SKRIPSI
LINA NURJANAH
1219006
PENGESAHAN
Tugas Akhir ini telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Tugas Akhir
Program Studi Sarjana Keperawatan Fakultas Keperawatan Institut Kesehatan
Rajawali dan diterima sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Keperawatan pada bulan Mei tahun 2021
Dewan Penguji :
Pembimbing PendampingBudi
: Rustandi, S.Kep., Ners, M.Kep. ( )
Mengetahui :
PERNYATAAN
NPM : 1219006
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan tugas
akhir saya yang berjudul Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis dengan Status
Nutrisi Pasien yang Menjalani Hemodialisis Reguler di RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung Tahun 2021.
Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam tugas akhir saya tersebut,
maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Lina Nurjanah
iii
iv
ABSTRAK
iv
v
KATA PENGANTAR
v
vi
vi
vii
DAFTAR ISI
vii
viii
viii
ix
DAFTAR TABEL
ix
x
DAFTAR GAMBAR
x
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
pengganti ginjal. Di Indonesia, data riset kesehatan dasar tahun 2018 menyebutkan
sebanyak 19,4% pasien PGK memilih untuk menjalani hemodialisis. Indonesia
Renal Registry (IRR) menyatakan bahwa tindakan hemodialisis terus meningkat
setiap tahunnya, pada tahun 2018 terdapat 132.142 pasien aktif yang menjalani
hemodialisis di seluruh Indonesia dan di Jawa Barat terdapat 33.828 pasien aktif
yang menjalani hemodialisis.
RSUP dr Hasan Sadikin merupakan rumah sakit rujukan dari berbagai
daerah di Jawa Barat termasuk pasien dengan PGK, dimana pasien PGK ini
memerlukan tindakan medis yang salah satunya adalah hemodialisis. Setiap
tahunnya jumlah pasien yang menjalani hemodialisis reguler di Instalasi
Hemodialisa RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung selalu bertambah. Dari data yang
didapat dari rekam medis Instalasi Hemodialisis RSUP dr. Hasan Sadikin pada
tahun 2018 jumlah tindakan hemodialisis dalam setahun mencapai 17.979 tindakan
dengan jumlah pasien yang menjalani hemodialisis reguler sebanyak 207 pasien,
sedangkan pada tahun 2019 jumlah tindakan bertambah menjadi 18.751 tindakan
dalam satu tahun dengan jumlah pasien yang menjalani hemodialisis reguler
sebanyak 225 pasien. Data yang didapat peneliti pada bulan Oktober tahun 2020,
jumlah pasien rutin yang menjalani hemodialisis reguler di Instalasi Hemodialisis
RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung adalah sebanyak 175 orang.
Nutrisi merupakan salah satu faktor yang paling penting pada pasien PGK
terutama pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Penyakit ginjal yang lanjut dan
terapi pengganti ginjal (TGP) menyebabkan gangguan metabolik dan nutrisi, yang
disebut dengan istilah Protein Energi Wasting (PEW). PEW terkait dengan luaran
klinis utama yang merugikan dan dianggap sebagai kondisi komorbid signifikan
yang mengarah terhadap pengingkatan rawat inap dan kematian pada pasien yang
menjalani hemodialisis (Pernefri, 2017).
Pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler, maka fungsi ginjal telah
digantikan dengan ginjal buatan atau dialiser. Disamping itu terjadi kehilangan
asam amino ke dalam cairan dialisat melalui membran dialiser. Nutrisi pada pasien
hemodialisis seyogyanya mengandung protein tinggi dan rendah natrium, kalium,
fosfat. Asupan cairan harus dibatasi, terutama bila pasien telah mengalami anuria.
Tujuan terapi nutrisi dan cairan ini bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan
elektrolit, mineral dan cairan. Terapi nutrisi ini juga penting, karena terapi
hemodialisis saja tidak mampu secara sempurna mengeluarkan bahan buangan
akibat ginjal gagal berfungsi, sehingga toksin uremia tersisa pada periode sampai
dialisis selanjutnya. Bila hal ini terjadi secara terus menerus maka akan terjadi
akumulasi secara kronik yang menyebabkan sindrom sub-uremik yang ditandai
dengan menurunnya nafsu makan dan asupan nutrisi. Tanpa kencing yang cukup
dan asupan cairan yang berlebihan akan menyebabkan menumpuknya air dalam
badan, khususnya di jantung, paru dan kaki (Widiana, 2017).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Rochayani (2016), faktor medis yang
mempengaruhi status nutrisi berdasarkan metode DMS diantaranya adalah lama
hemodialisis, penyakit penyerta, penurunan nafsu makan dan gangguan gastro
intestinal. Sedangkan Green (2010), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pasien dengan PGK adalah menurunnya asupan nutrisi (disebabkan
oleh anoreksia, gastroparesis, uremia), pembatasan diet, kehilangan nutrisi selama
proses dialisis, penyakit penyerta selama masa perawatan, meningkatnya tanda-
tanda inflamasi, kehilangan darah kronik, asidosis dan kelainan endokrin. Status
5
nutrisi pada pasien dengan dialisis dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terbagi
menjadi dua, yaitu faktor dialisis dan faktor lainnya. Faktor dialisis yang
mempengaruhi diantaranya adalah bioincompatibility, tidak adekuatnya dosis
dialisis, kehilangan nutrien saat dialisis, peningkatan pengeluaran energi,
sedangkan faktor lainnya yang mempengaruhi status nutrisi pada pasien dengan
dialisis adalah komorbid, inflamasi, resistensi insulin, gangguan metabolisme dan
hormonal, lama menjalani dialisis (Ikizler, 2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
10
transplantasi ginjal. Apabila salah satu dari kelainan tersebut telah muncul dalam
waktu > 3 bulan maka bisa dikategorikan sebagai PGK.
Unit fungsional ginjal disebut nefron yang tersusun dan membagi ginjal
menjadi dua bagian yaitu korteks dan medula, nefron terdiri dari tubulus dan
glomerulus. Glomelurus terdiri dari pembuluh darah yang dibungkus oleh kapsula
bowman. Secara umum ginjal memiliki beberapa fungsi utama secara fisologis,
yaitu :
11
d. Ekskresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik,
obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing
(pestisida).
e. Mensekresi hormon renin
Ginjal mensekresi hormon renin yang mempunyai peranan penting
mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldesteron) Renin
Angiotensin Aldosteron Sistem (RAAS) yang merupakan suatu sistem atau
mekanisme hormon yang mengatur keseimbangan tekanan darah dan cairan
dalam tubuh.
2.1.3 Etiologi
Pada umumnya PGK disebabkan oleh penyakit ginjal instrinsik difus dan
menahun. Tetapi hampir semua nephrophaty bilateral dan progresif akan berakhir
dengan PGK. Penatalaksanaan yang dilakukan terhadap penderita sindrom PGK
terdapat beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut :
a. Etiologi PGK yang dapat dikoreksi.
2.1.4 Patofisiologi
Secara umum terdapat tiga penyebab gagal ginjal baik akut maupun
kronis yang berujung pada gagal ginjal terminal yaitu pra renal, intra renal dan
post renal. Pada fase pra renal umumnya ginjal mengalami penurunan suplai darah
terhadap ginjal, pada intrarenal biasanya terjadi gangguan primer apakah karena
infeksi ataupun auto imun atau sebuah trauma, sedangkan pada penyebab post
renal ginjal mengalami tekanan balik (reflux) akibat adanya obstruksi apakah
karena prostat, batu ginjal atau faktor lain. Apapun dan dimanapun etiologinya
yang pasti akan berdampak pada penurunan GFR sehingga sebagian atau seluruh
fungsi ginjal tidak dapat di laksanakan dengan baik. Menurut Sukandar (2006)
Glomerulonefritis merupakan penyebab terbanyak penyakit gagal ginjal kronis
pada kelompok usia 20-40 tahun yaitu sebanyak 60%.
