Anda di halaman 1dari 22

HUBUNGAN SEBAB DAN AKIBAT “TUNA WICARA”

(Studi Kasus Di Desa Bluru)

Abdul Khair Nawawi


UIN Antasari Banjarmasin
abdulkhairnawawi85@gmail.com

Abstract

Every parent definitely wants their child to be born normally and perfectly, but
many parents do not accept when they are given an exam related to a child who is
born with a disability or special needs, even though when parents accept and are
willing to sincerely care for the child, then in Islam they will get reward. Because
children are entrusted. The views of parents when they conceive a child with
disabilities are different, some violate the prohibition against getting pregnant, or also
consume illegal drugs, and so on. It should be noted that a disability is any individual
who experiences physical, mental, intellectual and sensory limitations for a long time
which causes barriers to interaction. Speech impairment is a sensory disability that
causes a person to be unable to function or not to function one of his five sensory
organs, namely the mouth. Speech impaired are often referred to as mute.

Keywords: Parents, Child, Disability, and Speech Impaired

Abstrak

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya lahir secara normal dan sempurna,
akan tetapi banyak orang tua yang tidak menerima ketika diberi sebuah ujian terkait
anak yang dilahirkan mengalami disabilitas atau berkebutuhan khusus padahal ketika
orang tua menerima dan mau merawat dengan tulus anak tersebut maka dalam islam
akan mendapatkan pahala. Karena anak adalah titipan. Pandangan orang tua ketika
mengandung anak yang mengalami disabilitas itu berbeda-beda, ada yang melanggar
pantangan hamil, atau juga mengonsumsi obat- obatan yang terlarang, dan lain
sebagainya. Perlu diketahui bahwa disabilitas adalah setiap individu yang mengalami
keterbatasan baik fisik, mental, intelektual, dan sensorik dalam waktu lama yang
menyebabkan adanya hambatan dalam berinteraksi. Tuna Wicara merupakan salah
satu disabilitas sensorik yang menyebabkan seseorang tidak bisa memfungsikan atau
tidak berfungsinya salah satu organ panca inderanya yaitu mulut. Tuna wicara sering
disebut dengan istilah bisu.

Kata Kunci: Orang Tua, Anak, Disabilitas, dan Tuna Wicara

I. Pendahuluan
Masyarakat banyak menganggap seseorang yang memiliki keterbatasan fisik atau
disabilitas itu perlu dikasihani dan seringkali diacuhkan hal ini karena ketidaktahuan
masyarakat terkait tentang disabilitas. Padahal seorang disabilitas juga memiliki hak
yang sama seperti orang yang non-disabilitas. Manusia adalah makhluk sosial yang
memerlukan bantuan dari orang lain, saling menolong satu sama lain, saling mengerti
satu sama lain, sehingga dapat tercipta kesejahteraan sosial dan tidak ada perbedaan
baik orang yang disabilitas maupun non- disabilitas. 1 Dalam pasal 28 A UUD 1945,
yakni “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”.2 Sudah selayaknya negara menghormati dan memberikan hak-hak
penyandang disabilitas karena mereka juga manusia, Allah menciptakan manusia
secara sempurna, mereka memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hal
ini sesuai dalam firman Allah surah At- Tin ayat 4 yang berbunyi
‫َلَقْد َخ َلْقَنا اِاْل ْنَس اَن ِفْٓي َاْح َس ِن َتْقِو ْيٍۖم‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.”

1
Radito Pranama Akbar, dan Anggar Erdhina Adi, “Editing Pada Film Pendek Tentang Disabilitas Bisu
Tuli”, vol. 7, no. 2 (2020). h. 637
2
Said Aqiel Siroj, Fiqh Penguatan Penyandang Disabilitas, (Jakarta: Lembaga Bahtsul Masail PBNU,
2018). h. 4
Islam sangat memperhatikan penyandang disabilitas, menerimanya secara
setara sebagaimana manusia lainnya dan bahkan memprioritaskannya. Dalam
hadis Nabi Muhammad Saw juga ditegaskan

‫ « ِإَّن َهَّللا َال َيْنُظُر ِإَلى ُص َو ِر ُك ْم َو َأْم َو اِلُك ْم َو َلِكْن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َع ْن َأِبى ُهَر ْيَر َة َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا‬

‫ رواه مسلم‬.» ‫َيْنُظُر ِإَلى ُقُلوِبُك ْم َو َأْع َم اِلُك ْم‬


Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya
Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian”. HR.
Muslim.
Oleh sebab itu, pandangan terhadap penyandang disabilitas sebagai kutukan dan
penderitanya adalah orang-orang yang terkutuk harus segera dihentikan. Sebaliknya
kita perlu menyebarkan pandangan yang positif, yang membuka wawasan masyarakat
agar mau menumbuhkan rasa peduli terhadap penyandang disabilitas.3
Orang tua yang memiliki anak disabilitas atau berkebutuhan khusus harus
senantiasa memberikan perhatian lebih karena orang yang disabilitas adalah orang
yang memerlukan bantuan sama halnya dengan orang normal diperlukan khususnya
ketika berinteraksi dengan orang-orang yang ada disekitar kita, begitu pula dalam
Pendidikan. Seiring berkembangnya zaman dan teknologi yang canggih membuat
seorang disabilitas khususnya tuna wicara mampu berkomunikasi dengan orang lain
melalui media handphone atau online, walaupun demikian tetap juga belajar Bahasa
isyarat yang juga memudahkan dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan alat
komunikasi yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial. Tanpa bahasa kita tidak bisa
menginformasikan ide maupun gagasannya kepada orang lain baik secara lisan
maupun tulisan. Maka ada keterkaitan yang erat antara bahasa dan komunikasi dalam
hubungan bermasyarakat.4
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk memberikan bimbigan atau
pertolongan dalam mengembangkan potensi jasmani dan rohani yang diberikan oleh

