Anda di halaman 1dari 19

Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Disabilitas

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Legal Drafting
Dosen Pengampu: Nurbaity Prastyananda Yuwono,S.H.,M.Kn.

Disusun Oleh :
1.Noor Diana Safitri (2020110034)
2. Muhammad Adam Sani (2020110040)
3. Salsa Zulia Rahma (2020110047)
4.Moch Anwar Alfi Alfaida (2020110056)
5. Injela Ummi Kulsum (2020110061)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2021/2022
KATA PENGANTAR

Penyusunan Naskah Akademik tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang


Disabilitas ini bertujuan untuk menyediakan kajian akademik yang logis dan rasional terkait
dengan isu-isu perubahan regulasi tentang penyandang disabilitas. Naskah akademik ini
mengacu kepada data atau regulasi terbaru berkaitan dengan isu disabilitas terutama UU No.4
Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas.
Dengan demikian Naskah Akademik ini disusun dengan memaparkan perspektif
penyandang disabilitas atau difabel sebagai warga negara yang bermartabat, yang memiliki hak
penuh sebagai warga negara dan memiliki identitas yang unik dengan keberagaman
kemampuannya sehingga mereka pantas untuk bersekolah di sekolah reguler bukan hanya
sekolah khusus, dan juga pantas untuk berkontribusi dalam dunia pekerjaan. Naskah akademik
ini juga merupakan proses ilmiah yang menghimpun beragam pemikiran dan perspektif atau
kerangka berpikir tentang disabilitas. Naskah Akademik ini melalui kajian teoritis dan yuridis
juga memaparkan sebuah gambaran pergulatan akademik tentang perspektif disabilitas.

Kudus, 1 Oktober 2022

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Disabilitas merupakan sebuah istilah baru untuk menjelaskan mengenai keadaan seseorang
yang memiliki ketidakmampuan berupa keadaan fisik, mental, kognitif, sensorik, emosional,
perkembangan atau kombinasi dari beberapa keadaan tersebut.Istilah disabilitas saat ini lebih
sering digunakan untuk menggantikan istilah penyandang cacat. Hal ini dikarenakan disabilitas
terkesan lebih halus istilahnya dibandingkan dengan penyandang cacat. Pengertian penyandang
cacat menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat (UU PC) yaitu setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental yang dapat
menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan sesuatu secara
selayaknya.

Berdasarkan data tahun 2019, anak disabilitas usia 2 sampai 17 tahun berdasarkan tempat
tinggal dan jenis kelamin ada dalam angka 0,79%. Sementara persentase anak disabilitas usia 7
sampai 17 tahun berdasarkan partisipasi sekolah mengalami kesulitan untuk bisa bersekolah.
Bahkan ketika ada sekolah khusus pun anak-anak masih memiliki keterbatasan seperti
keterbatasan guru serta sarana dan prasarana. Dalam hal ini penyandang disabilitas mempunyai
hak dalam berpendidikan layaknya seperti orang normal yang mempunyai penddikan
berkualitas. Hal ini diatur berdasarkan UU No 8 Tahun 2016 diantaranya hak untuk
mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus. Hak untuk mempunyai kesamaan kesempatan
sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur,
dan jenjang pendidikan, dan Hak untuk mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta
didik, serta pendidikan untuk penyandang disabilitas berdasarkan UU No 8 Tahun 2016 lainnya
adalah setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu. Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Warga negara yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus dan pendidikan khusus
dapat dilaksanakan melalui lembaga pendidikan khusus (SLB) atau inklusif (terintegrasi ke
dalam lembaga pendidikan reguler),”

B. Identifikasi Masalah
a. Apakah penyandang disabilitas berhak mendapat pendidikan khusus?
b. Bagaimana cara menangani diskriminasi terhadap penyandang disabilitas?

