Anda di halaman 1dari 92

EFEKTIFITAS SODIUM DIVALPROAT SEBAGAI TERAPI

ADJUVAN TERHADAP PERBAIKAN GEJALA POSITIF


SKIZOFRENIA PARANOID YANG DIBERI HALOPERIDOL

THE EFFECTIVENESS OF DIVALPROAT SODIUM AS AN


ADJUVANT THERAPY ON THE IMPROVEMENT OF POSITIVE
SYMPTOMS IN PARANOID SCHIZOPHRENIA PATIENTS
TREATED WITH HALOPERIDOL

SUKMAWATY MACHMUD

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
EFEKTIFITAS SODIUM DIVALPROAT SEBAGAI TERAPI
ADJUVAN TERHADAP PERBAIKAN GEJALA POSITIF
SKIZOFRENIA PARANOID YANG DIBERI HALOPERIDOL

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Biomedik

Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu

Disusun dan diajukan oleh

SUKMAWATY MACHMUD

Kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

ii
HALAMAN PENGESAHAN
UJIAN AKHIR MAGISTER

Program Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

EFEKTIFITAS SODIUM DIVALPROAT SEBAGAI TERAPI ADJUVAN


TERHADAP PERBAIKAN GEJALA POSITIF SKIZOFRENIA PARANOID
YANG DIBERI HALOPERIDOL

Disetujui untuk diseminarkan :


Nama Mahasiswa : Sukmawaty Machmud
Nomor Pokok : P1507211028
Program Pendidikan : Dokter Spesialis Terpadu FK. UNHAS
Program Studi : Biomedik
Tahun Masuk : Juli 2011
Hari / Tanggal : Jumat/20 Oktober 2017
Tempat : Ruang Pertemuan Departemen Psikiatri FK. UNHAS

Komisi Penasihat :

Ketua Sekertaris

dr. Theodorus Singara, SpKJ (K) Prof.dr.Nur Aeni MA Fattah, SpKJ(K) A&R
Mengetahui,

Ketua Konsentrasi,
PPDS Terpadu FK UNHAS

Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, Sp.A (K)


NIP. 19520923 197903 1 003

iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sukmawaty Machmud


No. Stambuk : P15007211028
Program Studi : Biomedik
Konsentrasi : Ilmu Kedokteran Jiwa

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar

merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau

pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa

sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima

sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Oktober 2017


Yang Menyatakan

Sukmawaty Machmud

iv
PRAKATA
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah, SWT atas rahmat dan karunia-

Nya, serta salawat dan salam atas junjungan Rasulullah Muhammad, SAW, sehingga

tesis yang berjudul “EFEKTIFITAS SODIUM DIVALPROAT SEBAGAI TERAPI

ADJUVAN TERHADAP PERBAIKAN GEJALA POSITIF SKIZOFRENIA PARANOID

YANG DIBERI HALOPERIDOL” dapat diselesaikan dengan baik

Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,

olehnya itu dengan rasa hormat yang mendalam penulis menyampaikan terima kasih

kepada :

1. Rektor Universitas Hasanuddin dan Direktur Program Pasca Sarjana beserta

jajarannya, serta Ketua Program Studi Biomedik, yang telah berkenan menerima

penulis sebagai mahasiswa, dan atas pelayanan serta berbagai bantuan yang

telah diberikan selama penulis mengikuti program pascasarjana;

2. Bapak dr. Theodorus Singara, Sp.KJ (K) selaku ketua Komisi Penasehat dan

Ibu Prof.dr.Nur Aeni MA Fattah, SpKJ A&R selaku Sekretaris Komisi Penasehat

yang telah meluangkan waktu untuk memberi bimbingan, arahan dan nasehat

kepada penulis selama proses pendidikan dan perampungan penelitian ini.

3. Bapak Prof. Dr. dr. R. Satriono, M.Sc, Sp.A(K), Sp.GK(K) selaku pembimbing

metodologi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan

mengarahkan penulis. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan


v
kepada Bapak Prof. dr. A. Jayalangkara Tanra, Ph.D, Sp.KJ(K) dan Ibu Dr. dr.

Saidah Syamsuddin, Sp.KJ selaku tim penguji yang telah meluangkan waktunya

dan memberikan masukan-masukan demi penyempurnaan tesis ini;

4. Terimakasih banyak kepada Ketua Bagian Psikiatri Unhas dan sebagai

Penasehat Akademik penulis Bapak Prof. dr. A. J. Tanra, Ph.D, Sp.KJ(K), Ketua

Program Studi Bapak Dr. dr. Sonny T. Lisal, Sp.KJ dan Sekertaris Program

Studi Ibu Dr. dr. Saidah, SpKJ yang telah sabar menghadapi kami selama

mengikuti pendidikan dan banyak membantu mendengarkan keluh kesah penulis

selama mengikuti pendidikan.Terimakasih kepada seluruh guru-guru penulis,

alm. dr.H.MohSyauki, Sp.KJ, dr. WempyThioritz,Sp.KJ(K), dr. Hawaidah,

Sp.KJ(K), dr. RabiahTanthawie, Sp.KJ, dr. Fanny Wijaya, Sp.KJ, dr. Irma Santi,

Sp.KJ, dr. Erlyn Limoa,Ph,D, Sp.KJ, dr. AgusJapari,MKes, Sp.KJ, dr. Rinvil

Renaldi, MKes, SpKJ(K), dr. IfaTunisya, Sp.KJ, dr. Suheyra Syauki,MKes, Ph.D,

SpKJ, dr. Kristian Liauri, Ph.D, Sp.KJ dan Drs. Riyadi, S. Psi yang telah

memberikan bimbingan, dan masukan serta dukungan moril kepada penulis

selama pendidikan di bagian Psikiatri;

5. Ibu Direktur Umum RSKD Prov.SulSel beserta jajaran, utamanya kru di bagian

Apotik, bangsal Kenari dan bangsal Kenanga yang telah menyediakan

sarana dan prasarana untuk kepentingan penelitian ini dan telah menyambut

dengan tangan terbuka selama proses pengambilan data primer untuk

perampungan penelitian ini;

6. Seluruh teman sejawat residen Bagian Psikiatri, sahabat, saudara seperjuangan

yang dalam proses studi saya anggap sebagai keluarga, atas tangan yang selalu

vi
terulur untuk menolong, bahu yag tersedia untuk tangisan, lengan yang mau

merangkul dan canda tawa yang meringankan langkah-langkah penat, semua

kebersamaan yang senantiasa akan dikenang oleh penulis sebagai memori yang

berharga;

7. Semua pasien beserta keluarganya yang telah bersedia terlibat dalam penelitian

ini, atas kesabarannya menghadapi penyakitnya dan proses penyembuhannya

serta untuk kerjasamanya dalam proses penelitian ini yang telah mengajari

penulis banyak hal tentang kehidupan;

Akhirnya terimakasih tak terhingga kepada orang tuaku tercinta, H. Machmud

Makkarumpa’ Pattado’ dan Supiana Nohong Pattado’ yang telah memberikan kasih

sayang yang berlimpah dan doa yang tak pernah putus. Seluruh keluarga besar

The Machmud’s and the Nohong’s yang telah memberikan dukungan baik moril

maupun materiil pada penulis selama ini. Jazaakallahukhairankatsiiran.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari

sempurna, karena itu mohon kiranya dimaafkan bila terdapat hal-hal yang tidak

berkenaan dalam penulisan tesis ini.

vii
Semoga hasil tulisan ini dapat menambah khazanah baca dan memperluas

pengetahuan pembaca yang budiman.

Akhir kata semoga tesis ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat dan

almamater. Amiin YRA

Makassar,14 Oktober 2017

Sukmawaty Machmud

viii
ix
x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………...…………… i

HALAMAN PENGAJUAN TESIS…………………………………………... ii

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………. iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS………………………………………… iv

PRAKATA…………………………………………………………………….. v

ABSTRAK…………………………………………………………………… .. ix

ABSTRACT…………………………………………………………………… x

DAFTAR ISI……………………………………………………………………. xi
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. xiv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………… xvii

DAFTAR SINGKATAN .......................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Skizofrenia ........................................................................................ 9
1 Sejarah Skizofrenia ............................................................... 9
2 Kriteria Diagnosis Skizofrenia................................................ 10
3 Epidemiologi Skizofrenia ....................................................... 13
4 Etiologi Skizofrenia................................................................ 15
a. Genetik.............................................................................. 15
b. Hipotesis Perkembangan Saraf......................................... 17
d. Faktor Perkembangan Janin………………………………… 17

xi
c. Neurobiologi ...................................................................... 18
1) Hipotesis Dopamin........................................................ 21
2) Hipotesis Abnormalitas Reseptor NDMA ...................... 21
3) Peranan GABA (Gamma Aminobutiric Acid .................. 28
B. Antipsikotik Tipikal ......................................................................... 29
Haloperidol..................................................................................... 35
C. Mood Stabilizers sebagai Terapi adjuvan pada
Skizofrenia Paranoid ..................................................................... 36
D. Penggunaan Sodium Divalproat pada Skizofrenia Paranoid ......... 38
E. The Positive and Negative Syndrome Scale (PANNS) .................. 43
BAB III KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Teori .............................................................................. 45
B. Kerangka Konsep .......................................................................... 46
C. Hipotesis Penelitian ....................................................................... 47
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. DesainPenelitian ....................................................................... 48
B. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 48
C. Populasi Penelitian .................................................................... 48
D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel.................................... 48
E. Besar Sampel............................................................................ 49
F. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi........................................... 50
G. Izin Penelitian dan Kelaikan Etik ............................................... 50
H. Cara Kerja ................................................................................. 51
1. Alokasi Subjek....................................................................... 51
2. Cara Penelitian ................................................................... 51
I. Identifikasi dan klasifikasi Variabel ............................................ 52
J. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif .................................. 52
K. Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 54
L. Alur Penelitian ........................................................................... 55
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian…………………………………………………….. 56

xii
B. Pembahasan……………………………………………………….. 62
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan……………………………………………………………. 68
B. Saran………………………………………………………………… 69
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 70

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penjelasan Sediaan Sodium Valproat ……………………………………….. 41

Tabel 2. Gejala Positif dan Negatif PANSS……………………………………………… 43

Tabel 3. Gejala Psikopatologi Umum PANSS…………………………………………… 43

Tabel 4.Karekteristik Sampel Penelitian…………………………………………………. 56

Tabel 5. Deskriptif Skoring PANSS Positif pada Kedua Jenis Terapi………………….58

Tabel 6.Uji T Berpasangan Skor PANSS Positif Minggu Pertama dan

Minggu kedua Terapi dengan Haloperidol……………………………………….59

Tabel 7. Uji T Berpasangan Skor PANSS Positif Minggu Pertama dan

Kedua dengan Terapi Haloperidol dan Sodium Divalproat…………………… 59

Tabel 8.Uji Normalitas Variabel-variabel yang dinilai dari

kedua kelompok ……………………………………………………………………..60

Tabel 9. Uji Perbandingan Skor PANSS Positif Terapi Haloperidol

dengan Terapi Haloperidol dan Sodium Divalproat

setelah 1 minggu dan 2 minggu…………………………………………………..61

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Peta Alokasi Kerusakan Pada Otak dan Gejala yang

Ditimbulkan pada Skizofrenia (Stahl, 2013).......................... 18

Gambar2. Jalur Glutamat di Dalam Otak Manusia (Stahl,2013) ............ 22

Gambar 3.Hipofungsi Disfungsi Glutamate pada Skizofrenia

(Stahl, 2013).......................................................................... 25

Gambar4. Hipofungsi NDMA di Korteks yang Dihubungkan dengan

Gejala Positif pada Skizofrenia (Stahl, 2013) ....................... 26

Gambar 5.Hipofungsi reseptor NMDA di Ventral Hipokampus dan

Gejala Negatif pada Skizofrenia (Stahl, 2013)....................... 27

Gambar 6.Hipofungsi reseptor NDMA di Ventral Hipokampus Dan

Gejala Negatif pada Skizofrenia (Stahl, 2013)....................... 28

Gambar 7.Mekanisme Kerja Antipsikotik Tipikal Pada

Jalur Mesolimbik (Stahl, 2013) ............................................. 30

Gambar 8.Mekanisme Kerja Antipsikotik Tipikal Pada

Jalur Mesokorteks (Stahl, 2013)............................................ 31

Gambar 9.Mekanisme kerja Antipsikotik Tipikal Pada J

alur Nigrostriatal (Stahl, 2013).............................................. 32

Gambar 10.Mekanisme kerja Antipsikotik Tipikal

Pada Jalur Tuberoinfundibuler(Stahl, 2013) ........................ 33

Gambar 11. Molekul haloperidol (Stahl, 2013) ....................................... 35

Gambar 12. Molekul Sodium divalproat ................................................. 38

xv
Gambar 13. Mekanisme Kerja Sodium Valproat pada

Kanal Voltase Natrium...................................................... 39

Gambar 14. Mekanisme kerja Divalproat dengan GABA ....................... 39

Gambar 15. Mekanisme kerja Sodium Divalproat .................................. 40

Gambar 16. Kerangka Teori…………………………………………………. 45

Gambar 17. Kerangka Konsep………………………………………………. 46

Gambar 18. Alur Penelitian……………………………………………………55

Gambar 19. Grafik perbandingan rerata skor PANSS positif

antara yang menggunakan Haloperidol dengan

Haloperidol dan Sodium Divalproat……………………………61

xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor halaman

1 Lampiran formulir persetujuan setelah penjelasan subyek > 17 73

tahun

2 Lampiran data penelitian 75

xvii
DAFTAR SINGKATAN

APA : American Psychiatric Association

DSM-5 : Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder, Fifth Edition

ECT : Electroconvulsive Therapy

GABA : Gamma Aminobutyric Acid

LC : Locus Coeruleus

NMDA : N-Methyl-D-Aspartate

VSSCs : Voltage Sensitive Sodium Channels

VTA : Ventral Tegmental Area

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang berat yang merupakan

penyakit di bidang psikiatri. Secara keseluruhan terdapat 1% dari populasi

akan mengalami penyakit skizofrenia. Menurut data Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) prevalensi Skizofrenia di Indonesia mencapai 1,27

permil.(Riskesdas, 2013) Orang yang mengalami skizofrenia tidak mampu

mengenali realitas sehingga orang dengan skizofrenia tidak mampu

menjalankan kehidupan sehari-hari layaknya seperti orang normal.

