Anda di halaman 1dari 7

Tantangan dan Peluang Menuju Inklusi Sosial bagi Penyandang

Disabilitas

Pada tahun 2020, laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)


menyebutkan bahwa lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia, atau sekitar 15%
dari total populasi global, memiliki berbagai jenis disabilitas. Meskipun angka ini
mungkin hanya merupakan statistik, di baliknya tergambar realitas kompleks
yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam upaya mereka mencapai
inklusi sosial yang setara. Tantangan dan peluang yang mengiringi perjalanan
menuju inklusi sosial bagi penyandang disabilitas menjadi sebuah fokus utama
dalam diskusi ini. Dalam essay ini, kita akan mengulas secara mendalam
dinamika perjuangan menuju inklusi sosial, mengidentifikasi berbagai hambatan
yang harus dihadapi, serta menjelajahi peluang nyata yang dapat membuka jalan
menuju kesejahteraan yang lebih adil dan setara bagi semua individu, tanpa
pandang disabilitas.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang dirujuk oleh Murray dan Lopez
(2000), memperkirakan bahwa pada tahun 2020, negara-negara berkembang
seperti Indonesia akan menghadapi lima kelompok penyakit yang menjadi
penyebab disabilitas. Kelompok penyakit tersebut mencakup penyakit jantung
iskemik, gangguan cerebrovascular, gangguan kejiwaan seperti depresi dan
stres, kanker, serta kecelakaan lalu lintas. Menurut pandangan Keech (1996),
pasien yang mengalami stroke akan dihadapkan pada dua pilihan, yakni hidup
dengan cacat atau meninggal dunia. Di sisi lain, menurut Yoeswar (2002), setiap
harinya terdapat empat pasien yang menderita serangan stroke, sehingga dalam
satu tahun jumlah penderita stroke bertambah sekitar 1.000 orang. Miranda
(2001) menyatakan bahwa dampak setelah suami mengalami stroke dapat
menimbulkan stres dan mengubah pola kehidupan keluarga, termasuk istri dan
anggota keluarga lainnya. Akibatnya, beban psikologis keluarga semakin
bertambah, yang pada akhirnya juga berdampak pada beban ekonomi keluarga
tersebut.

Keadaan disabilitas fisik dan psikososial dapat dianggap sebagai


konsekuensi dari sebab tertentu, seperti perilaku individu yang berisiko. Blumm,
seperti yang disebutkan oleh Solita (1994), berpendapat bahwa status kesehatan
dapat dipengaruhi oleh empat faktor utama, di mana salah satu faktornya adalah
perilaku. Teori Grenn, yang dikutip oleh Solita (1994), menjelaskan bahwa
perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu predisposisi (seperti
pengetahuan, sikap, pekerjaan, tradisi, dan norma sosial), kemampuan (seperti
ketersediaan layanan kesehatan dan aksesibilitas), serta penguatan (seperti
sikap dan perilaku tenaga kesehatan).

Tantangan Struktural dalam Inklusi Sosial

Secara global, individu dengan disabilitas menghadapi sejumlah kesulitan,


seperti hambatan institusional, lingkungan, dan sikap yang mencegah mereka
berpartisipasi sepenuhnya dalam berbagai aspek kehidupan (Bonsang & Klein
2012). Orang tua dengan disabilitas umumnya termasuk di antara mereka yang
paling menderita, dan mereka harus menghadapi pembatasan-pembatasan usia
tambahan dalam masyarakat (van Asselt-Goverts et al. 2015). Dibandingkan
dengan populasi umum, individu dengan disabilitas secara signifikan
dikecualikan dari beberapa ukuran sosial, termasuk hubungan, peluang, dan
keterlibatan dalam komunitas (McCausland et al. 2021; Xiao & O'Neil 2021),
sehingga berisiko mengalami kesejahteraan yang lebih rendah dan kualitas
hidup yang lebih rendah. Karena keterbatasan pada usia lanjut umumnya umum
dan secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup orang dewasa yang lebih tua,
hambatan-hambatan sosial ini lebih buruk bagi orang tua yang lebih rentan dan
berisiko (Bonsang & Klein 2012). Keterbatasan fisik dan mental meningkatkan
risiko rawat inap, kebutuhan akan perawatan residensial, dan kematian. Di
Nigeria, individu dengan disabilitas menghadapi stigma, marginalisasi,
diskriminasi, dan hambatan-hambatan dalam mengakses layanan sosial penting
serta peluang pekerjaan di Nigeria (Bello 2020). Ketersediaan rumah sakit yang
dapat diakses dan staf yang sadar akan inklusi disabilitas dan terampil dalam
menyediakan layanan untuk individu dengan disabilitas seringkali membatasi
akses terhadap layanan kesehatan yang memadai bagi mereka (Faronbi et al.
2019).

Kondisi ini menggarisbawahi perlunya langkah-langkah komprehensif


yang mengatasi tantangan inklusi bagi penyandang disabilitas, terutama di
kalangan orang tua dengan disabilitas. Fokus yang lebih besar pada lingkungan
yang ramah disabilitas, baik di sektor kesehatan maupun masyarakat, dapat
memainkan peran penting dalam meningkatkan partisipasi dan kualitas hidup
mereka. Upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang
disabilitas di seluruh lapisan masyarakat juga perlu dilakukan, dengan tujuan
mengurangi stigma dan diskriminasi yang sering kali menyertai penyandang
disabilitas. Selain itu, pelatihan dan pendidikan bagi staf layanan kesehatan dan
profesional lainnya tentang kebutuhan khusus individu dengan disabilitas dapat
membantu mengatasi hambatan dalam memberikan layanan yang sesuai.

Untuk mengatasi tantangan inklusi sosial bagi penyandang disabilitas,


perlu adanya sinergi antara pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan
masyarakat secara keseluruhan. Langkah-langkah kebijakan yang progresif
harus diambil untuk memastikan akses yang setara terhadap layanan kesehatan
dan peluang pekerjaan. Ini melibatkan pembangunan dan peningkatan
aksesibilitas fisik di fasilitas-fasilitas publik, termasuk rumah sakit, serta
penyediaan pelatihan yang memadai bagi para profesional kesehatan. Dengan
demikian, diharapkan penyandang disabilitas, terutama mereka yang berusia
lanjut, dapat merasakan kesejahteraan yang lebih baik dan partisipasi yang lebih
penuh dalam kehidupan masyarakat.

Aksesibilitas dan Teknologi Assistif

Teknologi assistif (TA) adalah istilah yang digunakan untuk


menggambarkan alat dan perangkat yang membantu individu dengan disabilitas
dalam menyelesaikan berbagai tugas. TA dapat beragam, mulai dari solusi
rendah teknologi seperti pegangan pensil atau penstabil kertas, hingga solusi
tinggi teknologi seperti sintesis suara atau komputer yang diaktifkan suara. TA
digunakan untuk meningkatkan, mempertahankan, atau meningkatkan
kemampuan fungsional individu dengan disabilitas. Jenis TA dapat
dikelompokkan menjadi sepuluh kategori, termasuk untuk penglihatan,
pendengaran, komunikasi berbicara, pembelajaran, kognisi, perkembangan,
mobilitas, tempat duduk, posisi, dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Meningkatkan aksesibilitas dan memanfaatkan TA dapat memberikan
manfaat tidak hanya bagi individu dengan disabilitas, tetapi juga untuk semua
orang. Fitur-fitur aksesibilitas dirancang untuk membantu individu dengan
disabilitas agar lebih mudah menggunakan teknologi, tetapi fitur-fitur ini juga
dapat membantu individu yang sedang sementara mengalami keterbatasan atau
berada dalam lingkungan yang memengaruhi interaksi dengan teknologi. Fitur-
fitur aksesibilitas ini meliputi teks alternatif untuk gambar, aksesibilitas keyboard,
struktur judul berurutan, tautan yang dapat diakses, dan navigasi yang konsisten.

Penggunaan TA juga dapat berkontribusi pada kesehatan yang lebih baik,


peningkatan kualitas hidup, dan integrasi sosial yang lebih baik bagi individu
dengan disabilitas. TA membantu individu dengan disabilitas untuk meningkatkan
kemandirian dan berpartisipasi lebih aktif dalam masyarakat. Sebagai contoh,
alat bantu mobilitas seperti kursi roda, skuter, alat bantu berjalan, tongkat, kruk,
perangkat prostetik, dan perangkat ortopedik dapat membantu individu dengan
gangguan mobilitas bergerak dengan lebih mudah.

Undang-undang dan peraturan federal, seperti Undang-Undang


Penyandang Disabilitas Amerika (ADA) dan Undang-Undang Teknologi Assistif,
mengamanatkan bahwa teknologi elektronik dan informasi harus dapat diakses
oleh individu dengan disabilitas. Sekolah-sekolah diwajibkan untuk menyediakan
perangkat dan layanan teknologi assistif kepada siswa dengan disabilitas yang
memerlukan untuk mengakses pendidikan mereka.

Sebagai kesimpulan, teknologi assistif dan fitur aksesibilitas dapat


membantu individu dengan disabilitas untuk meningkatkan kemandirian,
berpartisipasi lebih penuh dalam masyarakat, dan menyelesaikan tugas-tugas
yang mungkin sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Jenis TA dapat berkisar
dari solusi sederhana hingga teknologi canggih, dan mereka dapat digunakan
untuk meningkatkan, mempertahankan, atau meningkatkan kemampuan
fungsional individu dengan disabilitas. Undang-undang dan peraturan federal
mewajibkan agar teknologi elektronik dan informasi dapat diakses oleh individu
dengan disabilitas, serta sekolah-sekolah diharuskan untuk menyediakan
perangkat dan layanan teknologi assistif kepada siswa dengan disabilitas yang
memerlukan agar mereka dapat mengakses pendidikan dengan setara.

