pendidikan
Menengah (SMP-SMA) 7 46.7 6 40
Tinggi (S1-S2) 8 53.3 9 60
Pekerjaan
Bekerja 11 73.3 8 53.3
Tidak bekerja 4 26.7 7 46.7
Status pernikahan
Menikah 14 93,3 14 93.3
Belum menikah 1 6,7 1 6.7
Penyakit penyerta
Hipertensi 8 53,3 3 20.0
Diabetes mellitus 3 20,0 6 40.0
Sindrom nefrotik 1 6,7 0 0
Asam urat 0 0 2 13.3
Hepatitis B 0 0 2 13.3
Tidak ada 3 20,0 2 13.3
Sumber : Data Primer (2017)

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, lebih dari

setengah responden pada kelompok berjenis kelamin perempuan yaitu 9

orang (60%) dan mayoritas kelompok kontrol berjenis kelamin laki-laki

yaitu 13 orang (86,7%). Pada kriteria tingkat pendidikan kelompok

intervensi dan kelompok kontrol sama-sama berpendidikan tinggi yaitu

71
sebanyak 8 orang (53,3%) pada kelompok intervensi dan pada kelompok

kontrol sebanyak 9 responden (60,0%).

Sebagian besar responden memiliki pekerjaan yaitu sebanyak 11 orang

(73,3%) pada kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol sebanyak 8

orang (53,3%). Sebagian besar responden sudah menikah yaitu masing-

masing sebanyak 14 orang (93,3%) pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol. Penyakit penyerta sebagian besar menderita hipertensi

pada kelompok kontrol yaitu sebanyak 8 orang (53,3%) dan pada

kelompok kontrol sebagian besar menderita diabetes mellitus dengan

jumlah 6 orang (40%).

b. Analisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis

sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok kontrol

dan kelompok intervensi

Tabel 5.3
Distribusi skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis sebelum
diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin (n=30)

Skor Kecemasan
Kelompok Mean SD Min-Maks IK 95% P
Intervensi 35 7.407 23-46 30.90
0.30
Kontrol 29.53 5.514 21-40 26.48
Uji Independent sampel t-test

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa skor kecemasan pada kelompok

intervensi sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam mendapatkan

nilai mean sebesar 35 sedangkan pada kelompok kontrol mendapatkan

nilai mean sebesar 29,53.

72
c. Analisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis

setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok kontrol dan

kelompok intervensi

Tabel 5.4
Distribusi skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis setelah diberikan
latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin (n=30)

Skor Kecemasan
Kelompok Mean SD Min-Maks IK 95% P
Intervensi 1.40 1.682 0-5 0.47
0.001
Kontrol 26.07 3.731 19-31 24
Uji Independent sampel t-test

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa skor kecemasan pada kelompok

intervensi setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam mendapatkan

nilai mean sebesar 1,40 sedangkan pada kelompok kontrol mendapatkan

nilai mean sebesar 26,07.

d. Analisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis

sebelum (pre), setelah 1 minggu (post 1), dan setelah 2 minggu (post 2)

diberikan intervensi latihan relaksasi napas dalam

Tabel 5.5
Hasil analisis perbedaan rerata skor kecemasan pada kelompok intervensi dan
kelompok ontrol sebelum (pre), setelah 1 minggu (post 1), dan setelah 2 minggu
(post 2) diberikan intervensi latihan relaksasi napas dalam (n=30)

Mean Min-
Kelompok Mean SD Median P
SE Maks
Intervensi
Pre test 35 7.407 1.912 23-46 36
Post test 1 7.27 4.317 1.115 1-17 6 0.001*
Post test 2 1.4 1.682 0.434 0-5 1
Kontrol
Pre test 29.53 5.514 1.424 21-40 30
Post test 1 26.07 4.621 1.193 17-31 29 0.019*
Post test 2 26.07 3.731 0.963 19-31 27
*Uji Friedman

73
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa skor kecemasan setelah latihan

relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi terjadi perubahan dimana

terjadi penurunan skor kecemasan sebesar 33,6. Sebelum intervensi

didapatkan skor kecemasan sebesar 35 dan setelah intervensi skor

kecemasan menjadi 1,4. Hasil uji Friedman test nilai p 0,000<α=0,05

berarti terdapat perbedaan yang signifikan skor kecemasan setelah

diberikan intervensi latihan relaksasi napas dalam.

Kelompok kontrol juga mengalami penurunan skor kecemasan namun

penurunannya tidak sesignifikan seperti kelompok intervensi. Pada

kelompok kontrol terjadi penurunan skor kecemasan sebesar 3,46 dimana

sebelum dilakukan intervensi pada kelompok intervensi didapatkan skor

kecemasan sebesar 29,53 dan mengalami penurunan setelah 2 minggu

yaitu sebesar 26,07. Hasil uji Friedman test nilai p 0,019<α=0,05 berarti

terdapat pula perbedaan skor kecemasan pada kelompok kontrol meskipun

tidak diberikan latihan relaksasi napas dalam. Namun, dapat disimpulkan

dari hasil keseluruhan bahwa latihan relaksasi napas dalam lebih

berpengaruh terhadap penurunan skor kecemasan.

74
e. Perbedaan selisih skor kecemasan pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam

Tabel 5.6
Hasil analisis perbedaan selisih skor kecemasan pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada pasien yang
menjalani hemodialisis di RSP UNHAS (n=30)

Selisih Selisih
Kelompok SD Min-Maks P
mean median

Intervensi 33.6 1.682 35 0-5


0.001*
Kontrol 3.46 3.731 3 19-31

*Uji Mann Whitney

Tabel 5.6 menunjukkan bahwa hasil selisih median skor kecemasan

setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi

sebesar 35 (SD=1.682) sedangkan kelompok kontrol sebesar 3

(SD=3.731). Dari hasil pengolahan data dengan uji Mann Whitney

diperoleh nilai p=0.000<α=0.05. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat

disimpulkan bahwa terdapat pengaruh latihan relaksasi napas dalam

terhadap perubahan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

75
B. Pembahasan

1. Perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis

sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor kecemasan sebelum

diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi

mendapatkan nilai mean sebesar 35 (SD=7.407) dan min-maks yaitu 23-46

serta IK 95% 30.90 sedangkan pada kelompok kontrol mendapatkan nilai

mean sebesar 29,53 (SD=5.514) dan min-maks yaitu 21-40 serta IK 95%

26.4. Hasil tersebut menunjukkan responden baik kelompok kontrol

maupun kelompok intervensi memiliki skor kecemasan yang tinggi.

Menurut Asmadi (2008) dan Stuart (2013) faktor yang ikut

memengaruhi pasien hemodialisis merasa cemas, seperti: ancaman

kehilangan harga diri, ancaman kehilangan status/peran diri, dan tidak

memperoleh pengakuan dari orang lain. Dari segi fisik, seseorang yang

mengalami kecemasan cenderung mengakibatkan peningkatan saraf

simpatis yang berdampak pada perubahan hemodinamik, seperti:

peningkatan tekanan darah, mempercepat denyut jantung, meningkatkan

ketegangan otot, dan keringat berlebihan. Gejala ini disebabkan oleh

meningkatnya kerja otak akibat pikiran-pikiran yang terlalu banyak dan

tidak pasti sehingga menjadikan kerja otot-otot pernapasan dikendalikan

oleh otak yang tidak stabil dan kemudian mengakibatkan napas terengah-

engah sehingga penyerapan oksigen dari luar tubuh dan pembentukan

76
karbondioksida dalam tubuh menjadi tidak maksimal (Smeltzer & G.Bare,

2001; Handoyo, 2002).

Selain itu, hasil penelitian Luana,et.al. (2012) menunjukkan bahwa

peningkatan kecemasan pada pasien yang menjalani hemodialisis

dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan,

dan tingkat pendidikan. Mereka biasanya menghadapi masalah finansial

dan kesulitan mempertahan pekerjaan sehingga hal tersebut menyebabkan

perubahan gaya hidup mereka terhadap keluarga (Smeltzer & G.Bare,

2001). Penelitian Sarsito (2015) dengan judul “Pengaruh Guide Imagery

terhadap Tingkat Kecemasan pada Pasien Hemodialisa di RS PKU

Muhammadiyah Surakarta” menunjukkan hasil bahwa sebelum diberikan

intervensi guide imagery, pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 30

orang mayoritas cemas mulai dari cemas ringan hingga cemas berat.

Penelitian ini tidak memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian

sebelumnya. Kecemasan sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam

dapat dikategorikan masih tinggi dengan dengan rata-rata berada pada

kecemasan sedang hingga kecemasan sangat berat/panik. Hasil pre test

(sebelum intervensi) yang diperoleh pada kelompok intervensi

menunjukkan bahwa terdapat 3 orang mengalami cemas sedang, 9 orang

mengalami cemas berat, dan 3 orang mengalami cemas sangat berat/panik.

Sedangkan, pada kelompok kontrol terdapat 6 orang mengalami cemas

sedang dan 9 orang mengalami cemas berat.

77
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti, kecemasan yang dialami

pasien yang menjalani hemodialisis disebabkan oleh beberapa faktor.

Faktor yang menjadi penyebab kecemasan, seperti: memikirkan pekerjaan,

keluarga, bahkan ada yang tidak mengenali gejala kecemasan yang

dirasakan. Dampak dari kecemasan yang dialami ialah menyebabkan

mereka mengalami gangguan tidur, susah berkonsentrasi, merasa

ketakutan, susah mengatur pola pernapasan, merasa gelisah serta tidak

dapat merilekskan tubuh.

2. Perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis

setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor kecemasan pada

kelompok intervensi setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam

mendapatkan nilai (mean) dari 35 menjadi 1,40 setelah intervensi dengan

nilai min-maks yaitu 0-5. Sedangkan, pada kelompok kontrol

mendapatkan nilai mean sebesar 29.53 menjadi 26,07 dengan nilai min-

maks yaitu 19-31. Hasil penelitian ini memperlihatkan nilai p=0.000 atau

p<0.05 berarti ada pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap

perubahan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis di RSP

Universitas Hasanuddin. Data ini menunjukkan penurunan skor kecemasan

yang signifikan pada kelompok intervensi dibanding kelompok kontrol

yang hanya mengalami sedikit penurunan mean skor kecemasan. Namun

78
demikian, hasil yang diperoleh bahwa ternyata skor kecemasan menurun

lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki (lampiran 7).

Intervensi latihan relaksasi napas dalam ini mengacu pada teori yang

ada bahwa relaksasi napas dalam berpengaruh terhadap peregangan

kardiopulonari dan memicu peningkatan refleks baroreseptor yang dapat

merangsang saraf parasimpatis dan menghambat saraf simpatis. Saraf

parasimpatis menurunkan dan menaikkan semua fungsi yang dinaikkan

dan diturunkan oleh saraf simpatis, seperti: dilatasi pembuluh darah

(arteri), melancarkan peredaran darah, dan memungkinkan terjadinya

peningkatan oksigen ke semua jaringan tubuh (Purwanto, 2006). Sehingga,

dari relaksasi napas dalam menstimulasi reseptor saraf parasimpatis

mengalami peningkatan aktivitas sementara saraf simpatis mengalami

penurunan aktivitas pada kemoreseptor (Rice, 2006).

