Anda di halaman 1dari 24

KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP

PENGGUNAAN JEMBATAN PENYEBERANGAN ORANG


(JPO) DI KOTA BANDUNG
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia ialah mahkluk sosial (zoon polilicon), memerlukan hidup

bersama dengan manusia lainnya dalam jangka waktu yang lama dan

secara sadar membentuk kesatuan hidup untuk berbudaya baik di

lingkungan yang terbatas atau antar-individu maupun di lingkungan yang

lebih luas atau antar-golongan (kelompok). Hubungan hidup bersama

antar-manusia untuk menyelenggarakan kepentingan terus terjadi dan

merupakan hubungan timbal-balik dengan membentuk pola hidup

bermasyarakat.

Pola bermasyarakat yang demikian itu terus berkembang secara

sistematis bagi kehidupan manusia, yang dimulai dari antar-pribadi sampai

pada kelompok serta dengan lingkungannya dalam masyarakat (social

system) untuk mencapai cita-cita masyarakat yang bersangkutan.

Masyarakat atau pergaulan hidup merupakan suatu sistem

hubungan yang tertib atau teratur dan hukum sebagai suatu kaidah

merupakan seperangkat normanorma yang memuat anjuran, larangan, dan

sanksi. Yang salah satu fungsi pokoknya sebagai sarana kontrol sosial,

dengan tujuan menjaga ketertiban, keseimbangan sosial dan kepentingan

masyarakat1.

1
Soerjono Soekanto. Disiplin hukum dan disiplin sosial. Rajawali Pers. Jakarta. 1988. hlm 6.

1
Hukum secara sosiologi adalah penting dan merupakan suatu

lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan

nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola perilaku yang berkisar pada kebutuhan

pokok-pokok manusia2. Kaidah-kaidah hukum tersebut ada yang berwujud

sebagai peraturanperaturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan

maupun keputusan-keputusan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya,

dan seterusnya3. Sebagai seperangkat yang berfungsi dan bertujuan

demikian itu, maka hukum pertama-tama akan hadir sebagai suatu yang

bersifat law in the books, yang memuat rancangan hipotesis tentang batas-

batas perilaku manusia yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta

memberi ancaman sanksi apabila ada diantara masyarakat yang melakukan

norma pelanggaran. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan

manusia agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus

dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,

damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Melalui

penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,

yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan

(.Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit) 4. Dalam mengisi

pembangunan hukum. Garis-garis Besar Haluan Negara, telah menyatakan

bahwa asas-asas pembangunan nasional antara lain menyebutkan tentang

2
Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta. 2006 hal 4
3
Ibid. hlm 2.
4
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Penerbit Liberty yogyakarta.
Yogyakarta. 2003. hal 25

2
asas kesadaran hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka menjadi

jelas bahwa indonesia merupakan negara berkembang telah menetapkan

dasar negara sebagai negara hukum yang dan bukan negara yang

berdasarkan kekuasaan semata-mata. Maka asas kesadaran hukum

merupakan salah satu asas yang perlu diprioritaskan dalam pembangunan

nasional pada masa kini maupun di masa mendatang. Kesadaran hukum

dan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali.

Kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum,

sumber segala hukum adalah kesadaran hukum. Kesadaran hukum adalah

kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa

seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita

dengan mana kita membedakan antara hukum dan bukan hukum (onrecht),

antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan. Dari

segi penegakan hukum (law enforcement) dapat dikatakan tidak ada

ketegasan sikap dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum yang

tidak diusut.

Berbicara mengenai penegakan hukum, berarti kita berbicara

mengenai manusia juga. Sebab, yang menjalankan tugas penegakan

hukum itu adalah manusia. Hukum itu tergantung The Man Behind The

Gun5. Maka, apabila terjadi suatu perbuatan melanggar hukum, tentu akan

mengakibatkan keguncangan atau ketidak seimbangan dalam masyarakat 6,

5
Jeremias Lemek. Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia.
Galang Press. 2007. hal 24.
6
Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Refika Aditama. Bandune 2009
hal 16.

3
teori kehendak menganggap kesengajaan (opzet) ada apabila perbuatan

dan akibat suatu tindak pidana dikehendaki oleh si pelaku 7. Tidak sedikit

pengaduan-pengaduan dan laporan-laporan dari masyarakat tentang

terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan kepada yang berwajib

tidak ditanggapi atau dilayani. Menurut Von Savigny bahwa antara hukum

dan keaslian serta watak rakyat terdapat suatu pertalian yang organis 8.