Strategi dan Langkah-Langkah Menuju Inklusi Sosial yang Berkelanjutan

Konsep inklusi sosial telah menjelma menjadi prinsip fundamental yang


menjunjung tinggi hak dan peran setiap individu dalam masyarakat. Hal ini
merujuk pada semangat untuk memastikan bahwa semua anggota masyarakat,
termasuk mereka yang memiliki disabilitas atau berlatar belakang beragam,
dapat ikut serta secara penuh dalam semua aspek kehidupan sosial, ekonomi,
dan budaya. Inklusi sosial yang berkelanjutan tidak sekadar menjadi tujuan,
melainkan juga sebuah tanggung jawab kolektif yang mampu mengangkat
kualitas hidup dan kesejahteraan seluruh masyarakat secara menyeluruh. Dalam
tulisan ini, kami akan mengupas beberapa strategi serta langkah-langkah konkret
yang dapat membawa kita menuju pencapaian inklusi sosial yang berkelanjutan.
Seluruh gagasan yang disajikan akan didukung oleh data dan fakta yang sahih
dari sumber-sumber yang memiliki kredibilitas.

Pendidikan inklusif menjadi pijakan yang kuat dalam upaya menggapai


inklusi sosial yang berkelanjutan. Pemberian kesempatan pendidikan yang
merata bagi setiap individu, termasuk anak-anak yang memiliki disabilitas,
menjelma menjadi langkah krusial dalam membangun masyarakat inklusif.
Menilik data dari UNESCO pada tahun 2020, terdapat sekitar 258 juta anak di
seluruh dunia yang tak memiliki akses terhadap pendidikan, dan individu-individu
dengan disabilitas kerap kali mengalami keterbatasan dalam hal akses
pendidikan. Oleh sebab itu, perlu adanya investasi yang serius dari pemerintah
serta lembaga pendidikan dalam meningkatkan fasilitas, mengembangkan
kurikulum yang inklusif, dan memberikan pelatihan bagi para pendidik guna
mendukung implementasi pendidikan inklusif yang.

Aksesibilitas dalam berbagai aspek, baik secara fisik maupun digital,


menjadi elemen yang mendasar dalam mengwujudkan inklusi sosial.
Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat sekitar 15%
dari total populasi dunia yang hidup dengan berbagai jenis disabilitas. Untuk
mencapai inklusi sosial yang berkelanjutan, diperlukan kerjasama antara
pemerintah dan sektor swasta guna memastikan bahwa infrastruktur fisik,
transportasi umum, serta platform digital dapat diakses dengan mudah oleh
seluruh individu, tak terkecuali mereka yang memiliki disabilitas

Kesetaraan peluang dalam bidang pekerjaan dan ekonomi juga menjadi


poin krusial dalam perjalanan mencapai inklusi sosial yang berkelanjutan.
Berdasarkan data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), tingkat
pengangguran pada individu dengan disabilitas cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki disabilitas. Fakta ini menuntut
perlunya adopsi kebijakan-kebijakan serta program-program yang mampu
mendorong inklusi dalam dunia kerja, seperti pelatihan keterampilan dan
pemberian akses yang lebih terbuka pada pekerjaan yang layak, sebagai
langkah menuju terwujudnya inklusi sosial yang berkelanjutan

Sebagai tindak lanjut nyata dari gagasan tersebut, sejumlah langkah


konkret dapat diambil sebagai panduan:

- Memperjuangkan pembentukan legislasi serta kebijakan yang mendukung


inklusi sosial dan menjunjung tinggi hak asasi manusia bagi individu
dengan disabilitas.
- Mengintegrasikan pendidikan inklusif ke dalam kurikulum pendidikan, baik
yang bersifat formal maupun non-formal.
- Meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat akan urgensi
inklusi sosial melalui upaya kampanye edukatif yang terarah.
- Memberikan dukungan penuh pada peluang pelatihan serta pendidikan
keterampilan bagi individu dengan disabilitas.
- Menyediakan layanan dukungan, termasuk layanan kesehatan dan
psikososial, yang memiliki pendekatan yang ramah terhadap individu
dengan disabilitas.

Pada akhirnya, inklusi sosial yang berkelanjutan akan mampu diwujudkan


melalui komitmen serta kolaborasi dari berbagai lapisan masyarakat. Dengan
mengadopsi strategi dan langkah-langkah konkret, serta mengandalkan data dan
fakta yang dapat diandalkan, kita mampu membentuk masyarakat yang lebih
inklusif, adil, dan berkelanjutan bagi semua individu, tak mengenal latar belakang
ataupun kondisi disabilitas.
Daftar Pustaka

Bello, Omolara Sarah. 2020. The accusation of elderly women as witches in

Nigeria. A project submitted in partial fulfilment of the requirements for

obtaining the degree of Master of Arts in Development Studies.

International Institute of Social Studies. The Hague: The Netherlands

Faronbi, Joel Olayiwola, Grace Oluwatoyin Faronbi, Sunday Joseph Ayamolowo,

and Adenike Ayobola Olaogun. 2019. “Caring for the seniors with chronic

illness: The lived experience of caregivers of older adults.” Archives of

Gerontology and Geriatrics 82: 8–14

Xiao, J. J., and B. O’Neill. 2021. “Disability type, financial capability, and Risky

asset holding.” Journal of Disability Policy Studies 32(4). Available: DOI:

https//doi.org/10.1177/1044207320981781

Anda mungkin juga menyukai