C. Tujuan dan Kenggunaan Penyususnan Naskah Akademik


Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas,tujuan penyusunan
Naskah Akademik adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji dan mengetahui hak-hak bagi penyandang disabilitas khususnya
dalam pendidikan khusus
2. Untuk mengetahui penanganan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas

D. Metode Penyusunan Naskah Akademik

Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif serta library
research dengan mempertimbangan bahwa penekanan penelitian menggunakan kajian
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perlindungan dan Kesejahteraan
Penyandang Disabilitas.
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoretis

1. Perkembangan Cara Pandang Terhadap Penyandang Disabilitas


Disabilitas merupakan konsep yang berkembang, termasuk dalam kaitannya
dengan negara dan regulasi. Perkembangan terbaru dalam memandang disabilitas
adalah perubahan dari cara pandang charity model menjadi social model, yang
kemudian mendasari perkembangan isu disabilitas dalam konteks HAM. Saat ini,
terutama pasca disahkannya CRPD, penyandang disabilitas tidak lagi dipandang
sebagai kelompok yang hanya patut dikasihani, tetapi harus dijamin dan dipenuhi hak-
haknya sebagai seorang manusia.
Dalam perkembangan awal dikenal pendekatan positivisme yang beranggapan
bahwa sesuatu yang normal adalah yang sesuai dengan keadaan kebanyakan orang.
Dengan cara pandang itu menghasilkan konsep sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak
sesuai dengan keadaan kebanyakan orang akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak
normal, yang kemudian menghasilkan berbagai istilah seperti abnormal, cacat, luar
biasa, berkelainan, tidak sempurna, dan lain sebagainya. Konsep itu kemudian
dilekatkan kepada tubuh dan mental manusia, sehingga kemudian muncul sebutan-
sebutan untuk menilai kondisi fisik dan mental seseorang dengan istilah penyandang
cacat atau orang gila.
Cara pandang lain berkembang seiring dengan adanya revolusi industri, dimana
pemikiran kaum kapitalis liberal yang selalu melakukan proses akumulasi modal
dengan menggunakan manusia sebagai sumberdaya (human resource), investasi
(human investment) atau sebagai modal (human capital). Dalam cara pandang itu,
penyandang disabilitas mulai tersingkirkan karena tidak dapat dijadikan sebagai
investasi atau modal untuk mengakumulasikan keuntungan, bahkan dianggap sebagai
beban atau masalah, tidak mempunyai nilai-nilai produktif, efektif, dan efisien yang
merupakan parameter untuk orang-orang yang dapat digolongkan sebagai human
resource, human investment, atau human capital.

B. Kajian terhadap Asas atau Prinsip Rancangan Undang-Undang tentang


Penyandang Disabilitas
Asas-asas yang menjiwai pembentukan Peraturan tentang Disabilitas
meliputi:
1. Asas Tujuan
Menghormati dan melindungi hak-hak kaum disabilitas, dalam
hal ini khususnya hak atas pendidikan dan pekerjaan, sebagai
bagian dari hak asasi manusia agar dapat hidup secara layak dan
kesetaraan sama seperti lainnya.Yang dimaksudkan dalam hal
ini ialah,hak atas pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan
jenjang pendidikan.Dengan itu maka penyandang disabilitas
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
2. Asas Kepastian Hukum
Perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas
berdasarkan peraturanperundang-undangan yang ada, tidak
mendiskriminasi mereka. Termasuk affirmative policy jika
benar-benar dibutuhkanharus, dalam arti mengambil langkah-
langkah yang layak untuk melindungi dan memajukan
perwujudan ini atas dasar.

3. Asas Penghormatan pada Martabat yang Melekat


Kebebasan individual khususnya kebebasan untuk menentukan
pilihan, dan kemandirian orang-orang.Termasuk Penghormatan
atas kapasitas yang berkembang pada penyandang disabilitas
dan penghormatan atas hak anak-anak penyandang disabilitas
untuk melindungi identitas mereka. Termasuk pula Pemerintah
memberikan prioritas dalam perlindungan dan penyelamatan
penyandang disabilitas dalam situasi berisiko, seperti situasi
konflik bersenjata, darurat kemanusiaan,dan bencana alam.

