Anda di halaman 1dari 9

Aksesibilitas Untuk Kaum Difabel (Studi Kasus: TransJakarta)

Oleh: Riveral Hikmah (24015018)

Abstrak
Perlindungan kepada difabel merupakan bagian dari keadilan
terhadap hak asasi manusia. Salah satu hak difabel sesuai Undangundang No. 19 Tahun 2011 adalah hak memperoleh aksesibilitas
dalam mendukung kemandiriannya. Pentingnya aksesibilitas
memungkinkan para difabel menikmati sepenuhnya semua hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental. Namun pada kenyataannya
para difabel masih kesulitan dalam mendapatkan akses fasilitas
publik. Pedestrian dan angkutan umum tidak mudah diakses oleh
kaum difabel. Tulisan ini bertujuan untuk melihat konsep keadilan
terhadap hak difabel untuk memperoleh kedudukan yang sama dalam
mendapatkan aksesibilitas. Bagaimana pemerintah melindungi hakhak kesetaraan kaum difabel. Studi kasus yang dipilih adalah
transjakarta sebagai salah satu moda transportasi massal di Ibukota.
Kata Kunci: aksesibilitas, difabel, keadilan, TransJakarta

I. Pendahuluan
I.1. Latar Belakang
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor
A/61/106 tentang Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Resolusi tersebut
memuat hak-hak kaum difabel. Pemerintah Indonesia pun menandatangani Resolusi tersebut
pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Komitmen Indonesia selanjutnya dibuktikan dengan
meratifikasi Konvensi tersebut yang kemudian dituangkan dalam UU Nomor 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai
Hak-hak Difabel) dan disahkan pada 18 Oktober 2011.
Komitmen pemerintah Indonesia terhadap perlindungan HAM khususnya kaum difabel
yang tertuang dalam regulasi hukum UU No. 19 Tahun 2011 tersebut, tentu menjadi harapan
besar bagi para difabel untuk mendapatkan pengakuan hukum, pelayanan publik, keadilan,
kesetaraan serta terbebas dari perlakuan diskriminasi. Salah satu hal penting terkait ratifikasi
konvensi tersebut adalah pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan
kebudayaan, kesehatan dan pendidikan, serta informasi dan komunikasi, yang memungkinkan
kaum difabel menikmati sepenuhnya semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
Difabel atau people with different ability merupakan istilah yang digunakan untuk
penyandang cacat fisik atau masyarakat dengan kebutuhan khusus. Menurut data Departemen
Sosial tahun 2009 jumlah difabel di Indonesia sebanyak 1.5 juta jiwa. Walaupun jumlah difabel
minoritas, namun mereka memiliki hak yang sama dalam memperoleh aksesibilitas.
Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk difabel dan
lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 Pasal 1). Aksesibilitas

Aksesibilitas Untuk Kaum Difabel (Studi Kasus: TransJakarta)

[Date]

dapat berupa fasilitas transportasi yang dapat digunakan untuk melakukan mobilitas guna
mendukung aktivitas dan kegiatan.
DKI Jakarta merupakan kota dengan mobilitas tertinggi di Indonesia. Hal ini dapat terlihat
dari kesibukan kota sebagai pusat ekonomi, perdagangan dan pemerintahan sehingga terdapat
pergerakan yang dinamis dari suatu tempat ke tempat lain. Mobilitas yang tinggi tersebut perlu
ditopang oleh transportasi umum sebagai aksesibilitas yang memadai, aman, nyaman dan
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Tidak hanya masyarakat pada umumnya, tetapi kaum
difabel juga perlu mendapatkan aksesibilitas yang layak untuk memudahkan mereka berbaur di
lingkungan masyarakat dan tidak merasa kesulitan dalam melakukan aktivitasnya.
TransJakarta merupakan salah satu moda transportasi massal yang bermula dari
gagasan perbaikan sistem angkutan umum di DKI Jakarta dan mengarah pada kebijakan prioritas
angkutan umum serta mendukung konsep dasar pengembangan sistem angkutan umum massal
yang dapat mengakomodasi pengguna dari segala golongan. Sesuai dengan visinya yaitu
sebagai angkutan umum yang mampu memberikan pelayanan publik yang cepat, aman, nyaman,
manusiawi, efisien, berbudaya dan bertaraf internasional. Adapun salah satu misinya adalah
menyediakan pelayanan yang lebih dapat diandalkan, berkualitas tinggi, berkeadilan dan
berkesinambungan di DKI Jakarta.
I.2. Tujuan
Tujuan Tulisan ini adalah melihat konsep keadilan terhadap kaum difabel untuk
memperoleh kedudukan yang sama dalam mendapatkan aksesibilitas.
I.3. Metode Penulisan
Tulisan ini dibuat dengan metode penelitian pustaka dan pengamatan langsung di
lapangan. Penelitian pustaka (library research) merupakan suatu bentuk penelitian dalam
pengumpulan data. Penelitian ini menitikberatkan pada pencarian data/informasi pada buku,
artikel, jurnal ilmiah, dan karya ilmiah lainnya yang relevan dengan penulisan ini. Pengamatan
langsung di lapangan melihat bagaimana kondisi aksesibilitas terhadap kebutuhan penyandang
difabel. Pengamatan dilakukan di dua koridor transjakarta, yaitu koridor I (Blok M Kota) dan
Koridor VI (Ragunan Dukuh Atas). Koridor dipilih berdasarkan tingkat mobilitas yang tinggi pada
koridor ini karena berada di wilayah perkantoran dan pariwisata. Pengamatan dilakukan dengan
melihat kondisi halte dan bis transjakarta.