Dalam kehidupan sehari-hari transportasi merupakan sektor pendukung

dalam setiap aktivitas manusia baik kegiatan pekerjaan rutin, bisnis,

pendidikan, sosial, dan lain sebagainya. Sebagai prasarana pendukung,

transportasi harus mendapatkan pelayanan yang baik sehingga diperoleh

sistem pergerakan yang efektif9 dan efisien bagi penggunaan transportasi.

Peningkatan sistem transportasi memerlukan penanganan yang

menyeluruh mengingat bahwa transportasi timbul karena adanya

perpindahan manusia dan barang. Meningkatnya perpindahan tersebut

dituntut penyediaan fasilitas penunjang laju perpindahan manusia dan

barang yang memenuhi ketentuan keselamatan bagi pejalan kaki dimana

pejalan kaki merupakan salah satu komponen lalu lintas yang sangat

penting terutama di perkotaan keberadaan pejalan kaki ini biasanya

terkonsentrasi pada fasilitas umum seperti pusat kota, jembatan

penyeberangan orang (JPO), pusat pendidikan, dan tempat-tempat fasilitas

umum lainnya. Keberadaan pejalan kaki tersebut memerlukan fasilitas

7
Ibid, hal 67
8
Satjipto Raharjo. Hukum dan Masyarakat. Penerbit Angkasa. Bandung. 1986.
9
Skripsi Herlinsta Astrie Nunggraeni. Efektifitas Penggunaan Jembatan Penyebarangan orang
(JPO) dan Variabel-variabelyang Mempengaruhi Penyeberang Jalan Dalam Menggunakannya.
Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro. Semarang. 2006.

4
bagi pejalan kaki, termasuk fasilitas penyeberangan jalan seperti jembatan

penyeberangan orang (JPO), dimana (JPO) tersebut dibangun apabila di

haruskan tidak ada pertemuan sebidang antara arus pajalan kaki dan jarak

berjalan dengan arus lalu lintas.

Agar pejalan kaki mau untuk menggunakan jembatan

penyeberangan orang (JPO) harus dijamin keamanan dan jarak berjalan

tidak terlalu bertambah jauh10. Pergerakan pejalan kaki meliputi

pergerakan-pergerakan menyusuri jalan, memotong jalan, dan

persimpangan. Sebagaimana yang lazim terjadi di berbagai kota besar

karena tuntunan perkembangan ekonomi, perdagangan, dan kemudahan

jangkauan pelayanan bagi masyarakat maka fasilitas umum seperti pusat

perbelanjaan, hotel, dan lain sebagainya yang biasanya mengelompok pada

suatu pusat tertentu, maka suatu ketika pejalan kaki harus menyeberangi

lalu lintas kendaraan untuk sampai ke tempat tujuan.

Namun sering kali keberadaan penyeberang jalan tersebut pada

tingkat tertentu akan mengakibatkan konflik yang tajam dengan arus

kendaraan yang berakibat pada kemacetan lalu lintas dan seringnya terjadi

kecelakaan11. Seperti halnya di kota bandung dengan tingkat kepadatan

penduduk yang tinggi, penyediaan sarana transportasi bagi pejalan kaki

seperti jembatan penyeberangan sudah mulai disediakan dimana-mana.

Penyediaan jembatan penyeberangan orang (JPO) dimaksudkan untuk

mempermudah pejalan kaki untuk menyeberang jalan dengan aman.

10
Ibid.
11
Ibid.

5
Namun kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa

penggunaan (JPO) tersebut di rasakan kurang efektif dalam memecahkan

permasalahan yang terjadi antara pejalan kaki dalam menyeberang jalan

dengan kendaraan roda empat maupun kendaraan roda dua. Hal ini bisa

dilihat pada kenyataannya bahwa jembatan penyeberangan sebagai salah

satu fasilitas penyeberangan jarang dipakai dan terkadang sering disalah

fungsikan untuk para pengemis dan anak jalanan serta rawan kejahatan.

Para pejalan kaki lebih suka lewat bawah jembatan dari pada lewat

jembatan penyeberangan padahal melewati bawah jembatan itu sangat

membahayakan pejalan kaki dan pengendara yang lewat di jalan-jalan

tersebut. Padahal hal tersebut sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kota

Bandung Pasal 4 No. 3 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban,

Kebersihan Dan Keindahan Pasal 4 ayat (1)

“Setiap orang berhak menikmati kenyamanan berjalan, berlalu

lintas dan mendapat perlindungan dari Pemerintah Daerah.”

