Anda di halaman 1dari 19

Sebuah Studi Literatur: Pandangan Teologi Publik terhadap kaum Disabilitas di

Indonesia

pembimbing:

Rm. Anthon Michael

disusun Oleh

Denediktus Tangke Allo’

Yohanis Ongky Ponda


Abstract

This article demonstrates the link between public theology's understanding of disability and
people with disabilities and the discriminatory behavior they experience in their daily lives. The
general understanding of people in the world, including Indonesia, about people with disabilities
still tends to be negative. This negative understanding is because society generally defines and
treats people with disabilities based on a mindset dominated by the concept of normality, which
has implications for stigmatization and discrimination against people with disabilities. This,
including in Indonesia, is mainly due to the limited dissemination of official information and
education from the government or relevant authorities as well as the results of scientific studies
on disability and persons with disabilities. This article aims to describe a literature review related
to the understanding of disability and persons with disabilities. Where God with disability and
Imago Dei become or further basis that God or God does not have a creation that God makes
bad.

Keywords: disability, handicap, disability, discrimination, disability theology.

Abstrak

Artikel ini menunjukkan keterkaitan antara pemahaman teologi publik tentang disabilitas yakni
teologi disabilitas dan penyandang disabilitas dengan perilaku diskriminatif yang mereka alami
dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman umum masyarakat di dunia, termasuk Indonesia,
tentang penyandang disabilitas masih cenderung negatif. Pemahaman negatif itu karena
masyarakat umumnya mendefinisikan dan memperlakukan penyandang disabilitas berdasarkan
pada pola pikir yang didominasi oleh konsep kenormalan yang berimplikasi pada stigmatisasi
dan diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Pemahaman negatif ini masih ada di
Indonesia karena faktor keterbatasan diseminasi informasi dan edukasi resmi dari pemerintahan
atau otoritas terkait serta hasil kajian ilmiah tentang disabilitas dan penyandang disabilitas.
Artikel ini bertujuan mendeskripsikan kajian literatur terkait pemahaman tentang teologi
disabilitas dan penyandang disabilitas. Tuhan yang difabel dan Imago Dei menjadi atau dasar
selanjutnya bahwa Allah atau Tuhan tidak ada ciptaan yang Allah jadikan buruk.

kata kunci : penyandang Disabilitas, cacat, difabel, diskriminasi, teologi disabilitas.


Pendahuluan

Berbicara tentang disabilitas atau kaum difabel bukan lagi suatu hal yang asing bagi
masyarakat umum. Tidak dapat dipungkiri bahwa di zaman ini masih banyak dari mereka yang
kurang mendapatkan perhatian dan kesempatan di ruang publik. Realitas seperti ini tentu tidak
dapat disembunyikan lagi dari situasi umum masyarakat. Sebagian besar masalah ketidakadilan
terhadap kaum disabilitas ini seharusnya mendesak semua orang untuk mencari solusi dan
memecahkan masalah ketidakadilan bagi kaum disabilitas secara konkret. Akan tetapi yang
menjadi masalah saat ini adalah masih banyak orang yang menutup mata akan keberadaan
mereka. Mereka dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat hanya karena mereka memiliki
keterbatasan fisik atau mental.

Dalam perkembangan waktu kaum disabilitas di Indonesia menemukan suatu masalah


yang tidak mudah untuk diselesaikan. Berbagai fasilitas yang diadakan bagi mereka sekiranya
belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan mereka baik dalam bidang sosial, ekonomi,
pendidikan dan lain sebagainya (Rahayu, 2014). Dalam segi ekonomi kebanyakan dari kaum
difabel atau disabilitas mengusahakan kelanjutan hidup mereka dengan mengamen dan
mengemis hanya untuk menyambung hidup mereka. Salah satu faktor penyebab dari keadaan
tersebut adalah kurangnya kepedulian dari masyarakat dan lembaga swadaya yang mau
menerima dan menampung mereka. Akibatnya banyak dari kaum difabel ini yang jatuh miskin
atau melarat karena tidak tersedianya peluang kerja yang memadai untuk memperoleh
penghasilan yang cukup bagi biaya hidup mereka. Hal ini juga berdampak pada berbagai aspek
kehidupan seperti keterbatasan mengenyam pendidikan. Menjadi suatu “kelangkaan” bagi
seorang disabilitas untuk bersekolah serta menempuh pendidikan yang memadai karena kondisi
keterbatasan ekonomi. Disisi lain mereka yang mampu mengenyam pendidikan formal seperti
masyarakat pada umumnya akan menerima atau bertemu dengan suatu masalah berupa
penolakan dari orang-orang di sekitar mereka. Sebagian besar orang menganggap mereka
memiliki keterbatasan fisik secara verbal dan non verba baik yang diutarakan oleh gurunya
sendiri ataupun dari teman atau orang-orang disekitarnya yang mengakibatkan munculnya rasa
tidak diterima. Sehingga melalui sikap demikian secara tidak langsung dapat merusak mental
mereka yang memiliki keterbatasan secara fisik maupun mental.
Penyandang disabilitas atau difabel dalam perkembangan dunia yang semakin modern
saat ini, membuka mata masyarakat untuk lebih memandang kaum difabel sebagai sesuatu yang
perlu dikasihi ataupun ditolong bahkan menganggap mereka sebagai suatu hasil atau (karma dari
Allah) baik karena dosanya sendiri atau dosa yang dilakukan orang tuanya ataupun menjadi
urusan pribadi lepas pribadi(sumbernya!). Penyandang disabilitas dalam kehidupannya masih
mengalami berbagai hambatan yang berasal dari lingkungannya. Minimnya kesempatan yang
tersedia bagi mereka untuk menunjukkan diri dan berekspresi di tengah masyarakat
menyebabkan mereka mengalami keterbatasan akses dalam pemenuhan kebutuhan, baik yang
secara individu maupun sebagai bagian dari warga negara. Akibatnya, partisipasi penyandang
disabilitas di tengah masyarakat sangat rendah karena hanya dianggap sebagai beban dan objek
santunan (charity). pada akhirnya terciptanya eksklusi sosial di masyarakat (Rahayu, 2014).