II. Tinjauan Pustaka


II.1. Pengertian Difabel
Istilah difabel berasal dari bahasa Inggris dengan asal kata different ability, yang
bermakna manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda. Istilah tersebut digunakan sebagai
pengganti istilah penyandang cacat yang mempunyai nilai rasa negatif dan terkesan diskriminatif.
Istilah difabel didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Sehingga yang
ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan ataupun ke abnormal-an.
Sedangkan pengertian difabel menurut Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang Penyandang
cacat, adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas

Aksesibilitas Untuk Kaum Difabel (Studi Kasus: TransJakarta)

[Date]

secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik, (b) penyandang cacat mental,
dan (c) penyandang cacat fisik dan mental.
Dalam Declaration of The Rights of Disabled Persons (1975) disebutkan bahwa difabel
adalah: any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a
normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her
physical or mental capabilities.
Difabel bukan hanya merupakan orang orang penyandang cacat sejak lahir melainkan
juga korban bencana alam atau perang yang mendapatkan kecacatan ditengah-tengah hidupnya
maupun para penderita penyakit yang mengalami gangguan melakukan aktivitas secara
selayaknya baik gangguan fisik maupun mental. Beberapa jenis gangguan yang menyebabkan
tergolongnya seseorang menjadi difabel adalah sebagai berikut: tuna netra (buta), tuna rungu
(tuli), tuna wicara (bisu), tuna daksa (cacat tubuh), tuna grahita (cacat mental), dan tuna ganda
(komplikasi antara dua atau lebih bentuk kecacatan).
II.2. Keadilan dalam Pembangunan
Etika merupakan orientasi dan arahan bagaimana sebuah moralitas diterapkan dan
dipelihara pada tataran praktis dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan nyata, beragam nilai
moralitas bisa berbenturan tergantung kepada situasi dan cara pandangnya. Menurut teori etika
teleologi (utilitarisme), suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan tujuan akhir yang
dicapai atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Dengan kata lain, teori
ini beranggapan bahwa kita sebagai manusia harus selalu bertanggung jawab terhadap akibatakibat tindakan kita sehingga kita hendaknya mengusahakan hasil-hasil yang paling baik bagi
semua.
Salah satu prinsip dari etika adalah keadilan. Adil pada hakikatnya adalah bahwa kita
memberikan kepada siapa saja, apa yang menjadi haknya. Secara singkat keadilan menuntut
agar kita tidak mencapai tujuan- tujuan (termasuk yang baik) dengan melanggar hak-hak orang
lain. John Rawls seorang pencetus teori keadilan, bahwa Keadilan adalah kebajikan utama dalam
sebuah institusi sosial sebagaimana kebenaran adalah kebajikan dalam pemikiran. Sebuah
konsep keadilan lebih diminati bila dampaknya bisa dirasakan secara meluas.
Dua prinsip keadilan adalah:
1. Setiap orang mempunyai hak sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
kebebasan dasar manusia.
2. Ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatasi dan diatur sedemikain rupa sehingga:
Dapat pembagian keuntungan bagi semua orang secara merata
Menjamin keterbukaan semua posisi dan jabatan bagi semua orang
II.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Difabel
Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia
manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau
berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Walaupun secara fisik, budaya, bahasa yang berbeda-beda, manusia tetap memiliki hak-hak
tersebut. Inilah sifat universal dari hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak tersebut tidak
dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakukan manusia ia akan tetap memiliki
hak-hak tersebut, karena hak tersebut melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Dari

Aksesibilitas Untuk Kaum Difabel (Studi Kasus: TransJakarta)