Dampak dari ketidakmampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya bisa
berupa penimbunan sisa metabolisme terutama ureum dan kreatinin. Hal tersebut
osteodistrofi. Gangguan fungsi hormonal dari ginjal memiliki dampak yang tidak
sedikit, defisist erytopoetin mengakibatkan proses erytopoesis terganggu sehingga
jumlah eritrosist berkurang atau dengan umur yang lebih pendek, maka tidak heran
pasien dengan penyakit ginjal kronik atau terminal sering memiliki hemoglobin
yang rendah dan tidak jarang memerlukan tranfusi darah. Masih dari fungsi
hormonal gangguan fungsi renin angiotensin, respon ADH-Aldosteron merupakan
beberapa hormon yang mencetuskan kejadian hipertensi setelah pasien gagal
ginjal, sebenarnya hipertensi dapat menjadi penyebab ataupun komplikasi
terjadinya gagal ginjal (Price, 1997; Lang & Smeltzer, 2006).
c) Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selin itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orange tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
16
e) Gatal-gatal.
f) Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
g) Bengkak, terutama diseputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
h) Kram otot.
i) Perubahan warna kulit
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (commorbid condition)
c. Memperlambat perburukan (Progression) fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
f. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
(Sukandar, 2006)
LFG
Derajat Rencana tatalaksana
2
(ml/mnt/1,73m )
G1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan
(progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskuler
G2 60 – 89 Menghambat pemburukan
fungsi ginjal
2.2 Hemodialisis
2.2.1 Definisi
Terapi Ginjal Pengganti (TGP) adalah modalitas terapi yang digunakan
untuk pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal, bisa bersifat sementara
maupun berkesinambungan (Pernefri, 2013). TGP terdiri dari terapi dialisis dan
trasplantasi ginjal. Terdapat dua jenis terapi dialisis diantaranya hemodialisis (HD)
yaitu cuci darah dengan menggunakan mesin dan dialisis peritoneal yaitu cuci
darah menggunakan rongga perut (peritoneum) yang biasa dikenal dengan istilah
Continous Ambulatory Peritonial Dialysis (CAPD), Automatic Peritonial
Dialysis (APD). Saat ini terapi HD lebih banyak dipilih karena proses yang lebih
singkat dan efisien.
Hemodialisis berasal dari kata “hemo” yang berarti darah dan “dialysis”
yang berarti pemisahan atau filtrasi melalui mebran semipermeabel. Jadi
hemodialisis adalah porses pemisahan atau filtrasi zat-zat tertentu dalam darah
melalui sebuah membran semipermeabel. Proses pemindahan ini terjadi di dalam
tabung Hollowfiber atau yang dikenal dengan dialiser (Cahyaningsih, 2015).
19
b. Hollow-fiber dialyzer
Tipe dialiser ini terdiri dari 10 - 15.000 serat yang terikat dalam satu
buntelan, dan kedua ujung membran tertutup. Setiap serat mempunyai
diameter interna 200 – 300 µm dan tebal dindingnya 10 – 40 µm. Kedua
ujung buntelan serat ini tertutup jaket plastik, baik untuk aliran darah
maupun untuk dialisat. Darah mengalir dalam lempengan serat
sedangkan aliran dialisat berlawanan arah (counter-current) dan berada
di luar lempengan serat.
Dan pada saat ini yang banyak diproduksi dan digunakan adalah dialiser
hollow fiber.
2.2.2.2 Karakteristik Membran Dialisis
Pemilihan tipe membran dialiser menjadi sangatlah penting sebagaimana
bagian dari setiap peresepan dialisis dari tiap individu. Sebagai tambahan
untuk memilih membran selain kemampuan kliren dan pemindahan cairan,
perawat harus memperhatikan biokompatibel sebagaimana dibutuhkan
pasien.
Saat ini tersedia berbagai jenis membran dengan kemampuan yang
berbeda-beda, namun secara luas dibagi menjadi 3 kategori :
a. Membran selulosa : aliran rendah
b. Modifikasi membran selulosa : aliran sedang atau tinggi
c. Membran sintetik : aliran sedang atau tinggi
2.2.2.3 Sistem Kontribusi Dialisat
Sistem kontribusi dialisat kepada dialiser harus sesuai dengan beberapa
kondisi tepat; meliputi konsentrasi, suhu dan temperature, tekanan dan
aliran. Cairan dialisat disiapkan secara terus menerus. Sirkulasi cairan
dialisat dan darah ektrakorporeal harus selalu dipantau dalam mesin
hemodialisis.
Dialisat disiapkan dari salt pharmaceutical yang telah dilarutkan dalam
air. Dialisat yang mengandung asetat disiapkan dari cairan konsentrat
tunggal. Dialisat bikarbonat disiapkan dari dua liquid concentrate, satu
mengandung sodium bicarbonate dengan atau tanpa sodium chloride dan
21
(Challinor, 2014)
Solute Concentration
Sodium (mmol/l) 135 – 143
Potassium (mmol/l) 0–4
Chloride (mmol/l) 100 – 111
Calcium (mmol/l) 1,25 – 1,75
Magnesium (mmol/l) 0,75 – 1,5
Bicarbonate (mmol/l) 30 – 35
Glucose (g/100 ml) 0 – 0,25
AAMI, dimana air ledeng harus diolah terlebih dahulu dengan melalui
proses yang dikenal dengan water treatment.
Reverse Osmosis (RO), adalah salah satu yang disarankan. Pada RO air
yang masuk dialirkan berlawanan arah melalui membran semipermeabel
dengan tekanan yang sangat tinggi. Membran reverse osmosis membuang
zat-zat anorganik seperti ion logam, garam, zat kimia, dan juga zat organik
termasuk bakteri, endotoksin dan virus.
Kt/V
24
Dimana :
Ln = logaritma natural.
R = BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis
t = lama waktu dialisis dalam jam.
UF = volume ultrafiltrasi dalam liter.
W = berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Kt/V
Dimana :
Evaluasi ulang dari data NCDS menunjukkan bahwa Kt/V kurang dari 0,8
dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V1,0-1,2
dihubungkan dengan mortalitas yang rendah. Batasan minimal Kt/V ialah
lebih dari 1,2 untuk penderita yang menjalani hemodialisis 3 kali seminggu.
Sedangkan untuk kelompok penderita diabetes, Collins menganjurkan
menaikkan Kt/V menjadi 1,4. Hemodialisis 2 kali seminggu hanya
dilakukan untuk sementara dan hanya untuk penderita yang masih
mempunyai klirensia > 5 ml/menit.
b. Rasio Reduksi Urea (RRU).
RRU dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar urea
predialisis dibagi kadar urea pasca dialisis. RRU adalah prosentase dari urea
yang dapat dibersihkan dalam sekali tindakan hemodialisis. RRU
merupakan cara paling sederhana dan praktis untuk menilai adekuasi
hemodialisis, tetapi tidak dapat dipakai untuk merencanakan dosis
25
hemodialisis.
Cara lain untuk mengukur adekuasi hemodialisis adalah dengan mengukur
RRU. Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut :
Keterangan :
Ct = BUN setelah hemodialisis, Co = BUN sebelum hemodialisis.
Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran
adekuasi HD. Kelemahan cara ini karena tidak memperhitungkan faktor
ultrafiltrasi, protein catabolic rate (PCR) dan sisa klirens yang masih ada.
Cara ini juga tidak dapat dipakai untuk merencanakan dosis HD. NKF-
DOQI memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengan RRU > 65%.
Dalam sebuah penelitian dengan menggunakan RRU untuk mengukur dosis
dialisis, telah ditunjukkan bahwa penderita yang menerima RRU ³60%
memiliki mortalitas yang lebih rendah dari yang menerima RRU 50%.