4. Asas Non Diskriminasi


Non-diskriminasi yang juga bermakna kesetaraan
kesempatan.Bahwa penyandang disabilitas mempunyai
kesamaan kesempatan dalam berbagai bidang kehidupan
danpenghidupan.Penyandang disabilitas dimaknai berbeda
kemampuan bukan tidak bisa,sehingga tidak boleh ada
pengkotak-kotakan dalam berbagai aspek kehidupan.
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Permasalahan yang
Dihadapi Masyarakat

Penyandang disabilitas sangat kecil kemungkinannya untuk dapat bekerja di


perusahaan-perusahaan yang ada saat ini. Jika memang ada yang bekerja di sana,
persentasenya demikian kecil. Dengan adanya Undang-Undang ini, diharapkan
kesempatan bagi para penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan akan
lebih terjamin serta penyandang disabilitas diharapkan bisa menempuh
Pendidikan yang lebih layak tidak hanya menempuh Pendidikan yang notabenya
hanya SLB tetapi juga bisa menempuh Pendidikan regular bersama orang-orang
yang tidak disabilitas.

BAB III

EVALUASI ATAS PERATURAN TERKAIT


A. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Secara eksplisit, kita juga memiliki Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang memberikan landasan
hukum secara tegas tentang hak-hak penyandang cacat. Pengakuan
dasar juga terlihat dari konsideran yang menegaskan, secara
nasional menegaskan penyandang cacat merupakan bagian dari
masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak,
kewajiban, dan peran yang sama. Namun demikian, selain proteksi
normative, kita juga berharap ada uraian praktis yang dapat
menjamin proteksi itu dalam cakupan yang lebih dinamis.Tidak
hanya itu, seharusnya istilah yang digunakan tidak menimbulkan
stigma negative.
Di dalam Undang-Undang ini, masih terdapat kekeliruan
pemahaman terhadap penyandang disabilitas, yang dapat menimbulkan
stigma negative dan berpengaruh terhadap ketentuan-ketentuan. Sehingga
tidaklah heran jika penyandang disabilitas selama ini kerap mendapatkan
perlakuan diskriminasi, namun juga kurang affirmative policy jika
memang benar-benar dibutuhkan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa pasal
di bawah ini:
Pasal 1 yang berbunyi:“Penyandang cacat adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya,yang terdiri dari: a. penyandang cacat fisik; b.penyandang
cacat mental; dan c. penyandang cacat fisik dan mental.
Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 1, Pasal 12, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 17, dan Pasal 22 yang memuat ketentuan “pemenuhan hak bagi
penyadang cacat sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya serta
kemampuannya”.
Pasal 1 angka 5 yang berbunyi, “Rehabilitasi adalah proses
refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang
cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.”.kemudian pada Pasal 17 dijelaskan yang
berbunyi, “Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan
mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacat
agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan
bakat, kemampuan, pendidika…
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Karena kecuali jumlah penyandang cacat semakin terus
bertambah, eksistensi mereka membutuhkan perlindungan yang lebih
konkret dan antisipatif. Penyandang cacat memiliki hakhak fundamental
berikut kewajibannya, sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 41 ayat
(2) dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.Fakta yang masih menunjukkan sisi keprihatinan terhadap
nasib dan masa depan mereka. Sosialisasi dan diseminasi terhadap HAM
penyandang cacat merupakan langkah cerdas yang dapat membangun
apresiasi manusia secara universal.Ketentuan dalam Undang-Undang ini
dalam upaya penyandang disabilitas memenuhi haknya, masih dijelaskan
secara abstrak, belum jelas, tidak rinci, juga dicampurkan dengan lainnya
yang seolah tidak mampu memenuhi haknya. Hal ini terlihat pada
beberapa pasal seperti:
Pasal 41 ayat (2) yang berbunyi, ”Setiap penyandang cacat, orang
yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak berhak memperoleh
kemudahan dan perlakuankhusus”.
Pasal 42 yang berbunyi, ”Setiap warga negara yang berusia lanjut,
cacat fisik dan/atau cacat mental berhak memperoleh perawatan,
pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara untuk
menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Pasal 54 yang berbunyi, ”Setiap anak yang cacat fisik dan atau
mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan
khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan
martabat kemanusiaan, meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara”.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 19 berbunyi, “Pelatihankerjabagi tenaga kerja penyandang cacat
dapat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan
kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.”.
Kesalahan yang sama terjadi kembali sama seperti pada Undang-Undang
yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni kalimat “dengan memperhatikan
jenis,derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat
yang bersangkutan”. Tentu saja ketentuan pasal ini berpotensi
menimbulkan diskriminasi bagi penyandang disabilitas dalam memperoleh
hak atas pekerjaan yang layak.Seharusnya melihat dari jenis kemampuan
dan keahlian yang dimiliki oleh penyandang disabilitas yang
bersangkutan, kemudian mendapat kesempatan magang dan pelatihan
khusus. Tidak adanya pasal khusus yang tidak hanya menjelaskan secara
abstrak, namun juga seharusnya menjelaskan apa yang seharusnya
dilakukan, atau juga terkait bagaimana cara memenuhi hak tersebut pada
umumnya.
BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Kebijakan pemerintah untuk menjamin, melindungi, dan mendorong penuhan hak bagi
penyandang disabilitas telah dituangkan dalam Undang-undang No 19 tahun 2011 tentang
CPRD. Kewajiban Negara adalah merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi melalui
penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap negara,
termasuk mengubah peraturan perundang undangan, kebiasaan dan praktik -praktik yang
diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak, menjamin
partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan,
pekerjaan, politik, olah raga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan
komunikasi dalam mewujudkan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas (Undang-undang no
19 tahun 2011). Upaya untuk merealisasikan kesejahteraan penyandang disabilitas tidak bisa
lepas dari peran serta masyarakat.
Kebijakan tentang perlindungan dan pemenuhan Hak untuk penyandang disabilitas yang
diatur dalam undang-undang CPRD
Harus dapat dipastikan terealisasi. Dampak yang diperoleh melalui
implementasi undang-undang CPRD, dapat memberikan pemenuhan hak yang sama sehingga
mampu meningkatkan pendidikan dan menciptakan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas

B. Landasan Sosiologis
Sesuai data Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326
Jiwa Dari angka itu, penduduk yang termasuk dalam kategori penyandang disabilitas berjumlah
10.600.000 jiwa (4,45%). Dari data lainnya, berdasrkan Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun
2012 penyandang disabilitas di Indonesia berjumlah 6.047.008 jiwa atau setara 2,54% dari
keseluruhan penduduk Angka itu lebih rendah dari angka perkiraan PBB yang memperkirakan
jumlah Penyandang Disabilitas di setiap negara diprediksi mencapai 15% dari jumlah
penduduknya atau bila Indonesia jumlah penduduknya 237.641.326 jiwa maka menurut
perkiraan PBB jumlah penyandang disabilitas di Indonesia menjadi setara dengan 35
juta jiwa.

Hasil pengamatan dan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penyandang


disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan berada di bawah garis
kemiskinan Hal tersebut diantaranya terjadi karena masih adanya diskriminasi, marginalisasi,
isolasi, dan berbagai perlakuan destruktif lainnya yang disebabkan oleh berbagai hal misalnya,
stigma, stereotype, prejudisme, sikap apriori, sinisme, dan lain-lain serta karena lemahnya
peraturan perundang-undangan. secara faktual sebagian besar Penyandang disabilitas dewasa ini
hidup di bawah tekanan bayang-bayang ketidakpastian. Betapa tidak karena hak Penyandang
disabilitas sebagai warga negara yang merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia
hingga kini tak diberikan, atau setidak-tidaknya dibatasi sampai limit tertentu terutama akses di
bidang pendidikan dan tenaga kerja yang masih sarat dengan isolasi, diskriminasi, dan
ketidakadilan. yang paling parah lagi karena dewasa ini ada kecenderungan segelintir orang
memandang dan menilai kondisi Penyandang disabilitas identik dengan “tidak sehat Jasmani dan
Rohani” . Sehingga dengan alasan ini Penyandang disabilitas tidak memenuhi kualifikasi untuk
menggeluti dunia formal. singkatnya orang begitu mudah menjustifikasi terhadap penyandang
disabilitas.
C. Landasan Yuridis

Upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas


dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, yang
kemudian dilanjutkan dengan penerbitan peraturan pelaksana yakni Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat. Kedua Peraturan
perundang-undangan itu merupakan peraturan perundangundangan pokok tentang penyandang
disabilitas, dan dalam realitasnya sering dijadikan rujukan dalam penyusunan kebijakan dan
program yang berkaitan dengan penyandang disabilitas.

