Anda di halaman 1dari 65

PENGARUH TEKNIK SLOW DEEP BREATHING TERHADAP

TEKANAN DARAH PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CILEUNYI KABUPATEN
BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Keperawatan

YUSUF ANBARI
AK.1.15.110

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS BHAKTI
KENCANA
BANDUNG
2019
PENGARUH TEKNIK SLOW DEEP BREATHING TERHADAP TEKANAN
DARAH PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI DI PUSKESMAS CILEUNYI
KABUPATEN BANDUNG

ABSTRAK

Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan oleh dinding arteri dengan
memompa darah dari jantung, seseorang dikatakan hipertensi karena hasil pemeriksaan
didapat 140/90 atau lebih. Kemunduran yang terjadi pada lanjut usia rentan terhadap
berbagai jenis penyakit termasuk hipertensi, Slow Deep Breathing adalah suatu terapi
rileksasi non-farmakologi yang dilakukan dengan secara sadar dan tenang yang mengatur
pernafasan menjadi efek rileksasi Sehingga terapi ini bisa menjadi salah satu alternatif
untuk mengatasi hipertensi pada lanjut usia. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui Pengaruh Teknik slow deep breathing Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia
Dengan Hipertensi Di Puskesmas Cileunyi Kabupaten Bandung.
Metode penelitian yang digunakan yaitu pre-eksperimen dengan pendekatan One
Group Prestest Post Test dengan jumlah populasi 205 yang kemudian dilakukan
pengamilan sampel purposive sampling dengan jumlah 27 lansia. Instrumen yang
digunakan yaitu tensi meter yang telah dilakukan kalibrasi kemudian dikumpulkan
datanya pada lembar observasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada analisa univariat rata-rata pretest sistol
selama 3 hari yaitu 160 mmhg dan rata-rata post-test sistol yaitu 144 mmhg. Sedangkan
data rata-rata pre-test diastol selama 3 hari 94 mmHg dan post-test diastol selama 3 hari
yaitu 86 mmHg. Pada analisa bivariat menggunakan Paired Sample T Test, pada nilai
sistolik diperoleh nilai t 12.802 > t table (1,325) dengan tingkat signifikan sig (2-tailed) :
0,044 < nilai α (0,05), yang artinya H0 ditolak dan Ha diterima yaitu terdapat pengaruh
teknik Slow Deep breathing terhadap nilai tekanan darah sistolik pada lansia penderita
hipertensi. Begitupun dengan nilai diastolik diperoleh nilai t 11,449 > t table (1,325)
dengan tingkat signifikan sig (2-tailed) : 0,001 < nilai α (0,05), maka didapat bahwa H0
ditolak dan Ha diterima yang artinya terdapat pengaruh teknik Slow Deep Breathing
terhadap tekanan darah diastolik pada lansia penderita hipertensi.
Slow deep breathing memberikan efek kepada sistem saraf dan mempengaruhi
pengukuran tekanan darah. Slow deep breathing menurunkan aktifitas saraf simpatis
melalui peningkatan central inhibitory rythms yang akan berdampak pada penurunan
output simpatis, penurunan output simpatis akan menyebabkan penurunan pelepasan
epinefrin yang ditangkap oleh reseptor alfa sehingga mempengaruhi otot polos pembuluh
darah , otot polos vaskuler mengalami vasodilatasi yang akan menurunkan tahanan
perifer dan akan menyebakan penurunan tekanan darah.Berdasarkan hasil penelitian
tersebut bahwa lansia penderita hipertensi disarankan perlu melakukan terapi slow deep
breathing yang efektif untuk menurunkan tekanan darah.

Kata kunci :Tekanan darah pada lansia, Teknik slow deep breathing.
Daftar Pustaka : 13Buku (2007-2018)
4 Jurnal (2011-2018)
EFFECT OF SLOW DEEP BREATHING TECHNIQUE ON BLOOD PRESSURE IN
ELDERLY WITH HYPERTENSION IN CILEUNYI HEALTH CENTER OF
BANDUNG DISTRICT

ABSTRAK

Blood pressure is the power produced by the walls of the arteries by


pumping blood from the heart, a person is said to be hypertensive because the
examination results obtained 140/90 or more. Setbacks that occur in the elderly
are vulnerable to various types of diseases including hypertension, Slow Deep
Breathing is a non-pharmacological relaxation therapy that is done consciously
and calmly which regulates breathing into a relaxing effect so that this therapy
can be one alternative to overcome hypertension in the advanced age. The
purpose of this study was to determine the effect of slow deep breathing
techniques on blood pressure in the elderly with hypertension in the Cileunyi
Health Center in Bandung Regency
The research method used is pre-experimental with the One Group Prestest
Post Test approach with a population of 205 which is then conducted by
purposive sampling of pregnant women with a number of 27 elderly. The
instrument used is the tension meter that has been calibrated and then collected
data on the observation sheet.
The results showed that in univariate analysis the average systolic pretest
for 3 days was 160 mmHg and the average post-test systole was 144 mmHg.
While the average data of diastole pre-test for 3 days 94 mmHg and post-test of
diastole for 3 days is 86 mmHg. In bivariate analysis using Paired Sample T Test,
the systolic value obtained t value of 12,802 > t table (1,325) with a significant
level of sig (2-tailed): 0.044 <value of α (0.05), which means that H0 is rejected
and Ha is accepted, i.e. there is an influence of the Slow Deep breathing
technique on the value of systolic blood pressure in the elderly with hypertension.
Likewise with the diastolic value obtained t value of 11,449 > t table (1,325) with
a significant level of sig (2-tailed): 0.001 <value of α (0.05), it is found that H0 is
rejected and Ha is accepted which means that there is an influence of the Slow
Deep Breathing technique on diastolic blood pressure in the elderly with
hypertension.
Based on these results, it is suggested that elderly people with hypertension need
to do effective slow deep breathing therapy to reduce blood pressure.

Keywords : Blood pressure in the elderly, slow deep breathing technique.


Bibliography : 13 Books(2007-2018)
4 Journals (2011-2018)
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT yang telah
memerikan nikmat kekuatan, kesehatan, karunia dan berkat-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikanskripsiini dengan berjudul “PENGARUH TEKNIK SLOW
DEEP BRETHING TERHADAP TEKANAN DARAH PADA LANSIA
DENGAN HIPERTENSI DI PUSKESMAS CILEUNYI KABUPATEN
BANDUNG”

Skripsi ini dibuat oleh penulis sebagai salah satu syarat untuk melakukan
penelitian yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan Program Studi
Sarjana Keperawatan Tahun 2019. Dalam penulisanskripsiini penulisbanyak
mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu selayaknya
penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :

1. H. Mulyana, SH., M.Pd., M.HKes selaku Ketua Yayasan Adhi Guna


Kencana.
2. Dr.Entis Sutrisno,MH.Kes.,Apt selakurektorUniversitas Bhakti Kencana
Bandung.
3. R. Siti Jundiah, S.Kp., M.Kep selaku
DekanFakultasKeperawatanUniversitas Bhakti Kencana
Bandungdanselakupembimbing II.
4. Pihak lahan penelitian yaituDrg. Endang Noor Farchiyah.,MH.
KesselakukepalaPuskesmasCileunyiyang telah mengizinkan peneliti untuk
melakukan penelitian.
5. LiaNurlianawati, S.Kep., Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi
Sarjana Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bhakti Kencana
Bandung.
6. NurIntanHayati H, S.Kep.,Ners.,M.Kep selaku pembimbing I yang selalu
memberikan bimbingan, masukan, masukan, motivasi, dan bantuan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini.
7. RizkyMuliani, S.Kep., Ners., M.Kep selaku penguji I yang
telahmenyempatkanwaktudanbersediamenjadipenguji.
8. TutiSupraptiSkp. M.Kepselakupenguji 2 yang
telahmenyempatkanwaktudanbersediamenjadipenguji.
9. Seluruh dosen, staf pengajar dan karyawan STIKes Bhakti Kencana
Bandung yang telah banyak memberikan wawasan dan segala bentuk
bantuan.
10. Terimakasih kepada Ayah dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan
doa, kasih sayang yang tiada henti, memberikan motivasi dan support
setiap saatserta memberikan dukungan baik moril maupun material.
11. Teman-teman seperjuangan Program Studi Sarjana Keperawatan STIKes
Bhakti Kencana Bandung angkatan 2015 yang telah membantu dan
memberikan support setiap saat.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
membantu dan memberikan motivasi pada penulis.

Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Penulis menyadari dalampenyusunanskripsiini masih banyak terdapat kekurangan,
untuk itu penulis mengharap kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan hasilpenelitianselanjutnya.

Bandung, 27 Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR .......................................................................................i

DAFTAR ISI .....................................................................................................iii

DAFTAR TABEL .............................................................................................xiii

DAFTAR BAGAN ............................................................................................xiv

DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................xv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah ..........................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................11
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................11
1.3.1 Tujuan umum ..............................................................................11
1.3.2 Tujuan Penelitian ........................................................................12
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................12
1.4.1 Manfaat Teoritis .............................................................................12
1.4.2 Manfaat Praktis .............................................................................12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................13

2.1 Teori Konsep Lansia ...............................................................................13


2.1.1 Teori Konsep Lansia ...................................................................13
2.1.2 Batasan- Batasan Lansia .............................................................13
2.1.3 Perubahan yang terjadi pada Lansia ............................................13
2.2 Konsep Tekanan Darah ...........................................................................15
2.2.1 Definisi Tekanan Darah ...............................................................15
2.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah ..............................16
2.2.3 Cara Mengukur Tekanan Darah ..................................................18
2.3 Konsep Hipertensi ...................................................................................19
2.3.1 Definisi Hipertensi.......................................................................19
2.3.2 Hipertensi Pada Usia Lanjut ........................................................20
2.3.3 Klasifikasi Hipertensi .................................................................21
2.3.4 Jenis – jenis Hipertensi ...............................................................21
2.3.5 Faktor-faktor yang tidak dapat dirubah .......................................24
2.3.6 Faktor –faktor yang dapat dirubah .............................................26
2.3.7 Manifestasi klinis.........................................................................29
2.3.8 Komplikasi .................................................................................31
2.3.9 Patofisiologi Hipertensi ..............................................................33
2.3.10 Penatalaksanaan Hipertensi .........................................................35
2.3.11 Pemeriksaan penunjuang .............................................................41
2.4 Slow Deep Breathing ..............................................................................42
2.4.1 Definisi Slow Deep Breathing.....................................................43
2.4.2 Tujuan Slow Deep Breathing .....................................................43
2.4.3 Manfaat dan Kelebihan Slow Deep Breathing ............................43
2.4.4 Pengaruh Teknik Slow Deep Breathing ......................................46
2.4.5 Fisiologi pernafasan ....................................................................47
2.4.6 Mekanisme Fisiologi Slow Deep Breathing ................................48
2.4.7 Prosedur pelaksanaan latihan Teknik Slow Deep Breathing .......48
2.5 Bagan konseptual .................................................................................51

