Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PRESENTASI

Teori-Teori Komunikasi Alternatif dan Augmentatif


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Anak dengan Hambatan Majemuk
Dosen Pengampu: Reza Febri Abadi, M.Pd.

Disusun Oleh :

Nabila Putri Lestari 2287180007


Febrina Aulia Putri 2287180008
Citra Artiani 2287180035

PENDIDIKAN KHUSUS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan makalah
Teori-teori Komunikasi Alternatif dan Augmentatif sebagai tugas dari mata kuliah Komunikasi
Alternatif dan Augmentatif.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Serang, 06 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................

Daftar Isi................................................................................................................................

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang...........................................................................................................
B. Rumusan Masalah......................................................................................................
C. Manfaat Penulisan......................................................................................................
BAB II Landasan Teori
A. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus.........................................................................
B. Konsep Komunikasi Alternatif dan Augmentatif......................................................
C. Konsep Anak Autisme...............................................................................................

BAB III PEMBAHASAN

A. Teori-Teori Komunikasi Alternatif dan Augmentatif................................................


....................................................................................................................................
B. Analisis Komunikasi Alternatif dan Augmentatif.....................................................

BAB IV Penutup

A. Kesimpulan................................................................................................................
B. Saran..........................................................................................................................

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunikasi berperan amat penting atau krusial bagi setiap orang, karena sebagi
kebutuhan dasar dari kita sebagai makhluk sosial yang hidup bersama dalam masyarakat.
Komunikasi akan menyalurkan segala kebutuhan, keinginan, dan pesan yang perlu
disampaikan ke pihak lain dan sebailknya kita menerima segala pesan tentang kebutuhan
dan keinginan dari pihak lain. Berbagai persoalan tentang individu belajar untuk
perolehan pengetahuan, keterampilan dan berkembang dikarenakan adanya komunikasi.
Untuk itu, komunikasi amat berperan penting dan krusial dalam kehidupan manusia harus
selalu diusahakan dan dikembangkan dengan melalui berbagai bentuk.
Berbagai bentuk komunikasi diperuntukkan bagi semua individu, khususnya bagi
individu yang memiliki hambatan komunikasi verbal atau komunikasi dengan bahasa.
Khususnya bagi penyandang cerebral palsy yang dikarenakan keterbatasan dalam
kemampuan verbal membutuhkan komunikasi dalam berbagai bentuk. Anak cerebral
palsy banyak yang mengalami gangguan komunikasi verbal dalam bentuk bicara karena
kondisi otot-otot yang berfungsi membentuk suara terganggu oleh kekakuan atau
inkoordinasi. Hal itu juga sebagai bentuk kelayuan atau kecacatan otak yang memberika
efek pada otot-otot bicara. Gangguan bicara terdapat 70 persen pada anak-anak cerebral
palsy (Reynold & Janzen, 2007: 389).
Alternatif mencari pengganti agar supaya kebutuhan komunikasi bagi cerebral palsy
tetap terpenuhi adalah penggunaan berbagai bentuk kode simbol yang diwujudkan
dengan logo atau gambar dan dipergunakan sebagai pengganti simbol dalam bicara.
Pengganti itu akan fungsional dan juga dapat dipahami oleh semua pihak harus disusun,
disepakati bersama dalam komunitas, khususnya juga dalam keluarga. Untuk itu, orang
tua amat memiliki peran agar supaya komunikasi pengganti bicara tersebut fungsional.
Orang tua mencari alternatif simbol gambar, sketsa atau photo yang disusun dan
dipergunakan dalam pembiasaan kehidupan sehari-hari di keluarga. Mulai dari kebiasaan
yang paling dasar untuk mengkomunikasikan kebutuhan makan, minum, bantu diri,
kebersihan diri, dan bermain terjadi dalam kehidupan seharihari dan menjadi pembiasaan
di antara keluarga diperlukan peran orang tua. Peran itu menjadikan komunikasi alternatif
atau komunikasi tambahan menjadi bermakna, karena orang tua mengkonsikan untuk
selalu menggunakan bersama-sama.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori-teori komunikasi alternative dan augmentative?
2. Bagaimana analisis dari komunikasi alternative dan augmentative?

C. Manfaat Penulisan
1. Untuk mengetahui teori-teori komunikasi alternative dan augmentative
2. Untuk mengetahui analisis dari komunikasi alternative dan augmentative
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus


1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki kekhususan
dibandingkan dengan anak normal lainnya. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ini
dianggap berbeda oleh masyarakat pada umumnya. ABK dapat dimaknai dengan
anak-anak yang tergolong cacat atau penyandang ketunaan ataupun juga anak yang
memiliki kecerdasan atau bakat istimewa (Mulyono, 2003:26).
Ilahi (2013:138) menjelaskan ABK sebagai berikut. “Anak berkebutuhan khusus
adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga
membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens. Kebutuhan mungkin
disebabkan oleh kelainan atau memang bawaan dari lahir atau karena masalah
tekanan ekonomi, politik, sosial, emosi, dan perilaku yang menyimpang. Disebut
berkebutuhan khusus karena anak tersebut memiliki kelainan dan keberbedaan
dengan anak normal pada umumnya”.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Ramadhan (2013:10) bahwa ABK adalah mereka
yang memiliki perbedaan dengan rata-rata anak seusianya atau anak-anak pada
umumnya. Perbedaan yang dialami ABK ini terjadi pada beberapa hal, yaitu proses
pertumbuhan dan perkembangnnya yang mengalami kelainan atau penyimpangan
baik secara fisik, mental, intelektual, sosial maupun emosional. Sedangkan menurut
penjelasan Suharlina dan Hidayat (2010:5) ABK merupakan anak yang memerlukan
penanganan khusus sehubungan dengan gangguan perkembangan dan kelainan yang
dialami anak.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dijelaskan bahwa ABK adalah anak-
anak yang memiliki kekhususan dan kebutuhan yang berbeda dengan anak normal
lainya. Kekhususan yang berbeda tersebut meliputi kekhususan fisik, mental,
intelektual, sosial ataupun emosional. Sehingga setiap kekhususan tersebut
membutuhkan penangan yang berbeda pula.
Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu
anak yang memiliki kekhususan permanen dan temporer (Ilahi, 2013:139). Anak
berkebutuhan khusus yang memiliki kekhususan permanen yaitu akibat dari kelainan
tertentu seperti anak tunanetra. Sedangkan anak yang memiliki kekhususan temporer
yaitu mereka yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan karena kondisi
dan situasi lingkungan misalnya anak yang mengalami kedwibahasaan atau
perbedaan bahasa yang digunakan dalam dan di sekolah.
ABK seperti yang telah dijelaskan di atas memerlukan modifikasi dari tugas,
metode atau pelayanannya. Hal ini dikarenakan keadaan mereka yang memiliki
kekhususan dan berbeda dari anak lainnya. Untuk mengembangkan potensinya maka
diperlukan modifikasi tersebut. Meskipun berbeda mereka mendapatkan kesempatan
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak. Setiap anak yang memiliki
kekhusususan tentunya memiliki ciri yang berbeda pula. Siswa memiliki kebutuhan
untuk kepentingan belajarnya, oleh karena itu penting untuk fleksibel dalam
melakukan pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan khusus yang dimiliki anak
berkebutuhan khusus.