Undang-Undang Penyandang Cacat disusun dan diterbitkan pada saat minimnya referensi
tentang perlindungan hak penyandang disabilitas, baik secara nasional, regional maupun global,
sehingga secara substansi materi muatan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997 cenderung dihasilkan dari pemahaman tentang penyandang disabilitas yang terbatas.
Oleh karenanya, undang – undang ini tidak mampu untuk memberikan perlindungan secara
maksimal atas hak-hak penyandang disabilitas.

Hal ini terlihat dari beberapa kenyataan, di antaranya:

UU No.4 Thn 1997 adalah bahwa penyusun UU No.4 Thn 1997 memandang para
penyandang disabilitas bukanlah sebagai subjek manusia yang utuh akan tetapi memposisikan
mereka sebagai sebuah objek yang memiliki kekurangan, atau kelainan baik secara fisik dan
mental, yang menyebabkan penyandang disabilitas dipandang tidak dapat melakukan aktifitas
atau kegiatan secara layak. Disabilitas yang disandang seseorang dipandang menjadi penghambat
sehingga penanganan yang dilakukan hanya bertumpu pada usaha penyempurnaan kembali
dengan kata lain membutuhkan proses rehabilitasi. Pandangan terhadap penyandang disabilitas
yang bersifat charity base ini terlihat dari materi Undag-Undang Nomor 4 Tahun 1997 yang lebih
menitikberatkan kepada upaya-upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hak
penyandang disabilitas pada upaya rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial.Pengaturan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 seharusnya tidak hanya
bersifat sosial saja, tetapi sebaiknya harus mencakup perlindungan yang berkaitan dengan
keseluruhan hak penyandang disabilitas, sama seperti warga non penyandang disabilitas lainnya.
Kebijakan mengenai penyandang disabilitas seharusnya tidak hanya terfokus pada Kementerian
Sosial dan Dinas Sosial saja, akan tetapi seharusnya melibatkan dan terdapat di semua sektor
secara komprehensif dan terkoordinasi.

Adapun Pemenuhan hak penyandang disabilitas seharusnya terdapat di setiap sektor


karena Penyandang disabilitas ada di setiap level dan aspek kehidupan manusia.Selain
kelemahan yang terkandung dalam materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, setelah 14
tahun penerbitan undang–undang tentang penyandang cacat tersebut, Indonesia telah pula
menetapkan berbagai regulasi yang berkaitan dengan pemenuhan dan perlindungan hak
penyandang disabilitas yang pengaturannya dapat melengkapi dan menyempurnakan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997, di antaranya perubahan UUD 1945, pengesahan berbagai
konvensi internasional, kesepekatan negara–negara Regional, dan berbagai peraturan
perundangundangan sektoral berkaitan dengan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas .
Beberapa pasal dalam perubahan UUD 45, yakni Pasal 28H ayat (2) menyatakan : ”Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, sedangkan Pasal 28I ayat 2 menyatakan :“
Setiap orang berhak bebas daari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”

Ada berbagai peraturan yang dapat dipergunakan sebagai dasar secara yuridis untuk
melakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat yaitu :

A. Peraturan Perundangan- undangan secara hierarki :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, 28 A-H, Pasal 29 ayat (2), Pasal
33, dan Pasal 34, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.


7. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan


RUU Penyandang Disabilitas diusulkan untuk menggantikan UU Penyandang Cacat.
Perubahan itu diperlukan karena bukan hanya bentuk evaluasi terhadap keberlakuan dalam 17
tahun keberlakuannya, tetapi pendekatan yang digunakan dalam UU Penyandang Cacat sudah
tidak relevan dengan kondisi masyarakat, baik nasional maupun internasional. Upaya dalam
reformasi hukum yang mengatur tentang disabilitas sebenarnya sudah dimulai dengan
diratifikasinya CRPD dalam bentuk UU, yaitu melalui UU No 19 Tahun 2011. UU itu
merupakan bentuk pengakuan bahwa Indonesia secara legal tunduk kepada prinsip-prinsip
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang tercantum dalam
CRPD. Selain itu, Indonesia juga tunduk terhadap kewajiban yang dibebankan kepada negara-
negara yang telah meratifikasi. Walaupun Indonesia sudah memiliki UU ratifikasi CRPD, tetapi
materi muatannya masih sangat umum atau abstrak, bahkan masih dalam tataran prinsip. Dalam
mendukung pelaksanaannya, Indonesia masih memerlukan peraturan lain untuk lebih
menjelaskan dan menerapkan prinsip-prinsip yang ada kedalam urusan-urusan kenegaraan, yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sebagai contoh, dalam
CRPD jelas dinyatakan bahwa setiap orang dilarang bertindak diskriminasi terhadap penyandang
disabilitas. Prinsip itu diakui, tetapi bagaimana agar prinsip itu terlaksana dalam setiap urusan
kenegaraan, dan tindakan apa saja yang dianggap atau termasuk dalam bentuk diskriminasi tentu
perlu ditegaskan kembali. Pentingnya peraturan lain, setelah UU ratifikasi CRPD, akan semakin
memperjelas dan mempertegas apa yang harus dilakukan oleh negara dalam mewujudkan
prinsip-prinsip yang tercantum dalam CRPD. Peraturan yang dimaksud itu harus dalam bentuk
undang-undang, karena apa yang akan diatur masih dalam tataran umum, dan merupakan bentuk
dari pelaksanaan jaminan HAM bagi warga 37 negara. Ketentuan dalam UU baru itu akan
melingkupi berbagai bidang, karena pada dasarnya isu disabilitas berkaitan dengan berbagai
sektor isu, atau biasa dikenal dengan istilah multisektor.

B. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang Ruang Lingkup Rancangan Undang-


Undang tentang Penyandang Disabilitas mencakup: I. Perencanaan, Koordinasi, Monitoring, dan
Evaluasi Nasional Negara menjadi penanggung jawab utama dalam penghormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Peran terbesar dari pelaksanaan tanggung jawab
negara itu diemban oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, akan banyak pihak
yang memiliki tanggung jawab, ataupun kontribusi mandiri dalam upaya melaksanakan
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Pada tingkat
Pemerintah pusat, semua kementerian dan lembaga negara memiliki peran masing-masing. Hal
itu terjadi karena disabilitas adalah isu multisektor. Selain itu, seluruh pemerintah daerah, baik
Provinsi dan Kabupaten/Kota, wajib memiliki peran pada daerahnya masing-masing. Banyaknya
pemegang tanggung jawab dan peran dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas, maka perlu
ada mekanisme perencanaan, koordinasi, monitoring, dan evaluasi yang jelas. Pada praktiknya,
selama ini tidak pernah ada mekanisme koordinasi yang memiliki kekuatan untuk memaksa
setiap lembaga pemerintah memenuhi kewajiban mereka dalam penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak penyandang disabilitas. Pada saat ini, di tingkat pusat tugas koordinasi diberikan
kepada kementerian sosial. Faktanya, kementerian sosial tidak memiliki kekuatan untuk
memaksa kementerian lain menjalankan tugas dalam penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak penyandang disabilitas. Demikian pula di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
dinas sosial. Meski telah ada rencana aksi nasional tentang penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak penyandang disabilitas, namun karena penyusunan dan implementasi rencana
aksi nasional itu dikoordinatori oleh kementerian sosial, rencana aksi nasional tersebut hanya
menjadi agenda di atas kertas. Akibatnya, tak ada perubahan apa pun pada kualitas hidup
penyandang disabilitas di Indonesia. Mencermati situasi tersebut, kedepan perlu ada mekanisme
koordinasi di sektor Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang berada di tingkatan yang
memungkinkan untuk melaksanakan fungsi koordinasi tersebut. Selain itu, fokus perhatian juga
perlu ditujukan kepada tahap perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Dengan begitu,
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia dapat
benar-benar terwujud. Dalam mewujudkan perencanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi
yang baik dalam pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang
disabilitas, ada 3 hal utama yang menjadi kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah, yaitu:

1. Membuat cetak biru dalam perencanaan pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan


pemenuhan hak penyandang disabilitas. Perencanaan tersebut disahkan dengan peraturan
Presiden di tingkat pusat, peraturan gubernur di tingkat propinsi, dan peraturan bupati/wali kota
di tingkat kabupaten/kota

2. Mekanisme koordinasi di tingkat pusat dipimpin oleh Wakil Presiden, di tingkat


propinsi dipimpin oleh Wakil Gubernur dan di tingkat kabupaten/kota dipimpin wakil
bupati/wali kota

3. Melaporkan pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak


penyandang disabilitas kepada masyarakat.

C. Keadilan dan Perlindungan Hukum

Dalam hal penegakan hukum, pada proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai
pada saat menjalankan hukum, terutama penjara, para petugas atau penegak hukum terkait wajib
memberikan akomodasi yang layak kepada penyandang disabilitas. Dalam hal penegakan
hukum, pada proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai pada saat menjalankan
hukum, terutama penjara, para petugas atau penegak hukum terkait wajib memberikan
akomodasi yang layak kepada penyandang disabilitas. Adapun Akomodasi yang layak antara lain
penyediaan penerjemah bahasa isyarat indonesia (bisindo) bagi disabilitas tunarungu, penyediaan
ruang tahanan yang aksesibel, atau fleksibilitas waktu pemeriksaan. Pentingnya ketentuan itu
adalah, meski penyandang disabilitas harus menjalani penahanan dan atau hukuman penjara atau
kurungan akibat tindak pidana yang dilakukannya, negara wajib memastikan kebutuhan khusus
penyandang disabilitas tetap dihormati, dilindungi dan dipenuhi.

Dalam proses pembuktian perkara pidana yang terkait dengan penyandang disabilitas,
alat bukti yang diajukan juga harus mengakomodasikan kebutuhan khusus penyandang
disabilitas. Oleh karenanya, RUU disabilitas ini mewajibkan penegak hukum untuk mengakui
keterangan saksi atau korban yang diperoleh dari indera penciuman, indera pendengaran dan
indera perabaan apabila saksi tersebut adalah penyandang disabilitas. Urgensi ketentuan ini
dilandasi pada fakta bahwa saat penyandang disabilitas harus menjalani proses hukum, baik
sebagai korban, saksi maupun terdakwa, mereka tidak mendapatkan perlindungan lebih yang
diperlukan. Bahkan cenderung banyak dirugikan. Penyandang tunarungu yang hanya bisa
berbicara dalam bahasa isyarat misalnya, kesulitan dalam menyampaikan kesaksian dalam proses
hukum karena para penegak hukum tidak memahami bahasa isyarat, dan tunarungu tersebut
tidak difasilitasi dengan penerjemah bahasa isyarat. Akibatnya, banyak kejahatan yang
korbannya adalah penyandang disabilitas tidak diproses, yang disebabkan karena ketidaktahuan
aparat penegak hukum bagaimana berinteraksi dengan penyandang disabilitas, dan membiarkan
pelakunya tetap bebas di masyarakat. Hal ini berpotensi mendorong pelaku kejahatan tersebut
untuk mengulangi lagi perbuatannya. Oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan
lebih kepada penyandang disabilitas yang menjalani proses hukum salah satunya adalah dalam
lingkup Pendidikan yang dimana notabenya sebagai bentuk Penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak di bidang pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia terlebih lagi,
pandangan yang ada di Pemerintah dan masyarakat hingga kini adalah bahwa penyandang
disabilitas hanya dapat atau lebih baik menempuh pendidikan di sekolah khusus untuk
penyandang disabilitas, atau yang biasa disebut sekolah luar biasa (SLB). Padahal, penyandang
disabilitas yang tidak memiliki hambatan intelektual misalnya, mereka dapat menempuh
pendidikan di sekolah reguler hingga perguruan tinggi, bersama siswa yang tidak menyandang
disabilitas, yang lazim disebut dengan pendidikan inklusif. Saat ini kebijakan tentang pendidikan
inklusif tersebar di beberapa peraturan menteri pendidikan. Namun, dalam pelaksanaannya,
masih jauh dari yang diharapkan. Kementerian yang bertanggungjawab membangun sistem
belum menjalankan tugas dengan baik Program kementerian dikemas dalam bentuk proyek yang
bersifat pragmatis dan tidak berkesinambungan. Hambatan lain salah satunya adalah pelaksanaan
di tingkat pemerintah daerah. Yang dimana hal ini pemerintah daerah belum memahami bahwa
perlu ada peraturan di tingkat daerah yang menjadi payung pelaksanaan pendidikan inklusif bagi
siswa penyandang disabilitas. Jika ada peraturan di tingkat daerah yang memayunginya, berarti
juga akan ada alokasi anggaran yang memadai untuk pelaksanaannya guna dalam menghormati,
melindungi dan memenuhi hak pendidikan bagi penyandang disabilitas.
BAB IV
A. KESIMPULAN