[Date]

pemahaman tersebut kemudian lahirlah paham persamaan kedudukan dan hak antar umat
manusia berdasarkan prinsip keadilan, persamaan yang memberikan pengakuan bahwa manusia
mempunyai hak dan kewajiban yang sama tanpa membedakan baik kesempurnaan fisik maupun
status sosial.
Dalam konteks keadilan tersebut termasuk pula perlindungan terhadap kedudukan dan
hak para difabel. Aksesibilitas bagi difabel merupakan hal yang sangat penting untuk diwujudkan,
ia merupakan bentuk kemudahan yang disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesempatan
dalam aspek kehidupan dan penghidupan.
Dalam UU UU No. 19 Tahun 2011, dijelaskan bahwa setiap penyandang disabilitas
(difabel) harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan
martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semenamena, serta memiliki
hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan
kesamaan dengan orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan
pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.
Jaminan aksesibilitas bagi difabel selain secara lengkap, rinci dan khusus tercantum
dalam UU No. 19 Tahun 2011 yaitu agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri
dan berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan, Pemerintah harus mengambil
kebijakan yang sesuai untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar kesetaraan
dengan yang lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi,
termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi, serta terhadap fasilitas dan layanan
lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
Secara umum juga diatur dalam Pasal 41, 42 dan 54 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang menegaskan:
a. Pasal 41: Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak
serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh. Setiap penyandang cacat (difabel), orang
berusia lanjut, wanita hamil dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan
khusus
b. Pasal 42 Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik atau caat mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan dan pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk
menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaan.
c. Pasal 54 Setiap anak yang cacat fisik atau cacat mental berhak memperoleh perawatan,
pendidikan dan pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan
yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkat percaya diri dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30/PRT/ M/2006, Asas Fasilitas
dan Aksesibilitas adalah:
1. Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan
terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang.
2. Kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang
bersifat umum dalam suatu lingkungan.
3. Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau
bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.

Aksesibilitas Untuk Kaum Difabel (Studi Kasus: TransJakarta)

[Date]

4. Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan
semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan
tanpa membutuhkan bantuan orang lain.
Dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468/KPTS/1998 tentang persyaratan
teknis aksesibilitas pada bangunan umum dan lingkungan, penyediaan sarana dan prasarana
transportasi umum harus aksesibel terhadap semua orang tak terkecuali bagi difabel. Dalam
peraturan tersebut dijelaskan bahwa asas aksesibilitas sebagai pedoman dalam penyediaan
akses pada sarana dan prasarana adalah kemudahan, kegunaan, keselamatan dan kemandirian.
Pedoman teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan dan lingkungan bagi penyandang
difabel diatur pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/Prt/M/2006.

III. Studi Kasus (TransJakarta)


Pengamatan dilakukan pada kondisi halte transjakarta (meliputi jembatan
penyeberangan, pintu masuk halte dan jarak antara halte dan bis) dan kondisi bis transjakarta.
a. Jembatan penyeberangan
Jembatan penyeberangan pada halte transJakarta digunakan bagi para pengguna
transjakarta untuk menuju dan keluar dari halte. Jembatan penyeberangan yang sesuai
untuk difabel adalah berupa ram dengan kemiringan 7 derajat, tidak licin dan lebar
minimum 120 cm (satu jalur) (gambar 3). Ram adalah jalur sirkulasi yang memiliki bidang
dengan kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan
tangga. Berdasarkan pengamatan dari dua koridor transjakarta dengan 39 halte, yang
memiliki ram dan bisa diakses oleh difabel sebanyak 20 halte dan 19 lainnya masih
menggunakan tangga sehingga sulit diakses para difabel (gambar 2).

(a) Koridor I (Blok M Kota)

(b) Koridor VI (Ragunan Dukuh Atas)


Gambar 2. Kondisi Halte TransJakarta, Lingkaran biru: ada ram
lingkaran merah: tidak ada ram (hanya tangga)

Aksesibilitas Untuk Kaum Difabel (Studi Kasus: TransJakarta)

[Date]

Gambar 3. Standar ram sesuai Berdasarkan Peraturan Menteri


Pekerjaan Umum No. 30/PRT/ M/2006

Gambar 4. Ram di beberapa halte transjakarta

Ram yang ada pada halte bis transjakarta juga masih menyulitkan para difabel.
Karena kondisi ram yang curam membuat para difabel bersusah payah atau harus
meminta bantuan pada orang sekitar.

Gambar 5. Ram yang curam pada Halte Transjakarta

Banyak pula jembatan yang masih memakai tangga untuk mencapai halte
transjakarta. Tangga tesebut tentu saja sangat sulit untuk dipakai para difabel. Perlu
bantuan orang lain untuk mengaksesnya.

Gambar 5. Tangga di Jembatan Penyeberangan halte transjakarta

Aksesibilitas Untuk Kaum Difabel (Studi Kasus: TransJakarta)

[Date]

Pada beberapa halte juga telah dilengkapi lift untuk membantu penyandang difabel
apabila tidak ada ram. Namun kebanyakan lift tidak berfungsi sehingga sulit bagi difabel
untuk menuju halte tranJakarta.