2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


ABK sangatlah beragam, keberagaman tersebut dikarenakan ABK memiliki
kekhususannya masing-masing. Disebutkan melalui Peraturan Pemerintah No. 17
tahun 2010 pasal 129 ayat (3) klasifikasi ABK adalah “ABK terdiri dari: a) tunanetra;
b) tunarungu; c) tunawicara; d) tunagrahita; e) tunadaksa; f) tunalaras; g) berkesulitan
belajar; h) lamban belajar; i) autis; j) memiliki gangguan motorik; k) menjadi kerban
penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; l) memiliki kelainan
lain”. Maka dapat diketahui bahwa ABK bukan hanya anak yang mengalami cacat
fisik saja, anak yang memiliki kelemahan pada intelektual dan sosialnya juga
termasuk ABK.
Menurut Garnida (2015:3-4) ABK dikelompokkan menjadi sembilan diantaranya,
yaitu (1) Tunanetra, (2) Tunarungu, (3) Tunagrahita, (4) Tunadaksa, (5) Tunalaras,
(6) Anak gangguan belajar spesifik, (7) Lamban Belajar, (8) Cerdas istimewa dan
bakat istimewa, dan (9) Autis. Secara singkat klasifikasi ABK menurut Garnida
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tunanetra
Tunanetra adalah salah satu klasifikasi bagi anak yang memiliki kebutuhan
khusus dengan ciri adanya hambatan pada indra penglihatan (Pratiwi dan Afin,
2013:18). Sedangkan Garnida (2015:5) berpendapat bahwa anak tunanetra
merupakan anak yang memiliki gangguan penglihatannya sedemikian rupa,
sehingga dibutuhkan pelayanan khusus dalam pendidikan ataupun kehidupannya.
Berdasarkan penjelaskan di atas dapat diketahui bahwa anak tunanetra adalah
anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa
ketidakmampuan melihat secara menyeluruh atau sebagian sehingga
membutuhkan layanan khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya.
Berdasarkan kemampuan daya melihatnya, anak tunanetra diklasifikasikan
sebagai berikut:
1) Anak kurang awas (low vision)
Penyandang low vision masih mampu melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan penglihatan. Namun penyandang low vision memiliki persepsi yang
berbeda.
2) Anak tunanetra total (totally blind)
Penyandang tunanetra blind atau buta total adalah tunanetra yang sama sekali
tidak memiliki persepsi visual.
b. Tunarungu
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal.
Anak tunarungu memilki gangguan pada pendengarannya sehingga tidak mampu
mendengarkan bunyi secara menyeluruh atau sebagian. Meskipun telah diberikan
alat bantu dengar, mereka tetap memerlukan layanan pendidikan khusus.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi,
ketunarunguan dibagi ke dalam empat kategori sebagai berikut:
1) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment)
Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment) adalah kondisi seseorang
masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB. Seseorang dengan
ketunarunguan ringan sering tidak menyadari saat sedang diajak berbicara,
sehingga mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
2) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment)
Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), dalam kondisi ini
seseorang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB dan
mengalami kesulitan dalam percakapan jika tidak memperhatikan wajah
pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi
dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
3) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment)
Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi dimana
seseorang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB, seedikit
memahami percakapan pembicara meskipun sudah memperhatikan wajah
pembicara dan dengan suara keras, akan tetapi masih dapat terbantu dengan
alat bantu dengar.
4) Ketunarunguan berat sekali (profour hearing impairment)
Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi
dimana seseorang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 atau
lebih keras. Tidak memungkinkan untuk mendengar percakapan normal,
sehingga sangat tergantung pada komunikasi visual.
c. Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan
keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di bawah rata-rata, sehingga
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Seseorang dikatakan
tunagrahita apabila memiliki tiga indikator, yaitu: (1) keterhambatan fungsi
kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata, (2) Ketidakmampuan dalam
perilaku sosial/adaptif, dan (3) Hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia
perkembangan yaitu sampai dengan usia 18 tahun. Berdasarkan tingkat
kecerdasannya, anak tunagrahita dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
1) Tunagrahita ringan, yaitu seseorang yang memiliki IQ 55-70
2) Tunagrahita sedang, seseorang dengan IQ 40-55
3) Tunagrahita berat, seseorang yang memiliki IQ 25-40
4) Tunagrahita berat sekali, yaitu seseorang yang memiliki IQ < 25.
d. Tunadaksa
Tunadaksa merupakan suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu
sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga
mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan ataupun untuk
berdiri sendiri (Rahman, 2014:170). Sedangkan menurut (Garnida, 2015:10)
tunadaksa didefinisikan sebagai bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot,
tulang, persendian dan saraf yang disebabkan oleh penyakit, virus dan kecelakaan
baik yang terjadi sebelum lahir, saat lahir dan sesudah kelahiran. Gangguan ini
mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilitas dan
gangguan perkembangan pribadi.
Rachmayana (2013) dalam Pratiwi dan Afin (2013:27) mendefinisikan
tunadaksa sebagai berikut. “Tunadaksa/cacat fisik adalah sebutan bagi orang yang
mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya karena faktor
bawaan sejak lahir.Gangguan yang dialami menyerang kemampuan motorik
mereka. Gangguan yang terjadi mulai dari gangguan otot, tulang, sendi dan atau
sistem saraf yang mengakibatkan kurang optimalnya fungsi komunikasi,
mobilitas, sosialisasi dan perkembangan keutuhan pribadi”.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penyandang
tunadaksa mengalami kesultan dalam mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya.
Hal tersebut dikarenakan adanya gangguan pada otot, tulang maupun sitem saraf.
Oleh karena itu maka penyandang tunadaksa perlu mendapatkan pelayanan
khusus untuk mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki. Adapun klasifikasi
tunadaksa menurut Garnida (2015:3), yaitu (1) Anak layu anggota gerak tubuh,
dan (2) Anak dengan gangguan fungsi syaraf otak (celebral palcy).
e. Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf
sedang, berat dan sangat berat sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi
dan sosial atau keduanya sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan
(Direktorat PSLB dalam Gunahardi dan Esti, 2011).
Sedangkan Kauffman dan Hallahan (2006) dalam Pratiwi dan Afin (2013:58)
berpendapat mengenai anak tunalaras sebagai berikut. “Anak tunalaras dikatakan
sebagai anak-anak yang sulit untuk diterima dalam berhubungan secara pribadi
maupun sosial karena memiliki perilaku ekstrem yang sangat bertentangan
dengan norma sekitar. Perilaku ini bias dating secara tidak langsung dan disertai
dengan gangguan emosi yang tidak menyenangkan bagi orang-orang di
sekitarnya”.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa anak tunalaras
merupakan anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf sedang, berat
maupun sangat berat. Keadaan tersebut seringkali terjadi pada usia anak-anak dan
remaja, sehingga akibatnya perkembangan emosi sosial ataupun keduanya akan
terganggu. Sehingga perlu adanya layanan khusus pengembangan potensi yang
dimiliki anak tunalaras. Berdasarkan kadar ketunalarasannya, Garinda
memenggolongkan anak tunalaras menjadi tiga, diantaranya: (1) tunalaras ringan,
(2) tunalaras sedang, (3) tunalaras berat.
f. CIBI
Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi),
kreativitas, dan tanggungjawab di atas anak-anak normal seusianya, sehingga
untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata memerlukan pelayanan
khusus. Anak CIBI dibagi menjadi tiga golongan sesuai dengan tingkat
intelegensi dan kekhasan masing-masing, diantaranya (1) Superior, (2) Gifted
(Anak Berbakat), dan (3) Genius. (Pratiwi dan Afin, 2013:70).
g. Lamban Belajar (slow learner)
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual
sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa
hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan
dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik disbanding dengan yang
tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh
waktu yang lebih lama dan berulang ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-
tugas akademik maupun non akademik. Anak lamban belajar memiliki
kemampuan berpikir abstrak yang rendah dibandingkan dengan anak pada
umumnya. Dengan kondisi tersebut maka anak lamban belajar membutuhkan
pembelajaran khusus untuk meningkatkan potensi yang dimilikinya.
h. Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar Spesifik
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus, terutama dalam hal
kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika. Hal tersebut
disebabkan karena faktor disfungsi neurologis, bukan disebabkan karena faktor
inteligensi. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar
membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar
berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami
kesulitan yang berarti.
i. Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, meliputi gangguan
komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imaginatif, yang mulai tampak sebelum
anak berusia tiga tahun, bahkan anak yang termasuk autisme infantil gejalanya
sudah muncul sejak lahir. Wing dalam Jenny Thompson (2010:86)
mendefinisikan autisme sebagai ganguan perkembangan yang mengkombinasikan
gangguan komunikasi sosial, gangguan interaksi sosial dan gangguan imajinasi
sosial. Tanpa tiga gangguan di atas, seseorang tidak akan didagnosis memiliki
autisme. Gangguan-gangguan tersebut cenderung parah dan menyebabkan
kesulitan belajar pada anak.
Dapat dikatakan bahwa penyandang autisme mengalami gangguan yang
kompleks. Penyandang autisme mengalami kendala dalam komunikasi, sosialisasi
dan imajinasi. Sehingga hal tersebut dapat mengganggu mereka dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran di sekolah, perlu adanya pelayanan khusus untuk anak
autisme yang tidak dapat disamakan dengan anak normal lainnya.

3. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus


Anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik atau ciri khas. Karakteristik
tersebut merupakan implikasi dari kekhususan yang dimiliki masih-masing.
Karakteristik setiap jenis ABK juga berbeda-beda pula. Berikut adalah karakteristik
serta kebutuhan pembelajaran dari anak berkebutuhan khusus menurut Garnida
(2015:5):
a. Tunanetra
Anak dengan gangguan pengihatan adalah anak yang mengalami gangguan
daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan khusus dalam
pendidikan maupun kehidupannya. Layanan khusus dalam pendidikan bagi anak
tunanetra, yaitu dalam membaca, menulis, dan berhitung diperlukan huruf braille
bagi yang tunanetra total, dan bagi mereka yang masih memiliki sisa penglihatan
diperlukan kaca pembesar atau huruf cetak besar, media yang dapat diraba dan
didengar atau diperbesar. Selain itu diperlukan latihan orientasi dan mobilitas.
Untuk mengenali anak tunanetra dapat dilihat ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tidak mampu melihat
2) Kurang melihat (kabur), tidak mampu mengenali pada jarak enam meter
3) Kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya
4) Sering meraba-raba dan tersandung waktu berjalan
5) Bagian bola yang hitam berwarna keruh/bersisik kering
6) Peradangan hebat pada kedua bola mata
7) Mata selalu bergoyang
b. Tunarungu
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran menyebabkan anak tunarungu
memiliki karakteristik yang khas, berbeda dengan anak normal lainnya. Adapun
ciri-ciri anak tunarungu sebagai berikut:
1) Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar.
2) Banyak perhatian terhadap getaran.
3) Terlambat dalam perkembangan bahasa.
4) Tidak ada reaksi terhadap bunyi dan suara.
5) Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi.
6) Kurang atau tidak tanggap dalam diajak bicara.
7) Ucapan kata tidak jelas, kualitas suara aneh/monoton.
c. Tunagrahita
Anak tunagrahita memiliki IQ (intelligence quotient) di bawah rata-rata yaitu
memiliki IQ = 70. Sedangkan ciri-ciri fisik dan penampilan anak tunagrahita
sebagai berikut:
1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar.
2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia.
3) Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan.
4) Koordinasi gerakan kurang (gerakan serig tidak terkendali).
d. Tunadaksa
Karakteristik fisik anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh,
juga mengalami gangguan lain, seperti berkurangnya daya pendengaran,
penglihatan dan gangguan motorik lainnya. Ciri-ciri anak tunadaksa dapat
digambarkan sebagai berikut:
1) Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam.
2) Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil
dari biasa.
3) Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali,
bergetar).
4) Terdapat cacat pada anggota gerak.
5) Anggota gerak layu, kaku, lemah/lumpuh.
e. Tunalaras
Tunalaras atau anak yang memiliki gangguan emosi dan perilaku memiliki
ciri-ciri, yaitu:
1) Cenderung membangkang.
2) Mudah terangsang emosinya/mudah marah.
3) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
4) Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
5) Prestasi belajar dan motivasi belajar cenderung rendah, sering membolos atau
jarang masuk sekolah.
f. CIBI
Anak cerdas dan berbakat istimewa atau disebut juga sebagai gifted and
talented children memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Membaca pada usia lebih muda, lebih cepat dan memiliki perbendaharaan
kata yang luas.
2) Memiliki rasa ingi tahu yang kuat, minat yang cukup tinggi.
3) Mempunyai inisiatif, kreatif dan original dalam emnunjukkan gagasan.
4) Mampu memberikan jawaban-jawaban atau alasan yang logis, sistematis dan
kritis.
5) Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan.
6) Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu yang panjang, terutama terhadap
tugas atau bidang yang diminati.
7) Senang mencoba hal-hal baru.
8) Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi dan sintesis yang tinggi.
9) Mempunyai daya ingatan yang kuat.
10) Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan-pemecahan masalah.
11) Cepat menangkap hubungan sebab akibat.
12) Tidak cepat puas atas prestasi yang dicapai.
13) Dapat menguasai dengan cepat materi pelajaran.
g. Lamban Belajar (Slow Learner)
Slow learner atau lamban belajar adalah anak yang memiliki prestasi belajar
rendah, skor tes IQ mereka berada di antara 70 dan 90. Kemampuan belajarnya
lebih lambat dibandingkan teman sebayanya. Kemampuan-kemampuan lainnya
yang terbatas dari anak lamban belajar, di antaranya adalah kemampuan
koordinasi seperti kesulitan menggunakan alat tulis, olah raga atau mengenakan
pakaian. Dari sisi perilaku anak lamban belajar cenderung pendiam dan pemalu,
sehingga mereka kesulitan untuk berteman. Ciri-ciri yang dapat diamati pada anak
lamban belajar, yaitu:
1) Rata-rata prestasi belajarnya rendah (kurang dari 6).
2) Menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-
teman seusianya.
3) Daya tangkap terhadap pelajaran lambat.
4) Pernah tidak naik kelas.
h. Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar Spesifik
Anak berkesulitan belajar spesifik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu
disleksia, disgrafia dan diskalkulia. Masing-masing memiliki ciri yang berbeda.
1) Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia), yaitu:
a) Kesulitan membedakan bentuk.
b) Kemampuan memahami isi bacaan rendah.
c) Sering melakukan kesalahan dalam membaca.
2) Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia), yaitu:
a) Sangat lamban dalam menyalin tulisan.
b) Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan
5, 6 dengan 9, dan sebagainya.
c) Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
d) Menulis huruf dengan posisi terbalik (p ditulis q atau b).
3) Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkulia), yaitu:
a) Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
b) Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan.
c) Sering salah membilang secara berurutan.
d) Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3
dengan 8, dan sebagainya.
e) Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
i. Autisme
Banyak sekali variasi gejala yang diperlihatkan oleh anak autis. Selain
gejalanya yang bervariasi, tingkat keparahan juga sangat bervariasi. Ciri-ciri anak
autis, yaitu:
1) Mengalami hambatan di dalam bahasa.
2) Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial.
3) Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.
4) Kurang memiiki perasaan dan empati.
5) Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.
6) Secara menyeluruh mengalami maslah dalam perilaku.
7) Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.
8) Keterbatasan dalam mengekspresikan diri.
9) Beperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan
lingkungan.