Penelitian lain yang sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu penelitian

Gea (2014) dengan judul “Pengaruh Relaksasi Nafas Dalam terhadap

Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD Kota Bekasi”

menunjukkan hasil dari 30 responden yang mengalami kecemasan

sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam mengalami penurunan

setelah intervensi. Hasil analisa menunjukkan tingkat kecemasan terbesar

berada pada kecemasan sedang sebanyak 21 orang (70%) sedangkan,

setelah intervensi latihan relaksasi napas dalam tingkat kecemasan terbesar

berada pada kecemasan ringan sebanyak 21 orang (21 orang). Hasil uji

Paired T-test diperoleh nilai p=0.000 dimana p<0.05 yang berarti ada

79
pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap penurunan tingkat

kecemasan pasien pre operasi.

Hasil penelitian ini sendiri memperlihatkan hasil bahwa setelah

diberikan latihan relaksasi napas dalam selama 1 minggu, pasien

hemodialisis yang tergolong termasuk kelompok intervensi sudah mulai

merasa tenang, pola napas menjadi lebih efektif, dan gangguan tidur yang

dialami sudah mengalami penurunan. Mereka yang selama ini merasa

cemas, gelisah, memiliki suasana hati yang tidak tenang dapat merasakan

perubahan yang jauh lebih baik dan mengalami penurunan skor

kecemasan.

Hasil post test 1 kelompok intervensi pada minggu pertama setelah

diberikan latihan napas dalam sudah menunjukkan hasil yang signifikan.

Responden yang mengalami kecemasan sangat berat pun masih dapat

diberikan latihan relaksasi napas dalam. Mereka bahkan tidak menyadari

bahwa sedang merasakan kecemasan yang sangat berat. Namun demikian,

semua responden pada kelompok intervensi mengalami penurunan skor

kecemasan dari cemas sangat berat/panik menjadi cemas ringan bahkan

ada yang tidak cemas. Responden yang mengalami kecemasan ringan

sebanyak 2 orang dan tidak cemas sebanyak 13 orang. Penurunan skor

kecemasan terus berlanjut hingga post test 2 pada kelompok intervensi.

Hasil yang diperoleh menunjukkan semua responden pada kelompok

intervensi tidak mengalami kecemasan setelah diberikan latihan relaksasi

napas dalam selama 2 minggu.

80
Penurunan skor/tingkat kecemasan yang dialami responden pada

kelompok intervensi tersebut dikarenakan latihan relaksasi napas dalam

yang dilakukan secara rutin. Latihan relaksasi napas dalam dilakukan

setiap hari selama 2 minggu dengan frekuensi 2 kali sehari dan durasi

sekitar 10 menit setiap sesi latihan. Responden merasakan perubahan yang

besar dibanding keadaan sebelum melakukan latihan relaksasi napas

dalam. Latihan relaksasi napas dalam dilakukan dalam keadaan fokus,

konsentrasi, dan suasana tenang dapat membuat hati lebih damai, pikiran

dan perasaan lebih tenang, serta tubuh menjadi lebih rileks.

Tingkat kecemasan yang diperoleh pada kelompok intevensi berbeda

dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi. Pada kelompok

kontrol diperoleh hasil yang tidak menunjukkan penurunan skor

kecemasan secara signifikan. Kelompok kontrol masih memiliki rata-rata

tingkat kecemasan ringan hingga berat selama 2 minggu penelitian. Pada

post test 1 diperolah hasil 2 orang mengalami kecemasan ringan, 5 orang

mengalami kecemasan sedang, dan 8 orang mengalami kecemasan berat.

Sedangkan, hasil post test 2 diperoleh hasil 2 orang mengalami kecemasan

ringan, 7 orang mengalami kecemasan sedang, dan 6 orang mengalami

kecemasan berat. Hasil ini memperlihatkan kondisi kecemasan yang

dirasakan responden pada kelompok kontrol dengan faktor penyebab

seperti pada sebelum intervensi, misalnya: faktor pekerjaan, kondisi

ekonomi, dan faktor penyebab lainnya.

81
3. Perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis

sebelum, setelah 1 minggu, dan setelah 2 minggu pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol setelah diberikan intervensi latihan

relaksasi napas dalam

Hasil penelitian pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

didapatkan adanya perbedaan hasil yang cukup signifikan. Kelompok

intervensi yang diberikan latihan relaksasi napas dalam selama 2 minggu

berturut-turut selama 2 kali sehari dengan durasi 5 menit memperlihatkan

mean skor kecemasan 1.4 di minggu kedua sebagai akhir pengukuran

kecemasan (post 2) dengan nilai p=0.000 sedangkan kelompok kontrol

memiliki skor kecemasan 26.07 pada minggu kedua (post 2) dengan nilai

p=0.019. Dari hasil penelitian terlihat jelas perbedaan mean kedua

kelompok pada setiap pengukuran kecemasan.

Kelompok intervensi menunjukkan mean sebelum intervensi (pre test)

yaitu 35 kemudian mengalami penurunan mean pada minggu 1 (post test

1) yakni 7.27 dan pada minggu kedua (post test 2) mean semakin

mengalami penurunan menjadi 1.4. Hal ini berbeda dengan kelompok

kontrol yang memiliki mean skor kecemasan pada pre test yaitu 29.53

menjadi 26.07 pada minggu pertama (post test 1) dan tetap pada minggu

kedua (post test 2). Kelompok intervensi mengalami penurunan skor

kecemasan sedangkan kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan

napas dalam hanya mengalami penurunan skor yang tidak signifikan

82
karena mengalami kondisi kecemasan yang tidak stabil atau kadang

meningkat dan kadang menurun.

Data tersebut diperoleh menggunakan uji Friedman dengan alasan

hasil uji normalitas data sebelumnya diperoleh data tidak berdistribusi

normal. Data numerik seperti pada penelitian ini dengan kategori lebih dari

2 dalam kelompok yang sama (berpasangan) yakni pre test, post test 1, dan

post test 2 menggunakan uji Friedman. Sedangkan data yang memiliki

distribusi normal pada kelompok yang sama menggunakan uji Repeated

ANOVA.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sari (2017) dengan judul

“Pengaruh Teknik Relaksasi terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan

Pasien Praoperatif” dengan jumlah sampel 12 orang. Rerata kecemasan

sebelum diberikan teknik relaksasi dan sesudah diberikannya teknik

relaksasi pada kelompok intervensi adalah sebesar 1.167 dengan standar

deviasi 0.408 dengan hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0.001.

Sedangkan, rerata kecemasan pada kelompok kontrol sewaktu diobservasi

adalah sebesar 0,333 dengan standar deviasi 0,516 dengan hasil uji

statistik didapatkan nilai p value 0.175. Artinya ada perbedaan yang

signifikan antara cemas sebelum diberikan teknik relaksasi dengan

sesudah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi

dan tidak signifikan antara cemas sebelum dan sesudah dilakukannya

observasi ulang pada kelompok kontol,

83
Latihan relaksasi napas dalam merupakan suatu gaya pernapasan yang

pada dasarnya lambat (menahan inspirasi secara maksimal), dalam, dan

rileks yang memungkinkan seseorang merasa lebih tenang (Townsend,

2012). Selain itu, teknik napas dalam dengan menghembuskan napas

secara perlahan, dengan melibatkan gerakan sadar abdomen bagian bawah

(daerah perut) untuk meningkatkan oksigenasi dalam darah, meningkatkan

ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasis paru,

meningkatkan efisiensi batuk, mengurangi stres baik (National Safety

Council,2007).

Teori lain menurut Kushariyadi, Smeltzer & Bare (2007) bahwa

latihan relaksasi napas dalam dalam memiliki suatu kelebihan untuk

mengurangi kecemasan, stres baik fisik maupun emosional,

menghilangkan nyeri, dan insomnia. Relaksasi napas dalam cukup efektif

untuk memunculkan keadaan tenang dan rileks, dimana gelombang otak

mulai melambat dan pada akhirnya membuat seseorang dapat beristirahat

dengan tenang.

Hasil analisis peneliti sendiri sesuai penelitian yang dilakukan bahwa

skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis sebelum diberikan

intervensi memiliki perbedaan yang sangat signifikan jika dibandingkan

dengan hasil skor kecemasan setelah 1 minggu diberikan intervensi dan

setelah 2 minggu intervensi latihan relaksasi napas dalam pada kelompok

intervensi. Hal tersebut terlihat dari hasil wawancara menggunakan

kuesioner kecemasan yakni Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS).

84
relaksasi. Hasil skor kecemasan yang terjadi pada kelompok kontrol

berbeda dengan hasil skor kecemasan pada kelompok kontrol yang tidak

diberikan intervensi latihan relaksasi napas dalam. Skor kecemasan yang

diperoleh dari kedua kelompok ini atas dasar perbedaan diberikannya

intervensi dan tidak diberikan intervensi.

Adanya pengaruh latihan relaksasi napas dalam pada kelompok

intervensi menyebabkan penurunan skor kecemasan yang juga dapat

dilihat pada tingkat kecemasan yang telah dibahas pada poin sebelumnya.

Pasien yang menjalani hemodialisis mengungkapkan bahwa mereka sangat

puas setelah melakukan latihan relaksasi napas dalam. Hal ini dikarenakan

hal-hal yang membuat mereka cemas sebelumnya kini dapat dikurangi dan

mampu membawa diri lebih rileks. Namun demikian, responden yang

termasuk kelompok kontrol belum merasakan adanya penurunan skor

kecemasan karena mereka tidak melakukan latihan relaksasi napas dalam

seperti kelompok intervensi. Hasilnya pun tidak mengalami penurunan

skor kecemasan secara sgnifikan selama 2 minggu penelitian.

4. Perbedaan selisih skor kecemasan antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol setelah diberikan intervensi latihan relaksasi napas

dalam

Hasil penelitian pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

setelah latihan relaksasi napas dalam memiliki perbedaan yang cukup

signifikan. Hasil nilai skor kecemasan setelah intervensi latihan relaksasi

napas dalam antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol didapatkan

85
hasil nilai selisih mean skor kecemasan setelah intervensi latihan relaksasi

napas dalam pada kelompok intervensi sebesar 33.6 (SD=1.682), min-

maks 0-5. Hasil uji Mann Whitney diperoleh nilai p 0.000<α=0.05

sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan penurunan skor

terhadap pemberian intervensi latihan relaksasi napas dalam sedangkan

pada kelompok kontrol setelah intervensi hasil selisih mean skor

kecemasan sebesar 3.46 (SD=3.731) artinya terjadi penurunan skor

kecemasan namun tidak seperti kelompok intervensi yang mengalami

penurunan secara signifikan.

Beberapa responden khususnya pada kelompok kontrol memiliki

kondisi kecemasan yang tidak stabil karena banyak hal. Salah satunya

ialah cemas terhadap pekerjaan. Dari hasil wawancara peneliti terhadap

beberapa responden, mayoritas responden yaitu sebanyak 25 responden

memiliki pekerjaan sebelum menjalani hemodialisis namun karena kondisi

kesehatan yang tidak memungkinkan, mereka terpaksa berhenti dari

pekerjaan. Responden pada kelompok intervensi memiliki penurunan

kecemasan terhadap pekerjaan mereka namun responden pada kelompok

kontrol masih memilikikecemasan terhadap pekerjaan mereka.