Pasal 4 ayat (2)

“Untuk melindungi hak setiap orang, badan hukum atau

perkumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Daerah

melakukan penertiban penggunaan jalur lalu lintas, trotoar dan bahu jalan,

jalur hijau jalan, jembatan dan penyeberangan orang, melindungi kualitas

jalan serta mengatur lebih lanjut mengenai pelarangan kendaraan bus/truk

besar ke jalan lokal/kolektor sekunder.”

6
Selain itu kondisi jembatan penyeberangan orang yang ada di kota

Bandung sangat memprihatinkan, antara lain tangga jembatan

penyeberangan tersebut sangat terjal sehingga banyak masyarakat yang

takut untuk melintasinya dan banyak bagian konstruksi yang berkarat

karena tidak dilindungi dengan baik. Umumnya penyeberang memang

memilih untuk melintasi jalan yang cukup padat dengan cara langsung

melewati jalan tersebut tanpa memperdulikan banyaknya kendaraan yang

lewat. Namun, masih ada pula warga masyarakat yang patuh dan memilih

menggunakan jembatan penyeberangan itu.

Namun, tentu saja mereka harus hati-hati selain itu jalan naik

jembatan penyeberangan orang (JPO) tersebut sangat curam sehingga

pejalan kaki enggan untuk menggunakannya. Disisi lain keberadaan

jembatan penyeberangan orang (JPO) kerap kali dipandang sebelah mata

oleh warga masyarakat, jembatan penyeberangan orang (JPO) tersebut

hanya dipandang sebagai media iklan yang dapat memberikan asset

penerimaan pada pendapat asli daerah (PAD), sehingga mengundang

pertanyaan apakah pemda berniat membangun papan reklame sementara

itu seluruh badan jembatan yang ditutupi iklan.

Hal tersebut salah satu penyebab masyarakat enggan menggunakan

jembatan penyeberangan orang (JPO). Selain itu kurangnya kesadaran

hukum masyarakat dan kurangnya pengetahuan masyarakat, tentang

pengaturan jembatan penyeberangan orang (JPO) tersebut dan sering

mengundang kriminalitas seperti aksi penodongan di atasjembatan

7
penyeberangan orang (JPO)12. Ironisnya lagi yang sering menjadi

pemandangan umum, dimana polisi membantu menyeberangkan sekian

banyak warga masyarakat, walaupun didekatnya ada jembatan

penyeberangan orang (JPO).

Hal ini apakah bahwa aparat kepolisian juga tidak

mensosialisasikan penggunaan jembatan penyeberangan orang (JPO).

Seharusnya, aparat kepolisian dengan sabar dan konsisten “memaksa”

warga masyarakat menyeberang pada tempatnya, kalau perlu dengan

hukuman dan denda tertentu yang dilaksanakan secara konsisten, adil, dan

tanpa diskriminasi13.

Keengganan masyarakat untuk tidak menggunakan jembatan

penyeberangan orang (JPO) tersebut yang mendasari penulis untuk

melakukan penelitian ini sehingga dapat mengetahui apakah kesadaran

hukum masyarakat dalam menggunakan jembatan penyeberangan orang

(JPO) sudah berjalan dengan sebagaimana mestinya.

B. Identifikasi Masalah

12
Ibid.
13
Ibid.

8
Sehubungan dengan penegasan di atas, penulis menemukan permasalahan

yang dihadapi berkaitan dengan upaya peningkatan kesadaran hukum

masyarakat, maka timbullah permasalahan sebagai berikut:

a. Mengapa masyarakat khususnya di kota Bandung tidak

menggunakan jembatan penyeberangan orang (JPO)?

b. Apa fungsi jembatan penyeberangan orang (JPO) terhadap tindak

pidana kecelakaan lalu lintas?

C. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan peneliti untuk membahas kesadaran hukum masyarakat

terhadap penggunaan jembatan penyeberangan orang adalah :

1. Menggambarkan kesadaran hukum masyarakat terhadap penggunaan

jembatan penyeberangan orang (JPO).

2. Menggambarkan masyarakat khususnya di kota Bandung tentang

penggunaan fasilitas-fasilitas umum yang telah di sediakan seperti

jembatan penyeberangan orang (JPO) dalam menyeberangi jalan.