3
Ibid. h. 58
4
Mochammad Sinung Restendy, "Model Belajar dan Komunikasi Anak Disabilitas Tunarungu Wicara Di
Taman Pendidikan Al Quran Luar Biasa (TPQLB) Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung", Jurnal
komunika Islamika, Vol. 6. No. 1 (2019). h. 63
orang dewasa kepada peserta didik untuk mencapai kedewasaannya serta mencapai
tujuan agar peserta didik mampu melaksanakan tugas secara mandiri.5
Tuna wicara adalah suatu hambatan didalam komunikasi verbal berupa gangguan
atau kerusakan suara, artikulasi bicara dan kelancaran berbicara. Penyebab tunawicara
diantaranya adalah faktor genetik, keracunan makanan, tekanan darah tinggi, dan
penyakit tetanus yang menyerang bayi saat lahir.6 Tuna wicara termasuk dalam
disabilitas sensorik dimana terganggunya salah satu fungsi dari panca indera. Terapi
yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan penderita gangguan berbicara,
terutama dalam aspek Bahasa dan bicara yaitu terapi musik, terapi sendi, terapi
wicara, perbaikan wicara, koreksi ucapan, Pendidikan pidato. Salah satu yang
sekarang menjadi alternatif adalah dengan meningkatkna kemampuan Bahasa vokal
(Desaryanti, 2019).7 Jadi, artikel ini dibuat untuk memberikan informasi baik kepada
orang tua, ataupun keluarga penyandang disabilitas, atau bisa juga orang yang ingin
mengetahui lebih dalam terkait tuna wicara atau bisa disebut dengan bisu.

II. Metode Penelitian


Berdasarkan permasalahan yang diteliti, metode penelitian yang digunakan
bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang
yang diamati.8 Salah satu strategi pengumpulan data yaitu wawancara. Wawancara
yang dilakukan adalah wawancara terhadap salah satu orang tua yang memiliki anak
disabilitas tunawicara.

III. Kajian Pustaka (Pembahasan)


a. Disabilitas

5
Rahmat Hidayat, dan Abdillah, Ilmu Pendidikan Konsep, Teori, dan Aplikasinya,
(Medan: LPPI, 2019). h. 24
6
Nur Khamdi, dan Muhammad Raja Adrafi, “Sarung Tangan Cerdas Sebagai Translator Bahasa Isyarat
Untuk Tuna Wicara”, Jurnal Elementer, Vol. 8 No. 2 (2022). h. 114
7
Fandi Akhmad, dkk, "Karakteristik dan Model Bimbingan Atau Pendidikan Islam Bagi ABK Tuna
Wicara", Jurnal Pendidikan dan Sains, vol. 1, no. 3 (2021). h. 157
8
Zuchri Abdussamad, Metode Penelitian Kualitatif, (Makassar: Syakir Media Press, 2021). h. 30
Istilah “Penyandang Disabilitas” mulai dikenal ketika UU Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas (selanjutnya akan disebut sebagai UU Penyandang
Disabilitas) diundangkan pada 15 April 2016. Istilah Penyandang Disabilitas ini
menggantikan istilah penyandang cacat yang digunakan dalam UU Nomor 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat. Pasal 1 angka 1 UU Penyandang Disabilitas
menjelaskan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap individu yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik dalam jangka waktu yang lama
dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan
untuk ikut serta secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak.9
Istilah difabel digunakan untuk mengganti disabilitas yang berarti penyandang
cacat. Difabel atau difabilitas berasal dari Bahasa inggris yaitu diferent ability berarti
orang yang memiliki kemampuan berbeda atau orang yang berkebutuhan khusus.
John C. Maxwell mengatakan bahwa difabel adalah individu yang mempunyai
kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan suatu rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan aktifitas secara layak atau normal.
Sedangkan yang lain mengatakan bahwa difabel adalah suatu kehilangan atau
ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun struktur atau fungsi anatomis atau
tubuh.10
Ada beberapa jenis penyandang disabilitas diantaranya:
1. Penyandang disabilitas fisik yaitu seseorang yang mengalami hambatan dan
terganggunya fungsi gerak seperti pertama, kelainan pada tubuh (tunadaksa)
adalah seorang individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh
kelainan otot dan struktur tulang bawaan akibat sakit, kecelakaan, dan polio atau
lumpuh. Kedua, kelainan indera penglihatan (tunanetra) adalah seorang individu
yang memiliki gangguan dalam penglihatan. Tunanetra dibagi menjadi dua yaitu
buta total dan low vision. Ketiga, kelainan pendengaran (tunarungu) adalah

9
Alia Harumdani Wijaya, dkk, "Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Memperoleh
Pekerjaan dan Penghidupan Yang Layak Bagi Kemanusiaan", Jurnal Konstitusi, vol. 17, no. 1 (2021). h.
198
10
Rikho Afriyandi, dan Fadli Rahman, “Difabel dalam Kitab Tafsir Indonesia Kontemporer”, Jurnal Studi
Keislaman, vol. 1, no. 2 (2020). h. 82
seorang individu yang mengalami gangguan dalam pendengaran baik permanen
ataupun tidak. Keempat, kelainan bicara (tunawicara) adalah seorang individu
yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan suatu pikiran dalam Bahasa
verbal, sehingga sulit dimengerti oleh orang lain.
2. Penyandang disabilitas intelektual adalah seseorang yang memiliki gangguan
terhadap fungsi berpikir atau saraf otaknya seperti tingkat kecerdasan dibawah
rata-rata, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome.
3. Penyandang disabilitas sensorik adalah seseorang yang memiliki gangguan fungsi
panca indera, seperti disabilitas netra, rungu, dan wicara.11
4. Penyandang disabilitas mental adalah seseorang yang memiliki gangguan fungsi
piker, emosi , dan perilaku. Disabilitas mental terbagi menjadi tiga yaitu pertama,
mental tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat yang memiliki kemampuan
intelektual tinggi, dia juga memiliki kemampuan tanggung jawab terhadap tugas.
Kedua, mental rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual
yang rendah dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow
learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (intelligence quotient) antara 70–90.
Sedangkan anak yang memiliki IQ (intelligence quotient) di bawah 70 dikenal
dengan anak berkebutuhan khusus. Ketiga, berkesulitan belajar spesifik.
Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar yang diperoleh.12

b. Teori-teori Disabilitas
Teori bisa diartikan sebagai cara pandang kita terhadap sesuatu hal, bagaimana
kita menjelaskan disabilitas dan memahaminya. Dalam sebuah literatur teori atau
pandangan terhadap disabilitas ini berkembang seiring berkembangnya zaman. Setiap
sejarah memiliki cara pandang yang berbeda dalam memaknai disabilitas. Ada
beberapa teori terkait disabilitas berdasarkan perkembangan zaman yaitu
1. Model moral atau disabilitas dalam kacamata budaya (Traditional Model)