B. Konsep Komunikasi Alternatif dan Augmentatif


Menurut McCormick & Shane, 1990,Komunikasi alternatif adalah teknik-teknik
yang menggantikan komunikasi lisan bagiindividu yang mengalami hambatan dalam
bicara atau tidak mampu berkomunikasi melalui bahasalisan. Sedangkan Komunikasi
augmentatif adalah kaidah-kaidah danperalatan/media yang dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi verbal dalam kenyataan hidupsehari-hari (Mustonen, Locke,
Reice, Solbrack, dan Lingren, 1991). Dalam penelitian ahmad dkk 2009 dikemukakan
bahwa Augmentative and alternative communication (AAC) adalah media dan metode
serta cara yangdigunakan oleh anak/orang yang mengalami hambatan dalam
berkomunikasi agar dapatberkomunikasi dengan baik dan lancar dengan orang di
sekitarnya. Sejalan dengan pendapat diatas Sumaiyyah Zakaria (2012) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa Augmentative and alternative communication
(AAC)adalah istilah yang digunakan untuk semua komunikasi yang tidak percakapan,
tetapi digunakan untuk meningkatkan atau untuk menggantikan percakapan. Satu Sistem
AAC bermaksud gabungan keseluruhan kaedah yang digunakan untuk komunikasi,
sebagai contoh, gerak isyarat, mata menunjuk, vocalizations dan menunjuk simbol.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Augmentative and
alternative communication (AAC) merupakan suatu bentuk komunikasi yang digunakan
atau disediakan atau dipakai serta diperuntukkan bagi orang yang tidak bisa berbahasa
lisan.

C. Konsep Anak Autisme


1. Pengertian Autisme
Autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat komplek
dalam kehidupan yang meliputi gangguan pada aspek interaksi sosial, komunikasi
dan bahasa, dan perilaku serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada
aspek motoriknya. Gejala autis muncul pada usia sebelum 3 tahun (Yuwono, 2012).
Autis adalah suatu bentuk ketidakmampuan dan gangguan perilaku yang membuat
penyandang lebih suka menyendiri. Disamping itu autis juga merupakan suatu
gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat bervariasi
(spektrum). Biasanya, gangguan ini meliputi cara berkomunikasi, berinteraksi sosial
dan kemampuan berimajinasi (Mulyati, 2010).
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman pervasif,
dan bukan suatu bentuk penyakit mental (Peeters, 2012). Autis merupakan gangguan
pada perkembangan interaksi sosial, komunikasi serta munculnya perilaku-perilaku
berulang yang tidak mempunyai tujuan. Autis bisa muncul mengikuti retardasi mental
namun bisa juga tidak. Selain itu autis itu sendiri tidak memiliki keterkaitan dengan
kecerdasan walaupun sering ditemukan kemampuan verbal lebih rendah daripada
yang lain (Suryaningrum, Ingarianti, & Anwar, 2016).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa autis merupakan
gangguan pada perkembangan, baik itu komunikasi, interaksi sosial maupun emosi
yang ditandai dengan munculnya perilaku yang berulang.

2. Penyebab Austisme
Penyebab dari autis ituu sendirii sebenarnya sudah ada sebelum bayi dilahirkan
bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Seorang ahli embrio yaitu Patricia Rodier
menyebutkan bahwa gejala autis disebabkan karena terjadinya kerusakan jaringan
otak. Peneliti lain menyebutkan karena bagian otak untuk mengendalikan memori dan
emosi menjadi lebih kecil dari anak normal (Suteja, 2014).

3. Ciri-Ciri Austisme
Ciri anak autis yang dapat diamati dalam lingkungan sehari-hari adalah :
a. Perilaku
1) Cuek terhadap lingkungan
2) Perilaku tak terarah; mondar mandir, lari-lari, manjat-manjat, berputar-putar,
lompat-lompat dan sebagainya.
3) Kelekatan terhadap benda tertentu
4) Perilaku tak terarah
5) Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang bergerak (Yuwono,
2012).
b. Interaksi sosial
1) Tidak mau menjalin interaksi seperti :kontak mata, ekpresi muka, posisi tubuh
serta gerak gerik kurang setuju
2) Kesulitan dalam bermain dengan orang lain ataupun teman sebayanya.
3) Tidak empati, perilakunya hanya sebagai minat atau kesenangan
4) Kurang bisa melakukan interaksi sosial dan emosional 2 arah (Moore, 2010).
c. Komunikasi dan bahasa
1) Terlambat bicara
2) Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan bahasa tubuh
3) Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dipahami
4) Membeo (echolalia)
5) Tidak memahami pembicaraan orang lain (Nugraheni, 2008).
Secara kuantitas dan kualitas, ciri-ciri yang ditunjukkan anak autis berbeda-beda.
Ciri-ciri yang muncul pada anak autis yaitu:
a. Gangguan pada komunikasi verbal dan nonverbal, seperti terlambat bicara atau
tidak dapat berbicara sama sekali, mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat
dimengerti oleh orang lain. Disamping itu, dalam berbicara tidak digunakan untuk
komunikasi tapi hanya meniru atau membeo bahkan beberapa anak sangat pandai
menirukan beberapa nyanyian maupun kata-kata tanpa mengerti artinya, kadang
bicara monoton seperti robot, mimik mukanya datar, dan bila mendengar suara
yang disukainya akan bereaksi dengan cepat.
b. Gangguan pada bidang interaksi sosial, yaitu anak menolak atau menghindar
untuk bertatap muka, anak mengalami ketulian, merasa tidak senang dan menolak
bila dipeluk, tidak ada usaha melakukan interaksi dengan orang disekitarnya, jika
ingin sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan
orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Disamping itu, bila didekati untuk
bermain justru menjauh, tidak berbagi kesenangan dengan orang lain, kadang
mereka mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar
kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun.
c. Gangguan pada bidang perilaku dan bermain, seperti tidak mengerti cara bermain,
bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama berulang-ulang
sampai lama, jika sudah senang satu mainan tidak mau mainan lain dan cara
bermainnya pun aneh, terdapat kelekatan dengan benda-benda tertentu, sering
melakukan perilaku rituslistik, dapat terlihat hiperaktif sekali misalnya tidak dapat
diam, lari ke sana kemari, melompat-lompat, berputar-putar, dan memukul benda
berulang-ulang (Mulyati, 2010).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Teori-Teori Komunikasi Alternatif dan Augmentatif

Komunikasi alternatif adalah teknik-teknik yang menggantikan komunikasi lisan


bagi individu yang mengalami hambatan dalam bicara atau tidak mampu berkomunikasi
melalui bahasa lisan. (McCormick & Shane, 1990). Sedangkan Komunikasi augmentatif
adalah kaidah-kaidah dan peralatan/media yang dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi verbal dalam kenyataan hidup sehari-hari (Mustonen, Locke, Reice,
Solbrack, dan Lingren, 1991).

Menurut (Hegde, 1996) Komunikasi Augmentative adalah metode komunikasi


yang meningkatkan dan memperluas keterbatasan alat bicara dan berkomunikasi dengan
cara non-vocal, beberapa komunikasi augmentative mungkin dihasilkan secara otomatis
termasuk berbagai pengertian dari beberapa komunikasi.