Hasil penelitian Hidayat & Ekaputri (2015) melalui metode wawancara

menunjukkan responden yang tidak diberikan latihan relaksasi napas

dalam cenderung merasa cemas, gelisah, atau khawatir terhadap kondisi

yang dialami. Terlebih ketika mereka memikirkan setiap pekerjaan dan

kebutuhan finansial mereka sehari-hari. Selain kondisi ekonomi,

86
responden juga mengalami peningkatan kecemasan ketika terjadi masalah

pada kondisi medis/fisik mereka, seperti: sesak, gatal-gatal, dan kram otot

akibat dari hemodialisis yang dijalani.

Penelitian ini juga diperoleh hasil selisih yang signifikan antara

kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah diberikan intervensi

latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi. Hasil yang

diperoleh menunjukkan hasil bahwa latihan relaksasi napas dalam

memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penurunan skor kecemasan

pasien yang menjalani hemodialisis. Hal ini juga terlihat dari hasil

wawancara dengan responden setelah penelitian. Mereka yang tergolong

kelompok intervensi merasa lebih tenang, lebih rileks, mampu mengatur

pola pernapasan dengan baik, dan bahkan yang sebelumnya mengalami

gangguan tidur dapat kembali merasakan tidur yang berkualitas setelah

melakukan latihan relaksasi npaas dalam.

C. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini ialah responden yang menjalani hemodialisis

hanya 2-3 kali seminggu sehingga latihan relaksasi napas dalam pada

kelompok intervensi hanya dapat didampingi saat menjalani hemodialisis saja.

Waktu dimana responden tidak menjalani hemodialisis hanya di follow up

peneliti melalui telepon. Sehingga, peneliti tidak dapat memastikan langkah-

langkah latihan relaksasi napas dalam yang dilakukan responden sudah tepat

atau tidak.

87
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian mengenai pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap

perubahan skor kecemasan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Skor kecemasan pada kedua kelompok hampir sama sebelum diberikan

latihan relaksasi napas dalam

2. Skor kecemasan pada kelompok intervensi lebih kecil setelah diberikan

latihan relaksasi napas dalam dibanding kelompok kontrol

3. Skor kecemasan sebelum dan setelah diberikan latihan relaksasi napas

dalam berbeda secara signifikan yaitu kelompok intervensi mengalami

penurunan kecemasan lebih besar dibanding kelompok kontrol

4. Latihan relaksasi napas dalam berpengaruh terhadap penurunan skor

kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis

B. Saran

1. Bagi instansi pelayanan kesehatan

Diharapkan latihan relaksasi napas dalam dapat dijadikan salah satu

standar operasional prosedur (SOP) dalam pemberian asuhan keperawatan

pasien yang menjalani hemodialisis khususnya bagi mereka yang

mengalami masalah psikologis.

88
2. Bagi institusi pendidikan

Diharapkan dapat dipertimbangkan sebagai evidence based practice

bagi pelajar sehingga dijadikan sumber ilmu atau referensi baru demi

menambah wawasan dalam intervensi mandiri keperawatan.

3. Peneliti selanjutnya

Diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan meneliti

variabel yang belum diteliti, seperti: hubungan usia, lama menderita

penyakit ginjal kronik, lama menjalani hemodialisis, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, pekerjaan, status penikahan, dan penyakit penyerta terhadap

kecemasan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

89
DAFTAR PUSTAKA

Aguirre, A. J., Basgoz, N., Bazari, H., Bhattacharya, R. P., Cohen, L. J.,
Crevensten, G. C., et al. (2011). Pocket Medicine. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

American Psycological Association. (2008). Anxiety Disorders: The Role of


Psychotherapy in Effective Treatment. Amerika.

Andri. (2013). Gangguan Psikiatrik pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik. CDK-
203, 40, 257-259.

Aprianto, D., Kristiyawati, S. P., & Ch.Purnomo, E. (2013, Mei). Efektifitas


Teknik Relaksasi Imajinasi Terbimbing dan Nafas Dalam terhadap
Penurunan Kecemasan pada Pasien Pre Operasi.

Arifin, Z. (2008). Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah (4 ed.). Jakarta: Grasindo.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.


Rineka Cipta.

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi


Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Aziz, M., J.Witjaksono, & Rasjidi, I. (2008). Panduan Pelayanan Medik: Model
Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal .
Jakarta: EGC.

Bakta, I. M., & Suastika, I. K. (2014). Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam.
Jakarta: EGC.

Baradero, M., Dayrit, M. W., & Siswadi, Y. (2008). Klien Gangguan Ginjal: Seri
Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Barbara Kozier, et.al. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, dan Praktik (7 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.

Baughman, D. C., & Hackley, J. C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku


Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC .

Brunner, & Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bulechek, G. M., & et.al. (2013). Nursing Intervention Classification (6 ed.).


Yogyakarta: Moco Media.

90
Cahyaningsih, N. D. (2009). Hemodialisis (Cuci Darah): Panduan Praktis
Perawatan Gagal Ginjal. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2000). Rencana Asuhan


Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien (3 ed.). Jakarta: EGC.

D'silva, F., H., V., & Muninarayanappa, N. (2014, March). Effectiveness Of Deep
Breathing Exercise (DBE) on The Heart Rate Variability, BP, Anxiety &
Depression of Patients With Coronary Artery Disease. Nitte University
Journal of Health Science, 4, 35-41.

Fresenius Medical Care. (2010). ESRD Patients in 2010 A Global Perspective.


Germany.

Fresenius Medical Care. (2012). ESRD Patients in 2012 A Global Perspective.


Germany.

Fresenius Medical Care. (2013). ESRD Patients in 2013 A Global Perspective.


Germany.

Gea, N. K. (2013). Pengaruh Relaksasi Napas Dalam terhadap Penurunan Tingkat


Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD Kota Bekasi.

Gerogianni, S., & et.al. (2014). Concerns of Patients on Dialysis: A Research


Study. Health Science Journal, 8(4), 426-430.

Gloria M. Bulecheck,et.al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC) (6


ed.). Singapore: Mocomedia.

Guidelines for Medical Record. (2014). Deep Breathe and Cough. UTMB
Respiratory Care Services.

Hamilton, M. (1959). The Assessment of Anxiety States by Rating. British


Journal of Medical Psychology, 50-55.

Handoyo, A. (2002). Panduan Praktis Aplikasi Olah Napas . Jakarta: Elex Media
Komputindo.

Hargyowati, Y. E. (2016). Tingkat Kecemasan Pasien yang dilakukan tindakan


hemodialisa di ruang hemodialisa RSUP Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.

Hayat, A. (2014, Januari-Juni). Kecemasan dan Metode Pengendaliannya.


Khazanah, XII, 59-60.

91
Hidayat, A. Y., & Ekaputri, Y. S. (2015, November). Penerapan TekniK Napas
Dalam pada Pasien Diagnosis Keperawatan Ansietas dengan Diabetes
Melitus serta Tuberculosis Paru di Ruangan Umum RSMM Bogor. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 3, 91-93.

Indonesian Renal Registry. (2015). Annual Data of Report. Retrieved September


6, 2017, from Indonesian Renal Registry:
www.indonesianrenalregistry.org

INFODATIN. (2014). Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI:


Mother's Day. Jakarta.

Irem Huzmeh,et.al. (2016). Effects of Physiotherapeutic Exercises on Quality of


Life ın Patients with Chronic Kidney Disease. Journal of Clinical
Nephrology and Research, 3, 1048.

Isselbacher, et.al. (2000). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam (13 ed.).
Jakarta: EGC.

Isselbacher, K. J., E.Braunwald, Wilson, J. D., Martin, J. B., Fauci, A. S., &
Kasper, D. L. (2013). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam (13
ed., Vol. 3). Jakarta: EGC.

Jangkup, J. Y., & et.al. (2015, Januari-April). Tingkat Kecemasan pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang Menjalani Hemodialisis diI BLU
RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic (eCl), 3, 600-604.

Kautsar, F., Gustopo, D., & Achmadi, F. (2015). Uji Validitas dan Reliabilitas
Hamilton Rating Scale for Anxiety terhadap Kecemasan dan Produktivitas
Pekerja Visual Inspection PT. Widatra Bhakti. Institut Teknologi Nasional
Malang, Malang.

Kemenkes RI. (2016). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Bakti Husada.

Lee, J. (2008, September). Coping with Anxiety and Panic Attacks:Some


Cognitive-Behavioural Self-Help Strategies. Retrieved September 8, 2017,
from https://www.ntu.ac.uk

Lewis, Heitkemper, B., & Harding. (2017). Medical Surgical Nursing:


Assessment and Management of Clinical Problems (10 ed.). Amerika
Serikat: Elsevier.

Maramis, W. F. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (9 ed.). Surabaya:


Airlangga University Press.

92
Marlina, & Andika. (2013, Desember). Hubungan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kecemasan dengan Tingkat Kecemasan Pasien Gagal
Ginjal Kronik Selama Menjalani Terapi Hemodialisis. Jurnal
Keperawatan dan Kebidanan, 1, 523-533.

Marsh, L. (2015). Anxiety and Panic Attacks. Retrieved September 9, 2017, from
mind anxiety panic web: mind.org.uk

NA, L., Panggabean, S., Lengkong, J. V., & Christine, I. (2012). Kecemasan pada
Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RS
Universitas Kristen Indonesia. M. Med Indones, 46, 151-155.

Notoadmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, Dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

O'Brien, P. G., Kennedy, W. Z., & Ballard, K. A. (2013). Psychiatric Mental


Health Nursing: An Introduction to Theory and Practice (2 ed.). Amerika
Serikat: Jonesand Bartlett Learning.

Pemerintah Kabupaten Bulukumba. (2016). Profil Daerah Kabupaten Bulukumba.


Retrieved Juli 30, 2017, from www.bulukumbakab.go.id

PERNEFRI. (2015). Konsensus Dialisis Perhimpunan Nefrologi Indonesia .


Jakarta.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:


Konsep, Proses, dan Praktik (4 ed.). Jakarta: EGC.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit (6 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.

Profil Kesehatan Indonesia. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Kementerian


Kesehatan RI. Jakarta.

Purba, J. S. (2006). Peran Neuroendokrin pada Depresi (Vol. 19). Jakarta: Dexa
Media.

Purwanto, S. (2006). Relaksasi dzikir. Jurnal psikologi Universitas


Muhammadiyah Semarang.

Raharjo, R. (2009). Kumpulan Kuliah Farmakologi (2 ed.). Jakarta: EGC.

93
Rahmah, A. (2016). Kecemasan Pasien dan Dukungan Keluarag pada Penderita
Kanker Serviks. Psikoborneo, 4, 819-828.

Rice, L. B. (2006). Relaxation Training & Its Role in Diabetes & Health.
Retrieved September 6, 2017, from Journal Online: http://myhealth.gov

Rickard, et.al. (2014). Breathing Techniques Associated with Improved Health


Outcomes. (V. H. e-Repository, Producer) Retrieved September 6, 2017,
from http://hdl.handle.net/10755/558648

RISKESDAS. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013.