11
Ananta Refka Nanda, dan Ratna Herawati, "Kendala Dan Situasi Bagi Penyandang Disabilitas Kota
Semarang Dalam Mengakses Pekerjaan", Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 3, no. 3 (2021).
h. 330-331
12
Nor Kholis Reefani, Panduan Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Imperium, 2017). h. 17
Model ini memberikan respon terhadap penyandang disabilitas dari berbagai
macam budaya, tetapi pandangan dan perlakuan negatif menjadi fenomena yang
cukup umum. Model ini juga mengaitkan dengan moral. Dalam budaya barat,
masyarakat Yunani dan romawi merupakan bangsa yang mengidolakan fisik
sehingga bayi baru lahir itu harus dites fisik oleh sesepuh atau hakim tua yang
disebut “Gerousia”. Jika bayi tersebut tidak lulus tes fisik maka dianggap bayi
yang cacat atau sakit dan akan diletakkan disebuah tempat pamean dan dibiarkan
mati.
Dan dalam masyarakat romawi jika ada bayi yang lemah atau difabel maka
akan dilarutkan ke sungai Tiber. Selama masa pertengahan bayi yang cacat juga
dianggap sebagai tumbal anak setan yang ditukar dengan anak manusia karena
orang tuanya melakukan praktik perdukunan. Tokoh protestan yang terkenal
menganggap jika bayi yang difabel ada iblis didalam dirinya oleh karena itu harus
dibunuh.
Ada juga yang menganggap bayi yang difabel karena adanya hubungan
kausalitas atau sebab akibat dari disabilitas dengan sesuatu yang dianggap buruk
atau jahat. Contohnya pantangan hamil seperti memotong kaki ayam setelah
penyembelihan maka menyebabkan anak lahir mengalami polio. Dalam
pandangan islam, orang yang penyandang disabilitas itu dianggap sebagai ujian
atau tes keimanan dari tuhan terhadap dirinya.13

2. Individual or Medical Model Of Disability


Pada abad ke 18 dan 19 berkembanglah fase industrilisasi dimana awalnya
pekerja sebagai agraris menjadi sistem kerja pabrik yang mengharuskan pekerja
itu memiliki tubuh yang sehat dan sempurna, dan juga memiliki jam kerja yang
Panjang sehingga orang yang difabel tidak bisa memenuhi tuntutan pekerjaan
tersebut karena difabel dianggap orang yang sakit dan tidak bermanfaat sehingga
harus dirawat dan disembuhkan. Dan berkembangnya fase tersebut menyebabkan
keluarga tidak bisa merawat difabel dan dibangunlah panti asuhan, rumah sakit,

13
Ro'fah, "Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur", Jurnal Difabel, vol. 2, no. 2 (2015). h. 138-142
dan lain sebagainya. Disabilitas dianggap individunya yang memiliki penyakit
sehingga tidak bisa mengoperasikan teknologi hal ini yang membedakan dengan
orang non disabilitas yang mampu mengerjakan segala sesuatu dengan sempurna.
Dan seorang disabilitaslah yang menanggung resiko atas kedisabilitasannya dan
juga penyandang disabilitas harus mau mengakui dirinya disabilitas dan mencari
bantuan seperti ke dokter untuk menormalisasi atau menyembuhkan
kedisabilitasannya.14

3. Social Model Of Disability


Model ini mengalihkan fokus yang awalnya permasalahan disabilitas itu dari
individu menjadi sosial. Atau mencakup ruang lingkup yang lebih luan dan
bersifat eksternal seperti lingkungan sosial bukan dari fisik ataupun mental
individu. Social model mengatakan jika pemerintah merancang fasilitas untuk
keseluruhan fungsi manusia, maka orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik
tidak akan mengalami disabilitas karena mereka dapat berpartisipasi dalam
masyarakat. Difabel pada model ini bukan lagi berkaitan dengan penyembuhan
atau rehabilitasi akan tetapi lebih kepada politisasi, pemberdayaan, dan penegasan
hak difabel sebagai warga negara.15

4. Teori Impairment
Teori ini mengkritik bahwa social model itu terlalu menganggap bahwa
disabilitas itu kesalahan lingkungan yang kurangnya fasilitas untuk memudahkan
disabilitas atau masalah fisik. Gagalnya perspektif memahami pengalaman
subjektif dan sebab akibat dari disabilitas itu (aspek dalam disabilitas) yang
menyebabkan teori ini dikritik. Padahal disabilitas tidak sesederhana itu
masalahnya, dan social model itu hanya alat untuk meningkatkan kualitas hidup
difabel.16

14
M. Anshari, "Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur", Jurnal Pendidikan dan Islam Kontemporer,
vol. 1, no. 1 (2021). h. 40-41
15
Barkatullah Amin, "Ulama Difabel: Menarasikan Ekspresi Kultural Masyarakat Banjar Dalam Lensa
Studi Disabilitas", Jurnal Studi Islam dan Humaniora, vol. 17, no. 2 (2019). h. 216- 217
16
Ro’fah, "Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur". h. 152-154
c. Tuna Wicara
a. Pengertian Tuna Wicara
Tuna wicara adalah suatu kondisi seseorang yang tidak mampu untuk
mengkomunikasikan gagasannya kepada pendengar (orang lain) dengan
menggunakan organ bicaranya. Menurut paton penyebab tuna wicara karena
kerusakan otak, celah langit-langit, bibir sumbing, tuna rungu dll. 17 Kurangnya atau
tidak berfungsi organ pendengaran, keterlambatan dari perkembangan Bahasa,
kerusakan pada sistem saraf dan struktur otot, serta ketidakmampuan dalam kontrol
gerak juga mengakibatkan keterbatasan dalam berkomunikasi. Diantara individu yang
mengalami kesulitan berkomunikasi ada yang sama sekali tidak bisa berkomunikasi
tetapi dapat mengeluarkan bunyi dan tidak mengucapkan kata-kata dan ada yang
dapat berkomunikasi tetapi tidak jelas.18
Menurut Purwanto tuna wicara diklasifikan menjadi empat kelompok yaitu
kelambatan berbicara (speech delay), gagap (stuttering), kehilangan kemampuan
berbahasa (dysphasia), dan kelainana suara (voice disorder). Menurut Mahmud
kesulitan berkomunikasi dapat menghambat seseorang dalam berinteraksi dengan
lingkungan.19 Tuna wicara tergolong dalam disabilitas sensorik dimana tidak
berfungsinya salah satu panca indera yang menyebabkan seseorang tidak bisa
berbicara (tuna wicara), tidak bisa melihat (tuna netra), dan tidak bisa mendengar
(tuna rungu)20
Penyandang tunawicara biasanya berkomunikasi menggunakan simbol- simbol
tertentu. Penyandang tunawicara tidak hanya berkomunikasi dengan sesama
penyandang tunawicara. Sudah sewajarnya, ada kalanya mereka berkomunikasi
dengan orang normal bahkan yang bukan tergolong orang terdekat yang belum tentu