Dengan demikian penulis berharap kesadaran hukum masyarakat

dapat perlahan-lahan di tingkatkan di Negara Indonesia khususnya di kota

Bandung dan pada akhirnya Negara Indonesia dapat menjadi negara yang

tentram, tertib, dan teratur.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini berupa penelitian deskriptif analitis dengan menggunakan

pendekatan yuridis empiris yaitu mengidentifikasikan dan

mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional

9
dalam sistem kehidupan yang mempola, penelitian ini ingin

menggambarkan bagaimana kesadaran hukum masyarakat terhadap

penggunaan jembatan penyeberangan orang (JPO) di kota Bandung

sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Daerah Kota Bandung

Nomor 03 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan

dan Keindahan.

BAB II

10
PEMBAHASAN

A. Kepatuhan Pejalan Kaki terhadap Penggunaan Sarana Penyeberangan

JPO sebagai sarana untuk menyeberang menjadi kebutuhan orang yang

berjalan kaki saat melakukan aktivitas penyeberangan disebabkan sering

terjadi kecelakaan orang yang menyeberang jalan. Permasalahan ini terjadi

karena tidak terpisahnya secara fi sik hubungan pejalan kaki yang

menyeberang jalan dan pengendara kendaraan.14Berdasarkan hasil survey

BPS responden terhadap para pejalan kaki melalui sebaran kuisioner,

diperoleh data bahwa dari 56 responden sebanyak 34% menggunakan JPO

sebagai sarana penyeberangan dan sebanyak 66% tidak menggunakan JPO

sebagai sarana penyeberangan. Dari keterangan tersebut bisa dicermati bahwa

banyak orang yang berjalan kaki di Kota Bandung yang menyeberang tidak

menggunakan sarana penyeberangan. Pejalan kaki bebas menyeberang di

jalan raya karena pagar pembatas jalan telah dibuka. Orang yang berjalan

kaki tidak memanfaatkan JPO sebagai fasilitas menyeberang disebabkan

adanya jalan alternatif. Alasan ini terungkap dari 82% responden

menyeberang jalan tidak melintasi JPO disebabkan pagar pembatas jalan telah

rusak dan terbuka akses bagi pejalan kaki menyeberang di jalan raya. Pejalan

kaki tidak menggunakan JPO sebagai sarana penyeberangan disebabkan JPO

yang tersedia dalam kondisi rusak dan tidak layak sebagai sarana

penyeberangan. Pada bagian lain, pejalan kaki tidak menggunakan JPO

disebabkan tidak merasa perbuatannya melawan hukum. Pejalan kaki

14
Fakrul Rozi Yamali, loc.cit.especially in dense urban areas will be vehicles. The purpose of this
research is to know the benefi ts of the Pedestrian Overpass (JPO)

11
menganggap perbuatannya tidak melanggar peraturan perundangundangan,

terlebih Pemerintah Kota Bandung tidak pernah menertibkan dan

memberikan sanksi terhadap pejalan kaki yang tidak menyeberang

menggunakan JPO yang telah disediakan. Hal ini terungkap 84% responden

menyatakan tidak pernah dilakukan penertiban terhadap pejalan kaki yang

tidak menggunakan sarana JPO. Oleh karena itu, wajar bila pejalan kaki

melintas di sembarang jalan.

Pendapat Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung mengenai pejalan

kaki yang tidak menggunakan sarana penyeberangan disebabkan terbukanya

pagar pembatas jalan. Instansinya tidak pernah membuka pagar pembatas

jalan. Namun, ada orang yang memiliki motif tertentu membuka dan merusak

pagar pembatas jalan. Di samping itu, ada beberapa besi pagar dan atap JPO

dilepas oleh orang yang tidak bertanggungjawab, sehingga keadaan ini dapat

membahayakan keselamatan penyeberang jalan. Kepala Dinas Perhubungan

mengakui bahwa pejalan kaki yang tidak menggunakan sarana

penyeberangan bisa juga disebabkan beberapa JPO yang tersedia kurang

layak dilintasi oleh pejalan kaki. Pendapat tersebut ternyata kurang lebih

sama dengan apa yang disampaikan oleh Kepala Dinas Bina Marga Pekerjaan

Umum dan Penataan Ruang Kota Bandung15.

Menurut Kepala Dinas Bina Marga Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang,

pihaknya tidak pernah membuka pagar pembatas jalan. Orang yang tidak

bertanggungjawab yang merusak dan menghilangkan pagar pembatas jalan.