Rosdiana, I., Yetty, K., & Sabri, L. (2014, July). Kecemasan dan Lamanya Waktu
Menjalani Hemodialisis Berhubungan dengan Kejadian Insomnia pada
Pasien Gagal Kronik. Jurnal Keperawatan Indonesia, 17, 39-37.

Rusli, H. M., Muthiah, S., & Hasbiah. (2015). Fisioterapi Respirasi. Makassar:
Departemen Fisioterapi Universitas Hasanuddin.

Sari, F. S. (2017, April). Pengaruh Teknik Relaksasi terhadap Penurunan Tingkat


Kecemasan Pasien Pra Operatif. Menara Ilmu, XI.

Sarsito. (2015). Pengaruh Guide Imagery terhadap Tingkat Kecemasan pada


Pasien Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Surakarta.

Sellakumar, G. K. (2015, May). Effect of Slow-Deep Breathing Exercise to


Reduce Anxiety Among Adolescent School Students in A Selected Higher
Secondary School in Coimbatore, India. Journal of Psychological and, 23,
54-72.

Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A., Simadibrata, M., Setiyahadi, B., & Syam, A.
(2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta:
InternaPublishing.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2010). Brunner & Suddarth's Texbook of Medical-
Surgical Nursing (12 ed., Vol. 1). American.

Smeltzer, S. C., & G.Bare, B. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & G.Bare, B. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth (8 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.

Stuart, G. (2007). Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

94
Stuart, G. W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (10 ed.).
Amerika Serikat: Elseiver.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi


(Mixed Method). Yogyakarta: Alfabeta.

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Medika.

Suliswati, et.al. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:


EGC.

Tanyi, R., Werner, J. S., Recine, A. G., & Sperstad, R. (2006). Perceptions of
Incorporating Spiritually Into Their Care: A Phenomenological Study of
Female patients on Hemodialysis. Nephrology Nursing Journal, 532-540.

Tokala, B. F., Kandou, L. F., & Dundu, A. E. (2015, Januari-April). Hubungan


Antara Lamanya Menjalani Hemodialisis dengan Tingkat Kecemasan pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Jurnal e-Clinic (eCl), 3, 402-406.

Townsend, M. C. (2012). Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care


in Evidence-Based Practice (7 ed.). America: Davis Plus.

Tusaie, K. R., & Fitzpatrick, J. J. (2017). Advanced Practice Psychiatric Nursing


(2 ed.). Amerika Serikat: Springer Publishing Company.

UNICEF Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.

Vasilopoulou, C., & et.al. (2016). The Impact of Anxiety and Depression on the
Quality of Life of Hemodialysis Patients. Global Journal of Health
Science, 8, 47-52.

Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Wang, L. J., & Chen, C. K. (2012). The Psychological Impact of hemodialysis on


paients with crhonic renal failure. in: Polenakovic, M. (ed). Renal
Failure-The Facts. In Tech. Retrieved from
http://www.intechopen.com/books/renal-failure-the-facts/the-
psychological-impact-of-hemodialysis-on-patients-with-chronic-renal-
failure.

Wang, L.-J., & Chen, C.-K. (2012). The Psychological Impact of hemodialysis on
paients with crhonic renal failure. in: Polenakovic, M. (ed). Renal
Failure-The Facts. In Tech. Retrieved September 5, 2017, from

95
http://www.intechopen.com/books/renal-failure-the-facts/the-
psychological-impact-ofhemodialysis-on-patients-with-chronic-renal-
failure

Widyastuti, P. (2003). Manajemen Stres: National Safety Council. Jakarta: EGC.

Widyastuti, P., & Yulianti, D. (2003). Manajemen Stres. Jakarta: EGC.

Yenny, & Herwana, E. (2006, Oktober-Desember). Prevalensi penyakit kronis dan


kualitas hidup pada lanjut usia di Jakarta Selatan. 25.

Young, et.al. (2011, January). Coping with Panic. Retrieved September 9, 2017,
from Anxiety and Panic: http:www.cpft.nhs.uk/psychology

Zhang, M., & et.al. (2014, July). Relation Between Anxiety, Depression and
Physical Activity and Performance in Maintenance Hemodialysis Patients.
24, 6-9.

96
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Penjelasan untuk Responden
Assalamu’alaikum wr.wb, Saya Novita Nipa, NIM: C12114316 Mahasiswa

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,

akan melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Latihan Relaksasi Napas

Dalam terhadap Perubahan Skor Kecemasan Pasien Penyakit Ginjal Kronik

yang Menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Pendidikan Universitas

Hasanuddin”. Saya akan memberikan latihan relaksasi napas dalam pada

Bapak/Ibu yaitu dengan cara bernapas secara dalam, lambat dan rileks. Manfaat

dari relaksasi ini adalah untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan dan

membuat tubuh menjadi lebih rileks atau tenang.

Pada pertemuan pertama, Bapak/Ibu akan diberikan kuesioner kecemasan

untuk skrining kecemasan (pre test). Pertemuan kedua, saya akan memberikan

relaksasi sebanyak 2 kali yaitu pada saat sebelum menjalani hemodialisis dan 2

jam berselang dari sebelum menjalani hemodialisis (pasien sementara menjalani

hemodialisis). Setiap intervensi diberikan selama 10 menit. Latihan relaksasi

napas dalam akan diberikan selama 3 hari yaitu pertemuan ke-2, ke-3, dan ke-4

sesuai jadwal hemodialisis dan didampingi peneliti. Dihari responden tidak

menjalani hemodialisi,s diberikan buku panduan prosedur latihan relaksasi napas

dalam untuk dilakukan di rumah sambil di follow up oleh peneliti lewat telepon.

Pada pertemuan ke-5 Bapak/Ibu akan diukur skor kecemasannya (post test

I/hasil ukur I) kemudian responden melanjutkan relaksasi napas dalam secara

mandiri selama 1 minggu sambil di follow up oleh peneliti. Setelah 1 minggu

97
berlalu, peneliti akan kembali mengukur skor kecemasan (post test II/hasil II).

Pemilihan kelompok intervensi ditentukan oleh peneliti melalui metode undian

(acak). Bagi responden yang terpilih sebagai kelompok kontrol, pemberian

relaksasi napas dalam akan tetap dilakukan setelah proses penelitian selesai

namun tidak memengaruhi hasil penelitian demi menegakkan prinsip keadilan

dalam etik penelitian. Responden akan dinyatakan drop out apabila tidak

mengikuti tahapan penelitian yang telah dijelaskan.

Peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas dan jawaban Bapak/Ibu berikan

jika bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Saya sebagai peneliti sangat

berharap Bapak/Ibu dapat mengikuti penelitian ini tanpa paksaan apapun dan

memberikan jawaban dengan sejujur-jujurnya tanpa sesuai dengan pengetahuan

yang Bapak/Ibu miliki. dan apabila ada hal-hal yang ingin ditanyakan, saya

bersedia memberikan penjelasan kepada Bapak/Ibu.

Apabila Bapak/Ibu ingin mengundurkan diri selama proses penelitian ini

berlangsung jika ada hal-hal yang kurang berkenan, Bapak/Ibu dapat

mengungkapkan langsung atau menghubungi saya sebelum penelitian dimulai.

Jika Bapak/Ibu bersedia mengikuti penelitian ini, silakan menandatangani lembar

persetujuan responden. Apabila terdapat hal-hal yang kurang jelas, dapat

menghubungi saya melalui nomor ini (085 343 623 507). Demikian penyampaian

dari saya, atas segala perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.

Makassar, 14 November 2017


Peneliti

(Novita Nipa)

98
Lampiran 2

Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :
Tanggal lahir/umr :
Jenis kelamin :
Alamat :
No.hp/tlp :
Benar telah menerima dan mengerti penjelasan peneliti tentang “Pengaruh

Latihan Relaksasi Napas Dalam terhadap Perubahan Skor Kecemasan

Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit

Pendidikan Universitas Hasanuddin” termasuk tujuan dan manfaat penelitian.

Dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, saya bersedia menjadi responden

penelitian tersebut. Dengan pernyataan ini, saya bersedia mengikti penelitian dan

memberikan jawaban sejujur-jujurnya tanpa paksaan pihak manapun

Makassar, 14 November 2017

Yang menyatakan persetujuan

( )
Saksi 1 :
Saksi 2 :
Penanggung Jawab : Peneliti
Nama : Novita Nipa
Alamat : Jalan Bontobila III No.5
No. Telepon : 085343623507

99
Lampiran 3

Lembar Observasi Kemampuan Responden dalam Melakukan

Latihan Relaksasi Napas Dalam

Kode responden :

Nomor HP/Tlp :

No Prosedur Ya Tidak

1. Tubuh dalam posisi yang nyaman dan menyenangkan bagi

pasien, misalnya: duduk di kursi dengan sandaran atau

berbaring di tempat tidur dengan menggunakan bantal

sebagai alas kepala

2. Pastikan tulang belakang dalam keadaan lurus. Tungkai

dan kaki tidak menyilang dan seluruh badan rileks

(termasuk lengan dan paha)

3. Ucapkan dalam hati bahwa dalam waktu 5 sampai 10

menit tubuh akan kembali stabil, tenang, dan rileks

100
4. Letakkan satu tangan pada abdomen (perut) dan tangan

yang lain pada dada. Lulut difleksikan (ditekuk) dan mata

dipejamkan

5. Mulai menarik napas dalam dan lambat melalui hidung

sehingga udara masuk ke dalam paru-paru secara

perlahan. Rasakan pergerakan abdomen akan

mengembang dan minimalisir pergerakan dada. Inspirasi

dapat dilakukan dalam hitungan 1…2…3…4… sambil

mengucapkan kata atau ungkapan pendek (frasa) dalam

hati, seperti: “I am/saya”

6. Menghebuskan napas (ekspirasi) secara perlahan melalui

101
mulut dengan mengerutkan bibir seperti ingin bersiul

(pursed lip breathing) tanpa bersuara. Ekspirasi dapat

dilakukan dalam hitungan 1…2…3…4… sambil

mengucapkan kata atau ungkapan pendek (frasa) dalam

hati, seperti: “rileks atau tenang”. Jangan melakukan

ekspirasi kuat karena dapat meningkatkan turbulensi di

airway/ jalan napas akibat bronchospasme. Saat ekspirasi,

rasakan abdomen mengempis/datar sampai paru-paru

tidak terisi dengan udara

7. Ulangi prosedur (gambar 5 dan 6) dengan menarik napas

lebih dalam dan lebih lambat. Fokus dan rasakan tubuh

benar-benar rileks.“ Bayangkan sedang duduk di bawah

air terjun atau shower dan air membasuh serta

menghilangkan perasaan tegang, gelisah, cemas, dan

pikiran mengganggu yang sedang dirasakan”

8. Untuk mengakhiri relaksasi napas dalam, secara perlahan-

lahan melakukan stretching atau peregangan otot tangan,

kaki, lengan dan seluruh tubuh (catatan: stretching hanya

dapat dilakukan ketika pasien tidak menjalani

102
hemodialisis)

9. Buka mata perlahan-lahan dan nikmati seperti matahari

terbit pada pagi hari dan mulai bernapas normal kembali.

