Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Malnutrisi merupakan suatu masalah yang umum terjadi pada


pasien dirumah sakit, termasuk pasien bedah (Ward, 2003). Studi lain
menunjukkan prevalensi malnutrisi di rumah sakit berkisar 40 % sampai
59 %. Hal ini menyebabkan meningkatnya lama rawat inap, meningkatnya
biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien, dan tingginya kejadian atau
risiko terjadinya komplikasi selama di rumah sakit (Cinda, 2003). Di
Indonesia, menurut Sukmaniah (2009) prevalensi malnutrisi pada pasien
rawat inap pada hari pertama adalah 16 %. Pada hari perawatan ke-7
prosentase pasien yang mengalami gizi kurang dan buruk naik menjadi
20%.

Skrining gizi bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang


berkaitan dengan gizi buruk dan risiko terjadinya gizi kurang. Skrining gizi
haruslah valid, simple, mudah diartikan dan sensitif sehingga dapat
dipergunakan secara luas dan secara konsisten diimplementasikan oleh
non-spesialis (Corish, 2004). Berdasarkan rekomendasi European
Association of Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN, 2002), perangkat
skrining gizi yang sederhana dan mudah dapat digunakan untuk
menunjukkan adanya risiko masalah gizi pada pasien yang memerlukan
pemeriksaan lanjut yang komprehensif. Skrining gizi adalah proses yang
sederhana dan cepat untuk mengidentifikasi individu yang mengalami
kekurangan gizi atau yang berisiko terhadap permasalah gizi. Skrining
dapat dilakukan oleh perawat, dokter maupun ahli gizi. Dari pengertian ini
dapat diambil simpulan bahwa skrining gizi bertujuan untuk menentukan
seseorang berisiko malnutrisi atau tidak, mengidentifikasi individu yang
membutuhkan terapi gizi segera, mencegah agar seseorang yang masih
sehat tidak menderita masalah gizi, dan menghindari komplikasi lebih
lanjut jika seseorang telah menderita masalah gizi (Charney, 2009).

1
Kriteria untuk pemilihan alat yang tepat juga mencakup validitas
dan reliabilitas metode, daya prediksi, penerimaan oleh pasien dan
perawat, dan kesederhanaan penggunaan (Van, 2014). Metode yang
paling umum digunakan untuk memprediksi atau mengidentifikasi
kekurangan gizi adalah skrining kondisi gizi menggunakan Nutritional
Risk Screening 2002 (NRS-2002), MUST atau SGA, serta interpretasi
parameter biokimia. Untuk mengatasi kekurangan gizi terkait penyakit dan
konsekuensinya, identifikasi tepat waktu gangguan status gizi dan respon
cepat untuk memulai pengobatan sangat penting bagi pasien, terutama di
kelompok risiko gizi (Correia, 2003).

SGA merupakan indikator yang terbukti memiliki validitas yang


baik untuk penilaian status gizi pasien dewasa. Kelebihan pengukuran
status gizi dengan menggunakan SGA dibandingkan dengan pengukuran
antropometri adalah SGA merupakan cara yang sederhana, mudah
dilakukan, lebih ekonomis, tidak terlalu lama dan juga dapat menilai
aspek perubahan berat badan, perubahan asupan makan, gejala
gangguan gastrointestinal, kapasitas fungsional, dan pemeriksaan fisik.
Dimana data-data tersebut nantinya juga dapat memberikan gambaran
malnutrisi terdahulu (Suharyati, 2006). Nutritional Risk Screening 2002
(NRS-2002) adalah indikator yang mendeteksi kondisi malnutrisi maupun
risiko malnutrisi pada pasien di rumah sakit. NRS-2002 adalah alat
skrining yang berisi komponen-komponen nutrisional yang ada dalam
MUST dan tambahan berupa tingkatan keparahan penyakit yang
merefleksikan kebutuhan zat gizi yang meningkat (Kondrup, 2003).

Rumah Sakit Tentara (RST) Dr. Soepraoen Malang adalah rumah


sakit tingkat II yang dijadikan sebagai rumah sakit rujukan di wilayah
kodam V / Brawijaya. RST Dr. Soepraoen memiliki kapasitas Tempat
Tidur sebanyak 300 Tempat Tidur dengan Data Bed Occupation Rate
(BOR) sebesar 50%. Berdasarkan pedoman proses asuhan gizi
terstandar (2014) alat skrining gizi yang cepat, mudah dan cocok
digunakan sesuai dengan kondisi pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dr.
Soepraoen Malang adalah MST (Malnutrition Screening Tools) modifikasi
yang dilakukan oleh tenaga medis yaitu perawat. Menurut Herawati, dkk

2
(2014) Kelebihan dari alat skrining MST adalah lebih efisien waktu dan
tidak tergantung pada nilai antropometri dan laboratorium. Pertanyaan
sederhana pada MST yang hanya meliputi penurunan berat badan,
asupan makan yang berkurang, dan kondisi khusus yang dialami pasien
masih kurang bisa mendreskripsikan risiko malnutrisi pada pasien rawat
inap. Di RST Dr. Soepraoen Malang pertanyaan skrining telah
ditambahkan satu poin yaitu berkaitan dengan jenis penyakit pasien.
Meskipun penilaian skrining yang digunakan telah dimodifikasi unsur
obyektifitas, namun masih perlu dilakukan monitoring dalam aplikasinya
sebab pertanyaan subyektifitas (perubahan asupan makan dan perunuran
BB) masih sering terjadi bias dikarenakan jawaban pasien yang berkaitan
dengan ingatan/memori pasien. Sehingga perlu adanya kajian
penggunaan alat skrining yang dapat diterapkan dengan meminimalisir
jawaban yang bersifat subyektif.

Agar menjadi sumber referensi baru untuk menjadi perbandingan


dari penilaian status gizi sebelumnya yang dijalankan di Rumah Sakit
Tentara Dr. Soepraoen Malang, maka perlu dilakukan penelitian tentang
penilaian status gizi dengan menggunakan metode SGA dan NRS-2002,
untuk melihat metode mana yang paling sesuai dalam mendeteksi risiko
malnutrisi pada pasien rawat inap di rumah sakit.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada kesesuaian penggunaan Subjective Global Assessment


(SGA), Nutrition Risk Screening 2002 (NRS-2002), dan Malnutrition
Screening Tool (MST) sebagai alat skrining dalam menentukan asuhan
gizi di Rumah Sakit Tentara Dr. Soepraoen Kota Malang ?

C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum
Menganalisis kesesuaian penggunaan Subjective Global
Assessment (SGA), Nutrition Risk Screening 2002 (NRS-2002), dan
Malnutrition Screening Tool (MST) sebagai alat skrining dalam
penentuan asuhan gizi di Rumah Sakit Tentara Dr. Soepraoen
Malang.

3
b. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik umum pasien (jenis kelamin, umur,
dan diagnosa penyakit) di Rumah Sakit Tentara Dr. Soepraoen
Malang.
2. Menganalisis status gizi berdasarkan metode SGA.
3. Menganalisis status gizi berdasarkan metode NRS-2002.
4. Menganalisis status gizi berdasarkan metode MST.
5. Menganalisis kesesuaian hasil skrining berdasarkan SGA dan
MST.
6. Menganalisis kesesuaian hasil skrining berdasarkan NRS-2002
dan MST.
7. Menganalisis kesesuaian hasil skrining berdasarkan SGA dan
NRS-2002.
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memperdalam pengetahuan mengenai metode skrining gizi
berdasarkan Subjective Global Asessment (SGA), Nutritional Risk
Screening 2002 (NRS-2002), dan Malnutrition Screening Tool
(MST) serta aplikasinya dalam menentukan asuhan gizi yang
diberikan rumah sakit.
b. Menambah pengetahuan mengenai penilaian status gizi yang
tepat sehingga dapat mengurangi risiko malnutrisi.
2. Manfaat Praktis
Dapat memberikan masukan yang bermanfaat kepada pihak rumah
sakit untuk menentukan dan mengaplikasikan metode skrining gizi
berdasarkan Subjective Global Asessment (SGA), Nutritional Risk
Screening 2002 (NRS-2002), dan Malnutrition Screening Tool (MST).

4
E. Kerangka Penelitian

Pasien Masuk
Rumah Sakit

Skrining Gizi Awal


MRS

Langsung Tidak Langsung

Obyektif Subyektif

NRS-2002 MST SGA

Kesesuaian Hasil

Malnutrisi Tidak Malnutrisi

Asuhan Gizi Re-skrining

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Kesesuaian Penggunaan SGA, NRS-2002,


dan MST sebagai Alat Skrining Dalam Menentukan Asuhan Gizi di RST Dr.
Soepraoen Malang (Gibson, 2005 ; ESPEN, 2002 ; Djais, 2014)

Malnutrisi merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada kebanyakan


pasien rawat inap yang masuk rumah sakit, oleh karena itu diperlukan skrining
gizi awal pasien sehingga dapat diketahui risiko malnutrisi pada pasien dan dapat
dilakukan terapi dan intervensi yang tepat. Metode skrining secara langsung
dibagi menjadi dua yaitu subyektif dan obyektif. Dimana metode subyektif adalah
melakukan wawancara langsung kepada pasien masalah yang mengarah pada
adanya masalah gizi seperti perubahan BB, perubahan asupan makan, dan

5
gangguan gastrointestinal. Metode yang paling umum digunakan untuk
memprediksi atau mengidentifikasi kekurangan gizi adalah skrining kondisi gizi
menggunakan Nutritional Risk Screening 2002 (NRS-2002), MUST atau SGA,
serta interpretasi parameter biokimia. Untuk itu pada penelitian ini akan
menggunakan NRS-2002 dan SGA sebagai alat skrining dalam menentukan
risiko malnutrisi pada pasien yang baru masuk rumah sakit, dan akan
dibandingkan dengan metode MST yang digunakan di RST Dr. Soepraoen.
Selanjutnya akan ditentukan asuhan gizi yang diberikan oleh rumah sakit untuk
pasien yang berisiko malnutrisi, dan akan dilakukan skrining ulang untuk pasien
yang tidak berisiko malnutrisi.

Hipotesis :
1. Ada kesesuaian antara metode SGA dan MST
2. Ada kesesuaian antara metode NRS-2002 dan MST
3. Ada kesesuaian antara metode SGA dan NRS 2002

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Malnutrisi

Malnutrisi adalah suatu keadaan gizi kurang atau gizi lebih karena
asupan zat gizi di bawah atau di atas kisaran asupan yang dianjurkan
dalam waktu yang lama (Sandjaja, 2009). Malnutrisi umumnya
disebabkan karena kondisi pasien yang sedang menderita penyakit
tertentu sehingga mempengaruhi asupan makanan, meningkatkan
kebutuhan akan zat gizi, terjadi perubahan metabolisme serta juga dapat
menyebabkan malabsorbsi (Syam, 2009). Dalam pengertian yang lain,
malnutrisi adalah gangguan status gizi akibat kurangnya konsumsi gizi,
terganggunya metabolisme nutrien atau gizi berlebih. Faktor yang
mengarahkan adanya malnutrisi adalah penurunan 10% atau lebih berat
badan selama 6 bulan, penurunan 5% atau lebih berat badan selama 1
bulan atau berat badan lebih atau kurang dari 20% dari berat badan ideal
(Arif Mansjoer, 2009).

Kasus penurunan status gizi pada pasien yang menjalani rawat


inap di rumah sakit atau hospital malnutrition masih terjadi di
kebanyakan rumah sakit di Indonesia (Widiantoro, 2009). Menurut Syam
(2009) malnutrisi pada umumnya disebabkan karena kondisi patologis
pasien sehingga mempengaruhi asupan makanan, meningkatkan
kebutuhan akan zat gizi, terjadi perubahan metabolisme serta juga dapat
menyebabkan malabsropsi. Contoh yang paling sering ditemukan adalah
pada usia lanjut kejadian malnutrisi dapat mencapai 50%, pada penyakit
paru kronis dapat mencapai 45%, pada penyakit Inflamatory Bowel
Disease (IBD) mencapai 80% sedangkan pada pasien dengan keganasan
bahkan mencapai 85%. Dijelaskan pula oleh Setiati dan Dinda (2009),
pada pasein rawat inap yang sedang menderita penyakit kronik juga
dapat mempengaruhi status gizi menuju keadaan malnutrisi. Penyakit-
penyakit kronik tersebut antara lain seperti disfungsi pencernaan, sesak

7
nafas karena penyakit paru obstruktif kronik dan gagal jantung kongestif
(mempengaruhi asupan makan), gangguan endokrin dapat meningkatkan
metabolisme (hiperparatiroidisme) atau menurunkan nafsu makan
(pheokromasitoma). Di negara berkembang seperti Indonesia, dari
beberapa studi yang dilakukan di Jakarta (1995-1999) menunjukkan
bahwa sekitar 20%-60% pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum dalam
kondisi malnutrisi saat masuk perawatan, dan 69% pasien cenderung
menurun status gizinya selama rawat inap di rumah sakit (Megasari,
2002).

Proses terjadinya malnutrisi gizi kurang dalam tubuh terjadi jika


asupan energi dari makanan sehari kurang dari kebutuhan energi pasien,
sehingga akan menyebabkan keseimbangan energi negatif. Akibatnya,
berat badan kurang dari berat badan seharusnya atau berat badan ideal
sebagai dampak penggunaan cadangan energi yaitu cadangan glikogen
dalam hati, protein dan lemak tubuh untuk memenuhi kebutuhan harian
yang tidak terpenuhi dari asupan makanan sehari-hari (Almatsier, 2009).
Menurut Syam (2009), pada saat malnutrisi akan terjadi proses
penghancuran dari lean body mass untuk melepaskan asam amino untuk
proses glukoneogenesis. Sebagaimana kita ketahui bahwa protein
penting untuk sistem imunitas dan proses penyembuhan penyakit. Jika
keadaan ini berlangsung lama maka dapat menyebabkan penurunan
sistem imunitas tubuh dan dapat menyebabkan peluang hidup bagi
pasien menjadi kecil. Keadaan yang demikian tentu saja harus segera
ditindaklanjuti karena akan berpengaruh terhadap derajat kesehatan dan
status gizi pasien. Selain itu, keadaan malnutrisi pada pasien yang
menjalani rawat inap di rumah sakit juga akan mengakibatkan massa
rawat pasien 90% lebih panjang dibandingkan dengan tanpa malnutrisi
rumah sakit (Soegih, 1997).

Berdasarkan hasil Kohort tahun 2011 (Kemenkes, 2014), yang


dikenal dengan penelitian SARMILA di 3 rumah sakit yaitu RS Dr. Sardjito
Yogyakarta, RS M. Djamil Padang, dan RS Sanglah Denpasar, diketahui
pasien dengan asupan energy tidak cukup selama di rumah sakit
mempunyai risiko lebih besar untuk malnutrisi dan terdapat perbedaan

8
yang signifikan lama hari rawat inap pada pasien dengan asuhan gizi dan
pelayanan gizi konvensional. Rata-rata 75% status gizi penderita yang
dirawat di rumah sakit akan menurun dibandingkan dengan status gizi
waktu masuk rumah sakit. Penurunan status gizi ini menyebabkan angka
mortalitas naik dan memperpanjang lama rawat inap di rumah sakit.
Faktor-faktor secara langsung maupun tidak langsung yang
menyebabkan malnutrisi di rumah sakit antara lain :

1. Tidak melakukan pengukuran dan pencatatan tinggi badan dan berat


badan pasien. Keadaan ini sering tidak dilakukan oleh petugas medis
maupun paramedis, dimana pengukuran tinggi dan berat badan
merupakan dasar perhitungan kebutuhan zat gizi dan sebagai deteksi
awal status gizi pasien.