15
https://www.rri.co.id/iptek/55334/pemkot-bandung-segera-perbaiki-jpo-merdeka rabu 3
januari 2024

12
Perbuatan mereka yang merusak dan menghilangkan pagar pembatas jalan,

jelas menyalahi peraturan perundanganundangan yang berlaku karena sudah

merusak fasilitas umum. Kepala Dinas Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum

dan Penataan Ruang Kota Bandung menambahkan, pejalan kaki belum

menggunakan sarana penyeberangan disebabkan masih belum disiplinnya

pejalan kaki dalam menggunakan sarana penyeberangan yang tersedia. Hal

ini disebabkan adanya pejalan kaki yang tidak melewati JPO dengan alasan

tempat yang dituju terlalu jauh, adanya pejalan kaki yang tidak mau bersusah

payah untuk menyeberang melewati sarana penyeberangan jalan, dan lain-

lain.16

Tanggapan Ketua Komisi C DPRD Kota Bandung lebih bersifat normatif,

mengenai pejalan kaki yang tidak menggunakan sarana penyeberangan. Ketua

Komisi C menyesalkan adanya pejalan kaki yang tidak menggunakan JPO

karena peraturan perundangan telah mewajibkan pejalan kaki menyeberang di

tempat yang telah ditentukan. Apalagi Pasal 132 ayat (1) huruf b UU Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan telah mengatur pentingnya keselamatan bagi

pejalan kaki dan pengguna fasilitas penyeberangan.17

Dari berbagai pendapat tersebut, terdapat pertautan pendapat mengenai

alasan orang yang berjalan kaki tidak memanfaatkan fasilitas menyeberang,

yakni alasan orang yang melintas jalan dan alasan kondisi JPO. Alasan orang

16
Ibid
17
Ibid

13
yang melintas jalan tidak mengambil manfaat fasilitas menyeberang

disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hukum yang berlaku,

utamanya kesadaran hukum dalam menggunakan sarana JPO dan pejalan kaki

tidak mau bersusah payah melintasi JPO yang terlalu jauh. Sementara alasan

kondisi JPO disebabkan keberadaan JPO yang rusak dan tidak layak dilintasi

dan lampu penerangan yang tidak berfungsi dengan baik.

Mencermati perihal kepatuhan hukum pejalan kaki dalam memanfaatkan

fasilitas untuk menyeberang, maka masalah utama disebabkan oleh kesadaran

hukum pejalan kaki. Kesadaran hukum adalah nilai-nilai dalam diri manusia

tentang adanya aturan. Kesadaran hukum berhubungan dengan sifat patuh

terhadap aturan. Adapun pembeda ialah ketaatan hukum wujud karena ada

rasa takut akan berlakunya hukuman. Kesadaran hukum sering juga dikaitkan

dengan pembentukan hukum, efektivitas hukum, dan pentaatan hukum.18

B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Ketidakpatuhan Hukum Para

Pejalan Kaki

Berdasarkan perolehan pengisian kuisioner terhadap para responden

pejalan kaki, dapat diperoleh beberapa kendala orang yang berjalan kaki tidak

memakai fasilitas untuk menyeberang. Melalui 56 responden, 82%

memberikan alasan karena terburu-buru menuju tempat tujuan, sehingga

terpaksa harus melewati jalan umum, jarak JPO yang terlalu jauh dari tempat

tujuan sehingga dicarilah jalan pintas, JPO yang sudah rusak dan tidak layak

untuk digunakan oleh pejalan kaki, serta JPO yang tidak aman dan nyaman

18
Ellya Rosana, “Kepatuhan Hukum Sebagai Wujud Kesadaran Hukum Masyarakat,” Jurnal TAPIs
10, No. 1 (Juni 2014): hlm. 3, htt ps://doi.org/10.24042/tps.v10i1.1600.

14
untuk digunakan sebagai sarana penyeberangan. Tidak berbeda dengan para

responden,

Kepala Dinas Bina Marga Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota

Bandung memberi penjelasan mengenai beberapa kendala untuk mengatasi

kendala penggunaan JPO, antara lain: posisi JPO cukup jauh dari tempat yang

dituju sehingga pejalan kaki sembarangan menerobos jalan atau marka jalan,

pejalan kaki merasa khawatir menaiki JPO karena bangunan JPO yang sangat

tinggi dan curam sehingga pejalan kaki agak susah untuk menaiki anak

tangga JPO, dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam menggunakan JPO,

sehingga pejalan kaki lebih memilih menyeberang melewati pembatas jalan

yang telah dirusak dan dibuka ketimbang melewati JPO.19

Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung tidak memberikan

penjelasan yang rinci mengenai kendala pejalan kaki tidak menggunakan

jembatan penyeberangan orang. Menurut Kepala Dinas Perhubungan bahwa

masalah ketidakpatuhan pejalan kaki menggunakan sarana penyeberangan

untuk melintasi tempat yang telah ditentukan disebabkan kurangnya minat

dan kesadaran orang yang berjalan kaki untuk memanfaatkan fasilitas JPO

sebagai alat untuk menyeberang. Ketua Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kota Bandung mengemukakan kendala orang yang berjalan kaki tidak

memanfaatkan fasilitas untuk menyeberang orang disebabkan saat ini kondisi

sarana JPO banyak yang sudah rusak dan lapuk. JPO memang tersedia, tetapi

tidak lantas mendukung orang untuk melintas di area JPO.

19
Suhaimi S, loc.cit.

15
Di samping itu, lampu penerangan JPO masih kurang untuk pengguna

JPO pada malam hari.20 Lepas dari beragam tanggapan responden tersebut,

sebenarnya hal-hal yang mempengaruhi bermanfaatnya fasilitas untuk

menyeberang ialah keadaan aman dan reklame. Ketidakamanan penggunaan

JPO disebabkan tidak adanya lampu penerangan dan adanya penutup dinding

berupa reklame pada JPO. Kedua faktor tersebut bisa menimbulkan perkara

kejahatan kriminal pada area sekitar fasilitas untuk menyeberang, antara lain

perbuatan mencopet, perbuatan menodong, perbuatan merampas, dan lain-

lain.21 Ketidaknyamanan pejalan kaki dalam menggunakan jembatan

penyeberangan disebabkan faktor ketinggian anak tangga JPO, banyaknya

jumlah anak tangga JPO, dan bordes JPO yang tersedia relatif sedikit sebagai

tempat istirahat.22 Selain itu, alasan pejalan kaki sehingga tidak menggunakan

jembatan penyeberangan orang karena Pemerintah Kota Bandung belum

melakukan penertiban terhadap orang yang tidak memanfaatkan fasilitas JPO.

Mencermati beberapa kendala tersebut, maka perlu beberapa upaya

agar pejalan kaki menggunakan JPO. Kepala Dinas Perhubungan menjelaskan

beberapa upaya, antara lain Pemerintah Kota Bandung harus secara rutin

melakukan penertiban terhadap pejalan kaki yang tidak menggunakan sarana

JPO karena melewati pagar pembatas jalan. Tindakan pejalan kaki seperti ini

bisa membahayakan keselamatan dirinya dan pengguna jalan yang lain.

Pemerintah harus menyelesaikan problem keselamatan orang yang berjalan


20
Roni Amriel, loc.cit.
21
M. Sahid Indraswara, op.cit., hlm. 85.
22
Muhammad Fathien Azmy dan Triyatni Martosenjoyo, “Pemanfaatan Jembatan Orang Di
Makasar,” dalam Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik (PHPFT), Vol. 5 (Universitas
Hasanudinddin, 2011), hlm. 3.

16
melintasi fasilitas penyeberangan dengan menerapkan berbagai langkah yang

dapat membawa hasil. Pemerintah harus memikirkan dengan sebaik-baiknya

keperluan orang yang memanfaatkan fasilitas penyeberangan. 23 Kepala Dinas

Perhubungan melanjutkan bahwa Pemerintah Kota Bandung perlu melakukan

upaya memasyarakatkan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada setiap

warga negara dan siswa sekolah.

Upaya memasyarakatkan terpusat untuk menjelaskan adanya

kewajiban orang yang berjalan kaki memanfaatkan fasilitas untuk

menyeberang pada tempat yang telah ditentukan dan menjelaskan dampak

negatif bagi orang yang berjalan kaki yang tidak memanfaatkan fasilitas

untuk menyeberang, seperti rumput akan rusak, rawan terjadinya kecelakaan

bagi pejalan kaki yang melintas di jalan raya, dan sebagainya. Upaya

selanjutnya adalah membuat sebuah inovasi pembangunan JPO dengan desain

yang apik dan menarik sehingga masyarakat menjadi tertarik dan antusias

untuk menggunakan sarana JPO sebagai sarana penyeberangan. 24 Ketua

Komisi C DPRD Kota Bandung memberikan tanggapan yang tidak berbeda

dengan pendapat tersebut. Beberapa upaya yang perlu dilakukan agar pejalan

kaki menggunakan jembatan penyeberangan orang, antara lain melakukan

sosialisasi kepada masyarakat mengenai UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

agar tumbuh kesadaran setiap warga negara untuk menggunakan JPO demi

keselamatan orang yang berjalan kaki dan pengguna jalan lainnya, mendesak

23
Ahmad Maghfur, penerj., Keselamatan Pejalan Kaki: Manual Keselamatan Jalan untuk
Pengambil Keputusan dan Praktisi (Global Road Safety Partnership Indonesia, 2015), hlm. 16.
24
Tardi Dwisasti, loc.cit.

17
dinas terkait agar segera memperbaiki sarana JPO yang sudah rusak,

menertibkan iklaniklan yang berada di wailayah JPO, dan memasang lampu-

lampu penerang JPO yang memadai demi terciptanya keamanan dan

kenyamanan bagi pejalan kaki yang menggunakan JPO.25

Beberapa upaya lain yang perlu dilakukan untuk mengatasi kendala

penggunaan sarana JPO ialah fasilitas untuk menyeberang harus dirancang

agar dapat membawa hasil, sehingga perlu pengarahan agar orang berjalan

kaki menyeberang pada fasilitas yang telah dirancang dan tidak melintas

sembarangan. Pada prinsipnya fasilitas untuk menyeberang perlu diisi

tandatanda sebagai penyampai berita, baik perintah, larangan, maupun

petunjuk kepada orang yang melintas di area JPO dan bisa mempengaruhi

pemakai jalan.26 Pada prinsipnya orang yang berjalan kaki memerlukan

fasilitas untuk menyeberang semacam JPO.

Agar orang berjalan kaki terdorong memakai JPO, maka harus ada

jaminan keadaan aman dan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh. Pengadaan

JPO bertujuan untuk memudahkan orang untuk melintas pada tempat

penyeberangan dengan rasa aman.27 Selain itu, pemerintah perlu berperan

untuk merawat fasilitas penyeberangan agar fungsi fasilitas umum tersebut

dapat optimal.28 Selama ini, belum pernah dilakukan evaluasi mengenai

kepatuhan hukum pejalan kaki terhadap penggunaan sarana penyeberangan di

25
Roni Amriel, loc.cit.
26
Lilis Trianingsih dan Retna Hidayah, “Analisis Prilaku Pejalan Kaki Pada Penggunaan Fasilitas
Penyeberangan Di Sepanjang jalan Kawasan Malioboro Yogyakarta,” INERSIA 10, No. 2 (Desember
2014): hlm. 107
27
Edy Supriady Koswara, Roestaman, dan Eko Walujodjati, loc.cit
28
Zayyinul Hayati Zen, Denny Astrie Anggraini, dan Peggy Riski Ananda, op.cit., hlm. 101.

18
Kota Bandung. Pemerintah Kota Bandung perlu mengevaluasi kebijakan

mengenai pemanfaatan sarana penyeberangan yang tersedia. Upaya ini perlu

dilakukan karena beberapa jembatan penyeberangan orang letaknya kurang

strategis bagi pejalan kaki dan tidak sesuai kegunaannya. Keberadaan

beberapa sarana penyeberangan perlu mempertimbangkan segi tata ruang dan

keselamatan pejalan kaki yang memanfaatkan sarana penyeberangan.29

Ketidakpatuhan hukum pejalan kaki terhadap penggunaan sarana

penyeberangan bisa disebabkan oleh aturan yang kurang komprehensif yang

mengatur kewajiban pejalan kaki memanfaatkan sarana penyeberangan dan

ketidakjelasan sanksi terhadap pejalan kaki yang tidak menggunakan sarana

penyeberangan. Oleh karena itu, pihak eksekutif Pemerintah Kota Bandung

bersama legislatif (DPRD Kota Bandung) harus segera menyusun peraturan

dan merumuskan sanksi bagi pejalan kaki yang tidak menggunakan JPO

sebagai sarana penyeberangan. Sanksi ini diharapkan agar orang yang

berjalan kaki bisa memanfaatkan sarana penyeberangan yang tersedia sesuai

dengan fungsinya dan bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Upaya

berikutnya, perlu melakukan sosialisasi terhadap masyarakat kota agar mulai

membiasakan dan membudayakan hidup jalan kaki. Upaya lain, perlu

menganggarkan dana untuk merawat setiap fasilitas bagi pejalan kaki seperti

tempat orang berjalan kaki, tempat penyeberangan, dan zebra cross.