Kehadiran Teologi disabilitas diandalkan sebagai ruang diskusi maupun menjadi agenda
dalam suatu pemikiran yang bertujuan untuk menghadirkan suatu gambaran atau pemahaman
baru, yang mampu menjadi makna positif sehingga berdampak pada mereka yang mengalami
gangguan mental dan fisik. pemahaman ini dimaksudkan supaya setiap orang berhenti
memandang kaum disabilita sebagai beban. selain itu, dengan adanya teologi disabilitas, kaum
disabilitas dapat dihormati dan diterima sebagai sesama maupun saudara hingga membentuk
kebersamaan dan persaudaraan. sehingga melalui tindakan tersebut, dimaksudkan agar mereka
mampu melihat maksud Allah menghadirkan kaum disabilitas dan masyarakat (Issabela, 2015)

Metode penelitian

Para penulis dalam menulis karya ilmiahnya menggunakan metode tinjauan pustaka,
yakni penelitian yang dilakukan melalui pengumpulan data atau memanfaatkan buku cetak yang
tersedia di perpustakaan. selain itu, para penulis juga menggunakan literasi ilmiah yang diakses
melalui internet dalam bentuk buku elektronik, artikel ilmiah.

Pembahasan

A. Kaum Disabilitas

Disabilitas atau difabel adalah suatu kondisi di mana seseorang memiliki kemampuan
yang berbeda dari orang kebanyakan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Berbagai aktivitas
di masyarakat pada umumnya yang dialami oleh penyandang disabilitas mengalami kesulitan.
Penyandang disabilitas atau difabel tidak hanya mereka yang cacat sejak lahir, tetapi juga
korban bencana alam atau perang, orang sakit yang mengalami kesulitan dalam melakukan hal-
hal yang benar, baik secara fisik maupun mental. Beberapa jenis kelainan yang menyebabkan
seseorang digolongkan sebagai penyandang disabilitas atau difabel adalah orang buta, bisu, tuli,
cacat fisik, keterbelakangan mental dan tuna ganda (mereka yang memiliki dua atau lebih jenis
disabilitas atau difabel). Mereka inilah yang membutuhkan perhatian yang lebih serta sarana
yang khusus yang membantu mereka dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti, kursi roda,
tongkat, buku-buku braile, dan alat komunikasi yang dirancang khusus bagi mereka (Kartika,
2021)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Disabilitas dijelaskan sebagai suatu
keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik
seseorang, sehingga dalam keadaan tersebut seseorang tidak mampu melakukan hal-hal dengan
cara yang biasa. Berdasarkan kebijakan yang berlaku di Indonesia tentang disabilitas, yang
dimaksud penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensori dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak (Tahmida, 2020).

Menurut John C. maxwell, penyandang disabilitas merupakan seseorang yang


mempunyai kelainan atau yang dapat mengganggu aktivitas. Sedangkan menurut Kamus besar
Bahasa Indonesia (KBBI) mengatakan bahwa disabilitas atau difabel adalah suatu kekurangan
akibat kecelakaan atau lainnya yang menyebabkan kurang sempurnanya atau
keterbatasan pada dirinya secara fisik. Sedangkan disability memiliki arti keterbatasan
dalam melakukan fungsi atau aktivitas yang menurut ukuran orang normal biasa dilakukan
(Sugiono,2014).

Berdasarkan survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, yang dikeluarkan oleh Badan
Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 255.182.144 jiwa diantaranya sebanyak
39.050 157 jiwa mereka yang difabel atau penyandang disabilitas. Dari data tersebut
diperlihatkan bahwa 8.56% populasi penduduk di Indonesia hidup dengan disabilitas atau
difabel. Selain itu World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa di seluruh dunia
terdapat 25% wanita, pria dan anak-anak hidup dengan disabilitas atau difabel (Bella,2023).
berdasarkan angkat disabilitas di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa penting untuk
menyelesaikan permasalahan mengenai penyandang disabilitas atau kaum difabel dalam rangka
mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia dalam penghormatan mengenai hak-
hak kaum difabel di Indonesia

B. Istilah Penyandang cacat, difabel dan penyandang disabilitas

sebelum secara khusus membahas penggunaannya, penting untuk mengingat kembali


mengapa istilah ini digunakan atau tidak boleh digunakan lagi. pada bagian ini, penulis akan
menampilkan tiga istilah yang sering digunakan bagai mereka yang memiliki keterbatasan fisik
dan mental.

1. Penyandang Cacat

Ada dua alasan dalam penggunaan kata penyandang cacat. Pertama, istilah penyandang
cacat pernah secara resmi digunakan sebagai istilah bagi mereka yang memiliki keterbatasan
fisik dan mental khususnya yang tertera dalam undang-Undang pada tahun 1997. kedua, istilah
“penyandang cacat ini, mewakili sudut pandang berbagai istilah yang digunakan di dalam
dokumen-dokumen yang terbit sebelum dan sesudah 1997, seperti ‘bercacat’, ‘penderita cacat’,
‘kekurangan jasmani atau rohani’ hingga ‘penyandang kelainan’. Istilah-istilah ini secara umum
menekankan pada ‘kecacatan’ atau ‘kekurangan’ atau ‘abnormal’ dari aspek jasmani. (Arif,
2016).

… setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan /atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan secara layaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental;
(c) penyandang cacat fisik dan mental. ( Undang Undang no 4 tahun 1997)

Menurut definisi Undang-Undang No.4/1997, ‘penyandang cacat’ diartikan sebagai


sumber utama acuan resmi definisi formal tentang definisi dan klasifikasi penyandang cacat di
Indonesia, serta hak-hak penyandang cacat atas pendidikan, pekerjan, standar hidup yang layak,
perlakukan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional, aksesibilitas dan
rehabilitasi, terutama dalam kaitannya dengan anak yang mengalami kecacatan. Namun
demikian seiring waktu kemudian, orang Indonesia terutama yang merupakan aktivis disabilitas
mengkritik definisi dalam Undang-Undang no 4/1997 sebagai istilah yang masih lekat dengan
stigmatisasi. Oleh karena pendefinisian tersebut dinilai cenderung berfokus atau menitikberatkan
pada kekurangan fisik/physical deficit berupa ketidaknormalan secara medis/medical
abnormality yang menyebabkan individu dengan kecacatan mengalami hambatan untuk
melakukan aktivitas secara selayaknya. Jadi dikontraskan dengan standar bahwa yang
selayaknya, yang ‘normal’ itu adalah yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang tidak
mengalami kecacatan/ ketidaknormalan secara medis tersebut. Hal ini dirasa dan dinilai
mendiskreditkan, menstigma para penyandang cacat (Dini, 2019)

2. Difabel

Sekitar tahun 1990-an, di Indonesia muncul pula istilah “difabel” yang merupakan
singkatan dari “differently abled”. Istilah ini digunakan dengan argumen bahwa mereka bukan
tidak mampu, melainkan memiliki kemampuan yang berbeda. misalnya mereka tidak memiliki
kaki atau lumpuh sehingga mereka tidak dapat berjalan dari satu tempat ke tempat lain dengan
kedua kakinya (secara normal), tetapi mereka dapat tetap mampu melakukan mobilitas seperti
berjalan atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cara berbeda yakni dengan
menggunakan kursi roda (Dini, 2019). Ada tiga versi asal-usul penggunaan istilah “difabel’
dalam bahasa indonesia yaitu pertama pada tahun 1981-an terkait dengan pengalaman tokoh
disabilitas yakni Tarsidi dalam mengikuti konferensi ketunanetraan Asia di Singapura, kedua
sekitar tahun 1985 terkait dengan tulisan di harian LA Times, dan yang ketiga terkait dengan
tokoh Mansour Faqih ( Maftuhin, 2016 dalam Didi, 2019).

Upaya penggunaan istilah “difabel” secara populer, sebaiknya dipahami terlebih dahulu
bahwa kata “disabilitas” bukan lawan dari kata ‘ability’. Lawan kata dari ‘disabilitas’ adalah
‘non-disabilitas’, sedangkan lawan kata dari ‘ability’ adalah ‘inability’. Jadi orang yang dengan
‘disability’ bukan memiliki ‘kemampuan yang berbeda’ seperti yang diklaim oleh istilah
‘difability’, melainkan dapat memiliki kemampuan yang sama tetapi harus menggunakan cara
yang berbeda. Selain itu, istilah ‘difabled’ ataupun ‘difability’, merupakan istilah yang asing
yang belum cukup familiar bahkan bagi penutur asli bahasa inggris yang mungkin sama asingnya
dengan istilah ‘difabel’ bagi orang indonesia (Dini,2019).

3. Penyandang Disabilitas

Dalam upaya mencari istilah sebagai pengganti terminologi “penyandang cacat” maka
diadakan Semiloka di Cibinong Bogor pada tahun 2009. Forum ini diikuti oleh pakar linguistik,
komunikasi, filsafat, sosiologi, unsur pemerintah, komunitas penyandang cacat, dan Komnas
HAM. Dari forum ini muncullah istilah baru, yaitu “Orang dengan Disabilitas,” sebagai
terjemahan dari “Persons with Disability”. Berdasarkan saran dari pusat bahasa yang menetapkan
bahwa kriteria peristilahan yang baik adalah frase yang terdiri dari dua kata, istilah “Orang
dengan Disabilitas” dipadatkan menjadi “penyandang disabilitas” (Darning, 2009). Akhirnya,
istilah “penyandang disabilitas” inilah yang disepakati untuk digunakan sebagai pengganti istilah
“penyandang cacat”. Dengan demikian, dalam artikel ini penulis menggunakan istilah
“penyandang disabilitas” sebagai terminologi untuk merujuk kepada mereka yang sebelumnya
disebut “penyandang cacat”.

C. Realitas Penyandang Disabilitas di Indonesia

Sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia kurang mendapatkan kesempatan


untuk menempuh pendidikan, dan pekerjaan.Akibatnya, mereka hidup di bawah garis
kemiskinan. Mereka terpinggirkan, terisolasi, dan terdiskriminasi dalam banyak hal. Mereka
menerima stigma psikologis dan hambatan budaya sebagai orang rendahan. Namun kesetaraan
pendidikan bagi penyandang disabilitas merupakan hal yang problematis. Di satu sisi, mereka
membutuhkan pendidikan khusus yang sesuai dengan keadaan mereka; misalnya di Indonesia
dikenal dengan istilah Sekolah Luar Biasa (SLB) (Tabita,2011). Sebagian besar sekolah ini
menawarkan jenis pendidikan kejuruan yang lebih menekankan pada keterampilan daripada
pengetahuan. Akan tetapi, kehadiran sekolah ini masih belum mendapat perhatian besar dari
pemerintah. Di sisi lain, peluang bagi banyak penyandang disabilitas untuk mampu
meningkatkan pengetahuan mereka, masih diragukan (kompas, 2015). Di Indonesia, hal ini
disebut sebagai pendidikan inklusi (di mana siswa berkebutuhan khusus belajar bersama dengan
siswa normal di kelas reguler). Selain itu, menurut Departemen Pendidikan Luar Biasa
Pemerintah Indonesia, hanya ada 55.836 siswa dari sekitar 1,5 juta anak penyandang disabilitas
yang bersekolah. Angka ini hanya mencapai 3,72% (pierre, 2023) bahwa 75% anak penyandang
disabilitas seharusnya bersekolah pada tahun 2012. Mengenai kesetaraan untuk mendapatkan
pekerjaan, undang-undang mengatakan bahwa 1 dari 100 pekerja haruslah penyandang
disabilitas. Akan tetapi tidak adanya sanksi yang tegas akan pelanggar aturan ini yang
menyebabkan orang-orang tidak memiliki rasa takut untuk mematuhinya (Sugi,2013). Dalam
persaingan mendapatkan pekerjaan, biasanya penyandang disabilitas tidak terpilih. Bahkan
setelah lulus dari sekolah umum pun, tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan
pekerjaan seperti orang normal (kompas, 2019). Hal ini menjadi kenyataan pahit yang harus
dialami oleh orang disabilitas. Selain tidak tersedianya sekolah dan sarana belajar bagi orang
disabilitas, fasilitas dan aksesibilitas umum untuk penyandang disabilitas tidak selalu tersedia.
Ada banyak bagian trotoar yang digunakan oleh pedagang kaki lima. Ada beberapa lubang di
jalan yang tidak ditutup. Hanya ada beberapa toilet yang dapat digunakan oleh penyandang
disabilitas yang menggunakan kursi roda (kompas, 2015). Rehabilitasi tidak selalu terjangkau,
terutama bagi masyarakat miskin. Sebagai contoh, banyak korban gempa yang tidak mampu
membayar transportasi untuk pergi ke pusat-pusat fisioterapi - meskipun fisioterapi itu sendiri
gratis. Karena kesulitan ini, banyak dari mereka yang terancam cacat permanen. Kesejahteraan
sosial adalah cara untuk menunjukkan perhatian masyarakat kepada para penyandang disabilitas.
Sebagai contoh, penyandang disabilitas permanen yang selamat dari gempa bumi menerima
bantuan dari pemerintah Indonesia sebesar Rp 300.000 per bulan selama sisa hidup mereka.
Namun, tidak semua dari mereka senang dengan hal ini karena bantuan semacam ini membuat
penyandang disabilitas menjadi ketergantungan. Yang lebih dibutuhkan adalah memberdayakan
mereka untuk mandiri (Tabita,2011).

D. Diskriminasi pekerja pada disabilitas

Di dalam dunia pekerjaan, penyandang disabilitas digolongkan dalam kelompok kerja


yang setengah menganggur. Banyaknya jumlah pengangguran disabilitas tidak terlepas dari
fakta bahwa terdapat banyak hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas saat akan
memasuki dunia kerja atau sudah bekerja. Salah satu yang menjadi penghambat paling signifikan
yang dihadapi oleh pekerja penyandang disabilitas adalah sikap dan stereotip rekan kerja. Para
pekerja disabilitas merasa ada jarak kesenjangan sosial yang sangat tinggi terhadap pekerja non
disabilitas. Jarak sosial ini diartikan sebagai pandangan bias tentang kapasitas karyawan
penyandang disabilitas ( Irvan,2022).

Penyandang disabilitas sering kali dianggap tidak berguna atau tidak berdaya, tidak
memiliki kapasitas untuk berkembang dan tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk
berpartisipasi dengan rekan mereka. Selain itu, penyandang disabilitas lebih banyak
mendapatkan protes atau tanggapan negatif dari masyarakat maupun dari teman sekerja mereka
(Irvan,2022). Hal ini membuat mereka semakin tersisihkan dalam masyarakat.
Tantangan lain yang dihadapi oleh kaum disabilitas dalam memperoleh hak untuk
memperoleh pekerjaan yang layak yaitu masyarakat masih memiliki stigma atau pandangan yang
buruk terhadap kaum disabilitas. Orang-orang memandang kaum disabilitas tidak dapat produktif
di dunia kerja karena keterbatasan fisik dan mental yang dimiliki oleh mereka. Keterbatasan itu
dianggap akan berbanding lurus dengan kinerja mereka saat bekerja. Paradigma-paradigma
semacam ini mengakibatkan munculnya keraguan dari para pemilik lapangan pekerjaan karena
ketakutan mengalami kerugian. Hal itu sangat terlihat dalam berbagai praktek requirement
pekerja di perusahaan-perusahaan. Salah satu syarat utama dalam penyeleksian tenaga kerja ialah
sehat jasmani dan rohani. Meskipun tidak secara eksplisit dijelaskan bahwa tenaga kerja yang
dibutuhkan adalah mereka yang normal secara fisik namun tampaknya syarat ini mengarah pada
kriteria tersebut. Akibat pihak perusahaan hanya terbatas mempekerjakan orang-orang normal
baik secara fisik maupun mental membuat tidak ada peluang bagi penyandang disabilitas untuk
bekerja. Perusahaan-perusahaan tampaknya sulit memperhatikan aspek disability- friendly
(ramah disabilitas) karena adanya ketakutan akan mengalami kerugian jika mempekerjakan
orang-orang yang memiliki keterbatasan tertentu. Perspektif ini sangat dipengaruhi oleh
pemahaman masyarakat pada umumnya yang masih sulit untuk memandang secara positif
perbedaan di tengah masyarakat khususnya mereka yang berbeda secara fisik karena selalu
dianggap tidak berguna, tidak dapat melakukan apa-apa dan dipandang hanya sebatas beban
masyarakat. Padahal kesempatan akan partisipasi kaum disabilitas dalam bekerja telah diatur
oleh Undang-Undang agar mereka juga dapat diberi ruang untuk berkembang dan
mengekspresikan diri sebaik mungkin. Akan tetapi dari pihak pemerintah, hal ini masih kurang
mendapat pengawasan akan kepatuhan perusahaan untuk memenuhi aturan perundang-undangan
mengenai mempekerjakan kaum disabilitas sehingga kesempatan kerja bagi kaum disabilitas
sangat terbatas (Dinar,2019).