2. Pemasangan infus cairan glukosa dan NaCl yang terlalu lama,


memperhatikan indikasi penggunaan cairan glukosa dan NaCl.

3. Tidak memperhatikan masukan makanan dari pasien. Keadaan ini


sering terjadi, dimana belum ada daftar yang berisi catatan seberapa
pasien bisa menghabiskan makanan yang diberikan.

4. Ketidaktahuan dari komposisi zat gizi yang ada dalam makanan, tidak
terdapat tabel yang mencantumkan informasi gizi dan jenis-jenis
makanan yang ada di pasaran.

5. Tidak memperhitungkan penambahan kalori atau zat gizi lainnya yang


harus disesuaikan dnegan keadaan pasien, misalnya suhu yang
meninggi karena sepsis, trauma ganda dan hipermetabolisme.

6. Kelalaian menilai status gizi sebelum dilakukan tindakan


pembedahan.

7. Kelalaian mengatur tambahan gizi sebelum tindakan pembedahan.

8. Kurang pengawasan terhadap perubahan status gizi penderita


dihubungkan dengan menu yang didapat.

9. Ketidaktahuan tentang komposisi dari makanan enteral / makanan


lewat pipa (Soegih, 1998).

9
Dijelaskan oleh Daldiyono dalam Syamsiatun (2004) Beberapa
indikator yang biasa menilai status gizi pasien untuk mendeteksi kejadian
malnutrisi pada pasien rawat inap di rumah sakit seperti dokumentasi
berat badan, tinggi badan dan asupan makanan sangat kurang sekali
diperhatikan sehingga berbagai masalah gizi seperti keadaan malnutrisi
pada pasien rawat inap sering kali menjadi terabaikan. Sedangkan
penilaian status gizi dengan menggunakan monitor laboratorium sering
tidak dilakukan serta pertambahan kebutuhan gizi pada keadaan sakit,
trauma, stres dan sebagainya juga sering terabaikan. Beberapa studi lain
yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang belum sesuai harapan
untuk menanggulangi permasalahan malnutrisi di rumah sakit yaitu
bahwa memburuknya status gizi yang terjadi selama perawatan di rumah
sakit dan berlanjut setelah pasien pulang. Prevalensi malnutrisi di rumah
sakit cukup tinggi, namun masalah tersebut sering tidak tertedeteksi dan
tidak ditatalaksana dengan baik selama di rumah sakit. Hal ini disebabkan
karena malnutrisi seringkali tidak terdeteksi sejak awal sehingga tidak
ditatalaksana dengan baik (Setiati dan Dinda, 2009).

B. Metode Skrining Gizi

Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses


pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data
penting pasien, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif, untuk
kemudian dibandingkan dengan baku yang tersedia. Data obyektif
diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan, serta sumber
lain yang dapat diukur oleh anggota tim penilai. Komponen penilaian
status gizi meliputi : survey asupan makanan, pemeriksaan biokimia,
pemeriksaan klinis, serta pemeriksaan antropometri (Arisman, 2009).
Status gizi merupakan cerminan terpenuhinya kebutuhan gizi yang secara
parsial dapat diukur dengan antropometri atau pengukuran bagian
tertentu dari tubuh, secara biokimia dan secara klinis (Sandjaja, 2009).
Menurut Laura (1999) Penilaian status gizi merupakan pendekatan
secara menyeluruh hingga didapatkan definisi status gizi, termasuk
informasi mengenai riwayat medis, riwayat social, pengobatan,

10
pemeriksaan fisik, asupan zat gizi, riwayat makan, data laboratorium, dan
pengukuran antropometri. Prosesnya biasanya terdiri dari dua bagian
yaitu Screening dan Assessment. Tujuan dari screening (skrining) adalah
untuk mengidentifikasi pasien mengenai risiko masalah gizinya seperti
diabetes, sedangkan Assessment bermaksud untuk mengarahkan
kepada terapi yang akan diberikan. Sebaiknya assessment juga
mengidentifikasi kebutuhan dan kekurangan pasien, hal ini dimaksudkan
untuk perbaikan terapi gizi.

Skrining gizi merupakan langkah utama untuk identifikasi pasien


berisiko malnutrisi. Selanjutnya untuk merencanakan dan memberi terapi
gizi yang sesuai perlu didasari oleh hasil penilaian status gizi (nutritional
assessment). Skrining dan assessment gizi dibedakan berdasarkan tipe
dan jangkauan informasi yang diperoleh, latar belakang pendidikan
tenaga pelaksana, waktu untuk proses skrining berbeda dengan
assessment, dan biaya proses juga berbeda (tenaga, pemeriksaan dll).
Skrining gizi adalah proses identifikasi karakteristik yang mempunyai
hubungan dengan masalah gizi. Tujuannya untuk menemukan pasien
berisiko gizi. Pada proses ini tidak membutuhkan keahlian khusus.
Sedangkan penilaian status gizi (nutritional assessment) adalah proses
mengumpulkan dan mengevaluasi semua data klinik, dietetik, komposisi
tubuh dan biokimiawi dll untuk diagnosis status gizi dan mengembangkan
rencana terapi gizi yang tepat. Disini membutuhkan staf yang mempunyai
kemampuan dan kompetensi khusus. Proses skrining dapat dilakukan
dengan cara yang sederhana misalnya informasi tentang perubahan berat
badan (meningkat atau menurun), perubahan asupan makanan, keluhan
yang berhubungan fungsi saluran cerna (misal mual, muntah, diare).
Dapat dinyatakan berisiko gizi bila ada peningkatan atau penurunan berat
badan yang tdk direncanakan sebanyak lebih dari 10% pada 6 bulan
terakhir, atau lebih dari 5% pada 1 bulan terakhir. Atau asupan makanan
tidak adekuat dalam 5 hari terakhir (Barrocas dkk, 1995).

Menurut Covened (2007) tujuan dari skrining gizi antara lain :


a. Untuk mengidentifikasi individu yang berisiko malnutrisi akut atau tidak
pada pasien RS atau kelompok masyarakan untuk mencegah

11
komplikasi atau meluasnya penyakit dan juga untuk menentukan
langkah selanjutnya yaitu assessment dan asuhan gizi yang akan
diberikan.
b. Skrining gizi tidak hanya dilakukan pada saat pasien masuk rumah
sakit, tetapi juga dilakukan secara berkala pada individu yang tidak
berisiko malnutrisi yang disebut dengan re-screening (skrining ulang)
untuk memastikan bahwa individu tersebut benar-benar tidak berisiko
malnutrisi.
Manfaat dilakukannya skrining gizi yaitu mempercepat kerja ahli gizi untuk
memberikan assessment dan intevensi selanjutnya karena hasilnya
mudah disimpulkan juga dapat dijadikan rujukan evaluasi berkala.

Alat skrining di rumah sakit antara lain : MUST (Malnutrition


Universal Screening Tool), NRS-2002 (Nutritional Risk Screening 2002),
MNA (Mini Nutrition Asessment), SNAQ (Short Nutritional Asessment
Quesioner), STAMP (Screening Tools Asessment of Malnutrition in
Pediatric), PNI (Prognostic Nutritional Index) dan SGA (Subjective Global
Asessment). Subjective Global Assesment (SGA) merupakan salah satu
alat yang dapat digunakan untuk menilai status gizi pasien yang
menjalani rawat inap di rumah sakit (Bauer dkk, 2002). Banyak konsep
yang dikembangkan untuk mengukur status gizi pasien. Setiap metode
skrining mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing maka
beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam memilih metode penilaian
status gizi antara lain tujuan pengukuran, unit sampel yang akan diukur,
jenis informasi yang dibutuhkan, tingkat reabilitas, akurasi yang
dibutuhkan, dan tersedianya fasilitas, tenaga, waktu, dan dana (Gibson,
2005).

A. Subjective Global Asessment (SGA)

Penilaian Subjective Global Asessment (SGA) merupakan salah


satu cara menilai status gizi yang sederhana. Penilaian SGA meliputi
penilaian subyektif umum berdasarkan riwayat medis dan riwayat
pemeriksaan fisik. SGA merupakan diagnosis gizi yang reliable dan
merupakan predictor akurat untuk menilai adanya peningkatan risiko

12
komplikasi seperti infeksi dan penyembuhan luka yang terhambat. Pada
SGA akan diperoleh informasi tentang perubahan berat badan,
perubahan asupan makan, gejala gastriointestinal, kapasitas fungsional,
hubungan antar penyakit dengan kebutuhan gizi, dan pemeriksaan fisik
yang difokuskan pada aspek gizi (Suharyati, 2006). Menurut Agustinus
(2011) SGA menilai beberapa aspek antara lain :
1. Lima komponen utama riwayat (gizi dan klinis) :
a. Perubahan berat badan
Data perubahan berat badan bertujuan untuk mengetahui apakah
subyek mengalami penurunan berat badan atau tidak sejak
menderita sakit. Menurut Ferguson (2003) dalam mengevaluasi
perubahan berat badan (terutama penurunan berat badan) maka
diklasifikasikan sebagai berikut :
Tabel 1. Persentase Kehilangan Berat Badan
Waktu Kehilangan BB Ringan Kehilangan BB Berat
(%) (%)
1 minggu 1-2 >2
1 bulan 5 >5
3 bulan 7-5 >7,5
6 bulan 10 >10
Sumber : Ferguson (2003)

b. Perubahan asupan makan


Intake makan yang kurang dalam jangka waktu yang lama akan
mempengaruhi kondisi status gizi awal subyek pada saat masuk
rumah sakit (Hartono, 2006). Dijelaskan pula oleh Sjamsuhidajat
(2005) bahwa asupan makan yag rendah pada pasien merupakan
salah satu penyebab terjadinya gizi kurang. Gangguan gizi
umumnya terjadi bila kekurangan asupan makanan yang
berlangsung selama sepuluh hari. Beberapa factor yang secara
langsung maupun tidak langsung menyebabkan asupan makan
yang kurang selama rawat inap antara lain : pasien terlalu lama
dipuasakan, tidak diperhitungkan penambahan zat gizi, obat-
obatan yang diberikan, gejala ganguan gastrointestinal, serta
penyakit yang menyertai (Suharyati, 2006).

13
c. Gejala gastrointestinal
Berbagai gejala kelainan gastrointestinal perlu diketahui karena
berkaitan langsung dengan status gizi, terutama jika berlangsung
selama lebih dari 14 hari. Berbagai gejala yang ditimbulkan akibat
kelainan gastrointestinal antara lain anorexia, mual, muntah, dan
diare dimana dapat berpengaruh terhadap status gizi. Dikatakan
termasuk dalam kategori berat apabila berlangsung selama > 2
minggu, sedangkan jika mengalami gejala diare atau muntah
dalam jangka waktu yang pendek maka masih dalam kategori
ringan (Detsky, 1987).
d. Kapasitas fungsional tubuh
Aktivitas sehari-hari merupakan indicator langsung sebagai
kualitas hidup seseorang. Selain itu kesembuhan pasien
dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukannya sehingga dapat
diketahui sejauh mana anggota tubuh masih berfungsi
(Gottschlish, 2001).
e. Hubungan antar penyakit dengan kebutuhan gizi.
Respon stress merupakan akibat hipermetabolisme dari infeksi
masing-masing penyakit yang diderita pasien dimana kondisi
tersebut akan mempengaruhi keadaan status gizinya. Pasien
dengan kategori factor stress sedang akan lebih rentan
mengalami malnutrisi dibandingkan dengan pasien yang memiliki
factor stress ringan. Hal ini dikarenakan respon stress yang
diakibatkan oleh sepsis, atau infeksi yang bersifat melindungi
(protective) dan merusak (destructive) bagi tubuh. Oleh karena itu
sangat diperlukan adanya terapi gizi yang tepat sebagai upaya
pencegahan pemecahan jaringan lebih lanjut, mempercepat
proses penyembuhan luka serta mendukung proses anabolisme
didalam tubuh (Jayne, 1992). Berikut ini kategori tingkatan stress
berdasarkan jenis penyakit :

14
Tabel 2. Kategori Stres Berdasarkan Jenis Penyakit
Faktor Jenis Penyakit Pasien
Stres Bidang Penyakit
Interna : DM dan Hepatitis
PJK, IMA, RHD, Unstabel Angina dan Face
Kardiologi :
Maker.
Ringan
Tropik : GE, Typhus dan DHF
1,3-1,4
Paru : Pneumonia
Kulit : Herpes, Varicela dan Dermatitis
Neuro : HNP
DM dengan 1 komplikasi, CKD, SH dan
Interna :
Cholelithiasis.
PJK + decomp, ALD (Acute Long Oedema),
Kardiologi : RHD+ mitral, post op open heart, PJK +CKD,
Sedang
decomp + gravid, PJK +CVA.
1,5 Tropik : Leptospiosis
Paru : Asma, Efusi pleura dan PPOK
Kulit : Varicela+komplikasi dan Lanural Iktoris
Neuro : Tumor Otak dan CVA+hipertensi.
DM + CVA/sepsis, CKD + SH/efuse
pleura/asidosis metabolik, SH + hematosis
Interna : melena, Hematologi, Kanker, Nef.Snyd, DM
dengan 2 komplikasi/lebih seperti ND + HD
reguler/gangren/sepsis, DM + SH, CK + Kanker.
Berat
Kardiologi : PJK+TB.
1,6-2,1 Tropik : GE+sepsis dan HIV.
Paru : TB paru, tumor paru dan Empyoma.
Kulit : Sociasis, Morbus Hansen dan Steven Johnson
Meningitis + CVA/TB, CVA + Tumor otak dan
Neuro :
GBS.
Sumber : Asuhan Gizi Pasien Rawat Inap RSUD Dr. Soetomo Surabaya (2010)
dalam Asep (2013).
2. Pemeriksaan fisik :
a. Berkurangnya lemak subkutan
b. Berkurangnya masa otot
c. Adanya edema pada pergelangan kaki
d. Adanya edema daerah sakral
e. Adanya asites
Dari data 1 dan 2 pada SGA memperoleh klasifikasi/peringkat status gizi
pasien :

