Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

Hak Penyandang Disabilitas Dibidang Hukum Dan Kebijakan


Dan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Pernikahan Dan
Keluarga
Disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Pembelajaran Untuk Difable
Dosen pengampu : Imroatun , S.Pd.I, M.Ag

Kelompok 1:
Lala Dalalah NIM: 201210091
Fatan Abdul Rozak Parlindungan NIM : 201210093
Mochamad Da’I Awawin NIM : 201210097
Siti Diana Putri NIM : 201210128

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN MAULANA
HASANUDIN BANTEN
2022 M / 1443 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Taufik dan
hidayah nya makalah ini dapat diselesaikan dengan judul Hak Penyandang
Disabiltas Dibidang Hokum Dan Kebijakan Dan Hak Penyandang Disabiltas
Dalam Pernikahan Dan Kelaurga. Shalawat beserta salam kami panjatkan kepada
junjungan nabi besar Muhammad saw.

Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, oleh sebab itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati
penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
berkontribusi dalam penyelesaian makalah ini, diantaranya :

A. Imroatun, S.Pd.I, M.Ag selaku dosen pengampu pada mata


kuliah pembelajaran untuk difable
B. Pihak-pihak yang membantu dan mendorong serta
memberikan informasi yang sangat diperlukan dalam
penyusunan makalah ini.

Penulis berharap, semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk
itu, penulis menerima kritik dan saran guna membantu penyempurnaan makalah
ini.

Serang, 26 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................iii

BAB I PENDAHLUAN....................................................1
A. Latar Belakang ...........................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................1
C. Tujuan Masalah ..........................................................2

BAB II PEMBAHASAN .................................................3


A. Penyandang Disabilitas di Indonesia .........................3
B. Prinsip-Prinsip Penyandang Disabilitas .....................7
C. Ruang Lingkup Pengaturan Undang – Undang ........11
D. Jenis – Jenis Penyandang Disabilitas .........................5
E. Penyandang Disabilitas dalam Keluarga ..................18

BAB III PENUTUP ........................................................27


A. Kesimpulan ...............................................................27
B. Kritik dan Saran ........................................................27
DAFTAR PUSTAKA .....................................................28

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Tuhan menciptakan manusia di dunia ini adalah sama, namun
manusia itu sendirilah yang membedakan di antara sesama manusia, baik
berwujud sikap, perilaku, maupun perlakuannya. Pembedaan ini masih

iii
sangat dirasakan oleh mereka yang mengalami keterbatasan secara fisik,
mental, dan fisik-mental, baik sejak lahir maupun setelah dewasa, dan
kecacatan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh semua manusia, baik
yang menyandang kecacatan maupun yang tidak menyandang cacat.
Secara filosofis dan konstitusional, bertumpu pada dasar falsafah
Pancasila dan UUD 1945, maka setiap warga negara memiliki kesempatan
yang sama baik dalam hal pekerjaan, mengakses fasilitas umum,
mendapatkan kehidupan dan penghidupan yang layak, dan sebagainya. Hal
ini ditekankan untuk pemenuhan hak penyandang disabilitas karena di sini
paradigma yang baru lebih memandang penyandang disabilitas sebagai
subjek bukan objek lagi. Kemudian tidak dilihat juga sebagai individu
yang cacat, namun sebagai individu yang bisa mengambil keputusan untuk
dirinya sendiri secara penuh dan mempunyai hak, kewajiban yang setara
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian,
penyandang disabilitas berhak untuk bersaing dalam segala bidang
kehidupan sesuai dengan jenis dan tingkat derajat kecacatannya. Berbekal
pada kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, tidak sedikit
penyandang disabilitas bahkan berhasil mengangkat tingkat kesejahteraan
dalam kehidupan yang lebih baik. Hal ini tidak terlepas dari peran
penempatan tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat (the right
person on the right job) sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
2. Rumusan masalah
A. Apa yang di maksud Penyandang Disabilitas di Indonesia
B. Apa Prinsip-Prinsip Penyandang Disabilitas
C. Apa Ruang Lingkup Pengaturan Undang – Undang
D. Apa Jenis – Jenis Penyandang Disabilitas
E. Apa Penyandang Disabilitas dalam Keluarga
3. Tujuan masalah
A. Untuk Mengetahui Apa yang di maksud Penyandang Disabilitas di
Indonesia
B. Untuk Mengetahui Prinsip-Prinsip Penyandang Disabilitas

iv
C. Untuk Mengetahui Ruang Lingkup Pengaturan Undang – Undang
D. Untuk Mengetahui Jenis – Jenis Penyandang Disabilitas
E. Untuk Mengetahui Penyandang Disabilitas dalam Keluarga

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyandang disabilitas di Indonesia


1. Pengertian Penyandang Disabilitas
Kata penyandang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan sebagai orang yang menyandang atau menderita
sesuatu,sedangkan kata disabilitas merupakan kata serapan dari Bahasa
Inggris yaitu disability yang artinya cacat.1 Sementara menurut
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 1
disebutkan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
bahasa, 2008), hal. 1259.

v
hak.2Sementara pada ketentuan umum dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 penyandang cacat adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari ; (a) penyandang cacat
fisik; (b) penyandang cacat mental; (c) penyandang cacat fisik dan
mental. Dulu kosa kata yang paling banyak digunakan adalah
penyandang cacat. 3
Istilah ini secara resmi digunakan pada sebuah penyebutan di
dalam UndangUndang Penyandang Cacat Nomor 4 Tahun 1997 dan
juga sempat tertulis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam
kamus tersebut juga menyajikan kata Tuna dan Ketunaan. Saat ini
istilah tersebut jarang digunakan oleh masyarakat kita untuk menyebut
mereka yang memiliki kekurangan fisik. Meskipun demikian, istilah
yang digunakan tetap merujuk pada bentuk-bentuk kecacatan secara
khusus seperti Tunarungu, Tunawicara, Tunagrahita, Tuna daksa, dan
lain-lain.4
Kata lainnya yang saat ini juga biasa digunakan adalah difabel,
yang merupakan kata serapan resmi dari istilah dalam Bahasa Inggris
yaitu, Different Ability. Istilah difabel telah resmi menjadi kata
serapan dan termaktub di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Dengan resminya kata ini masuk dalam salah satu kata
serapan di bahasa kita, dapat memberikan makna yang lebih positif
dalam menyebut kemampuan seseorang dari pada
ketidakmampuannya.
Dalam istilah Bahasa Arab Kontemporer, kata difabel disebut
َ ِ‫اًّدي‬
ُ ‫س َج ف خ َل‬
dengan istilah al-i’āqah (‫ )العاقة‬yang berarti cacat atau ‫َمت‬
yang artinya cacat fisik. Sedangan kondisi penyandangannya disebut

2
John Echols M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia: An English – Indonesian
Dictionary, (Jakarta: PT Gramedia, 2005), hal. 184.
3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
4
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.

vi
dengan istilah almu’āqun (‫)المعاق‬. Kata tersebut berarti terhalangi atau
terhambat yang berujuk pada kondisi penyandang disabilitas yang
menyebabkan ia terhalangi atau terhambat dalam melakukan sesuatu.
2. Penyandang disabilitas di Indonesia
Istilah “Penyandang Disabilitas” mulai dikenal ketika UU Nomor 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (selanjutnya akan disebut
sebagai UU Penyandang Disabilitas) diundangkan pada 15 April 2016.
Istilah Penyandang Disabilitas ini menggantikan istilah penyandang
cacat yang digunakan dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat. Pasal 1 angka 1 UU Penyandang Disabilitas
menjelaskan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan
hak. Paradigma masyarakat terhadap kaum disabilitas seringkali
diibaratkan sebagai ketidakmampuan seseorang secara medis, sehingga
disabilitas dianggap sebagai orang sakit yang selalu membutuhkan
pertolongan dan tidak dapat mengenyampendidikan, apalagi bekerja
seperti manusia pada umumnya.
Paradigma kelompok konservatif berpendapat bahwa keadaan
disabilitas adalah kehendak Tuhan, oleh karena itu manusia hendaknya
pasrah saja dalam menghadapi kondisi tersebut. Kaum disabilitas
seringkali disebut sebagai orang yang tidak beruntung dan harus
dipandang sebagai suatu ketidakmampuan sosial, sehingga setiap
orang dapat berpartisipasi dalam upaya melindungi kaum minoritas
tersebut. Pendekatan sosial seringkali ditempuh sebagai jalur utama,
namun pada kenyataannya, pendekatan sosial bukan menjadi jalan
utama untuk merangkul para Penyandang Disabilitas.5
5
Jazim Hamidi, “Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam Memenuhi Hak Mendapatkan
Pendidikan dan Pekerjaan”, JH Ius Quia Iustum, vol 23,Issue 4,Oktober 2016,h.654.

vii
Selama beberapa tahun terakhir, wilayah Asia Pasifik telah
menunjukkan upaya yang signifikan dalam mengakui disabilitas
sebagai sebuah isu hak asasi manusia dan dalam menangani tantangan
yang dihadapi oleh para penyandang disabilitas dalam upayanya
berkontribusi secara ekonomis, sosial dan politis kepada masyarakat.
Kemajuan yang ditunjukkan oleh Indonesia dalam melibatkan
penyandang disabilitas dapat dilihat dalam upaya mereka
menandatangani Konvensi PBB mengenai Hak-hak Penyandang
disabilitas (UNCPRD), dan membuat Rencana Aksi Nasional untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Sosial dari Penyandang disabilitas di
indonesia (2004-2013) dan meratifikasi Konvensi ILO No. 111
mengenai Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan). Langkah awal untuk
meratifikasi Konvensi ILO No.159 mengenai Rehabilitasi dan
pelatihan Keterampilan (bagi Penyandang disabilitas) telah juga
dilakukan. Gambaran pertama yang akan kita dapatkan jika melakukan
pemetaan persoalan penyandang disabilitas di Indonesia adalah kondisi
rendahnya kualitas hidup yang dialami para penyandang disabilitas
tersebut. Namun ternyata pendataan serius untuk mengetahui kondisi
sejelas-jelasnya, sampai saat ini belum dilakukan, baik oleh
pemerintah maupun lembaga-lembaga nonpemerintah. Bahkan
lembaga seperti UNDP (United Nations Development Programme)
pun belum mendata penyandang disabilitas di Indonesia. Pengukuran
terhadap kondisi penyandang disabilitas sebenarnya dapat dilakukan
dengan tiga tolak ukur yaitu: pendidikan, kesehatan,dan masalah daya
beli atau bidang ekonomi. Untuk bidang ekonomi ini terkait dengan
kesempatan atau peluang kerja maupun peluang untuk membangun
usaha mandiri atau wira usaha dalam skala sekecil apapun. Dari bidang
pendidikan saja, kita akan menemukan begitu banyak kenyataan
memprihatinkan dan persoalan besar yang mungkin belum pernah
ditangani dengan baik, apalagi jika meninjau bidang kesehatan dan
ekonomi.Berbagai data mengenai situasi terkini tentang penyandang

viii
disabilitas di Indonesia tidak dapat diakses secara mudah. Kurangnya
upaya untuk mengumpulkan data dan menindaklanjuti data tersebut
menjadikannya sulit untuk menilai situasi yang dialami oleh
penyandang disabilitas. Dalam tataran strategis, tantangan yang
dihadapi oleh Indonesia adalah untuk menyediakan lingkungan yang
memudahkan dan inklusif terhadap mereka, yang menjamin bahwa
kaum muda dan penyandang disabilitas bisa mendapatkan akses yang
sama pada pendidikan, pengembangan keterampilan dan pasar kerja.
Serangkaian pilihan dan model pekerjaan seperti pekerjaan yang
dibantu (supported employment) dan perusahaan sosial (social
enterprises) bisa menjadi pilihan yang dapat dilakukan di Indonesia.
B. Prinsip-prinsip Utama Mengenai Penyandang disabilitas
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi
disabilitas ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability dan handicap.
Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya
struktur atau fungsi psikologis, atau anatomis. Sedangkan disabilityadalah
ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment
untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi
manusia. Adapun handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi
seseorang akibat adanya imparment, disability, yang mencegahnya dari
pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta
faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan. Secara singkat World
Health Organization (WHO) memberikan definisi disabilitas sebagai
keadaan terbatasnya kemampuan untuk melakukan aktivitas dalam batas-
batas yang dianggap normal.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata disabilitas dapat diartikan
dalam berbagai makna, seperti: 1) kekurangan yang menyebabkan
mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan,
benda, batin atau ahlak); 2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan
keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3) Cela atau aib; 4 )
Tidak (kurang sempurna). Dari pengertian tersebut dapat diperhatikan

ix
bahwa disabilitas dalam Bahasa Indonesia selalu dikonotasikan dengan
kemalangan, penderitaan atau hal yang patut disesali/ dikasihani.
Anggapan ini dengan sendirinya membentuk opini publik bahwa
penyandang cacat yang dalam bahasa Inggris disebut disabled person itu
adalah orang yang lemah dan tak berdaya.
1. Aksesibilitas
Pasal 9 dari UNCRPD menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan
hal penting dalam memberikan kesempatan bagi mereka yang memiliki
disabilitas untuk dapat hidup secara mandiri dan berpartisipasi penuh
dalam kehidupan. Aksesibilitas sangatlah berhubungan dengan berbagai
hal:
a. Aksesibilitas fisik – bangunan, transportasi, dan lain-lain. Akses ke sarana
pendidikan, akses masuk ke pengadilan, akses masuk ke rumah sakit dan
akses ke tempat kerja merupakan hal penting bagi seseorang sehingga bisa
menikmati hak asasi manusianya. Ini termasuk di dalamnya: ramp (selain
atau sebagai tambahan dari tangga).
b. Aksesibilitas informasi dan komunikasi – aksesibilitas pada dunia maya
sangatlah penting melihat begitu pentingnya internet dalam mengakses
informasi, namun juga aksesibilitas kepada dokumentasi (Braille) atau
informasi aural (bahasa isyarat).
2. Dukungan dan Penyesuaian yang Sewajarnya (Reasonable
Accomodation)
Dukungan dan Penyesuaian yang Sewajarnya menjadi bagian dari
Prinsip Umum Non-Diskriminasi Pasal 2 dari UNCRPD. Dukungan dan
penyesuaian yang sewajarnya harus diberikan bagi para penyandang
disabilitas dan djabarkan sebagai „modifikasi dan penyesuaian yang
dibutuhkan dan tepat tidak memaksakan beban yang berlebihan atau tidak
dapat dilakukan, dimana dibutuhkan pada kasus tertentu, untuk
memastikan penyandang disabilitas dapat menikmati atau menjalankan
kebebasan dan hak asasi manusia mereka secara setara dengan orang lain‟.
Misalnya, penyesuaian yang sewajarnya bisa berupa perubahan fisik di

x
tempat kerja, memodifikasi jadwal kerja atau memodifikasi kebijakan di
tempat kerja. Penyesuaian yang sewajarnya tidak mengharuskan
melakukan penurunan kinerja atau menghilangkan fungsi-fungsi penting
dari pekerjaan seseorang.
3. Memiliki Kesempatan yang Sama
Dengan pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas,
diharapkan negara mampu mengutamakan pemenuhan perlindungan HAM
bagi penyandang disabilitas. Sangat dibutuhkan dukungan yang kuat dari
pemerintah sehingga pengesahan Konvensi ini tidak hanya menjadi
pelengkap peraturan hukum yang sudah ada. Pemerintah harus mempunyai
standar yang kuat dalam perlindungan, dan pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas. Tentu saja perlindungan dan pemenuhan HAM
bagi para penyandang disabilitas bukan hanya tugas dan kewajiban
pemerintah melainkan kewajiban semua elemen masyarakat di
Indonesia.Perlindungan HAM bagi penyandang disabilitas (penyandang
cacat) masih menjadi persoalan di negeri ini.
Kurangnya pemahaman masyarakat umum mengenai disabilitas
seperti menggolongkan penyandang disabilitas sebagai orang yang lemah,
terbelakang, dan tidak bisa mandiri mengakibatkan banyak bentuk
diskriminasi yang dialami oleh penyandang disabilitas. Tidak dapat
dipungkiri bahwa penyandang disabilitas belum mendapatkan
perlindungan Hak Asasi Manusia yang maksimal.Beberapa bentuk
diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas dapat dilihat dari
kurangnya pemenuhan fasilitas dan akses-akses pendukung bagi
penyandang disabilitas di tempat umum, penolakan secara halus maupun
keras pada saat melamar pekerjaan, penolakan di bidang pendidikan
seperti masih banyaknya sekolah dan perguruan tinggi yang menolak
calon murid dan mahasiswa penyandang disabilitas karena dirasa tidak
mampu untuk menerima pelajaran yang diberikan.
Padahal dalam Undang-Undang Nomer 4 Tahun 1997 terdapat
poin mengenai aksesibilitas yaitu kemudahan yang disediakan bagi

xi
penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan.Peran serta pemerintah sebagai
pelaksana hukum dan penegak keadilan di dalam lingkungan sosial
masyarakat seharusnya lebih ditekankan pula kepada aspek kesataraan dan
usaha untuk merubah secara perlahan-lahan paradigma masyarakat
mengenai penyandang disabilitas yang selama ini telah tercipta meskipun
dalam praktiknya hal itu memang memerlukan waktu yang tidak mungkin
sebentar dan sekejap mata.
Berdasarkan beberapa prinsip tersebut maka sudah saatnya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
perludisempurnakan untuk mengakomodir pengaturan yang lebih tepat
bagi penyandang disabilitas. Ini tidak hanya bertujuan untuk menjamin
pemenuhan hak dan kebutuhan penyandang disabilitas, tetapi juga
memberikan tanggung jawab pada pemerintah dan masyarakat untuk lebih
berperan serta dalam meningkatkan harkat dan martabat mereka.
Penyempurnaan tersebut mencakup beberapa pokok sebagai berikut:
a. Perubahan terminologi “penyandang cacat’ menjadi “penyandang
disabilitas”.
Hal pertama yang harus diubah adalah istilah “penyandang cacat”,
yang bermakna negatif sehingga mempunyai dampak yang sangat luas
pada penyandang disabilitas sendiri, terutama dalam kaitannya dengan
kebijakan publik yang sering memposisikan penyandang disabilitas
sebagai objek dan tidak menjadi prioritas. Istilah “penyandang cacat”
dalam perspektif Bahasa Indonesia mempunyai makna yang
berkonotasi negatif dan tidak sejalan dengan prinsip utama hak asasi
manusia, yakni kesamaan harkat dan martabat semua manusia, dan
sekaligus bertentangan dengan nilai nilai luhur bangsa kita yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
b. Perubahan konsep dari charity-based ke Human Rights-based
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
memuat pengaturan yang didasarkan pada konsep charity atau

xii
perlakuan atas dasar belas kasihan, tidak sebagai upaya melindungi
hak asasi manusia dan meningkatkan pengembangan diri penyandang
dsabilitas.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 memposisikan
penyandang disabilitas sebagai objek, bukan subjek, yang sebenarnya
memiliki kreativitas dalam pengembangan karakter.
Penyempurnaan yang harus dilakukan adalah merubah konsep
bahwa penyandang disabilitas hanya membutuhkan bantuan saja,tetapi
lebih dari itu bahwa penyandang diasbilitas juga memiliki hakhaknya
sebagai seorang manusia. Upaya untuk memprioritaskan penyandang
disabilitas dalam pemberdayaan baik di bidang pendidikan maupun
pekerjaan serta aspek kehidupan lainnya harus lebih ditingkatkan.
c. Peningkatan tanggung jawab negara terhadap perlindungan
penyandang disabilitas
Peningkatan kesadaran masyarakat dan tanggung jawab Negara
untuk mengatasi disabilitas menjadi tugas penting sehingga setiap
orang, terlepas dari jenis dan keparahan disabilitas yang dimiliki
mampu menikmati hak-hak mereka yang paling mendasar.
Kekhawatiran atas perlakuan yang diskriminatif terhadap penyandang
disabilitas bukanlah perkara yang mengada-ada. Meskipun UUD 1945
memuat pernyataan yang jelas yang mendorong non-diskriminasi,
kesamaan di hadapan hukum, dan hak untuk memperoleh perlakukan
yang sama di hadapan hukum, peraturan perundangundangan terkait
penyandang disabilitas belum mewujudkan perlindungan-perlindungan
tersebut. Ada juga aturan KUHP dan KUHAP yang memandang
penyandang disabilitas sebagai orang-orang yang tak cakap hukum.
Belum lagi bangunan-bangunan yang tidak aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum, misal Kantor
Kepolisian dan Pengadilan yang tidak ramah atas kebutuhan mereka.
C. RUANG LINGKUP PENGATURAN UNDANG-UNDANG
1. Ketentuan Umum

xiii
Sebagaimana lazimnya dalam setiap undang-undang, ketentuan
umum RUU Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas ini
memuat batasan-batasan atau pengertian dari istilah-istilah yang digunakan
dalam RUU ini. untuk itu, ada beberapa istilah penting yang diuraikan
pengertiannya, yaitu :
a. Penyandang Disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu yang lama,
yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakat
dapat mengalami hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi
penuh dan efektif berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
b. Kedisabilitasan adalah hal ikhwal yang berkaitan dengan gangguan,
keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi.
c. Jenis Disabilitas adalah macam gangguan, keterbatasan aktivitas, dan
pembatasan partisipasi.
d. Derajat Disabilitas adalah tingkat berat ringannya gangguan,
keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi.
e. Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
f. Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang disediakan bagi
Penyandang Disabilitas sebagai peluang untuk menyalurkan potensi
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
g. Pelindungan Penyandang Disabilitas adalah upaya penghormatan dan
pemenuhan Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Disabilitas yang
meliputi aksesibilitas, rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial.
h. Aksesibilitas adalah kemudahan bagi Penyandang Disabilitas untuk
mewujudkan Kesamaan Kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan.

xiv
i. Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengambangan untuk
memungkinkan Penyandang Disabilitas mampu melaksanakan fungsi
sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
j. Bantuan Sosial adalah upaya pemberian bantuan kepada Penyandang
Disabilitas untuk berusaha bersifat tidak tetap agar mereka dapat
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
k. Pemeliharaan Taraf Kesejahteraan Sosial adalah upaya pelindungan
dan pelayanan yang bersifat terus menerus, agar Penyandang
Disabilitas dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar.
Penyelenggaraan pelindungan dan pemenuhan hak penyandang
disabilitas berasaskan kemanusiaan, kemandirian, partisipatif,
nondiskriminasi, dan keterpaduan. Asas kemanusiaan adalah bahwa
penyelenggaraan pelindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas
mencerminkan penghormatan hak asasi serta harkat dan martabat
penyandang disabilitas secara proporsional. Asas kemandirian adalah
bahwa penyelenggaraan pelindungan dan pemenuhan hak penyandang
disabilitas mewujudkan kemampuan penyandang disabilitas untuk
melangsungkan hidup tanpa bergantung kepada orang lain.

Tujuan penyelenggaraan pelindungan dan pemenuhan hak


Penyandang yaitu:
a. memberikan penghormatan terhadap penyandang disabilitas sebagai
bagian dari warga negara yang memiliki kesamaan kesempatan untuk
mengekspresikan potensi bagi kemajuan diri serta lingkungannya;
b. menjamin terpenuhinya hak penyandang disabilitas melalui kemudahan
dan perlakuan khusus agar tercipta kemandirian, kesejahteraan, dan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan; dan
c. melindungi penyandang disabilitas terhadap segala bentuk diskriminasi.

2. Materi yang akan diatur

a. Hak dan Kewajiban

xv
Konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas memuat hakhak
social, ekonomi, budaya, politik dan sipil secara komprehensif.
Konvensi hak-hak penyandang disabilitas menandai adanya perubahan besar
dalam melihat permasalahan kelompok masyarakat yang mengalami kerusakan
atau gangguan fungsional dari fisik, mental atau intelektual dan termasuk juga
mereka yang mengalami gangguan indera atau sensorik dalam kehidupan
seharihari yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan lingkungannya.
Adapun hak-hak penyandang disabilitas berdasarkan konvensi hak-hak
penyandang disabilitas adalah:

1) bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,


merendahkan martabat;
2) bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semenamena;
3) membentuk keluarga;
4) kesetaraan pengakuan di hadapan hokum;
5) mendapatkan aksesibilitas atas dasar kesetaraan;

6) kebebasan bergerak, memilih tempat tinggal dan kewarganegaraan atas dasar


kesetaraan dengan yang lainnya;
7) mendapatkan pendidikan;
8) mendapatkan pelayanan kesehatan;
9) bekerja atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya;
10) mendapatkan perlindungan social tanpa diskriminasi atas dasar disabilitas;
11) berpolitik;

Dengan diratifikasinya Konvensi mengenai hak-hak penyandang


disabilitas melalui UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Pemerintah Indonesia harus
berupaya memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan semua hak asasi
manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dan setara oleh semua orang
penyandang disabilitas dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang

xvi
melekat pada penyandang disabilitas, selain itu pemerintah juga harus menjamin
hak-hak penyandang disabilitas.

b. Tanggung Jawab dan Wewenang

1) Tanggung jawab

Penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak penyandang


disabilitas pada hakekatnya merupakan tanggung jawab Pemerintah, baik
itu Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah Secara garis besar
tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam perlindungan
dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas dilakukan dalam bentuk:
a). penetapan kebijakan, program, dan kegiatan serta sistem kelembagaan
yang berpihak pada Penyandang Disabilitas;

b) penetapan kriteria, prosedur, dan persyaratan penyelenggaraan


pelindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas;

c) penyediaan Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas;

d) penjaminan ketersediaan anggaran yang dialokasikan dari Anggaran


Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah;

e) pemberdayaan perekonomian Penyandang Disabilitas melalui kerja


sama dan kemitraan dengan pihak terkait;

f)pendataan Penyandang Disabilitas secara terpadu dan berkesinambungan

2) Wewenang

Wewenang merupakan wujud pelaksanaan dari tanggung jawab


Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melindungi dan memenuhi hak
Penyandang Disabilitas. Sebagai konsekuensi atas pelimpahan wewenang
tersebut melalui suatu peraturan perundang-undangan maka Pemerintah

xvii
dan Pemerintah Daerah diberikan alokasi anggaran yang memadai yang
dipergunakan untuk pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas. Adapun wewenang yang diberikan kepada
Pemerintah dan Pemerintah Daerah terkait dengan tanggung jawabnya
dalam perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas diberikan
dalam hal:

a) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan


pelindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas; dan

b) menambah sumber daya manusia yang memiliki kompetensi menangani


Penyandang Disabilitas.

D. Jenis-Jenis Penyandang Disabilitas

Dalam hal ini terdapat jenis-jenis Penyandang Disabilitas yang


membuktikan bahwa, Penyandang Disabilitas memiliki karakteristik dan jenisnya
masing-masing. Setiap jenis membutuhkan bantuan untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik yang berbeda-beda. Berikut adalah jenis-jenis
Penyandang Disabilitas:

a). Penyandang Disabilitas Fisik

Penyandang Disabilitas fisik berarti seseorang yang mengalami cacat pada


tubuhnya. Dalam bahasa arab, Penyandang Disabilitas fisik disebut :Kelainan
fisik ini meliputi . ُ‫ متَ َخل ف َج َ ِسديًّا‬dengan

a. Tunadaksa
Orang yang mengalami kelainan pada fisik atau motorik
(Tunadaksa), secara medis dinyatakan bahwa mereka mengalami
kelainan pada tulang, persendian, dan saraf penggerak otot-otot
tubuhnya, sehingga digolongkan sebagai orang yang membutuhkan
layanan khusus pada gerak anggota tubuhnya.Pada referensi lain
disebutkan, bahwa Tunadaksa adalah individu yang memiliki

xviii
gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular dan
struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan
(kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.
b. Tunanetra
Tunanetra adalah suatu kelainan yang terjadi kepada diri seseorang
yang mengalami gangguan penglihatan. Hal tersebut berakibat pada
tidak mampunya seseorang menggunakan indera penglihatannya untuk
mengikuti segala kegiatan belajar maupun kehidupan sehari-hari.
Sehingga kegitan belajar maupun melakukan aktivitas sehari-hari
dilakukan dengan rabaan atau taktil karena kemampuan indera raba
sangat menonjol untuk menggantikan indera penglihatan.
c. Tunarungu
Tunarungu adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam
fungsi pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Orang
yang memilki hambatan dalam hal pendengaran, biasanya juga akan
mengalami hambatan dalam berbicara atau yang disebut Tunawicara.
d. Tunawicara
Tunawicara adalah kelainan yang dimiliki seseorang karena
hambatan untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan dalam Bahasa
verbal. Sedangkan apa yang diungkapkan biasanya tidak akan
dimengerti oleh orang lain. Kelainan ini dapat bersifat fungsional
dimana terdapat kemungkinan yang disebabkan oleh ketunarunguan,
dan organik yang memang terjadi akibat ketidaksempurnaan organ
bicara maupun gangguan motorik lainnya yang berhubungan dengan
dengan berbicara.

b) Penyandang Disabilitas Mental

Penyandang Disabilitas mental dalam bahasa arab diistilahkan


ُ ‫ي ِْقل َع ف خ َل‬
dengan ‫َمت‬ ّ . Penyadang ini terbagi dari beberapa macam yaitu:

a. Mental tinggi

xix
Mental tinggi berarti ditujukan untuk orang-orang yang memiliki
kemampuan dan bakat yang tinggi diatas rata-rata. Seseorang yang
memiliki mental tinggi biasanya akan lebih kreatif dan memilki
tanggung jawab terhadap tugas. Jika tidak ditangani dengan benar,
seseorang yang memilki kecerdaan di atas rata-rata dan berbeda pada
usia yang seharusnya, maka orang tersebut dapat tertekan karena faktor
lingkungan yang tidak mendukung.
b. Mental Rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ
(Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2
kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang
memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90 dan anak yang
memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak
berkebutuhan khusus.
c. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar atau learning disability ditujukan pada siswa yang
mempunyai prestasi rendah dalam bidang akademik tertentu, seperti
membaca, menulis, dan kemampuan matematika.

Dalm kognitif, umumnya mereka kurang mampu mengadopsi proses


informasi yang datang pada dirinya melalui penglihatan, pendengaran,
maupun persepsi tubuh. Perkembangan emosi dan sosial sangat
memerlukan perhatian, antara lain konsep diri, daya pikir, kemampuan
sosial, kepercayaan diri, kurang menaruh perhatian, sulit bergaul, dan sulit
memperoleh teman.

Kondisi kelainan ini disebabkan oleh hambatan persepsi (perceptual


handicaps), luka pada otak (brain injury), tidak berfungsinya sebagian
fungsi otak (minimal brain dysfunction), disleksia, dan afasia
perkembangan.

c) Penyandang Disabilitas Ganda

xx
Penyandang Disabilitas ganda merupakan Penyandang Disabilitas
yang memiliki hambatan dalam melakukan berbagai aktivitas yang lebih
dari satu.Terdapat seseorang yang mengalami hambatan ganda seperti ini,
seperti seseorang yang mengalami tunarungu akan juga mengidap kelainan
tunawicara, dan lain sebagainya.6

E. Penyandang disalitas dalam pernikahan dan keluarga

UU No.1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan merumuskan


perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Kesiapan fisik dan
mental calon suami-istri sangat penting untuk mewujudkan tujuan dan fungsi
perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang sakinah dan mawaddah. UU
No.1 Tahun 1974 mengedepankan prinsip kedewasaan/kematangan suami-istri,
baik fisik maupun psikis tatkala melangsungkan perkawinan. Prinsip ini bertujuan
untuk lebih menjamin terwujudnya perkawinan yang sakinah dan tidak berujung
pada perceraian.

Prinsip kematangan fisik dan psikis tidak menjadi syarat ataupun rukun
nikah dalam tuntunan Islam, Namun di dalam pernikahan ada hikmah agung,
yaitu penyelamatan manusia dari perbuatan keji (zina) di dunia dan selamat
akhirat. Hikmah agung memberi stressing agar kedua calon mempelai sudah siap
dan matang, baik jasmanai maupun rohani.

Setiap penyandang disabilitas memiliki hak dan kewajiban yang sama dan
harus dilindungi. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk melangsungkan
pernikahan sebagai bentuk aktualisasi nilai agama. Pernikahan adalah ibadah yang
tidak melihat orang sebagai normal atau penyandang disabilitas. Penyandang
disabilitas berhak melangsungkan pernikahan apabila sudah memenuhi syarat dan
rukun pernikahan dalam koridor agama dan hukum nasional.

6
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hal 4.

xxi
Penjelasan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengilustrasikan
perkawinan sebagai perjanjian suci lahir batin antara pria dan wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15 UU No.8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas, pasal 8 bagian ke-4 menyatakan hak privasi penyandang
disabilitas untuk membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah. Sebagai bentuk upaya mewujudkan fungsi dan tujuan
perkawinan tersebut, kematangan fisik dan mental calon suami-istri merupkan
suatu keharusan.

A.Upaya-upaya Keluarga Penyandang Disabilitasdalam Mewujudkan


Keluarga Bahagia

Dalam mewujudkan keluarga yang bahagia, dibutuhkan usaha yang tidak


mudah. Setiap anggota keluarga harus memiliki komitmen dan sinergitas yang
sama agar keluarga bahagia dapat tercipta. Sebaik apapun kepemimpinan seorang
suami atau ayah, semakmur apapun finansial dalam keluarga tersebut, dan
setinggi apapun jenjang pendidikan anggota keluarganya tidak akan mampu
membuat keluarga bahagia jika tidak ada komitmen bersama untuk
mewujudkannya.

Sebagaimana kita ketahui, ada banyak variabel dari indikator keluarga


bahagia. Selain keinginan kolektif sebagai dasarnya, terdapat pula kedalaman
pemahaman ilmu agama, komunikasi yang baik, terpenuhinya hak dan kewajiban
dan berbagai jenis variabel lainnya yang tiap keluarga mungkin berbeda satu sama
lain. Dengan indikator kebahagian yang sedemikian kompleks, banyak kita temui
keluarga yang kesulitan atau bahkan gagal dalam mewujudkannya. Hal itu tampak
dari tidak adanya indikasi perceraian akan menurun di Indonesia. Fakta tersebut
semakin menegaskan bahwa membina keluarga hingga sampai pada predikat
keluarga bahagia tidaklah mudah

Secara garis besar, terdapat tiga hal yang menjadi modal Penyandang
Disabilitas dalam upaya mewujudkan keluarga yang bahagia, keluarga yang

xxii
dalam islam digelari dengan sakinah, mawaddah dan penuh rahmat. Tiga upaya
tersebut adalah ;

1. Sikap Saling Menerima dan Memahami antar Anggota


Keluarga Dengan kondisi yang dapat dikatakan kurang sempurna,
satu-satunya jalan yang dapat dipilih oleh keluarga Penyandang
Disabilitas adalah saling memahami dan menerima satu sama lain.
Tidak mungkin seseorang dengan kondisi yang mengalami kekurangan
fisik diperlakukan sama layaknya orang dengan kondisi normal dan
sehat. Sikap tersebut justru akan memantik konflik antar anggota
keluarga.
2. Saling Mengisi Kekurangan Pasangan.
Berlandaskan sikap saling memahami kondisi pasangannya yang
memiliki kekurangan fungsi pada fisiknya, menyebablan tumbuhnya
sikap saling mengisi tugas dan tanggung jawab di dalam keluarga.
Peneliti menemukan fakta, bahwa rata-rata
keluarga Penyandang Disabilitas tidak memaknai tugas dan
tanggung jawab pasangannya secara tekstual dan kaku. Tugas dan
tanggung jawab di dalam teori mereka maknai dengan sangat cair
dalam implementasinya. Terkadang, suami bisa sangat sering pergi ke
dapur untuk memasak, berbelanja ke pasar dan membereskan rumah,
atau mengantar anak ke sekolah yang sebenarnya secara harfiah
merupakan tugas seorang isteri Sementara isteri juga ikut membantu
tugas-tugas suami khususnya dalam hal mencari nafkah materi, dengan
membuka toko di rumah, membuka usaha menjahit dan lain
sebagainya
3. Pemahaman Ilmu Agama
Hasil penelitian menunjukkan, rata-rata kepala rumah tangga pada
keluarga Penyandang Disabilitas sangat menekankan pentingnya
pendidikan agama bagi anggota keluarganya. Suami atau ayah selalu
menanamkan nilai-nilai agama yang mendasar kepada anggota

xxiii
keluarganya, setiap kali berkumpul di rumah.Mulai dari
menyekolahkan anak di sekolah dengan basis pendidikan agama yang
kuat, mengajak anggota keluarga pergi salat ke masjid, rutin
mendatangi majlīs ta’līm yang diadakan di sekitar lingkungan tempat
tinggal mereka sampai hal kecil berupa mengajarkan adab dan sopan
santun dalam aktivitas sehari-hari.
Hal tersebut, menurut mereka (pasangan suami/isteri keluarga difabel),
akan menjadi stimulus bagi anggota keluarganya untuk bisa hidup dan
beraktivitas sesuai dengan ajaran Agama Islam. Sehingga ondisi
disabilitas yang mereka jalani di dunia pun ini bisa digantikan oleh
Allah dengan kondisi yang jauh lebih baik di akherat kelak (surga).
Pemahaman agama yang baik juga menjadi upaya yang dilakukan
keluarga Penyandang Disabilitas yang memperkecil kemungkinan
terjadinya perselisihan antar anggota keluarga. Semua kesulitan dan
problematika kehidupan keluarga yang dihadapi akan dikembalikan
menurut ajaran Islam agar terselesaikan menurut cara yang baik.

1. Pengertian Keluarga
Keluarga menjadi struktur sosial terkecil yang ada di
masyarakat, menjadi pranata sosial yang sangat penting, yang
terdiri dari dua orang atau lebih dan menjalani hidup bersama
dengan keterikatan aturan, emosional dan mempunyai peranan dan
tanggung jawabnya sendiri.7
Keluarga memiliki struktur yang saling berhubungan.
Selain itu, untuk membentuk karakter yang baik dan bernilai pada
perilaku sosial, beragama, ataupun berbudaya, peran orang tua dan
keluarga yang dapat menanamkannya, keluargalah yang menjadi
salah satu bagian dalam pembentukan karakter yang berkualitas.8
7
Suprajitno, Asuhan Keperawatan Keluarga, (Jakarta: Kedokteran EGC, 2004), 1.

8
Syamsuddin, Cahaya Hidup Pengasuhan Keluarga, (Ponorogo: WaDe Group, 2018),4.

xxiv
Berikut penjelasan keluarga menurut Undang-Undang:
1) Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang
Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga
memberikan pengertiankeluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang diisi oleh suami dan isteri atau suami, isteri dan
anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.
2) Pasal 1 Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 hampir sama
seperti pasal sebelumnya bahwasannya keluarga adalah unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami,
istri dan anaknya, atau ayah dengan anak (duda) atau ibu dengan
anaknya (janda). 3) Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak mendefinisakan Keluarga adalah
unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau
suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai dengan derajat ketiga. Dari banyaknya definisi yang
dipaparkn penulis mengikuti UndangUndang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak
4. Hak Penyandang Disabilitas Menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
Hak yaitu sejenis otoritas pribadi yang diberikan kepada individu
oleh hukum. Menganut pada beberapa ahli hukum menyebutkan, peran ini
boleh atau tidak boleh dilakukan dan bersifat pilihan, jika terjadi peristiwa
hukum maka hak akan muncul. 9
Dapat dikatakan hak adalah kekuatan atau kewenangan seseorang
untuk memperoleh sesuatu, terdapat dua pembagian hak yaitu:
1. Hak Mutlak adalah otoritas yang dimiliki. Dalam pembagiannya hak ini
dibagi dalam beberapa bagian berikut:
a. Hak Asasi Manusia lebih dikenal dengan HAM: hak yang
diperoleh manusia sejak ia dilahirkan.

9
L.J. Van Apeldooren, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pt. Pradnya Paramita, 1978), 90.

xxv
b. Hak Publik Mutlak adalah hak otoritas negara kepada rakyatnya
misal dalam hal untuk mewajibkan rakyat membayar pajak.
c. Hak keperdataan adalah hak yang mengatur orang dan badan
hukum, subjek hukum dengan subjek hukum yang lain contoh hak
orang tua, hak perwalian, hak keluarga dan hak pengampuan.10
2. Hak Relatif adalah otoritas yang subjek hukum peroleh dari hukum .
Hak ini dipecah menjadi tiga bagian yaitu:
a. Hak Publik Relatif, yang mana seperti orang yang melanggar
undang-undang masih diberi hak oleh Negara.
b. Hak Keluarga Relatif, seperti yang telah disebut tertulis pada
pasal 103 KUH Perdata dalam rumah tangga atau keluarga suami
isteri harus saling, setia, membantu dan menolong satu sama
lainnya
c. Hak Kekayaan Relatif mengacu pada semua hak nonmaterial
atau properti yang dibuat secara artifisial
Mengenai hak bagi penyandang disabilitas, tertera jelas dan
terperinci dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 tentang
Penyandang Disabilitas sebagai berikut: Pasal 6 Hak hidup untuk
Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. atas Penghormatan integritas;
b. tidak dirampas nyawanya;
c. mendapatkan perawatan dan pengasuhan yang menjamin
kelangsungan hidupnya;
d. bebas dari penelantaran, pemasungan, pengurungan, dan
pengucilan;
e. bebas dari ancaman dan berbagai bentuk eksploitasi; dan
f. bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi, dan merendahkanmartabat manusia.
Ketidakadilan dan Perlakuan salah lainnya.

10
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2011), 278-290.

xxvi
Pasal 7 Hak bebas dari stigma untuk Penyandang
Disabilitas meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan
pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya.
Pasal 8 Hak privasi untuk Penyandang Disabilitas meliputi
hak : 20 a. diakui sebagai manusia pribadi yang dapat menuntut
dan memperoleh perlakuan serta Pelindungan yang sama sesuai
dengan martabat manusia di depan umum; b. membentuk sebuah
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
c. Penghormatan rumah dan keluarga; d. mendapat Pelindungan
terhadap kehidupan pribadi dan keluarga; dan e. dilindungi
kerahasiaan atas data pribadi, surat-menyurat, dan bentuk
komunikasi pribadi lainnya, termasuk data dan informasi
kesehatan.
Pasal 9
Hak keadilan dan perlindungan hukum untuk Penyandang
Disabilitas meliputi hak:
a. atas perlakuan yang sama di hadapan hukum;
b. diakui sebagai subjek hukum;
c. memiliki dan mewarisi harta bergerak atau tidak bergerak;
d. mengendalikan masalah keuangan atau menunjuk orang untuk
mewakili kepentingannya dalam urusan keuangan;
e. memperoleh akses terhadap pelayanan jasa perbankan dan
nonperbankan;
f. memperoleh penyediaan Aksesibilitas dalam pelayanan
peradilan;
g. atas Pelindungan dari segala tekanan, kekerasan, penganiayaan,
Diskriminasi, dan/atau perampasan atau pengambilalihan hak
milik;
h. memilih dan menunjuk orang untuk mewakili kepentingannya
dalam hal keperdataan di dalam dan di luar pengadilan; dan
i. dilindungi hak kekayaan intelektualnya.

xxvii
Pasal 10
Hak pendidikan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. mempunyai Kesamaan Kesempatan untuk menjadi pendidik
atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis,
jalur, dan jenjang pendidikan;
b. mempunyai Kesamaan Kesempatan sebagai penyelenggara
pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis,
jalur, dan jenjang pendidikan; dan
c. mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai peserta didik.
Pasal 11
Hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi untuk
Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan olehPemerintah,
Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa Diskriminasi;
b. memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerjayang bukan
Penyandang Disabilitas dalam jenispekerjaan dan tanggung jawab
yang sama
c. memperoleh Akomodasi yang Layak dalam pekerjaan
d. tidak diberhentikan karena alasan disabilitas
e. mendapatkan program kembali bekerja
f. penempatan kerja yang adil, proporsional, danbermartabat
g. memperoleh kesempatan dalam mengembangkanjenjang karier
serta segala hak normatif yang melekatdi dalamnya dan
h. memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri,wiraswasta,
pengembangan koperasi, dan memulaiusaha sendiri.11

11
Penjelasan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang
Pengesahan CRPD

xxviii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata penyandang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan sebagai orang yang menyandang atau menderita
sesuatu,sedangkan kata disabilitas merupakan kata serapan dari Bahasa
Inggris yaitu disability yang artinya cacat. Sementara menurut Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 1 disebutkan
bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif
dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak

xxix
UU No.1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan merumuskan
perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Kesiapan fisik dan mental calon suami-istri sangat penting untuk
mewujudkan tujuan dan fungsi perkawinan, yaitu membentuk rumah
tangga yang sakinah dan mawaddah. UU No.1 Tahun 1974
mengedepankan prinsip kedewasaan/kematangan suami-istri, baik fisik
maupun psikis tatkala melangsungkan perkawinan. Prinsip ini bertujuan
untuk lebih menjamin terwujudnya perkawinan yang sakinah dan tidak
berujung pada perceraian.

B. Kritik Dan Saran


Kami menyadari bahwasanya dalam makalah ini banyak sekali
kekurangan baik dalam segi pemaparan materi maupun dalam sajian
tulisan, oleh karena itu kami terima kritik dan saran dengan lapang dada
semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca

Daftar Pustaka

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, (Jakarta: Pusat bahasa, 2008), hal. 1259.

xxx
John Echols M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia: An English
– Indonesian Dictionary, (Jakarta: PT Gramedia, 2005), hal. 184.

Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita, (Bandung: PT. Refika


Aditama, 2010), hal. 4.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang


Penyandang Disabilitas.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang


Penyandang Cacat.

Jazim Hamidi, “Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam


Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan”, JH Ius Quia Iustum,
vol 23,Issue 4,Oktober 2016,h.654.

Suprajitno, Asuhan Keperawatan Keluarga, (Jakarta: Kedokteran EGC,


2004), 1.

Syamsuddin, Cahaya Hidup Pengasuhan Keluarga, (Ponorogo: WaDe


Group, 2018), 4.

Apeldooren Van L.J Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pt. Pradnya


Paramita, 1978), 90.

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2011), 278-290

Penjelasan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011


Tentang Pengesahan CRPD

xxxi
xxxii

Anda mungkin juga menyukai