Manifestasi ini menyebabkan orang dengan skizofrenia memerlukan

penanganan yang cepat dan tepat, sehingga prognosis pasien ini bisa

menjadi lebih baik dan pasien mampu menjalankan kehidupan mendekati

orang normal dan tidak jatuh ke fase detoriorasi mental yang

menyebabkan kerugian semua pihak, baik itu keluarga maupun negara.

. Sebanyak 1,7 juta kunjungan ke ruang gawat darurat pertahun

melibatkan pasien dengan gejala positif dan 20% - 50% dari kunjungan

darurat psikiatri di Amerika Serikat melibatkan pasien yang berisiko

memperlihatkan gejala positif skizofrenia. Skizofrenia (sebanyak 27%) dan

gangguan bipolar yang umumnya memperlihatkan gejala positif. Gejala

positif pada pasien skizofrenia atau gangguan bipolar dapat dipercepat

1
atau diperburuk oleh faktor yaitu laki-laki, usia yang lebih muda, riwayat

penyalahgunaan zat, ketidakpatuhan menggunakan antipsikotik

(Sadock,2013).

Kebanyakan pasien skizofrenia, memperlihatkan beberapa episode

akut dengan gejala positif yang memerlukan perawatan di rumah sakit

selama perjalanan penyakit mereka, dan hampir dari 20% dari pasien-

pasien ini membutuhkan pengobatan untuk gejala positifnya. Pasien

dengan gejala positif yang dihubungkan dengan skizofrenia paranoid

berisiko untuk mencelakai diri mereka sendiri dan atau orang lain

sehingga membutuhkan pengobatan untuk mengontrol gejala dengan

cepat (Sadock,2013).

Terdapat lima subtype skizofrenia, yaitu : Skizofrenia Paranoid,

disorganized schizophrenia, catatonic schizophrenia, undifferentiated

schizophrenia, dan residual schizophrenia

Skizofrenia paranoid adalah jenis skizofrenia yang paling umum

memperlihatkan gejala positif dan paling sering dijumpai di negara

manapun.Gambaran klinis didominasi oleh waham-waham yang secara

relatif stabil, seringkali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-

halusinasi terutama halusinasi pendengaran dan waham curiga (gejala

positif). (Sadock, 2007)Penelitian SPSS mengatakan bahwa secara

internasional lebih dari 70% orang dengan skizofrenia paranoid memiliki

halusinasi pendengaran dan presentasenya mungkin lebih tinggi di

2
Negara industri.Pada kasus dengan banyak gejala, dilaporkan bahwa

halusinasi auditorik prevalensinya bisa mencapai 98%. (Sadock, 2013)

Obat antipsikotik utama yang paling sering digunakan untuk

penanganan skizofrenia paranoid adalah antipsikotik golongan tipikal,

yaitu haloperidol dengan dosis maksimal 30 mg/hari. Haloperidol

merupakan obat yang paling utama pada penatalaksanaan semua tipe

skizofrenia. (Tjay and Rahardja,2007) Alasan masih digunakannya

haloperidol karena efikasi biaya yang dikeluarkan dalam penggunaan

kombinasi antipsikotik atipikal lebih tinggi dari haloperidol, dikarenakan

harga satuan oral atipikal yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan

harga satuan oral tipikal, yaitu haloperidol dan hal ini juga akibat dari lama

rawat inap yang lebih panjang pada penggunaan atipikal dibandingkan

dengan kelompok penggunaan antipsikotik tipikal. (Shinta, 2013)

Haloperidol lebih cepat bekerja dengan cara memblok reseptor

dopaminergik D1 dan D2 mesolimbik postsinaptik di otak. (Fuller and

Sajotiv 2002) sehingga cepat pula menurunkan gejala positif dibandingkan

antipsikotik atipikal. Pemakaian antipsikotik tipikal menghasilkan perbaikan

klinis yang bermakna pada kira-kira 50 sampai 75 persen. (Sadock, 2010)

Tetapi pada beberapa kasus memberikan hasil yang kurang optimal

dengan hanya pemberian antipsikotik saja.

Masih saja ditemukan beberapa kasus skizofrenia paranoid yang

perjalanannya dapat terjadi secara episodik, dengan remisi sebagian atau

sempurna, atau bersifat kronik. Pada kasus-kasus kronik gejala yang

3
nyata menetap selama bertahun-tahun dan sukar untuk membedakan

episode-episode yang terpisah (PPDGJ III, 1993)

Hasil yang kurang optimal ini memberikan dampak bagi klinisi untuk

mencoba memikirkan solusi untuk menemukan obat alternatif bagi pasien

skizofrenia paranoid yang tidak optimal dengan pemberian antipsikotik

saja.

Pengobatan di bidang biologi pada pasien skizofrenia sampai saat

ini telah berkembang dari electroconvulsive therapy (ECT), penggunaan

pertama dari chlorpromazine pada tahun 1952 sebagai antipsikotik tipikal

dan termasuk juga pengobatan antipsikotik generasi kedua (atipikal) dan

yang terbaru adalah penggunaan mood stabilizers. Perkembangan

pengobatan skizofrenia ini, diharapkan mampu membantu pasien

skizofrenia mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan sejahtera

(Djimandjaja, 2010). Bagi klinisi ini merupakan tantangan untuk

memutuskan pengobatan apa yang terbaik untuk penanganan skizofrenia,

yang disesuaikan dengan risiko dan keuntungan pada pasien itu sendiri.

Adanya bukti-bukti penanganan skizofrenia dengan memakai

antipsikotik yang memakai dasar hipotesis dopamin kurang relevan lagi.

Bukti-bukti tersebut menunjukkan gejala inti skizofrenia paranoid berupa

gejala positif, ternyata tidak berespon baik terhadap antipsikotik yang

bersifat antagonis dopamin.Bukti-bukti ini mengakibatkan timbul dugaan

bahwa gejala-gejala inti tersebut tidak berkaitan dengan aktifitas dopamin

saja. Oleh karena itu, hipotesis dopamin tersebut direvisi kembali dengan

4
memasukkan neurotransmiter lainnya, misalnya serotonin, glutamat dan

Gamma Aminobutyric Acid (GABA) yang saling berinteraksi sehingga

orang menderita skizofrenia (Amir, 2008).

Akhir-akhir ini, banyak dilakukan penelitian tentang obat-obat

skizofrenia salah satunya obat golongan mood stabilizers. Mood

stabilizers saat ini menjadi salah satu kunci dari terapi dari pasien

skizofrenia yang tidak mampu diatasi hanya dengan pemberian

antipsikotik saja. Secara internasional saat ini banyak dilakukan

penambahan terapi termasuk mood stabilizers pada pasien skizofrenia

sebagai terapi adjuvan (Kang Sim, 2011). Obat tambahan ini bisa

digunakan untuk mengurangi gejala dan keluhan seperti agresivitas atau

gejala positif pada skizofrenia paranoid (Murray et al, 2008).

Sebuah studi,double blind, randomized clinical trial pada 249

skizofrenia. Penelitian ini membandingkan penggunaan risperidon dan

placebo dengan risperidon dan divalproat; olanzapin dan plasebo

dengan olanzapin dan divalproat. Hasilnya adalah kombinasi divalproat

dengan risperidon atau olanzapin secara signifikan lebih baik daripada

pengobatan monoterapi terlihat efek menurunkan gejala hostility pada

hari ke-3-7 hari dari pada monoterapi (Leslie C, et al,2004).

Salah satu laporan kasus dari India. Seorang laki-laki, belum

menikah, umur 30 tahun, berat badan 62 kg, sejak tahun 2007 dengan

keluhan utama halusinasi auditorik dan ideas of reference, mengalami

penarikan diri dan mengalami hendaya dalam pekerjaan sehari-hari.

5
Pasien tidak mempunyai riwayat gangguan mood. Pasien didiagnosis

skizofrenia paranoid. Diberikan terapi risperidon 8 mg/hari dalam dosis

terbagi dan fluoxetine 80mg/hari dalam dosis terbagi. Terapi ini

memberikan respon yang baik dalam memperbaiki hendaya pasien

dalam bekerja sebagai machinery. Tetapi gejala halusinasi auditoriknya

tidak berhenti, suara-suara itu selalu mengkritiknya. Kemudian oleh

psikiaternya dicoba diberikan sodium divalproat sebagai terapi adjuvan

dengan antipsikotik dan antidepresan dengan dosis yang sama dengan

sebelumnya. Pasien diberi sodium divalproat dengan dosis 1700 mg/hari

dalam dosis terbagi. Hasilnya halusinasi auditorik pasien berkurang 75%

dengan nilai PANSS 2 dan 3 (mild symptoms) pada item

P3/halusinasi.(Ravi Philip, 2012).

Berdasarkan pengalaman kami, selama di Ambon yang

merupakan salah satu tempat stase pada PPDS di Bagian Ilmu Psikiatri

UNHAS selama 2 bulan pada tahun 2015 ditemukan sekitar 5 kasus

dengan diagnosis skizofrenia paranoid yang perbaikan gejala positifnya

kurang optimal dengan pemberian antipsikotik setelah beberapa lama

namun setelah diberikan sodium divalproat, dalam hal ini depakote 250/

8 jam/ hari, perbaikan gejala positif skizofernia paranoid cukup

memuaskan. Pemberian sodium divalproat ini berdasarkan teori dari text

book dan literature searching yang kami lakukan sebelumnya dan telah

kami konsultasikan dengan supervisor kami di RSKD Maluku (Ambon).

6
Sebuah penelitan studi meta-analisis dari Taiwan yang

dilakukan pada Agustus 2016 dengan menggunakan skala BPRS dan

PANSS. Penelitian ini melibatkan sebanyak 889 memperlihatkan

gejala positif. Sebanyak 436 pasien skizofrenia diberikan terapi

haloperidol ataupun risperidon dengan penambahan sodium valproat

dan 453 diberikan antipsikotik (diberikan haloperidol atau risperidone

secara acak). Hasilnya terdapat perbaikan psikopatologi yang

signifikan daripada yang hanya diberikan antipsikotik.(Ping-Tao et al,

2016)

Penulis dalam proposal tesis Combined Degree ini akan

membahas bagaimana peran mood stabilizers sebagai terapi adjuvan

dalam penanganan skizofrenia paranoid dan juga akan dipaparkan

bagaimana interaksinya dengan obat antipsikotik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

“Bagaimanakah perbandingan perbaikan gejala positif pada pasien

skizofrenia paranoid yang diberikan terapi adjuvan sodium divalproat dan

haloperidol (antipsikotik tipikal) dengan yang hanya diberikan haloperidol,

yang merupakan kelompok kontrol.

7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengukur perbandingan perbaikan gejala positif pada pasien
skizofrenia paranoid berulang yang diberikan terapi adjuvan
adjuvan sodium divalproat dan haloperidol dengan yang diberikan
haloperidol, yang merupakan kelompok kontrol berdasarkan skala
PANSS (Positiveand Negative Syndrome Scale).
2. Tujuan Khusus
a. Mengukur perbaikan gejala positif skizofrenia paranoid
yang diberikan haloperidol, yang merupakan kelompok
kontrol berdasarkan PANSS
b. Mengetahui perbaikan gejala skizofrenia paranoid yang
diberikan terapi adjuvan sodium divalproat dan
haloperidol berdasarkan PANSS.
c. Membandingkan perbaikan gejala positif skizofrenia
paranoid pada kelompok kontrol dengan kelompok
terapi adjuvan berdasarkan PANSS.