Duduk dengan tenang beberapa saat (1-2 menit) kemudian

melanjutkan aktivitas

103
Lampiran 4

Kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS)

Assalamualaikum Wr. Wb

Peneliti adalah Mahasiswa Program Sarjana Strata-1 (S1) Jurusan Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Peneliti

mengharapkan kesediaan Anda untuk bisa berpartisipasi dalam penelitian ini.

Silahkan Anda mengisi kuesioner ini dengan mengikuti petunjuk yang

diberikan dan Tidak Ada Jawaban Salah dalam kuesioner ini, selama Anda

mengisi jawaban sesuai dengan keadaan Anda selama 2 hari yang lalu sampai

saat ini. Data diri dan semua jawaban Anda akan diolah secara kelompok,

bukan perorangan juga diberlakukan secara Rahasia dan hanya untuk

kepentingan penelitian. Atas perhatian dan bantuannya peneliti ucapkan

terimakasih.

Makassar, 14 November 2017

Hormat Peneliti,

Novita Nipa

104
A. Penilaian Skor Kecemasan

PETUNJUK

Baca dan pahami baik-baik setiap pernyataan. Anda diminta untuk

mengemukakan apakah pertanyaan tersebut sesuai dengan kondisi/perasaan

yang anda alami sejak 2 hari yang lalu hingga saat ini diri. Setiap

kondisi/gejala yang dialami dapat dipilih dengan cara memberi tanda

checklist (√) dalam kolom jawaban yang tersedia.

Pilihan :

Ya : Mengalami gejala

Tidak : Tidak mengalami gejala

Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak

1. Cemas

2. Firasat buruk

3. Takut akan pikiran sendiri

4. Mudah tersinggung

5. Merasa tegang

6. Lesu/lelah

7. Mudah terkejut

8. Mudah tersinggung

9. Gemetar

10. Perasaan gelisah

105
Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak

11. Ketidakmampuan untuk rileks

12. Pada gelap

13. Pada orang asing

14. Ditinggal sendiri

15. Pada binatang besar

16. Pada keramaian lalu lintas

17. Pada kerumunan banyak orang

18. Sukar memulai tidur

19. Terbangun malam hari

20. Tidur tidak nyenyak

21. Bangun dengan lesu

22. Mimpi buruk dan menakutkan

23. Merasa diteror pada malam hari

24. Susah konsentrasi

25. Daya ingat buruk

26. Hilangnya minat

27. Berkurangnya kesenangan pada hobi

28. Depresi

29. Bangun terlalu pagi

30. Perasaan berubah-ubah sepanjang hari

106
Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak

31. Sakit dan nyeri otot

32. Kaku otot

33. Kedutan otot

34. Gigi gemerutuk

35. Sentakan myoclonic

36. Suara tidak stabil

37. Ketegangan otot

38. Tinitus (telinga berdenging)

39. Penglihatan kabur

40. Muka merah dan pucat

41. Merasa lemah

42. Perasaan ditusuk-tusuk

43. Takikardia (denyut nadi meningkat)

44. Berdebar-debar

45. Nyeri di dada

46. Denyut nadi mengeras

47. Perasaan lesu/lemas seperti mau pingsan

48. Detak jantung hilang sekejap

49. Rasa tertekan atau sempit di dada

50. Perasaan tersedak/tercekik

107
Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak

51. Merasa napas pendek/sesak

52. Sering menarik napas panjang

53. Sulit menelan

54. Perut melilit

55. Perut terasa penuh atau kembung

56. Nyeri sebelum dan sesudah makan

57. Mual

58. Muntah

59. Perasaan terbakar di perut

60. Kehilangan berat badan

61. Buang air besar lembek

62. Sukar buang air besar (konstipasi)

63. Sering buang air kecil

64. Tidak dapat menahan kencing

65. Amenorea (menstruasi tidak teratur)

66. Menoragia (haid berlebihan)

67. Ejakulasi dini

68. Frigiditas (hilangnya dorongan seksual pada

wanita)

69. Hilangnya nafsu seksual

108
Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak

70. Impotensi

71. Mulut kering

72. Muka merah

73. Pucat

74. Mudah berkeringat

75. Perasaan pusing

76. Kepala terasa tegang/berat/sakit

77. Merinding/bulu-bulu roma berdiri

78. Gelisah

79. Tidak tenang

80. Tangan gemetar

81. Kening mengerut

82. Ketegangan otot meningkat

83. Muka tegang

84. Muka merah

85. Napas pendek dan cepat

109
Kisi-Kisi Kuesioner HARS

Pilihan :

0 Tidak pernah : tidak ada gejala sama sekali

1 Ringan/jarang : satu gejala dari pilihan yang ada

2 Sedang/sering : separuh gejala dari pilihan yang ada

3 Berat/sering sekali : lebih dari separuh gejala dari pilihan yang ada

4 Sangat berat/selalu : semua gejala ada

1. Perasaan cemas 0 1 2 3 4

a. Cemas

b. Firasat buruk

c. Takut akan pikiran sendiri

d. Mudah tersinggung
0 1 2 3 4
2. Ketegangan

a. Merasa tegang

b. Lesu/lelah

c. Mudah terkejut

d. Mudah tersinggung

e. Gemetar

f. Perasaan gelisah

g. Ketidakmampuan untuk rileks

3. Ketakutan 0 1 2 3 4

a. Pada gelap

110
b. Pada orang asing

c. Ditinggal sendiri

d. Pada binatang besar

e. Pada keramaian lalu lintas

f. Pada kerumunan banyak orang

4. Gangguan tidur 0 1 2 3 4

a. Sukar memulai tidur

b. Terbangun malam hari

c. Tidur tidak nyenyak

d. Bangun dengan lesu

e. Mimpi buruk dan menakutkan

f. Merasa diteror pada malam hari

5. Gangguan kecerdasan 0 1 2 3 4

a. Susah konsentrasi

b. Daya ingat buruk

6. Perasaan depresi 0 1 2 3 4

a. Hilangnya minat

b. Berkurangnya kesenangan pada hobi

c. Depresi

d. Bangun terlalu pagi

e. Perasaan berubah-ubah sepanjang hari

7. Gejala somatik (otot) 0 1 2 3 4

a. Sakit dan nyeri otot

111
b. Kaku otot

c. Kedutan otot

d. Gigi gemerutuk

e. Sentakan myoclonic

f. Suara tidak stabil

g. Ketegangan otot

8. Gejala somatik (sensorik) 0 1 2 3 4

a. Tinitus (telinga berdenging)

b. Penglihatan kabur

c. Muka merah dan pucat

d. Merasa lemah

e. Perasaan ditusuk-tusuk

9. Gejala kardiovaskuler 0 1 2 3 4

a. Takikardia (denyut nadi meningkat)

b. Berdebar-debar

c. Nyeri di dada

d. Denyut nadi mengeras

e. Perasaan lesu/lemas seperti mau pingsan

f. Detak jantung hilang sekejap

10. Gejala pernapasan 0 1 2 3 4

a. Rasa tertekan atau sempit di dada

b. Perasaan tersedak/tercekik

c. Merasa napas pendek/sesak

112
d. Sering menarik napas panjang

11. Gejala gastrointestinal 0 1 2 3 4

a. Sulit menelan

b. Perut melilit

c. Perut terasa penuh atau kembung

d. Nyeri sebelum dan sesudah makan

e. Mual

f. Muntah

g. Perasaan terbakar di perut

h. Kehilangan berat badan

i. Buang air besar lembek

j. Sukar buang air besar (konstipasi)

12. Gejala urogenital 0 1 2 3 4

a. Sering buang air kecil

b. Tidak dapat menahan kencing

c. Amenorea (menstruasi tidak teratur)

d. Menoragia (haid berlebihan)

e. Ejakulasi dini

f. Frigiditas (hilangnya dorongan seksual pada wanita)

g. Hilangnya nafsu seksual

h. Impotensi

13. Gejala otonom 0 1 2 3 4

a. Mulut kering

113
b. Muka merah

c. Pucat

d. Mudah berkeringat

e. Perasaan pusing

f. Kepala terasa tegang/berat/sakit

g. Merinding/bulu-bulu roma berdiri

0 1 2 3 4
14. Perilaku yang diamati saat wawancara

a. Gelisah

b. Tidak tenang

c. Tangan gemetar

d. Kening mengerut

e. Ketegangan otot meningkat

f. Muka tegang

g. Muka merah

h. Napas pendek dan cepat

114
Lampiran 5

Lembar data karakteristik responden

1. Kode responden :

2. Nama :

3. Tanggal lahir/umur :

4. Jenis kelamin :

5. Pendidikan terakhir :

6. Pekerjaan :

7. Lama menderita PGK :

8. Lama menjalani hemodialisis :

9. Status pernikahan :

10. Penyakit penyerta :

11. Frekuensi hemodialisis :

115
Lampiran 6

Lembar Tabulasi Skor Kecemasan Pasien yang Menjalani Hemodialisis

pada Kelompok Intervensi

No. Kode Pre test Post test 1 Post Test 2

responden

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

116
Lampiran 7

Lembar Tabulasi Skor Kecemasan Pasien yang Menjalani

Hemodialisis pada Kelompok Kontrol

No. Kode Pre test Post test 1 Post Test 2

responden

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

117
Lampiran 8

Lembar Kerja Prosedur Latihan Relaksasi Napas Dalam

Kode Responden :

No. HP/Tlp :

No Hari/Tanggal Pukul Keterangan

1. Tenang Damai

Nyaman Rileks

2. Tenang Damai

Nyaman Rileks

3. Tenang Damai

Nyaman Rileks

4. Tenang Damai

Nyaman Rileks

5. Tenang Damai

Nyaman Rileks

6. Tenang Damai

Nyaman Rileks

7. Tenang Damai

Nyaman Rileks

8. Tenang Damai

Nyaman Rileks

9. Tenang Damai

Nyaman Rileks

10. Tenang Damai

Nyaman Rileks

118
Lampiran 9

BUKU PANDUAN
LATIHAN RELAKSASI NAPAS DALAM

NOVITA NIPA
C12114316

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

119
LEMBAR DATA KARAKTERISTIK RESPONDEN

Kode responden :
12. Nama responden :

