Anda di halaman 1dari 6

PROPOSAL TESIS / THESIS PROPOSAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT


DISABILITAS DAN GURU PENDAMPING

( SHADOW TEACHER )

DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 8


TAHUN 2016

NAMA: MUHAMMAD BAGUS ROSI

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pada era globalisasi ini sudah banyak perkembangan dalam dunia pendidikan.
Mulai dari pendidikan regular, pendidikan inklusi, pendidikan segregasi, hingga
pendidikan dirumah atau home scholing .

Pendidikan reguler merupakan pendidikan pada umumnya yang merupakan usaha


sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki
kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.

pendidikan inklusi adalah Pendidikan perkembangan baru dari pendidikan


terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya,
semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai
modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga
pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem
penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah
yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik,
bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan
dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat
saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di
masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya
masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak
sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap,
sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa
diskriminasi

Pendidikan segregasi adalah Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah


dari sistem pendidikan anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan
segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan
pendidikan untuk anak normal. Pendidikan segregasi adalah sekolah yang
memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di
Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau
Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A
(untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak
tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan
lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB,
SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan
yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler,
baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada
sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara
lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan
pergaulan yang terbatas.

Dari perbedaan jenis pendidikan sekolahan di atas, beberapa pihak sekolah


memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk menggalih potensi
bersama anak seumuranya. Atau bahkan lebih tua dari umur yang ditentukan oleh
pemerintahan. Misal rata – rata anak Sekolah menengah pertama ( SMP)
umumnya umur 12 – 13 tahun mulai menginjak kelas 7. Maka anak berkebutuhan
khusus bisa berumur 15 tahun lebih tua.

Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak yang memiliki IQ rendah.


Sehingga anak berkebutuhan khusus ini perlu pendamping untuk menjalankan
aktifitasnya ketika di sekolah.

Anak berkebutuhan khusus umumnya akan menunjukan ciri – ciri atau prilaku
yang tidak wajar. Sehingga mereka rawan mendapatkan bullying dari teman –
temanya. Maka dari itu peran guru pendamping adalah mengingatkan serta
memberikan bimbingan penuh kepada anak berkebutuhan khusus, mulai dari
prilaku, pendidikan dan moral sehingga anak berkebutuhan khusus ini mampu
bersosialisasi dengan teman sebaya maupun masyarakat.

Beberapa anak berkebutuhan khusus yang memiliki kondisi disabilitas mental dan
sensorik masih membahayakan limgkungan. Karena mereka memiliki kebiasaan
buruk seperti memukul, menggigit, mendorong, mengambil barang tanpa izin, dan
lainya. Sehingga mereka benar – benar membutuhkan pendamping selama 24 jam
untuk merubah maupun mengurangi tindakan tersebut.

Pada akhirnya hal – hal yang dilakukan mereka mengakibatkan sejumlah orang
untuk melaporkan perbuatan tersebut kepada pihak yang berwajib. Namun,
polemik ini membuat aparat penegak hukum menjadi bingung. Karena kondisi
pelaku adalah tidak normal dan mereka tidak merasa bahwa yang dilakukan
adalah salah. Maka dikeluarkanlah undang – undang nomor 8 tahun 2016.

Namun, permasalahanya adalah ketika anak berkebutuhan khusus mendapatkan


payung hukum dari pemerrintah. Sehingga proses hukumnya lebih ringan. Maka
berbeda dengan guru pendamping.

Ketika anak berkebutuhan khusus melakukan tindakan fisik, seperti memukul,


menggigit, mencubit, kepada guru pendamping lalu guru pendamping melakukan
perlawanan dengan tujuan menyelamatkan diri. Justru hal ini membuat mereka
terjerumus terhadap tindak pidana. Karena sebagian orang tua atau wali murid
tidak terima ketika anaknya (berkebutuhan khusus) mengalami luka fisik. Padahal
jika ditelaah bahwa orang tua sudah mengetahui kondisi anaknya telah memiliki
kebiasaan menyakiti orang sekitar.

Dari latar belakang ini kami ingin mengulas lebih lanjut mengenai undang –
undang nomor 8 tahun 2016 serta perlindungan hukum terhadap guru pendamping
anak berkebutuhan khusus.

Rumusan Masalah Penelitian

1. Bagaimanakan penerapan undang – undang nomor 8 tahun 2016


dilingkungan sosial...?
2. Apa saja yang bisa meringankan hukuman kepada anak berkebutuhan
khusus menurut undang – undang nomor 8 tahun 2016....?
3. Bagaimana status guru pendamping menurut undang – undang nomor 8
tahun 2016....?
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,


intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu yang lama dalam
berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainya berdasarkan
kesamaan hak.

Penyandang autisme termasuk dalam golongan penyandang disabilitas karena


yang dialami adalah gangguan perkembangan neurobiologis dimanabentuk
gangguan yang muncul terutama adalah gangguan komunikasi dan interaksi serta
perilaku yang mempengaruhi individu tersebut untuk merespon lingkungannya
secara tepat.

Ragam disabilitas

a. Penyandang disabilitas fisik


b. Penyandang disabilitas intelektual
c. Penyandang disabilitas mental dan atau
d. Penyandang disabilitas sensorik

Ragam penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud di ata dapat dialami secara


tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga
medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

Hak atas keadilan dan perlindungan hukum

Pasal 28

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin dan melindungi hak


penyandang disabilitas sebagai subjek hukum untuk meakukan tindakan hukum
yang sama dengan lainya.

Pasal 29
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan bantuan hukum kepada
penyandang disabilitas dalam setiap pemeriksaan pada setiap lembaga penegak
hukum dalam hal keperdataan dan atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang – undangan.

BAB III

Kesimpulan

Seharusnya undang – undang disabilitas yang dibuat pemerintah harus seimbang


karena masyarakat disabilitas di Indoneisa tidak hanya terdiri dari satu jenis Tapi
ada beberapa jenis. Sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda terutama
untuk anak usia dini.

Beberapa orang tua tidak bisa melakukan tindakan lebih untuk melatih anak –
anak mereka yang tergolong disabilitas mental maupun sensorik sehingga
membutuhkan orang yang mempunyai keahlian dibidang tersebut yang dinamakan
guru pendamping.

Anda mungkin juga menyukai