17
Retno Gumilar, dkk, "Inovasi Jam Tangan Tindak Kejahatan Bagi Penderita Tuna Wicara", vol. 9, no. 1
(2017). h. 2
18
I Wayan Pasek Suryadnya, dkk, “Alat Bantu Komunikasi Terintegrasi Bagi Penyandang Tuna Wicara
Sensor Gerak dan OpenWrt”, Jurnal Spektrum, vol. 5, no. 2 (2018). h. 173
19
Etriana Meirista, dkk, “Analisis Penggunaan Model Think, Talk, and Write Berbantuan Video Pada
Mahasiswa Disabilitas”, Jurnal Pendidikan Edutama, vol. 7, no. 2 (2020). h. 10
20
Anisza Eva Saputri, dkk, “Dukungan Sosial Keluarga Bagi Orang Dengan Disabilitas Sensorik”, vol. 6,
no. 1. h. 63
memahami simbol yang mereka komunikasikan. Sehingga bukan hanya penyandang
tuna wicara yang mempelajari Bahasa isyarat akan tetapi yang tidak menjadi
penyandang tuna wicara juga seharusnya belajar supaya lebih mudah dalam
berkomunikasi.21

b. Faktor-faktor Penyebab Tuna Wicara


Beberapa faktor-faktor penyebab tuna wicara adalah
a. Hereditas (keturunan)
Jika seorang anak mengalami gangguan berbicara dimulai dari dalam kandungan
karena ada keluarga dengan gangguan berbicara atau megafon, maka ketika lahir anak
akan mengalami kelainan keturunan tersebut.
b. Gangguan neonates
Bayi prematur yang lahir dengan tidak normal dan lahir dengan organ yang
belum matang tersebut terkadang menyebabkan gangguan kecemasan yang parah
sehingga terjadi bisu.
c. Gangguan pos natal
Ketika seorang anak lahir ia menderita infeksi campak yang prespektif tuli, virus
akan menyerang cairan koklea pada anak otitis media.
d. Infeksi saluran pernafasan
Gangguan pada saluran pernafasan seperti paru-paru, laring atau gangguan pada
mulut lidah menyebabkan seorang anak tidak bisa berbicara. Karena saluran
pernafasan itu berhubungan dengan alat atau organ untuk berbicara.
Gangguan komunikasi atau bisa disebut Communication disorder are dalam
Bahasa inggris merupakan gangguan merupakan gangguan penting karena
komunikasi memungkinkan seseorang berinteraksi dengan orang lain. Jika
kemampuan untuk berkomunikasi terganggu, maka akan berdampak pada proses
berhubungan dengan orang lain. Secara umum, gangguan komunikasi ada dalam 2
kategori, yaitu gangguan bicara dan bahasa. Tuna wicara atau sering disebut sebagai

21
Dina Khairani, dkk, “Analisis Konsep Diri Siswi-Siswi Penyandang Tunawicara SLB Negeri Cicendo
Bandung”, Jurnal Manajemen Komunikasi, vol. 2, no. 1 (2017). h. 19
gangguan bicara, dapat disebabkan oleh gangguan pendengar yang ada sejak lahir
atau kerusakan pada organ, misalnya lidah yang terlalu pendek untuk anak tidak dapat
menghasilkan suara dengan sempurna. Gangguan bahasa akan terjadi jika seseorang
tidak memiliki salah satu atau lebih aspek tersebut. Gangguan bahasa dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu
a. Gangguan bahasa yang terjadi pada akibat keterlambatan perkembangan,
misalnya anak usia 10 tahun, kelancaran berbahasa sama dengan anak 2 tahun.
b. Gangguan yang berkaitan dengan kesulitan belajar.
c. Gangguan bahsaa yang terjadi akibat gangguan saraf bahasa memiliki fungsi
utama dan berperan sebagai media komunikasi.
Dalam fungsinya dapat dibedakan berbagai peran bahasa lainnya, seperti :
1. Bahasa sebagai sarana untuk menjalin kontak atau hubungan.
2. Digunakan sebagai ungkapan perasaan, kebutuhan, dan keinginan.
3. Mengatur dan mengontrol perilaku orang lain.
4. Memberikan informasi.
Menurut Abdullah dalam jurnal Fandi Akhmad masalah utama pada seseorang
dengan gangguan bicara adalah hilangnya atau terganggunya fungsi pendengaran
bicara, yang disebabkan oleh kelahiran, kecelakaan atau penyakit. Biasanya anak
dengan gangguan bicara yang disebabkan oleh faktor bawaan akan memiliki
kemampuan bicara yang berlebihan, tetapi tidak selalu. Sebaliknya, anak-anak yang
kurang pandai berbicara/kurang baik umumnya dapat menggunakan fungsi
pendengarannya, meskipun tidak selalu demikian. Tidak semua tuna wicara itu tuna
rungu atau tidak bisa mendengar.

c. Karakteristik Tuna Wicara


Menurut Heri Purwanto, ciri anak tuna wicara adalah ciri-ciri bahasa dan tutur.
Pada umumnya anak dengan kelainan mengalami keterlambatan perkembangan
bahasa dan bicara dibandingkan dengan perkembangan normal anak, Kemampuan
kecerdasan tidak berbeda dengan anak normal, hanya skor IQ verbal mereka yang
akan menyamai IQ kinerjanya, Penyesuaian emosi, sosial dan perilaku. Dalam
mencapai interaksi sosial dimasyarakat, banyak tentang komunikasi verbal yang
membuat gangguan bicara mengalami kesulitan dalam adaptasi sosial. Akibat
gangguan bicara pada tuntutan anak. Gangguan sendi tidak menimbulkan akibat
negatif sebaliknya gangguan bahasa akan mempengaruhi pendidikan dan hubungan
interpersonal.
Berikut beberapa gangguan yang diderita adalah Kapasitas konseptual dan
keberhasilan akademi, Keterlambatan perkembangan bahasa dan afasia atau gangguan
yang disebabkan oleh kerusakan otak akan mempengaruhi perkembangan pendidikan
dan kognitif, karena perkembangan dan kognitif sangat bergantung pada pemahaman
dan bahasa. Kelainan artikulasi dan fluiditas tidak menunjukkan efek buruk pada
perkembangan pendidikan dan kognitif.
Faktor pribadi dan sosial, Gangguan artikulasi dan suara memiliki konsekuensi
negatif pada hubungan interpersonal dan pengembangan konsep diri pada anak.
Pandangan, ekspresi dan orang lain saat berkomunikasi dapat menyebabkan
rendahnya harga diri, merasa terasing, tidak berani berbicara didepan umum dan
menimbulkan kecemasan pada anak tuna wicara. Atas penjelasan diatas, dapat
disimpulkan perkembangan anak dengan gangguan tuna wicara memiliki beberapa
faktor yaiu Faktor pertama, Mengenai keberhasilan konseptual dan pendidikan,
keterlambatan perkembangan bahasa dan afasia ekspresif akan mempengaruhi
perkembangan pendidikan dan kognitif, karena perkembangan pendidikan sangat
tergantung pada pemahaman dan penggunaan bahasa. Faktor kedua, Mengenai faktor
pribadi dan sosial, Gangguan artikulasi dan suara menyebabkan negatif dalam
hubungan interpersonal dan perkembangan diri anak.
Latihan artikulasi, Artikulasi adalah gerakan otot-otot dari langit- langit, rahang
lidah dan bibir yang perlu untuk bicara. Terapi wicara yaitu pengembangan
kemampuan bicara anak tunawicara dengan melatih pengucapan oral (mulut). Speech
development, yaitu pengembangan kemampuan bicara, anak tunawicara dapat di ajar
berbicara. Speech improvement, yaitu segala macam usaha yang yang berhubungan
dengan pengembangan kemampuan bicara. Speech correction, yaitu suatu pembetulan
bicara yang berbau terapi, dengan cara membetulkan dan mengoreksi istilah-istilah
yang tidak benar. Speech education, yaitu pendidikan bicara dan berbahasa dan Terapi
musik, Terapi musik adalah materi yang mampu mempengaruhi kondisi seseorang
baik fisik maupun mental. Musik memberi rangsangan pertumbuhan fungsi-fungsi
otak seperti fungsi ingatan, belajar, mendengar, berbicara, serta menganalisis intelek
dan fungsi kesadaran.22
Ciri-ciri perkembangan bahasa dan komunikasi antara lain:
a. Kurang memperhatikan saat guru memberikan pelajaran di kelas.
b. Sumber bunyi, sering kali ia meminta pengulangan penjelasan guru saat di
kelas.
c. Mempunyai kesulitan untuk mengikuti petunjuk secara lisan.
d. Tidak mau untuk berpastisipasi secara social, mereka mendapatkan kesulitan
untuk berpartisipasi secara oral dan dimungkinkan karena hambatan pendengarannya.
e. Memiliki ketergantungan terhadap petunjuk atau instruksi saat berada di
kelas.
f. Mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara.
g. Perkembangan intelektual peserta didik tuna wicara terganggu.
h. Mempunyai kemampuan akademik yang rendah, khususnya dalam
membaca.23

d. Pola Komuniasi Tuna Wicara


Disabilitas tuna wicara dalam berkomunikasi dikehidupan sehari-hari berbeda
dengan anak-anak normal pada umumnya, hal ini dikarenakan kemampuannya
didalam melakukan komunikasi terganggu sehingga sulit untuk mengucapkan suatu
hal baik secara jelas maupun tidak jelas kepada lawan bicaranya. Akan tetapi
penyandang tunawicara berkomunikasi menggunakan komunikasi nonverbal yaitu
melalui bentuk isyarat (simbol).
Komunikasi nonverbal yaitu komunikasi dengan orang lain tanpa menggunakan

22
Fandi akhmad, dkk, , "Karakteristik dan Model Bimbingan Atau Pendidikan Islam Bagi ABK Tuna
Wicara". h. 158-162
23
Zaitun, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Pekanbaru: Kreasi Edukasi, 2017). h. 58
kata-kata, melainkan tindakan. Misalnya, menggunakan gerakan tangan untuk
menunjuk dan meminta sesuatu, melakukan kontak mata, sentuhan, intonasi suara,
mikro ekspresi, dan bahasa tubuh. Komunikasi nonverbal dapat berbentuk bahasa
tubuh, tanda, tindakan, perbuatan maupun objek.
Menurut Alimuddin dan Wairata manusia sebagai makhluk sosial dan
memerlukan komunikasi untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan
berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia sendiri maupun yang
bersifat alami. Pola komunikasi anak tunawicara yang menggunakan komunikasi non
verbal didalam menjalankan komunikasi ini akan memiliki proses pengadaptasian
yang panjang ke dalam lingkungan dari anak tunawicara itu sendiri. Pola komunikasi
nonverbal yang menjadi alat komunikasi bagi anak penyandang tunawicara dalam
melancarkan komunikasinya dengan orang tua dan lingkungannya. Seperti halnya jika
ia ingin memberitahu sesuatu yang dirasa sulit dipahami oleh lawan bicara maka dia
akan menggerakan tubuhnya sebagai pertanda dan cara interaksi dengan lawan bicara.
Untuk membentuk pola komunikasi anak tunawicara. Interaksi yang dilakukan oleh
orang tua ketika mempengaruhi diri anak secara mendalam dengan keakraban yang
dimilikinya, membuat sang anak memilki pemikiran jika orang tua merupakan sumber
kasih sayang yang dimilikinya.
Kebanyakan anak pada umumnya yang melakukan aktivitas sehari- hari dengan
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang disekitar secara normal, anak
penyandang tunawicara ini melakukan komunikasi dengan cara menggunakan gestur
tubuh, berekspresi dan menggunakan bahasa yang semampunya dia tau seperti
berkata “aaaa, mmm”.24

IV. Hasil Pembahasan atau Paparan data


a. Tuna Wicara Dalam Perspektif Traditional or Moral Of Disability
Tuna wicara biasa disebut dengan gangguan berkomunikasi adalah seseorang

24
Tiara Arima Putri, dkk, ”Pola Komunikasi Anak Penyandang Tuna Wicara Dengan Keluarga Dan
Lingkungannya (Studi Pada Anak Penyandang Tunawicara Di Desa Lunggaian Kecamatan Lubuk
Batang)”, Jurnal Massa, vol. 2, no. 1 (2021). h. 37-39
yang mengalami suatu kelainan dalam berbicara yang menyebabkan dirinya
mengalami penyimpangan bahasa.25 Berdasarkan hal tersebut penulis meneliti
penyebab tuna wicara yang dialami oleh seorang anak laki laki dengan informan ibu
dari anak tersebut, dan menghasilkan data sebagai berikut:
Seorang anak yang berusia 15 tahun yang menjadi penyandang disabilitas Tuna
wicara atau bisa disebut dengan bisu. Dia bisu tetapi tidak tuli. Berdasarkan pendapat
orang tuanya bahwa dulu ketika hamil, Ayahnya mengikat mulut ular di sawah lalu
membuang ular tersebut ketika istrinya sedang hamil. Dan juga ibu dari anak tersebut
mengatakan bahwa ketika hamil sering mengalami sakit kepala dan dia meminum
obat-obatan tanpa resep dokter. Pada saat kelahiran, dia lahir dengan normal dan usia
kehamilannya juga normal, akan tetapi dia tidak bisa minum susu, lalu dokter
menyarankan bahwa harus dilakukan operasi agar anak tersebut bisa minum susu, dan
keluarga menyetujuinya, dan akhirnya anak tersebut bisa minum susu. Dan juga
dokter mengatakan bahwa dia mengalami reterdasi mental yang menyebabkan saraf
perintah itu tidak berfungsi dan menyebabkan anak tersebut harus dilayani dalam
melakukan aktivitas setiap harinya. Dia juga pernah bersekolah di SD Negri tapi tidak
sanpai 1 bulan. setelah itu berhenti karena tidak ada pelayanan disabilitas di sekolah
dasar itu. Pada saat dewasa, dia bisa berbicara seperti mengucapkan maaa, atau ehhh,
dan juga jika menginginkan sesuatu maka bisa menunjukkan benda tersebut ataupun
menggerakkan badan. Walaupun usianya sudah dewasa akan tetapi dia masih
menyukai hal yang berkaitan dengan anak-anak. Dan lingkungan sekitar juga
menerima dengan baik karena dia tidak pernah mengganggu, dan membuat keributan
dengan orang lain.26
Berdasarkan paparan data diatas hal tersebut berkaitan dengan traditional model
of disability yang menjelaskan bahwa penyebab seseorang mengalami disabilitas
adalah adanya hubungan kausalitas atau sebab akibat dari perlakuan individu tersebut
ataupun orang lain yang bersangkutan dengannya seperti ibunya yang melakukan
25
Linda, dan Ajeng Muliasari, “Analisis Kebutuhan dan Perilaku ABK Tuna Rungu dan Tuna Wicara
dalam Pembeljaran Matematika Dasar Di SKH Kabupaten Pandeglang”, Jurnal Peneltian Pendidikan
dan Pengajaran Matematika, vol. 7, no.1 (2021). h. 11
26
Hasil Wawancara Yuni Yurita yang diwawancarai oleh Dewi Ariyanti Putri Pada Hari Minggu Tanggal
30 April 2023 Jam 18:08
pelanggaran terhadap ketentuan moral dan agama yang sudah ditetapkan disetiap
budaya.27
Dalam masyarakat Banjar pantangan hamil biasa disebut juga dengan istilah tabu
atau pamali. Menurut Jamali dan Dalle bahwa pamali dalam masyarakat Banjar dapat
diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengandung sebuah larangan atau pantangan
untuk dilakukan.28 Pada masyarakat Jawa pada penelitian empat daerah yaitu
Boyolali, Klaten, Sukoharjo dan Wonogiri masih memercayai bahwa kelahiran
seorang anak dengan disabilitas disebabkan oleh pelanggaran terhadap hal-hal yang
tabu atau ora ilok.29 Penyebab disabilitas yang diceritakan oleh ibu dari perempuan
tersebut melanggar pantangan hamil berupa memotong mulut ayam jago sampai
terbuang langit-langit ayam tersebut maka hal tersebut sangat terkait dengan
hubungan sebab akibat karena melanggar pantangan yang sudah ditetapkan oleh
masyarakat sekitar. Prespektif masyarakat Banjar terkait hal tersebut mereka percaya
bahwa ketika seorang ibu hamil melanggar hal pantangan maka anak akan terlahir
disabilitas, karena pada zaman dahulu teknologi dan pengetahuan tidak terlalu
berkembang pesat seperti pada masa sekarang, oleh karena itu mereka membuat
prespektif berdasarkan budaya mereka sendiri. Sudah selayaknya ibu hamil
mengetahui terkait pantangan ketika kehamilan dan persalinan, biasanya
pantangannya berupa makanan dan kegiatan yang dianggap akan berdampak buruk
akan lahirnya bayi.30 Jadi penyebab lahirnya abak tersebut dengan disabilitas karena
dianggap melanggar pantangan hamil seperti yang sudah disebutkan tadi hal itu sesuai
dengan teori traditional model.

b. Tuna Wicara Dalam Perspektif Medis


Penyebab seseorang menjadi disabilitas bukan hanya dari prespektif traditional

27
Kopi Amponsah, dan Bediako, “Relevance Of Disability Models From The Perspective Of A
Depeloving Country”, vol. 3, no. 11 (2013). h. 127
28
Annisa Akhlak, M. Bahri Arifin, dan Syamsul Rijal, “Pemali Dalam Masyarakat Etnik Banjar Di Kota
Samarinda: Suatu Tinjauan Semiotika”, Jurnal Ilmu Budaya, vol.3, no. 2 (2019). h. 124
29
Rof’ah, "Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur", h. 140
30
Husnul Khatimun Inayah, “Pengetahuan Lokal Ibu Hamil Tentang Tanda Bahaya Kehamilan dan
Persalinan Di Puskesmas Alalak Tengah Kota Banjarmasin”, Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol 7, no 1
(2020). h. 20
model of disability akan tetapi dapat dilihat dari prespektif medis, seperti yang sudah
dijelaskan didalam paparan data diatas bahwa ketika dilahirkan perempuan tersebut
tidak bisa meminum susu, oleh karena itu dokter menyarankan untuk di operasi, dan
akhirnya bisa minum susu.
Hal tersebut berkaitan dengan individual / medical model of disability yang
menyatakan bahwa seorang disabilitas itu harus disembuhkan (dinormalisasikan)
karena mereka dianggap sakit. Ketika seorang mengalami sakit maka harus diobati,
biasanya dilakukan penyembuhan, perbaikan kondisi fisik semaksimal mungkin, dan
rehabilitasi atau disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan disabilitas. 31 Disabilitas
menurut teori ini juga dianggap sebagai penyakit individu, artinya penyebab seorang
disabilitas adalah karena individu tersebut bukan orang lain. 32 Bukan hanya tuna
wicara akan tetapi dia jua mengalami retardasi mental
yang disebabkan oleh ibunya yang mengalami sakit kepala lalu minum obat-
obatan tanpa resep dokter, hal ini berdampak negatif pada tumbuh kembang janin
yang bisa meningkatkan resiko terjadinya kelainan bawaan ketika lahir. Menurut
Muttaqin retardasi mental adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kemampuan
berpikir yang rendah menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan
beradaptasi terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang dianggap normal
serta ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Biasanya orang dengan kondisi ini tidak
dapat mengikuti sekolah karena cara berpikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap
dan daya mengingatnya lemah, pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat
lemah. Biasanya tingkah lakunya kekanak-kanakan tidak sesuai dengan umurnya
seperti yang sudah dijelaskan di dalam paparan data, dan juga tidak bisa melakukan
aktivitas secara mandiri (memerlukan bantuan orang lain). Hal ini karena fungsi otak
yang terganggu dan menyebabkan saraf perintah tidak berfungsi dan juga berdampak
pada gangguan dalam berbicara.33

31
Marno Retief, dan Rantoa Letsosa, “Models Of Disability: A Brief Overview”, vol. 74, no. 1 (2018). h.
2-3
32
Rof’ah, "Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur", h. 144
33
Neti Mustikawati, Diana Anggorowati, dan Okky Eka Mugianingrum, “Kemampuan Sosialisasi Anak
Retardasi Mental, Jurnal Ilmu Kesehatan, vol. 8, no. 2 (2015). h. 2
c. Pola Komunikasi Tuna Wicara
Menurut Djamarah pola komunikasi adalah struktur atau bentuk hubungan dua
orang atau lebih dalam proses pengiriman atau penerimaan informasi dengan cara
yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.l34 Berdasarkan paparan
data diatas bahwa perempuan tersebut berkomunikasi dengan menggunakan gerakan
tubuh seperti tangan menunjuk kearah yang dia maksud, dan juga bisa menegur orang
dengan menggunakan kata “eeh” atau “mmm”. Hal tersebut sangat erat kaitannya
dengan komunikasi non verbal.
Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang tidak menggunakan kata- kata
melainkan tindakan seperti gerak tubuh, kontak mata, sentuhan, intonasi suara,
menggunakan perbuatan, dan objek. Komunikasi ini biasanya digunakan penyandang
tuna wicara untuk berkomunikasi dengan orang lain karena mereka memiliki
keterbatasan dalam berbicaralah sehingga memerlukan suatu tindakan atau perbuatan
dalam menjelaskan sesuatu yang ingin disampaikan. Saat dia berkomunikasi dengan
orang tua, keluarga, dan orang sekitar akan menimbulkan makna dari interaksi non
verbal yang dilakukannya. Tuna wicara memberikan makna melalui tindakan ataupun
kata-kata dan karena itu kita memahami peristiwa atau suatu informasi dengan cara
tertentu. Makna tersebut dapat dihasilkan dari bahasa yang menjadi simbol yang
digunakannya saat berinteraksi dengan lawan bicaranya. Sehingga dari interaksi
tersebut adanya pertukaran simbol yang diberi makna, simbol tersebut disampaikan
melalui bahasa non verbal.35

V. Kesimpulan
Pada pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa disabilitas tuna wicara adalah
seorang anak yang mengalami gangguan atau hambatan salah satu fungsi panca indera
yaitu mulut dan menyebabkan kesulitan berkomunikasi secara verbal, sehingga
mengalami kesulitan dalam berbicara. Karakteristik anak yang mengalami tuna wicara

34
Anita Trisiah, Dampak Tayangan Televisi Pada Pola Komunikasi Anak, (Palembang: Noer Fikri Offset,
2015). h. 9
35
Tiara Arima Putri, dkk, ”Pola Komunikasi Anak Penyandang Tuna Wicara Dengan Keluarga Dan
Lingkungannya (Studi Pada Anak Penyandang Tunawicara Di Desa Lunggaian Kecamatan Lubuk
Batang)” h. 37 dan 42
adalah memiliki keterlambatan dalam berkomunikasi dan berpengaruh terhadap
perkembangan Pendidikan dan kognitifnya.
Dari penelitian tersebut bahwa ada ditemukan perspektif terkait penyebab tuna
wicara. Pada umumnya orang mengetahui penyebab disabilitas hanya terkait dengan
medis akan tetapi jika kita meneliti lebih jauh ada penyebab tuna wicara berdasarkan
prespektif traditional or moral of disability bahwa terjadi hubungan sebab akibat yang
dilakukan oleh individu atau orang tua dari anak tersebut yang mengakibatkan anak
terlahir disabilitas. Dimana masyarakat dulu masih percaya terkait hal tersebut.
Disabilitas tuna wicara ketika berkomunikasi menggunakan komunikasi non verbal.
Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang menggunakan tindakan atau bahasa
tubuh.

Daftar Pustaka

Abdussamad, Zuchri. Metode Penelitian Kualitatif. Makassar: Syakir Media


Press, 2021
Afriyandi, Rikho, dan Fadli Rahman, “Difabel dalam Kitab Tafsir Indonesia
Kontemporer”, Jurnal Studi Keislaman, 1 no. 2 (2020): 80-88
Akbar, Radito Pranama, dan Anggar Erdhina Adi, “Editing Pada Film Pendek
Tentang Disabilitas Bisu Tuli”, 7 no. 2 (2020): 637-644
Akhlak, Annisa, M. Bahri Arifin, dan Syamsul Rijal, “Pemali Dalam Masyarakat
Etnik Banjar Di Kota Samarinda: Suatu Tinjauan Semiotika”, Jurnal Ilmu Budaya,
vol.3, no. 2 (2019): 121-130
Akhmad, Fandi, Pemy Ediansyah, Januari Fitriah, Elsa Farameida, dan Joko
Purwanto, "Karakteristik dan Model Bimbingan Atau Pendidikan Islam Bagi ABK
Tuna Wicara", Jurnal Pendidikan dan Sains, 1 no. 3 (2021): 157-
163
Amin, Barkatullah, "Ulama Difabel: Menarasikan Ekspresi Kultural Masyarakat
Banjar Dalam Lensa Studi Disabilitas", Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 17 no. 2
(2019): 210-226
Amponsah, Kopi, dan Bediako, “Relevance Of Disability Models From The
Perspective Of A Depeloving Country”, vol. 3, no. 11 (2013): 121-132
Gumilar, Retno, Haryo Prawahandani, dan Mufti Sayid Muqaffi, "Inovasi Jam
Tangan Tindak Kejahatan Bagi Penderita Tuna Wicara", 9 no. 1 (2017): 1-
10
Hidayat, Rahmat, dan Abdillah. Ilmu Pendidikan Konsep, Teori, dan
Aplikasinya.
Medan: LPPI, 2019
Inayah, Husnul Khatimun, “Pengetahuan Lokal Ibu Hamil Tentang Tanda
Bahaya Kehamilan dan Persalinan Di Puskesmas Alalak Tengah Kota Banjarmasin”,
Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol 7, no 1 (2020): 18-26
Khairani, Dina, Preddy Yusanto, Berlian Primadani Satria,“Analisis Konsep Diri
Siswi-Siswi Penyandang Tunawicara SLB Negeri Cicendo Bandung”, Jurnal
Manajemen Komunikasi, 2 no. 1 (2017): 18-32
Khamdi, Nur, dan Muhammad Raja Adrafi, “Sarung Tangan Cerdas Sebagai
Translator Bahasa Isyarat Untuk Tuna Wicara”, Jurnal Elementer, 8 no. 2 (2022): 113-
122
M. Anshari, "Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur", Jurnal Pendidikan dan
Islam Kontemporer, 1 no. 1 (2020): 40-45
Meirista, Etriana, Mitra Rahayu, dan Karlina Wong Lieung,“Analisis
Penggunaan Model Think, Talk, and Write Berbantuan Video Pada Mahasiswa
Disabilitas”, Jurnal Pendidikan Edutama, 7 no. 2 (2020): 9-16
Muliasari, Linda, dan Ajeng, “Analisis Kebutuhan dan Perilaku ABK Tuna
Rungu dan Tuna Wicara dalam Pembeljaran Matematika Dasar Di SKH Kabupaten
Pandeglang”, Jurnal Peneltian Pendidikan dan Pengajaran Matematika, vol. 7, no.1
(2021): 9-22
Mustikawati, Neti, Diana Anggorowati, dan Okky Eka Mugianingrum,
“Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental, Jurnal Ilmu Kesehatan, vol. 8, no. 2
(2015): 1-5
Nanda, Ananta Refka, dan Ratna Herawati, "Kendala dan Situasi Bagi
Penyandang Disabilitas Kota Semarang Dalam Mengakses Pekerjaan", Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia, 3 no. 3 (2021): 325-336
Putri, Tiara Arima Putri, Umi Rahmawati, dan Akhmad Rosihan, ”Pola
Komunikasi Anak Penyandang Tuna Wicara Dengan Keluarga dan Lingkungannya
(Studi Pada Anak Penyandang Tunawicara Di Desa Lunggaian Kecamatan Lubuk
Batang)”, 2 no. 1 (2021): 36-46
Reefani, Nor Kholis. Panduan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:
Imperium, 2017
Retief, Marno Retief, dan Rantoa Letsosa, “Models Of Disability: A Brief
Overview”, vol. 74, no. 1 (2018): 1-8
Restendy, Mochammad Sinung, "Model Belajar dan Komunikasi Anak
Disabilitas Tunarungu Wicara Di Taman Pendidikan Al Quran Luar Biasa (TPQLB)
Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung", Jurnal komunika Islamika, 6. no. 1 (2019):
58-74
Ro'fah, "Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur", Jurnal Difabel, 2 no. 2
(2015): 137-159
Saputri, Anisza Eva, Santoso Tri Raharjo, dan Nurliana Cipta Apsari,“Dukungan
Sosial Keluarga Bagi Orang Dengan Disabilitas Sensorik”, 6 no. 1 (2019): 62-72
Siroj, Said Aqiel. Fiqh Penguatan Penyandang Disabilitas. Jakarta: Lembaga
Bahtsul Masail PBNU, 2018
Suryadnya, I Wayan Pasek, I Putu Wijaya Adi Candra, Nyoman Agus Nugraha,
dan I Made Suartika, “Alat Bantu Komunikasi Terintegrasi Bagi Penyandang

Anda mungkin juga menyukai