13. Tanggal lahir/umur :

14. Jenis kelamin :

15. Pendidikan terakhir :

16. Pekerjaan :

17. Lama menderita PGK :

18. Lama menjalani HD :

19. Status pernikahan :

20. Penyakit penyerta :

21. Frekuensi hemodialisis :

120
MODUL I

1. Pengertian Relaksasi Napas Dalam


Relaksasi napas dalam merupakan suatu teknik relaksasi sederhana
dimana paru-paru dibiarkan menghirup oksigen sebanyak mungkin. Napas
dalam merupakan gaya pernapasan yang pada dasarnya lambat, dalam, dan
rileks yang memungkinkan seseorang merasa lebih tenang (Townsend,
2012; Widyastuti, 2003). Relaksasi napas dalam menjadi salah satu bentuk
asuhan keperawatan dimana perawat mengajarkan klien cara melakukan
relaksasi napas dalam dan lambat secara maksimal (Smeltzer & G.Bare,
2001).
2. Manfaat Relaksasi napas dalam
Relaksasi napas dalam telah diketahui dapat mengurangi
kecemasan, depresi, emosi, ketegangan otot, nyeri, dan kelelahan.
Keunggulan dari latihan ini yaitu dapat dilakukan dimanapun dan
kapanpun. Petunjuk untuk melakukan latihan pernapasan yang baik yaitu
dilakukan sekitar 5-15 menit selama 2-4 kali sehari atau kapanpun saat
merasakan ketegangan (Townsend, 2012; O'Brien, Kennedy, & Ballard,
2013). Relaksasi napas dalam didasarkan pada keyakinan, pikiran yang
rileks/tenang, posisi yang nyaman, dan konsentrasi (Asmadi, 2008).
Relaksasi napas dalam sampai saat ini masih menjadi metode
relaksasi termudah karena metode yang digunakan sangat mudah
dipelajari, tidak memerlukan peralatan khusus, dan dapat digunakan
dimana saja dan kapan saja (O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2013). Selain
itu, dapat dilakukan secara normal tanpa perlu berpikir lama atau merasa
ragu (Widyastuti, 2003). Sementara Smeltzer & G.Bare (2001)
menyatakan bahwa relaksasi napas dalam bertujuan untuk melancarkan
peredaran darah, memperbaiki pola pernapasan, mengurangi stress serta
menurunkan intensitas nyeri dan kecemasan. Latihan ini dilakukan dengan
frekuensi 2 kali sehari selama 2 minggu. Setiap latihan dilakukan 4 kali

121
tarikan dan hembusan napas. Setiap sesi latihan relaksasi napas dalam
dilakukan sekitar 10 menit
3. Indikasi relaksasi napas dalam
Relaksasi napas dalam dapat diterapkan pada pasien yang
menjalani hospitalisasi dan sepakat diberikan relaksasi (Guidelines for
Medical Record, 2014). Relaksasi napas dalam dapat diberikan bagi pasien
yang mengalami nyeri dan gangguan pada saluran pernapasan, seperti:
penyakit pernapasan akut dan penumpukan sekret pada saluran pernapasan
yang sulit dikeluarkan. Selain untuk gangguan fisik, relaksasi napas dalam
juga dapat digunakan untuk mengatasi gejala psikologis yang muncul,
seperti: kecemasan, stress, ketegangan dan kegelisahan (Rusli, Muthiah, &
Hasbiah, 2015).

122
MODUL II

Langkah-Langkah Relaksasi Napas Dalam


1. Tubuh dalam posisi yang nyaman dan menyenangkan bagi pasien, misalnya:
duduk di kursi dengan sandaran atau berbaring di tempat tidur dengan
menggunakan bantal sebagai alas kepala (lihat gambar 1)

Gambar 1
2. Pastikan tulang belakang dalam keadaan lurus. Tungkai dan kaki tidak
menyilang dan seluruh badan rileks (termasuk lengan dan paha) (lihat gambar
2)

Gambar 2
3. Ucapkan dalam hati bahwa dalam waktu 5 sampai 10 menit tubuh akan
kembali stabil, tenang, dan rileks (lihat gambar 3)

Gambar 3
4. Letakkan satu tangan pada abdomen (perut) dan tangan yang lain pada dada.
Lulut difleksikan (ditekuk) dan mata dipejamkan (lihat gambar II.4)

123
Gambar 4
5. Mulai menarik napas dalam dan lambat melalui hidung sehingga udara masuk
ke dalam paru-paru secara perlahan. Rasakan pergerakan abdomen akan
mengembang dan minimalisir pergerakan dada. Inspirasi dapat dilakukan
dalam hitungan 1…2…3…4… sambil mengucapkan kata atau ungkapan
pendek (frasa) dalam hati, seperti: “I am/saya” (lihat gambar 5)

Gambar 5
6. Menghebuskan napas (ekspirasi) secara perlahan melalui mulut dengan
mengerutkan bibir seperti ingin bersiul (pursed lip breathing) tanpa bersuara.
Ekspirasi dapat dilakukan dalam hitungan 1…2…3…4… sambil
mengucapkan kata atau ungkapan pendek (frasa) dalam hati, seperti: “rileks
atau tenang”. Jangan melakukan ekspirasi kuat karena dapat meningkatkan
turbulensi di airway/jalan napas akibat bronchospasme. Saat ekspirasi, rasakan
abdomen mengempis/datar sampai paru-paru tidak terisi dengan udara (lihat
gambar 6)

Gambar 6

124
7. Ulangi prosedur (gambar 5 dan 6) dengan menarik napas lebih dalam
dan lebih lambat. Fokus dan rasakan tubuh benar-benar rileks.“
Bayangkan sedang duduk di bawah air terjun atau shower dan air
membasuh serta menghilangkan perasaan tegang, gelisah, cemas, dan
pikiran mengganggu yang sedang dirasakan”
8. Untuk mengakhiri relaksasi napas dalam, secara perlahan-lahan
melakukan stretching atau peregangan otot tangan, kaki, lengan dan
seluruh tubuh (lihat gambar 7) (catatan: stretching hanya dapat
dilakukan ketika pasien tidak menjalani hemodialisis)

Gambar 7
9. Buka mata perlahan-lahan dan nikmati seperti matahari terbit pada pagi hari
dan mulai bernapas normal kembali. Duduk dengan tenang beberapa saat (1-2
menit) kemudian melanjutkan aktivitas (lihat gambar 8)

Gambar 8

125
MODUL III

Lembar Observasi Kemampuan Responden dalam Melakukan Latihan


Relaksasi Napas Dalam

Nama Responden :
Kode responden :
Nomor HP/Tlp :

No Prosedur Ya Tidak

1. Tubuh dalam posisi yang nyaman dan menyenangkan bagi pasien,


misalnya: duduk di kursi dengan sandaran atau berbaring di tempat
tidur dengan menggunakan bantal sebagai alas kepala

2. Pastikan tulang belakang dalam keadaan lurus. Tungkai dan kaki


tidak menyilang, seluruh badan rileks (lengan,paha)

3. Ucapkan dalam hati bahwa akan menggunakan waktu 5 atau 10


menit ke depan untuk kembali stabil dan merilekskan tubuh

126
4. Letakkan satu tangan pada abdomen (perut) dan yang lain pada
dada. Lulut difleksikan (ditekuk) dan mata dipejamkan

5. Mulai menarik napas dalam dan lambat melalui hidung sehingga


udara masuk ke dalam paru-paru secara perlahan. Rasakan
pergerakan abdomen akan mengembang dan minimalisir
pergerakan dada. Inspirasi dapat dilakukan dalam hitungan
1…2…3…4… sambil mengucapkan kata atau ungkapan pendek
(frasa) dalam hati, seperti: “I am/saya”

6. Menghebuskan napas (ekspirasi) secara perlahan melalui mulut


dengan mengerutkan bibir seperti ingin bersiul (pursed lip
breathing) tanpa bersuara. Ekspirasi dapat dilakukan dalam
hitungan 1…2…3…4… sambil mengucapkan kata atau ungkapan
pendek (frasa) dalam hati, seperti: “rileks atau tenang”. Jangan
melakukan ekspirasi kuat karena dapat meningkatkan turbulensi di
airway/ jalan napas akibat bronchospasme. Saat ekspirasi, rasakan
abdomen mengempis/datar sampai paru-paru tidak terisi dengan
udara

127
7. Lakukan relaksasi napas dalam lagi (ulangi seperti gambar 5 dan 6).
Fokus dan rasakan tubuh menjadi benar-benar rileks. Berpikir
sedang duduk di bawah air terjun atau shower, bayangkan air
membasuh dan menghilangkan perasaan tegang, gelisah, cemas,
dan pikiran mengganggu yang dirasakan
8. Untuk mengakhiri relaksasi napas dalam, mulai menghentikan
pengucapan kata “saya rileks” dan mulai secara perlahan-lahan
melakukan stretching atau peregangan otot tangan, kaki, lengan dan
seluruh tubuh (catatan: stretching hanya dapat dilakukan
ketika pasien tidak menjalani hemodialisis)

9. Buka mata perlahan-lahan dan nikmati seperti matahari terbit pada


pagi hari dan mulai bernapas normal kembali. Duduk dengan
tenang beberapa saat (1-2 menit) dan melanjutkan aktivitas

128
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi
Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Guidelines for Medical Record. (2014). Deep Breathe and Cough. UTMB
Respiratory Care Services.

O'Brien, P. G., Kennedy, W. Z., & Ballard, K. A. (2013). Psychiatric Mental


Health Nursing: An Introduction to Theory and Practice (2 ed.). Amerika
Serikat: Jonesand Bartlett Learning.

Rusli, H. M., Muthiah, S., & Hasbiah. (2015). Fisioterapi Respirasi. Makassar:
Departemen Fisioterapi Universitas Hasanuddin.

Smeltzer, S. C., & G.Bare, B. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.

Townsend, M. C. (2012). Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care


in Evidence-Based Practice (7 ed.). America: Davis Plus.

Widyastuti, P., & Yulianti, D. (2003). Manajemen Stres. Jakarta: EGC.

129
Lampiran 10

MASTER TABEL

PENGARUH LATIHAN RELAKSASI NAPAS DALAM TERHADAP PERUBAHAN SKOR KECEMASAN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK
YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

LAMA LAMA
PENDIDIKAN STATUS PENYAKIT
NO KODE RESP. USIA JK PEKERJAAN MENDERITA MENJALANI
TERAKHIR PERNIKAHAN PENYERTA
PGK HEMODIALISIS

1 HD-01-A 35 Thn L SMA Pengangguran 3 Thn 3 Thn Menikah Hipertensi


2 HD-02-D 26 Thn P SMA IRT 2 Bln 2 Bln Menikah Tidak ada

3 HD-03-M 48 Thn P SMA IRT 2 Thn 1 Thn Menikah DM


4 HD-04-Z 64 Thn P SMA IRT 1 Thn 6 Bln 1 Thn Menikah Hipertensi

5 HD-05-R 35 Thn P S1 IRT 4 Bln 4 Bln Menikah Sindrom Nefrotik

6 HD-06-M 42 Thn L S2 PNS 2 Thn 1 Thn 9 Bln Menikah Tidak ada


7 HD-07-ZP 22 Thn P S1 Pengangguran 3 Thn 3 Thn Belum menikah Hipertensi
8 HD-08-IP 32 Thn P S1 IRT 1 Thn 4 Bln 1 Thn 1 Bln Menikah Hipertensi
9 HD-09-I 25 Thn P SMA IRT 3 Thn 3 Thn Menikah Hipertensi
10 HD-010-AT 45 Thn L S1 PNS 3 Thn 3 Thn Menikah Hipertensi
11 HD-011-SA 51 Thn L S1 Pensiunan 5 Thn 1 Thn Menikah Hipertensi
12 HD-012-HR 62 Thn P SMP IRT 5 Thn 1 Thn Menikah Tidak ada
13 HD-013-MN 49 Thn L S1 Wiraswasta 1 Thn 1 Thn Menikah DM