Hemodialisis dianggap adekuat, jika :
a) Morbiditas / mortalitas menurun jangka pendek / panjang
b) Pelaksanaan secara rutin
c) Kualitas hidup baik
d) Parameter : Kt/V : 0,7 – 1,2 ; URR : 55 – 75% (rata-rata 65%)
2.3 Nutrisi
2.3.1 Definisi
Nutrisi adalah ikatan kimia yang yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya yaitu energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur
proses-proses kehidupan (Soenarjo, 2000). Menurut Soenarjo (2000), Nutrisi
merupakan kebutuhan utama pasien kritis dan nutrisi enteral lebih baik dari
parenteral karena lebih mudah, murah, aman, fisiologis dan penggunaan nutrien
oleh tubuh lebih efisien. Nutrisi adalah proses dimana tubuh manusia
menggunakan makanan untuk membentuk energi, mempertahankan kesehatan,
pertumbuhan dan untuk berlangsungnya fungsi normal setiap organ dan jaringan
tubuh (Rock, 2004). Menurut Supariasa (2002), nutrisi adalah suatu proses
organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses
degesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-
zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan.
Mardalena (2019) mengemukakan bahwa status gizi adalah keadaan
tubuh manusia sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
Baik buruknya status gizi manusia dipengaruhi oleh 2 hal pokok yaitu konsumsi
makanan dan keadaan kesehatan tubuh atau infeksi.
Supariasa juga mengungkapkan bahwa status gizi (nutrition status)
merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu,
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Sedangkan
28
Selain sebagai sumber energi utama dan panas untuk mempertahankan suhu
tubuh, KH dapat juga dijadikan simpanan energi dalam bentuk glikogen di
hati dan otot, dijadikan trigliserida dan simpanan energi dalam bentuk lemak
tubuh, diubah menjadi asam-asam amino nonesensial. Fungsi lain dari KH
adalah menjaga agar protein tidak dijadikan sumber energi (protein sparer),
bagian dari banyak senyawa di dalam tubuh seperti DNA serta RNA yang
merupakan materi genetik, meningkatkan pertumbuhan bakteri usus dalam
bentuk senyawa prebiotik misalnya fruktooligosakarida (FOS),
mempertahankan motilitas gastrointestinal dalam bentuk resistant
polysaccharide (pati resisten) serta serat pangan seperti selulosa dan
hemiselulosa (Hartono, 2006).
29
b. Protein
Protein merupakan unsur yang terdapat dalam jumlah besar di dalam tubuh.
Protein terbentuk dari asam-asam amino yang dirangkaikan oleh ikatan
peptida. Asam amino tersusun dari unsur atom karbon, oksigen, hidrogen
dan nitrogen, maka protein merupakan sumber nitrogen bagi tubuh (16%
protein adalah nitrogen). Dengan demikian, setiap gram nitrogen
mempresentasikan 6,25 gram protein (Hartono, 2006).
Fungsi dari protein adalah membangun jaringan tubuh yang baru,
memperbaiki jaringan tubuh, menghasilkan senyawa esensial, mengatur
tekanan osmotik, mengatur keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa,
menghasilkan pertahanan tubuh, menghasilkan mekanisme transportasi, dan
menghasilkan energi.
Keseimbangan protein dalam tubuh dapat dilihat dari nitrogen balance.
Nitrogen yang seimbang berarti asupan nitrogen dari makanan sama dengan
nitrogen yang diekskresikan (melalui urine dan feses). Asupan nitrogen yang
melebihi ekskresinya menunjukan balans nitrogen yang positif atau
anabolisme, sedangkan ekskresi nitrogen yang melebihi asupannya berarti
balans nitrogen negatif atau katabolisme.
c. Lemak
Lemak merupakan sumber energi kedua setelah KH untuk kebutuhan sel-sel
tubuh. Lemak memiliki fungsi lain yang tidak dimiliki oleh KH seperti
pembentukan komponen membran sel, hormon dan vitamin larut lemak.
Lemak merupakan substansi atau zat yang hanya larut dalam pelarut organik
dan tidak larut dalam air (Hartono, 2006). Lemak merupakan nutrien kedua
yang digunakan tubuh sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi.
Sehingga fungsi lemak dalam tubuh adalah sebagai bahan bakar metabolik,
komponen struktural membran sel, komponen pembentukan insulator untuk
mengurangi kehilangan panas tubuh dan meredam dampak benturan pada
organ lain, dan sebagai komponen pembentuk hormon dan vitamin yang
larut dalam lemak.
30
d. Vitamin
Vitamin adalah bahan organik yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh dan
berfungsi sebagai katalisator proses metabolisme tubuh. Vitamin hanya
dapat diperoleh dari makanan dan tidak dapat menghasilkan energi
(Mardalena, 2019).
e. Mineral
Mineral merupakan unsur esensial bagi fungsi normal sebagian enzim, dan
sangat penting dalam pengendalian sistem cairan tubuh. Mineral merupakan
konstituen esensial pada jaringan lunak, cairan dan rangka. Rangka
mengandung sebagian besar mineral. Tubuh tidak dapat mensintesis
sehingga harus disediakan lewat makanan. Sumber mineral paling baik
adalah makanan hewani, kecuali magnesium yang lebih banyak terdapat
dalam makanan nabati (Mardalena, 2019).
f. Air
Air merupakan komponen terbesar dalam struktur tubuh manusia. Kurang
lebih 60-70% berat badan orang dewasa berupa air sehingga air sangat
diperlukan oleh tubuh, terutama bagi mereka yang melakukan olahraga atau
kegiatan berat.
Pengukuran status gizi terdiri dari pengukuran status gizi secara langsung
dan pengukuran status gizi secara tidak langsung. Pengukuran status gizi secara
langsung dapat dilakukan dengan cara:
a. Antropometri gizi (Nutritional Anthropometry)
Sering dilakukan dengan mengukur tubuh manusia, seperti: Indeks Massa
Tubuh (IMT), indeks berat badan menurut umur, indeks berat badan
menurut tinggi badan, indeks lingkar lengan atas menurut umur, indek
lingkar lengan atas menurut tinggi badan.
b. Tes Biokimia
Pemeriksaan secara biokimia dilakuakan dengan cara pemeriksaan terhadap
jaringan dan cairan tubuh seperti darah, urin, tinja, dan sebagainya.
Perkembangan kekurangan gizi dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
biokimia atau disebut dengan pemeriksaan laboratorium.
c. Pemeriksaan Klinis (Clinical Sign)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan pemeriksaan terhadap tanda dan gejala
pada tubuh akibat gangguan metabolisme gizi.
d. Pemeriksaan biofisik (Biophysical methods)
Pemeriksaan gangguan fisik dari jaringan tubuh karena gangguan
metabolisme zat gizi.
Terdapat beberapa instrumen untuk menilai status nutrisi yang umum dan
dapat digunakan pada populasi dengan jumlah besar, diantaranya adalah Mini
Nutritional Assessment-Short Form (MNA-SF), Nutritional Risk Score (NRS),
32
Instrumen MIS ini mencakup poin diet, antopometri, biokimia, dan klinis.
Instrumen MIS memiliki komponen yang lebih unggul dari alat ukur lainnya. MIS
memiliki korelasi lebih erat dalam hal prediksi perawatan di rumah sakit 12 bulan
kedepan, angka kematian, infeksi dan anemia pada pasien dialisis (Zadeh, 2001).
MIS terdiri dari 4 bagian (riwayat nutrisi, pemeriksaan fisik, IMT, dan
nilai laboratorium) dan 10 komponen. MIS didasarkan pada 7 komponen metode
dari SGA dan dikombinasikan dengan 3 komponen tambahan dari BMI, albumin
serum, dan serum TIBC. Hasil observasi tiap poin didasarkan pada 4 penilaian
berskala ordinal yaitu 0= normal sampai 3= sangat tidak normal, dengan
memberikan tanda √ (ceklis) pada kolom yang tersedia. Penjumlahan skor MIS
diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu < 6 (tanpa malnutrisi dan inflamasi), > 6
(malnutrisi dan inflamasi), jika nilai MIS =6 maka dilihat dari klinis pasien apakah
mendukung ke arah malnutrisi atau tanpa malnutrisi, untuk menegaskan dengan
melihat kadar albumin pasien (Yamada dkk, 2008).
berdasarkan MIS memiliki hasil yang setara pada serum IL-6. Selain itu pada
penelitian yang dilakukan oleh Yamada dkk (2008) dikatakan bahwa hasil C-
reaktif protein yang tinggi juga muncul pada sekelompok pasien dengan skor MIS
yang tinggi. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa MIS dapat digunakan
sebagai penenda inflamasi yang setara dengan IL-6 dan CRP.
Pemeriksaan TIBC merupakan salah satu poin dalam MIS yang juga
dapat digunakan sebagai penanda inflamasi. TIBC merupakan kapasitas transferin
serum untuk mengikat besi. Kadar transferrin meningkat pada anemia defisiensi
besi, dan menurun pada tahap inflamasi kronik, atransferinemia herediter,
beberapa penyakit hati dan ginjal. Pemeriksaan ini tidak mengukur kadar
transferin (protein) serum secara langsung, tetapi mengukur jumlah Fe yang terikat
ke protein ini. Rentang normal untuk TIBC pada orang dewasa adalah 240- 360
ug/dL, dan cenderung menurun seiring dengan usia sampai sekitar 250 ug/dL pada
orang berusia diatas 70 tahun. Kapasitas mengikat besi total meningkat pada
defisiensi besi dan kehamilan, tetapi mungkin normal atau rendah pada penyakit
kronis, malnutrisi, dan inflamasi kronik (Sacher, 2004).
Ortiz dkk (2014) mengemukakan bahwa MIS adalah alat yang valid dan
realibel untuk menentukan diagnosis Protein-Energi Wasting Syndrome (PEW)
pada pasien dengan PGK yang menjalani hemodialisis. Kekurangan dari MIS ini
yaitu merupakan suatu penilaian yang subjektif menurut pemeriksa, maka perlu
dilakukan penilaian yang signifikan untuk memastikan hasil yang konsisten antara
penilai yang berbeda di waktu yang berbeda (Yamada dkk, 2008).
(Bandiara, 2017)
ESPEN NKF EBPG
ESPEN, European Society of Parenteral and Enteral Nutrition; NKF, National Kidney
Foundation; EBPG, European Best Practice Guideline.
b. Kebutuhan Protein
Pada proses hemodialisis perlu diperhitungkan adanya kehilangan asam
amino sebesar 1-2 gr/jam dialisis. Oleh karena itu rekomendasi asupan
protein pada pasien PGK dengan hemodialisis adalah 1,2 gr/kgBB ideal/hari
(Bandiara, 2017).
35
c. Kebutuhan Lemak
Rekomendasi asupan lemak pada pasien PGK dengan hemodialisis adalah
sebesar 25-30% dari total kalori, sedangkan pembatasan lemak jenuh adalah
< 10%. Bila didapat dyslipidemia, dianjurkan kadar kolesterol dalam
makanan <300 mg/hari (Pernefri, 2011).
d. Kebutuhan Mineral dan Makronutrien
Pasien PGK beresiko mengalami defisiensi atau kelebihan satu atau lebih
mikronutrien (vitamin dan trace elements) yang dikarenakan oleh asupan
yang tidak adekuat, gangguan absorbsi mikronutrien akibat obat atau toksik
uremik, gangguan metabolisme atau akibat kehilangan atau penambahan
yang didapat selama proses hemodialisis. Karena adanya kehilangan akibat
dialisis, maka yang vitamin larut air harus diberikan sebagai pengganti,
diantaranya adalah : asam folat (1 mg/hari), pyridoxine (10-20 mg/hari), dan
vitamin C (30-60 mg/hari). Vitamin D sebaiknya diberikan berdasarkan
pemeriksaan kadar kalsium serum, fosfor dan hormon paratiroid (Bandiara,
2017).
e. Kebutuhan Natrium dan Air
Dengan dialisis atau fungsi ginjal yang tersisa, air atau cairan dalam tubuh
dapat diregulasi. Metabolisme air berhubungan erat dengan natrium, yang
mana pada penderita PGK dengan Hemodialisis dapat diproyeksikan dengan
kenaikan berat badan interdialitik. Bila intake air dan natrium melebihi daya
regulasi, akan terjadi akumulasi dalam tubuh yang dapat menimbulkan
komplikasi edema paru akut, krisis hipertensi, atau payah jantung kiri
(Bandiara, 2017).
2.3.6 Gambaran Status Nutrisi Pada Pasien Dengan Penyakit Ginjal Kronis
Pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki beberapa gangguan dalam
tubuhnya, salah satunya adalah masalah nutrisi. Menurut Zadeh (2004), pasien
dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis memiliki prevalensi
yang tinggi terhadap malnutrisi. Malnutrisi pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis meningkat pada derajat 4-5, yaitu dimana laju filtrasi glomerulus
36
gastrointestinal berupa mual, muntah dan kehilangan nafsu makan (Suwitra, 2007
dalam Santoso, 2016). Karena asupan makan yang kurang maka dengan sendirinya
kalori untuk membuat energipun juga terbatas, akibatnya produksi sel darah merah
menurun. keadaan itu dapat juga menyebabkan tubuh jadi lemas dan tidak
bertenaga. Pada stadium yang sudah sangat lanjut, penderita bisa menderita ulkus
dan perdarahan saluran pencernaan. Hemodialisis yang berkepanjangan
mengakibatkan infeksi pada lambung yang mengakibatkan peningkatan asam
amino pada lambung sehingga pasien dengan Gagal Ginjal Kronik mengalami
penurunan nafsu makan bahkan kehilangan bobot tubuh yang cukup signifikan.
(Suharyanto & Madjid, 2013 dalam Santoso, 2016).
Proses difusi pada prosedur dialisis dilakukan dengan mengalirkan darah
ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen
terpisah. Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang
berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat
dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Proses ini dapat
mengakibatkan hilangnya nutrisi pasien sehingga semakin lama waktu hemodialisis
maka nutrisi pasien akan semakin berkurang. Pada akhirnya menyebabkan berbagai
gangguan metabolik, penurunan fungsi jaringan dan hilangnya massa tubuh
(Stenvinkle dkk, 2000 dalam Santoso, 2016). Dimana hal tersebut dapat
memperberat status nutrisi pasien yang menjalani hemodilaisis reguler.
Salaswati (2013) dalam penelitian nya menyebutkan bahwa semakin lama
seseorang menjalani hemodialisis maka semakin beresiko mengalami malnutrisi.
Hal tersebut dibuktikan dengan capaian angka pasien yang menjalani indikator >1
tahun mengalami malnutrisi sebanyak 81,8% sedangkan yang menjalani
hemodialisis ≥3 bulan – 1 tahun 41,2% mengalami malnutrisi.
Pasien dengan penyakit ginjal kronik akan terjadi ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit, hal ini menyebabkan terjadinya abnormalitas pada hasil yang
akan dieksresikan ke dalam urin sehingga menjadi uremia. Gejala klinis dari uremia
yaitu lemah, anoreksia, mual dan muntah. Lama menjalani hemodialisis juga akan
terjadi penurunan kadar asam amino. Kedua hal yang disebutkan diatas
menyebabkan pasien akan mengalami penurunan nafsu makan, sehingga asupan
40
makanan pasien akan berkurang serta tubuh akan kehilangan massa otot dan lemak
yang berada di subkutan. Jika hal ini dibiarkan terlalu lama, maka akan sangat
berpengaruh pada status nutrisi pasien PGK dengan hemodialisis (Widyastuti,
2014).
e. Sirkulasi
Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada (angina),
hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak
tangan, nadi lemah, hipotensi ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang
jarang pada penyakit tahap akhir, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning,
kecenderungan perdarahan.
f. Integritas ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
g. Eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (pada gagal ginjal tahap lanjut),
abdomen kembung, diare, atau konstipasi, perubahan warna urine, contoh
kuning pekat, merah, coklat, oliguria.
h. Makanan/Cairan
Peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi),
anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut
(pernapasan amonia), penggunaan diuretik, distensi abdomen/asites,
pembesaran hati (tahap akhir), perubahan turgor kulit/kelembaban, ulserasi
gusi, perdarahan gusi/lidah.
i. Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, syndrome “kaki gelisah”,
rasa terbakar pada telapak kaki, kesemutan dan kelemahan, khususnya
ekstremitas bawah, gangguan status mental, contoh penurunan lapang
perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, stupor, kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang,
rambut tipis, kuku rapuh dan tipis
j. Nyeri/kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki dan perilaku berhati-
hati/distraksi, gelisah.
42
k. Pernapasan
Napas pendek, dyspnea, batuk dengan/tanpa sputum kental dan banyak,
tahipnea, dyspnea, peningkatan frekuensi/kedalaman dan batuk dengan sputum
encer (edema paru).
l. Keamanan
Kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis, dehidrasi),
normotermia dapat secara actual terjadi peningkatan pada pasien yang
mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal, petekie, area ekimosis pada
kulit, fraktur tulang, keterbatasan gerak sendi.
m. Seksualitas
Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
n. Interaksi sosial
Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan
fungsi peran biasanya dalam keluarga.
o. Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat Diabetes Melitus (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit
polikistik, nefritis herediter, kalkulus urenaria, maliganansi, riwayat terpajan
pada toksin, contoh obat, racun lingkungan, penggunaan antibiotik nefrotoksik
saat ini/berulang.
a. Defisit Nutrisi
b. Nausea
c. Intoleransi aktivitas
d. Kurangnya pengetahuan
43
2.5.3 Intervensi
Tahap perencanaan memberi kesempatan kepada perawat, pasien, keluarga,
dan orang terdekat pasien untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna
mengatasi masalah yang dialami pasien. Intervensi keperawatan didefinisikan
sebagai “berbagai perawatan, berdasarkan penilaian kritis dan pengetahuan, yang
dilakukan oleh seorang perawat untuk meningkatkan hasil klien/pasien” (Herdman
& Kamitsuru, 2018).
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
d. Diagnosa Keperawatan : Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis,
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Intervensi :
1. Kaji pemahaman mengenai penyebab PGK, konsekuensinya dan
penanganannya :
1) Penyebab PGK pada pasien
2) Pengertian PGK
3) Pemahaman mengenai fungsi renal
4) Hubungan antara cairan, pembatasan diet dan PGK
5) Rasional penanganan TGP (hemodialisa, peritoneal dialisis,
transplantasi)
2. Jelaskan fungsi renal dan konsekuensi PGK sesuai dengan tingkat
pemahaman dan kesiapan pasien untuk belajar.
3. Bantu pasien untuk mengidentifikasi cara-cara untuk memahami
berbagai perubahan akibat penyakit dan penanganan yang
mempengaruhi hidupnya.
4. Sediakan informasi baik tertulis maupun secara oral dengan tepat
tentang:
1) Fungsi dan kegagalan renal
2) Pembatasan cairan dan diet
3) Medikasi
4) Melaporkan masalah, tanda dan gejala
5) Jadwal tindak lanjut
6) Sumber di komunitas
7) Pilihan terapi
46
2.5.4 Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dalam proses asuhan
keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi kesehatan (tindakan
keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan yang
di prioritaskan.
2.5.5 Evaluasi
DEPRESI
PENYAKIT YANG
MENDASARI
STATUS EKONOMI
ADEKUASI DIALISIS
STATUS
LAMA MENJALANI NUTRISI PASIEN
HEMODIALISIS PGK DENGAN
HEMODIALISIS
KELAINAN
ENDOKRIN
USIA
PEMBATASAN DIIT
INFLAMASI
48
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
48
49
Variabel Dependen adalah variabel akibat atau variabel yang akan berubah
akibat pengaruh atau perubahan yang terjadi pada variabel independen. Variabel
ini tergantung dari variabel bebas terhadap perubahan, juga disebut sebagai
variabel efek, hasil, outcome atau event. Variabel dependen dalam peneltian ini
adalah status nutrisi.
50
= __170__ = 119,29
1,425
Keterangan:
N : Besar populasi
n : Besar sampel
d : Tingkat signifikansi (0,05)
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti untuk
mengobservasi, mengukur atau menilai suatu fenomena (Dharma, 2011).
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar pertanyaan
tentang indentitas pasien dan lama menjalani hemodialisis yang diisi oleh
responden dan bisa juga didapat dari status harian pasien.
Instrumen lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Malnutrition Inflamation Score (MIS). Instrumen ini sudah baku dan
direkomendasikan oleh Pernefri (2011) sebagai alat ukur untuk menilai status
nutrisi pasien dengan hemodialisis.
Coding adalah kegiatan merubah data dalam bentuk huruf menjadi data
dalam bentuk angka atau bilangan. Kode adalah simbol tertentu dalam
bentuk huruf atau angka untuk memberikan identitas data. Kode yang
diberikan dapat memiliki arti sebagai data kuantitatif (berbentuk skor).
56
Pada tahap ini peneliti memberi tanda atau kode berbentuk angka pada
masing-masing jawaban dari kuesioner, yaitu memberi kode pada hasil
lama menjalani hemodialisis dan MIS. Dalam penelitian ini, peneliti
memberikan coding dalam melakukan analisis data sebagai berikut :
Pada tahap ini peneliti memasukan data yang telah di beri kode kategori
kemudian memasukan ke dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi
yang dapat dilakukan secara manual maupun komputerisasi. Dalam
penelitian ini memasukan semua hasil perhitungan lama menjalani
hemodialisis dan MIS kedalam tabel yang telah dibuat dalam komputer.
Data pendukung lainnya yang di masukan dalam tabel dan selanjutnya
akan diolah adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan dan penyakit yang
mendasari pasien PGK.
3.7.1.4 Processing
Processing adalah proses setelah semua kuesioner terisi penuh dan benar
serta telah dikode jawaban responden pada kuesioner ke dalam aplikasi
pengolahan data di komputer. Terdapat bermacam-macam aplikasi yang
dapat digunakan untuk pemrosesan data, antara lain: SPSS, STATA, EPI-
INPO, dan lain-lain. Salah satu program yang banyak dikenal dan relatif
mudah dalam penggunaannya adalah program SPSS (Statistical Package
for Social Sciences).
57
Analisis data dilakukan untuk memberi makna atau memberi arti pada data
yang dikumpulkan. Kesimpulan sebagai hasil dari analisis akan memberikan
informasi dari data yang diteliti (Masturoh, 2018). Analisis data merupakan bagian
yang sangat penting untuk mencapai tujuan pokok penelitian, yaitu menjawab
pertanyaan-pertanyaaan penelitian yang mengungkap fenomena.
Dalam pengujian inferensial (uji signifikansi), uji yang dilakukan harus
sesuai dengan rancangan penelitian. Pengujian statistik yang tidak sesuai dapat
menimbulkan penafsiran yang salah dan hasil tidak dapat digeneralisasikan.
(Windu Purnomo, 2002 dalam Nursalam, 2017).
b. Bila nila p> α (0,05) maka Ho gagal ditolak, yaitu secara statistik
diartikan sebagai tidak ada hubungan.
3.8.5 Anonimity
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan nama responden
pada setiap lembar data dan lembar observasi melainkan memberikan kode tertentu
pada setiap data responden.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
61
62
Tabel 4.2 diketahui bahwa pada penelitian ini responden baru yang mengalami
malnutrisi sebanyak 7 orang (43,7%), responden cukup lama yang mengalami
malnutrisi sebanyak 12 orang (35,3%) dan responden yang sangat lama dan
mengalami malnutrisi sebanyak 28 orang (33,7%). Hasil analisis menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan status
nutrisi pasien yang menjalani hemodialisis reguler di RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung dengan p value 0,745.
4.2 Pembahasan
laki sehingga bakteri lebih mudah masuk dan menginfeksi saluran kemih
dan jika infeksi ini dibiarkan maka akan berujung pada terjadinya penyakit
ginjal kronis.
rata-rata usia pasien yang menjalani hemodialisis adalah 49,70 berada pada
rentang usia 26-55 tahun.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hadi (2015) dalam Santoso (2016)
yang menyatakan bahwa dari 54 orang pasien yang menjalani
hemodialisis, sebanyak 38 orang (70,4%) termasuk dalam kategori lama
sedangkan 4 orang (7,4%) dalam kategori sedang, dan 12 orang (22,2%)
dalam kategori baru. Namun penelitian tidak sejalan dengan penelitian
Santoso dkk (2016) yang menyatakan bahwa sebagian besar pasien yang
menjalani hemodialisis dalam kategori cukup lama (1-3 tahun) sebanyak
96 orang (55,2%), kategori baru 39 orang (22,4%) dan kategori lama
sebanyak 39 orang (22,4%).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar status nutrisi pasien
yang menjalani hemodialisis reguler di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung
yaitu sebanyak 86 orang (64,7%) tanpa malnutrisi dan 47 orang (35,3%)
mengalami malnutrisi. Menurut peneliti status nutrisi dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu usia, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan,
sosial ekonomi, dukungan keluarga dan kesadaran dari pasien itu sendiri
dalam menerima kondisi penyakitnya dan juga kepatuhan dalam
melaksanakan regimen terapeutik.
ini biasanya seseorang cenderung lebih siap dalam menerima perubahan pada
dirinya termasuk bila harus menjalani hemodialisis secara reguler. Selain itu, di
Instalasi Hemodialisis RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung telah dilakukan program
skrining status nutrisi secara berkala kepada seluruh pasien yang menjalani
hemodialisis reguler.
pasien masih belum bisa beradaptasi dengan penyakitnya, terapi dialisisnya dan
diet yang harus dijalaninya. Sedangkan pada pasien yang sudah lama menjalani
hemodialisis, malnutrisi dapat disebabkan karena proses dialisis itu sendiri yang
menyebabkan penumpukan kadar ureum dan kreatinin sehingga mengakibatkan
gangguan pada saluran gastrointestinal pasien. Zadeh (2004) mengungkapkan
bahwa pasien dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis memiliki
prevalensi yang tinggi terhadap malnutrisi. Malnutrisi pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis meningkat pada derajat 4-5, yaitu dimana laju filtrasi
glomerulus mengalami penurunan menjadi 15-29 (ml/mnt/1,73 m²) atau < 15
(ml/mnt/1,73 m²). Pasien dengan penyakit ginjal kronis biasanya mengalami
kehilangan berat badan, hilangnya cadangan energi (jaringan lemak), hilangnya
protein somatik (massa otot rendah) dan rendahnya tingkat albumin serum,
transferin, pre-albumin dan protein viseral lainnya.
Terdapat beberapa instrument untuk menilai status nutrisi yang umum
dan dapat digunakan pada populasi dengan jumlah besar. Malnutrition Inflamation
Score (MIS) merupakan salah satu instrument yang komprehensif, kuantitatif, dan
mudah digunakan untuk mengevaluasi status nutrisi dan juga sekaligus menilai
inflamasi pada pasien dengan dialisis (Rambod dkk, 2009). Namun kekurangan
dari MIS ini yaitu merupakan suatu penilaian yang subjektif menurut pemeriksa,
maka perlu dilakukan penilaian yang signifikan untuk memastikan hasil yang
konsisten antara penilai yang berbeda di waktu yang berbeda (Yamada dkk, 2008).
Menurut peneliti akan lebih baik lagi jika pengkajian status nutrisi dengan
menggunakan MIS dilakukan oleh perawat yang sama kepada pasien yang sama,
sehingga hasilnya menjadi lebih akurat dan selanjutnya sebagai perawat kita bisa
menentukan intervensi yang tepat dalam rangka mengatasi masalah status nutrisi
pada pasien yang menjalani hemodialisis reguler.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi status nutrisi pasien dengan
penyakit ginjal kronis, diantaranya adalah faktor medis yang indikatornya adalah
lama hemodialisis, penyakit penyerta, penurunan nafsu makan, dan gangguan
gastro intestinal (Rochayani, 2016). Terapi hemodialisis juga dapat menyebabkan
komplikasi akibat proses dialisisnya yang berpengaruh terhadap status nutrisi
73
besar pula indeks massa tubuh pasien gagal ginjal krinik yang menjalani
hemodialisis.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pasien hemodialisis
reguler di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan diantaranya adalah :
5.2 Saran
Terkait dengan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pasien yang
menjalani hemodialisis reguler di Instalasi Hemodialisis RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung, beberapa saran yang dapat peneliti berikan diantaranya adalah :
a. Bagi Perawat
Sebagai perawat seyogyanya terus meningkatkan pengetahuan tentang nutrisi
dalam rangka upaya memberikan pendidikan kesehatan pada pasien gagal
ginjal kronik secara berkala.
75
76
b. Bagi Pasien
Bagi pasien dan keluarga yang menjalani hemodialisis reguler baik yang baru
maupun yang sudah lama, sebaiknya bisa bekerjasama dengan perawat dan tim
medis lainnya dalam upaya meningkatkan status nutrisi pasien. Pasien dan
keluarga juga sebaiknya lebih terbuka dan jujur dalam menyampaikan
keluhan, sehingga perawat dan tim medis bisa menentukan intervensi yang
tepat untuk mengatasi masalah pasien khususnya mengenai masalah nutrisi
sehingga kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis menjadi baik.
c. Bagi Manajemen
Kepada manajemen ruangan disarankan untuk memfasilitasi progam
konseling bagi pasien dan keluarga pasien terutama pada saat awal pasien
mulai menjalani hemodialisis reguler dimana pasien dan keluarga masih
dalam proses adaptasi baik secara fisik maupun psikis. Sebaiknya juga
disediakan ruangan dan waktu khusus untuk konseling, sehingga pasien dan
keluarga lebih leluasa saat melakukan konseling dan terjaga pivasinya.
d. Bagi Peneliti Lain
Untuk peneliti selanjutnya dapat meneliti pengaruh penyakit yang mendasari
PGK terhadap status nutrisi pada pasien hemodialisis.
77
DAFTAR PUSTAKA
Afiatin, Widiana IGR. Annual report of Indonesian renal registry. 11th ed. Bandung:
Pernefri; 2019.
Astrini WGA. Hubungan kadar hemoglobin (Hb), idenks massa tubuh (IMT) dan
tekanan darah dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialysis di RSUD dokter Soedarso Pontianak bulan April 2013. [Online]. 2013
Apr [cited 2021 Mar 10]; Available from: URL:www.neliti.com
Bandiara R. Assessment nutrisi pasien dialisis. Padang: Ikatan Perawat Dialisis
Indonesia; 2019.
Cahyaningsih DN, Jaelani RT, Rudianto, Tanjung RR. Standar asuhan keperawatan
(SAK): pasien dengan hemodialisis (HD) dan continuous ambulatory peritonial
Ddalisis (CAPD). Bandung: Ikatan Perawat Dialisis Indonesia; 2015.
Chung S, Koh ES, Shin SJ, Park CW. Malnutrition in patients with chronic kidney
disease. [serial online] 2012 June [cited 2020 Sep 20]; Available from:
URL:http://dx.doi.org/10.4236/ojim.2021.22018
Cibulka R, Racek J. Metabolik complication of chronic kidney failure and
hemodialisis: spesial problem in hemodialisis patient. [serial online]. 2011. [cited
2020 Sep 15]; Avalaible from: URL:http://www.intechopen.com
Davey CH, Webel AR, Sehgal AR, Voss JG, Huml AM. Fatique in individuals with
end stage renal disease. [serial online]. 2019 [cited 2020 Sep 12]; Available from:
URL:pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31566345
Dharma KK. Metodologi penelitian keperawatan: panduan melaksanakan dan
menerapkan hasil penelitian. Jakarta: Trans Info Media; 2015.
Diwarta N. Pengertian nutrisi menurut beberapa ahli dan jenis-jenis nutrisi
[Online]. 2012 Jul 21 [cited 2020 Aug 20]; Available from:
URL:http://www.diwarta.com
Gibson RS. Principles of nutritional assessment. 2nd ed. New Zealand: University
of Otago; 2005.
Green D. Malnutrition and chronic kidney disease. Salford: Complete Nutrition;
2009.
Hartono A. Terapi gizi dan diet rumah sakit. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2006.
Ikizler TA. Optimal nutrition in hemodialisis patients. [Online]. 2013 March 01
[cited 2020 Aug 20]; Available from: URL:www.ackdjournal.org
77
78
Isnani AA, Ayu PRR, Anggraini DI. Hubungan lama menjalani hemodialisis
dengan status nutrisi pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) di instalasi
hemodialisa RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Majority 2019 Mar;
8(1): 55-59.
Isroin L. Adaptasi psikologis pasien yang menjalani hemodialisis. EDUNursing
2017 Apr; 1(1): 12-21.
Lajuck KS, Moeis ES, Wongkar MCP. Status gizi pada pasien penyakit ginjal
kronik stadium 5 yang menjalani hemodialysis adekuat dan tidak adekuat. eCl 2016
Dec;4(2):1-6.
Mardalena I. Dasar-dasar ilmu gizi dalam keperawatan: konsep dan penerapan pada
asuhan keperawatan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press; 2019.
Masturoh I, Anggita N. Metodologi penelitian kesehatan: buku ajar rekam medis
dan informasi kesehatan (RMIK). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2018.
Misra M, Nolph KD, Khanna R, Prowant BF, Moore HL. Retrospective evaluation
of renal kt/V (urea) at the initation of long term peritoneal hemodialisis at the
university of Missouri. NIH [serial online] 2003 Jan-Feb [cited 2020 Sep 10];
49(1):91-102. Available from: URL:pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12558314
Moeloek NF. Air bagi kesehatan: upaya peningkatan promotif preventif bagi
kesehatan ginjal di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI; 2018.
Nissenson RA, Fine NR. Handbook of dialisis therapy. 4th ed. Los Angeles:
Saunder Elsevier; 2008.
NKF. KDOQI clinical practice guidelines and recommendations: updates
hemodialisis adequacy, peritonial dialyisis adequacy, vaskular access. New York:
National Kidney Foundation; 2006.
NKF. Update clinical practice guideline for nutritional in chronic kidney disease.
New York: National Kidney Foundation; 2019.
Nurchayati S. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup
pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di rumah sakit islam
fatimah Cilacap dan Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas. Depok: FIK
Universitas Indonesia; 2010.
Nursalam. Metodologi penelitian ilmu keperawatan: pendekatan praktis. 4th ed.
Jakarta Selatan: Salemba Medika; 2015.
78
79
Ortiz AJG, Santander CVA, Vega OV, Rotter RM, Cuevas MAE. Assesment of the
reability and consistency of the “Malnutrition Inflammation Score” (MIS) in
Mexican adult with chronic kidney disease for diagnosis of Protein-Energi Wasting
Syndrome (PEW). Nutr Hosp 2015; 31(3):1352-1358.
Pernefri. Konsensus nutrisi pada penyakit ginjal kronik. Jakarta: Educational Grant
PT. Kalbe Farma; 2013
Pernefri. Konsensus pedoman pelayanan hemodialisis. Jakarta: Educational Grant
PT. Kalbe Farma; 2013.
PPNI. Standar diagnosis keperawatan Indonesia: definisi dan indikator diagnostik.
Edisi 1. Jakarta: DPD PPNI; 2017.
PPNI. Standar intervensi keperawatan Indonesia: definisi dan tindakan
keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPD PPNI; 2018.
Rambod M, et all. Association of Malnutrition-Inflamation Score with quality of
life an mortality in indikator patient: a 5-year prospective cohort study. NIH [serial
online] 2009 Feb [cited 2020 Sep 11]; 53(2):298-309. Available from:
URL:pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19070949
Ratnasari D, Isnaini N. Hubungan lama hemodialisis dengan status nutrisi pada
pasien penyakit ginjal kronik di Ruang hemodialisa. JKM [serial online] 2020 Sep
[cited 2021 Mar 10]; 2541:214-219. Available from: URL:journal.um-
surabaya.ac.id/idex/JKM
Rochayani F, Susetyowati, Djarwoto B. Faktor faktor yang mempengaruhi kejadian
malnutrisi berdasarkan indikator dialisis malnutrition score (DMS) pada pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Yogyakarta: Gizi Kesehatan; 2016.
Sacher, Ronald A., Richard AMP. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium.
Edisi 11. Jakarta: EGC; 2004.
Salawati L. Analisis lama menjalani hemodialisis dengan status gizi penderita
penyakit ginjal kronik. [Online]. 2016 [cited 2020 Aug 28]; Available from:
URL:jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article
79
80
80
81
81
82
NPM : 1219006
ditengah, selanjutnya
kanan atas
▪ ACC LANJUT
PERSIAPAN UP
Kode sampel
Identitas Responden
1. Nama : …..................................................................................
4. Agama : ......................................................................................
6. Pekerjaan : ......................................................................................
8. Alamat : ......................................................................................
94
Kode Sampel
No RM :
MALNUTRITION INFLAMMATION
SCORE (MIS) INSTALASI Nama :
HEMODIALISA
Tgl Lahir : L / P*)
Di isi oleh perawat
Tanggal : ……………………….. Jam ................................................................................... WIB
Diagnosa medis : ………………………………………. e.c …………………………………………
SCORE
NO KOMPONEN MIS
0 1 2 3
A. Riwayat Medis
1. Perubahan berat badan kering di ≥ 1 kg
akhir dialisis (perubahan secara < 0,5 kg 0,5 – 1 kg tapi < 5% ≥ 5%
keseluruhan pada 3 bulan terakhir
2. Asupan diit Nafsu makan Berkurangnya Starvasi
baik, asupan Asupan diit asupan makan karena diit
tidak padat sub padat dan cair cair pun
menurun optimal tidak
masuk
3. Gejala Gastrointestinal Sering
Tidak ada Gejala ringan Kadang diare atau
gejala nafsu nafsu makan muntah atau muntah
makan baik buruk atau gejala GI atau
kadang mual sedang anoreksia
berat
4. Kapasitas fungsional Bed/ chair-
(hubungan nutrisi dengan Kapasitas Kadang sulit Sulit ridden atau
gangguan fungsional) fungsional melakukan melakukan aktifitas
normal, aktifitas dasar aktifitas fisik
merasa sehat atau sering mandiri minimal
merasa lelah sampai
tidak ada
5 Komorbitas, termasuk lama Tanpa Dialisis 1-4 Dialisis > 4 Setiap
(tahun) dialisis komorbiditas tahun atau tahun atau perburukan
dalam dialisis Komorbiditas Komorbiditas , multiple
selama 1 ringan, sedang, komorbid
tahun (excluding (including one (2 or more
terakhir MCC*) MCC*) MCC*)
B. Pemeriksaan fisik
6. Berkurangnya cadangan lemak atau Tidak ada
Ringan Sedang Berat
kehilangan lemak subkutan (dibawah perubahan
mata, trisep, bisep, dada)
7. Tanda kehilangan masa otot (kening, Tidak ada
Ringan Sedang Berat
clavikula, scapula, costae, kuadrisep, perubahan
lutut, interoseous)
95
C. Ukuran tubuh
8. ≥ 20 18-19,9 16-17,99 < 16
Index masa tubuh (kg/m2)
D. Parameter Laboratorium
9. Albumin serum (g/dl) ≥4 3,5-3,9 3,0-3,4 < 3,0
10. TIBC (Total Iron-Binding ≥ 250 200-249 150-199 < 150
Capacit Serum)mg/dl**
Jumlah
Total =
* MCC (Major Comorbid Condition) include CHF class III or IV, full blown AIDS, severe CAD,
moderate to severe COPD major neurogical sequel. And metastatic malignancies or s/p recent
chemotherapy.
Pilih salah satu
⃰ ⃰ ⃰ Suggested equivalent increment for serum transferrin are : > 200 (0), 170-199(1), 140-169(2),
and < 140 mg/dl (3) Kesimpulan : tanpa malnutrisi total nilai < 6 apabila malnutrisi nilai > 6,
jika nilai = 6 lihat klinis pasien dan kesimpulan diambil seobjektif mungkin
(……………………….)
96
SURAT PERSETUJUAN
UNTUK IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
PEMBERIAN INFORMASI
9 Harus ada contact person bila ada yang Jika ada pertanyaan lenih lanjut mengenai
ditanyakan penelitian ini dapat menghubungi Lina
Nurjanah dengan nomor HP: 081322603020
10 Lain-lain Tidak ada
Dengan ini menyatakan bahwa saya (Penanggung Jawab Penanggung Jawab Penelitian
Penelitian) telah menerangkan hal-hal di atas secara benar, jelas
dan memberikan kesempatan untuk bertanya dan/atau berdiskusi
( Lina Nurjanah )
Tanda tangan dan Nama Jelas
Dengan ini menyatakan bahwa saya (Pasien/Keluarga Pasien/Keluarga Pasien*)
pasien*) telah menerima informasi dari Penanggung Jawab
Penelitian sebagaimana di atas dan telah memahaminya
( ) Tanda
tangan dan Nama Jelas
Saksi
( )
Tanda tangan dan Nama Jelas
1. *) Coret yang tidak perlu
2. Bila pasien tidak kompeten, maka penerima informasi dan pemberi persetujuan
adalah keluarga terdekat atau wali.
RM.IC.06/15
98
b. Setuju / tidak setuju*) penelitian ini menyimpan sisa sampel untuk penelitian lanjutan dan atau
pemeriksaan genetika
Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya dan tanpa paksaan,
(…………………………) (…………………………)
(…………………………) Tanda tangan dan Nama
Tanda tangan dan Nama Jelas Tanda tangan dan Nama Jelas
Jelas
RM.IC.06/15
99
LAMA MENJALANI
NO HD STATUS NUTRISI
TAHUN KATEGORI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 JUMLAH KATEGORI
1 10 Sangat Lama 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 5 Tanpa Malnutrisi
2 6 Sangat Lama 0 0 1 1 2 0 0 1 2 2 9 Malnutrisi
3 12 Sangat Lama 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 3 Tanpa Malnutrisi
4 9 Sangat Lama 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 6 Tanpa Malnutrisi
5 5 Sangat Lama 0 0 1 1 1 0 0 1 2 2 8 Malnutrisi
6 5 Sangat Lama 1 1 1 0 2 0 0 0 1 2 8 Malnutrisi
7 12 Sangat Lama 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 4 Tanpa Malnutrisi
8 7 Sangat Lama 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 Tanpa Malnutrisi
9 5 Sangat Lama 0 0 0 0 2 0 0 1 1 2 6 Tanpa Malnutrisi
10 1 Baru 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 7 Malnutrisi
11 8 Sangat Lama 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 3 Tanpa Malnutrisi
12 4 Sangat Lama 1 0 1 1 2 0 0 0 2 2 9 Malnutrisi
13 5 Sangat Lama 0 0 0 1 1 1 1 0 1 2 7 Malnutrisi
14 5 Sangat Lama 0 0 0 0 0 1 0 0 3 0 4 Tanpa Malnutrisi
15 9 Sangat Lama 0 0 0 1 2 0 0 1 2 1 7 Malnutrisi
16 2 Cukup Lama 0 0 0 0 1 0 0 1 2 1 5 Tanpa Malnutrisi
17 2 Cukup Lama 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 7 Malnutrisi
18 1 Baru 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 2 Tanpa Malnutrisi
19 2 Cukup Lama 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 5 Tanpa Malnutrisi
20 6 Sangat Lama 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 6 Tanpa Malnutrisi
21 5 Sangat Lama 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 3 Tanpa Malnutrisi
22 1 Baru 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 4 Tanpa Malnutrisi
23 5 Sangat Lama 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 6 Tanpa Malnutrisi
24 8 Sangat Lama 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 3 Tanpa Malnutrisi
25 5 Sangat Lama 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 7 Malnutrisi
26 11 Sangat Lama 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 8 Malnutrisi
27 10 Sangat Lama 0 0 1 0 2 1 0 0 3 3 10 Malnutrisi
28 4 Sangat Lama 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 7 Malnutrisi
29 6 Sangat Lama 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 12 Malnutrisi
30 1 Baru 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 3 Tanpa Malnutrisi
31 5 Sangat Lama 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 5 Tanpa Malnutrisi
32 2 Cukup Lama 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 11 Malnutrisi
33 6 Sangat Lama 0 0 0 0 2 0 0 0 1 1 4 Tanpa Malnutrisi
34 1 Cukup Lama 0 0 0 0 1 1 1 0 2 2 7 Malnutrisi
35 6 Sangat Lama 0 0 0 0 0 1 1 0 1 2 5 Tanpa Malnutrisi
36 1 Baru 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 4 Tanpa Malnutrisi
100
FREQUENCIES VARIABLES=LAMA_HD
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
LAMA_HD
FREQUENCIES VARIABLES=NUTRISI
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
NUTRISI
CROSSTABS
/TABLES=LAMA_HD BY NUTRISI
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
NUTRISI Total
MALNUTRISI TANPA
MALNUTRISI
Count 7 9 16
BARU
% within LAMA_HD 43.8% 56.3% 100.0%
Count 12 22 34
LAMA_HD CUKUP LAMA
% within LAMA_HD 35.3% 64.7% 100.0%
Count 28 55 83
LAMA
% within LAMA_HD 33.7% 66.3% 100.0%
Count 47 86 133
Total
% within LAMA_HD 35.3% 64.7% 100.0%
Chi-Square Tests
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 5,65.
105
Riwayat Pendidikan :
1. SDN CIPANCUH II HAURGEULIS Tahun 1986 s.d 1992
2. SMP NEGERI 5 CIREBON Tahun 1992 s.d 1995
3. SMA NEGERI 1 CIREBON Tahun 1995 s.d 1998
4. AKPER DR. OTTEN BANDUNG Tahun 1998 s.d 2001
Riwaya Pekerjaan :