D. Manfaat Penelitian
a. Memberikan informasi ilmiah mengenai efek penggunaan mood
stabilizer, dalam hal ini sodium divalproat pada penatalaksanaan
pasien skizofrenia paranoid.
b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut
terutama dalam bidang psikofarmakologi.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam
penatalaksanaan gejala positif pada skizofrenia paranoid yang
merupakan salah satu bentuk kegawatdaruratan psikiatrik.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia

1. Sejarah Skizofrenia

Besarnya masalah klinis skizofrenia secara terus menerus telah

menarik perhatian tokoh-tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang

sejarah gangguan ini.Dua tokoh tersebut adalah Emil Kraepelin (1856-

1926) dan Eugen Bleuler (1857-1939). Sebelumnya Benedict Morel (1809-

1873), seorang psikiater Prancis, menggunakan istilah demence precoce

untuk pasien dengan penyakit yang dimulai pada masa remaja yang

mengalami perburukan (Sadocks, 2013).

Pada tahun 1898, Kraepelin menerjemahkan pasien dengan istilah

demensia praecox, yang digambarkan dengan penyakit demensia yang

memiliki perjalanan penyakit yang memburuk, pada usia muda, dalam

jangka waktu lama dan gejala klinis umum berupa halusinasi dan waham.

Meski Kraepelin telah mengakui bahwa sekitar 4 % pasiennya sembuh

sempurna dan 13 % mengalami remisi yang signifikan, para peneliti

dikemudian hari seringkali menyatakan salah jikalau Kraepelin

menganggap demensia precox memiliki perjalan penyakit dengan

perburukan yang yang tak terhindarkan.

Tahun 1908, Bleuler mencetuskan istilah schizophrenia, yang

menggantikan istilah demensia precox dalam literatur. Ia memilih istilah

tersebut untuk menunjukkan adanya schisme (perpecahan) antara pikiran,

9
emosi dan perilaku,namun tidak mengalami perburukan. Setelah Bleuler

mencetuskan konsep ini, insidensi skizofrenia di Amerika Serikat

meningkat hingga dua kali dibandingkan insiden di Eropa yang mengikuti

prinsip Kraepelin. Istilah skizofrenia dari Bleuler diterima secara

internasional untuk gangguan seperti ini.

2. Kriteria Diagnosis Skizofrenia

a. Kriteria Skizofrenia Menurut Diagnostic And Statistical

Manual Of Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-5)

yaitu dijelaskan bahwa untuk menegakkan diagnosis skizofrenia

harus memenuhi kriteria :

1) jika ada dua atau lebih gejala di bawah ini, gejala ini tampak

secara signifikan selama period 1 bulan (atau kurang jika

dilakuan terapi yang berhasil) dan sedikitnya satu dari gejala

nomor 1,2, atau 3 :

(1) Waham

(2) Halusinasi

(3) Bicara yang kacau

(4) Perilaku katatonik atau aneh

(5) Gejala negatif (emosi yang hilang, atau

penarikan diri)

10
2) Adanya gangguan secara fungsi satu atau lebih fungsi

penting, seperti bekerja, hubungan interpersonal, atau

perawatan diri.

3) Gejalanya berlangsung persisten minimal 6 bulan. Periode 6

bulan ini harus mencakup sedikitnya 1 bulan dari gejala

(atau berkurang karena efek pengobatan) yang dijumpai

pada kriteria A dan juga termasuk gejala prodromal atau

gejala sisa. Selama gejala prodromal atau gejala sisa,

keluhan yang nampak berupa gejala negatif atau dua atau

lebih gejala yang ada pada kriteria A.

4) Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar

dengan psikotik dikesampingkan jika 1) tidak ada gambaran

depresi mayor atau episode manik yang terjadi pada fase

aktif ini, atau 2), jika terjadi episode mood selama fase aktif,

yang menunjukkan gejala minimal atau sebagian besar pada

fase aktif atau gejala sisa pada penyakit saat ini.

5) Gangguan ini tidak diakibatkan oleh efek psikologi dari

penggunaan obat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi

medis lain.

6) Jika ada riwayat gangguan spektrum autism atau gangguan

komunikasi pada masa anak, diagnosis tambahan

skizofrenia dibuat jika ada gejala dominan halusinasi atau

11
waham minimal 1 bulan (atau kurang jika dengan

keberhasilan pengobatan).

Beberapa gejala harus persisten secara berkelanjutan selama

periode sedikitnya 6 bulan.Gejala prodromal sering mendahului pada

fase aktif dan diikuti dengan gejala sisa yang ditandai dengan

ringannya atau batas ambang mulai adanya halusinasi atau waham.

Penderita bisa menampilkan kepercayaan disertai ideas of reference

atau magis, mereka bisa memiliki persepsi yang tidak seperti

biasanya (merasakan kehadiran seseorang yang tidak bisa dilihat

nyata), kata-katanya mungkin tidak bisa dimengerti dan samar-samar,

dan kebiasaan yang aneh tetapi tidak jelas (seperti mengomel pada

orang orang). Gejala negatif sering pada masa prodromal ini dan

dapat menjadi berat. Individu yang aktif secara sosial dapat menjadi

menarik diri dari kebiasaanya.Gejala-gejala ini sering menjadi petanda

awal dari penyakit skizofrenia.

Gangguan mood juga sering terdapat pada skizofrenia dan

mungkin bersamaan dengan fase aktifnya. Diagnosis skizofrenia

memerlukan adanya tanda halusinasi atau waham pada saat tidak

adanya episode gangguan mood. Episode gangguan mood secara

keseluruhan bisa terjadi hanya minimal dari fase aktif atau fase

residual pada skizofrenia.

b. Kriteria Skizofrenia Paranoid menurut PPDGJ – III

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

12
 Sebagai tambahan:

- halusinasi dan atau waham harus menonjol;

a) suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau


member perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk
verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung
(humming), atau bunyi tawa (laughing)

b) halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat


seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual
mungkin ada tetapi jarang menonjol;

c) waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham


dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion
of influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah
yang paling khas;

- gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaran, serta


gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.

3. Epidemiologi Skizofrenia

Prevalensi dari penyakit skizofrenia ini kira-kira 0,3-0,7% atau 24 juta

orang di seluruh dunia menderita skizofrenia pada tahun 2011 (APA,

2010). Penyakit ini muncul 1,4 kali lebih sering kalangan pria

dibandingkan wanita dan biasanya muncul lebih awal di kalangan

pria.(Smith, 2010) Meskipun sudah diketahui bahwa skizofrenia ada pada

seluruh dunia, namun prevalensinya berbeda-beda di seluruh dunia,

berbeda di setiap Negara, tingkat lokal dan daerah sekitar. (DSM-5,

2014) Di Amerika, angka prevalensi kejadian skizofrenia berkisar 1%,

yang berarti ada satu orang yang menderita skizofrenia dalam 100 orang

populasi, (Sadock, 2013) sedangkan menurut data Riset Kesehatan

13
Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi skizofrenia di Indonesia mencapai

1,27 permil. Diantara orang dengan skizofrenia tersebut terdapat 14,3%

yang dipasung oleh keluarganya sendiri. Penyakit ini peluang

kejadiannya sama antara pria dan wanita, namun onset umur lebih awal

terjadi pada pria dibandingkan dengan yang wanita. (Riskesdas, 2013)

Gambaran psikotik pada skizofrenia biasanya muncul pada masa

remaja akhir dan pada pertengahan umur 30 tahun. Onset pada usia

remaja jarang terjadi. Usia puncak sering munculnya skizofrenia pada

episode pertama psikotik adalah awal umur 20-an untuk pria dan akhir

20-an untuk wanita. Skizofrenia yang muncul pada umur diatas 45 tahun,

maka dikategorikan sebagai skizofrenia dengan onset lambat.Onset

skizofrenia dengan umur dibawah 10 tahun dan diatas 60 tahun sangat

jarang terjadi. Onset penyakit ini bisa terjadi secara tiba-tiba, tetapi

sebagian besar terjadi secara perlahan dan gradual. Setengahnya dari

kasus ini menunjukkan gejala depresi (Sadock, 2013).

Semakin awal umur terkena penyakit ini, akan diprediksikan

prognosis menjadi semakin buruk. Penyakit ini juga berhubungan dengan

jenis kelamin, jenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan yang rendah,

gejala negatif yang dominan, dan gangguan kognitif secara umum

prognosisnya buruk. Penelitian menunjukkan hanya sekitar 20%

penderita skizofrenia dilaporkan bisa menjadi pulih sempurna.Sebagian

besar individu dengan skizofrenia masih membutuhkan dukungan

kehidupan sehari-harinya, baik secara formal ataupun informal dan

14
banyak penyakit kronis dengan eksaserbasi dan remisi dengan gejala

yang aktif dan deteriorasi mental yang progresif (Sadock, 2013).

4. Etiologi Skizofrenia

Menurut model diatesis-stress, skizofrenia terjadi karena gangguan

integrasi dari faktor biologis, psikososial dan lingkungan. Seseorang yang

rentan (diatesis), bila diaktifkan oleh pengaruh yang penuh tekanan

antara faktor biologis, psikososial dan lingkungan, akan memungkinkan

timbulnya skizofrenia. Komponen biologis dapat berupa kelainan genetik,

gangguan fungsi atau struktural otak, neurokimia, infeksi, sedangkan

psikososial (contohnya situasi keluarga yang penuh tekanan atau

kematian kerabat dekat), dan komponen lingkungan seperti

penyalahgunaan zat, stres psikologisl, dan trauma (Amir, 2008 dan

Sadock , 2013).

a. Genetik

Faktor genetik yang turut menentukan timbulnya skizofrenia

dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga penderita skizofrenia.

Angka kesakitan bagi saudara kandung adalah 7-15%;bagi anak dengan

orangtua yang skizofrenia 7-16%;bila kedua orang tua menderita

skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; bagi

kembar satu telur (monozigot) 61-86%. Anak yang lahir langsung dari

orang tua yang menderita skizofrenia 10 kali lipat akan lahir menjadi

skizofrenia dibandingkan anak yang lahir dari orangtua normal (Sadock,

2013).

15
Beberapa data menunjukkan bahwa umur ayah berkorelasi dengan

terjadinya skizofrenia. Pada studi penderita skizofrenia data yang dipakai

pada pasien dengan riwayat tidak ada penyakit skizofrenia pada ayah

maupun ibu, didapatkan hasil adanya peningkatan lahirnya anak yang

menderita skizofrenia dari ayah yang berumur di atas 60 tahun. Ini terjadi

dikarenakan adanya gangguan spermatogenesis pada orang yang lebih

tua.

Model pengaruh genetik pada penderita skizofrenia ternyata belum jelas

diketahui dan tidak sesederhana hukum Mendel. Skizofrenia diperkirakan

bahwa potensi untuk mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri)

melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah,

tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu, apakah akan

terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak (mirip halnya dengan faktor

genetik pada penyakit diabetes).Tampaknya banyak gen yang terlibat ,

setiap bagian kecil memberi efek dan serta ekspresi yang tidak diketahui.

Banyak penyebab yang telah diajukan seperti variasi jumlah salinan setiap

gen, gen NOTCH4 ,dan lokus protein histon serta sejumlah segala

sesuatu yang menyangkut pentautan genom 804A. (Brunet E, 2006) Hasil

analisis tahun belakangan ini, mutasi gen Dystrobrevin Binding Protein-

1(DTNBP1) dan neureglin 1 telah diketahui sebagai penyebab timbulnya

gejala negatif pada skizofrenia (Sadock, 2013).

16
b. Hipotesis Perkembangan saraf

Studi autopsi dan studi pencitraan otak memperlihatkan

abnormalitas struktur dan morfologi otak penderita skizofrenia, antara

lain berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil 6% dari pada otak

normal dan ukuran anterior-posterior yang 4% lebih pendek,

pembesaran ventrikel otak yang non spesifik, gangguan metabolisme

di daerah frontal dan temporal dan kelainan susunan seluler pada

struktur saraf dibeberapa kortek dan subkortek tanpa adanya gliosis

yang menandakan kelainan.

Studi neuropsikologis mengungkapkan defisit di bidang atensi,

pemilahan konseptual, fungsi eksekutif dan memori pada skizofrenia.

Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis perkembangan saraf yang

menyatakan bahwa perubahan patologis gangguan ini terjadi pada

awal kehidupan, mungkin sekali akibat pengaruh genetik dan

kemudian dimodifikasi oleh faktor maturasi dan lingkungan(Sadock,

2013).

c. Faktor Perkembangan Janin

Faktor- faktor seperti hipoksia dan infeksi atau stress serta

malnutrisi pada ibu pada masa perkembangan janin, dapat

mengakibatkan sedikit peningkatan risiko skizofrenia di kemudian

hari.(WHO, 2015)

Orang-orang yang didiagnosis skizofrenia lebih sering dilahirkan

pada saat musim dingin atau musim semi (setidaknya di belahan bumi

17
utara) yang mungkin merupakan akibat peningkatan paparan virus

didalam kandungan. Perbedaan ini 5 sampai 8%. (Shah, JN, 2012)

d. Neurobiologi

Gejala utama pada skizofrenia dibuatkan ke dalam 5 lokalisasi

pada region otak manusia, tidak hanya gejala positif dan gejala negatif

saja, tetapi juga gejala gejala kognitif, gejala agresif dan gejala afektif

yang dikaitkan dengan daerah otak yang mengalami gangguan (Stahl,

2013 dan Sadock, 2013).