130
LAMA LAMA
PENDIDIKAN STATUS PENYAKIT
NO KODE RESP. USIA JK PEKERJAAN MENDERITA MENJALANI
TERAKHIR PERNIKAHAN PENYERTA
PGK HEMODIALISIS
14 HD-014-N 45 Thn P SMA IRT 3 Thn 11 Bln 3 Thn 11 Bln Menikah Hipertensi
15 HD-015-MI 55 Thn L S1 PNS 2 Thn 2 Thn Menikah DM
16 HD-016-K 48 Thn L S1 PNS 2 Thn 2 Thn Menikah Hipertensi
17 HD-017-MJ 55 Thn L SMP Wiraswasta 1 Thn 2 Bln 1 Thn 2 Bln Menikah Hipertensi
18 HD-018-HR 67 Thn P SMP IRT 6 Bln 6 Bln Menikah Hepatitis B
19 HD-019-MA 42 Thn L SMA Wiraswasta 1 Thn 1 Thn Menikah Tidak ada
20 HD-020-J 23 Thn L S1 Pengangguran 1 Thn 1 Thn Belum menikah Tidak ada
21 HD-021-S 52 Thn L SMP Pengangguran 2 Thn 6 Bln 2 Thn Menikah Asam Urat
22 HD-022-W 48 Thn L S1 PNS 2 Thn 2 Bln 2 Thn Menikah DM
23 HD-023-SA 39 Thn L S1 PNS 2 Thn 2 Thn Menikah Asam Urat
24 HD-024-R 57 Thn L SMP Pengangguran 3 Thn 3 Thn Menikah DM
25 HD-025-MA 47 Thn L S1 PNS 1 Thn 4 Bln 1 Thn Menikah DM
26 HD-026-A 39 Thn L SMA Wiraswasta 1 Thn 1 Thn Menikah Hepatitis B
27 HD-027-AR 37 Thn L S1 PNS 3 Thn 3 Thn Menikah Hipertensi
28 HD-028-F 49 Thn L S1 PNS 3 Thn 2 Thn Menikah DM
29 HD-029-AF 41 Thn L S1 PNS 1 Thn 5 Bln 1 Thn 5 Bln Menikah DM
30 HD-030-H 32 Thn P S1 PNS 1 Thn 1 Thn Menikah DM

131
Waktu Pengukuran

Pre test Post test 1 Post test 2

No Kode Resp. Klp P P P P P P P P P P P P P P P


P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4

1 HD-01-A 1 1 2 0 2 4 3 1 2 1 1 2 0 3 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 HD-02-D 1 3 3 0 1 4 3 0 2 0 2 2 2 3 3 0 1 0 0 2 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0

3 HD-03-M 1 3 3 1 3 2 2 4 3 4 4 3 1 3 3 1 1 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

4 HD-04-Z 1 1 3 1 3 2 3 4 4 2 0 1 0 3 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 HD-05-R 1 3 3 1 2 0 3 3 3 4 4 2 2 4 4 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6 HD-06-M 1 4 3 0 2 0 3 3 2 3 4 1 1 2 2 1 1 0 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

7 HD-07-ZP 1 3 3 2 3 4 3 3 3 4 4 2 2 4 4 3 2 1 1 4 3 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

8 HD-08-IP 1 4 3 1 2 0 2 4 4 4 4 2 2 3 4 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

9 HD-09-I 1 4 3 3 4 2 2 4 3 3 3 2 1 4 3 2 2 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

10 HD-010-AT 1 4 3 2 4 4 2 3 3 3 2 2 0 2 2 1 2 0 1 2 0 0 1 0 2 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

11 HD-011-SA 1 3 3 2 3 4 4 3 3 4 4 3 0 3 4 3 3 1 0 4 3 2 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0

12 HD-012-HR 1 4 4 2 4 2 3 4 3 3 4 1 1 3 4 2 2 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

13 HD-013-MN 1 3 3 2 3 4 3 4 4 3 4 2 0 3 3 2 0 0 1 0 0 0 1 1 0 2 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0

14 HD-014-N 1 0 2 1 3 4 3 3 3 1 3 1 0 3 2 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

15 HD-015-MI 1 0 2 0 2 2 3 1 3 2 0 2 2 2 4 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

16 HD-016-K 2 4 3 0 4 0 2 3 1 2 1 2 0 2 3 4 2 1 3 0 1 3 1 2 1 2 0 2 2 3 3 0 2 0 2 2 1 2 2 2 0 1 3

17 HD-017-MJ 2 3 3 2 3 2 3 3 3 4 2 1 2 3 3 3 2 2 2 2 2 3 2 3 2 1 1 2 2 2 2 2 3 2 3 2 3 3 1 1 2 3 2

18 HD-018-HR 2 4 3 2 2 4 3 3 4 4 4 0 0 3 4 3 2 1 1 2 3 2 3 4 3 0 0 3 3 3 3 1 1 2 2 2 3 3 2 1 0 2 2

19 HD-019-MA 2 4 3 0 3 2 2 3 2 3 2 2 2 2 2 3 2 0 3 2 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3 1 3 2 2 2 2 1 3 1 1 2 1

20 HD-020-J 2 2 2 0 2 2 1 2 2 0 1 1 0 2 0 2 1 0 1 0 2 1 1 1 2 0 0 1 1 3 2 0 2 2 1 3 1 1 1 1 0 1 1

132
Waktu Pengukuran

Pre test Post test 1 Post test 2


No Kode Resp. Klp P P P P P P P P P P P P P P P
P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
21 HD-021-S 2 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 1 2 3 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 3 1 2 2 2 1 2 1 2 1 1 0

22 HD-022-W 2 2 2 2 1 0 2 1 2 2 1 1 2 3 3 2 2 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 2 2 3 2 2 1 0 2 1 1 2 1 2 2 1 3

23 HD-023-SA 2 3 2 2 2 2 3 2 1 2 3 2 2 2 3 2 3 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 3 3 2 2 2 2 1 1 3 2 2 1 1 2

24 HD-024-R 2 3 2 1 3 0 2 1 2 3 2 2 2 2 2 1 3 2 2 2 3 2 1 2 2 3 2 2 3 3 1 2 2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2

25 HD-025-MA 2 3 2 1 3 4 2 2 2 2 4 3 2 2 2 2 2 0 2 2 2 2 3 1 3 3 3 2 2 1 3 1 3 2 1 1 1 3 3 2 2 2 3

26 HD-026-A 2 2 3 1 3 2 3 3 3 2 3 2 3 2 3 3 1 2 3 4 1 1 2 1 2 3 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 2 2

27 HD-027-AR 2 2 2 1 3 2 2 2 2 2 2 2 2 1 3 2 3 2 2 2 1 2 1 2 3 3 1 2 2 3 2 2 3 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2

28 HD-028-F 2 3 2 1 2 2 1 2 2 1 3 3 1 2 2 2 2 2 3 2 2 1 1 2 2 2 1 2 3 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 3

29 HD-029-AF 2 3 2 1 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 2 1 2 2 2 2 1 2 1 2 1 2 3

30 HD-030-H 2 2 2 2 3 2 2 1 1 1 1 2 1 2 3 3 3 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 3 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 3

Keterangan :
` Kelompok :
1 = Intervensi
2 = Kontrol
P : Pertanyaan

133
Penilaian Skor Kecemasan

Kelompok Intervensi Penurunan


Kode Jenis
No Tingkat Post test Tingkat Post test Tingkat skor
Responden Kelamin Pre test
Kecemasan 1 Kecemasan 2 Kecemasan kecemasan
1 HD-01-A L 23 Sedang 9 Tidak Cemas 2 Tidak Cemas 21
2 HD-02-D P 30 Berat 4 Tidak Cemas 3 Tidak Cemas 27
3 HD-03-M P 39 Berat 5 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 39
4 HD-04-Z P 29 Berat 1 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 29
5 HD-05-R P 36 Berat 5 Tidak Cemas 1 Tidak Cemas 35
6 HD-06-M L 30 Berat 6 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 30
7 HD-07-ZP P 44 Sangat Berat 16 Ringan 0 Tidak Cemas 44
8 HD-08-IP P 39 Berat 6 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 39
9 HD-09-I P 41 Berat 9 Tidak Cemas 1 Tidak Cemas 40
10 HD-010-AT L 34 Berat 9 Tidak Cemas 3 Tidak Cemas 31
11 HD-011-SA L 46 Sangat Berat 17 Ringan 4 Tidak Cemas 42
12 HD-012-HR P 42 Sangat Berat 6 Tidak Cemas 2 Tidak Cemas 40
13 HD-013-MN L 41 Berat 7 Tidak Cemas 5 Tidak Cemas 36
14 HD-014-N P 26 Sedang 5 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 26
15 HD-015-MI L 25 Sedang 4 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 25

Keterangan :

Pre test Sedang : 3 orang


Berat : 9 orang
Sangat Berat : 3 orang

Post test 1 Ringan : 2 orang


Tidak Cemas : 13 orang

Post test 2 Tidak Cemas : 15 orang

134
Kelompok Kontrol
Penurunan
Kode Jenis
No Tingkat skor
Responden Kelamin Tingkat Tingkat
Pre test Post test 1 Kecema Post test 2 kecemasan
Kecemasan Kecemasan
san
1 HD-016-K L 27 Sedang 24 Sedang 25 Sedang 2
2 HD-017-MJ L 37 Berat 29 Berat 31 Berat 6
3 HD-018-HR P 40 Berat 30 Berat 27 Sedang 13
4 HD-019-MA L 32 Berat 29 Berat 26 Sedang 6
5 HD-020-J L 21 Sedang 17 Ringan 19 Ringan 2
6 HD-021-S L 25 Sedang 17 Ringan 21 Sedang 4
7 HD-022-W L 21 Sedang 21 Sedang 20 Ringan 1
8 HD-023-SA L 31 Berat 25 Sedang 27 Sedang 4
9 HD-024-R L 27 Sedang 30 Berat 24 Sedang 3
10 HD-025-MA L 34 Berat 29 Berat 28 Berat 6
11 HD-026-A L 35 Berat 29 Berat 31 Berat 4
12 HD-027-AR L 30 Berat 31 Berat 30 Berat 0
13 HD-028-F L 28 Berat 29 Berat 28 Berat 0
14 HD-029-AF L 30 Berat 24 Sedang 26 Sedang 4
15 HD-030-H P 25 Sedang 27 Sedang 28 Berat -3

Keterangan :

Pre test Sedang : 6 orang


Berat : 9 orang

Post test 1 Ringan : 2 orang


Sedang : 5 orang
Berat : 8 orang

Post test 2 Ringan : 2 orang


Sedang : 7 orang
Berat : 6 orang

135
Lampiran 11 Diagram

Diagram 1.
Perbedaan skor kecemasan kelompok intervensi sebelum, setelah 1 minggu, dan setelah 2
minggu diberikan latihan relaksasi napas dalam pada pasien yang menjalani hemodialisis di
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin

136
Diagram 2.
Perbedaan skor kecemasan kelompok kontrol sebelum, setelah 1 minggu, dan setelah 2
minggu diberikan latihan relaksasi napas dalam pada pasien yang menjalani hemodialisis di
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin

137
OUTPUT KELOMPOK INTERVENSI

[DataSet2] C:\Users\asus\Documents\Kelompok Intervensi .sav

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


Umur 15 22 64 42.40 13.032
Lama menderita PGK 15 1 5 2.67 1.291
Lama menjalani HD 15 1 4 2.00 1.069
Valid N (listwise) 15