3. Penilaian peringkat SGA, yaitu :


a. Status gizi baik

15
b. Status gizi kurang (risiko menjadi malnutrisi)
c. Status gizi buruk
Metode SGA telah lama dikembangkan dikarenakan sulitnya
pelaksanaan penelitian status gizi. Hasilnya sangat prediktif dalam
menentukan malnutrisi. Selain itu pelaksanaannya yang mudah dipelajari
dan praktis untuk diterapkan. SGA tidak memerlukan uji/tes laboratorium
sehingga dapat dikatakan merupakan alat yang murah. Pada penilaian
status gizi menggunakan SGA, Observer akan menilai hasil akhir SGA
berdasarkan data subyektif pasien. Jika hasil akhir penilaian lebih
dominan skor B dan C maka pasien tersebut kemungkinan terkena risiko
malnutrisi, akan tetapi jika hasil akhir penilaian menunjukkan skor A lebih
banyak maka pasien tersebut dikatakan tidak mengalami malnutrisi
(Bauer, 2004)
Pasien dikategorikan dengan “status gizi kurang” (Skor C) jika
pasien memiliki beberapa gejala fisik malnutrisi seperti kehilangan lemak
subkutan, kehilangan otot, edema, dan kehilangan berat badan secara
terus-menerus sebesar 10% atau lebih, dan penurunan asupan makan.
Selain itu biasanya pasien juga diikuti dengan gejala gastrointestinal dan
kerusakan fungsional tubuh (Park, 2004).
Pasien dikategorikan dengan “status gizi kurang” (Skor B) jika
mengalami kehilangan berat badan sekitar 5-10% dengan kehilangan otot
dan lemak subkutan serta penurunan intake makan. Pasien juga
kemungkinan memiloki gangguan gastrointestinal atau bahkan tidak. Skor
B diberikan jika semua klasifikasi skor (A dan C) dalam form SGA ambigu
(tidak jelas). Secara umum jika skor A dan C tidak teridentifikasi secara
jelas pada hasil akhir, maka pasien dikategorikan dalam “status gizi
kurang” (Skor B), sedangkan jika pasien tidak memiliki gejala fisik
malnutrisi, tidak mengalami penurunan berat badan, tidak mengalami
penurunan intake makan, tidak mengalami gangguan fungsional tubuh
dan gejala gastrointestinal maka pasien tidak diindikasikan mengalami
malnutrisi (Well-Nourished) (Park, 2004).
Menurut Sakda (2004) kelebihan dari metode SGA adalah :
1. Mudah, praktis dan cepat dalam pelaksanaannya,

16
2. Sederhana, aman dan bersifat universal dimana dapat digunakan oleh
siapa saja,
3. Memprediksi risiko terjadinya komplikasi pada psien post operasi,
4. Dapat digunakan / dijangkau oleh profesi kesehatan yang lain,
5. Berbeda dengan pengukuran secara obyektif,
6. Dapat menggambarkan keadaan gizi masa lalu pasien, missal adanya
perubahan berat badan ataupun perubahan asupan zat gizi pasien
sebelum dirawat (Susetyowati, 2006)
Metode SGA juga mempunyai beberapa kelemahan diantaranya yaitu
kualitas data sangat tergantung dari kemampuan petugas mengumpulkna
data dalam berkomunikasi efektif dengan pasien. Namun kendala
tersebut dapat diminimalisir dengan meningkatkan ketrampilan petugas
melalui seringnya melakukan penilaian terhadap pasien. Selain itu
kelemahan lain dari SGA adalah tidak begitu sensitive untuk digunakan
dalam mengikuti perkembangan status gizi, hal ini berkaitan dengan
fungsi SGA yaitu sebagai alat deteksi dini malnutrisi (Sharma, 2004).
Dewasa ini SGA telah banyak digunakan di rumah sakit. Di
Indonesia SGA mulai digunakan di beberapa rumah sakit antara lain :
Sardjito, Sanglah, Hasan Sadikin, Cipto Mangunkusumo (Suharyati,
2006). Beberapa kelebihan SGA antara lain : mudah dilakukan, ekonomis,
tidak membutuhkan waktu yang lama (Suharyati, 2006), dapat
memebrikan gambaran keadaan gizi masa lalu pasien misalnya ada
perubahan berat badan ataupun perubahan asupan zat gizi pasien
sebelum dirawat (Yanti dan Wahyuni, 2005). Selain itu, SGA juga memiliki
nilai sensitifitas dan spesifisitas yang cukup baik yaitu 92,6 % dan 78 %
(Suharyati, 2006) (formulir skrining terdapat pada lampiran 8).

B. Nutritional Risk Screening 2002 (NRS-2002)

Nutritional Risk Screening (NRS-2002) dikembangkan pada tahun


2002 oleh Kondrup dkk dan ESPEN (European Society of Parenteral and
Enteral Nutrition). Pada saat itu, kedua tim tersebut bertujuan untuk
mengembangkan system skrining yang menggunakan analisis
retrospektif, dengan menggunakan subjek-subjek percobaan yang
dikondisikan / diatur, serta melihat dari karakteristik gizi dan manifestasi

17
klinis pada subjek-subjek tersebut. Alat skrining ini dikembangkan dengan
asumsi bahwa kebutuhan terhadap pengobatan gizi ditandai oleh tingkat
keparahan malnutrisi dan tingkat peningkatan akan asupan gizi yang
terjadi karena penyakit yang diderita tersebut (Kondrup, 2003).

Tujuan NRS-2002 adalah Untuk mendeteksi kehadiran dari kondisi


undernutrition dan risiko berkembangnya undernutrition tersebut pada
pasien di Rumah sakit. NRS-2002 berisi komponen-komponen nutrisional
yang ada dalam MUST, dan tambahan berupa tingkatan keparahan
penyakit yang merefleksikan kebutuhan zat gizi yang meningkat. Untuk
rumah sakit yang memiliki sedikit pasien yang berisiko ,Isi dari NRS-2002
termasuk 4 pertanyaan sebagai pre skrining. NRS-2002 dilakukan ketika
pasien masuk Rumah sakit dan dilakukan oleh staff medis dan perawat
(Kondrup, 2003).

Penerapan metode NRS 2002 ini ditujukan untuk pasien dewasa


dengan parameter : a. persentase kehilangan BB; b. persentase intake
kebutuhan per hari; c. keparahan penyakit; d. IMT; e. Usia pasien
(Kondrup, 2003). Langkah-langkah penggunaan skrining metode NRS-
2002 :
1. Mengisi tabel pertama (skrining awal) yang berisi pertanyaan tentang :
a. IMT
b. Kehilangan BB dalam 3 bulan terakhir
c. Penurunan asupan makan dalam minggu terakhir
d. Tingkat keparahan pasien
Jika terdapat jawaban “ya” untuk pertanyaan di tabel 1 maka skrining
pada tabel 2 perlu dilakukan
Jika jawaban “tidak” untuk semua pertanyaan, perlu dilakukan skrining
ulang pada minggu selanjutnya.
2. Mengisi tabel kedua (skrining lanjutan)
Skrining lanjutan dilakukan dengan memberikan skor pada kolom
gangguan status gizi dan tingkat keparahan penyakit, dimana skor 1-3
yang diberikan disesuaikan dengan tingkatan yang ada. Selanjutnya
mengklasifikasikan kriteria untuk risiko malnutrisi sesuai dengan skor
yang telah diberikan antara lain :

18
a. Jika skor ≥ 3 : pasien berisiko malnutrisi dan mulai diberikan asuhan
gizi
b. Jika skor < 3 : dilakukan skrining ulang pada minggu selanjutnya,
Jika pasien dalam penjadwalan untuk operasi besar maka rencana
asuhan gizi perlu dipertimbangkan untuk mecegah risiko lebih
lanjut.
c. Khusus untuk pasien lansia, total skor di atas ditambah 1 poin.
Tabel skrining lanjutan disajikan pada lampiran 9.

Kelebihan dari metode NRS-2002 antara lain :


1. Mudah menerapkan langkah-langkahnya
2. Tidak memerlukan waktu yang lama
3. Diaplikasikan khusus untuk golongan dewasa dan lansia
4. Skrining menyeluruh berdasarkan penggolongan jenis penyakit ke
dalam tabel skrining akhir
Kekurangan dari metode NRS-2002 antara lain :
1. List penyakit pada daftar terbatas
2. Tidak ada cut off BMI pada anak
3. Membutuhkan tenaga ahli untuk mengaplikasikannya
4. Kurang sensitif terhadap overnutrition
5. Hanya penyakit yang terdapat di list yang bisa di skrining
6. Tidak memiliki spesifikasi yang jelas dalam penentuan jenis penyakit
pada pertanyaan no 4 pada tabel skrining awal.

C. Malnutrition Screening Tool (MST)


Malnutrition Screening Tool (MST) merupakan alat skrining gizi
yang digunakan untuk mengidentifikasi malnutrisi maupun tidak malnutrisi
pada pasien. Alat skrining ini banyak digunakan untuk pemberian asuhan
gizi yang tepat pada pasien (Ferguson, 1999). MST merupakan alat
skrining yang dapat digunakan untuk pasien dewasa yang mengalami
penyakit akut dan telah divalidasi untuk digunakan pada pasien dalam
proses penyembuhan kanker (radioterapi dan kemoterapi), selain itu MST
juga digunakan untuk meningkatkan gizi dan asuhan gizi yang digunakan
sebagai perbaikan pelayanan kesehatan pada pasien dewasa (Isenring,
2006).

19
Tahapan melakukan skrining mengunakan MST adalah : a.
mengisi identitas pasien dan tanggal MRS serta tanggal Observasi; b.
melakukan penilaian dengan memberikan tanda ceklist (√) pada
pertanyaan 1 yang berupa perubahan BB dan pertanyaan kedua yang
berupa perubahan asupan makan pasien (Ferguson, 1999) (formulir
skrining terdapat pada lampiran 10). Kelebihan dari alat skrining MST
antara lain :
a. Cepat dan mudah dilakukan
b. Tidak membutuhkan biaya yang banyak
c. Lebih sensitive dan tingkat kehandalannya lebih banyak
d. Dapat digunakan oleh teknisi kesehatan lain
e. Tidak membutuhkan pengukuran antropometri dan biokimia.
Adapun kekurangan dari alat skrining ini antara lain :
a. Sulit digunakan pada pasien dengan kesulitan komunikasi seperti
delirium dimensia gangguan pendengaran dan latar belakang yang
memiliki bahasa berbeda.
b. Pertanyaan kurang mencakup dari risiko malnutrisi pasien.
c. Tidak dijelaskan perubahan BB dalam jangka waktu berapa.
d. Tidak memperhatikan jenis penyakit dan tingkat keparahannya.

C. Asuhan Gizi Rumah Sakit

Asupan zat gizi yang tidak sesuai kebutuhan sangat berkaitan


dengan peningkatan risiko penyakit maupun komplikasinya. Selain itu
terdapat kecenderungan peningkatan kasus malnutrisi. Hal ini
memerlukan asuhan gizi yang bermutu guna mempertahankan status gizi
yang optimal dan untuk mempercepat penyembuhan. Dukungan gizi yang
tepat juga dibutuhkan melalui pelayanan asuhan gizi terstandar dan
berkualitas oleh sumber daya manusia yang professional. Sejak tahun
2003, American Dietetic Association (ADA) menyusun Standarized
Nutrition Care Process (NCP). Proses ini merupakan suatu proses
terstandar, bukan asuhan terstandar. Tujuan NCP ini agar dietisien dapat
memberikan pelayanan asuhan gizi yang berkualitas tinggi, aman, efektif
serta hasil yang dicapai dapat diprediksi dan lebih terarah. NCP atau yang
dikenal sebagai PAGT (Proses Asuhan Gizi Terstandar) merupakan
struktur dan kerangka yang konsisten yang digunakan untuk memberikan
asuhan gizi dan menunjukkan bagaimana asuhan gizi dilakukan. Proses
tersebut mendukung dan mengarah pada asuhan gizi secara individual.

20
Dalam pengembangan NCP, ADA menyusun suatu model asuhan gizi
yang mencerminkan konsep-konsep kunci dari setiap langkah proses
asuhan gizi. Hubungan antara dietesien dengan pasien/klien menjadi
fokus dari model tersebut. Model ini juga mengidentifikasi berbagai faktor
lain yang mempengaruhi proses dan berkualitas pemberian asuhan gizi
(Djais dkk, 2014).
Menurut ADA (2006), NCP merupakan suatu metode pemecahan
masalah yang sistematis, dimana dietesien profesonal menggunakan cara
berpikir kritisnya dalam membuat keputusan untuk menangani berbagai
masalah yang berkaitan dengan gizi, sehingga dapat memberikan asuhan
gizi yang aman, efektif dan berkualitas tinggi. Proses tersebut hanya
dilakukan pada pasien / klien yang teridentifikasi risiko gizi atau sudah
malnutrisi dan membutuhkan dukungan gizi individual. Identifikasi risiko
gizi dilakukan melalui skrining / penapisan gizi, dimana metodenya
tergantung kondisi dan fasilitas setempat. Subjective Global Assessment
(SGA) merupakan contoh metode skrining yang dapat digunakan.
Dalam Pedoman Proses Asuhan Gizi Terstandar (Djais, 2014)
langkah-langkah dalam melakukan asuhan antara lain :
1. Pengkajian Gizi (Asessment Gizi)
Tujuan pengkajian gizi adalah untuk mengidentifikasi problem gizi dan
factor penyebabnya melalui pengumpulan, verifikasi dan interpretasi
data secara sistematis. Pengelompokan data pengkajian berdasarkan
kategori berikut : Riwayat gizi dengan kode FH (Food History),
Antropometri dengan kode AD (Anthropometry Data), Laboratorium
dengan kode BD (Biochemical Data), pemeriksaan fisik dengan kode
PD (Physical Data), dan riwayat klien dengan kode CH (Client
History). Data pengkajian gizi dapat diperoleh melalui interview /
wawancara , catatan medis, observasi serta informasi dari tenaga
kesehatan lain yang merujuk. Kategori data pengkajian antara lain :
a. Riwayat Gizi (FH)
Meliputi asupan makan (jenis, jumlah, total asupan, asupan
makronutrien, asupan mikronutrien, asupan bioaktif), cara
pemberian makan dan zat gizi,
pengetahuan/sikap/keyakinan/pemahaman tentang makanan,
aktivitas pasien terkait diet, factor yang mempengaruhi akses

21
terhadap makanan, serta aktivitas dan fungsi fisik seperti
menyusui.
b. Data Antropometri (AD)
Meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan, perubahan berat
badan, indeks masa tubuh, pertumbuhan dan komposisi tubuh.
c. Data Laboratorium (BD)
Meliputi keseimbangan asam basa, profil elektrolit dan ginjal, profil
asam lemak esensial, profil gastrointestinal, profil
glukosa/endokrin, profil inflamasi, profil laju metabolik, profil
mineral, profil anemia gizi, profil protein, protein urine dan profil
vitamin.
d. Pemeriksaan fisik (PD)
Evaluasi system tubuh, wasting otot dan lemak subkutan,
kesehatan mulut, kemampuan menghisap, menelan dan bernafas
serta nafsu makan.
e. Data riwayat klien (CH)
Merupakan informasi saat ini dan masa lalu mengenai riwayat
personal, medis, keluarga dan sosial. Data riwayat mencakup
personal, medis, keluarga dan sosial. Data riwayat klien tidak
dapat dijadikan tanda dan gejala (sign/symptoms) problem gizi
dalam pernyataan PES, karena merupakan kondisi yang tidak
berubah dengan adanya intervensi gizi.
2. Diagnosis Gizi
Diagnosis gizi sangat spesifik dan berbeda dengan diagnosis medis.
Bersifat sementara sesuai dengan respon pasien dan merupakan
masalah gizi spesifik yang menjadi tanggung jawab dietisien untuk
menanganinya. Cara menentukan diagnosis gizi adalah :
a. Melakukan integrasi dan analisis data assessmen dan menentuka
indicator asuhan gizi. Mengkombinasikan seluruh informasi dari
riwayat gizi, laboratorium, antropometri, status klinis dan riwayat
pasien secara bersama-sama.
b. Menentukan domain dan problem/masalah gizi berdasarkan
indikator asuhan gizi (tanda dan gejala). Penanaman masalah
dapat merujuk pada terminology diagnosis gizi.
c. Menentukan etiologi (penyebab problem)
d. Menulis pernyataan diagnosis gizi dengan format PES (Problem-
Etiologi-Sign and Symptoms)
Domain diagnosis gizi dikelompokkan dalam 3 domain yaitu : Domain
Asupan, Domain Klinis, dan Domain Perilaku-Lingkungan.