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................51

3.1 Rancangan penelitian ..............................................................................51


3.2 Paradigma penelitian ...............................................................................52
3.3 Kerangka konseptual ...............................................................................55
3.4 Hipotes apenelitian ..................................................................................56
3.5 Variabel penelitian ..................................................................................56
3.4.1 Variabelbebas (independen) ..........................................................56
3.4.2 Variabelterikat (dependen) ............................................................56
3.6 Definisi konseptual dan operasional .......................................................57
3.5.1 Definisi konseptual ........................................................................58
3.5.2 Definisi operasional .......................................................................59
3.7 Populasi dan sampel ................................................................................60
3.6.1 Populasi ..........................................................................................60
3.6.2 Sampel ...........................................................................................60
3.6.3 Kriteria sampel penelitian ..............................................................62
3.8 Pengumpulan data ...................................................................................63
3.7.1 Instumen penelitian ........................................................................63
3.7.2 Uji validitas dan rehabilitas instrument .........................................64
3.7.3 Tekhnik pengumpulan data ............................................................64
3.9 Langkah-langkah penelitian ....................................................................66
3.8.1 Tahap persiapan .............................................................................66
3.8.2 Tahap pelaksanaan .........................................................................67
3.8.3 Tahap akhir ....................................................................................68
3.10 Pengolahan dan analisa data ...................................................................69
3.9.1 Pengolahan Data.............................................................................69
3.8.4 Analisa Data ...................................................................................70
3.10 Uji Normalitas Data ..............................................................................71
3.11 Etika Penelitian .....................................................................................72
3.12 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................74
3.12.1 Lokasi .........................................................................................74
3.12.2 Waktu Penelitian ........................................................................74

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian .......................................................................................75


4.2 Pembahasan Teori ..................................................................................75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ............................................................................................88


5.2 Saran .. ...................................................................................................88

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

2.1 Klasifikasi hipertensi ..............................................................................21


3.1 Definisi Oprasional ................................................................................58
4.1 Nilai Rata-Rata Tekanan Darah Sistolik . ...............................................76
4.2 Nilai Rata-Rata Tekanan Darah Diastolik ...............................................77
4.3 Nilai Rata-Rata Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah .........................78
DAFTAR BAGAN
2.1 Bagan konseptual ...... .............................................................................51
3.1 Bagan Kerangka Konseptual ...................................................................55
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Lembar Konsultasi Proposal

Lampiran 4 SOP (teknik Slow Deep Breathing)

Lampiran 5 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 6 Lembar Hasil Observasi Tekanan Darah

Lampiran 7 Surat Ijin Penelitian (Kesbangpol)

Lampiran 8 Surat Ijin Penelitian Dinkes Kabupaten Bandung

Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian Kepala Prolanis Puksesmas Cileunyi Kab.


Bandung

Lampiran 10 Surat Ijin Penelitian Kepala Puskesmas Cileunyi Kab. Bandung

Lampiran 11 Surat Ijin Penelitian Universitas Bhakti Kencana Bandung Tahun


2019

Lampiran 12 Hasil Olah Data Perangkat Lunak Program SPSS


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lanjut usia adalah fenomena biologis yang tidak dapat dihindari

oleh setiap individu. UU No. IV. Tahun 1965 pasal 1, menyatakan bahwa

seseorang dapat dikatakan lanjut usia setelah mencapai umur 55 tahun,

tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk

keperluan hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah dari orang lain.

Menurut WHO batasan lanjut usia meliputi Middle Age (45-59 tahun),

Elderly (60-70 tahun), Old (75-90 tahun), Very old (diatas 90 tahun)

(Ratnawati, 2017).

Data dari Pusat Data Dan Informasi (Pusdatin) Kementrian RI

tahun 2017 bahwa komposisi penduduk tua bertambah dengan pesat baik

dinegara maju maupun di negara berkembang, hal ini disebabkan oleh

angka kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas), serta peningkatan

angka harapan hidup, yang mengubah struktur penduduk secara

keseluruhan. Berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan pada

tahun 2017 terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia di indonesia (9,03%).

Di prediksi jumlah penduduk lanjut usia tahun 2020 (27,08 juta), tahun

2025 (33,69 juta), tahun 2030 (40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta).

Menurut Darmojo (2004) lanjut usia diartikan sebagai fase

menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang dimulai dengan adanya

beberapa perubahan dalam hidup. Hal ini sejalan dengan pendapat Soejono
(2000) yang mengatakan bahwa pada tahap lansia, individu mengalami

banyak perubahan baik secara fisik maupun mental. Khususnya

kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah

dimilikinya. Perubahan fisik yang dimaksud antara lain rambut yang mulai

memutih, muncul kerutan diwajah, ketajaman panca indra menurun, serta

terjadi kemunduran daya tahan tubuh. Selain itu, dimasa ini lansia juga

harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan

sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. (Ratnawati,

2017).

Kemunduran yang terjadi pada lansia menjadikan lansia rentan

terhadap berbagai gangguan yang dialami tubuhnya sehingga angka

kesakitan pada lansia pun semakin meningkat. Menurut Pusat data dan

Informasi Kementrian kesehatan Republik Indonesia (2016) lansia

merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat

kesehatan penduduk angka kesakitan bisa menjadi indikator kesehatan

negatif. Artinya, semakin rendah angka kesakitan menunjukan derajat

kesehatan penduduk yang semakin baik. Penyakit terbanyak yang sering

terjadi pada lansia adalah penyakit tidak menular (PTM) antara lain

Hipertensi (45,5%), Arthritis (45%), Stroke (33%), penyakit paru obstriktif

kronik (PPOK) (5,6%), dan diabetes militus (DM) (5,5%) (Ratnawati,

2017). Maka dari itu lansia masih dalam tahap tertinggi dalam angka

kesakitan hipertesi dan perlu penanganan dengan baik.


Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi kronis yang di

tandai dengan pembuluh darah pada dinding arteri (pembuluh darah

bersih) meningkat. Keadaan seperti ini mengakibatkan jantung memompa

lebih keras untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh melewati pembuluh

darah. Kejadian tersebut mengganggu dan merusak pembuluh darah,

sehingga dapat menyebabkan penyakit degeneratif, ataupun kematian.

Seseorang bisa dikatakan mengidap hipertensi atau penyakit tekanan

darah, dikarnakan hasil pemeriksaan di dapat 140/90 mmHg atau lebih,

dengan dua. Hitungan ini, 140 atau nilai atas menandakan tekanan darah

sistolik, dan 90 atau nilai bawah menandakan tekanan diastolik. Tekanan

sistolik merupakan tekanan darah pada saat jantung berkontraksi

memompa darah, kemudian tekanan diastolik adalah ketika jantung

berileksasi. Tekanan darah normal jika nilai 120/80 mmHg (Yanita, 2017).

Terdapat dua jenis hipertensi yaitu hipertensi primer atau hipertensi

esensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer adalah hipertensi yang

belum diketahui penyebabnya dan hampir diderita sekitar 95% orang

sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi akibat

penyebab yang jelas seperti vaskuler renal, yang terjadi akibat stenosis

arteri renalis (Aspiyani, 2015).

Hipertensi terutama menyerang dewasa tengah dan lansia. Lebih

dari 50% orang berusia 60 sampai 70 tahun dan sekitar 75 % mereka yang

mengalami hipertensi berusia 75 tahun lebih menderita hipertensi (AHA,

2009). Peningkatan tekanan darah sistolik terkait usia adalah faktor utama
penyebab tingginya insidensi tingginya hipertensi pada lansia. Tidak

seperti tekanan darah diastolik, yang cenderung naik sekitar usia 50 tahun,

kemudian turun, tekanan darah sistolik terus naik seiring dengan penuaan

(NHLBI, 2004 dalam lemone Priscilla dkk, 2017).

Pada orang lanjut usia, penyebab hipertensi disebabkan karena

terjadinya perubahan pada elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung

menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah,

kehilangan elastisitas pembuluh darah, dan meningkatkan retensi

pembuluh darah perifer. Setelah usia 20 tahun kemampuan jantung

memompa darah akan menurun 1 % tiap tahun sehingga menyebabkan

menurunnya kontraksi dan volume. Elastisitas pembuluh darah

menghilang karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk

oksigenasi (Aspiani, 2015). Faktor lain yang dapat dirubah seperti

diabetes, stres, obesitas, nutrisi dan penyalahgunaan obat. (Black &

Hawks, 2014). Penyebab lain yang dapat meningkatkan hipertensi pada

lansia ialah Pola hidup yang kurang baik seperti merokok, pola makan

yang buruk atau tidak sehat, obesitas, olahraga atau aktivitas yang kurang,

dan minuman beralkohol. (Anies, 2018).

Didunia, hipertensi diperkirakan menyebabkan 7,5 juta kematian

atau sekitar 12,8 % dari total kematian. Hal ini menyumbang 57 juta dari

dissability adjust life years (DALY). Tidak ada perbedaan prevalensi

antara laki-laki dan wanita tetapi prevelensi meningkat berdasarkan usia :

5 % usia 20-39 tahun, 26 % usia 40-49 tahun, dan 59,6 % untuk usia 60
tahun ke atas (Aoki dkk, 2014). Menurut American Heart Assosiation

(AHA), penduduk amerika yang berusia diatas 20 tahun menderita

hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir

sekitar 90-95 % kasus tidak diketahui penyebabnya. Saat ini hipertensi

merupakan tantangan besar di indonesia karena merupakan kondisi yang

sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer.