Statistics
Jenis Status Penyakit
Kelamin Pendidikan Pekerjaan pernikahan penyerta
N Valid 15 15 15 15 15
Missing 0 0 0 0 0
Mean 1.60 1.53 1.27 1.07 2.33
Std. Error of Mean .131 .133 .118 .067 .513
Median 2.00 2.00 1.00 1.00 1.00
Std. Deviation .507 .516 .458 .258 1.988
Variance .257 .267 .210 .067 3.952
Skewness -.455 -.149 1.176 3.873 1.354
Std. Error of Skewness .580 .580 .580 .580 .580
Kurtosis -2.094 -2.308 -.734 15.000 .225
Std. Error of Kurtosis 1.121 1.121 1.121 1.121 1.121
Range 1 1 1 1 5
Minimum 1 1 1 1 1
Maximum 2 2 2 2 6
Sum 24 23 19 16 35
Percentiles 25 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
50 2.00 2.00 1.00 1.00 1.00
75 2.00 2.00 2.00 1.00 3.00

Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 6 40.0 40.0 40.0
Perempuan 9 60.0 60.0 100.0
Total 15 100.0 100.0

138
Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Menengah (SMP-SMA) 7 46.7 46.7 46.7
Tinggi (S1-S2) 8 53.3 53.3 100.0
Total 15 100.0 100.0

Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Bekerja 11 73.3 73.3 73.3
Tidak bekerja 4 26.7 26.7 100.0
Total 15 100.0 100.0

Status pernikahan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Menikah 14 93.3 93.3 93.3
Belum menikah 1 6.7 6.7 100.0
Total 15 100.0 100.0

Penyakit penyerta
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Hipertensi 8 53.3 53.3 53.3
Diabetes melitus 3 20.0 20.0 73.3
Sindrom nefrotik 1 6.7 6.7 80.0
Tidak ada 3 20.0 20.0 100.0
Total 15 100.0 100.0

139
Friedman Test
Ranks
Mean Rank
Nilai_pretest 3.00
Nilai_posttest_1 2.00
Nilai_posttest_2 1.00

Test Statisticsa
N 15
Chi-Square 30.000
Df 2
Asymp. Sig. .000
Monte Carlo Sig. Sig. .000
99% Confidence Interval Lower Bound .000
Upper Bound .000
a. Friedman Test

Explore
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
Kelompok N Percent N Percent N Percent
Nilai_pretest Intervensi 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Nilai_posttest_1 Intervensi 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Nilai_posttest_2 Intervensi 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error
Nilai_pretest Intervensi Mean 35.00 1.912
95% Confidence Interval for Lower Bound 30.90
Mean
Upper Bound 39.10
5% Trimmed Mean 35.06
Median 36.00
Variance 54.857
Std. Deviation 7.407
Minimum 23
Maximum 46
Range 23

140
Interquartile Range 12
Skewness -.195 .580
Kurtosis
-1.339 1.121

Nilai_posttest_1 Intervensi Mean 7.27 1.115


95% Confidence Interval for Lower Bound 4.88
Mean Upper Bound 9.66
5% Trimmed Mean 7.07
Median 6.00
Variance 18.638
Std. Deviation 4.317
Minimum 1
Maximum 17
Range 16
Interquartile Range 4
Skewness 1.277 .580
Kurtosis 1.506 1.121
Nilai_posttest_2 Intervensi Mean 1.40 .434
95% Confidence Interval for Lower Bound .47
Mean Upper Bound 2.33
5% Trimmed Mean 1.28
Median 1.00
Variance 2.829
Std. Deviation 1.682
Minimum 0
Maximum 5
Range 5
Interquartile Range 3
Skewness .927 .580
Kurtosis -.281 1.121

141
OUTPUT KELOMPOK KONTROL

[DataSet3] C:\Users\asus\Documents\Kelompok Kontrol sav

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


Umur 15 23 67 45.07 10.787
Lama menderita PGK 15 1 3 1.67 .816
Lama menjalani HD 15 1 3 1.60 .737
Valid N (listwise) 15

Statistics
Jenis Status Penyakit
Pendidikan Pekerjaan
Kelamin pernikahan penyerta
N Valid 15 15 15 15 15
Missing 0 0 0 0 0
Mean 1.13 1.60 1.47 1.07 3.00
Std. Error of Mean .091 .131 .133 .067 .468
Median 1.00 2.00 1.00 1.00 2.00
Mode 1 2 1 1 2
Std. Deviation .352 .507 .516 .258 1.813
Variance .124 .257 .267 .067 3.286
Skewness 2.405 -.455 .149 3.873 .581
Std. Error of Skewness .580 .580 .580 .580 .580
Kurtosis 4.349 -2.094 -2.308 15.000 -1.225
Std. Error of Kurtosis 1.121 1.121 1.121 1.121 1.121
Range 1 1 1 1 5
Minimum 1 1 1 1 1
Maximum 2 2 2 2 6
Sum 17 24 22 16 45
Percentiles 25 1.00 1.00 1.00 1.00 2.00
50 1.00 2.00 1.00 1.00 2.00
75 1.00 2.00 2.00 1.00 5.00
Frequency Table
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Laki-laki 13 86.7 86.7 86.7
Perempuan 2 13.3 13.3 100.0
Total 15 100.0 100.0

142
Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid Menengah (SMP-SMA) 6 40.0 40.0 40.0
Tinggi (S1-S2) 9 60.0 60.0 100.0
Total 15 100.0 100.0

Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid Bekerja 8 53.3 53.3 53.3
Tidak bekerja 7 46.7 46.7 100.0
Total 15 100.0 100.0

Status pernikahan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid Menikah 14 93.3 93.3 93.3
Belum menikah 1 6.7 6.7 100.0
Total 15 100.0 100.0

Penyakit penyerta
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid Hipertensi 3 20.0 20.0 20.0
Diabetes melitus 6 40.0 40.0 60.0
Asam urat 2 13.3 13.3 73.3
Hepatitis B 2 13.3 13.3 86.7
Tidak ada 2 13.3 13.3 100.0
Total 15 100.0 100.0

143
Friedman Test
Ranks
Mean Rank
Nilai_pretest 2.57
Nilai_posttest_1 1.77
Nilai_posttest_2 1.67

Test Statisticsa
N 15
Chi-Square 7.684
Df 2
Asymp. Sig. .021
Monte Carlo Sig. Sig. .019
99% Confidence Interval Lower Bound .015
Upper Bound .022
a. Friedman Test

Explore
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
Kelompok N Percent N Percent N Percent
Nilai_pretest Kontrol 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Nilai_posttest_1 Kontrol 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Nilai_posttest_2 Kontrol 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%

Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error
Nilai_pretest Kontrol Mean 29.53 1.424
95% Confidence Interval for Lower Bound 26.48
Mean
Upper Bound 32.59
5% Trimmed Mean 29.43
Median 30.00
Variance 30.410
Std. Deviation 5.514
Minimum 21
Maximum 40
Range 19
Interquartile Range 9

144
Skewness .181 .580
Kurtosis -.444 1.121

Nilai_posttest_1 Kontrol Mean 26.07 1.193


95% Confidence Interval for Lower Bound 23.51
Mean Upper Bound 28.63
5% Trimmed Mean 26.30
Median 29.00
Variance 21.352
Std. Deviation 4.621
Minimum 17
Maximum 31
Range 14
Interquartile Range 5
Skewness -1.062 .580
Kurtosis .004 1.121
Nilai_posttest_2 Kontrol Mean 26.07 .963
95% Confidence Interval for Lower Bound 24.00
Mean Upper Bound 28.13
5% Trimmed Mean 26.19
Median 27.00
Variance 13.924
Std. Deviation 3.731
Minimum 19
Maximum 31
Range 12
Interquartile Range 4
Skewness -.622 .580
Kurtosis -.372 1.121

145
OUTPUT GABUNGAN KELOMPOK INTERVENSI DAN KELOMPOK KONTROL

[DataSet3] C:\Users\asus\Documents\Kelompok Intervensi dan Kontrol sav


Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Nilai_pretest Intervensi 15 35.00 7.407 1.912
Kontrol 15 29.53 5.514 1.424
Nilai_posttest_1 Intervensi 15 7.27 4.317 1.115
Kontrol 15 26.07 4.621 1.193
Nilai_posttest_2 Intervensi 15 1.40 1.682 .434
Kontrol 15 26.07 3.731 .963

Independent Samples Test


Levene's Test for
t-test for Equality of Means
Equality of Variances
95% Confidence Interval of
Sig. (2- Mean Std. Error the Difference
F Sig. t df
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Nilai_pretest Equal variances assumed 2.964 .096 2.293 28 .030 5.467 2.384 .583 10.350
Equal variances not
2.293 25.873 .030 5.467 2.384 .565 10.369
assumed
Nilai_posttest_1 Equal variances assumed .428 .518 -11.514 28 .000 -18.800 1.633 -22.145 -15.455
Equal variances not
-11.514 27.872 .000 -18.800 1.633 -22.145 -15.455
assumed
Nilai_posttest_2 Equal variances assumed 5.397 .028 -23.341 28 .000 -24.667 1.057 -26.831 -22.502

146
Independent Samples Test
Levene's Test for
t-test for Equality of Means
Equality of Variances
95% Confidence Interval of
Sig. (2- Mean Std. Error the Difference
F Sig. t df
tailed) Difference Difference
Lower Upper
Nilai_pretest Equal variances assumed 2.964 .096 2.293 28 .030 5.467 2.384 .583 10.350
Equal variances not
2.293 25.873 .030 5.467 2.384 .565 10.369
assumed
Nilai_posttest_1 Equal variances assumed .428 .518 -11.514 28 .000 -18.800 1.633 -22.145 -15.455
Equal variances not
-11.514 27.872 .000 -18.800 1.633 -22.145 -15.455
assumed
Nilai_posttest_2 Equal variances assumed 5.397 .028 -23.341 28 .000 -24.667 1.057 -26.831 -22.502
Equal variances not
-23.341 19.463 .000 -24.667 1.057 -26.875 -22.458
assumed

Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Nilai_pretest 30 32.27 6.992 21 46
Nilai_posttest_1 30 16.67 10.522 1 31
Nilai_posttest_2 30 13.73 12.862 0 31
Kelompok 30 1.50 .509 1 2

147
Mann-Whitney Test
Test Statisticsc
Nilai_pretest Nilai_posttest_1 Nilai_posttest_2
Mann-Whitney U 65.500 1.000 .000
Wilcoxon W 185.500 121.000 120.000
Z -1.954 -4.645 -4.701
Asymp. Sig. (2-tailed) .051 .000 .000
a a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .050 .000 .000a
Monte Carlo Sig. (2-tailed) Sig. .052b .000b .000b
99% Confidence Interval Lower Bound .046 .000 .000
Upper Bound .058 .000 .000
Monte Carlo Sig. (1-tailed) 99% Confidence Interval Lower Bound .023 .000 .000
Upper Bound .031 .000 .000
b b
Sig. .027 .000 .000b
a. Not corrected for ties.
b. Based on 10000 sampled tables with starting seed 2000000.
c. Grouping Variable: Kelompok

148
149
150
151
152

Anda mungkin juga menyukai