Augmentative and Alternative Communication (AAC) merupakan alat yang


digunakan dalam melakukan komunikasi pada anak dengan berkebutuhan khusus seperti
pada anak dengan autism. Komunikasi dapat diberikan berupa gambar atau kata-kata
dengan memperhatikan komponen AAC yang meliputi: (1) Teknik komunikasi; (2)
Sistem symbol; dan (3) Kemampuan berkomunikasi. Pada anak dengan autism sering
mengalami kesulitan dalam berbicara khususnya dengan autism spektrum sisorder
(ASD). Kurang lebih sekitar 50% dari anak autis tidak berbicara, mereka cenderung
sangat visual. Di beberapa Negara berkembang sekolah khusus dengan anak autism telah
menggunakan dan memasukkan program AAC visual yang baik menggunakan
komunikasi visual atau suara-output bantuan komunikasi atau disebut juga dengan
istilah voice-output communication aid (VOCAs).

Menurut Sevcik & Romski (2012) mengemukakan bahwa “AAC as an area of


clinical practice that attempts to compensate (either temporarily or permanently) for the
impairment and disability patterns of individuals with severe expressive communication
disorders (i.e., the severely speech-language and writing impaired).” Definisi tersebut
dapat diartikan bahwa AAC sebagai daerah praktek klinis yang mencoba
mengkompensasi (baik sementara atau permanen) untuk pola penurunan atau cacat
individu dengan gangguan komunikasi ekspresif yang parah (misalnya, gangguan bicara
dan menulis).

Kangas & Lloyd dalam Smith (2006: 179) menyatakan bahwa “Alternative and
Augmentative Communication (AAC) device provide different means for individuals
with speech or language impairments to interact and communicate with others.”
Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa komunikasi alternatif dan augmentatif
merupakan sebuah perangkat yang menyediakan sarana untuk individu dengan
ketidakmampuan berbahasa dan bicara untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi
dengan individu lainnya.

Penjelasan diatas dapat diartikan augmentatif merupakan cara seseorang


berkomunikasi tanpa bicara. Cara berkomunikasi dengan menggunakan gerak tubuh,
ekspresi wajah, dan catatan tertulis untuk membantu menyampaikan sebuah pesan.
Istilah komunikasi agumentatif dideskripsikan sebagai cara seseorang berkomunikasi
ketika mereka tidak dapat berbicara dengan cukup jelas sehingga hal tersebut
menyebabkan tidak dipahami oleh orang disekitarnya, sementara itu komunikasi
alternatif menunjuk pada komunikasi untuk membawa ke tempat dari bicara dengan
sepenuhnya.

Sedangkan menurut Anne Warrick (1998, hlm. 1-2) mendefinisikan Augmentative


communication is the way people communicate without speech. It is the way we use
gestures, facial expressions, shopping lists and written notes to help us transfer a
message. The term augmentative communication describes the way people communicate
when the cannot speak clearly enough to be understood by those around them, while
alternative communication refers to methodes of communication used to take the place
of speech completely. Today the terms augmentative communication and AAC are used
to encompass a wide range of adapted communication methods.

(Komunikasi augmentatif adalah cara orang berkomunikasi tanpa bicara. Cara yang
digunakan adalah dengan gerak isyarat, ekepresi wajah, daftar barang belanjaan dan
catatan tertulis untuk menolong kita menyampaikan pesan. Istilah komunikasi
augmentatif menggambarkan cara orang berkomunikasi tanpa bicara ketika mereka tidak
mampu berbicara secara jelas untuk dimengerti oleh orang –orang disekitar mereka.
Sementara komunikasi alternatif berhubungan dengan metode komunikasi yang
digunakan untuk mengganti bahasa ujaran secara menyeluruh).

Dari berbagai definisi diatas bisa diambil kesimpulan bahwa Augmentative and
alternative communication (AAC) adalah media dan metode serta cara yang digunakan
oleh anak/orang yang mengalami hambatan dalam berkomunikasi atau menulis agar bisa
berkomunikasi dengan baik dan lancar bersama dengan orang yang ada disekitarnya.

B. Analisis Komunikasi Alternatif dan Augmentatif


Komunikasi alternatif dan augmentatif yaitu suatu alat atau media yang digunakan
untuk anak yang memiliki hambatan dalam berbicara, misalnya autism. Adanya alat atau
media alternatif augmentatif ini tentu harapannya bisa mempermudah proses pemahaman
komunikasi dari luar kedalam diri anak. Artinya anak akan lebih mudah memahami apa
yang dimaksud lawan bicaranya melalui alat atau media ini. Tanpa adanya alat atau
media komunikasi alternatif dan augmentatif dan hanya berupa ucapan langsung kepada
anak, tentu mereka akan kesulitan dalam menangkap maksud dari lawan bicaranya. Tapi
dengan adanya komunikasi alternatif dan augmentatif tentu bisa mempermudah proses
penangkapan informasi oleh anak autism tersebut. Beberapa contoh komunikasi alternatif
dan augmentatif yang bisa diberikan kepada anak autism berupa buku yang berisi
kumpulan gambar gambar seperti gambar hewan, tumbuhan, buah-buahan, benda
disekitar, keluarga, anggota tubuh dan lainnya. Tak lupa sertakan juga nama nama
penjelasannya. Misalnya sebuah gambar pisang dibawahnya tertera tulisan “pisang” laluu
diberikan perekat agar anak bisa merekatkan dengan gambar pada buku tersebut.
Gambar-gambar inilah yang dapat mempermudah anak memahami suatu lingkungan
sekitarnya. Menggunakan indera visualnya anak bisa menangkap informasi yang
diperolehnya. Lalu lambat laun ia akan paham dengan benda konkritnya berupa buah
pisang tersebut.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Komunikasi alternatif adalah teknik-teknik yang menggantikan komunikasi lisan
bagi individu yang mengalami hambatan dalam bicara atau tidak mampu berkomunikasi
melalui bahasa lisan. (McCormick & Shane, 1990). Sedangkan Komunikasi augmentatif
adalah kaidah-kaidah dan peralatan/media yang dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi verbal dalam kenyataan hidup sehari-hari (Mustonen, Locke, Reice,
Solbrack, dan Lingren, 1991).

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Augmentative and alternative communication


(AAC) adalah media dan metode serta cara yang digunakan oleh anak/orang yang
mengalami hambatan dalam berkomunikasi atau menulis agar bisa berkomunikasi
dengan baik dan lancar bersama dengan orang yang ada disekitarnya.

B. Saran
Dengan adanya komunikasi alternatif dan augmentatif diharapkan semua pihak
ikut membantu dalam mengaplikasikannya kepada kehidupan keseharian anak. Entah itu
dari segi keluarga, guru ataupun pihak sekolah yang bisa ikut menyediakan alat atau
media komunikasi alternatif dan augmentatif. Guru dan sekolah harus berinovasi dan
berkreasi alat atau media apa yang dapat mudah digunakan sebagai komunikasi alternatif
dan augmentatif anak autism atau anak yang memiliki hambatan bicara dan sejenisnya.
DAFTAR PUSTAKA

eprints.umm.ac.id https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwiw3pOfm6PvAhXz4nMBH
W5cBAsQFjABegQIAxAD&url=http%3A%2F%2Feprints.umm.ac.id
%2F35541%2F3%2Fjiptummpp-gdl-lutfiavili-48155-3-babii.pdf&usg=AOvVaw0K-
09w9yGumt6J6KCs43Vg (diakses pada tanggal 09 Maret 2021 pukul 19.00 WIB).

Maimunah. Manfaat Media Komunikasi Augmentatif dan Alternatif Bagi Orang Tua Yang
Mempunyai Anak Yang Mengalami Hambatan Komunikasi. Link ...
Mangesti, Sumunar Prapti. (2016). Efektifitas Penggunaan Media Buku Komunikasi Berbasis
Augmentative dan Alternative Communication (AAC) dalam Kemampuan Bahasa
Ekspresif Pada Anak Autis Kelas VII Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa di Sekolah
Luar Biasa Negeri 1 Bantul. Skripsi . Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Mumpuniarti. 2017. Peran Orang tua bagi Perkembangan Komunikasi Celebral Palsy dengan
Sistem Komunikasi Tambahan dan Alternatif (Augmentatif and Alternatif
Communication). Vol.13. No.1

Nawawi, Ahmad dkk. 2009. “Media Komunikasi Augmentatif Bagi Anak Autis Spektrum
Disorder (ASD”. Bandung: FIP UPI Bandung.

Nawawi, Ahmad. Anik Dwi H, Munce R. Theric, dan Yulian Agus S. (2009) Media
Komunikasi Augmentatif Bagii Anak Autis Spektrum Disorder. Jurusan Pendidikan Luar
Biasa. FIP Upi Bandung. Tidak Diterbitkan
Permanarian, Somad. 2016. “Augmentative and Alternative Communication”.
http://permanariansomad.blogspot.com/2016/03/a.html (diakses pada tanggal 09 Maret
2021 pukul 19.00 WIB).

Pertiwi, Dwi Endah, Nurbani, Abdul Rahim & Christine Jelly Hartono. (2016). Pengembangan
Kemampuan Komunikasi Alternatif dan Augmentatif Melalui Media Kartu GambarPada
Siswa Autis di Kkezia School and Learning Center. Journal of Special Education . Vol.
II, No 2, Hal. 139
repository.unimus.ac.id https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjP8IeIt6PvAhWPaCsKHW
QzAwoQFjADegQIAxAD&url=http%3A%2F%2Frepository.unimus.ac.id
%2F1956%2F2%2FBAB%2520II.pdf&usg=AOvVaw396IZsBU219o2fj4uAr1oT
(diakses pada tanggal 09 Maret 2021 pukul 21.00 WIB).

S, Ayu Yuliani. 2012. Sistem Komunikasi Augmentatif dan Alternatif untuk Anak-anak dengan
Autism Spektrum Disorder (ASD). Tidak diterbitkan
Shopianty, Riani. (2019). Pengembangan Media Komunikasi Augmentative dan Alternative
Pada Anak PDD NOS dirumah Intervensi Anak Cimahi. Teras Kesehatan. Vol. 2, No. 1,
Halaman 32 – 43

Anda mungkin juga menyukai