22
3. Intervensi Gizi
Intervensi adalah suatu tindakan terencana yang ditujukan untuk
merubah perilaku gizi, kondisi lingkungan, atau aspek status
kesehatan individu. Tujuannya adalah untuk mengatasi masalah gizi
yang teridentifikasi melalui perencanaan dan penerapannya terkait
perilaku, kondisi lingkungan atau aspek kesehatan individu, kelompok
atau masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi klien. Komponen
intervensi gizi meliputi Perencanaan dan Implementasi. Intervensi gizi
dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu sebagai berikut :
a. Pemberian makanan/diet (Kode Internasional ND / Nutrition
Delivery)
Terapi diet merupakan salah satu dari terapi non farmakologis
yang diterapkan di rumah sakit untuk menunjang kesembuhan
penyakit yang diderita oleh pasien rawat inap di rumah sakit.
Dalam pelaksanaannya di rumah sakit, layanan terapi diet atau
juga dikenal dengan asuhan gizi memerlukan keterlibatan dan
kerjasama yang erat antar berbagai profesi yang tergabung dalam
tim asuhan gizi seperti dokter, perawat, ahli gizi, farmakolog dan
ahli patologi klinik. Kerjasama antar berbagai profesi kesehatan
dalam tim asuhan gizi diperlukan dalam rangka upaya pemenuhan
zat gizi yang optimal. Upaya pemenuhan kebutuhan gizi untuk
pasien rawat inap dilakukan melalui pelayanan gizi dengan
penyediaan makanan atau diet (Almatsier, 2007).
b. Edukasi (Kode Internasional E / Education)
Edukasi gizi adalah suatu proses formal dalam melatih
ketrampilan atau membagi pengetahuan yang membantu pasien/
klien mengelola atau memodifikasi diet dan perilaku secara
sukarela untuk menjaga atau meningkatkan kesehatan. Edukasi
gizi yang diberikan pada saat intervensi gizi berupa informasi atau
pengetahuan gizi dengan tujuan untuk merubah pola pikir dan
pengetahuan klien atau pasien khususnya terkait dengan
makanan dan zat gizi.
Edukasi gizi menurut macamnya dibagi menjadi 2 meliputi
edukasi gizi awal atau singkat dan edukasi gizi secara
menyeluruh. Edukasi awal biasanya atau lebih umum diberikan
pada pasien rawat inap (bed side teaching), sedangkan edukasi

23
yang dilakukan secara menyeluruh atau mendalam lebih sering
digunakan oleh dietisien pada pasien rawat jalan di rumah sakit
maupun tempat pelayanan kesehatan lain dan masyarakat atau
puskesmas (Djais, 2014).
Menurut Gibney (2009), intervensi gizi melalui edukasi gizi
akan lebih besar kemungkinan efektif jika menggunakan strategi
edukasi yang memiliki keterkaitan langsung dengan perilaku
tertentu dan berasal dari teori serta hasil riset yang tepat. Perilaku
yang dimaksud yaitu misalnya mengenai diet atau pola makan dan
aktivitas fisik.
c. Konseling (C)

Konseling gizi adalah serangkaian kegiatan sebagai


proses komunikasi 2 arah untuk menanamkan dan meningkatkan
pengertian, sikap, dan perilaku sehingga membantu klien/pasien
mengenali dan mengatasi masalah gizi melalui pengaturan
makanan dan minuman. Kegiatan konseling ini bersifat
supportive process, ditandai dengan hubungan kerjasama antara
konselor dan pasien dalam menentukan prioritas, tujuan/ target,
merancang rencana kegiatan yang dipahami dan membmbing
kemandirian dalam merawat diri. Konseling gizi ini dilaksanakan
oleh ahli gizi atau nutritionis atau dietisien.
Kegiatan konseling gizi ini diawali dengan konselor
menginformasikan status gizi, data biokimia dan data klinis yang
berkaitan dengan masalah kesehatan dan gizi klien serta
menginformasikan kebiasaan makan dan asupan energi dan zat
gizi klien serta hasil diagnosis gizi. Konselor juga diharuskan
menjelaskan tujuan dan prisip diet yang dianjurkan kepada klien
atau pasien. Konseling tidak akan berhasil tanpa adanya
kesediaan dan komitmen dari klien atau pasien. Komitmen untuk
melakukan perubahan bukan hal yang mudah. Proses untuk
melakukan perubahan kebiasaan makan merupakan proses yang
tidak menyenangkan, sehingga konselor harus membantu pasien
atau klien untuk mengatasinya (Persagi, 2011).
d. Koordinasi asuhan gizi dengan anggota tim kesehatan lain

24
Kolaborasi merupakan suatu istilah umum yang sering
digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama
yang dilakukan pihak tertentu. Prinsip dari kolaborasi adalah
kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraaan, tanggung
jawab dan tanggung gugat. Kolaborasi tim kesehatan ini
melibatkan dokter sebagai ketua sekaligus penanggungjawab tim,
perawat, ahli gizi, fisioterapi, apoteker dan pekerja sosial. Tim
akan berfungsi baik jika terjadi adanya kontribusi dari anggota tim
dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik.
Kolaborasi dalam hal pelayanan kesehatan merupakan
proses kompleks yang membutuhkan pengetahuan yang
direncanakan dan menjadi tanggung jawab bersama untuk
merawat pasien. Kegiatan berkonsultasi, merujuk atau koordinasi
pemberian asuhan gizi dengan tenaga kesehatan atau institusi
lain yang dapat membantu dalam merawat atau mengelola
masalah yang berkaitan dengan gizi (Waluya, 2012).

4. Monitoring Evaluasi
Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kemajuan pasien dan
apakah tujuan atau hasil yang diharapkan telah tercapai. Hasil asuhan
gizi seyogyanya menunjukkan adanya perubahan perilaku dan atau
status gizi yang lebih baik. Kesimpulan hasil monitoring evaluasi
antara lain :
a. Aspek gizi : perubahan pengetahuan, perilaku, makanan dan
asupan, zat gizi
b. Aspek status klinis dan kesehatan : perubahan nilai laboratorium,
berat badan, tekanan darah, factor risiko, tanda dan gejala, status
klinis, infeksi, komplikasi, morbiditas dan mortalitas.
c. Aspek pasien : perubahan kapasitas fungsional, kemandirian
merawat diri sendiri.
d. Aspek pelayanan kesehatan : lama hari rawat.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan


studi crossectional. Pada penelitian ini peneliti akan akan menilai kesesuaian
metode skrining serta ketepatan penggunaan skrining berdasarkan
Subjective Global Asessment (SGA), Nutritional Risk Screening 2002 (NRS-
2002) dan Malnutrition Screening Tool (MST) dalam menentukan asuhan gizi
di Rumah Sakit Tentara Dr. Soepraoen Malang.

B. Tempat dan Waktu

1. Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Tentara Dr. Soepraoen Malang


2. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April s.d. Mei 2016

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat inap kelas
I, II, dan III kecuali pasien anak berjumlah 130 di RS Tentara Dr.
Soepraoen Malang.
2. Kriteria Subyek
Sasaran yang menjadi subyek penelitian ini dipilih sesuai dengan
kriteria inklusi sebagai berikut :
a. Pasien berusia ≥ 20 tahun.
b. Pasien dalam keadaan sadar dan mampu berkomunikasi.
c. Pasien tidak dalam keadaan gawat darurat, hamil, dan post partum.
d. Pasien bersedia dan dizinkan oleh pihak keluarga untuk dijadikan
subyek penelitian yang dibuktikan dengan lembar persetujuan pasien
3. Teknik Pengambilan Subyek
Dalam penelitian ini teknik pengambilan subyek yang digunakan
adalah Purposive Sampling, yaitu pengambilan subyek sesuai dengan
kriteria subyek dalam penelitian ini.

4. Besar Subyek
Subyek yang diambil dalam penelitian ini disesuaikan dengan
jumlah pasien yang memiliki kriteria untuk menjadi subyek. Berdasarkan
perhitungan besar sampel diketahui sebagai berikut :

26
n = N x Zα2 x p x q
d2 (N-1) + Zα2 x p x q
= 130 x 1,962 x 0,95 x 0,05
0,052 (129) + 1,962 x 0,95 x 0,05
= 23,72
0,32 + 0,182
= 23,72
0,5
= 47, 4 ≈ 50 orang
Keterangan :
n = Besar sampel
N = Besar populasi
p = Estimasi proporsi
q =1–p
Zα = Harga Kurva Normal sesuai (1,96)
d = Tingkat kesalahan antara terhadap populasi yang diinginkan
(0,05) (Nursalam, 2008)

D. Variabel Penelitian

1. Status Gizi berdasarkan Subjective Global Assessment (SGA).


2. Status Gizi berdasarkan Nutritional Risk Screening 2002 (NRS-2002).
3. Status Gizi berdasarkan Malnutrition Screening Tool (MST).

27
E. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3. Definisi Operasional Variabel Penelitian


Definisi Cara Satuan
No Variabel Skala
Operasional Pengukuran Pengukuran
1. Status Deteksi dini pada Wawancara Ordinal Skor A
Gizi pasien awal MRS dengan Skor B
berdasar untuk mengetahui form SGA Skor C
kan SGA risiko malnutrisi (Gibson, 2003)
terkait dengan
penyakit dengan
menggunakan form
SGA.
2. Status Deteksi dini pada Wawancara Ordinal Skor < 3
Gizi pasien awal MRS dengan Skor ≥ 3
berdasar untuk mengetahui form NRS- (Kondrup,
kan NRS- risiko malnutrisi 2002 2003)
2002 terkait dengan
penyakit dengan
menggunakan form
NRS-2002.

3. Status Deteksi dini pada Wawancara Ordinal Skor < 2


Gizi pasien awal MRS dengan Skor ≥ 2
berdasar dengan form MST. (Ferguson,
kan MST menggunakan form 1999)
MST untuk
mengetahui risiko
malnutrisi pada
pasien yang
digunakan RST Dr.
Soepraoen sebagai
Gold Standart.
4. Asuhan Pelayanan gizi yang Pengamatan Nominal -
Gizi berkualitas yang langsung
dilakukan oleh terhadap
tenaga gizi melalui hasil
serangkaian skrining dan
aktivitas yang rencana
terorganisir yang asuhan
meliputi identifikasi yang
kebutuhnan gizi diberikan
samapi pemenuhan
kebutuhan gizi.
(Djais dkk, 2014)

28
F. Jenis Data
1. Data Primer
a. Data karakteristik pasien meliputi usia dan jenis kelamin
b. Data tinggi badan dan berat badan pasien diukur secara langsung
c. Data status gizi berdasarkan SGA dengan melakukan wawancara
secara langsung pada pasien
d. Data status gizi berdasarkan NRS-2002 dengan melakukan
wawancara secara langsung pada pasien
e. Data status gizi berdasarkan MST dengan melakukan pengamatan dan
wawancara langsung pada pasien
f. Data rencana asuhan gizi dengan melakukan pengamatan langsung
2. Data Sekunder
a. Data diagnosis penyakit pasien diperoleh dari catatan rekam medis
b. Data pasien saat masuk rumah sakit yang diperoleh dari catatan ruang
rawat pasien

G. Instrumen Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, Instrumen Pengukuran data yang digunakan adalah


sebagai berikut :
1. Form Kesediaan menjadi Subyek Penelitian
2. Form kuesioner yang meliputi identitas dan karakteristik pasien meliputi
nama, alamat, jenis kelamin, umur, diagnosis penyakit, jenis terapi diet
yang diterima, tanggal masuk rumah sakit
3. Form penilaian status gizi berdasarkan SGA dan NRS-2002
4. Data rekam medik
5. Timbangan injak dan microtoise
6. Alat tulis dan Kalkulator
7. Laptop

H. Metode Pengumpulan Data


1. Data Karakteristik Pasien
Data ini meliputi identitas pasien yaitu usia, jenis kelamin, dan jenis
penyakit yang diderita pasien yang diperoleh dengan cara wawancara
langsung atau melihat data rekam medik pasien.
2. Status Gizi Awal berdasarkan metode SGA
Data status gizi awal berdasarkan metode SGA diperoleh dari hasil
wawancara secara langsung dengan pasien menggunakan form SGA.
3. Status Gizi Awal berdasarkan metode NRS-2002
Data status gizi awal dan akhir berdasarkan metode NRS-2002 diperoleh
dari hasil wawancara secara langsung dengan pasien menggunakan form
NRS-2002.
4. Status Gizi Awal berdasarkan metode MST

29
Data status gizi awal dan akhir berdasarkan metode MST diperoleh dari
hasil wawancara secara langsung dengan pasien menggunakan form
MST.
5. Asuhan Gizi
Data Rencana asuhan gizi yang diberikan rumah sakit diperoleh dari hasil
pengamatan terhadap hasil skrining yang dilakukan sebelum memberikan
terapi asuhan gizi.

I. Pengolahan, Penyajian dan Analisis Data


1. Data Karakteristik Pasien
Data karakteristik pasien yang meliputi :
Usia, jenis kelamin serta jenis penyakit yang diderita pasien selanjutnya
diolah dengan cara mengelompokkan pasien sesuai dengan usia, jenis
kelamin serta penyakit yang diderita. Data karakteristik pasien yang
meliputi usia, jenis kelamin dan jenis penyakit yang diderita kemudian
disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif.
2. Data status gizi awal berdasarkan SGA
Data status gizi awal berdasarkan SGA yang diperoleh dari hasil
wawancara dan pengukuran dengan menggunakan formulir SGA,
selanjutnya diolah dengan memberikan skor atau nilai setiap point
kemudian ditentukan status gizi pasien, dengan kriteria :
a. Skor A (gizi baik)
b. Skor B (gizi kurang)

c. Skor C (gizi buruk)


Data status gizi awal dan akhir berdasarkan SGA disajikan dalam bentuk
pie chart dan dianalisis secara deskriptif.
3. Data status gizi awal berdasarkan NRS-2002
Data status gizi awal berdasarkan NRS-2002 yang diperoleh dari hasil
wawancara dan pengukuran dengan menggunakan formulir NRS-2002,
selanjutnya diolah dengan memberikan skor atau nilai setiap point
kemudian ditentukan status gizi pasien, dengan kriteria :
a. Skor < 3 (tidak berisiko malnutrisi)
b. Skor ≥ 3 (risiko malnutrisi)
Data status gizi awal berdasarkan NRS-2002 disajikan dalam bentuk pie
chart dan dianalisis secara deskriptif.
4. Data status gizi awal berdasarkan MST
Data status gizi awal berdasarkan MST yang diperoleh dari hasil
wawancara dan pengukuran dengan menggunakan formulir MST,

30
selanjutnya diolah dengan memberikan skor atau nilai setiap point
kemudian ditentukan status gizi pasien, dengan kriteria :
a. Skor < 2 (tidak berisiko malnutrisi)
b. Skor ≥ 2 (risiko malnutrisi)
Data status gizi awal berdasarkan MST disajikan dalam bentuk pie chart
dan dianalisis secara deskriptif.
5. Kesesuaian Hasil Skrining berdasarkan SGA, NRS-2002, dan MST
Data hubungan kesesuaian hasil skrining berdasarkan metode SGA,
NRS-2002 dan MST diolah dan disajikan dalam bentuk tabel yang
selanjutnya dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji korelasi
Spearman dengan tingkat signifikan α=0,05. Dasar Pengambilan
Keputusan :
a. Jika nilai sig. < 0,05 maka, disimpulkan bahwa terdapat korelasi
kesesuaian yang signifikan
b. Jika nilai sig. > 0,05 maka, disimpulkan bahwa tidak terdapat
korelasi kesesuaian yang signifikan.
Selanjutnya disimpulkan berdasarkan kriteria tingkat hubungan
(koefisien korelasi) :
a. 0,00 – 0,20 , artinya : hampir tidak ada korelasi
b. 0,21 – 0,40 , artinya : korelasi rendah
c. 0,41 – 0,60 , artinya : korelasi sedang
d. 0,61 – 0,80 , artinya : korelasi tinggi
e. 0,81 – 1,00 , artinya : korelasi sempurna
J. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan
a. Studi pendahuluan mengenai jumlah pasien di RST Dr. Soepraoen
Malang
b. Pembuatan proposal penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pencarian pasien yang memenuhi kriteria subyek penelitian.
b. Subyek yang telah terpilih selanjutnya dilakukan proses penelitian
selama ± 3 hari untuk masing-masing subyek.
c. Proses penelitian yang dibantu oleh enumerik
3. Tahap Penulisan
Dilakukan setelah data terkumpul meliputi analisis data berdasarkan
variabel-variabel yang diteliti.

31
K. Etika Penelitian

Informed Consent
Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapat persetujuan etik dari Komisi
Etik Poltekkes Kemenkes Malang dengan nomor register 48/2016.

32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Pasien
Karakteristik pasien yang meliputi usia, jenis kelamin, dan diagnosis
penyakit disajikan pada tabel 4 :
Tabel 4. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, dan Diagnosis
Penyakit.
Jumlah Pasien
Karakteristik
n %
Usia (tahun)
 19 – 50 25 50
 >50 25 50
Jumlah 50 100
Jenis Kelamin
 Laki-laki 22 44
 Wanita 28 56
Jumlah 50 100
Diagnosis Penyakit
 Penyakit Dalam 34 68
(DM, Ca, Gastritis, GEA, DHF, Hipertensi,
Jantung, Chepalgia)
 Paru-paru 6 12
 Ginjal 6 12
 Tulang 4 8
Jumlah 50 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa usia pasien yang rawat inap terdiri dari usia
produktif (19-50 tahun) yaitu sebesar 50% dan usia lanjut (> 50 tahun) yaitu
sebesar 50%. Berdasarkan usia responden, 50 pasien yang dijadikan
sampel penelitian dapat berkomunikasi dengan baik, meskipun terdapat 7
pasien (14%) berusia lebih dari 70 tahun. Berdasarkan usia, pasien termuda
adalah usia 20 tahun dan pasien tertua adalah dengan usia 86 tahun.
Menurut Almatsier (2011), usia 19-49 tahun merupakan usia yang tergolong
dalam usia dewasa atau produktif, sedangkan usia 50-64 tahun tergolong
dalam usia setengah tua atau lanjut. Proses menua tersebut akan
mengakibatkan menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan tubuh
untuk mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap benda-benda asing, termasuk mikroorganisme penyakit

33
dan menurunnya kemampuan untuk memperbaiki kerusakan yang diderita.
Data responden disajikan pada lampiran 11.
Menurut Darmojo dan Martono (2000), usia lanjut akan membawa
penurunan fisik yang lebih besar dibandingkan periode-periode usia
sebelumnya. Semakin tua seseorang, kemungkinan akan mengidap
beberapa jenis penyakit atau keadaan sakit akan meningkat. Dijelaskan
pada penelitian Yenny (2006) menunjukkan bahwa penyakit digestif
merupakan penyakit terbanyak nomor 3 yang diderita oleh lansia serta
sebagian besar diderita oleh perempuan yaitu sebesar 47,2%. Demikian juga
menurut Almatsier (2011), manusia secara berangsur akan kehilangan daya
tahan terhadap infeksi dan akan semakin banyak mengalami gangguan
metabolik dan struktural yang dinamakan “penyakit degeneratif” seperti
hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus, kanker, stroke dan gagal jantung.
Jenis kelamin sebagian besar pasien adalah perempuan yaitu sebesar
56% dan 44% berjenis kelamin laki-laki. Karakteristik pasien berdasarkan
diagnosis penyakit menunjukkan sebagaian besar penyakit adalah dibagian
penyakit dalam yaitu sebesar 68%. Penyakit pasien terdiri dari penyakit
Diabetes Melitus (DM) dengan dan tanpa komplikasi, Kanker yang terdiri dari
kanker payudara dan kanker bulibuli dengan stadium awal, serta penyakit
dalam yang berkaitan dengan gangguan pencernaan. Menurut Gumiwang
(2009), jenis kelamin merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
beberapa jenis penyakit yang tergolong ke dalam jenis Penyakit Dalam. Hal
ini disebabkan karena perempuan lebih rentan mengalami permasalahan
pada saluran perncernaan daripada laki-laki. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian Faricha (2011) di RSUD Kanjuruhan yang menunjukkan bahwa 4
dari 5 pasien bedah digestif memiliki jenis kelamin perempuan dan sebagian
besar responden yaitu sebanyak 33% adalah responden dengan usia diatas
60 tahun.
Diagnosis penyakit lainnya terdiri dari paru-paru yaitu sebesar 12%,
ginjal sebesar 12% dan tulang sebesar 8%. Penyakit paru-paru yang paling
banyak diderita oleh pasien antara lain yaitu penyakit Koch Pulmonale (KP)
atau yang biasa dikenal dengan penyakit Tuberculosis (TBC). Menurut
Tabarani (1996), gejala umum yang menyertai pada pasien dengan
diagnosis TBC yaitu seperti demam hingga 40⁰C, batuk kering hingga batuk
berdahak, sesak napas, nyeri dada, batuk darah (hemoptoe), keringat

34
malam hari, nyeri otot, berat badan turun hingga terjadi penurunan nafsu
makan. TBC merupakan salah satu penyakit paru yang ditularkan oleh virus
melalui udara, sehingga penanganan perawatan yang dilakukan di RST dr.
Soepraoen adalah menempatkan penderita penyakit TBC ini dalam suatu
ruang perawatan khusus paru dan tidak dicampur dengan pasien yang
memiliki diagnosis penyakit selain paru. Perlakuan pemisahan pasien TBC
dengan penderita non TBC ini merupakan salah satu langkah pencegahan
yang efektif untuk menghindari penularan dan infeksi silang khususnya di
perawatan rumah sakit. Data hasil skrining pasien berdasarkan jenis
penyakit pasien disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil Skrining berdasarkan Jenis Penyakit Pasien
SGA NRS-2002 MST
No Karakteristik Pasien
M TM M TM M TM
1 Penyakit Dalam 23 11 11 23 21 13
2 Paru-paru 5 1 5 1 5 1
3 Ginjal 2 4 1 5 2 4
4 Tulang 2 2 0 4 2 2
Jumlah 32 18 17 33 30 20

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa penilaian dengan menggunakan 3


metode terdapat 2 metode yang memiliki kesamaan hasil skrining yaitu
metode SGA dan MST yang dapat dilihat dari 50 pasien yang dijadikan
subyek penelitian pada bagian penyakit dalam, paru, ginjal dan tulang,
kemudian dilakukan skrining dan memiliki hasil yang hampir sama dalam
kategori malnutrisi dan tidak malnutrisi. Namun, skrining dengan metode
NRS-2002 memiliki hasil yang berbeda khususnya pada pasien dengan
penyakit dalam, hal ini dapat disebabkan karena jenis penyakit tidak terdapat
pada daftar penyakit sehingga skor yang diberikan dikolom penilaian
keparahan penyakit 0, sehingga hasil akhirnya pasien dikategorikan dalam
keadaan tidak malnutrisi.
Penilaian skrining berdasarkan tiga metode yaitu SGA, NRS-2002 dan
MST bersifat subyektif dan obyektif. Penilaian subyektif pada SGA, NRS-
2002 dan MST adalah menilai tentang perubahan asupan makan dan
perubahan BB yang tidak diharapkan dalam waktu tertentu. Penilaian ini
sangat bergantung pada jawaban pasien yang diberikan saat dilakukan
skrining. Sedangkan penilaian obyektif pada masing-masing metode memiliki
perbedaan yaitu pada SGA, penilaian obyektif dilakukan dengan

35
memberikan skor pada poin perubahan fungsional tubuh dan faktor stress
yang berkaitan dengan jenis penyakit pasien, serta pemeriksaan fisik dengan
melihat fisik/tubuh pasien. Penilaian obyektif metode NRS-2002 adalah
menilai IMT pasien, jenis keparahan penyakit dan usia pasien, sedangkan
metode MST yang digunakan di RST dr.Soepraoen Malang memiliki
penilaian obyektif yaitu penambahan skor untuk pasien dengan kondisi
khusus. Penambahan skor diberikan sebanyak 2 poin, kondisi khusus
tersebut antara lain DM, CKD on HD, Jantung, Penyakit Hati kronis,
Hipertensi, Penurunan imunitas (HIV), CVA, Operasi mayor (eksplorasi
laparotomy dengan sekresi, operasi batu saluran kemih, batu empedu),
pasien ICU/PICU, pasien SCTP dengan hipoalbumin dan anemia, geriatric,
Ca dengan hipoalbumin dan anemia, Ca dengan kemoterapi serta luka bakar
> 50%.

B. Status Gizi Pasien Berdasarkan Subjective Global Assessment (SGA)


Penilaian status gizi pasien berdasarkan SGA memiliki 3 kriteria yaitu
status gizi baik, kurang dan buruk, namun akan dikriteriakan menjadi 2
kriteria yaitu malnutrisi untuk pasien dengan status gizi kurang dan buruk
dan tidak malnutrisi untuk pasien dengan status gizi baik. Penilaian
berdasarkan SGA terdiri dari 2 indikator penilaian yaitu secara subyektif dan
obyektif. Penilaian subyektif terdapat pada poin 1 hingga 4 antara lain
penilaian perubahan BB, perubahan asupan makan, adanya gejala
gastrointestinal serta perubahan fungsional tubuh. Penilaian obyektif
terdapat 2 penilaian yaitu diagnose pasien yang berkaitan dengan faktor
stress dan pemeriksaan fisik pasien yang berkaitan dengan kehilangan
lemak sub kutan, adanya edema dan ikterus. Status gizi pasien rawat inap
berdasarkan SGA di RST Dr. Soepraoen Malang disajikan pada gambar 2.

36
Gambar 2. Persentase Status Gizi Pasien Berdasarkan SGA

Gambar 2 menunjukkan status gizi pasien berdasarkan SGA terdiri dari


tidak malnutrisi sebesar 36% dan dengan risiko malnutrisi sebesar 64%.
Berdasarkan SGA pada penelitian ini diketahui bahwa pasien yang memiliki
memiliki risiko malnutrisi sebagian besar adalah pasien yang menderita
penyakit DM dengan atau tanpa komplikasi, kemudian pasien dengan
diagnosa medis chronic kidney disease (CKD), pasien dengan gangguan
pencernaan serta penyakit paru seperti bronchitis akut, TBC dan efusi
pleura. Sebuah penelitian yang dilakukan Novi (2006) menunjukkan bahwa
dua hal yang berpengaruh terhadap malnutrisi pada pasien rawat inap
adalah kondisi penyakit dan asupan makan, kondisi tersebut dikarenakan
porses penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi asupan makan,
meningkatkan kebutuhan, merubah metabolisme dan dapat terjadi
malabsorpsi. Menurut Planas (2005), berbagai penyakit yang berisiko tinggi
terjadi malnutrisi adalah hipermetabolisme, DM, gangguan fungsi ginjal,
gangguan fungsi hati, penyakit saluran cerna, keganasan, anoreksia
nervosa, anemia, luka bakar, geriatric dan penyakit kronis.
Penilaian Subjective Global Assessment (SGA) merupakan alat untuk
menilai status gizi pasien saat masuk rumah sakit sehingga berguna bagi tim
kesehatan (dokter dan ahli gizi) untuk merancang terapi diet yang tepat dan
sesuai dengan kebutuhan pasien sehingga dapat mengurangi kejadian
malnutrisi di rumah sakit. Kelebihan SGA adalah murah, praktis digunakan,
pelaksanaannya cepat serta dapat menyimpulkan skor status gizi. Menurut
Garcia (2010) SGA menjadi gold standart untuk menilai status gizi serta

37
memiliki sensitivitas, spesifisitas dan predictable yang tinggi serta telah
direkomendasikan penggunaannya oleh ASPEN (American Society for
Parenteral and Enteral Nutrition). Hasil penelitian Detsky (1984) mengatakan
bahwa SGA merupakan instrument terbaik dalam memprediksi komplikasi
infeksi dibandingkan albumin, transferrin, antropometri, tebal lemak,
hipersensitivitas, Creatinin High Index (CHI) dan prognoistic Nutritional Index
(PNI) dengan nilai sensitivitas 82% dan spesifisitas 72%.
Pada dasarnya penilaian SGA meliputi dua hal yaitu riwayat medis dan
pemeriksaan fisik. Berdasarkan pengamatan selama penelitian terdapat
beberapa kekurangan penggunaan metode SGA antara lain yaitu saat
mengajukan pertanyaan terhadap pasien, sebagian besar pasien tidak
mengetahui atau mengingat riwayat berat badan dan perubahan berat badan
sehingga data perubahan berat badan tidak bisa didapatkan secara valid.
Keakuratan data SGA yang diambil sangat ditentukan oleh petugas
(observer) dalam mengajukan pertanyaan terhadap pasien. Sesuai dengan
Sharma (2004) bahwa kelemahan SGA diantaranya yaitu kualitas data
tergantung dari kemampuan petugas mengumpulkan data dalam
berkomunikasi efektif dengan pasien. Hal ini menjadi salah satu kelemahan
SGA, yaitu perlu adanya petugas yang terlatih untuk dapat menerapkan
metode SGA. Kelemahan ketiga yang ditemukan pada saat penelitian adalah
penilaian obyektifitas yaitu penentuan skor faktor stress, meskipun dalam
menentukan faktor stress dapat dilihat dari keadaan umum pasien namun
dalam mengklasifikasikan dalam kategori ringan, sedang atau berat perlu
juga memperhatikan diagnosa primer pasien.
Penerapan metode skrining SGA dapat digunakan pada : a) seluruh
pasien dewasa dan lansia yang dapat berkomunikasi; b) pasien dengan
kondisi tidak dapat ditimbang seperti pasien DM dengan gangren pada kaki,
pasien post operasi, pasien yang menggunakan alat rekam jantung, pasien
dengan vertigo yang pusing saat berdiri, serta pasien dengan keadaan tidak
dapat berdiri karena fraktur kaki. Metode SGA juga memiliki kendala jika
diterapkan pada pasien : a) dengan gangguan komunikasi (tidak dapat
bicara dan mendengar); b) pasien dengan kesadaran menurun seperti apatis
dan somnolen; c) pasien geriatri dengan gangguan bahasa dan tidak ada
penunggu pasien.
C. Status Gizi Pasien Berdasarkan Nutrition Risk Score 2002 (NRS-2002)

38
NRS-2002 adalah metode skrining yang yang digunakan mendeteksi
kondisi undernutrition dan risiko berkembangnya undernutrition tersebut
pada pasien di Rumah sakit (Kondrup, 2003). Penilaian NRS-2002 meliputi 2
tahap yaitu skrining awal dan skrining lanjutan. Skrinig awal meliputi
penilaian obyektif yaitu pengukuran IMT dan keparahan penyakit serta
penilaian subyektif yaitu perubahan BB dan asupan makan. Selanjutnya
dilakukan skrining lanjutan jika terdapat lebih sari sama dengan satu
indikator dari skrining awal yang mengalami masalah, skrining lanjutan
tersebut meliputi penilaian subyektif yaitu persentase perubahan asupan
makan dan BB dan penilaian obyektof yang meliputi pengukuran IMT dan
tingat keparahan penyakit secara spesifik. Menurut Fine dalam Herawati
(2014) Skrining gizi bertujuan untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko
malnutrisi, tidak berisiko malnutrisi atau kondisi khusus, kondisi khusus yang
dimaksud adalah pasien dengan kelainan metabolic, hemodialisa anak,
geriatric, dengan kemoterapi atau radiasi, luka bakar, pasien dengan
imunitas dan sakit kritis. Status gizi pasien rawat inap berdasarkan NRS-
2002 di RST Dr. Soepraoen Malang disajikan pada gambar 3.

Gambar 3. Persentase Status Gizi Pasien Berdasarkan NRS-2002

Berdasarkan gambar 3 diketahui bahwa status gizi pasien berdasarkan


NRS-2002 terdiri dari malnutrisi dan tidak malnutrisi. Sebagian besar pasien
didapatkan status gizi tidak malnutrisi yaitu sebesar 68%, dan sisanya
memiliki status gizi malnutrisi yaitu sebesar 32%. Hal ini disebabkan karena
pada skrining gizi terdapat penilaian Index Masa Tubuh (IMT) sehingga berat

39
badan dan tinggi badan pasien sangat mempengaruhi penilaian, selanjutnya
tingkat keparahan atau jenis penyakit menjadi salah satu parameter dalam
menentukan skor, selain itu risiko status gizi yang berkaitan dengan
kehilangan BB yang tidak diharapkan karena pengaruh asupan makan serta
umur pasien juga menjadi penambah skor dalam menentukan status gizi
yaitu pasien dengan usia lebih dari 70 tahun. Dari hasil penelitian, 32%
pasien dengan status gizi malnutrisi disebabkan karena jenis penyakit yang
diderita memiliki tingkat keparahan dengan skor tinggi antara lain penyakit
DM, CVA, kelainan jantung, kanker, serta penyakit paru. Selain itu risiko
status gizi yang berkaitan dengan kehilangan BB yang tidak diharapkan dan
dapat dilihat dari IMT pasien juga terjadi pada pasien.
Pada penilaian dengan metode NRS-2002 telah memiliki 3 poin
pertanyaan yang sesuai untuk alat skrining. Kelebihan metode NRS-2002
adalah poin pertanyaan yang simple (sederhana), langkah-langkah penilaian
mudah diterapkan, dapat diaplikasikan untuk golongan dewasa dan lansia.
Pasien yang tergolong lansia (elderly) lebih berisiko mengalami malnutrisi
dibandingkan dengan pasien yang berusia < 60 tahun. Rauscher (1993)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendukung terjadinya malnutrition
pada golongan lansia antara lain terjadinya penurunan fungsi fisiologis
termasuk penurunan sintesis albumin dalam tubuh, keterbatasan fisik dan
morbilitas, ketidakcukupan asupan makanan terkait dengan penurunan
fungsi mekanis, faktor psikosial ekonomi yang mendukung terjaadinya
malnutrisi pada golongan lansia. Namun kekurangan dari metode NRS-2002
antara lain terdapat penilaian IMT dimana membutuhkan pengukuran BB
dan TB pasien, sedangkan untuk pasien yang tidak dapat ditimbang BB dan
diukur TB akan menghasilkan data yang kurang valid, selain itu penilaian
untuk tingkat keparahan penyakit hanya terdapat beberapa jenis penyakit
sehingga untuk beberapa jenis penyakit yang tidak tercantum akan
mengalami kesulitan untuk memberikan skor. Kekurangan yang lain yang
dimiliki oleh metode NRS-2002 adalah cut of poin untuk pasien dikategorikan
berisiko malnutrisi terlalu tinggi yaitu ≥ 3poin, sehingga pasien yang memiliki
hasil skrining dengan skor 2 jika menurut SGA dan MST dapat dikategorikan
malnutrisi tapi menurut NRS-2002 masih dalam kategori tidak malnutrisi.

40
Berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari metode NRS-2002, maka
dapat diinterpretasikan bahwa metode NRS-2002 dapat digunakan untuk : a)
pasien dalam keadaan sadar, dapat berkomunikasi dengan baik dan dapat
mobilisasi diluar tempat tidur; b) pasien yang dapat berdiri dan ditimbang
BB/TB untuk menentukan IMT; c) pasien ginjal dengan HD untuk memantau
perkembangan BB berkaitan dengan oedeme. Namun, metode NRS-2002 ini
tidak dapat digunakan untuk : a) pasien dengan keadaan tirah baring dan
tidak bias mobilisasi diluar tempat tidur; b) pasien dengan keadaan luka
bakar >50% dan dibagian tubuh pasien khususnya lengan dan kaki sehingga
tidak bias diukur untuk mengetahui BB estimasi pasien; c) pasien anak
karena tidak ada cut off point BMI pada anak.

D. Status Gizi Pasien Berdasarkan Malnutrition Screening Tools (MST)


Skrining gizi selama penelitian menggunakan metode yang diterapkan di
RST Dr. Soepraoen Malang yaitu MST Modifikasi dengan 3 pertanyaan.
Terdapat 2 indikator penilaian menggunakan MST Modifikasi yaitu subyektif
yang terdiri dari perubahan asupan makan dan perubahan BB serta
penilaian obyektif yaitu kondisi khusus pasien yang berkaitan dengan
diagnosa pasien. Status gizi pasien rawat inap berdasarkan MST di RST Dr.
Soepraoen Malang disajikan pada gambar 4.

Gambar 4. Persentase Status Gizi Pasien Berdasarkan MST

Berdasarkan gambar 4 dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil


skrining dengan metode MST didapatkan 34% pasien dengan kategori
malnutrisi dan 66% dengan kategori Tidak Malnutrisi. Didapatkan hasil
skrining dengan kategori malnutrisi lebih besar daripada tidak malnutrisi, hal
ini disebabkan karena penilaian yang menggunakan form skrining MST

41
modifikasi yang terdapat di RST dr. Soepraoen Malang bersifat subyektif dan
obyektif. Terdapat 3 pertanyaan yang terdiri dari 2 pertanyaan subyektif yaitu
perubahan asupan makan dan BB yang tidak diharapkan dan 1 pertanyaan
obyektif yaitu jenis penyakit pasien. Dari 60% pasien kategori malnutrisi
terdapat 16 pasien (32%) dengan kondisi khusus dan sisanya disebabkan
karena adanya gangguan nafsu makan dan perubahan BB yang tidak
diharapkan sehingga status gizi pasien cenderung berisiko malnutrisi dan
memerlukan asuhan gizi.
Menurut Herawati (2014) skrining gizi bertujuan untuk mengidentifikasi
pasien yang berisiko malnutrisi, tidak berisiko malnutrisi atau kondisi khusus.
Kondisi khusus yang dimaksud adalah pasien dengan kelainan metabolik,
hemodialisa anak, geriatrik, dengan kemoterapi atau radiasi, luka bakar,
pasien dengan imunitas, sakit kritis. Alat skrining dengan metode MST terdiri
dari 2 pertanyaan sederhana yaitu penurunan BB dan penurunan asupan
makan, namun yang diterapkan di RST dr.Soepraoen Malang telah
menggunakan metode MST modifikasi dengan tambahan poin tentang jenis
penyakit pasien. Sehingga hal ini sesuai dengan Herawati (2014) bahwa
sebagian besar alat skrining terdiri dari 3 pertanyaan dasar yaitu penurunan
BB, penurunan asupan makanan, keparahan penyakit. Menurut Planas
(2005), berbagai penyakit yang berisiko tinggi terjadi malnutrisi adalah
hipermetabolisme, DM, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati,
penyakit saluran cerna, keganasan, anoreksia nervosa, anemia, luka bakar,
geriatric dan penyakit kronis.
RST dr.Soepraoen Malang menerapkan alat skrining dengan
menggunakan metode MST modifikasi yang aplikasinya dilakukan oleh
perawat pada awal pasien masuk rumah sakit dalam 1x24 jam dan
selanjutnya dilakukan uji validasi oleh ahli gizi ruangan. Validasi hasil
skrining yang dilakukan oleh ahli gizi ruangan untuk menentukan asuhan gizi
berdasarkan jenis penyakit pasien dan keadaan fisiologis pasien. Perbedaan
hasil penilaian merupakan salah satu kelemahan metode MST, yaitu tidak
terdapat parameter khusus untuk menentukan status gizi pasien seperti jenis
penyakit ataupun IMT sebagai parameter obyektif. Namun, karena aplikasi di
RST dr.Soepraoen Malang telah menggunakan metode MST modifikasi yang
memperhitungkan jenis penyakit (kondisi khusus pasien) sebagai parameter

42
obyektif maka penggunaan metode ini dapat di aplikasi dengan baik.
Menurut Herawati (2014) Di Indonesia alat skrining gizi MST sudah
digunakan di rumah sakit yang sudah terakreditasi Versi JCI seperti RSCM
Jakarta dan RSUP Sanglah.
Penerapan metode skrining MST dapat digunakan pada : a) seluruh
pasien dewasa dan lansia yang dapat berkomunikasi; b) pasien dengan
kondisi tidak dapat ditimbang seperti pasien DM dengan gangren pada kaki,
pasien post operasi, pasien yang menggunakan alat rekam jantung, pasien
dengan vertigo yang pusing saat berdiri, serta pasien dengan keadaan tidak
dapat berdiri karena fraktur kaki. Metode MST juga memiliki kendala jika
diterapkan pada pasien : a) dengan gangguan komunikasi (tidak dapat
bicara dan mendengar); b) pasien dengan kesadaran menurun seperti apatis
dan somnolen; c) pasien geriatri dengan gangguan bahasa dan tidak ada
penunggu pasien.

E. Kesesuaian Hasil Skrining Berdasarkan SGA dan MST


Perbandingan kesesuaian hasil skrining dengan metode SGA dan MST
disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Kesesuaian hasil skrining berdasarkan SGA dan MST
MST
SGA Total
Tidak Malnutrisi % Malnutrisi %
Tidak Malnutrisi 14 28 4 8 18
Malnutrisi 6 12 26 52 32
Total 50

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa hasil skrining dengan


metode SGA dan MST terdapat 80% atau sebanyak 40 pasien yang
mempunyai kesesuaian hasil, sedangkan 20% (10 pasien) tidak terdapat
kesesuaian hasil. Selanjutnya dilakukan uji statistik menggunakan uji
Spearman dimana diperoleh nilai signifikan < 0,05 yang berarti terdapat
kesesuaian hasil. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,595 yang dapat
disimpulkan memiliki korelasi tingkat sedang. Analisis uji statistik disajikan
pada lampiran12. Berdasarkan kesesuaian hasil dapat diinterpretasikan
bahwa kedua metode tersebut yaitu SGA dan MST dapat terapkan sesuai
dengan kebutuhan rumah sakit dan dapat saling menggantikan jika salah
satu metode tidak dapat diterapkan.
Metode skrining SGA dan MST modifikasi yang diterapkan di RST dr.
Soepraoen Malang memiliki sifat yang sama yaitu subyektif dan obyektif.

43
Kelemahan SGA yang ada adalah membutuhkan waktu yang lebih lama jika
dibandingkan MST. Namun SGA dan MST memiliki kelemahan yang sama
yaitu tidak bisa diterapkan untuk pasien yang kesulitan dalam berkomunikasi
dan tidak ada keluarga yang mendampinginya. Sedangkan kelebihan MST
adalah waktu yang dibutuhkan lebih singkat karena pertanyaan yang sedikit,
tidak bergantung pada nilai antropometri dan nilai laboratorium.
Menurut Detsky (1984) SGA merupakan baku emas (gold standart)
untuk menilai status gizi sebagai instrumen prognostik untuk memprediksi
outcome klinis dari pada instrumen diagnostik. Alasan SGA menjadi gold
standart karena beberapa metode skrining menggunakan SGA sebagai
acuan, diantaranya MST dengan nilai sensitivitas sebesar 67,7% dan
spesifisitas sebesar 88,3%.
F. Kesesuaian Hasil Skrining Berdasarkan NRS-2002 dan MST
Perbandingan kesesuaian hasil skrining dengan metode NRS-2002 dan
MST disajikan pada tabel 7.
Tabel 7. Kesesuaian hasil skrining berdasarkan NRS-2002 dan MST
MST
NRS-2002 Total
Tidak Malnutrisi % Malnutrisi %
Tidak
19 38 14 28 33
Malnutrisi
Malnutrisi 1 2 16 32 17
Total 50

Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa sebesar 70% atau sebanyak 35


pasien memiliki kesesuaian hasil, dan sebesar 30% atau sebanyak 15
pasien memiliki hasil yang tidak sesuai. Setelah dilakukan uji statistic
menggunakan Spearman didapatkan nilai signifikan < 0,05 dan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,473. Dapat disimpulkan bahwa terdapat
kesesuaian hasil antara metode NRS-2002 dan MST dengan nilai korelasi
sedang. Hal ini disebabkan karena metode NRS-2002 dan MST sama-sama
memiliki sifat subyektif dan obyektif, hanya jenis dan jumlah pertanyaan
obyektif saja yang berbeda. Jika NRS-2002 menghitung nilai IMT pasien,
tingkat keparahan dan usia pasien, maka MST modifikasi yang diterapkan di
RST dr. Soepraoen Malang menilai jenis penyakit pasien atau pasien
dengan kondisi khusus untuk menambahkan skor sehingga dapat
disimpulkan pasien berisiko malnutrisi atau tidak malnutrisi.

44
Hasil analisis dari 11 alat skrining gizi oleh American Dietetic
Association (ADA), didapatkan NRS-2002 merupakan alat skrining gizi yang
terbaik yaitu grade I dan alat skrining MST termasuk grade II (Ferguson,
2012). Selanjutnya setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas alat skrining
terhadap parameter status gizi, lama rawat inap dan status pulang didapatan
hasil metode NRS-2002 merupakan alat skrining yang valid untuk pasien
bedah (Almeida, 2012). Hal ini disebabkan alat skrining NRS-2002
merupakan alat skrining dengan penilaian yang subyektifitas namun juga
memperhatikan faktor obyektifitas yaitu IMT, keparahan penyakit serta usia
pasien. Meskipun MST merupakan alat skrining grade II menurut Ferguson,
namun pada penerapan skrining dengan petugas adalah perawat maka MST
modifikasi dapat direkomendasikan untuk digunakan sebab lebih sederhana,
singkat dan mudah diaplikasikan oleh tenaga kesehatan selain ahli gizi.

G. Kesesuaian Hasil Skrining Berdasarkan SGA dan NRS-2002


Tabel 8. Kesesuaian hasil skrining berdasarkan SGA dan NRS-2002
NRS-2002
SGA Total
Tidak Malnutrisi % Malnutrisi %
Tidak
16 32 2 4 17
Malnutrisi
Malnutrisi 18 36 14 28 33
Total 50

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa sebesar 60% atau sebanyak


30 pasien yang memiliki kesesuaian hasil skrining berdasarkan SGA dan
NRS-2002, dan sebaliknya sebesar 40% atau sebesar 20 pasien memiliki
ketidaksesuaian hasil. Hasil uji satistik menggunakan Spearman didapatkan
nilai signifikan < 0,05 dan nilai koefisien korelasi sebesar 0,461 yang artinya
terdapat kesesuaian hasil dengan nilai korelasi yang sedang. Hal ini
disebabkan karena terdapat perbedaan penilaian pada skrining, selain itu
cut of point penilaian yang menyebabkan hasil skrining berbeda. Menurut
Ferguson (2013) terdapat hubungan yang signifikan antara metode NRS-
2002 dengan SGA.
Jika NRS-2002 dibandingkan dengan SGA sebagai gold standart maka
NRS-2002 dapat direkomendasikan untuk digunakan sebagai alat skrining.
NRS-2002 dapat digunakan sebab penilaiannya bersifat subyektif dan
obyektif, dimana NRS-2002 memperhitungkan penilaian IMT, keparahan

45
penyakit dan usia pasien. Sehingga hasil yang diapatkan akan lebih spesifik
pada keadaan pasien.

46
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Skrining gizi berdasarkan Subjective Global Assessment (SGA) sebagian
besar (64%) dalam kategori malnutrisi (kurang dan buruk). Berdasarkan
Nutritional Risk Screening 2002 (NRS-2002) sebagian besar (68%) dalam
kategori tidak malnutrisi. Sedangkan berdasarkan Malnutrition Screening
Tool (MST) sebagian besar (60%) dalam ketegori malnutrisi.
2. Terdapat kesesuaian hasil skrining metode SGA, NRS-2002 dan MST
dengan nilai sign < 0,05, koefisien korelasi SGA dan MST 0,595 (korelasi
sedang), koefisien korelasi NRS-2002 dan MST 0,473 (korelasi sedang),
koefisien korelasi SGA dan NRS-2002 0,461 (korelasi sedang).
3. Metode skrining dengan Subjective Global Assessment (SGA) dan
Malnutrition Screening Tool (MST) dapat diterapkan pada pasien yang
sama yaitu : a) seluruh pasien dewasa dan lansia yang dapat
berkomunikasi; b) pasien dengan kondisi tidak dapat ditimbang seperti
pasien DM dengan gangren pada kaki, pasien post operasi, pasien yang
menggunakan alat rekam jantung, pasien dengan vertigo yang pusing saat
berdiri, serta pasien dengan keadaan tidak dapat berdiri karena fraktur
kaki. Metode SGA dan MST juga memiliki kendala jika diterapkan pada
pasien : a) dengan gangguan komunikasi (tidak dapat bicara dan
mendengar); b) pasien dengan kesadaran menurun seperti apatis dan
somnolen; c) pasien geriatri dengan gangguan bahasa dan tidak ada
penunggu pasien.
4. Metode NRS-2002 dapat diterapkan pada : a) pasien dalam keadaan
sadar, dapat berkomunikasi dengan baik dan dapat mobilisasi diluar tempat
tidur; b) pasien yang dapat berdiri dan ditimbang BB/TB untuk menentukan
IMT; c) pasien ginjal dengan HD untuk memantau perkembangan BB
berkaitan dengan oedeme. Namun, metode NRS-2002 ini tidak dapat
digunakan untuk : a) pasien dengan keadaan tirah baring dan tidak bias
mobilisasi diluar tempat tidur; b) pasien dengan keadaan luka bakar >50%
dan dibagian tubuh pasien khususnya lengan dan kaki sehingga tidak bisa
diukur untuk mengetahui BB estimasi pasien; c) pasien anak karena tidak
ada cut off point BMI pada anak.

B. Saran

47
1. Alat skrining yang tepat digunakan adalah
MST Modifikasi dan SGA karena kedua metode memiliki indikator penilaian
yang sederhana namun sudah dapat menggambarkan masalah gizi yang
mengakibatkan malnutrisi.
2. Perlu adanya kajian lebih dalam tentang alat
skrining NRS-2002 sehingga bisa digunakan sebagai alat skrining yang
mudah dan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan selain ahli gizi.
3. Perlu peningkatan ketrampilan dalam
menggunakan alat skrining gizi khususnya petugas perawat yang
melakukan skrining pada pasien baru sehingga didapatkan hasil penapisan
yang valid dan dapat memberikan asuhan gizi yang maksimal serta sesuai
dengan kebutuhan pasien.

48
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita.2007. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta : Gramedia Pustaka


Utama.
Almatsier, Sunita.2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Bruun LI, Bosaeus, Bergstad, Nyagaard. Prevalence of malnutrition in Surgical
patients : Evaluation of nutritional support and documentation. Clin Nutr
2004: 18(3) : 141-147
Charney, P, 2009. ADA Pocket Guide to Nutrition Assessment , American Dietetic
Associati. Available at : http://books.google.com/books?
id=gP2Bc7XKLxoC&pgis=1 Diakses tanggal 18 Desember 2015.
Cinda S. Barco K, Dewitt MA, Maeda M. Relitionship of nutritional status to
length of stay, hospital costs, and discharge status patients hospitalized in
the medicine service. J Am Diet Association 2003;03:975-978
Corish CA. Pre-operative nutritional assessment. Proc Nutr Soc 2004;03:821-9
Correia MI, Campos AC. Prevalence of hospital malnutrition in Latin America: the
multicenter ELAN study. Nutrition 2003;19(10):823-825.
Covened, Fall. 2007. The Nutrition Care Process : Driving Effective Intervention
and Outcomes. ADA Screening Evidence Analysis Work Group
Daldiyono dan Ari Fahrial Syan. 2009. “ Dasar-dasar Nutrisi Klinik pada Proses
Penyembuhan Penyakit ” dalam Sudoyo, Aru W, et al (Eds). Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Internal Publishing
Detsky AS, McLaughlin JR, Baker JP. 1987. What is Subjective Global
Assessment of Nutritional Status? USA:Journal of Parenteral and Enteral
Nutrition.
Julistio dr., Sumapradja, Kresnawan, Syaiful, Irianto, Iwaningsih, dkk. 2014.
Pedoman Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT). Jakarta : Kementerian
Kesehatan Indonesia
Fine B. Nutrition Assessment. (Online).
http://www.uic.edu/depts/mcam/nutrition/pdf/nutrition_assessment.pdf
Gibney. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat.Jakarta:EGC.
Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New Zealand :
Oxford University Press.
Hartono, Andry. 2006. Terapi Gizi & Diet Rumah Sakit.Jakarta:EGC.
Herawati, Triwahyuni, Alamsyah Arief,. 2014. Nutrition Screening Method in
Hospital with MST is More Effective than SGA. Jurnal Gizi Indonesia
J Bauer, S Capra and M Ferguson. 2004. Use of The Scored Patient Generated
Subjective Global Assessment (PG SGA) As a Nutrition Assessment Tool in

49
Patient Cancer. European Journal of Clinical Nutrition (2004) 56, 779–785.
(www.nature.com/ejcn).
Kondrup J, Allison SP, Elia M et al. ESPEN Guidelines for Nutrition Screening
2002. Clin Nutr 2003;22(4):415-421.
Kondrup J, S.P. Allison, M. Elia, B. Vellas, M. Plauth. ESPEN Guidelines for
Nutrition Screening 2002. Clinical Nutrition (2003) 22(4) : 415-421
Kondrup J,Rasmussen HH, Hamberg O,Stanga Z, Nutritional Risk Screening
(NRS 2002) : anew methods based on a analisys of controlled clinical trial.
Clinical Nutrition 2003;22 :321/36
Kondrup, J, 2003. ESPEN Guidelines for Nutrition Screening 2002. Clinical
Nutrition, 22(4), pp.415 available at :
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0261561403000980 Diakses
tanggal 18 Desember 2015.
Lipoeto, Nur Indrawaty. Novi Megasari dan Andani Eka Putra. 2006. Malnutrisi
dan Asupan Kalori pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. Fakultas
Kedokteran. Universitas Andalas Padang available at :
http://sangrelawan.blogspot.com//asupan-makan-pada-pasienrawatinap.html
diakses pada tanggal 14 Oktober 2015
Mansjoer, Arif dan Marcellus Simadibrata K. 2009.” Dukungan Nutrisi Pada
Penyakit Kritis”. Dalam Sudoyo,Aru W, et.al.(Eds.).Ilmu Penyakit
Dalam.Jakarta: InternaPublishing.
Mansjoer, Arif dan Marcellus Simadibrata K. 2009.” Dukungan Nutrisi Pada
Penyakit Kritis”. Dalam Sudoyo,Aru W, et.al.(Eds.).Ilmu Penyakit
Dalam.Jakarta: Internal Publishing.
Megasari, Novi, dkk.2006 Malnutrisi dan Asupan Kalori Pada Pasien Rawat Inap
Di Rumah Sakit. Majalah Kedokteran Indonesia, volume 56, edisi 11.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Penerbit Salemba Media
Persagi. 2011. Penuntun Konseling Gizi. Jakarta: Abadi Publishing & Printing.
Park J. 2004 . Subjective Global Assessment of Nutrition Dialysis Patients. Italia :
Oxford Journals, volume 8, edisi 10.
Rauscher, C. Malnutrition Among The Elderly. Candian Family Physcian.
1993;39:1395-1403.
Sandjaja, dkk.2009. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga.
Jakarta:Kompas.
Setiati, Sitidan Rose Dinda. 2009. “Malnutrisi Di Rumah Sakit”. Dalam
Sudoyo,Aru W, et.all.(Eds.).Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: InternaPublishing.
Septian, Asep Feri Deni. 2013. Hubungan Status Gizi Berdasarkan Subjective
Global Assessment (SGA) dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Status
Pulang pada Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Gambiran
Kota Kediri. Malang : Skripsi Poltekkes Kemenkes Malang

50
Sjamsuhidayat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.
Soediaoetama, Acdmad djaeni. 2006. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi
Jilid I. Jakarta : Dian Rakyat.
Soegih, R. 1998. Pola Penanganan Kasus Gizi di Puskesmas dan Rumah Sakit
Kapita Selekta Nutrisi Klinik. Jakarta : Perhimpunan Nutrisi Enteral dan
Parenteral Indonesia.
Suharyati. 2006. Hubungan Asupan Makan dengan Status Gizi Pasien Dewasa
Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jakarta.
Universitas Indonesia
Sukmaniah. 2004. Malnutrition facts and the importance of nutrition screening
and assessment. Proceeding in International Symposium on Nutrition and 6th
Asia Pasific Clinical Nutritional Society Conference. Makassar, October 10-
13rd 2009
Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta:EGC.
Suparyanto. 2010. Diabetes Melitus (Kencing Manis).www.dr-
suparyanto.blogspot.com, diakses 19 November 2015
Susetyowati, dkk. 2010. Status Gizi Awal Berdasarkan Patient Generated
Subjektive Global Assessment (PG-SGA) Berhubungan Dengan Asupan Zat
Gizi Dan Perubahan Berat Badab Pada Penderita Kanker Rawat Inap Di
RSUP DR. Mohammad Hoesin Palembang._______ : Jurnal Gizi Klinik
Indonesia, Volume 7 No. 2.
Syam, Ari Fahrial. 2009. “ Malnutrisi” Dalam Sudoyo,Aru W, et.al.(Eds.).Ilmu
Penyakit Dalam.Jakarta: InternaPublishing.
Syamsiatun, Nurul Huda. 2004. Hubungan Antara Status Gizi Awal Dengan
Status Pulang Dan Lama Rawat Inap Pasien Dewasa Di Rumah Sakit.____:
Jurnal Gizi klinik Indonesia, Volume 1 No. 1.
Van Bokhorst-de van der Schueren MA, Guaitoli PR, Jansma EP et al. Nutrition
screening tools: does one size fit all? A systematic review of screening tools
for the hospital setting. Clin Nutr 2014;33(1):39-58.5
Waluya, Nandang Ahmad. 2012. Trend Dan Issue Keperawatan Pelaksanaan
Kolaborasi Perawat-Dokter. Palembang : Universitas Sriwijaya.
Ward N. 2003. Nutritional support to patients undergoing gastrointestinal surgery.
Nutrition journal 2003, 2 availabel at :
http://www.nutritionj.com/comten/2/1/18 diakses pada tanggal 20 Oktober
2015
Widiantoro. 2010. Penurunan Status Gizi Pasien Rawat Inap Masih Terjadi.
Jakarta: Kompas.

51
Ferguson M, Capra S, Bauer J, Banks M. Development of a valid and reliable
malnutrition screening tool foradult acute hospital patients. Nutrition 1999;
Vol 15, No 6: 458-464. Available at :
https://www.scribd.com/doc/82267985/Laporan-Pbl-Klinik-Kelompok-E-
Skenario-1 diakses pada tanggal 12 Desember 2015.
Isenring I. Validity of the Malnutrition Screening tool as an effective predictor
of nutritional risk in oncology outpatients receiving chemotherapy. Supportive
Care in Cancer 2006. Vol 14, No 11: 1152-1156. Available at :
https://www.scribd.com/doc/82267985/Laporan-Pbl-Klinik-Kelompok-E-
Skenario-1 diakses pada tanggal 12 Desember 2015.

52
DAFTAR LAMPIRAN

53
Lampiran 1. Form Ethical Clearance

54
Lampiran 2. Form Penjelasan Subjek Penelitian

Kesesuaian Penggunaan Subjective Global Assessment (SGA), Nutritional


Risk Screening 2002 (NRS-2002), dan Malnutrition Screening Tool (MST)
sebagai Alat Skrining dalam Menentukan suhan Gizi di Rumah Sakit Tentara
Dr. Soepraoen Malang
Rincian Informasi kepada Calon Responden

Responden yang terhormat,


Perlu diketahui bahwa, Malnutrisi merupakan suatu keadaan gizi kurang
atau gizi lebih karena asupan zat gizi di bawah atau diatas kisaran asupan yang
dianjurkan dalam waktu yang lama. Malnutrisi umumnya disebabkan karena
kondisi pasien yang sedang menderita penyakit tertentu sehingga mempengaruhi
asupan makanan.
Berdasarkan hal tersebut, Skrining gizi perlu dilakukan untuk mendeteksi
dini kejadian malnutrisi pada pasien rawat inap di rumah sakit, akan tetapi dalam
penerapannya hal tersebut masih kurang diperhatikan ketepatan dari segi
metode skrining di beberapa rumah sakit. Tujuan dari skrining gizi sendiri adalah
untuk menentukan seseorang berisiko malnutrisi atau tidak, mengidentifikasi
individu yang membutuhkan terapi gizi segera, mencegah agar seseorang yang
masih sehat tidak menderita masalah gizi, dan menghindari komplikasi lebih
lanjut jika seseorang telah menderita masalah gizi.
Semua informasi yang kami peroleh dari anda akan dirahasikan dan
digunakan untuk keperluan penelitian semata. Tidak terdapat manfaat secara
langsung bagi anda sebagai responden. Oleh karena itu, keikut sertaan anda
dalam penelitian ini bersifat sukarela dan anda dapat mengundurkan diri
sewaktu-waktu selama penelitian berlangsung. Jika anda mengalami kesulitan,
peneliti akan membantu menjelaskan tentang penelitian ini kepada anda. Jika
anda setuju untuk menjadi responden dalam penelitian ini, silahkan melengkapi
dan menandatangi pada formulir lembar persetujuan responden yang ada di
halaman berikutnya. Kami berharap anda dapat berpartisipasi dalam penelitian
ini. Sebelumnya kami mengucapkan terimakasih.

Hormat kami,

Vanny Mahendra Pratiwi, Amd. Gizi


Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang

55
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara secara langsung
kepada responden. Selain itu juga akan dilakukan pengukuran berat badan dan
tinggi badan responden. Mohon berikan tanda centang (√) bila anda bersedia
menjadi responden kami. Untuk lebih jelasnya proses penelitian akan dijelaskan
satu demi satu dibawah ini:

Kegiatan skrining melalui wawancara secara langsung kepada responden


Kuesioner skrining yang akan diberikan kepada responden ada 2 yaitu
menggunakan metode SGA dan NRS-2002. Butir pertanyaan pada kedua
kuesioner secara umum sama yaitu menanyakan tentang perubahan asupan
makan, perubahan berat badan dan keadaan pasien terkait dengan penyakit.
Skrining akan dilakukan dalam waktu 2x24 jam pada pasien yang baru masuk.
Proses skrining berlangsung selama kurang lebih 15 menit.

Pengukuran Berat badan dan Tinggi badan


Pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk menentukan Indek Masa Tubuh
(IMT) dilakukan secara langsung dengan menggunakan timbangan digital dan
microtoise.

56
Lampiran 3. Informed Consent

KESESUAIAN PENGGUNAAN SUBJECTIVE GLOBAL ASSESSMENT (SGA),


NUTRITIONAL RISK SCREENING 2002 (NRS-2002) DAN MALNUTRITION
SCREENING TOOL (MST) SEBAGAI ALAT SKRINING DALAM
MENENTUKAN ASUHAN GIZI DI RUMAH SAKIT TENTARA DR. SOEPRAOEN
MALANG

(INFORMED CONSENT)

Pendahuluan
Prevalensi malnutrisi pada pasien rawta inap di rumah sakit masih relatif
tinggi. Dimana keadaan malnutrisi pada pasien yang menjalani rawta inap di
rumah sakt juga akan mengakibatkan masa rawat inap 90% lebih panjang
dibandingkan dengan tanpa malnutrisi rumah sakit. Skrining gizi perlu dilakukan
untuk mendeteksi dini kejadian malnutrisi pada pasien rawat inap di rumah sakit,
akan tetapi dalam penerapannya hal tersebut masih kurang diperhatikan
ketepatan dari segi metode skrining di beberapa rumah sakit. Tujuan dari skrining
gizi sendiri adalah untuk menentukan seseorang berisiko malnutrisi atau tidak,
mengidentifikasi individu yang membutuhkan terapi gizi segera, mencegah agar
seseorang yang masih sehat tidak menderita masalah gizi, dan menghindari
komplikasi lebih lanjut jika seseorang telah menderita masalah gizi. Metode
skrining yang digunakan dirumah sakit pada umumnya adalah subyektif yaitu
menanyakan langsung kepada pasien adanya risiko malnutrisi. Namun, tidak
semua metode skrining cara subyektif mengandung pertanyaan yang dapat
mencakup risiko malnutrisi. Untuk itu, akan dilakukan penelitian tentang metode
skrining menggunakan SGA, NRS-2002, dan MST untuk mengetahui metode
skrining mana yang lebih tepat untuk mendeteksi risiko malnutrisi dan pemberian
asuhan gizi pada pasien rawat inap yang baru masuk rumah sakit.

Judul Penelitian
KESESUAIAN PENGGUNAAN METODE SUBJECTIVE GLOBAL
ASSESSMENT (SGA), NUTRITIONAL RISK SCREENING 2002 (NRS-2002),
MALNUTRITION SCREENING TOOL (MST) SEBAGAI ALAT SKRINING DALAM
MENENTUKAN ASUHAN GIZI DI RUMAH SAKIT TENTARA DR. SOEPRAOEN
MALANG.

57
Institusi dan Peneliti
Prodi Diploma IV Gizi Alih Jenjang Politekik Kesehatan Kemenkes Malang
Peneliti : Vanny Mahendra Pratiwi
Metode Penelitian
Subyek yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah semua pasien baru yang
dirawat di kelas I, II, dan III di Rumah Sakit Tentara Dr. Soepraoen Malang. Akan
dilakukan wawancara serta dilakukan penimbangan berat badan dan tinggi
badan terhadap pasien untuk menentukan IMT pasien. Selanjutnya, akan
ditentukan risiko malnutrisi pasien berdasarkan SGA dan NRS-2002. Kerahasian
penelitian ini dijamin sesuai peraturan yang berlaku.

Keuntungan
Keuntungan yang diperoleh dari penelitian ini tidak berupa materi, akan tetapi
dapat memberikan informasi atau masukan yang bermanfaat kepada pihak
rumah sakit tentang metode skrining yang mudah, efektif dan efisien untuk
diterapkan di RST Dr. Soepraoen Malang dalam menentukan asuhan gizi yang
akan diberikan kepada pasien yang mengalami risiko malnutrisi.

Saya mengucapkan terima kasih atas peran bantuan untuk penelitian ini.

58
Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian

59
Lampiran 5. Surat Jawaban Ijin penelitian

60
Lampiran 6. Lembar Persetujuan Kesediaan Menjadi Responden

61
Lampiran 7. Formulir Kuesioner Identitas Pasien

62
Lampiran 8. Formulir Skrining Pasien berdasarkan SGA

63
Lampiran 9. Formulir Skrining Pasien berdasarkan NRS-2002

64
Lampiran 10. Formulir Skrining Pasien berdasarkan MST

65
Lampiran 11. Data Responden

RUANG SGA NRS-2002 MST Modifikasi


NO NAMA JK UMUR DX PENYAKIT BB TB LILA IMT
RAWAT Skor Status Skor Status Skor Status
1 Tn S Unit L 55 Post KLL 67,45 161 31 26 B GK 0 TM 0 TM
stroke Est PB
2 Tn L Unit L 86 CVA Trombosis 51,9 155 25 21,6 C GBr 4 M 3 M
stroke Est PB
3 Tn LD Flam L 21 Bronchitis 65,3 172 - 22 B GK 1 TM 2 M
4 Tn U H Flam L 52 DHF +DM 92 167 - 32,8 B GK 2 TM 4 M
5 Ny Ag Melati P 50 CKD+Vomiting 77 156 - 31,7 B GK 2 TM 2 M
6 Tn J J Melati L 20 Ruptur Acl (post op) 72 168 - 25,5 A GB 0 TM 3 M
7 Tn Se Cempa L 34 Efusi Pleura 64 159 - 25,4 B GK 0 TM 0 TM
8 Ny Ru Melati P 50 Ca Mamae 43,7 163 - 16,5 B GK 5 M 3 M
9 Ny E Kenanga P 31 OF susp DF 68,7 149 - 30,9 A GB 0 TM 0 TM
10 Tn M. S Melati L 39 LBP 52,3 165 - 19,2 B GK 2 TM 2 M
11 Ny Um Mawar P 52 CKD on HD 42,6 146 - 20 B GK 2 TM 2 M
12 Tn G Mawar L 41 Aff Plantar Pedis (D) 68 163 - 25,7 A GB 0 TM 0 TM
13 Tn Ar A Mawar L 25 Fr. Radius Dex + 75,4 168 - 26,7 C GBr 2 TM 2 M
vulnus abrasio
14 Tn A P A Melati L 53 Batu Ren Dex 55,4 165 - 20,4 A GB 2 TM 0 TM
15 Nn N A Melati P 20 Typoid 79,9 150 - 35,5 A GB 0 TM 1 TM
16 Ny Mi Cempa P 61 Hoemoptoe 37,9 147 - 17,5 B GK 3 M 0 M
17 Tn A K Cempa L 81 COPD(PPOK) 54,5 165 26 20 B GK 4 M 2 M
(Est) (PB)
18 Ny S Cempa P 71 Bronchitis 35 146 - 16,4 B GK 4 M 5 M
19 Ny N Cempa P 67 KP, Dyspneu s 34,8 160 18 13,6 C GBr 5 M 3 M
Pneumonia (Est) (PB)
20 Tn S Kenanga L 57 BPH pro TURP 57,9 150 - 25,7 A GB 0 TM 1 TM
21 Ny G Kenanga P 40 Limpo pro Eksisi 96 157 - 39 A GB 1 TM 1 TM
22 Nn M Teratai P 24 Gastritis Akut, SLE 58,5 152 - 25,3 B GK 1 TM 1 TM
23 Ny J Teratai P 79 GW+AF+Hipoglikemia 35,8 134,5 18,5 19,8 C GBr 5 M 5 M
(Est) (PB)
24 Ny R Teratai P 72 Chepalgia+ Vomiting 58,8 ) 150 30 26 B GK 2 TM 4 M
Est) (PB)

67
25 Ny S Y Teratai P 55 Chest pain. Abd pain 59 157 - 24 A GB 1 TM 2 M
26 Ny A Bougen P 49 Sinusitis Dex 56,3 150 - 25 A GB 1 TM 2 M
27 Ny M Bougen P 42 Post Op Meningioma 49,3 150 - 21,9 B GK 3 M 3 M
28 NY J Bougen P 54 Batu Ren Sin 53,3 158 - 21,4 A GB 0 TM 1 TM
29 Ny T Bougen P 43 Limpoma punggung 60,7 149 - 27,3 A GB 0 TM 0 TM
30 Ny K Bougen P 58 FAM sin 65,7 160 - 25,7 A GB 0 TM 0 TM
31 Nn S Bougen P 20 App 63,7 153 - 27,2 B GK 1 TM 2 M
32 Tn M Seruni L 51 Batu Ren Dex+Sin 51 160 - 20 A GB 2 TM 1 TM
33 Tn I Seruni L 53 Aff Pen Ankle 61 170 - 21 B GK 0 TM 0 TM
34 Ny S Seruni P 50 Ca Mamae Dex 46 156 - 19 A GB 4 M 2 M
35 Tn A ICU L 47 IMA Anterior 59 162 28 22,5 B GK 4 M 2 M
(Est)
36 Tn S Dahlia L 37 TFA 60,3 165 - 22,2 A GB 1 TM 1 TM
37 Ny S Seruni P 73 CF Wrist 44,9 150 - 20 B GK 3 M 2 M
38 Ny S Kenanga P 64 Hipertiroid 74,2 160 - 28,9 B GK 1 TM 3 M
39 Ny Mus Cempa P 67 Dyspneu s Pneumonia 27,8 ) 150 14,5 12,4 C GBr 5 M 3 M
dd TB Est) (PB)
40 Ny S Kenanga P 71 S Ca Bulibuli 46,8 170 24 16,2 C GBr 6 M 5 M
(Est) (PB)
41 Tn E Kenanga L 49 Gastritis 56,8 158 - 22,7 A GB 0 TM 1 TM
42 Nt Tj Cempa P 26 Limfadenitis TB post 47,8 172 - 16,2 A GB 4 M 0 TM
Eksisi
43 Ny T Kenanga P 69 Dyspneu+Bronchitis 38 149 20 17,2 C GBr 4 M 3 M
Akut (Est)
44 Tn A Flam L 46 DM + Ganggreng 46,7 170 - 16,1 B GK 4 M 3 M
45 Tn H Flam L 43 DHF 64 165 - 23,5 A GB 0 TM 0 TM
46 Tn S Flam L 58 Diabetic Gastropaty 66,8 165 - 24,5 B GK 2 TM 3 M
47 Tn A Flam L 40 DM + Neuropaty 52 170 - 18 B GK 2 TM 2 M
48 Tn S Flam L 57 GEA + Abd Pain 60 170 - 20,8 B GK 2 TM 0 TM
49 Ny S Kenanga P 60 Hipertensi 59 156 - 24,2 B GK 1 TM 2 M
50 Nn A Flam P 20 Febris + DHF 49 162 - 18,7 B GK 1 TM 0 TM

68
Lampiran 12. Uji Statistik Spearman

Correlations

Status Gizi Status Gizi


Berdasarkan Berdasarkan
SGA MST

Spearman's rho Status Gizi Correlation Coefficient 1.000 .595**


Berdasarkan SGA
Sig. (2-tailed) . .000

N 50 50

Status Gizi Correlation Coefficient .595** 1.000


Berdasarkan MST
Sig. (2-tailed) .000 .

N 50 50

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Correlations

Status Gizi Status Gizi


Berdasarkan Berdasarkan
NRS MST

Spearman's rho Status Gizi Correlation Coefficient 1.000 .473**


Berdasarkan NRS
Sig. (2-tailed) . .001

N 50 50

Status Gizi Correlation Coefficient .473** 1.000


Berdasarkan MST
Sig. (2-tailed) .001 .

N 50 50

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

69
Correlations

Status Gizi Status Gizi


Berdasarkan Berdasarkan
SGA NRS

Spearman's rho Status Gizi Correlation


1.000 .461**
Berdasarkan SGA Coefficient

Sig. (2-tailed) . .001

N 50 50

Status Gizi Correlation


.461** 1.000
Berdasarkan NRS Coefficient

Sig. (2-tailed) .001 .

N 50 50

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

70
Lampiran 13. Dokumentasi Kegiatan

71

Anda mungkin juga menyukai