29
Era Elfi andi, “Pelaksanaan Kebijakan Mengenai Fasilitas Pejalan kaki Di Kota Bandung Tahun
2013,” Jom FISIP 2, No. 1 (Februari 2015): hlm. 9.

19
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :

Pemerintah Kota Bandung sudah menyediakan JPO sebagai sarana menyeberang


bagi pejalan kaki, tetapi pejalan kaki belum mematuhi ketentuan UU Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan. Masih banyaknya pejalan kaki yang tidak menggunakan JPO
sebagai sarana penyeberangan disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya
terburu-buru ke tempat tujuan, letak JPO terlalu jauh sehingga terpaksa mencari
jalan pintas, kondisi JPO yang rusak, tidak mengetahui adanya aturan untuk
menggunakan JPO, dan kurangnya kesadaran menggunakan JPO. Kendala terjadi
karena pejalan kaki merasa khawatir menaiki JPO yang terlalu tinggi, pejalan kaki

20
cenderung menerobos pembatas jalan yang telah dirusak, rendahnya kesadaran
hukum untuk memanfaatkan JPO, dan tidak adanya sanksi bagi pejalan kaki yang
tidak menggunakan JPO. Upaya untuk mengatasi kendala, antara lain perlu
penertiban secara rutin terhadap pejalan kaki yang tidak menggunakan JPO,
pemerintah perlu mensosialisasikan aturan agar menggunakan JPO, pemerintah
perlu menjelaskan bahaya bagi pejalan kaki yang menerobos pembatas jalan,
pemerintah perlu mendesain JPO yang apik agar tampak menarik, dan dinas
terkait perlu memasang lampu-lampu di area JPO, memperbaiki JPO yang rusak,
dan menertibkan iklan-iklan di area JPO.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

Achmad Sanusi. 1984. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum
Indonesia. Bandung: Penerbit Tarsito.

Barda Nawawi Arif. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Bemmelen, Van. 1987. Hukum Pidana I. Bandung: Bina Cipta.

Chainur Arrasjid. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Sinar


Grafika.

Herlinsta Asrie Nunggraeni. 2006. Efektifitas Pengguna Jembatan


Penyeberangan Orang (JPO) Dan Variabel-Variabel Yang

21
Mempengaruhi Penyeberang Jalan Dalam Menggunakannya. Skripsi:
Tidak Diterbitkan. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Semarang.

Hilman Hadikusuma. 2005. Bahasa Hukum. Bandung: Alumni.

Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Sinar Grafika.

Kansil. 1984. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Penerbit Balai Pustaka. Lamintang. 1983. Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia. Bandung: Sumur Batu.

Lemek, Jeremias. 2007. Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap


Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta. PT. Galangpress.

Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praklik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar


Grafika.

Moch Anwar. 1989. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II).
Bandung: Alumni. Moeljatno. 2007. KUHP. Jakarta: Bumi Aksara.
Nasution. 2004. Metode Research. Bandung: Penerbit Bumi Aksara.

Niniek Supami. 1996. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan
Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

I Pipin Syaripin. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit Pustaka


Setia.

Purnadi Purbacaraka dkk. 1979. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata


Hukum. Bandung: Penerbit Alumni.

Ruslan Saleh. 1987. Slelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.


Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Penerbit
Angkasa.

Soeijono Soekanto. 1980. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: CV.


Rajawali.

.............................. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum.


Jakarta: CV. Rajawali. 1983.

.............................. Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat. Bandung:


Penerbit Alumni. 1988.

Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. 2006. Pokok-
Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

22
................ 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: PT. Rajawali pers.

Soedjono Dirdjosisworo. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.
Soleman Taneko. 1993. Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Subekti. 2003. Kamus Hukum. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Sudarto. 1981. Kapitas Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni. 1983.


Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.


Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Sudarsono. 2007. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum


Pidana: Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Wirjono Prodjodikoro. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia.


Bandung: PT. Refika Aditama.

B. Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalulintas dan Angkutan


jalan.

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2015 Tentang


Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan.

23

Anda mungkin juga menyukai