Syarat yang mengecualikan kaum disabilitas dalam rekrutmen tenaga kerja


mempengaruhi kurangnya informasi mengenai penyerapan kerja atau lowongan pekerjaan bagi
penyandang disabilitas. Syarat yang jelas tidak ditujukan kepada mereka dan sikap masyarakat
memandang rendah kaum disabilitas menjadi alasan informasi lowongan kerja sulit untuk sampai
kepada mereka. Jaminan atas ketersediaan akses informasi serta jaminan bahwa informasi
tersebut harus dapat ditinjau dan dipahami oleh penyandang disabilitas. Namun, di beberapa
wilayah usaha untuk membuka peluang bagi kaum disabilitas untuk bekerja telah mulai dirintis.
Namun sebagian besar daerah belum memperhatikan hal ini. Belum teraksesnya informasi
penyerapan ketenagakerjaan untuk disabilitas perlu difasilitasi sehingga pihak yang
membutuhkan tenaga kerja dan kaum disabilitas yang ingin bekerja dapat menemukan kata
sepakat tentang tanggung jawab yang akan diberikan . Selain itu pelatihan kerja bagi penyandang
disabilitas sangat diperlukan. Pelatihan kerja diperuntukkan untuk meningkatkan keterampilan
mereka dalam dunia kerja maupun dalam membuka usaha sendiri. Untuk itu pelatihan kerja
sangat diperlukan oleh penyandang disabilitas. Tapi sampai ini, belum ada fasilitator yang
mampu memberikan pelatihan kepada penyandang disabilitas (Dinar,2019)

Selain dari faktor luar diri penyandang disabilitas, tantangan bagi penyandang disabilitas
lainnya yaitu kurangnya rasa percaya diri yang mereka miliki . Konsep diri yang lemah dari para
informan menjadi salah satu faktor permasalahan bagi penyandang disabilitas fisik untuk
mengakses pekerjaan. Konsep diri yang dimaksud yaitu rasa percaya diri dari para informan.
Penyandang disabilitas fisik mengalami tidak percaya diri atas kekurangan yang mereka alami
dan mereka kurang berani tampil di publik. Penyandang disabilitas fisik yang sebelumnya
memiliki kondisi fisik yang normal, kemudian mengalami disabilitas fisik menjadi kendala bagi
mereka ( Didan, 2020).

Di Indonesia masih banyak penyandang disabilitas yang masih kurang dalam menemukan
lapangan pekerjaan. Keterbatasan fisik dan mental yang dimiliki oleh para difabel, menjadi
alasan yang kuat bagi seseorang atau perusahaan untuk menolak mempekerjakan seorang
penyandang disabilitas. Salah satu contoh diskriminasi kaum difabel yaitu kasus mengenai
penyandang disabilitas di Depok, yang sudah ditolak sebelum melamar kerja (Oke news,2018).
Selain itu, di tempat kerja, perempuan penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi ganda,
seperti upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki penyandang disabilitas (Bella, 2023)

Di Indonesia sendiri, sudah ada undang-undang yang mengatur mengenai penyandang


disabilitas untuk mendapat pekerjaan yaitu undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang
penyandang disabilitas. Di mana menurut pasal 53 ayat 1 dan 2, dikatakan bahwa undang-
undang menjamin bahwa penyandang disabilitas dapat memperoleh pekerjaan yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Perusahaan milik negara (BUMN)
wajib mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 2 % dari jumlah pegawai atau
pekerja sedangkan bagi perusahaan milik swasta bahwa usaha swasta wajib mempekerjakan
sekurang-kurangnya 1% tenaga kerja yang berasal dari penyandang disabilitas (Bella, 2023)
Penting untuk dicatat bahwa walaupun undang-undang telah menjamin bahwa penyandang
disabilitas untuk mendapat pekerjaan, namun hal ini tidak terpenuhi. Alasan mendasar bagi
pemilik lapangan kerja untuk tidak mengindahkan partisipasi kaum disabilitas karena adanya
masyarakat yang hanya memandang penyandang disabilitas itu tidak mempunyai kemampuan
dalam bidang pekerjaan. Maka dari itu syarat untuk bekerja ialah sehat fisik atau tidak ada yang
cacat, hal ini menjadi bentuk diskriminasi ringan bagi penyandang disabilitas. (Bella,2023)

Perusahan yang ada di Indonesia menetapkan persyaratan yang sangat tinggi bagi
pelamar kerja, misalnya syarat pendidikan yang tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
sampai saat ini masih banyak penyandang disabilitas yang mengeluh mengenai masalah
kesulitan memperoleh pekerjaan, seperti Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) yang
melaporkan bahwa seleksi CPNS 2019 mencantumkan persyaratan yang memberatkan disabilitas
(Quin, 2019). Selain itu, salah satu penyandang disabilitas juga mengatakan bahwa dirinya
mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, bahkan selalu nihil setelah melamar 50 pekerjaan
dan ditolak ( Raja, 2019).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2022), jumlah pekerja dengan disabilitas pada
tahun 2021 sebesar 5,37% atau 7,04 juta orang. Angka tersebut mengalami penurunan sebanyak
0,61% dibandingkan tahun sebelumnya di mana jumlah pekerja disabilitas sebesar 5,98% atau
7,67 juta orang. Dilihat dari data tersebut, ditunjukan bahwa jumlah pekerja dengan disabilitas di
Indonesia masih sangat kurang dikarenakan masih mengalami banyak kendala dalam mengakses
pekerjaan. Oleh karena itu, bagi banyak penyandang disabilitas menemukan dan
mempertahankan pekerjaannya adalah suatu tantangan. Padahal disabilitas mempunyai undang-
undang yang menjamin bahwa disabilitas bebas dari diskriminasi dalam bidang pekerjaan. Salah
satu yang menjadi diskriminasi bagi penyandang disabilitas yaitu persyaratan atau peraturan
yang mempersulit mereka untuk mendapat pekerjaan (Monash edu, 2017).

E. Pandangan Teologi Publik Terhadap Kaum Disabilitas

Teologi disabilitas hadir sebagai usaha untuk memahami Allah dan kemanusiaan
terhadap latar belakang historis dan pengalaman manusia masa kita terhadap disabilitas yang
merujuk pada perspektif dan metode yang didesain untuk memberi suara pada makna teologis
yang kaya dan beragam tentang pengalaman manusia berkaitan dengan disabilitas. teologi
disabilitas adalah upaya yang dilakukan oleh penyandang disabilitas dan non-disabilitas untuk
memahami maksud Allah dan kemanusiaan dengan latar belakang pengalaman historis para
penyandang disabilitas. selain itu, istilah ini merujuk pada berbagai macam perspektif dan
metode yang dirancang untuk menyatakan atau menyuarakan makna teologis yang kaya dan
beragam dari pengalaman komunitas. pandangan teologi disabilitas memiliki cakupan ilahi,
manusia dan kosmik. teologi disabilitas tidak hanya memberikan wawasan yang segar dalam
berbagai macam topik teologis, tetapi teologi disabilitas juga memberikan cakrawala yang baru
tentang bagaimana maksud Allah dalam kitab suci dapat dibaca dan dipahami ( fabianus, 2022)

1. Tuhan yang difabel

Manusia diciptakan dengan berbagai keunikan. Karena keunikan itulah manusia memiliki
kekurangan dan kelebihan. Sempurna atau tidak seseorang merupakan bagian dari konstruksi
dalam kehidupan bermasyarakat. Akibat konstruksi tersebut, penyandang disabilitas mengalami
hambatan di tengah-tengah komunitas masyarakat di mana penyandang disabilitas itu berada.
Hal tersebut mengakibatkan masyarakat memandang disabilitas sebagai hal yang menyimpang
dari kondisi “normal”. Untuk itu teologi disabilitas hadir sebagai usaha untuk menjawab
permasalahan yang selama ini dihadapi oleh para penyandang disabilitas dalam hidup
bermasyarakat (Wati,2011).

Masyarakat sering menghubungkan para penyandang disabilitas sebagai suatu dosa,


kutukan, aib, dan lain-lain. Dalam berbagai aspek kehidupan, penyandang disabilitas tidak
mendapatkan kesempatan yang sama dengan orang “normal” lainnya. Penderitaan dan
ketertindasan pun sering dialami oleh para penyandang disabilitas. Untuk itu pemerintah harus
mampu membuka diri dan menerima para penyandang disabilitas di tengah-tengah kemajemukan
bermasyarakat. Pemerintah harus mampu hadir dan membantu memfasilitasi para penyandang
disabilitas untuk mengembangkan talenta yang dimiliki sehingga mereka mampu keluar dari
keterpurukan dan mampu bersaing dengan masyarakat pada umumnya dan menyadarkan bahwa
kekurangan tidak menghambat mereka untuk berkembang (wati, 2011).

Eiesland membahas hak-hak disabilitas melalui kacamata teologi pembebasan


disabilitas. Ia melakukan hal ini dengan mengembangkan teologi pembebasan disabilitas fisik
dengan mengkaji konsep "Tuhan yang Dinonaktifkan atau cacat". Eiesland mengembangkan
Kristologi yang kuat dan kontekstual di mana ia menampilkan gambaran Tuhan yang Disabilitas
untuk memahami hubungan antara disabilitas dan teologi. Ia menentang konsepsi kepribadian
dan normalitas yang menuntut kesempurnaan fisik, dengan menyoroti fakta bahwa pusat iman
kita adalah Tuhan yang tidak mampu. Tuhan yang cacat muncul dalam situasi khusus yang
dihadapi oleh penyandang disabilitas ketika mereka mencoba menjalani kehidupan yang bernilai
dan bermartabat (Stiff, 2019).

Melalui gagasan tentang Tuhan yang Disabilitas, Eiesland juga telah mengembangkan
teologi pembebasan disabilitas yang menantang struktur dan kepercayaan yang menindas dan
mengembangkan gambaran dan praktik baru seperti gambaran Tuhan sebagai "penyandang
cacat", sehingga menantang citra tubuh sempurna dari Yang Ilahi. Usulannya adalah teladan
Tuhan yang memahami disabilitas dan mendukung serta berpartisipasi dalam perjuangan
pembebasan penyandang disabilitas. Ia berpendapat bahwa gambaran tradisional tentang Tuhan,
terutama yang mengarah pada pandangan bahwa disabilitas sebagai berkah atau kutukan,
tidaklah memadai. Tuhan yang demikian tidak akan memahami disabilitas dan tidak mempunyai
arti bagi penyandang disabilitas. Jika Tuhan dilihat sebagai penyandang disabilitas, bagaimana
pandangan terhadap disabilitas dan bagaimana gambaran ini akan mengubah pandangan negatif
terhadap penyandang disabilitas (Stiff, 2019).

Sebagaimana teologi disabilitas telah berkembang dari usulan awal Eiesland, teologi ini
telah mencoba berbagai cara untuk mengungkapkan dan mendekonstruksi gangguan-gangguan
dari model moral dan medis serta membangun kemungkinan-kemungkinan konstruktif yang
terkandung di dalam model sosial dan model keterbatasan. Gambaran tambahan tentang Tuhan
yang merangkul disabilitas telah ditawarkan, seperti Tuhan yang interdependen yang
mengusulkan bahwa Tuhan bukanlah dalang raksasa yang menyebabkan gangguan, melainkan
bahwa Tuhan hadir di tengah-tengah kehidupan dan Tuhan yang otentik. Di mana Tuhan secara
otentik menyatakan bahwa AKU adalah, bukannya memberikan atau menerima nilai berdasarkan
kemampuan atau kapasitas, atau Tuhan yang dapat diakses yang lain membangun gambaran
pembebasan ini dan membawanya ke dalam konteks dan praktik pelayanan tertentu, seperti
khotbah, pendidikan agama, penafsiran Kitab Suci dan elemen-elemen lain dari praktik
keagamaan. Ada juga yang mengeksplorasi agama yang muncul dari komunitas-komunitas yang
secara sengaja mengikutsertakan penyandang disabilitas (Deborah, 2012)
2. Imago Dei pada kaum disabilitas

Imago Dei di sini dipahami sebagai esensi kemanusiaan, yang sama bagi semua orang
tanpa kecuali, sebagai hal yang membedakan mereka secara radikal dari dunia material lainnya.
Gambar Allah juga dipahami sebagai gambar Allah, yang dengan menjadi khusus bagi seseorang
(atau sekelompok orang) mengungkapkan misteri Allah dengan caranya sendiri yang mencolok.
Kualitas-kualitas karakteristik ini juga dapat ditemukan pada makhluk-makhluk lain yang dapat
dilihat. Dalam kasus makhluk-makhluk lain, teologi paling sering merujuk pada kualitas-kualitas
di mana Allah secara alami dimanifestasikan sebagai "jejak-jejak Allah" (dalam bahasa Latin,
vestigia Dei, vestigia trinitatis), sementara menerapkan istilah imago Dei secara eksklusif kepada
pribadi manusia ( Deborah, 2012). Gambar Allah sebagai suatu yang tidak terhapuskan/tidak
dapat diubah, sedangkan keserupaan sebagai sesuatu yang dapat diredupkan (dan pada
kenyataannya, telah diredupkan sebagai akibat dari dosa), tetapi juga diperoleh kembali melalui
keselamatan yang ditawarkan kepada kita, dan bahkan berkembang dalam proses untuk menjadi
semakin serupa dengan Allah. Dari Teologi mengenai Imago Dei didapatkan hasil bahwa
manusia termasuk kaum disabilitas merupakan ciptaan Tuhan. Di mana Imago Dei ini dibentuk
oleh Allah sendiri. Dosa tidak boleh dipandang dari kekurangan fisik seperti pandangan
beberapa kalangan, karena dosa yang sebenarnya adalah ketidak taatan kepada Allah yang
menyebabkan keterpisahan manusia dengan Allah, dan justru dalam kelemahan fisik Allah akan
bekerja untuk kemuliaan-Nya ( teodorus, 2020)

Dalam Teologi mengenai Imago Dei disebutkan bahwa Ia adalah pribadi yang maha
hadir. Maha hadir adalah esensi-Nya dan salah satu realita-Nya. Allah tidak dapat dibatasi oleh
ruang dan waktu. Manusia tidak dapat melihat Allah, namun dapat merasakan kehadiran-Nya.
Kemahahadiran Tuhan tidak hanya berlaku bagi alam ciptaanNya, karena yang terutama justru
kemaha hadiranNya tercermin dalam kehidupan manusia. Allah tidak membatasi diri hadir dalam
golongan orang tertentu, namun termasuk kaum disabilitas di dalamnya. Jadi, dari penjelasan
mengenai Imago Dei diatas dapat disimpulkan bahwa istilah Allah yang maha sempurna dan
maha hadir, terlibat secara total dalam penciptaan alam semesta termasuk manusia dan kaum
disabilitas di dalamnya. Kemaha sempurnaan ciptaan Tuhan dalam kaum disabilitas tidak dilihat
dari apa yang dilihat manusia, namun dalam rancangan Allah. Allah hadir senantiasa dalam diri
manusia, termasuk dalam kehidupan kaum disabilitas dan ini harus merupakan cara pandang
kaum non disabilitas. (Theodorus, 2020).

Kesimpulan

Penyandang disabilitas fisik memiliki tantangan-tantangan tertentu dalam hal memperoleh


hak atas pekerjaan, seperti minimnya informasi terkait lapangan pekerjaan dan pelatihan,
memiliki rasa percaya diri yang rendah, stigma negatif dari para pencari tenaga kerja, minimnya
tingkat pendidikan yang dimiliki, kondisi kerja yang tidak memberikan kesempatan kerja bagi
penyandang disabilitas di Indonesia dan keterampilan yang dimiliki tidak dapat disalurkan. Oleh
karena itu, pemerintah maupun perusahaan swasta diharapkan agar dapat mengimplementasikan
regulasi yang sudah ada dan meningkatkan kinerja untuk lebih memperhatikan penyandang
disabilitas, sehingga mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan keluarganya.

Teologi Disabilitas hadir sebagai upaya yang dilakukan dalam merekonstruksi


pemahaman tentang manusia dan Tuhan berdasarkan pengalaman-pengalaman dari perspektif
disabilitas. Upaya yang dilakukan untuk memerangi diskriminasi, marginalisasi, dan ignorisasi
terhadap kaum disabilitas dalam komunitas sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Widinarsih, Dini, “penyandang Disabilitas di Indonesia: perkembangan istilah dan definisi”, Jurnal Ilmu
Kesejahteraan jilid 20, No. 2, oktober 2019.

Rahayu Ningsih, Ekawati. “Mainstream isu Disabilitas di Masyarakat dalam kegiatan Penelitian maupun
Pengabdian Pada Masyarakat di Stain kudus,” Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 1, Februari 2014

Katrtika Propiona, Jane. “IMPLEMENTASI AKSESIBILITAS FASILITAS PUBLIK BAGI


PENYANDANG DISABILITAS.” Jurnal Analisa sosiologi,Vol. 10 ( edisi khusus), januari 2021.

Alizah, Bella. Dkk. “Analisis kebijakan pekerja penyandnag disabilitas menurut UU No. 8 tahun 2016
pada sektor BUMN,” jurnal on Education, Vol.05,No 03, Maret-April 2023

Akbar Zaelani, Didan. Dkk. “Tantangan dan peluang penyandang disabilitas fisik di kota Bandung dalam
memperoleh pekerjaan di masa Covid-19,” jurnal social Humaniora (JSH), Vol.15 No.1, 2020

Perpustakaan Bappenas, di akses dari https://perpustakaan.bappenas.go.id/e-library/file_upload/koleksi/


dokumenbappenas/file/Staf%20Ahli%20Menteri%20Bidang%20Sosial%20dan%20Penanggulangan
%20Kemiskinan/Kajian%20Disabilitas%20-%20Tinjauan%20Peningkatan%20Akses%20dan%20Taraf
%20Hidup%20Penyandang%20Disabilitas%20Indonesia%20Aspek%20%20Sosioekonomi%20dan
%20Yuridis.pdf. Pada tanggal 18 oktober 2023.

Wahyu Muntinanto,”Kisah Para Penyandang Disabilitas di Depok: Sudah Ditolak Sebelum Melamar
Kerja” okezone, senin 03 Desember 2018.
https://megapolitan.okezone.com/read/2018/12/03/338/1986384/kisah-para-penyandang-disabilitas-di-
depok-sudah-ditolak-sebelum-melamar-kerja.

Wati Longchar, “Culture, Sin, Suffering and Disability in Society,” dalam Doing Theology from
Disability Perspectiv, ed. Wati Longchar & Gordon Cowans (Manilia: ATESEA, 2011), 216.
https://repository.globethics.net/bitstream/handle/20.500.12424/220559/
Doing_Theology_from_Disability.compressed.pdf?sequence=1&isAllowed=y.

Theodora Putri S.H,M.H” panduan penanganan perkara penyandang disabilitas berhadapan dengan
hukum” (2019), 19-30 https://mappifhui.org/wp-content/uploads/2019/10/1.-BUKU-DISABILITAS.pdf.

Yulio pratama, Irvan. “disabilitas-dan-kemiskinan-keadaan-dengan-tantangan-ekonomi-yang-mendatang”


HIMIESPA, ( Jogjakarta, 2022).

Stiff, Anthony J. “Disabling Theology: An Introduction to Disability Theology” diakses dari


https://www.academia.edu/104192728/_Disabling_Theology_An_Introduction_to_Disability_Theology_.

Creamer, Deborah. diakses dari


https://www.academia.edu/1062109/Disability_and_Christian_Theology_Embodied_Limits_and_Constru
ctive_Possibilities. Pada tanggal 19 oktober 2023

Creamer, Deborah. diakses dari ‘https://www.academia.edu/5013364/Disability_Theology_2012. Pada


tanggal 19 0ktober 2023.

Novsima S, Issabela Keindahan dalam disabilitas: sebuah kontruksi Teologi disabilitas intelektual”
indonesia journal of Theologi, Vol. 3 No 1, 2015

Rahayu, Sugi dkk “ Pelayanan publik bagi pemenuhan hak-hak Disabilitas di kota Yokyakarta” jurnal
NATAPRAJA no. 1, Vol. 1 2013.

Cynthia Lova, dan Sabrina Asril,”cerita Taufiq, seorang tunanetra yang berjuang mencari pekerjaan”,
Kompas, 24 Agustus 2019 https://megapolitan.kompas.com/read/2019/08/24/08202871/cerita-taufiq-
seorang-tunanetra-yang-berjuang-mencari-pekerjaan?page=all.

Soelastri Soekirno,“Mimi Mariani Lusli, Pembuka mata tentang disabilitas”, Kompas, 05 Agustus 2015.
https://www.uc.ac.id/library/mimi-mariani-lusli-pembuka-mata-tentang-disabilitas/.

Wahyuni, Dinar, “Peluang dan tantangan penyandang disabilitas di dunia kerja”, jurnal Info singkat,
vol.XI, no. 23 (2019) . Diakses dari
Pasaribu, Quin, “Seleksi CPNS 2019 dinilai tak ramah disabilitas, transgender dan perempuan,
PPDi:’katanya membuka seluas-luasnya, tapi syaratnya membatasi,” BBC News Indonesia, 19 November
2019.
Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50463761. 19 oktober 2023

Eben Lumbanrau, Raja. “ Kisah penyandang disabilitas mencari kerja:’hampir 50 kali melamar lowongan
tapi hasilnya nihil,” BBc News Indonesia, 3 Desember 2019 Diakses dari
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-50512664. . 19 oktober 2023

Diakses dari https://www.monash.edu/__data/assets/pdf_file/0003/1107138/Disability-in-Indonesia.pdf.


19 oktober 2023

Cooreman, Talitha, “ Disabilitas theologi:a driving force for change?”, Internasional journal for the
cristian church, No. 1, Vol. 22, 2022

https://www.tandfonline.com/doi/epdf/10.1080/1474225X.2022.2046760?needAccess=true.

Anda mungkin juga menyukai