Berdasarkan data dari Riskesdas Depkes (2018), hipertensi di

Indonesia merupakan masalah kesehatan dengan tinggi yaitu sebesar

25,8%. tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan selatan

(30,8%), Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat (29,4%). Hipertensi

dikatakan dengan penyakit terbanyak dengan prevelensi sebanyak 25,8%

di Indonesia yang banyak di alami oleh lansia, di Jawa Barat sebanyak

29,4%. Jadi prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 25,6% (25,8%), dan

penyakit hipertensi di kota Bandung adalah peringkat ke 2 dari 10 besar

penyakit terbanyak sebanyak dengan jumlah prevelensi sebanyak 12,10%.

(RISKESDAS,2018).

Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu pengobatan farmakologis

dan pengobatan non farmakologis. Untuk pengobatan farmakologis obat-

obatan anti hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi kategori sebagai

berikut: diuretik, adrenergik alfa dan beta antagonis (beta-bloker [BB]),

vasodilator, kalsium antagonis (calsium channel bloker [CCB]), enzim

penukar-angiotensin (angiotensin-coverting enzyme [ACE]), serta reseptor

penghambat angiotensin (angiotensin receptor blocker [ARBs]) (Black &


Hawks, 2014). Untuk pengobatan nonfarmakologis dalam menurunkan

tekanan darah dengan melakukan modifikasi gaya hidup, pengurangan

berat badan, pembatasan natrium, modifikasi diet lemak, olahraga dan

latihan beban ringan, pembatasan alkohol, pembatasan kafein, tekhnik

relaksasi seperti meditasi transendental, relaksasi Slow Deep Breathing,

yoga, biofeedback, relaksasi otot progresif, dan psikoterapi menghentikan

kebiasaan merokok, suplementasi kalium (Black & Hawks, 2014).

Beberapa tindakan yang bisa dilakukan kepada lansia untuk

menurunkan tekanan darah terdapat berbagai cara dari latihan relaksasi

dan olahraga seperti senam, berjalan, jogging, berenang dan bersepeda

terbukti teratur yang adekuat untuk mencapai paling tidak kadar cukup

kebugaran fisik memfasilitasi pengondisian kardiovaskular dan dapat

membantu klien obesitas hipertensi dalam mengurangi berat badan dan

mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler dan semua penyebab

kematian. Tekanan darah dapat dikurangi dengan intensitas aktivitas yang

cukup (serendah 40% sampai 60% dari konsumsi oksigen), seperti jalan

cepat (sekitar 2,5 sampai 3 mph) selama 30 sampai 45 menit hampir setiap

hari dalam seminggu (Black & Hawks, 2014).

Peran dalam pemberian asuhan keperawatan adalah membantu

penderita hipertensi untuk mempertahankan tekanan darah pada tingkat

optimal dan meningkatkan kualitas kehidupan secara maksimal dengan

cara pemberian intervensi asuhan keperawatan, sehingga dapat terjadi

perbaikan kondisi kesehatan. Salah satu tindakan yang dapat diberikan


untuk menurunkan tekanan darah pada hipertensi adalah terapi relaksasi

Slow Deep breathing. Mekanisme relaksasi Slow Deep Breathing pada

sistem pernafasan berupa suatu keadaan inspirasi dan ekspirasi pernafasan

pada frequensi pernafasan menjadi 6-10 kali permenit sehingga terjadi

peningkatan regangan kardiopulmonali (Izzo, 2008).

Stimulasi peregangan di arkus aorta dan sinus karotis diterima dan

diteruskan oleh saraf vagus ke medulla oblongata (pusat regulasi

kardiovaskuler) selanjutnya merespon terjadinya peningkatan reflex

baroreseptor, penyebab hipertensi lansia karena perubahan pada elastisitas

dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku,

elastisitas pembeluh darah menghilang karena kurangnya efektifitas

pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi maka dari itu slow deep

breathing dapat membuat pembuluh darah perifer bekerja efektif dalam

melakukan oksigenisasi dengan tarikan nafas dalam lambat dibantu

dengan respon rileksasi sadar dengan penuh ketenangan dan menggunakan

cadangan energi yang ada dalam tubuh (Gohde, 2010,Muttaqin, 2009).

Slow Deep Breathing adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan

sadar dan ketenangan yang bertujuan mengatur pernafasan secara lambat

serta posisi tegap santai yang mengakibatkan efek rileksasi, manfaat

teknik ini bertujuan untuk mengatasi stress, hipertensi, nyeri dan gangguan

penyakit pernafasan (Tarwoto, 2011). Ketika oksigen yang kita hirup

hanya untuk memperlancar peredaran darah, melancarkan metabolisme

tubuh, dan mensuplai otak dengan kadar yang cukup. Banyak fasilitas
tubuh yang belum kita manfaakan secara optimal dalam mendukung

sistem kerja tubuh salah satu fasilitas tubuh yang kita miliki adalah berupa

‘cadangan energi’ yang bisa kita bangkitkan dan manfaatkan sesuai

dengan kebutuhan dan manfaat yang diinginkan salah satu nya yaitu

menurunkan hipertensi. Jenis-jenis pernafasan khusus, yang umumnya

telah dikenal adalah Nafas dada, dan nafas perut (Lekas, 2012).

Latihan Slow Deep Breathing dapat menurunkan produksi asam

laktat di otot dengan cara meningkatkan suplai oksigen sementara

kebutuhan oksigen didalam otak mengalami penurunan sehingga

mengakibatkan keseimbangan oksigen didalam otak. Nafas dalam dan

lambat juga dapat menstimulus saraf otonom yang berpengaruh terhadap

penurunan saraf simpatis dan peningktakan saraf parasimpatis sehingga

dapat menimbulkan penurunan pada tekanan darah ( Downey, 2009 dalam

Niken, 2015).

Hipertensi yang tidak mendapat penanganan yang baik

menyebabkan komplikasi penyakit lain yang lebih parah seperti stroke,

penyakit jantung koroner, diabetes, gagal ginjal dan kebutaan. Stroke

(51%) dan penyakit jantung koroner (45%) merupakan penyebab kematian

tertinggi. Menurut data Sample Registrasion System ( SRS) Indonesia

tahun 2014, hipertensi dengan komplikasi (5,3%) merupakan penyebab

kematian nomor 5 (lima) pada semua umur (KEMENKES RI, 2017).

Di kabupaten Bandung sendiri pola penyakit penderita rawat jalan

terbanyak di puskesmas untuk golongan umur 45 - < 75 tahun berbeda


dengan pola penyakit dari golongan sebelumnya ini dapat dilihat dominasi

oleh penyakit Hipertensi Primer (esensial) dengan jumlah 95.479 jiwa

(16,82%), Myalgia dengan jumlah 58,198 jiwa (10,25%) dan Penyakit

Infeksi Saluran Pernapasan Akut Tidak Spesifik 52,323 jiwa (9,21%)

(DINKES Kabupaten Bandung Tahun 2018).

Berdasarkan hasil studi penelitian pada tanggal 28 Maret 2019 di

Puskesmas Cileunyi diperoleh data penderita hipertensi yang ditangani

pada bulan januari 2019 yang memeriksakan keluhannya ke balai

pengobatan puskesmas sebanyak 110 jiwa, kemudian di bulan februari

menjadi 136, dan disusul bulan maret menjadi 205 jiwa , dengan rata-rata

tekanan darahnya di angka 90-110 mmHg untuk diastol dan 140-160 untuk

tekanan darah sistol. Pada dewasa akhir untuk kasus hipertensi menyerang

lebih sedikit dibandingkan lansia yaitu diperoleh data 115 orang, lansia

terdapat 146 orang. terdapat 2 lansia yang telah mengalami penyakit

komplikasi dari hipertensi seperti Stroke (BP Puskesmas 2019). Selain itu

lansia dengan data hipertensi terbanyak terdapat di desa Cileunyi Kulon

RW 19 pada bulan maret. Peneliti kemudian melakukan studi pendahuluan

pada tanggal 3 April 2019 di Puskesmas Cinunuk Kabupaten Bandung

sebagai data pembanding diperoleh data penderita hipertensi pada bulan

Februari sebanyak 110 jiwa dan pada bulan Maret sebanyak 116 jiwa.

Pengobatan yang telah dilakukan di daerah puskesmas Cileunyi itu

memberikan obat penurun tekanan darah saja, dan lansia di wilayah

puskesmas tersebut jarang melakukan pemeriksaan rutin ke puskesmas


Cileunyi dikarenakan malas dan banyak kesibukan yang menyebabkan

tidak ingin melakukan pemeriksaan. Peneliti kemudian di berikan wilayah

untuk dilakukan penelitian dikarenakan paling tinggi lansia yang terkena

hipertensi yang malas melakukan pemeriksaan dan tidak pernah ikut

program prolanis di puskesmas cileunyi. Menurut hasil penelitian yang

dilakukan oleh Rasyidah AZ, pada tahun 2018 tentang “Pengaruh Slow

Deep Breathing Terhadap Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi”

bahwa Slow Deep Breathing yang dilakukan terjadi penurunan tekanan

darah yang signifikan pada kelompok eksperimen sehingga hipertensi pada

lansia perlu dilakukan penelitian dengan teknik Slow Deep Breathing,

hipertensi pada lanjut usia karna hilangnya elastisitas pembuluh darah dan

katup jantung menebal dan menjadi kaku, elastisitas pembuluh darah

menghilang karna kurang nya efektifitas pembuluh darah feriper untuk

oksigenisasi. Saat dilakukan studi pendahuluan dipuskesmas Cileunyi

bahwa 8 dari 10 orang yang datang ke puskesmas mengatakan tidak

mengetahui manfaat dari melakukan teknik Slow Deep Breathing secara

teratur dan juga didapat bahwa tekanan darahnya yaitu 160/90, 140/90

bahkan sampai 200/100 maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian .

Berdasarkan data diatas peneliti ingin melakukan penelitian dengan

judul “Pengaruh teknik Slow Deep Breathing Terhadap Tekanan Darah

Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Cileunyi Kabupaten

Bandung Tahun 2019”.


1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah : “Apakah

Terdapat Pengaruh teknik Slow Deep Breathing Terhadap Tekanan Darah

Pada Lansia Hipertensi Di wilayah kerja Puskesmas Cileunyi kabupaten

Bandung tahun 2019”?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan umum

Berdasarkan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh

teknik Slow Deep Breathing Terhadap Tekanan Darah Lansia

Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Cileunyi kabupaten Bandung

tahun 2019.

1.3.2 Tujuan khusus

1) Untuk mengetahui rata-rata tekanan darah sistolik sebelum dan

sesudah dilakukan tindakan Slow Deep Breathing terhadap lansia

yang hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Cileunyi.

2) Untuk mengetahui rata-rata tekanan darah diastolik sebelum dan

sesudah dilakukan tindakan Slow Deep Breathing terhadap lansia

yang hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Cileunyi.

3) Untuk mengetahui perbedaan rata-rata tekanan darah sistol dan

diastol sebelum dan sesudah dilakukan Slow Deep Breathing.

1.2 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Manfaat Teoritis


Menambah pengetahuan bagi mahasiswa karena pengaruh teknik Slow

Deep Breathing baik untuk kesehatan tubuh, dan baik untuk

memperlancar sirkulasi serta tekanan darah sistole dan diastol.

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Manfaat bagi tempat penelitian (Puskesmas).

Hasil penelitian ini diharapkan agar Slow Deep Breathing

dapat digunakan sebagai salah satu tindakan intervensi

keperawatan dalam mempertahankan tekanan darah sistolik dan

diastolik secara optimal khususnya bagi lansia.

2) Manfaat bagi perawat

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan

masukan bagi puskesmas khususnya bagi perawat agar dapat

menggunakan teknik Slow Deep breathing sebagai salah satu terapi

non farmakologi untuk menurunkan tekanan darah pada pasien

hipertensi dan sebagai suatu bentuk latihan untuk penanganan non

farmakologi dan pencegahan komplikasi dari penyakit hipertensi.

3) Manfaat bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan untuk penelitian selanjutnya dan tambahan informasi untuk

mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang manfaat lain dari

Slow Deep Breathing seperti menurunkan stress dan gangguan

pernafasan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Konsep Lansia

2.1.1 Konsep Lansia/ Definisi

Lanjut usia adalah fenomena biologis yang tidak dapat dihindari

oleh setiap individu. UU No. IV. Tahun 1965 pasal 1, menyatakan

bahwa seseorang dapat dikatakan lanjut usia setelah mencapai umur

55 tahun, tidak mempunai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri

untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah dari

orang lain (Ratnawati,2017).

2.1.2 Batasan-Batasan Lansia

Menurut WHO batasan lanjut usia meliputi Middle Age (45-59

tahun), Elderly (60-70 tahun), Old (75-90 tahun), Very old (diatas 90

tahun) (Ratnawati, 2017).

2.1.3 Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

Menurut Darmojo (2004) lanjut usia diartikan sebagai fase

menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang dimulai dari adanya

beberapa perubahan dalam hidup. Hal ini sejalan dengan pendapat

seojono (2000) yang mengatakan bahwa pada tahap lansia, individu

mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun secara mental,

khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemapuan yang

pernah yang pernah dimilikinya.


Perubahan fisik yang dimaksud antara lain rambut yang

memutih, muncul kerutan diwajah, ketajaman panca indra, serta

terjadi kemunduran daya tahan tubuh. Selain itu, dimasa ini lansia

juga harus berhadapan dengan kehilangan peran-peran diri, kedudukan

sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Maka dari

itu, dibutuhkan kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat

menyikapi perubahan diusia lanjut secara bijak (Rantawati, 2017).

Menurut Hurlock (1980) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut

usia yaitu :

a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran

Sebagian pemicu terjadinya kemunduran pada lansia adalah

faktor fisik dak faktor psikologis. Dampak dari kondisi ini dapat

mempengaruhi psikologis lansia. Sehingga, setiap lansia

membutuhkan adanya motivasi. Motivasi berperan penting dalam

kemunduran lansia. Mereka akan mengalami kemunduran semakin

cepat apabila memiliki motovasi yang rendah, sebaliknya jika

memiliki motovasi yang kuat maka kemunduran akan lama terjadi.

b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas

Pandangan-pandangan negatif akan lansia dalam masyarakat

sosial secara tidak langsung berdampak pada terbentuknya status

kelompok minoritas pada mereka. (Ratnawati, 2017).

c. Menua membutuhkan perubahan peran


Kemunduran yang terjadi lansia berdampak pada perubahan

peran mereka dalam sosial ataupun keluarga. Namun demikian,

perubahan peran ini sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan

sendiri bukan atas dasar tekanan lingkungan.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Prilaku buruk lansia terbentuk karena perlakuan buruk yang

mereka terima. Perlakuan buruk tersebut secara tidak langsung

membuat lansia cenderung mengembangkan konsep diri yang

buruk.

2.2 Konsep Tekanan Darah

2.2.1 Definisi tekanan darah

Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan oleh dinding

arteri dengan memompa darah dari jantung. Darah mengalir karena

adanya perubahan tekanan, dimana terjadi perpindahan dari area

bertekanan tinggi ke area bertekanan rendah. Tekanan darah siskemik

atau arterial merupakan indikator yang paling baik untuk kesehatan

kardiovaskuler. Kekuatan 1 kontraksi jantung mendorong kedalam

aorta. Puncak tekanan maksimum saat ejeksi terjadi disebut tekanan

sistolik. Saat ventrikel berelaksasi, darah yang tetap berada di arteri

menghasilkan tekanan minimal yang dihasilkan terhadap dinding

arteri pada tiap waktu (Potter & Perry, 2009).

2.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah


Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah menurut

Potter & perry (2009) adalah sebagai berikut:

1) Usia

Hipertensi primer biasanya muncul antara usia 30-50 tahun.

Peristiwa hipertensi meningkat dengan usia 50-60% klien yang

berumur lebih dari 60 tahun memiliki tekanan darah lebih dari

140/90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi umumnya terjadi pada

orang yang lebih dari 50 tahun, dengan hampir 24% dari semua

orang yang terkena pada usia 80 tahun.

Tekanan darah pada orang dewasa akan meningkat sesuai

usia. Pada lansia biasanya mengalami peningkatan tekanan darah

sistolik yang berhubungan dengan elastisitas pembuluh darah yang

menurun.

2) Stres

Kegelisahan, ketakutan, nyeri dan stres emosional dapat

mengakibatkan stimulasi simpatis yang meningkatkan frekuensi

denyut jantung, curah jantung dan resistensi vaskuler. Efek

simpatis ini meningkatkan tekanan darah. kegelisahan

meningkatkan tekanan darah sebesar 30 mmHg.

3) Etnik

Insidensi pada ras afrika-amerika lebih tinggi dibanding

pada keturunan eropa. Faktor genetik dan lingkungan merupakan


faktor yang cukup besar mempengaruhi. Kematian yang berkaitan

dengan hipertensi juga lebih tinggi pada ras Afrika Amerika.

4) Jenis kelamin

Tidak terdapat perbedaan tekanan darah yang beratri antara

remaja pria dan wanita. Setelah pubertas, pria cenderung memiliki

tekanan darah yang lebih tinggi.

5) Variasi harian

Tekanan darah lebih rendah pada tengah malam dan pukul 3

pagi, setiap orang memiliki pola dan variasi tingkat yang berbeda.

6) Obat-obatan

Beberapa obat dapat mempengaruhi tekanan darah secara

langsung maupun tidak langsung. Kelas obat yang mempengaruhi

tekanan darah adalah analgesik oploid yang dapat menurunkan

tekanan darah. vasokontriktor dan asupan cairan intravena yang

berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah.

7) Aktivitas dan berat badan

Olahraga dapat menurunkan tekanan darah dalam beberapa

jam sesudahnya. Peningkatan kebutuhan oksigen saat beraktivitas

akan meningkatkan tekanan darah. olahraga yang tidak cukup dapat

menyebabkan peningkatan berat badan dan obesitas yang

merupakan faktor terjadinya hipertensi.

8) Merokok
Merokok menyebabkan vasokontriksi. Saat seseorang

merokok tekanan darahnya akan meningkat dan kembali ke nilai

dasar dalam 15 menit setelah berhenti merokok.

2.2.3 Cara Mengukur Tekanan Darah

Cara mengukur tekanan darah menggunakan tensimeter digital

menurut (Garnadi, 2012) sebagain berikut :

1) Letakan tangan diatas meja, tujuannya agar otot-otot lengan

menjadi rileks tidak berkontraksi.

2) Balut tangan kiri atau tangan dengan manset yang ukurannya

sesuai, letakan manset setinggi posisi jantung.

3) Letakan sensor denyut nadi (bagian pinggir bawah tengah manset)

dilekukan lengan.

4) Apabila posisi sudah siap, lanjutkan untuk menekan tombol “start”

pada tensimeter digital. Alat ini akan memompa manset secara

otomatis hingga manset mengembang penuh dan mencengkram

lengan serta mengempis secara perlahan-lahan.

5) Nilai tekanan darah akan langsung terlihat dimonitor tensimeter.

6) Catatan hasil pengukuran tekanan darah dibuku status kesehatan

atau buku catatan kesehatan pribadi.

Kriteria pengobatan hipertensi didasarkan pada pembacaan

tekanan darah yang diukur setelah beristirahat selama 15 menit.

2.3 Konsep Hipertensi

2.3.1 Definisi Hipertensi


Hipertensi adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami

peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan

peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian

(mortalitas) (Aspiani, 2015).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi tekanan

darah pada dinding arteri (pembuluh darah bersih) meningkat.

Kondisi ini dikenal sebagai “pembunuh diam-diam” karena jarang

memiliki gejala yang khas. Satu-satunya cara mengetahui apakah

seseorang memiliki hipertensi adalah dengan melakukan pengukuran

tekanan darah (Anies, 2018).

Seseorang dikatakan mengalami hipertensi atau penyakit

tekanan darah tinggi jika pemeriksaan tekanan darah menunjukan

hasil diatas 140/90 mmHg atau lebih dalam keaadan istirahat ,

dengan dua kali pemeriksaan, dan selang waktu lima menit. Dalam

hal ini, 140 atau nilai atas menunjukan tekanan sistolik , sedangkan

90 atau nilai bawah menunjukan diastolik ( Yanita, 2017)

2.3.2 Hipertensi Pada Usia Lanjut

Hipertensi pada usia lanjut dapat disebabkan karena terjadinya

perubahan pada elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung

menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah,

kehilangan elastisitas pembuluh darah, dan meningkatkan resistensi

pembuluh darah perifer. Setelah usia 20 tahun kemampuan jantung

memompa darah menurun 1 % tiap tahun sehingga menyebabkan


menurunnya kontraksi dan volume. Elastisitas pembuluh darah

menghilang karena terjadi kurangnya efektifitas pembuluh darah

perifer untuk oksigenasi (Aspiani, 2015).

2.3.3 Klasifikasi Hipertensi

Join Nation Commiten On Detection Evolution Ang

Treartment Of High Blood Pressure, Badan Penelitian Hipertensi Di

Amerika Serikat, menentukan batasan tekanan darah yang berbeda.

Klasifikasi tekanan darah pada dewasa menurut JNC VII (Aspiyari

RY, 2015).

Tabel 2.1

Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik

Normal < 120 mmHg < 80 mmHg

Pre-hipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg

Stadium 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg

Stadium 2 >=160 mmHg >= 100 mmHg

Sumber : JNC (2015)

2.3.4 Jenis-jenis Hipertensi

1. Hipertensi primer

Hipertensi primer adalah hipertensi yang belum diketahui

penyebabnya. Diderita oleh sekitar 95 % orang. Oleh sebeb itu,

penelitian dan pengobatan lebih ditunjukan bagi penderita

hipertensi primer atau hipertensi esensial.


Hipertensi primer diperkirakan di sebabkan oleh faktor berikut

ini.

• Faktor keturunan

Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan

memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan

hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.

• Ciri perseorangan

Ciri perseorangan yang mengaruhi timbulnya hipertensi

adalah umur (jika bertambah maka tekanan darah meningkat),

jenis kelamin (pria lebih tinggi dari perempuan), dan ras (ras

kulit hitam lebih banyak dari kulit putih).

• Kebiasaan hidup

Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya

hipertensi adalah konsumsi garam yang tinggi (lebih dari 30 g),

kegemukan atau makan berlebih, stress, merokok, minum

alkohol, minum obat-obatan (efedrin, pednison, efinefrin)

(Aspiani, 2015).

2. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder terjadi akibat penyebab yang jelas.

Salah satu contoh hipertensi sekunder adalah hipertensi vaskuler

renal, yang terjadi akibat stenosis arteri renalis. Kelainan ini dapat

bersifat kongenital atau akibat aterosklerosis. Stenosis arteri


renalis menurunkan aliran darah ke ginjal sehingga terjadi

pengaktifan baroreseptor ginjal, perangsangan pelepasan renin,

dan pembentukan angiotensin II. Angiotensin II secara lansung

meningkatkan tekanan darah, dan secara tidak langsung

mengingkatkan sintesis andosteron dan reseptor natrium. Apabila

dapat dilakukan perbaikan pada stenosis, atau apabila ginjal

terkena di angkat, tekanan darah akan kemali ke normal.

Penyebab lain hipertensi sekunder, antara lain

feokromositoma, yaitu tumor penghasil epinefrin di kelenjar

adenal, yang menyebabkan meningkatnya kecepatan denyut

jantung dan volume sekuncup, dan penyakit Cushing, yang

menyebabkan peningkatan volume sekuncup akibat retensi garam

dan peningkatan CTR karena hipersensitivitas sistem saraf

simpatis aldosteronnisme primer (peningkatan aldosteron tanpa

diketahui penyebabnya) dan hipertensi yang berkaitan dengan

kontrasespsi oral juga dianggap sebagai kontrasepsi sekunder.

3. Hipertensi akibat kehamilan

Hipertensi akibat kehamilan atau hipertensi gestasional

adalah jenis hipertensi sekunder. Hipertensi gestasional adalah

peningkatan tekanan darah (≥140 mmHg pada sistolik ; > 90

mmHg pada diastolik) terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu

pada wanita non-hipertensi dan membaik dalam 12 minggu

pascapartum. Hipertensi jenis ini tampaknya terjadi akibat


kombinasi dan peningkatan curah jantung dan peningkatan total

peripheral resistance (TPR). Jika hipertensi terjaadi setelah 12

minggu pascapartum, atau telah ada sebelum kehamilan 20

minggu, masuk ke dalam kategori hipertensi kronik.

Pada preeklamsia, tekanan darah tinggi disertai dengan

proteinuria (dari dalam urin setidaknya 0,3 protein dalam 24 jam).

Preeklamsia biasanya terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu

dan dihubungkan dengan penurunan aliran darah plasenta dan

pelepasan mediator kimiawi yang dapat menyebabkan disfungsi

sel endotel vaskuler diseluruh tubuh. Kondisi ini merupakan

gangguan yang sangat serius, seperti halnya preeklamsia

superimposed pada hipertensi kronis (Aspiani, 2015).

2.3.5 Faktor-Faktor Yang Tidak Dapat Dirubah

Beberapa faktor yang tidak dapat dirubah menurut Black &

Hawks, 2014. Antara lain:

1) Riwayat keluarga

Hipertensi dianggap poligenik dan multifaktorial, yaitu pada

seorang dengan riwayat hipertensi keluarga, beberapa gen

mungkin berinteraksi dengan yang lainnya dan juga lingkungan

yang dapat menyebabkan tekanan darah naik dari waktu ke wakt.

Kecenderungan genetis yang membuat keluarga tertentu rentan

terhadap hipertensi mungkin berhubungan dengan peningkatan

kadar natrium intraseluler dan penurunan rasio kalsium-natrium,


yang lebih sering ditemukan pada orang berkulit hitam. Klien

dengan orang tua yang memiliki hipertensi beresiko pada resiko

hipertensi yang lebih tinggi pada usia muda.

2) Usia

Hipertensi primer biasanya muncul antara usia 30-50 tahun.

Peristiwa hipertensi meningkat dengan usia; 50-60% klien yang

berumur lebih dari 60 tahun memiliki tekanan darah lebih dari

140/90 mmHg. Penelitian epidemiologi, bagaimanapun juga, telah

menunjukan prognosis yang lebih buruk pada klein yang

hipertensinya mulai pada usia muda. Hipertensi sistolik terisolasi

umumnya terjadi pada orang yang berusia lebih dari 50 tahun,

dengan hampir 24% dari semua orang terkena pada usia 80 tahun.

Diantara orang dewasa, pembacaan TDS lebih baik dari pada TDD

karena merupakan prediktor yang lebih baik untuk kemungkinan

kejadian dimasa depan seperti penyakit jantung koroner, stroke,

gagal jantung, dan penyakit ginjal.

3) Jenis Kelamin

Pada keseluruhan insiden, hipertensi lebih banyak terjadi

pada pria dibandingkan wanita sampai kira-kira usia 55 tahun.

Resiko pada pria dan wanita hampir sama antara usia 55 tahun

sampai 75 tahun; kemudian, setelah usia 74 tahun, wanita lebih

beresiko besar.
4) Etnis

Statistik mortalitas mengingikasikan bahwa angka kematian

pada wanita berkulit putih dewasa dengan hipertensi lebih rendah

pada angka 4,7 %; pria berkulit putih pada tingkat terendah

berikutnya yaitu 6,3 %, dan pria berkulit hidam padatingkat

terendah berikutnya yaitu 22,5%; angka kematian tertinggi pada

wanita berkulit hitam pada angka 29,3 %. Alasan peningkatan

prevalensi hipertensi diantara orang yang berkulit hitam tidak lah

jelas, akan tetapi peningkatannya dikaitkan dengan kadar renin

yang lebih rendah, sensitivitas yang lebih besar terhadap

vasopresin, tingginya asupan garam, dan tingginya stres

lingkungan.

2.3.6 Faktor-Faktor Yang Dapat Dirubah

1) Diabetes

Hipertensi telah terbukti terjadi lebih dari dua kali lipat pada

klien diabetes menurut beberapa studi penelitian terkini. Diabetes

mempercepat aterosklerosis dan menyebabkan hipertensi karena

kerusakan pada pembuluh darah besar. Oleh karena itu hipertensi

akan menjadi diagnosis yang lazim pada penderita diabetes,

meskipun diabetesnya terkontrol dengan baik. Ketika seseorang

klien diabetes terdiagnosis dengan hipertensi. Keputusan pengobatan

dan perawatan tindak lanjut harus benar-benar individual dan agesif.


2) Stres

Stres meningkatkan resistensi vaskuler perifer dan curah

jantung serta menstimulasi aktivasi sistem saraf simpati. Dari waktu

ke waktu hipertensi dapat berkembang. Stresor bisa dari banyak hal,

mulai dari suara, infeksi, peradangan nyeri, berkurangnya suplai

oksigen, panas, dingin, trauma, pengerahan tenaga berkepanjangan,

respons pada peristiwa kehidupan, obesitas, usia tua, obat-obatan,

penyakit, pembedahan dan pengobatan medis dapat memicu respons

stres. Rangsangan berbahaya ini dianggap oleh seseorang sebagai

ancaman atau dapat menyebabkan bahaya; kemudian, sebuah

respons psikopatologi “melawan-atau-lari” (fight or flight)

diprakarsai didalam tubuh. Jika respons stres menjadi berlebihan

atau berkepanjangan, disfungsi organ sasaran atau penyakit akan

dihasilkan. Sebuah laporan dari Lembaga Stres Amerika (American

Institute of Stress) memperkirakan 60% sampai 90% dari seluruh

kunjungan perawatan primer meliputi keluhan yang berhubungan

dengan stres. Oleh karena stres adalah permasalahan persepsi,

interpretasi orang terhadap kejadian yang menciptakan banyak

stresor dan respon stres.

3) Obesitas

obesitas, terutama pada tubuh bagian atas (tubuh berbentuk

“apel”), dengan meningkatnya jumlah lemak sekitar sekitar

diafragma, pinggang, dan perut, dihubungkan dengtan


pengembangan hipertensi. Orang dengan kelebihan berat badan

tetapi mempunyai mempunyai kelebihan paling banyak di pantat,

pinggul dan paha (tuhuh berbentuk “pear”) berada pada resiko jauh

lebih sadikit untuk pengembangan hipertensi sekunder dari pada

peningkatan berat badan saja. Kombinasi obesitas dengan faktor-

faktor lain dapat di tandai dengan sindrom metabolis, yang juga

meningkatkan resiko hipertensi.

4) Nutrisi

Nutrisi Konsumsi natrium bisa menjadi faktor penting dalam

perkembangan hipertensi esensial. Paling tidak 40 % dari klien yang

akhirnya terkena hipertensi akan sensitif terhadap garam dan

kelebihan garam mungkin menjadi penyebab pencetus hipertensi

pada individu ini. Diet tinggi garam mungkin menyebabkan

pelepasan hormon natriuretik yang berlebihan, yang mungkin secara

tidak langsung meningkatkan tekanan darah. muatan natrium juga

menstimulasi mekanisme vasopresor didalam sistem saraf pusat

(SSP). Penelitian juga menunjukan bahwa asupan diet rendah

kalium, dan magnesium dapat berkontribusi dalam pengembangan

hipertensi. (Black & Hawks, 2014).

5) Penyalahgunaan Obat

Merokok sigaret, mengkonsumsi banyak aklohol, dan

beberapa penggunaan obat terlarang merupakan faktor-faktor

resikohipertensi. Pada dosis tertenstu nikotin dalam rokok sigaret


serta obat seperti kokain dapat menyebabkan naiknya tekanan darah

secara langsung; namun bagaimanapun juga, kebiasaan memakai zat

ini telat turut meningkatkan kejadian hipertensi dari waktu ke waktu.

Kejadian hipertensi juga tinggi diantara orang yang minum 3 ons

etanil perhari. Pengaruh dari kafein adalah kotroversial. Kafein

meningkatkan tekanan darah akan tetapi tidak menghasilkan efek

yang berkelanjutan. (Black & Hawks, 2014).

2.3.7 Manifestasi Klinis

Tahap awal hipertensi primer biasanya adalah asimtomatik,

hanya ditandai dengan kenaikan tekanan darah. kenaikan tekanan

darah pada awalnya sementara tetapi akhirnya menjadi permanen.

Ketika gejala muncul, biasanya samar. Sakit kepala, biasanya di

tengkuk dan leher dapat muncul saat terbangun, yang berkurang

selama siang hari. Gejala lain akibat kerusakan organ mencakup

nokturia, bingung, mual dan muntah, dan gangguan penglihatan.

Penyempitan mata dapat menunjukan penyempitan arteriol, hemoragi

eksudat, dan papiledema (pembengkakan saraf optikus) (LeMone P,

2017).

Klien yang mengalami hipertensi memang terkadang tidak

menampakan gejala hingga bertahun-tahun. Gejala jika ada

menunjukan adanya kerusakan dengan manifestasi yang khas sesuai

sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah yang

bersangkutan. Perubahan patologi pada ginjal dapat bermanifestasi


sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma

(peningkatan nitrogenurea darah dan kreatinin).

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain

tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat ditemukan perubahan pada

retina, seperti perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan

pada kasus berat, edema pupil (edema padadiskus optikus).

Gejala umum yang ditimbulkan akibat hipertensi tidak semua

pada setipa orang. Bahkan terkadang timbul tanpa gejala. Secara

umum gejala yang dikeluhkan oleh penderita hipertensi sebagai

berikut :

1. Sakit kepala

2. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk

3. Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa ingin jatuh

4. Berdebar atau detak jantung terasa cepat

5. Telinga berdenging.

Corwin (2000) dalam buku (Aspiani, 2015) menyebutkan bahwa

sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi

bertahun-tahun berupa:

1. Nyeri kepala saat terjaga, terkadang disertai mual dan muntah,

akibat peningkatan tekanan darah intrakranial

2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.

3. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf

pusat.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi

glomerolus.

5. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan

kapiler.

Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi,

yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung

secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Aspiani, 2015).

2.3.8 Komplikasi

1) Stroke

Stroke dapat terjadi akibat hemoragi akibat tekanan darah

tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh

selain otak yang terpajan tekanan darah tinggi. Stroke dapat terjadi

pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak

mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke otak

yang diperdarahi berkurang. Arteri otak yang mengalami

arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan

terbentuknya aneurisma.

2) Infark Miocard

Infark micard dapat terjadi apabila arteri koroner yang

arterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium

atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah

melewati pembuluh darah. pada hipertensi kronis dan hipertrovi

ventrikel, kebutukan oksigen miokardium mungkin tidak dapat


dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan

infark. Demikian juga, hipertrofi ventrikel dapat menyebabkan

waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia,

hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan.

3) Gagal ginjal

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat

tekanan tinggi pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya

glomerulus, aliran darah ke nefron akan terganggu dan dapat

berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya

membran glomerulus, protein akan keluar melalui urine sehingga

tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan menyebabkan edema,

yang sering dijumpai pada hipertensi kronis.

4) Ensefalopati

Kerusakan otak dapat terjadi, terutama pada hipertensi

maligna (hipertensi yang meningkat cepat dan berbahaya). Tekanan

yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan

tekanan kapiler dan mendorong cairan ke ruang interstitial diseluruh

susunan saraf pusat. Neuron disekitarnya kolaps dan terjadi koma

serta kematian.

5) Kejang

Kejang dapat terjadi pada wanita preeklamsia. Bayi yang lahir

mungkin memiliki berat lahir kecil akibat perfusi plasenta yang tidak

adekuat, kemudian dapat mengalami hipoksia dan asidosis jika ibu


mengalami kejang selama atau sebelum proses persalinan (Aspiyani,

2015).

2.3.9 Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh

darah terletak dipusat vasomotor pada medula diotak. Dari pusat

vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut kebawah

ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia

simpatis di thoraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor

dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui

saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pre-ganglion

melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca

ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya

norepinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah. berbagai

faktor, seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon

pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Klien dengan

hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak

diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan ketika sistem saraf simpatis merangsang

pembuluh darah sebagai respon rangsan emosi, kelenjar adrenal juga

terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula

adrenal menyekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi.

Korteks adrenal menyekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat

memeprkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi


yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan

pelepasan renin.

Renin yang dilepaskan merangsang pembentukan angiotensin I

yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, vasokontriktor kuat,

yang pada akhirnya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks

adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus

ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor

tersebut cenderung mencetuskan hipertensi (Brunner & Suddarth,

2002).

2.3.10 Penatalaksanaan Hipertensi

Menurut Black & Hawks (2014) penatalaksanaan hipertensi

dapat dilakukan dalam pengobatan farmakologis dan non farmakologis

1) Intervensi Farmakologis

Ketika keputusan diambil untuk menggunakan intervensi

farmakologis, salah satu dari beberapa obat dari tujuh golongan obat

yang utama dapat digunakan. Obat-obatan anti hipertensi dapat

diklasifikasikan menjadi kategori sebagai berikut: diuretik,

adrenergik alfa dan beta antagonis (beta-bloker [BB]), vasodilator,

kalsium antagonis (calsium channel bloker [CCB]), enzim penukar-

angiotensin (angiotensin-coverting enzyme [ACE]), serta reseptor

penghambat angiotensin (angiotensin receptor blocker [ARBs]).

Diuretik, khususnya diuretik jenis tiasida, akan terus menjadi pilihan


obat lini pertama untuk hipertensi yang baru didiagnosis, level

rendah, tanpa komplikasi, dan penghambat beta (BB) akan terus

menjadi pilihan obat lini pertama pada kasus-kasus terpilih lainnya.

Bagaimanapun juga, ada indikasi menarik dan khusus untuk dua atau

tiga obat awal dan/atau rejimen pengobatan selanjutnya untuk

kondisi yang beragam (Black & Hawks, 2014).

2) Intervensi non farmakologis

Pencegahan dan manajemen, termasuk yang berhubungan

dengan pencegahan, diagnosis, dan manajemen hipertensi.

Kepatuhan dan ketaatan yang buruk menjadi penyebab lain dari dua

pertiga klien dengan hipertensi tidak memiliki kontrol yang cukup

terhadap tekanan darah mereka. Misalnya, klien memilih untuk tidak

memenuhi resep awal; terapi awal yang berhasil ditinggalkan begitu

saja setelah beberapa minggu atau bulan; atau hanya patuh pada

sebagai dari rejimen, sehingga gagal mencapai kontrol optimal

a. Menormalkan tekanan darah

Faktor-faktor utama dalam mengevaluasi apakah

keputusan rejimen perawatan yang telah dibuat adalah sebagai

berikut: “kontrol” tekanan darah yang diinginkan telah tercapai,

keputusan perawatan ditoleransi dan aman, dan klien bersedia

untuk berkomitmen terhadap rejimen untuk jangka waktu yang

panjang.
b. Modifikasi gaya hidup

Bukti kuat penelitian telah diilustrasikan dengan

menyakinkan bahwa modifikasi gaya hidup efektif untuk

menurunkan tekanan darah dan mengurangi faktor-faktor risiko

kardiovaskuler dengan keseluruhan biaya yang sedikit dan risiko

yang minimal. Menurut JNC VII modifikasi gaya hidup

dianjurkan tetap definitif awal bagi beberapa klien, paling tidak

untuk 6 sampai 12 bulan pertama setelah diagnosis awal.

c. Pengurangan berat badan

Kelebihan berat badan, yang ditunjukan oleh indeks masa

tubuh (BMI) berat badan dalam kilogram dibagi tinggi dalam

meter persegi atau lebih, sangat berhubungan dengan neiknya

tekanan darah. Juga, kelebihan lemak tubuk diakumulasikan pada

tubuh dengan lingkar pinggang 89 cm atau lebih untuk wanita dan

101,6 cm atau lebih untuk pria telah diasosiasikan dengan

meningkatkan risiko hipertensi (rasio pinggang/pinggul). Bagi

banyak orang dengan hipertensi yang berat badannya 10 % lebih

besar dari berat badan ideal, pengurangan berat badan sedikitnya

4,5 kg dapat menurunkan tekanan darah sampai 10 mmHg.

Pengurangan berat badan juga memperbesar keefektifan obat

hipertensi. Oleh karena itu ukur kembali tekanan darah klien

setelah berat badan menurun, dan buatlah perubahan-perubahan

yang tepat dalam intervensi farmakologis seperti diperlukan.


d. Pembatasan natrium

Sebagian besar penderita hipertensi yang sensitif terhadap

natrium, menunjukan setelah mengkonsumsi natrium mengalami

peningkatan tekanan darah. oleh karena itu, pembatasan sedang

terhadap asupan natrium 2 sampai 3 gram natrium dapat

digunakan untuk menurunkan tekanan darah. jumlah obat yang

diperlukan sebaiknya mungkin dikurangi jika asupan natrium ini

dapat diturunkan. Selain itu, pembatasan natrium ini dapat

menurunkan tingkat deprsi kalium yang sering mengiringi terapi

diuretik.

e. Modifikasi diet lemak

Modifikasi diet asupan lemak dengan menurunkan fraksi

lemak dan meningkatkan lemak tak jenuh ganda berpengaruh

sedikit terhadap penurunan tekanan darah tetapi bila ada dapat

bepengaruh dalam menurunkan kadar kolesterol secara signifikan.

Oleh karena dislipidemia merupakan faktor risiko utama dalam

perkembangan aterosklerosis, terapi diet yang bertujuan untuk

mengurangi lipid merupakan tambahan yang penting bagi

keseluruhan rejimen diet. Selanjutnya untuk rekomendasi umum

untuk makan dengan bijaksana mengikuti piramida makanan.

Pendekatan diet untuk menghentikan Hipertensi (Dietary

Approaches to Stop Hypertension/DASH), makanan sehari-hari

yang kaya akan buah-buahan, sayur-sayuran, kacang-kacangan,


dan rendah lemak dengan mengurangi lemak jenuh dan lemak

total. Harus dianjurkan kepada klien yang memerlukan intervensi

diet lemak terbatas yang lebih terstruktur.

f. Pembatasan alkohol

Prevalensi hipertensi yang lebih tinggi, buruknya kepatuhan

pada therapi anti hipertensi, serta sesekali terjadi hipertensi

refraktori berhubungan dengan pengonsumsian alkohol lebih dari

1 ons perhari. Kaji asupan alkohol dengan hati-hati. Anjurkan

klien yang minum alkohol untuk melakukannya dalam jumlah

sedang (misalnya tidak lebih dari 1 ons etanol perhari untuk pria

dan 0,5 ons untuk wanita). Terdapat 1 ons etanol (30 ml)dalam 2

ons (60 ml) wiski kualitas terbaik, dalam 10 ons (300 ml) anggur,

atau 24 ons (720 ml) bir.

g. Olahraga

Program olahraga aerobik teratur yang adekuat untuk

mencapai paling tidak kadar cukup kebugaran fisik memfasilitasi

pengondisian kardiovaskuler dan dapat membantu klien obesitas

hipertensi dalam mengurangi berat badan dan mengurangi resiko

penyakit kardiovaskular dan semua penyebab kematian. Tekanan

darah dapat dikurangi dengan intensitas aktivitas fisik yang cukup

(serendah 40 % sampai 60 % dari konsumsi oksigen), seperti

jalan cepat ( sekitar 2,5 sampai 3 mph) selama 30 sampai 45

menit hampir setiap hari dalam seminggu.


Latihan beban menggunakan beban ringan adalah

tambahan positif untuk rejimen olahraga apa saja, bagaimanapun

juga, mengangkat beban berat dapat membahayakan karena

naiknya tekanan darah, kadang-kadang ke tingkat tinggi, dengan

respons vasovagal yang terjadi selama kontraksi otot isometrik

yang intens. Sarankan klien hipertensi untuk mengawali program

olahraga secara bertahap, dengan perlahan meningkatkan

intensitas dan durasi aktivitas sebagaimana tubuh menyesuaikan

dan lebih menjadi terkondisi dengan pengawasan profesional

yang berkelanjutan.

h. Pembatasan kafein

Walaupun konsumsi kafein akut dapat menaikan tekanan

darah. konsumsi kafein sedang kronis terlihat tidak memiliki efek

yang signifikan terhadap tekanan darah. oleh karena itu

pembatasan kafein tidak penting kecuali respons jantung atau

sensitivitas berlebihan terhadap kafein ada.

i. Teknik relaksasi

Banyaknya terapi relaksasi, termasuk meditasi transendental,

relaksasi slow deep breathing, yoga, biofeedback, relaksasi otot

progresif, dan psikoterapi, dapat mengurangi tekanan darah pada

klien hipertensi, paling tidak untuk sementara. Walaupun masing-

masing modalitas memiliki pendukungnya sendiri, tidak ada yang

terbukti menyakinkan baik praktis untuk sebagian besar klien


hipertensi atau efektif dalam mempertahankan pengaruh jangka

panjang yang signifikan.

j. Menghentikan kebiasaan merokok

Walaupun merokok secara statistik tidak berhubungan

dengan perkembangan hipertensi, namun nikotin jelas

meningkatkan denyut jantung dan memproduksi vasokontriksi

prifer yang memang mengingkatkan tekanan darah arter dalam

jangka waktu yang pendeek selama dan setelah merokok.

Penghentian kebiasaan merokok sangat dianjurkan,

bagaimanapun untuk mengurangi resiko klien terhadap kanker,

penyakit paru-paru, dan penyakit kardiovaskular. Perokok terlihat

memiliki frekuensi hipertensi malignan, perdarahan subarakhnoid

yang lebih tinggi. Selain itu, penurunan risiko yang dilakukan

dengan terapi antihipertensi tidak berlaku efektif terhadap

perokok yang mana hal tersebut berlaku sebaliknya bagi bukan

perokok.

k. Suplementasi kalium

Tingginya rasio natrium terhadap kalium pada diet modern

bertanggung jawab akan perkembangan hipertensi; bagaimanapun

juga, walaupun suplemen kalium mungkin mengurangi tekanan

darah, ia terlalu mahal dan berpotensi terlalu berbahaya untuk

penggunaan rutin. Pengurangan konsumsi makanan olahan yang

tinggi natrium, rendah kalium dengan peningkatan konsumsi


makanan alami rendah natrium, tinggi kalium mungkin hal itu

yang diperlukan untuk manfaat maksimal.

2.3.11 Pemeriksaan Penunjang Hipertensi

1. Laboratorium

a. Albuminuria pada hipertensi karena kelainan parenkim ginjal

b. Kreatinin serum dan BUN meningkat pada hipertensi karena

parenkim ginjal dengan gagal ginjal akut

c. Darah perifer lengkap

d. Kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa)

2. EKG

a. Hipertrofi ventrikel kiri

b. Iskemia atau infark miokard

c. Peningkatan gelombang P

d. Gangguan konduksi

3. Foto Rontgen

a. Bentuk dan besar jantung noothing dari iga pada kontraksi aorta.

b. Pembendungan, lebarnya paru.

c. Hipertrofi parenkim ginjal

d. Hipertrofi vaskular ginjal.

(Aspiani, 2015).
2.4 Teknik Slow Deep Breathing

2.4.1 Definisi

Latihan slow deep breathing adalah tindakan yang dilakukan

secara sadar bertujuan mengatur pernafasan secara lambat dan dalam

sehingga menyebabkan efek relaksasi (Tarwoto, 2011). Relaksasi dapat

di aplikasikan sebagai terapi non farmakologis untuk mengatasi stress,

hipertensi, ketegangan otot, nyeri dan gangguan pernafasan. Terjadi

perpanjangan pada serabut otot, menurunnya pengiriman impuls saraf

menuju otak, menurunnya aktifitas pada otak dan juga fungsi tubuh lain

pada saat terjadinya relaksasi. Respon relaksasi ditandai dengan

penurunan tekanan darah menurunnya denyut nadi, jumlah pernafasan

serta konsumsi oksigen (Potter & Perry. 2006 dalam Tarwoto, 2011).

Latihan slow deep breathing yang terdiri dari Nafas dada, Nafas

diafragma, Nafas perut dapat digunakan sebagai asuhan keperawatan

mandiri dengan mengajarkan cara untuk melakukan nafas dalam (dengan

menahan inspirasi secara maksimal), nafas lambat dan juga cara

menghembuskan nafas dengan cara perlahan dengan metode bernafas

fase ekshalasi yang panjang (Lekas, 2012)

2.4.2 Tujuan Slow Deep Breathing

Tujuan latihan Slow Deep Breathing yaitu untuk memelihara

pertukaran gas, meningkatkan ventilasi alveoli mencegah terjadinya

atelektasis paru. Unsur oksigen yang masuk melewati paru-paru, secara

tidak sadar di atur oleh salah satu bagian batang otak bernama medula
oblongata. Melalui proses metabolisme, oksigen dengan unsur-unsur lain

di ubah menjadi energi bagian tubuh sehingga dapat menurunkan tekan

darah. Oksigen yang kita hisap cukup melancarkan peredaran darah,

melancarkan metabolism tubuh dan mensuplai otak dengan kadar yang

cukup (Lekas, 2012).

2.4.3 Manfaat Teknik SlowDeep Breathing untuk Tekanan Darah

Penyakit tubuh sebenarnya merupakan gangguan fungsi tubuh

tertentu yang terjadi pada tingkat sel. Penyebabnya bisa bermacam-

macam antara lain: masuknya virus atau bakteri ke dalam sistem tubuh,

penurunan kekebalan/ antibodi yang berakibat matinya sel. Penuaan

misalnya disebabkan oleh terganggunya proses respirasi/ pernafasan sel

yang berlangsung di mitrokondria (organ respirasi sel) atau juga

peningkatan tekanan darah, dan stress. Penyebab lainnya berupa

rusaknya jaringan atau organ tubuh karena benturan dari luar, inipun bisa

kita sebut sebagai penyakit (Lekas, 2012). Manfaat yang bisa kita dapat

misalnya:

• Media Pencegahan Penyakit

Dengan peningkatan energi yang diperoleh dari hasil latihan

nafas dalam lambat maka proses regenasi sel-sel yang rusak

atau pun menghidupkan sel-sel yang masih tidur bisa

ditingkatkan. Begitupun sistem kekebalan tubuh akan

meningkat drastis. Hasilnya akan sulit bagi kita untuk terkena

penyakit.
• Mengobati Penyakit Dalam Tubuh

Energi yang besar setelah melakukan olah nafas dalam lambat

otomatis meningkatkan kemampuan sistem tubuh, untuk

membunuh virus atau bakteri yang merusak sekaligus

meregenerasi kerusakan yang timbul.

• Peningkatan Kemampuan Fisik

Tubuh yang lemah disebabkan kekurangan energi. Tenaga yang

dahsyat dapat membuat tubuh lebih bertenaga dan kuat, dengan

energi yang lebih sel-sel tubuh akan menjadi lebih padat dan

tubuh menjadi sangat alot teknik ini cocok untuk anak, dewasa,

ataupun lansia.

• Keseimbangan Tubuh Dan Fikiran

Koordinasi / kerjasama yang baik antara tubuh dan fikiran di

antaranya bisa diperoleh ketika kondisi otak benar-benar baik

dan teknik ini cocok untuk rileksasi stress. Dengan tarik nafas

dalam lambat kita bisa menyaluri sel-sel yang tidur dan

meningkatkan kerja otak dalam mengontrol tubuh.

• Peningkatan Kepekaan Dan Pengendalian Diri

Konon dengan teknik yang baik dan dapat meresapi, kimia

tubuh kita akan berfungsi secara harmonis sehingga ketenangsn

dan pengendalian diri ketika menyikapi sesuatu akan sesuai

dengan kadarnya. Dengan hidupnya sel-sel otak, kemampuan

IQ, EQ, SQ kita akan meningkat sehingga kita dapat peka


terhadap diri orang lain dan lingkungan sekitar. Disaat yang

sama kemampuan ini bisa dimanfaatkan untuk berfikir dan

merenungkan ciptaan tuhan untuk menghasilkan sesuatu yang

bermanfaat.

Beberapa contoh penyakit yang dapat disembuhkan dengan

metode olah nafas dalam lambat ini di antaranya:

Jantung, hipertensi, gangguan organ pernafasan, gangguan

pencernaan, ginjal, sakit kepala, dan penyakit fisik lainnya.

Olah nafas dalam lambat juga dapat membuat tubuh menjadi

rileks / santai dan mengurangi beban fikiran atau stres. Teknik

ini sekedar untuk memaksimalkan fungsi pernafasan secara

alamiah tanpa rekayasa.

2.4.4 Pengaruh Slow Deep Breathing Terhadap Tekanan Darah

Slow Deep Breathing merupakan tindakan yang disadari untuk

mengatur pernafasan secara dalam yang dilakukan oleh korteks serebri,

sedangkan pernafasan spontan dilakukan oleh medulla oblongata. Nafas

dalam lambat dilakukan dengan mengurangi frequensi bernafas 16-19

kali dalam 1 menit menjadi 6-10 kali dalam 1 menit. Nafas dalam lambat

yang dilakukan akan merangsang munculnya oksida nitrit yang akan

memasuki paru-paru bahkan pusat otak yang berfungsi membuat orang

menjadi lebih tenang sehingga tekanan darah yang dalam keadaan tinggi

akan menurun (ward, 2010)


Latihan Slow Deep Breathing dapat menurunkan produksi asam

laktat di otot dengan cara meningkatkan suplai oksigen sementara

kebutuhan oksigen didalam otak mengalami penurunan sehingga terjadi

keseimbangan oksigen di dalam otak. Nafas dalam dam juga lambat

dapat menstimulus saraf otonom yang dapat berefek terhadap penurunan

respon saraf simpatis dan juga peningkatan respon parasimpatis. Respon

saraf simpatis akan meningkatkan aktifitas tubuh sementara respon saraf

parasimpatis cendrung menurunkan aktivitas tubuh sehingga tubuh

mengalami relaksasi dan mengalami penurunan aktivitas metabolik.

Stimulasi saraf parasimpatis berdampak terhadap terhadap vasodilatasi

pada pembuluh darah otak yang memungkinkan suplai oksigen di dalam

otak lebih banyak sehingga sehingga perfusi pada jaringan otak lebih

adekuat (downey, 2009 dalam niken, 2015). Penurun kadar hormon

adrenalin juga terjadi saat latihan Slow Deep Breathing yang akan

memberikan rasa tenang dan rileks sehingga berdampak terhadap

perlambatan denyut jantung yang akhirnya akan membuat tekanan darah

mengalami penurunan (Prasetyo, 2010 dalam Hafid, 2018)

1. Pernafasan Dada

Pernafasan dada adalah pernafasan yang menggunakan

gerakan-gerakan otot antara tulang rusuk.adanya kontraksi

otot-otot yang terdapat diantara tulang-tulang rusuk

menyebabkan tulang dada dan tulang rusuk terangkat sehingga

rongga dada membesar


2. Pernafasan Perut

Pernafasan perut adalah pernafasan yang menggunakan otot-

otot diafragma. Otot-otot sekat rongga dada berkontraksi

sehingga diafragma yang semula cembung menjadi agak rata,

dengan demikian paru-paru dapat mengembang kea rah perut.

2.4.5 Fisiologi Pernafasan

Fungsi paru adalah tempat pertukara gas oksigen dan

karbondioksida pada pernafasan melalui paru melalui pernafasan

melalui pernafasan eksterna. Tubuh melakukan usaha memenuhi

kebutuhan O2 untuk proses metabolism dan mengeluarkan CO2

sebagai hasil metabolisme dengan perantara organ paru-paru dan

saluran nafas bersama kardiovaskuler sehingga dihasilkan darah

yang kaya oksigen (Syaifuddin, 2010)

2.4.6 Mekanisme Fisiologi Slow Deep breathing

Selama metode inspirasi dengan deep breating berlangsung, akan

menyebabkan abdomen dan rongga dada terisi penuh mengakibatkan

terjadinya peningkatan tekanan intratoraks di paru. Inspirasi dalam akan

efektif untuk membuka pori-pori kecil antara sel alveolus (khon) dan

menimbulkan ventilasi kolateral ke dalam alveolus di sebelahnya yan

mengalami penyumbatan. Dengan demikian kolaps akibat absorpsi gas ke

dalam alveolus yang tersumbat dapat di cegah. Dalam keadaan normal

absorpsi gas ke dalam darah lebih mudah karena tekanan parsial total gas-

gas darah sedikit lebih rendah dari pada tekanan atmosfer akibat lebih
banyak nya O2 yang di absorpsi kedalam jaringan daripada CO2 yang di

ekresikan (Yadav, 2009)

2.4.7 Prosedur Pelaksanaan Latihan Slow Deep Breathing

Prosedur yang dilakukan saat latihan Slow Deep Breathing dengan

melakukan pernafasan diafragma dan purse lip breathing selama inspirasi

mengakibatkan pembesaran pada abdomen bagian atas seiring dengan

dorongan udara yang masuk selama inspirasi. Langkah-langkah latihan

Slow Deep Breathing (University of Pittsburrgh Medical Center, 2003

Dalam Tarwoto, 2011) adalah sebagai berikut:

a. Mengatur pasien dalam posisi duduk

b. Kedua tangan pasien diletakan di atas perut

c. Anjurkan pasien untuk melakukan tarik nafas secara perlahan dan dalam

melalui hidung

d. Tarik nafas selama 3 detik dan merasakan abdomen mengembang selama

menarik nafas

e. Tahan nafas selama 3 detik

f. Kerutkan bibir dan keluarkan nafas melalui mulut, hembuskan secara

perlahan selama 6 detik. Dan rasakan abdomen bergerak kebawah

g. Ulangi 1 langkah sampai 10 selama 2-5 menit, lakukan Slow Deep

Breathing dengan frekuensi 3 kali sehari.


Penelitian yang dilakukan oleh Rasyidah AZ, dkk, 2018, yang

berjudul “pengaruh Slow Deep Breathing terhadap tekanan darah

penderita hipertensi” ini menggunakan design penelitian jenis Quasy

Eksperimental dengan rancangan penelitian yaitu non equivalen

control group dan purposive sampling. Penelitiannya terhadap tekanan

darah hipertensi bahwa tehnik Slow Deep Breathing yang dilakukan

selama intervensi selama 5-10 menit dan istirahat selama 10 menit

kemudian dilakukan pengukuran postest. Latihan Slow Deep

Breathing diberikan selama 3 kali berturut-turut dalam jarak waktu

satu minggu adanya penurunan tekanan darah yang signifikan pada

kelompok eksperimen dengan diperoleh p value 0,000 (sistol)

(p<0,05) dan p value 0,000 (diatol) (p<0,166). Pengukuran diperoleh

dari nilai mean tekanan darah pretest sistol pada kelompok

eksperimen sebesar 151,18 mmHg, pretest diastol 91,18 mmHg

postest sistol sebesar 140,00 mmHg, postest diastol sebesar 88,24

mmHg.
Hal ini juga terjadi ketika di teliti oleh Dian Wisnu Wardani

tentang “Pengaruh Relaksasi Nafas Dalam Sebagai Terapi Tambahan

Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Tingkat

1” Menunjukan hasil adanya penurunan antara tekanan darah pada

kelompok perlakuan. Penelitian tersebut merupakan jenis penelitian

pra experiment dengan rancangan non-equivalent control grup.

Sampel penelitian berjumlah 30 responden pada kelompok kontrol,

dipilih dengan teknik total sampling.

Kemudian Penelitian ini di perkuat oleh Meidilla Laila

Anugraheni tentang “Pengaruh Slow Deep Breathing Terhadap

Tekanan Darah Lansia Hipertensi Yang Mendapat Senam Lansia”

bahwa adanya pengaruh Slow Deep Breathing Terhadap Tekanan

Darah Lansia Hipertensi, jenis penelitian yang digunakan adalah

Kuantitatif dengan metode quasy experiment dengan desain one grup

pre-test post-test control design.


2.5 KERANGKA TEORI

SLOW DEEP BREATHING

Vasodilator dinding otot


pembuluh darah

Oksida nitrit meningkat

Elastisitas pembuluh darah

CVP menurun

Volume darah menurun

Curah jantung menurun

Sumber: Black & Hawks, 2014

Tekanan darah sistolik dan diastolik


setelah tarik nafas dalam

Anda mungkin juga menyukai