Gambar 6. Fasilitas Lift di beberapa halte transjakarta yang tidak


berfungsi

b. Pintu masuk halte


Pintu masuk halte transjakarta berupa pintu otomatis yang menggunakan kartu. Beberapa
halte memiliki jalur khusus untuk penyandang difabel dengan lebar yang cukup untuk kursi
roda. Sehingga para difabel dapat melintasi pintu dengan mudah. Namun adapula halte
yang tidak disertai jalur khusus ini, sehingga tidak bisa dilalui oleh kursi roda.

Gambar 7. Pintu masuk halte

c. Jarak antara halte dan bis


Pada beberapa halte dilengkapi dengan alat penghubung sehingga jarak antara halte dan
bis tidak terlalu jauh. Namun ada halte yang belum melengkapinya, sehingga jarak antara
halte dan bis sekitar 20 cm. Bagi difabel tentu saja menyulitkan sehingga dibutuhkan
bantuan untuk naik dan turun dari bis.

Gambar 8. Jarak antara halte dengan bis

Aksesibilitas Untuk Kaum Difabel (Studi Kasus: TransJakarta)

[Date]

d. Kondisi bis transjakarta


Bis transjakarta memiliki ruang khusus penyandang difabel. Posisi ruang difabel berada
di dekat pintu keluar, sehingga bisa lebih memudahkan jika naik atau turun bis. Namun
kondisi bis yang penuh sesak, membuat para difabel cukup kesulitan sehingga
membutuhkan bantuan ketika naik/turun bis.

Gambar 9. Ruang Khusus Penyandang Difabel di dalam bis

Pada kenyataannya para difabel masih cukup kesulitan dalam mendapatkan aksesibilitas. Dari
pengamatan terhadap transjakarta diperoleh fakta bahwa para difabel masih kesulitan untuk
mencapai halte dan naik/ turun bis. Secara rinci kesulitan yang dihadapi kaum difabel dalam
menggunakan bis transjakarta dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
No
1

Kategori
Kecatatan fisik

Kecatatan Sensoris

Hambatan
Masih banyak jembatan yang menggunakan tangga menghambat
jalannya kursi roda
Curamnya ram tidak sesuai dengan standar
Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar
Tidak cukupnya ruang untuk berbelok, pintu dan koridor yang terlalu
sempit
Tangga yang terlalu tinggi
Lantai yang terlalu licin
Pintu lift yang menutup terlalu cepat
Pintu masuk halte yang sempit
Jarak antara bis dan halte terlalu jauh
Tunanetra:

Tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau
dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai
pada halte

Cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup

Tangga yang terlalu tinggi

Jarak antara bis dan halte terlalu jauh


Tunarungu:

Tunarungu tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui


pengeras suara di bandara atau terminal angkutan umum. Mereka
juga mengalami kesulitan membaca bibir di auditorium dengan
pencahayaan yang buruk, dan mereka mungkin tidak dapat
mendengar bunyi tanda bahaya.
Tabel 1. Hambatan Difabel dalam Akses Transjakarta

Aksesibilitas Untuk Kaum Difabel (Studi Kasus: TransJakarta)

[Date]

IV. Kesimpulan

Konsep keadilan dalam pembangunan dapat terlihat dengan bagaimana pembangunan


tersebut dapat memberikan kesamaan hak bagi kehidupan masyarakat. Apakah tujuan
dari pembangunan tersebut mampu dirasakan oleh semua kalangan tak terkecuali kaum
difabel.
Pada studi kasus transjakarta, kaum difabel pada kenyataannya masih memiliki
keterbatasan dalam hal akses transportasi publik. TransJakarta yang mulanya diharapkan
menjadi sarana transportasi yang aksesible pada kenyataannya belum mampu memenuhi
kebutuhan penyandang difabel. Penyandang difabel masih terbatas ruang geraknya dan
sulit untuk melakukan aktivitasnya.
Pemerintah melindungi hak-hak difabel dengan memberikan kepastian hukum melalui
undang-undang dan peraturan. Peraturan yang ada belum sepenuhnya efektif, hal ini
dapat dilihat dari bagaimana para difabel masih merasa kesulitan dalam hal aksesibilitas.
Kondisi ini tentu saja akan berdampak pada psikologis para difabel, mereka akan merasa
terpinggirkan, tidak bisa mandiri dan sulit untuk berbaur dengan masyarakat. Selain itu
kesulitan dalam menggunakan transportasi massal seperti transjakarta memaksa mereka
untuk beralih ke kendaraan pribadi atau kendaraan umum yang lebih mahal seperti taksi.

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.


Undang-Undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Kesejahteraan
Sosial.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas (CRPD)
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis
Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis
Aksesibilitas Pada Bangunan Umum Dan Lingkungan

Aksesibilitas Untuk Kaum Difabel (Studi Kasus: TransJakarta)

[Date]

Anda mungkin juga menyukai