Gambar 1.Peta alokasi kerusakan pada otak dan gejala yang


ditimbulkan pada skizofrenia (Stahl, 2013).

Secara spesifik, gejala positif dari skizofrenia dihipotesiskan oleh

karena adanya malfungsi pada sirkuit mesolimbik, sementara gejala

negatif karena adanya malfungsi di area mesokortek dan juga

melibatkan area mesolimbik khususnya yang melibatkan nucleus

acumbens yang diperkirakan menjadi bagian dari sirkuit reward dari

otak, sehingga jika ada masalah dengan reward dan motivasi pada

18
skizofrenia maka kelainannya diduga berasal dari area ini. Nucleus

acumbens juga akan teraktivasi karena penggunaan zat yang tampak

pada pasien skizofrenia. Gejala positif bisa menumpuk dengan gejala

negatif yang ditandai dengan mulai adanya keinginan untuk merokok,

penyalahgunaan obat dan alkohol, mungkin di hubungkan pada area

otak ini. (Stahl, 2013)

Gejala afektif diasosiasikan dengan area ventromedial prefrontal

kortek, sementara gejala agresif (yang berhubungan dengan kontrol

impuls) diasosiasikan dengan proses informasi yang abnormal dari

orbitofrontal kortek dan amigdala. Gejala agresif seperti menyerang,

kekerasan, perilaku berkata kasar dapat terjadi oleh karena gejala

positif seperti waham dan halusinasi sehingga kita sering dibuat

bingung. Intervensi terapi perilaku bisa menolong untuk mencegah

terjadinya kekerasan dengan mengurangi faktor pencetus dari

lingkungan sekitarnya.(Stahl, 2013)

Gejala kognitif pada skizofrenia mencakup berkurangnya

perhatian dan berkurangnya proses informasi di otak yang

bermanifestasi pada berkurangnya kelancaran berbicara (kemampuan

berbicara spontan), bermasalah dengan pembelajaran secara serial,

dan berkurangnya kewaspadaan untuk fungsi eksekutif

(mempertahankan dan fokus perhatian, konsentrasi, prioritas dan

perilaku sosial, kesulitan untuk memecahkan masalah). Fungsi-fungsi

ini tidak mencakup gejala demensia dan gangguan memori yang

19
dimiliki oleh penyakit alzheimer. Gejala kognitif pada skizofrenia

sangat penting untuk ditegakkan karena dia sangat kuat berhubungan

dengan fungsi nyata di dunia, lebih kuat dibandingkan gejala

negatif.(Stahl, 2013)

Sangat sulit juga kita membedakan gejala disfungsi kognitif dari

gejala afektif dan gejala negatif, tetapi peneliti mencoba untuk

melokalisasi area yang spesifik dari disfungsi otak yang terkena untuk

setiap gejala utama pada pasien skizofrenia ini dengan harapan hasil

pengobatan pasien yang lebih baik.(Stahl,2013)

Model ini sangat jelas dan sederhana karena setiap area otak

memiliki beberapa fungsi dan setiap fungsi akan berpengaruh pada

lebih dari satu area otak. Secara spesifik, pasien memiliki gejala yang

unik dan respon yang berbeda terhadap pengobatan. Model ini dengan

mengacu pada gejala yang tampak pada pasien kita bisa

menghubungkan dengan malfungsi kerusakan pada otak. Setiap area

otak memiliki neurotransmiter yang berbeda-beda, reseptor, enzim,

dan gen yang mengatur bisa dipakai pedoman para klinisi untuk

mengobati pasien secara lebih maksimal (Stahl, 2013).

1) Hipotesis Dopamin

Hipotesis dopamin ini menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan

oleh adanya hiperaktifitas pada jaras dopamin pada otak

manusia.Hipotesis ini didukung oleh hasil penelitian bahwa

20
amphetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin, dapat

menginduksi psikosis yang mirip dengan skizofrenia dan obat

antipsikotik bekerja dengan memblok reseptor dopamin, terutama

reseptor Dopamin D2. Teori dasar ini tidak menjelaskan apakah

hiperaktivitas neuron dopamin mengakibatkan banyaknya pengeluaran

dopamin? Lebih banyak reseptor dopamin? Hipersensitifitas reseptor

dopamin dengan neurotransmiter dopamin? Atau kombinasi dari semua

mekanisme tersebut yang menyebabkan orang menjadi skizofrenia?.

Keterlibatan neurotransmiter lain seperti serotonin, noradrenalin, GABA

dan glutamat serta neuropeptida lain masih terus diteliti.

2) Hipotesis Abnormalitas Reseptor NMDA

Beberapa tahun terakhir di era 2000-an, adanya kerusakan reseptor

N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) yang mempengaruhi produksi

neurotransmiter glutamat, yang dihipotesiskan sebagai kunci terjadinya

patofisiologi dari skizofrenia. Hipotesis ini akan menjadi target

pengobatan masa depan skizofrenia. Hipotesis ini menjelaskan

bagaimana abnormalitas dari reseptor NMDA mempengaruhi

hiperaktifas glutamat yang menyebabkan timbulnya gejala skizofrenia.

Glutamat menjadi neurotransmiter mayor untuk eksitasi pada sistem

saraf sentral dan sering menjadi kunci penting dalam pengaturan sistem

eksitasi dalam otak.

21
Glutamat adalah neurotransmiter eksitasi yang mengeksitasi neuron

di dalam otak (master swicth). Ada 6 jalur glutamat dalam otak

manusia, diantaranya :

a) Jalur Cortico-brainstem

Jalur glutamat yang paling penting dari neuron kortek piramidal menuju

neurotransmiter batang otak, mencakup jalur serotonin, Ventral

Tegmental Area (VTA) dan substansia nigra untuk dopamin dan locus

coeruleus (LC) untuk norepineprin. Ini merupakan jalur kunci regulasi

pengeluaran dari neurotransmiter di otak. Inervasi langsung dari

neuron monoamin ini pada batang otak akan merangsang pengeluaran

neurotransmiter dari neuron glutamat. Jika diinervasi secara tidak

langsung dari neuron monoamin oleh GABA maka akan terjadi blok

pengeluaran neurotransmiter glutamat.

Gambar 2.Jalur glutamat di dalam otak manusia (Stahl, 2013).

22
b) Jalur Cortico-striatal

Jalur ini merupakan jalur glutamatergik yang kedua dari kortek

piramidal menuju komplek striatum. Jalur ini diketahui sebagai jalur

glutamat cortico-striatal menuju ke dorsal striatum atau jalur glutamat

cortico-accumbens saat menuju ke area ventral striatum yang dikenal

dengan nucleus accumbens. Jalur glutamat ini memutuskan neuron

GABA di bagian lain dari komplek striatal yang disebut dengan globus

pallidus.

c) Jalur Hippocampal-accumbens

Jalur glutamat yang lain, yang menjalar dari hipocampus menuju

nucleus accumbens dan ini diketahui dengan jalur glutamat

hippocampal-accumbens. Sama seperti glutamat pada jalur cortico-

striatal dan cortico-accumbens,hippocampal-accumbens ini menuju

nucleus accumbens dengan menghentikan neuron GABA yang

berhubungan dengan globus Pallidus.

d) Jalur Thalamo-cortical

Jalur ini membawa informasi dari talamus kembali ke kortek, yang

sering memproses informasi sensoris.

e) Jalur Cortico-thalamic

Jalur Glutamat yang ke-5 yang dikenal sebagai jalur glutamat cortico-

thalamic, yang mengantar signal kembali ke talamus, sebagai respon

reaksi dari informasi sensoris.

23
f) Jalur Cortico-cortical (direct)

Komplek dari berbagai jalur glutamat cortico-cortical memperlihatkan

kortek dengan satu kesatuan, neuron piramidal bisa mengeksitasi

sesama yang lainnya yang ada di kortek cerebral melalui sinaps

langsung dari neurotransmiter glutamat itu sendiri.

g) Jalur Cortico-cortical (indirect)

Di lain pihak, neuron piramidal yang satu bisa menghambat yang

lainnya secara tidak langsung, melalui interneuron yang mengeluarkan

GABA.

Pada Gambar 3, memperlihatkan bagaimana disfungsi glutamat

sebagai hipotesis terjadinya skizofrenia. Tampak dari dekat neuron kortek

pyramidal yang berhubungan dengan interneuron GABAergik dan

hipofungsi reseptor NMDA ini. (1) Glutamat yang dikeluarkan dari neuron

intrakortikal, akan tetapi reseptor NMDA yang akan mengikat glutamat itu

sendiri mengalami hipofungsi, sehingga tidak terjadi efek maksimal oleh

reseptor NMDA. (2) Hal ini menyebabkan berkurangnya pengeluaran

GABA dari interneuron, sehingga stimulasi dari α2 GABA reseptor pada

akson neuron glutamat lainnya tidak terjadi. (3) Saat GABA tidak berikatan

dengan α2 GABA reseptor pada aksonnya, neuron pyramidal tidak akan

dihambat, maka dari itu akan terjadinya hiperaktif pengeluaran glutamat.

24
Gambar 3.Hipotesis disfungsi glutamat pada skizofrenia (Stahl, 2013).

Hipofungsi reseptor NMDA menyebabkan abnormalitas pembentukan

glutamat yang akan menyebabkan gejala psikotik pada seseorang yang

menunjukkan gejala sama pada skizofrenia. Amphetamin yang

merangsang pengeluaran dopamin, juga mengakibatkan gejala psikotik

dengan ditandai adanya halusinasi dan waham yang dimasukan dengan

gejala positif dari skizofrenia.Perbedaan dengan amphetamin yang hanya

menyebabkan gejala positif, Phencyclidine PCP) dan ketamin juga

25
menyebabkan gejala kognitif, negatif, afektif, penarikan diri, dan gangguan

fungsi eksekutif pada skizofrenia.

Teori ini kemungkinan disebabkan oleh abnormalitas perkembangan

neuron yang membentuk sinaps glutamat dan interneuron GABA pada

kortek serebral (Gambar 3 dan 4 ). Telah terjadi kesalahan program

genetik pada semua interneuron GABA yang dapat diidentifikasi pada

prefrontal kortek yang interneuron GABA ini banyak berikatan dengan

kalsium yang berikatan dengan protein yang disebut degan parvalbumin.

Ikatan parvalbumin dengan GABA interneuron ini yang merusak reseptor

NMDA sehingga terjadi hipofungsi(Stahl2013).

Gambar 4.Hipofungsi NMDA di kortek yang dihubungkan dengan gejala


positif pada skizofrenia (Stahl, 2013).

Hipofungsi dari reseptor NMDA ini akan menyebabkan hiperaktifitas

dari glutamat pada jalur cortico-brainstem neuron glutamat yang

menginervasi neuron dopamin pada VTA menuju nucleus acumbens (area

mesolimbik). Akibat dari hiperaktifitas glutamat ini, maka di VTA akan

26
terjadi penurunan dopamin, sehingga akan terjadinya hiperaktifitas

dopamin sebagai kompensasinya. Ini adalah dasar biologi terjadinya

hiperaktifitas dopamin pada mesolimbik yang diasosiasikan dengan

munculnya gejala positif pada skizofrenia.

Kemungkinan juga terjadi peningkatan glutamat di daerah ventral

hipokampus, yang menyebabkan terjadinya penurunan dopamin di

mesolimbik, sehingga disini juga akan terjadi hiperaktif dopamin di area

ini. Ini juga adalah dasar biologi terjadinya hiperaktif dopamin pada

mesolimbik yang diasosiasikan dengan munculnya gejala positif pada

skizofrenia.

Gambar 5.Hipofungsi NMDA di hipokampus dan gejala positif pada


skizofrenia
(Stahl, 2013).

Ini tampak berbeda dengan apa yang terjadi pada jalur glutamat

cortico-brainstem. Jalur glutamat cortico-brainstem secara tidak langsung

menginervasi sistem GABA interneuron, yang menginervasi neuron

dopamin di mesokortek. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi, jika neuron

27
glutamat sangat aktif di VTA? maka akan terjadi hipoaktif dopamin di

mesokortek. Ini sangat jelas apa yang dihipotesiskan untuk terjadinya

skizofrenia. Hipoaktif dopamin pada mesokortek diasosiasikan sebagai

munculnya gejala negatif pada skizofrenia. Patofisiologi jalur glutamat dan

GABA ini nantinya akan menjadi dasar pengobatan skizofrenia masa

depan (Stahl, 2013).

Gambar 6. Hipofungsi reseptor NMDA di ventral hipokampus dan gejala


negatif pada skizofrenia (Stahl, 2013).

3) Peranan GABA (Gamma Aminobutyric Acid)

GABA adalah neurotransmitter inhibisi pada Susunan Saraf Pusat

(SSP). Dalam hal ini GABA berperan dalam mengurangi eksitasi pada

seluruh sistem SSP, juga bertanggung jawab atas regulasi tonus otot

serta berperan pada stimulus pelepasan kelenjar hormon tertentu

(Watanabe M,et al., 2002).

28
GABA bertindak sebagai penghambatan pada sinapsis pada

sel otak dengan mengikat transmembran spesifik pada reseptor di

membran plasma dari pre dan pasca sinaptik neuron otak. Neuron

yang menghasilkan GABA merupakan output yang disebut GABAergik

yang memiliki aksi utama menghambat pada setiap reseptor di otak

(Ffench-Constant Rh, et al.. 1993, Szabadics,et al., 2006).

GABA tidak menembus sawar darah otak (Kuriyama, 1971). GABA

disintesis di otak yang berasal dari asam amino glutamat dengan

menggunakan enzim glutamat dekarboksilase (GAD) dan fosfat

piridoxal ( yang merupakan bentuk aktif dari vitamin B6) sebagai

kofaktor. Proses inilah yang mengubah glutamat menjadi

neurotransmitter inhibisi utama, yaitu GABA (Petroff O, 2002,

Schousboe, A et al. 2007).

B. Antipsikotik Tipikal

Antipsikotik tipikal biasa disebut Antipsikotik Generasi Pertama

(APG I). Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok

reseptor D2, khususnya di mesolimbik dopamin pathway, oleh karena

itu sering disebut juga dengan Antagonis Reseptor Dopamin

(ARD).(Sinaga, 2007)

Kerja dari antipsikotik tipikal menurunkan hiperaktivitas dopamin

di jalur mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif menurun

tetapi ternyata antipsikotik tipikal tidak hanya memblok reseptor D2 di

mesolimbik tetapi juga memblok reseptor D2 di jalur yang lain seperti

29
di jalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular. (Sinaga,

2007)

Gambar 7. Hipotesis pengobatan antipsikotik sebagai antagonis


reseptor dopamine untuk gejala positif pada jalur
mesolimbik. Blokade pada post-sinaptik reseptor D2
dengan mekanisme kerja antagonis D2 pada jalur
mesolimbik menjelaskan efektivitas obat antipsikotik
untuk mengurangi disability pasien dgn cara memblok
gejala positif. (Stahl, 2013)

Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 di jalur


mesokortikal dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif
disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut.(Sinaga, 2007)

30
Gambar 8.Ketika reseptor post-sinap dopamin 2 terblok oleh
aksi kerja antagonis Dopamin 2, pada jalur dopamin
mesokorteks, hal ini dapat menyebabkan
penumpulan emosi dan penurunan kognitif.Kadang-
kadang efek samping pada kognitif disebut dengan
“neuroleptic induce deficit syndrome”. Jika pasien
telah menunjukkan gejala negatif sebelumnya, maka
pengobatan antipsikotik dapat lebih memperburuk
gejala negatif pasien.(Stahl,2013)

31
Gambar 9.Ketika reseptor D2 diblok oleh D2 antagonis pada

possinaptik pada jalur nigrostriatal, akan menyebabkan

gangguan pergerakan yang menyerupai Parkinson yang

diinduksi oleh obat. Blokade pada jalur nigrostriatal akan

diproyeksikan ke basal ganglia maka akan menyebabkan

Extrapyramidal Syndroma (EPS). (Stahl, 2013)

32
Gambar 10.Jalur dopamin tuberoinfundibular adalah jalur yang
mengontrol sekresi prolaktin. Ketika pada jalur ini diblok
oleh antagonis D2 maka level prolaktin akan meningkat
sehingga akan menyebabkan galactorrhea.
(Stahl, 2013)

Antipsikotik tipikal mempunyai peranan yang cepat dalam

menurunkan gejala positif seperti halusinasi dan waham, tetapi cepat

juga menyebabkan terjadinya kekambuhan setelah penghentian

pemberian antipsikotik tipikal.(Stahl, 2013)

Keuntungan pemberian antipsikotik tipikal adalah jarang

menyebabkan terjadinya Sindroma Neuroleptik Malignan (SNM).

(Sinaga, 2007)

Antipsikotik tipikal, selain menyebabkan terjadinya blokade

reseptor D2 pada keempat jalur dopamin, juga menyebabkan

terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik sehingga timbul efek

samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur,

33
konstipasi dan kognitif tumpul. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian

obat antikolinergik.(Sinaga,2007)

Antipsikotik tipikal juga memblok reseptor histamin (H1) sehingga

timbul efek samping yang mengantuk dan berat badan yang

meningkat.(Sinaga,2007)

Antipsikotik tipikal juga memblok reseptor alpha1 adrenergik

sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler

berupa hipotensi ortostatik, mengantuk, pusing dan tekanan darah

menurun. (Sinaga,2007)

Antipsikotik tipikal dengan potensi tinggi yang digunakan kurang

atau sama dengan 10 mg. Antipsikotik tipikal dengan potensi tinggi di

antaranya haloperidol, fluphenazine dan triflouperazin.(Sinaga, 2007)

34
HALOPERIDOL

Gambar 11. Molekul Haloperidol (Stahl, 2013)

 Haloperidol mempunyai afinitas yang kuat pada reseptor D2,

lebih lemah antagonis reseptor kolinergik dan histamin.

 Kadar puncak plasma haloperidol dicapai dalam waktu 2-6

jam setelah pemberian oral dan dalam waktu 20 menit setelah

pemberian intramuskuler. Waktu paruhnya 10-12 jam.

Diekskresi dengan cepat melalui urine dan tinja dan berakhir 1

minggu setelah pemberian.

 Dosis awal haloperidol sangat individual, tergantung pada

beratnya gejala yang ada, respons awal terhadap antipsikotik,

penyakit lain yang menyertai, usia, berat badan dan kondisi

medik pasien.

35
 Penting pada pemberian dosis awal haloperidol dengan dosis

adekuat yang tertinggi sehingga dapat mengontrol gejala yang

muncul atau sampai efek samping yang terendah yang

muncul, setelah respon terapi dicapai, turunkan dosis secara

bertahap sampai dosis pemeliharaan terendah yang efektif.

(Sinaga, 2007).

C. Mood Stabilizers sebagai Terapi Adjuvan Skizofrenia Paranoid

Mood stabilizers merupakan kelas terapi lain yang digunakan untuk

pengobatan gangguan agitasi pada skizofrenia dan gangguan bipolar

(Dorothy, 2009). Lithium, sodium valproat, carbamazepin dan

lamotrigin, semuanya digunakan terapi adjuvan pada skizofrenia,

walaupun masih sedikit penelitian tentang efikasi pengobatan pada

psikotik (Dorothy, 2009).

Penggunaan mood stabilizers pada penderita skizofrenia 15%

sampai 50%. Studi di Amerika rata-rata setengah dari pasien

skizofrenia mendapat mood stabilizers dan 1/3-nya menggunakan

sodium divalproat. Studi cross sectional pada pasien dengan rentang

umur 18-65 tahun di Inggris melaporkan bahwa 28,5% pasien

skizofrenia mendapatkan mood stabilizers. Di Asia sebanyak 20%

pasien memakai tambahan terapi mood stabilizers untuk menangani

kasus skizofrenia yang dirawat di rumah sakit, dan akan terus terjadi

peningkatan. Ini menandakan bahwa penggunaan mood stabilizer

36
pada skizofrenia, khususnya gejala positif skizofrenia sangat sering

dilakukan (Dorothy, 2009)

Beberapa studi telah dilaporkan dan ternyata berhasil dengan

mood stabilizers, pasien dengan gejala positif yang resisten dengan

obat antipsikotik .Mood stabilizers ini secara signifikan mampu

memperbaiki perilaku yang agresif, bicara kacau, rawat inap berulang,

gejala positif, jika belum cukup diatasi dengan antipsikotik saja. Mood

stabilizers yang paling sering digunakan adalah sodium divalproat

dengan lithium dan carbamazepin mengikuti dibelakangnya (Horowitz,

2014 & Sim Kang, 2011).

Mood stabilizers ini mampu menjaga keseimbangan mood pada

pasien bipolar, tetapi penggunaan mood stabilizers ini telah

berkembang ke berbagai penyakit psikiatri yang lainnya, seperti

penggunaan mood stabilizers sebagai terapi adjuvan atau tambahan

pada penderita agitasi psikotik , walaupun studi secara empiris pada

kasus ini masih terbatas (Horowitz, 2014).

37
D. Penggunaan Sodium Divalproat padaSkizofrenia Paranoid

Gambar 12.Bentuk molekul sodium valproat (Stahl, 2013).

Sodium divalproat sudah diciptakan sejak tahun 1800-an.

Sodium divalproat berubah cepat berubah menjadi bentuk asam saat

masuk ke dalam perut. Sodium divalproat meningkatkan respon

pengobatan terapi dengan antipsikotik pada penderita skizofrenia

khususnya mengatasi gejala agresif dan gejala positif. Sodium

divalproat kurang bermanfaat jika monoterapi untuk mengatasi gejala

psikotik pada skizofrenia, maka dari itu Sodium divalproat biasanya

sebagai terapi adjuvan pada skizofrenia paranoid (Versayanti, 2010,

Sadock, 2013).

Mekanisme kerja dari sodium valproat adalah melalui 3 cara yaitu

mengurangi aliran ion kalsium ini dengan langsung menghambat di

saluran VSSCs dan yang kedua dengan menghambat fosforilasi enzim

yang mengatur sensitifitas kanal ion natrium. Penghambatan pada

VSSCs menyebabkan menurunnya influx natrium kedalam sel neuron

sehingga menyebabkan berkurangnya eksitasi sel neuron terutama

38
glutamat dan transmisi dari excitatory neurotransmitter juga berkurang.

Cara kerja ini mampu memperbaiki hiperaktivasi glutamat yang terjadi

pada penderita skizofrenia yang bergejala positif (Stahl, 2013).

Gambar 13. Mekanisme kerja sodium valproat pada kanal voltase


natrium(Stahl, 2013).

Gambar 14.Mekanisme kerja divalproat dengan GABA. (Stahl, 2013).

39
Teori lain menyatakan sodium divalproat meningkatkan mekanisme

kerja GABA, dengan meningkatkan keluarannya dan mengurangi reuptake

serta memperlambat metabolismenya yang tidak aktif (Gambar 14).

Dengan efek ini maka akan terjadi aktifitas GABA yang lebih banyak, dan

ini menyebabkan semakin banyaknya inhibisi pada transmisi

neurotransmiter, yang dapat menjelaskan efek anti-agresif pada sodium

valproat dan mengurangi gejala positif pada skizofrenia paranoid.

Gambar 15.Mekanisme kerja sodium valproat (Stahl, 2013).

Efek samping dari sodium divalproat ini yang paling sering adalah

gangguan pencernaan seperti mual, muntah dan mengantuk.Efek

samping lainnya dapat berupa peningkatan berat badan, dan rambut

rontok. Masalah efek samping yang serius dapat dicegah dengan

40
menurunkan dosis obat, dan bila perlu setelah diturunkan

dikombinasi juga dengan mood stabilizers lainnya.

Obat ini juga menyebabkan terganggunya fungsi hati dan

pankreas, menimbulkan toksik bagi janin (defek pada saraf),

gangguan metabolisme tubuh serta kemungkinan terjadinya

amenorea dan kista ovarium jika diberikan pada wanita. Pada wanita

juga sering didapatkan efek gangguan pada menstruasi,

hiperandrogenism, obesitas dan resisten hormon insulin pada

pemberian sodium divalproat ini.

Metabolisme dari sodium divalproat ini terjadi pada sitokrom P-

450 di sel hati.Sodium valproat memiliki kemampuan untuk

menghambat pemecahan obat yang dimetabolisme di hati sehingga

sodium divalproat sebaiknya tidak diberikan pada orang dengan

gangguan hati (Murray, 2008).

Tabel 1. Penjelasan Sediaan Sodium Valproat

Sodium valproat
Mekanisme ‒ Merubah sensitifitas ion kanal natrium dengan
kerja menghambat kerja enzim yang mengatur masuknya
ion natrium, dan blockade langsung pada kanal
natrium, sehingga ion natrium berkurang masuk
kedalam sel yang menyebabkan berkurangnya
eksitasi glutamat (efek anti gejala positif)
‒ Meningkatkan pengeluaran GABA dengan
menghambat reuptake GABA, dan memperlambat
inaktifasi GABA pada sel GABAergik

41
Sediaan ‒ 125mg, 250 mg, 500 mg (depakote), ikalep 300 mg
Dosis ‒ Pemberian pertama kali dianjurkan mulai dosis kecil,
yaitu 250 mg setelah makan dan dilanjutkan sampai 3
kali 250 mg.
‒ Sebagain besar orang mendapat dosis 1200 mg dan
1500 mg sehari dengan dosis terbagi.
‒ Jika gejala sudah teratasi maka bisa diminum sekali
sebelum tidur
Efek samping ‒ Sering : gangguan pencernaan (mual, muntah dan
mengantuk), penambahan berat badan, dan rontok.
‒ terganggunya fungsi hati dan pankreas, toksik bagi
janin (defek pada saraf), kemungkinan terjadinya
amenorea dan kistik ovarium jika diberikan pada anak
wanita.
‒ Pada wanita juga sering didapatkan efek gangguan
pada menstruasi, hiperandrogenism, obesitas dan
resisten hormon insulin
Interaksi Antipsikotik : Meningkatkan konsentrasi antipsikotik
dalam plasma,meningkatkan sedasi,
ekstrapiramidal sindrom, delirium dan
stupor (pada beberapa kasus)
Antidepresan : Meningkatkan konsentrasi dalam
plasma (amitriptilin dan fluoxetin)
Antikonvulsan : Menurunkan serum sodium vaproat
(carbamazepine)

42
E. The Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS)

Tabel 2. Gejala Positif dan Negatif PANSS

Gejala positif Nilai (1-7) Gejala negatif Nilai (1-7)

P1. Waham N1. Afek tumpul


P2. Kekacauan proses pikir N2. Penarikan emosi
P3. Halusinasi N3.Kemiskinan rapport
P4. Gaduh gelisah N4. Pemikiran abstrak sulit
P5. Waham kebesaran N5. Spontanitas kurang
P6. Kecurigaan/kejaran N6. Arus percakapan
P7. Permusuhan N7. Pemikiran streotipik
TOTAL : TOTAL :

Tabel 3. Gejala General (Psikopatologi umum) PANSS

Gejala General Nilai (1-7)


G1. Kekhawatiran somatik
G2. Anxietas
G3. Rasa bersalah
G4. Ketegangan
G5. Mannerisme dan sikap tubuh
G6. Depresi
G7. Retardasi motorik
G8. Ketidakkooperatifan
G9. Isi pikiran yang tidak bermasalah
G10. Disorientasi
G11. Perhatian buruk
G12. Kurangnya daya nilai dan tilikan
G13. Gangguan dorongan kehendak
G14. Pengendalian impuls yang buruk
G15. Preokupasi
G16. Penghindaran sosial secara aktif
TOTAL : TOTAL PANSS :

43
Keterangan :

Nilai 1 : tidak ada gejala

Nilai 2 : gejala minimal, gejalanya masih diragukan keberadaannya,

atau masih cenderung tampak normal.

Nilai 3 : gejala ringan, keberadaan gejala yang jelas, tetapi tidak terlalu

berpengaruhpada fungsi keseharian.

Nilai 4 : gejala sedang, adanya gejala yang menimbulkan masalah

serius sehinggkadang-kadang cukup mengganggu aktivitas

keseharian.

Nilai 5 : gejala agak berat, manifestasi gejala bermakna

mempengaruhi fungsi seseorang tapi tidak keseluruhan hidup,

dan masih dapat diatasi.

Nilai 6 : gejala berat, psikopatologi yang berat dan frekuensinya sering,

sangat mengganggu kehidupan seseorang dan selalu

membutuhkan pengawasan langsung.

Nilai 7 : gejala sangat berat, merujuk pada psikopatologi dengan level

serius, sangat mempengaruhi hampir seluruh fungsi kehidupan

sehingga membutuhkan pengawasan ketat.

Dalam penelitian ini, kami hanya menggunakan parameter PANSS

dengan skala positif.

PANSS diterbitkan oleh Stanley Kay, Lewis Opler dan Abraham

Fisbein pada tahun 1987(Kay SR, et al.,

44
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori

Jenis Umur Pendidikan Stressor Status Status Lingkungan/


Kelamin Psikososial ekonomi pernikahan Pola asuh

per

Diatesis Stressp

Genetik
Masa perkembangan janin
(mutasi)
Neuroanatomi (hipoksia, infeksi, stress dan
mi malnutrisi pada ibiu
Biologi

Serotonin

Reseptor D
Haloperidol Jalur Dopamin GABA Sodium
Mesolimbik n Divalproat

Norepinephrin Glutamat

Gejala positif

SKIZOFRENIA PARANOID

PERBAIKAN
Gambar 16. Kerangka Teori

45
B. Kerangka Konsep

Lamanya
Umur Pendidikan
Terapi

Terapi Haloperidol

(Antipsikotik tipikal)
Ketidakseimbangan
neurotransmitter di Perbaikan gejala
otak (Dopamin dan positif Skizofrenia
Paranoid
Glutamat)
Terapi Sodium Divalproat

(Moodstabilzer)

Stressor Psikososial Genetik

Variabel bebas Variabel kendali

Variabel perancu Variabel tergantung

Variabel antara

Gambar 17. Kerangka Konsep

46
C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

Terdapat perbaikan gejala positif skizofrenia paranoid yang

signifikan pada kelompok yang mendapatkan terapi adjuvan sodium

divalproat dan haloperidol daripada yang hanya mendapat terapi

haloperidol, yang merupakan kelompok kontrol.

47
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

quasi-experimental design dengan pendekatan rancangan pre-test

post-test with Control Time Series Design. Ciri dari penelitian ini

adalah untuk melihat perbandingan antara pengukuran pre dan

post-test. Perlakuan diberikan sodium sodium divalproat dan

haloperidol.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Rawat inap (bangsal) Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD)

Sulawesi Selatan, selama bulan Agustus 2017.

C. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua pasien yang didiagnosis

skizofrenia paranoid yang berulang.

D.Sampel dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien skizofrenia

paranoid yang memperlihatkan gejala positif dan telah berulang

masuk ke RSKD Sulawesi Selatan yang memenuhi kriteria inklusi

dan ekslusi. Sampel diambil dengan cara Consecutive sampling

48
yaitu pengambilan sampel berdasarkan kriteria yang telah

ditentukan sampai jumlah yang telah ditentukan

E.Besar Sampel

Penentuan besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan

menggunakan
2
rumus :

2
2
.
n= 2

Keterangan:

Z = tingkat kepercayaan

P = proporsi pasien gangguan jiwa yang mengalami gejala

positif

q =1-p

d = derajat kepercayaan

Dari rumus di atas, maka:

1,962 0,5.0,5 2
n= 2
0.1

0,95
n = 0.01 2

n = 9,5 ≈ 10 orang

Jadi jumlah sampel penelitian ini adalah sebanyak 10 orang masing-

masing yang kami cukupkan 15 orang tiap kelompok.

49
F. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

a.Kriteria Inklusi

1) Pasien yang telah didiagnosis skizofrenia paranoid.

2) Pasien yang sudah berulang kali dirawat di rumah sakit.

3) Laki-laki dan perempuan yang berumur 20 sampai 50 tahun.

4) Pasien skizofrenia paranoid yang kooperatif dengan sediaan oral.

5) Pasien skizofrenia paranoid yang mendapatkan obat sedatif

Chlorpromazine 100 mg (1x1, malam hari)

b.Kriteria Eksklusi.

1) Pasien yang mempunyai penyakit fisik yang berat pada

pemeriksaan fisik diagnostik.

2) Mendapat pengobatan jangka panjang untuk penyakit bawaan atau

penyakit kronis.

3) Tidak menggunakan NAPZA selama 1 tahun terakhir.

G. Izin Penelitian dan Kelaikan Etik

Dalam pelaksanaan penelitian ini, keluarga subjek penelitian dan

paramedis diberi penjelasan tentang maksud, tujuan dan kegunaan

penelitian. Setelah mendapat penjelasan keluarga pasien akan

dimintai persetujuan melalui lembar informed consent. Peneliti

meminta keterangan kelaikan etik (ethical clearance) dari Komisi Etik

Penelitian Biomedis Pada Manusia Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin.

50
H. Cara Kerja

1. Alokasi Subyek

Subyek yang diperoleh dari penarikan sampel penelitian akan

diperoleh melalui consecutive sampling, dan membagi subyek

menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang mendapat terapi adjuvan

asam valproat dan haloperidol (antipsikotik tipikal) dengan kelompok

yang hanya mendapat haloperidol, yang merupakan kelompok

kontrol.

2. Cara Penelitian

a) Setiap pasien skizofrenia paranoid yang memenuhi kriteria inklusi

pada kelompok penelitian, akan dicatat identitasnya

b) Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai maksud dan tujuan

penelitian.

c) Subyek selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok

yang diberikan terapi adjuvan sodium divalproat dan haloperidol

dengan kelompok yang hanya diberikan haloperidol, yang merupakan

kelompok kontrol.

d) Mengukur PANSS awal sebelum penelitian pada setiap kelompok

di bangsal rawat inap RSKD

e) Melakukan pengukuran ulang nilai PANSS pada setiap kelompok ,

setelah mendapat terapi selama1 minggu dan 2 minggu.

f) Melakukan pengolahan dan analisis data secara statistik dengan

sistem komputerisasi.

51
I. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel

 Variabel bebas : antipsikotik tipikal (haloperidol) dan

moodstabilizer (sodiumdivalproat).

 Variabel tergantung : perbaikan gejala positif skizofrenia

paranoid.

 Variabel antara : ketidakseimbangan neurotransmitter

otak (dopamin dan glutamat)

 Variabel kendali : pendidikan, umur dan lamanya terapi.

J. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif

 Antipsikotik tipikal : golongan obat yang memblokade dopamin

pada reseptor pasca-sinaps neuron di otak, khususnya sistem

limbik dan sistem ekstra piramidal, sehingga efektif untuk

gejala positif skizofrenia paranoid. Antipsikotik tipikal yang

digunakan adalah haloperidol dengan 15 mg dalam dosis

terbagi, yaitu per delapan jam perhari

 Sodium divalproat : golongan obat moodstabilizer yang

kerjanya secara tidak langsung mengurangi eksitasi

neurotransmitter glutamat. Dalam hal ini Depakote 250 mg

dengan dosis pemberian per delapan jam perhari

 Perbaikan gejala positif skizofrenia paranoid : penurunan skor

yang diukur dengan menggunakan instrumen PANSS positif.

 Umur : umur subjek dalam setahun

52
 Pendidikan : pendidikan subjek mulai dari SD, SMP, SMA, dan

S1.

 Stres menurut Santrock (2003) adalah respon individu

terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor)

yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang

untuk menanganinya. Stres menurut Harjana, MA (1994)

adalah keadaan atau kondisi yang tercipta bila transaksi orang

yang mengalami stress dan hal yang dianggap mendatangkan

stres membuat orang yang bersangkutan melihat

ketidaksepadanan, entah nyata atau tidak nyata, antara

keadaan dan sistem sumber daya biologis, psikologis dan

sosial yang ada padanya.

 Lamanya terapi : Dikatakan skizofrenia kronik jika telah diobati

dengan antipsikotik selama 6 bulan atau lebih, yang terdapat

pemulihan parsial selama masa pengobatan.(Pantelis C, 2003)

 Faktor genetik : bila dalam keluarga inti pasien terdapat

gangguan yang sama, yaitu gangguan psikotik non-organik.

Kriteria Objektif

Instrumen yang kami gunakan adalah PANSS (Positive and

Negative Scale Syndrome) yang dirancang untuk menilai

perbaikan gejala positif dan gejala negatif skizofrenia (Kay SR, et

al., 1987). Untuk dapat digunakan di Indonesia, telah dilakukan uji

reabilitas, validitas dan sensitivitas oleh A. Kusumawardhani dan

53
tim FKUI pada tahun 1994. Reliabitas internal diuji dengan rumus

koefisien alfa dari Cronbach terhadap 140 pasien skizofrenia.

Hasil terjemahan PANSS ke dalam bahasa Indonesia sesuai

dengan PANSS asli berbahasa Inggris (Kusumawardhani, 1994).

K. Pengolahan dan Analisis Data

Melakukan pengolahan data dan analisis data secara statistik,

dengan menggunakan paired t test dan independent sample t

test untuk membandingkan kelompok yang mendapat terapi

adjuvan sodium divalproat dengan kelompok kontrol.

54
L. Alur Penelitian

Rekruitmen pasien skizofrenia paranoid


berulang sebanyak 37 pasien

Yang dieksklusi 7 pasien

Memenuhi kriteria inklusi 30


pasien

Kelompok kontrol : diberikan haloperidol Kelompok terapi adjuvan : diberikan terapi


5mg/8 jam/hari adjuvan sodium divalproat 250 mg/8 jam/hari
dan haloperidol 8 mg/8jam/hari

Menilai skor PANNS awal sbelum penelitian di


bangsal pada setiap kelompok

Terapi selama 1 minggu

Menilai skor PANNS setelah terapi 1 minggu pada


setiap kelompok

Terapi selama 2 minggu

Menilai skor PANSS setelah terapi 2 minggu pada


setiap kelompok

Analisis Data

Kesimpulan

Hasil

Gambar 18. Alur Penelitian

55
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di bangsal rawat inap RSKD Prov. SulSel selama

dua minggu, dimulai pada bulan 7 Agustus sampai 21 Agustus 2017 .

Pada akhir penelitian diperoleh jumlah total sampel sebanyak 30 orang

yang memenuhi kriteria inklusi, yang terbagi atas dua kelompok sampel

yaitu kelompok kontrol sebanyak 15 orang orang dan kelompok terapi

adjuvan kontrol sebanyak 15 orang.

Tabel 4. Karakteristik sampel penelitian

Karakteristik

Frekuensi (n) Persentase (%)

Jenis kelamin Laki-laki 24 80,0


Perempuan 6 20,0

Umur 20-30 tahun 10 33,3


31-40 tahun 12 40,0
41-50 tahun 8 26,6

Pendidikan SD 7 23,3
SMP 10 33,3
SMA 12 40,0
S1 1 3,3

Pekerjaan Bekerja 13 43,3


Tidak bekerja 17 56,7
Pernikahan Menikah 17 56,7
Tidak menikah 13 43,3

Sumber : Data Primer, 2017

56
Berdasarkan tabel 4, didapatkan kelompok sampel penderita

skizofrenia paranoid berjumlah 30 orang, yang terbagi dalam beberapa

karakteristik antara lain, berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan,

pekerjaan dan pernikahan. Berdasarkan jenis kelamin, terlihat jumlah

sampel laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu laki-laki sebanyak

24 orang (80,0%) dan perempuan 6 orang (20,0%).

Karakteristik sampel berdasarkan umur, terbagi atas tiga kelompok

rentang usia, yaitu pada rentang usia 20– 30 tahun, rentang usia 31– 40

tahun dan rentang usia 41– 50 tahun. Sampel terbanyak terlihat pada

rentang usia 31– 40 tahun sebanyak 12 orang (40,0%), kemudian pada

rentang usia 20-30 tahun sebanyak 10 orang (33,3%) dan pada rentang

usia 41-51 tahun sebanyak 8 orang (26,6%).

Berdasarkan status pendidikan sampel, terbagi atas 5 jenjang

pendidikan yaitu SD, SMP, SMA, dan S1. Proporsi sampel dengan jenjang

pendidikan SD sebanyak 7 orang (23,3 %), SMP sebanyak 10 orang (33,3

%), SMA sebanyak 12 orang (40,0 %), S1 sebanyak 1 orang (3,3 %).

Jumlah sampel yang terbanyak yaitu pada jenjang pendidikan SMA..

Proporsi sampel berdasarkan pekerjaan, sampel yang tidak bekerja

lebih banyak yaitu 17 orang (56,7%) dan sampel yang bekerja sebanyak

13 orang (43,3%). Proporsi sampel berdasarkan status pernikahan, dari

tabel tersebut terlihat bahwa jumlah sampel pada kelompok yang

menikah lebih banyak 17 orang (56,7%) dibanding yang tidak menikah 13

orang (43,3%).

57
Tabel 5. Uji normalitas variabel-variabel yang dinilai dari kedua kelompok

Statistic df Sig.

Total PANSS Awal .961 30 .331


Total PANSS Minggu I .944 30 .116
Total PANSS Minggu II .908 30 .051
Selisih PANSS Awal dan Minggu I .914 30 .091
Selisih PANSS Awal dan Minggu II .958 30 .273
Sumber: Data Primer, (2017)
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, kelompok sampel dibagi

dua, yaitu kelompok yang mendapat terapi adjuvan sodium divalproat 250

mg/8 jam/hari dan haloperidol 5 mg/8jam/hari dan kelompok yang hanya

mendapatkan terapi haloperidol 5 mg/8jam/hari, yang merupakan

kelompok kontrol. PANSS yang digunakan hanya skala positif untuk

mengukur kedua kelompok sampel. Sebaran data diuji dengan uji Saphiro

Wilk karena jumlah sampel pada data primer kecil.

Total PANSS Awal adalah jumlah total PANSS sebelum dilakukan

penelitian pada kedua kelompok sampel. Total PANSS Minggu I adalah

jumlah total PANSS setelah mendapat terapi selama satu minggu pada

kedua kelompok sampel. Total PANSS Minggu II adalah jumlah total

PANSS setelah mendapat terapi selama dua minggu pada kedua

kelompok sampel. Selisih PANSS Awal dan Minggu I adalah jumlah

perbedaan antara Total PANSS minggu I terhadap Total PANSS Awal

pada kedua kelompok sampel. Selisih PANSS Awal dan Minggu II adalah

jumlah perbedaan antara total PANSS minggu II terhadap Total PANSS

58
Awal pada kedua kelompok sampel. Masing-masing kelompok mempunyai

nilai P > 0,05, maka dikatakan variabel pada data terdistribusi normal.

Oleh karena itu dilakukan uji perbandingan uji t berpasangan untuk

minggu pertama dengan minggu kedua untuk mengetahui perbedaan rata-

rata dua kelompok sampel.

Tabel 6.Uji t Berpasangan Skor PANSS Positif Minggu Pertama dan


Minggu KeduaTerapi dengan Haloperidol

Std. 95% CI Sig. (2-


Mean Deviation Lower Upper tailed)
Rerata Perbaikan 5.000 4.209 2.669 7.331 .000
PANSS Awalterhadap
Minggu I
Rerata Perbaikan 9.600 6.967 5.742 13.458 .000
PANSS Awalterhadap
Minggu II
Paired t Test

Dari table 6. Didapatkan nilai P < 0,05 untuk minggu pertama dan

minggu kedua pada kelompok kontrol maka hasil bermakna secara

statistik.

Tabel 7.Uji t Berpasangan Skor PANSS Positif Minggu Pertama dan


Minggu KeduaTerapi dengan Haloperidol dan Depakote

Std. 95% CI Sig. (2-


Mean Deviation Lower Upper tailed)
Rerata Perbaikan 4.133 3.091 2.422 5.845 .000
PANSS Awalterhadap
Minggu I
Rerata Perbaikan 8.533 5.263 5.619 11.448 .000
PANSS Awalterhadap
Minggu II
Paired t Test

59
Dari table 7. Didapatkan nilai p < 0,05 pada minggu pertama dan

minggu kedua untuk kelompok terapi adjuvan maka dapat dikatakan hasil

bermakna secara statitik.

Tabel 8.Deskriptif Skoring PANSS Positif Pada Kedua Jenis Terapi


Std.
Terapi PANSS Min Max Mean
Deviation
Haloperidol PANSS Total Awal 15 34 24.60 5.501
PANSS Total 13 29 19.60 4.911
Minggu I
PANSS Total 10 27 15.00 4.899
Minggu II
Selisih PANSS I 0 11 4.93 4.148

Selisih PANSS II 0 17 8.27 5.325

Haloperidol + PANSS Total Awal 16 31 24.00 3.873


Depakote PANSS Total 12 27 19.87 5.343
Minggu I
PANSS Total 8 26 15.47 6.232
Minggu II
Selisih PANSS I 0 8 4.13 3.091
Selisih PANSS II 0 17 8.53 5.263

Pada table 8. Terlihat pada kelompok kontrol pengukuran skoring

PANSS total di awal penelitian dengan rerata 24,60±5,501. Setelah terapi

minggu I nilai rerata PANSS total 19,60±4,911. Setelah terapi minggu II

nilai rerata PANSS total 15,00±4,899. Sedangkan pada kelompok terapi

adjuvan, didapatkan pengukuran skoring PANSS total di awal penelitian

60
dengan rerata 24,00±3,873. Setelah terapi minggu I nilai rerata PANSS

total 19,87±5,343 dan nilai rerata skor PANSS total setelah terapi minggu

II adalah 15,47±6,232

30

25

20

15

10
Haloperidol
5
Haloperidol +
0 Depakote
PANSS Total PANSS Total PANSS Total
Awal Minggu I Minggu II

Gambar 19.Perbandingan rerata skor PANSS antara yang menggunakan


Haloperidol dengan Haloperidol dan Sodium Divalproat

Tabel 9.Uji Perbandingan Perbaikan Skor PANSS Positif Terapi


Haloperidol dengan Haloperidol dan Depakote Setelah 1
Minggu dan 2 Minggu

95% Confidence Interval


of the Difference
Sig. Lower Upper

Perbaikan PANSS Setelah 1 Minggu .080 -1.982 3.448

Perbaikan PANSS Setelah 2 Minggu .300 -3.551 5.685


Independent Sample t-Test

61
Untuk mengetahui perbedaan rerata pada kedua kelompok sampel

yang berbeda dilakukan uji parametrik Independent Sample t-Test. Dari

table 9. Didapatkan perbaikan PANSS setelah terapi 1 minggu dan

perbaikan PANSS setelah terapi 2 minggu, masing-masing nilai P >0,05

sehingga dikatakan hasil penelitian ini tidak bermakna secara statistik.

Sehingga secara keseluruhan, penelitian ini tidak bermakna. Hal ini

terlihat pada gambar 19. Terlihat garis kelompok terapi adjuvan

memotong garis terapi kelompok kontrol pada minggu I terapi dan

kemudian tampak kedua garis saling berhimpit.

B. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan perbaikan

gejala positif pada pasien skizofrenia paranoid yang diberikan terapi

adjuvan sodium divalproat dan haloperidol dengan yang diberikan

haloperidol, yang merupakan kelompok kontrol berdasarkan PANSS

(Positive and Negative Syndrome Scale) Positif yang terdiri dari 7 item.

Dengan memperhatikan variabel jenis kelamin, umur, tingkat

pendidikan, pekerjaan dan status pernikahan, didapatkan data primer

tersebut didapatkan nilai p > 0.05, sehingga disimpulkan bahwa

berdasarkan variabel-variabel ini terdistribusi normal untuk jumlah

keselurahan populasi sampel.

Proporsi jenis kelamin sampel penelitian adalah laki-laki lebih banyak

dibanding perempuan yaitu laki-laki sebanyak 24 orang (80%) dan

62
perempuan sebanyak 6 orang (20%). Hal ini sesuai dengan Kaplan &

Sadock, bahwa lebih dari setengah dari semua pasien skizofrenia yang

dirawat inap adalah laki-laki dan sepertiganya adalah perempuan yang

pada umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenia pada perempuan

adalah lebih baik dari hasil akhir pasien skizofrenia pada laki-laki, dalam

hal ini skizofrenia pada laki-laki memiliki kecendurungan mengalami

kekambuhan atau berulang. Salah satu faktor yang mendukung

perempuan lebih sedikit dan hasil akhir skizofrenia lebih baik pada

perempuan daripada laki-laki karena hormon estrogen yang dimiliki oleh

wanita dapat mengatur sistem dopamin. Estrogen dapat mencegah

peningkatan dopamin yang terjadi pada pasien skizofrenia atau dianggap

estrogen sebagai protektorat terhadap skizofrenia. (Lindamer, 2010)

Berdasarkan karakteristik umur sampel penelitian, kelompok usia

terbanyak 31-40 tahun sebanyak 12 orang (40,0%), kemudian kelompok

umur 20-30 tahun sebanyak 10 orang (33,3%) dan kelompok umur 41-50

tahun berjumlah 8 orang (26,6%). Karekteristik ini sejalan dengan

referensi yang mengatakan bahwa gambaran psikotik pada skizofrenia

biasanya muncul pada masa remaja akhir dan pada pertengahan umur 30

tahun. Episode pertama psikotik sering muncul pada laki-laki pada umur

awal 20-an sedangkan pada wanita akhir 20-an. Onset skizofrenia pada

umur di bawah 10 tahun dan di atas 60 tahun sangat jarang terjadi.

(sadock, 2013).

63
Skizofrenia juga berhubungan dengan tingkat pendidikan. Tingkat

pendidikan yang rendah akan semakin memperburuk prognosis

skizofrenia. Pada penelitian ini, didapatkan untuk pendidikan tingkat SD

sebanyak 7 orang (23,3%), tingkat SMP sebanyak 10 orang (33,3%),

tingkat SMA 12 orang (40,0%) dan S1 sebanyak 1 orang (3,3%%). Dari

data tersebut menunjukkan sebagian besar sampel berada pada tingkat

pendidikan SD, dan SMP. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang

maka semakin kurang kemampuannya dalam mengolah stress dalam

kehidupannya.

Tingkat pendidikan secara tidak langsung berhubungan dengan

pekerjaan. Dengan tingkat pendidikan yang rendah maka akan sulit

seseorang mendapatkan pekerjaan. Sesuai dengan data penelitian ini,

tampak bahwa sampel yang tidak bekerja sebanyak 17 orang (56,7%) dan

yang bekerja 13 orang (43,3%). Dengan tidak bekerjanya seseorang maka

tingkat perekonomian juga akan rendah, penghasilan yang didapat tidak

akan mampu mencukupi kebutuhan keluarga terutama bagi yang telah

menikah. Sehingga dari sampel tampak jumlah sampel yang menikah 17

orang (56,7%) dan tidak menikah 13 orang (43,4%). Salah satu faktor

stressor yang cukup tinggi dan menekan adalah masalah perekonomian.

Berdasarkan data dapat diketahui bahwa perbaikan skor PANSS

positif setelah terapi minggu pertama didapatkan nilai p = 0,08, dan

setelah minggu kedua didapatkan nilai p = 0,3. Hasil nilai ini diperoleh dari

uji perbandingan dengan uji independent T test antara dua kelompok

64
sampel. Dari uji perbandingan tersebut didapatkan hasil tidak bermakna

karena masing-masing nilai p > 0,05. Pada gambar 19. menunjukkan

pada minggu pertama penambahan terapi sodium divalproat cukup

memberikan hasil yang baik dibanding penambahan terapi sodium

divalproat setelah minggu kedua. Sehingga memberi kesan, bahwa

penambahan sodium divalproat dapat membuat PANSS positif lebih baik

pada minggu I dibandingkan pada terapi selanjutnya.Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Tao Tseng P et al.( 2015) pada

pasien skizofrenia yang mendapat terapi tambahan sodium divalproat

selain antipsotik sebagai obat utama. Penelitian tersebut juga diperkuat

oleh penelitian sebelumnya, yaitu Citrome L, et al. (1998), dan Casey et

al. (2003).

Penelitian ini menggunakan sampel 889 penderita skizofrenia

yang mendapat monoterapi antipsikotik haloperidol atau risperidon.

Sebanyak 436 pasien mendapatkan terapi adjuvan sodium divalproat dan

antipsikotik monoterapi dan sebanyak 453 pasien yang hanya mendapat

monoterapi

Hasil penelitian adalah terjadi perbaikan yang signifikan pada

penggunaan valproat di awal terapi,dalam hal menurunkan gejala

permusuhan dan agresi. Pengobatan dengan terapi adjuvan lebih

signifikan pada awal terapi dibandingkan dengan pengobatan dalam

waktu yang lama. Dari hasil penelitian tersebut tersebut dilaporkan bahwa

diantara semua subtype skizofrenia, skizofrenia paranoid yang

65
memberikan hasil perbaikan yang signifikan dengan terapi adjuvan

sodium divalproat dibanding subtype skizofrenia yang lain.Penambahan

sodium divalproat bermanfaat pada terapi di minggu I karena kerja sodium

divalproat meningkatkan konsentrasi plasma/serum dari antipsikotik,

dalam hal ini haloperidol (Dose MH,et al.(1998)) sehingga kerja

haloperidol lebih kuat dibanding apabila haloperidol diberikan sebagai

monoterapi.

Sodium divalproat utamanya bekerja mengurangi eksitasi

glutamat. Glutamat adalah neurotransmitter eksitasi mayor yang

mengeksitasi neuron-neuron di otak (master swcith). Dengan cara

mengurangi influx natrium ke dalam sel neuronmenyebabkan

berkurangnya eksitasi sel neuron terutama glutamat sehingga gejala

positif akan berkurang.(stahl, 2013)

Sodium divalproat bekerja ikut menghambat dopamin melalui

pelepasan GABA, melalui mekanisme kerja meningkatkan keluaran dan

mengurangi reuptake GABA dan memperlambat inaktifasi GABA pada sel

GABAergik. GABA adalah neurotransmitter yang penghambat di otak.

Adapun kerja dari terapi adjuvan sodium divalproat hanya pada terapi

minggu pertama atau hanya bermanfaat di awal terapi karena adanya

kondisi statis dinamis internal tubuh yang relatif dipertahankan secara

konstan terhadap berbagai rangsang yang menyebabkan setiap sel

neuron dengan kerjanya yang spesifik selalu mempertahankan

homeostatis. Sehingga jika sel neuron telah menjadi homoestatis akan ion

66
natrium, maka peranan sodium divalproat untuk mengurangi influx ion

natrium, tidak diperlukan lagi.

Keterbatasan dari penelitian ini adalah kurangnya jumlah sampel dan

masa pengamatan yang singkat, sehingga tidak dapat menentukan efek

terapi adjuvan dan efek samping sodium divalproat pada fase terapi

selanjutnya.

67
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (signifikan) antara

perbaikan gejala positif skizofrenia paranoid yang berulang antara

kelompok yang mendapat terapi haloperidol yang merupakan

kelompok kontrol dengan kelompok yang mendapat terapi adjuvan

sodium divalproat terhadap haloperidol.

2. Penderita skizofrenia paranoid yang berulang yang mendapatkan

adjuvan sodium divalproat terlihat cenderung mengalami perbaikan

gejala yang lebih baik dibanding penderita skizofrenia paranoid

yang berulang yang tidak mendapatkan adjuvan sodium divalproat,

terutama pada minggu pertama

3. Penderita skizofrenia paranoid yang mendapatkan adjuvan sodium

divalproat lebih cepat mengalami respon klinis dibanding penderita

skizofrenia paranoid yang. Terapi adjuvan sodium divalproat

bermanfaat untuk pengobatan pada minggu pertama

68
B. Saran

1. Penggunaan sodium divalproat sebagai terapi adjuvan dapat menjadi

pertimbangan untuk percepatan perbaikan gejala positif pada

penderita skizofrenia paranoid yang berulang.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih


besar dan kontrol antipsikotik yang lebih beragam, dan dalam waktu

yang lama dengan menggunakan instrumen penilaian yang berbeda,

dengan desain teracak buta ganda (randomized double blind control

trial).

69
DAFTAR PUSTAKA
Amir, N, 2009. Interaksi Neurotransmitter pada skizofrenia dan Implikasi
Terapeutiknya. Perjalanan Panjang Skizofrenia. Makalah disajikan
dalam Kongres International WPA Regional Meeting ‘Mental Health
Disaster’, yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa. Jakarta,
Beyond Emergency Respone, Nusa Dua Bali, Indonesia

American Psychiatric Association, 2010. Diagnostic and Statistical Manula


of Mental Disorders, 5th Ed, Artlington: American Psychiatric
Association.
Brunet, GE;Decety J, December 2006. Social Brain Dysfunctions in
Schizophrenia, a Review of Neuroimaging Studies (online),
Psychiatry Res 148 (2-3),
(pmID17088049:doi:10.1016/j.psychreshxv, diakses 01 Mei 2006).

Djatmiko P, 2010. 10 Penyakit terbanyak Rawat Jalan dan Rawat Inap


RSJ Dr. Soeharto Heerdjan. Rekapan grafik. Jakarta: RSJ Dr.
Soeharto Heerdjan.

Dorothy, Choinsky M, Michael J, Gasior. 2009. Mood Stabilizer Increase


Prepulse Inhibition in DBA/2NCrl mice. Psychopharmocology.
Springer Journal, USA : 369-377.

Dose M, Helweg R, Yassouridids A, et al. Combined Treatment of


Schizophrenia Psychoses with Haloperidol and Valproate.
Pharmacopsychiatry, 1998;31:122-125.

French-Constant RH, Rocheleau TA, Steichen, AE. 1993. A Point Mutation


in a Drosophila GABA Receptors Insecticide Resistance. Nature,
449-451.

Fuller, AM and Sajotiv, M. 2002. Drug Information Handbook for


Psychiatry. Lexy Comp. Kanada.

Harjana, MA, 1994. Stress tanpa Distress Seni Mengolah Stres. Kanisius,
Yogyakarta: 14

Horowitz, E. Bergman, L.C. Ashkenazy, C.Moscona,I. Grinvald, H.


Magnezi R. 2014. Off Label Use of Sodium Valproate for
Schizophrenia. Ploz One Journal. Volume 9. Israel.

70
Kang Sim and Kian Hui Yioung, 2011. Adjunctive Moodstabilizer
Treatment for Hospitalized Schizophrenia Pateints, Asia
Psychotyropic Prescription Study (2001-2008). International Journal
of Neuropshicofarmacology. 1157-2264.

Kay, SR. Fisbein, A. Opler, L. 1987. Schizophr Bull. PubMed (online)


(PMID: 3616518 ). 3(2): 262-276.

Kuriyama,K. Sze,PY. 1991. Blood –Brain barrier to H3-GABA in Normal


Oxyacetic Acid- treated animals. Neuropharmacology: 103-108.
Kusumawardhani A. 1994
Lindamer, Laurie A, James B. Lohr, M. Jackuelyn Harris, and Dilip V.
Jeste. Gender, 2010. Estrogen, and Schizophrenia.
Psychiatryonline.org. American Psychiatric Association, 2004. Web.
16 Nov. 2010
(http://focus.psychiatryonline.org/cgi/content/full2/1/138)
Murray, R.M. Kendler, K.S. McGuffin, P. Wessely, S. Castle, D.J (Eds),
2008. Schizophrenia and Related Disorder. Essential Psychiatry
fourth edition. Cambride University Press, United States of
America, 586.
Pantelis C, Lambert TJ. 2003. Managing Patients with “treatment-
resistant” Schizophrenia. Med J Aust. 178(suppl):S62-S66
Petrof, O. 2002. GABA and glutamate in the Human Brain. Neuroscientist,
562-573.
Riset Kesehatan dasar (Riskesdas). 2013. Jakarta : Kementerian
Kesehatan Repuplik Indonesia.
Sadock, BJ and Sadock , V.A.2013. Kaplan and Sadock’s Synopsis of
Psychiatry ninth edition. Philadelphia, USA. Pippincot Williams and
Wilikins, 623-31.
Santrock, J, 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Edisi 6, Jakarta:
557
Schousbe, A, Waagepeterson HS. 2007. GABA Homeostatic and
Pharmacological Aspects. Prog Brain Res. Progress in Brain
Research 160, 9-19.
Shah, J.N, Qureshi, S.U, Jawad, A, Schultz, P.E. 2012. Is There Evidence
for Late Cognitive decline in Chronic Schizophrenia? The
Psychiatric Quarterly . (83)2 : 127-144.

71
Shinta, D.A.2012. Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Terapi
Antipsikotik pada Pasien Skizofrenia di INstalasi Rawat Inap RSJ
Grhasia Yogyakarta. Studi Kasus. Disertasi tidak diterbitka.
Yogyakarta.
Sinaga, BR, 2007. Skizofrenia dan Diagnosis Banding.Balai Penerbit
FKUI. Jakarta 32-34.
Smith, T. Weston, C. Lieberman, J. August 2010. Schizophrenia
Maintenance Treatment. AM fam Physician. 82 (4) :338-339. (PMID
20704164)
Stahl, Stephen M. 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacoloy
Neuroscientific Basis and Practical Application fourth edition. New
York. Cambrige Medicine Press.
Versayanti, S. 2010. Berbagai tantangan pada pengobatan skizofrenia.
Kepatuhan dan Rehabilitasi Kognitif sebagai Penentu Keberhasilan
Terapi Skizofrenia dalam Majalah Jiwa Psikiatri. Yayasan
Kesehatan Jiwa Dharmawangsa, tahun XLIII no. 3 September
2010. Jakarta, 1-24.
Watanabe M, Maemura K, Kanbara K, Tamayama T, Hayasaki H. 2002.
GABA and GABA Receptors in the Central Nervous Systems Other
Organs. In Join KW. Int. Rev. Cytol. International Review of
Cytology, 1-47
World Health Organization. September 2015. Schizophrenia Fact Sheet
N0 397. WHO; Geneva, Switzerland.(online) diakses pada 3
Februari 2016.

72
Lampiran :

FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN UNTUK SUBYEK > 17 TAHUN

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Pekerjaan :

Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti tentang manfaat dan resiko dari
penelitian ini, dengan ini menyatakan bersedia secara sukarela tanpa paksaan untuk
mengikuti penelitian ini dan mentaati semua prosedur yang akan dilakukan pada saat
penelitian ini.

Saya mengerti bahwa prosedur pemeriksaan Kejiwaan (Psikiatri) terhadap saya


tidak akan menyebabkan hal-hal yang merugikan dan saya percaya bahwa akan
dilakukan tindakan-tindakan kewaspadaan untuk mencegah hal-hal tersebut, dan tidak
ada biaya tambahan yang harus saya keluarkan bila dilakukan tindakan-tindakan
kewaspadaan.

Bila dalam penelitian ini terjadi perselisihan antara peneliti dan saya, maka
keluarga saya berhak untuk tidak ikut penelitian ini.

Saya juga berhak menolak untuk menjalani pemeriksaan Kejiwaan (Psikiatri) atau
tidak ikut dalam penelitian ini tanpa kehilangan hak saya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dari dokter.

73
Makassar, Juni 2017

(……………………………)

Nama Saksi, Tanda tangan

1. . . . . . . . . ............

2. . . . . . . . . ............

Peneliti Utama : dr. Sukmawaty Machmud

Kompleks Haji Kalla C1/78. Makassar /08114441885/sukmachmuds@gmail.com

Dokter Penanggung Jawab Medis : dr. Theodorus Singara, SpKJ(K)

Alamat :
Disetujui Reviewer
Tlp :
KEPK. Fak Kedokteran UNHAS

Tanggal :

74

Anda mungkin juga menyukai