Kebijakan pemerintah untuk menjamin, melindungi, dan mendorong penuhan hak


bagi penyandang disabilitas telah dituangkan dalam Undang-undang No 19 tahun 2011
tentang CPRD, tentu hal ini tidak bisa lepas dari peran masyarakat agar terbentuknya
kesejahteraan dan meningkatnya pendidikan bagi para penyandang disabilitas. Kemudian
kita sebagai masyarakat tidak boleh mendeskriminasi antar sesama, terutama pada
penyandang disabilitas, karena dengan diskriminasi tersebut para penyandang disabilitas
hidup dalam kondisi keterbelakangan atau berada di dalam kemiskinan.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas


dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat, yang kemudian dilanjutkan dengan penerbitan peraturan pelaksana yakni
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan
Penyandang Cacat, namun setelah 17 tahun keberlakuannya, dan dirasa pendekatan yang
digunakan dalam UU Penyandang Cacat sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat,
baik nasional maupun internasional saat ini. Maka RUU Penyandang Disabilitas
diusulkan untuk menggantikan UU Penyandang Cacat.
Reformasi hukum yang mengatur tentang disabilitas sebenarnya sudah dimulai dengan
diratifikasinya CRPD dalam bentuk UU, yaitu melalui UU No 19 Tahun 2011. Kemudian
Ruang Lingkup Rancangan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas yakni
mencakup Perencanaan, Koordinasi, Monitoring, dan Evaluasi Nasional Negara menjadi
Penanggung jawab utama dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak
penyandang disabilitas. Peran terbesar dari pelaksanaan tanggung jawab negara itu
diemban oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.

Dalam Pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang


disabilitas, ada 3 hal utama yang menjadi kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah,
yaitu:

1. Membuat cetak biru dalam perencanaan pelaksanaan penghormatan,


perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Perencanaan
tersebut disahkan dengan peraturan Presiden di tingkat pusat, peraturan
gubernur di tingkat propinsi, dan peraturan bupati/wali kota di tingkat
kabupaten/kota

2. Mekanisme koordinasi di tingkat pusat dipimpin oleh Wakil Presiden, di


tingkat propinsi dipimpin oleh Wakil Gubernur dan di tingkat
kabupaten/kota dipimpin wakil bupati/wali kota

3. Melaporkan pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak


penyandang disabilitas kepada masyarakat.

Kemudian harus diberikannya akomodasi yang layak saat penyandang disabilitas terlibat
dalam hal penegakan hukum misal sebagai saksi atau yang lainnya. Kemudian dengan
adanya RUU disabilitas maka mewajibkan penegak hukum untuk mengakui keterangan
saksi atau korban yang diperoleh dari indera penciuman, indera pendengaran dan indera
perabaan apabila saksi tersebut adalah penyandang disabilitas. Karena bila tidak diakui
maka banyak kejahatan tidak terselesaikan dan semakin banyaknya kejahatan kepada
penyandang disabilitas. Oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan lebih
kepada penyandang disabilitas yang menjalani proses hukum salah satunya adalah dalam
lingkup Pendidikan yang dimana notabenya sebagai bentuk Penghormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak di bidang pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

B. SARAN
Atas beberapa kesimpulan di atas dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut:

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai