Anda di halaman 1dari 13

Islam Memandang Disabilitas

Ahmad Wajahtera1 Ita Rodiah2


Program Studi Bimbingan Konseling Islam, Islamic Interdisipliner Study, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga

wajahtera12@gmail.com

Abstrak
Islam adalah cabang hukum yang sangat mendetail tentang setiap aspek kehidupan
Muslim. Islam memiliki dampak yang signifikan dalam mendamaikan urusan dunia ini
dengan kehendak Tuhan. Melalui lensa Islam, kajian ini secara khusus berfokus pada
penyandang disabilitas di Indonesia. Kajian ini mendeskripsikan inklusi isu disabilitas dalam
organisasi Islam tradisional Indonesia ini dan membahas Islam dan disabilitas dengan
menggunakan data primer yang dikumpulkan dari dokumen dan observasi. Kajian ini
mengkaji teks Islam dan catatan sejarah untuk menunjukkan bahwa Islam mengangkat harkat
dan martabat penyandang disabilitas dan menjaga posisi terhormat bagi mereka. Kelompok
ini harus diperlakukan seperti pasangan normal lainnya dari perspektif Islam.
Kata Kunci : Islam. Disabilitas.
Pendahuluan
Keberagaman masyarakat Indonesia merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa
sekaligus keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Perbedaan ras, budaya, etnis, warna kulit,
tipe tubuh, kecerdasan, dan ciri-ciri lainnya. Namun, diskriminasi terhadap kelompok
minoritas terkadang dibenarkan oleh perbedaan suku, ras, warna kulit, bentuk fisik,
kecerdasan, dan karakteristik lainnya. Menurut Komnas HAM, minoritas adalah populasi
yang berbeda dari populasi yang lebih besar dalam segala aspek dan memiliki makna leksikal
yang dapat direpresentasikan secara numerik. Namun , minoritas juga dapat dilihat dari segi
dampak yakni fakta bahwa mereka bukan mayoritas dan akibatnya mereka dirugikan dalam
masyarakat dan negara. Dalam hal ini, individu penyandang disabilitas termasuk dalam
definisi kelompok minoritas dalam konteks Indonesia.1
Secara umum, manusia ingin dilahirkan sebagai individu yang sempurna.
Kesempurnaan berarti memiliki bentuk tubuh yang menarik dan dianggap sempurna oleh
masyarakat luas. Namun, bagi penyandang keterbatasan fisik (cacat), situasinya berbeda.
Disabilitas tetap menjadi masalah yang sulit diselesaikan. Masalah disabilitas dapat dilihat
1
Danang Risdiarto (2017), Perlindungan Terhadap Kelompok Minoritas di Indonesia dalam
Mewujudkan Keadilan dan Persamaan dihadapan Hukum, Jurnal Rechtsvinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional, 6(1),125-142
dari dalam dan luar. Dari dalam, masalah muncul dari disfungsi atau kelemahan organ, serta
kesulitan mengarahkan, bergerak, berkomunikasi, dan masalah serupa lainnya. Isu tersebut
bersumber dari kurangnya kesadaran masyarakat akan disabilitas, stigma, isolasi, dan peran
keluarga dan masyarakat yang kurang memadai dalam menangani disabilitas. Mereka
dianggap sebagai kelompok minoritas karena persoalan-persoalan tersebut di atas, dan
akibatnya mereka menghadapi berbagai bentuk diskriminasi.2
Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh kelompok difabel telah menjadi isu global
dan menjadi perhatian dunia seperti kekerasan seksual, tidak mendapatkan pendidikan yang
layak, lowongan kerja bagi penyandang disabilitas masih sangat minim. Menurut data yang
dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO), jumlah penyandang disabilitas di
semua negara cenderung beragama. Menurut World Report on Disability, rata-rata jumlah
penyandang disabilitas di setiap negara mencapai sekitar 15% dari total populasi. 3 Sementara
itu, menurut catatan World Health Organization, jumlah penduduk penyandang disabilitas di
Indonesia hampir 10% dari total penduduk Indonesia, sekitar 20 juta orang, termasuk buta,
bisu, tuli, lumpuh dan lain-lain. jenis orang cacat. Bahkan, angka tersebut kemungkinan akan
terus meningkat karena berbagai kemungkinan, seperti kecelakaan, bencana alam, dan
perang.
Dukungan untuk membahas isu-isu minoritas dalam konteks disabilitas disebabkan oleh
perlakuan tidak manusiawi terhadap kelompok-kelompok yang tergolong rentan terhadap
pelanggaran HAM kelompok tersebut. Kelompok minoritas sering diartikan sebagai
kelompok yang lebih kecil dari kelompok lain dan disebut sebagai kelompok mayoritas.4
Padahal dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016, tidak akan ada yang
kurang menghargai dan bersikap mengenai penghormatan dan penghormatan atau
penerimaan terhadap kehadiran penyandang disabilitas dengan segala hak yang melekat.5
Pada saat ini kenyataan muncul bukan dengan alasan. Merupakan tanggung jawab
masing-masing individu untuk menjamin keamanan zat tersebut. Alia Harumdani Widjaja,

2
Agus Diono (2014), Situasi Penyandang Disabilitas, (Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia) h.20
3
The World Report on Disability (2019), World Health Organization (WHO),.
4
Tio.T.W.,Glinggang.H.P.,Jhon.I.G.S. (2019), Pelayanan Umum Kereta Api di Yogyakarta bagi
Difabel, Inklusi:Journal of Disability Studies, 6(1), 47-70.
5
http://puslit.kemsos.go.id/detail-peraturan/4/undang-undang-republik-indonesia-nomor-8-
tahun-2016-tentang-penyandang-disabilitas, diakses pada tanggal 21 september 2022
Winda Wijayanti, Rizky Syabana Yulistyaputri,6 misalnya, berdasarkan hasil penelitiannya
mengungkapkan bahwa pemenuhan hak difabel di indonesia masih rendahnya penyebab
belum terwujudnya pemenuhan hak kelompok difabel adalah rendahnya komitmen aparatur
pemerintah, termasuk pihak terkait dan masyarakat pada umumnya.Akibatnya, Mansour
Fakih berpendapat perlu adanya diferensiasi pada kelompok hak-hak karena alasan tersebut
signifikan, yaitu cara pandang orang. Perbedaan cara pandang antara normal dan tidak normal
secara fisik dan pembedaan kelompok mayoritas dan minoritas telah membuktikan
kebanyakan tindakan masyarakat diskriminatif. Selain itu, Arif Muhammad7 Ia percaya
bahwa NU dapat menggunakan teori untuk memperbaiki kehidupan umat penyandang
disabilitas di Indonesia dan bahwa ini akan bermanfaat kepada masyarakat umum.
Dalam kehidupan manusia, kehadiran keyakinan menjadi jalan hidup. Agama berperan
baik dalam hal yang signifikan maupun minor. Tujuannya bukan untuk bertindak apriori
terhadap yang lemah, termasuk kelompok minoritas seperti penyandang disabilitas, karena
menghormati harkat dan martabat. amanah tidak memandang kekurangan fisik melainkan
derajat ketakwaan. Kepercayaan mengajarkan manusia untuk mencintai orang lain, tanpa
memandang suku, ras, fisik, atau asal-usul lainnya.8 Agama dengan pendekatan marx
terhadap kelompok minoritas dan mayoritas sebagai fungsi ganda yang memberikan
kompensasi terhadap kelompok minoritas dan paa saat yang sama memberikan legitimasi
terhadap kelompok dominan. Sehingga dalam hal ini menjadi sebuah solusi atas terjadinya
kontradiksi antara keduanya dalam hal memberikan legitimasi dan kompensasi untuk
menyatukan masyarakat yang secara tidak langsung menggambarkan kepentingan kelas yang
berbeda kepercayaan dengan pendekatan marx terhadap gerombolan minoritas dan lebih
banyak didominasi sebagai fungsi ganda yg memberikan kompensasi terhadap kelompok
minoritas dan paa saat yg sama memberikan legitimasi terhadap grup secara umum dikuasai.
sebagai akibatnya pada hal ini sebagai sebuah solusi atas terjadinya kontradiksi antara
keduanya pada hal menyampaikan legitimasi dan kompensasi buat menyatukan warga yg
secara tidak eksklusif menggambarkan kepentingan kelas yg tidak selaras.9

6
Alia Harumdani Widjaja, Winda Wijayanti, Rizky Syabana Yulistyaputri “Perlindungan Hak
Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi Kemanusiaan” Jurnal
Konstitusi, Volume 17, Nomor 1, Maret 2020
7
Arif Maftuhin (2021), Nahdlatul Ulama dan Pemajuan Hak Penyandang Disabilitas, Jurnal Islam
Indonesia, Volume 15, Nomor 02.
8
Muhammad Hidayat Noor (2016), Agama dan Pemberdayaan Difabel, Jurnal Inklusi, 12(1), 1-21
9
Gunawan (2020), Sosiologi Agama:Memahami Teori dan Pendekatan (Banda Aceh: Ar-Raniry Press),
h.41
Peneliti menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dari data tersebut di atas dalam
studi literatur. Studi literatur untuk mempelajari bagaimana Islam memandang disabilitas.
Studi literatur membutuhkan banyak bacaan, baik berupa teks (teori) maupun hasil penelitian
orang lain. , seperti majalah, jurnal, dan lain sebagainya, karena tujuan penelitian ini adalah
dukungan teoritis terhadap topik yang dipilih peneliti. Penelitian ini menjelaskan bagaimana
Islam memandang disabilitas dengan menggunakan data primer yang dikumpulkan dari
dokumen, observasi, dan wawancara. penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif berfokus pada penyediaan penjelasan sistematis tentang
informasi yang diperoleh dari tinjauan literatur.10
Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, keyakinan tidak hanya harus dipahami
sebagai sistem moral dan dogma; melainkan harus dipandang sebagai fenomena kehidupan
karena pada intinya kepercayaan sebenarnya memupuk nilai-nilai sosial dalam diri manusia
bukan sekedar nilai-nilai yang ditujukan kepada individu. Dengan demikian, kontribusi
konkrit agama dalam pembentukan sistem merupakan salah satu faktor penting dalam
pembentukan nilai-nilai budaya. sikap saling menghargai yang dapat menjadi tata cara sosial
bagi masyarakat.
Pembahasan
Islam dan Disabilitas
perlu dijelaskan bagaimana kajian Islam dan disabilitas berkembang saat ini dan
bagaimana sikap Muslim terhadap disabilitas. Tidak seperti sepuluh tahun lalu, kajian Islam
dan disabilitas saat ini mengalami kemajuan pesat. Dua karya terpenting yang digagas di
lapangan adalah karya Rispler-Chaim dan Ghaly. Rispler-Chaim memfokuskan penelitiannya
pada fiqh klasik untuk mengetahui sikap Islam terhadap disabilitas. Ia menyimpulkan bahwa
Islam netral terhadap disabilitas.11 Kajian Rispler-Chaim merupakan lanjutan dari artikelnya
yang telah diterbitkan sebelumnya tentang perkawinan penyandang disabilitas mental dalam
hukum Islam.12
Sementara itu, buku Ghaly menawarkan gambaran disabilitas dari perspektif hukum
dan teologi Islam.13 Ia menyelidiki bagaimana para sarjana Muslim awal dan modern
mencoba memahami penyandang disabilitas, di satu sisi, dan konsep Tuhan yang berbelas

10
Suharsimi Arikuntoro, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta : Rieneka Cipta, 2006),
11
Vardit Rispler-Chaim, Disabilitas dalam Hukum Islam (Dordrecht: Springer, 2007).
12
Vardit Rispler-Chaim (1996), Hukum Islam Perkawinan dan Perceraian dan Penyandang Cacat:
Kasus Istri Epilepsi, WDI Die Welt des Islams 36, 1: hlm. 90–106
13
Mohammed Ghaly (2010), Islam dan Disabilitas: Perspektif dalam Teologi dan Fiqih (London; New
York: Routledge,.
kasih, di sisi lain. Seperti kedua penulis tersebut, sebagian besar penelitian disabilitas
sebelumnya terutama menyelidiki informasi dari teks-teks Islam klasik, khususnya buku-
buku hukum Islam (Fiqh). Bahkan pembahasan tentang perlakuan terhadap penyandang
disabilitas didasarkan pada apa yang dikatakan teks Islam.14 Kabar baiknya, perkembangan
saat ini tampaknya lebih beragam dari sekadar penelitian teks-teks agama. Ketika kajian
Islam dan disabilitas mulai muncul pada 2011,15 semangat untuk meneliti disabilitas
menemukan berbagai bidangnya. Buku Islam dan Disabilitas mencatat perkembangan ini
dengan baik dalam kompilasi sembilan artikel tentang Islam dan Disabilitas.
Penelitian yang dilakukan Arif Maftuhin tentang aksesibilitas masjid-masjid di
Yogyakarta16 Penelitian tentang Islam dan disabilitas jarang mencakup Islam yang lebih
praktis dan 'hidup'. Menurut saya, inilah yang membedakan studi Islam dan studi disabilitas
dalam sepuluh tahun terakhir. Penelitian Keumala mencoba melihat bagaimana masjid yang
aksesibel meningkatkan kemandirian penyandang disabilitas.17 Dalam genre ini, dua
penelitian lainnya adalah Mustaruddin dan Siddiq. penelitian tentang Islam dan Tunarungu.
Mustaruddin mengevaluasi layanan bahasa isyarat saat khutbah Jum'at di Masjid UIN Sunan
Kalijaga.18 Siddicq membahas bagaimana penggunaan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo)
membantu Tuna Rungu belajar sholat wajib setiap hari.19 Tentu saja cakupan yang luas ini
tidak menghentikan kontribusi studi tekstual, seperti Tafsir dan Hadis, dalam studi disabilitas.
Disabilitas dalam hukum Islam
Sementara Munas tidak memuat secara rinci masalah disabilitas dalam Islam, buku
Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas melakukannya.20 Dalam buku yang diterbitkan,
fatwa Munas diperluas untuk mencakup konteks masalah disabilitas di Indonesia dan Islam,
versi panjang dari pandangan tentang Islam dan disabilitas, dan pembahasan ekstensif tentang
disabilitas dalam hukum Islam. Dalam menjelaskan konteksnya, buku ini memberikan
pengenalan yang sangat baik kepada pembaca Indonesia yang tidak akrab dengan isu-isu

14
Mohammed M. Ghaly (2008), Perawatan Fisik dan Spiritual Disabilitas dalam Islam: Perspektif
Ahli Hukum Awal dan Modern, Jurnal Agama, Disabilitas & Kesehatan 12, 2: hlm. 105–43.
15
Arif Maftuhin (2020), Islam Dan Disabilitas: Dari Teks Ke Konteks (Yogyakarta: Gading, p. ix.
16
Previously published in Arif Maftuhin (2014), Aksesibilitas Ibadah bagi Difabel: Studi atas Empat
Masjid di Yogyakarta, INKLUSI 1, 2: pp. 249–68, https://doi.org/10.14421/ijds.010207
17
Previously published in Cut Rezha Nanda Keumala (2016), Pengaruh Konsep Desain Universal
Terhadap Tingkat Kemandirian Difabel: Studi Kasus Masjid UIN Sunan Kalijaga dan Masjid Universitas
Gadjah Mada, INKLUSI Journal of Disability Studies 3, 1: pp. 19–40, https://doi.org/10.14421/ijds.030102.
18
Previously published in Mustaruddin (2017), Efektivitas Juru Bahasa Isyarat Khutbah di Masjid UIN
Sunan Kalijaga, INKLUSI Journal of Disability Studies 4, 2: pp. 271– 96, https://doi.org/10.14421/ijds.040206.
19
Previously published in Achmad Siddiq (2017), Peningkatan Ibadah Mahasiswa Tuli dengan Praktik
Salat Bisindo, INKLUSI Journal of Disability Studies 4, 2: pp. 153–72, https://doi.org/10.14421/ijds.040201.
20
Ma„afi (2017), Hasil-Hasil Munas Alim Ulama Konbes NU, p. hlm 114.
disabilitas. Sebaliknya, pandangan tentang Islam dan disabilitas mempertahankan gagasan
yang dijelaskan pada bagian sebelumnya tentang fatwa Munas.
Dalam lembaga yang kurang ideologis seperti NU dan organisasi yang dikenal dengan
wasatiyyah', mengambil posisi tengah, mencampurkan berbagai model menjadi satu tampak
wajar. Selama pembahasan Bahtsul Masail, pendekatan penggabungan ini dicapai bahkan
tanpa mempertimbangkan model. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Kiai Muhajir
mengusulkan definisi 'cacat' dengan tiga unsur: orang, defisit, dan hambatan di sekitar orang
tersebut (lingkungan penyandang cacat). Definisi tersebut tidak mengacu pada model
disabilitas tetapi sangat mirip dengan mereka. model sosial disabilitas yang memberikan
alasan kuat untuk berpendapat bahwa pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan
kepada penyandang disabilitas. pengecualian terhadap hukum umum, yang diberikan untuk
mempertahankan hidup atau menghilangkan kesulitan, tetapi itu juga berarti pengecualian
dari hak-haknya sendiri.21
Bagian ini akan fokus pada kontribusi paling signifikan dari buku, atau Masalah
Disabilitas dalam Fiqih. Islam dan Disabilitas, yang bermasalah dalam literatur hukum Islam
adalah bahwa ia terlalu bergantung pada pendekatan rukhsah (konsesi atau dispensasi) untuk
hampir semua masalah yang berkaitan dengan disabilitas. Ketika seorang tunarungu tidak
dapat mendengarkan khutbah jumat, maka ia mendapat rukhsah. Ketika orang buta tidak
mengetahui arah kiblat atau lokasi shalat berjamaah, maka ia mendapat rukhsah. Ketika
pengguna kursi roda tidak memiliki akses ke masjid untuk salat Jumat, ia mendapat rukhsah
lagi, dan seterusnya. pendekatan ini akan memberikan solusi cepat terhadap kewajiban agama
(taklif). Tetapi tidak pernah membahas hak-hak beragama, seperti hak mendengar khutbah,
hak shalat di ruang utama bersama anggota masjid lainnya, hak ikut serta dalam kegiatan
keagamaan secara merata, dan sebagainya.22 Rukshan artinya pengecualian terhadap hukum
umum, yang diberikan untuk mempertahankan hidup atau menghilangkan kesulitan, tetapi itu
juga berarti pengecualian dari hak-haknya sendiri.
Lantas, bagaimana masalah agama bisa diselesaikan dalam Fiqih Penguatan
Penyandang Disabilitas, Buku ini membagi masalah disabilitas dalam hukum Islam menjadi
empat kelompok: 1) masalah ibadah, 2) masalah ekonomi dan sosial, 3) hukum dan
kebijakan, dan 4) masalah pernikahan dan keluarga. Dalam urusan ibadah, pandangan NU

21
Nasir, Sarifah Arafah, and Ahkam Jayadi 2021. "Penerapan hak aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas perspektif hukum positif dan hukum Islam di Kota Makassar." Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Perbandingan Mazhab dan Hukum
22
Maftuhin (2020)., Islam Dan Disabilitas, p. hlm 94.
sangat khas terhadap hukum Islam, yang melihatnya sebagai urusan pribadi antara Allah dan
hamba-Nya. Artinya tidak ada masalah sama sekali karena Allah menurunkan syariat sesuai
dengan prinsip “yassir wa la tu'assir atau mudahkan syariah Aplikasi utamanya adalah
rukhsah bagi orang yang sudah mencapai maksimal. batas jerih payah mereka. Berdasarkan
prinsip ini, 27 masalah fiqih yang dibahas dalam buku ini diselesaikan dengan jawaban yang
berasal dari rukhsah. Selama 27 masalah ini diperhatikan, maka belum ada kontribusi yang
signifikan.
Disabilitas dalam Pandangan Islam
intinya seluruh insan diciptakan sang Allah SWT fii Ahsani taqwim (pada bentuk
sempurna). tetapi Allah Swt membangun insan tidak seragam. manusia lahir membawa
kelebihan serta keterbatasan masing-masing. Secara ruhani-spiritual, kemampuan manusia
jua tidak sinkron. ada hikmah dan misteri dibalik penciptaan manusia yg tidak selaras bentuk
fisiknya, termasuk perbedaan secara intelektual. Penyandang disabilitas dengan sejumlah
keterbatasan pada fisik, mental, dan intelektualnya dalam berinteraksi dengan menggunakan
lingkungan serta masyarakat bisa menemui kendala yang menyulitkan buat berpartisipasi
penuh dan efektif sesuai kecenderungan hak.
Islam itu positif dan eligaliter, serta lebih menitik beratkan pada substansi manusia
daripada pada hal-hal yang belum dewasa dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat materi.
Menurut hal ini, banyak orang memiliki hak dan kewajiban yang sama, baik itu bekerja,
belajar, atau sosial. Aspek ketakwaan dan keimanannya merupakan salah satu yang
bertanggung jawab atas di antara manusia.23
Menurut Vash (Ghally), perlakuan psikologis terhadap penyandang disabilitas tidak
berdampak positif bagi kesejahteraan sosial penyandang disabilitas yang dilayaninya. Vash
mengatakan bahwa orang yang lebih tua dari mereka adalah hukuman dari tuhan atas dosa
karena dia memiliki kemampuan untuk memungkinkan orang cacat mendapatkan apa yang
mereka butuhkan dari mereka.
Selain itu, anggota komunitas disabilitas dan religius, Ghally, mengatakan bahwa
agama masih sering digunakan untuk merawat penyandang disabilitas. Dengan demikian,
permainan ini berpotensi meningkatkan taraf pengetahuan secara signifikan tentang upaya
peningkatan kesejahteraan sosial kelompok penyandang disabilitas.24

23
Akhmad Soleh (2016), Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Terhadap Perguruan Tinggi: Studi
Kasus Empat Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta (Yogyakarta:LKiS Pelangi Aksara), h. 32.
24
Ghally, Islam and Disability (2008): Perspective in Islamic Theology and Jurisprudence, Disertasi,
Belanda: Universitas Leiden, , hlm. 1-2
Islam adalah salah satu agama paling terkenal di dunia. Ini memiliki sejarah panjang
sebagai model keadilan sosial bagi orang-orang dari semua ras. Sebagai hasil dari Islam,
sejumlah besar penyandang disabilitas berada dalam posisi kekuasaan di masyarakat.
Signifikansi dapat dilihat pada abad 16 dan 17 Akibatnya, kekhalifahan Utsmaniyah di Turki
mempelajari bahasa tanda, juga dikenal sebagai "bahasa isyarat", sebagai salah satu bentuk
komunikasi yang paling umum. Perlu mencatat sebagai perbandingan, fakta bahwa pada hari
khusus ini, para ilmuwan di Eropa masih memperdebatkan bagaimana menentukan bisa atau
tidaknya orang yang “tuli” bisa belajar sesuatu atau berfikir selayaknya makhluk rasional.25
Huruf "abasa" adalah salah satu bagian terpenting dalam sejarah Islam terkait cara
pandang terhadap penyandang disabilitas. Peneliti menjamin bahwa surat Allah itu
merupakan cobaan bagi Nabi Muhammad SAW karena telah menurunkan seorang tokoh
bernama Ibnu Ummi Maktum. Dikisahkan bahwa Nabi berusaha berdakwah kepada
sekelompok pemimpin Quraisy saat itu. Nabi kemudian dihadang oleh Ibnu Ummi Maktum
yang “menyela” proses dakwah. Karena perbuatan Ibnu Umm Maktum itu, Nabi tampak
marah. Allah juga menegur Nabi setelah beberapa waktu karena diduga "mendiskriminasi"
salah satu hambanya.26
Dalam Islam, menghormati orang cacat berarti menghormati ciptaan Allah. Keberadaan
penyandang disabilitas yang memiliki segala haknya harus dihormati dan dihargai. Artinya
keberadaan penyandang disabilitas sama dengan keberadaan orang lain yang memiliki
karomah insaniyah (martabat kemanusiaan). Allah SWT mengingatkan QS. Dalam surat Al-
Hujarat ayat 11 bahwa suatu ummat atau kelompok tidak mengolok-olok ummat atau
kelompok lain. Melalui ayat ini, Allah juga melarang merendahkan orang lain. Hingga
akhirnya Islam mengajarkan dan menempatkan manusia pada kedudukan yang sangat tinggi
dan menjamin hak manusia untuk dimuliakan dan diutamakan dalam ayat 70 QS.Al-Isra.27
Beberapa Istilah Dan Makna Disabilitas Yang Disebutkan Dalam Al-Qur’an28
a. A’ma (Difabel Netra)
A'ma berarti "menutupi" dan "menutupi" dalam arti yang paling dasar. Kata ini berasal
dari kata Ibrani al-a'ma, yang berarti "buta" atau "bodoh" karena terdengar seperti seseorang

25
Hurisa Guvercin, “People With Disabilities From An Islamic Perspective” diunduh dari
http://www.fountainmagazine.com pada 19 September 2014.
26
Departemen Agama RI (2020) Lihat Q. S. „Abasa: 1-5 Al-Quran al-Karim,
27
Said Aqil Siradj (2019), Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren),
hlm.45
28
Ro‟fah, dkk (2020), Membincang Islam dan Difabiltas dalam Syafrianto Tambunan Agama dan
Kelompok Minoritas: Pendekatan Konseling dalam Kasus Difabel, Al-Irsyad: Jurnal Bimbingan Konseling
Islam, 2(2), hlm 1-18
menutup mata dan tidak bisa melihat. Al-'umayyah berarti sesat karena kebenaran tertutup,
sedangkan al-ummiyah berarti sombong karena tidak sadar akan sifat dirinya sendiri. Dalam
QS. Ar-Rad ayat 16 dan QS. Fathir ayat 19, Al-Qur'an membedakan antara kebutaan dan
bukan kebutaan, bukan dalam arti kebutaan fisik. Oleh karena itu, Al-Qur'an menggunakan
kata a'ma dalam dua cara: Penting (kerugian fisik) dan metafora Orang buta secara kiasan
dikutuk, dan Al-Qur'an sebenarnya memperingatkan kita untuk memperhatikan mereka agar
tidak menyinggung dan mempermalukan mereka. . Selama orang buta itu masih berakhlak
baik, itu tidak memalukan. Bahkan jika mereka memiliki cacat fisik, orang dengan kualitas
moral rendah tetapi cacat moral bahkan lebih rendah dan lebih berbahaya daripada orang
dengan kualitas moral yang baik.29
b. Abkam dan Akhrasa (Difabel Wicara)
Abkam adalah bentuk tunggal dari bukmu, yang berarti "terlahir bisu" atau "tidak dapat
berbicara". Al-Qur'an beberapa kali menggunakan kata ini, antara lain: a) sifat orang yang
mengingkari ayat-ayat Allah. Karena mereka menolak untuk berbagi kebenaran QS.An-Nahl
ayat 76 atau menerima kebenaran QS.Al-An'am, mereka disamakan dengan orang bodoh ayat
39. Mereka juga dianggap paling lemah akhlaknya. Allah karena mereka tidak mengatakan
apapun yang benar. Begitu pula hewan-hewan QS. Al-Anfal (ayat 22) orang-orang yang tidak
beriman dan akan diusir pada hari kiamat. Sebenarnya mereka hendak protes, tetapi
kebodohan mereka menghalangi mereka untuk berbicara dalam QS. Ayat 97 Al-Isra.30
Akhrasa lebih cenderung digunakan untuk menggambarkan seorang anak yang bisu.
Al-Isfahan mengatakan bahwa setiap orang berasal dari akhras, tetapi tidak sebaliknya.
Akibatnya, jika berbicara tentang kecacatan, kata terakhir ini lebih tepat. Akhrasa memiliki
makna simbolis. Meskipun banyak dari kita memiliki mulut, mulut itu sering tidak dapat
berbicara kebenaran atau bersaksi untuk mendukung kebenaran. Karena itu, Ibnu Mandzur
menggunakan ungkapan untuk mendefinisikan kata; Orang yang mampu berbicara tetapi
tidak dapat melakukannya secara efektif karena mereka bodoh, tidak dapat mendukung
jawaban mereka, dan tidak dapat menyelaraskan hati mereka dengan kepemimpinan. Dengan
kata lain, orang yang tidak memiliki moral, etika, dan spiritualitas.31

29
Nur, Muhammad Hafiz 2018. Disabilitas menurut al quran (kajian studi tafsir tematik). Doctoral
dissertation, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan).
30
Nur, Muhammad Hafiz (2018). Disabilitas menurut al quran (kajian studi tafsir tematik) (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan).
31
Riyadi, R., Setyawan, M. A., & Wahidatun, K. W. (2022). Hak dan Kebutuhan Dasar Penyandang
Disabilitas di dalam Al-Quran. Jurnal Studi Quran, 6(2), 162
c. Somam/Asam (Difabel Rungu)
Gangguan pendengaran disebutkan oleh Somam. Kemudian, orang yang tidak
memperhatikan dan menerima kebenaran disebut dengan pengertian ini. Ini digunakan dalam
QS. Al-Baqarah ayat 18 dan Al-Isra ayat 97. Selain itu, kata ini mengacu pada sesuatu tanpa
suara. Selain melibatkan kata Somam untuk alasan ini, itu juga menyiratkan pendengaran
yang terhambat, sehingga Anda sulit mendengar dan tidak dapat mendengar. Al-Qur'an
membandingkan orang-orang yang menolak menerima kebenaran dengan orang-orang yang
mati dari QS. Ar-Rum ayat 52 dan An-Naml ayat 80. Hal ini disebabkan tidak adanya fungsi
pendengaran orang yang mati secara biologis. Selain itu, orang-orang ini disebut jahil oleh
Al-Qur'an QS. Ayat 42 Yunus Oleh karena itu kata ini digunakan untuk orang yang sulit
mendengar dan selanjutnya untuk orang yang tidak mengakui kenyataan yang menghubungi
mereka. Namun, kata ini lebih menyinggung kebutuhan individu untuk mengakui kenyataan,
meskipun telinganya bagus dan sangat dicintai.
d. A’raj (Difabel Daksa)
khususnya A'raj (cacat), yang dalam bahasa berarti "domba jantan". Sebuah "cacat"
yang disebabkan oleh "tangga" yang menopang kaki dikenal sebagai pincang. Ini
menunjukkan bahwa kaki tidak cukup lentur atau kaku untuk menopang tubuh. Akibatnya,
makna ini tampaknya lebih dekat dengan bahaya yang sebenarnya. A'raj, seperti orang buta,
membutuhkan akses yang sama ke sumber daya ekonomi dan rasa hormat. Mereka juga tidak
boleh dihindari, QS. Dalam ayat 61, An-Nur mengkritik kebiasaan di Madinah yang
menolak makan dengan orang buta, sakit parah, dan lumpuh karena mendukung gagasan
bahwa makanan adalah kekayaan, hal yang paling berharga, dan bahwa Allah melarang
memakan makanan orang lain. untuk tujuan buruk.32
e. Sufaha (Difabel Laras atau tuna grahita)
Sufaha adalah bentuk jamak dari kata safaha, yang berarti “ringan dan tidak penting”.
Sufahah juga berarti "laras yang sulit" atau "lambat secara mental." Maknanya kemudian
meluas menjadi bodoh atau jahil, kaya, haus, tidak menentu, dan jelas. Safahah juga merujuk
pada orang yang melanggar martabatnya sendiri atau tidak memiliki moral atau perilaku .
Kata tersebut digunakan dalam berbagai konteks di dalam Al-Qur'an, termasuk: orang yang
membodohi dirinya sendiri; memotong sosok baik dengan menghina agama dengan
membunuh anaknya; ingin mengolok-olok orang lain sebagai orang bodoh; melintasi batas
dan membuat pernyataan yang menipu; dibodohi karena masih muda; alam yang

32
Nur, M. H. (2018). Disabilitas menurut al quran (kajian studi tafsir tematik) (Doctoral dissertation,
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan).
menggairahkan dan menghancurkan; tidak mampu memahami kebijaksanaan di balik
peristiwa; menjadi yatim piatu yang belum mencapai pubertas; dan melanggar aturan.
Karena masuk akal untuk dekat dengan penyandang disabilitas dan menyerupai beberapa
kualitas spiritual, Safih ini memiliki dimensi sosial yang lebih dibandingkan penyandang
disabilitas sebelumnya.33
Kesimpulan
Artikel ini menunjukkan bahwa, dalam pandangan dunia Islam, hak-hak orang cacat,
serta semua hak asasi manusia, harus dilindungi. Islam tidak membedakan antara orang cacat
dan orang yang berbadan sehat; melainkan membagi mereka sesuai dengan aturan keadilan.
Penyandang disabilitas memiliki hak untuk berpartisipasi dalam perang dan berdoa sesuai
dengan kondisi fisiknya, yang tidak mempengaruhi kemampuannya untuk menjadi mulia di
mata Allah. Mewujudkan hak-hak orang penyandang disabilitas adalah tanggung jawab sosial
yang perlu dibagi di semua tingkatan dari keluarga hingga masyarakat dan mereka yang
berada dalam posisi otoritas. Islam bercita-cita untuk mendorong lingkungan yang inklusif di
mana orang yang berbadan sehat dan orang cacat tidak lagi dipisahkan.

Daftar Pustaka
Agus Diono (2014), Situasi Penyandang Disabilitas, (Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia)
Akhmad Soleh (2016), Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Terhadap Perguruan
Tinggi: Studi Kasus Empat Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta (Yogyakarta:LKiS
Pelangi Aksara),
Alia Harumdani Widjaja, Winda Wijayanti, Rizki syabana Yulistya Putri “Perlindungan
Hak Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak
bagi Kemanusiaan” Jurnal Konstitusi, Volume 17, Nomor 1, Maret 2020
Arif Maftuhin (2020), Islam Dan Disabilitas: Dari Teks Ke Konteks (Yogyakarta:
Gading,
Arif Maftuhin (2021), Nahdlatul Ulama dan Pemajuan Hak Penyandang Disabilitas,
Jurnal Islam Indonesia, Volume 15, Nomor 02.
Danang Risdiarto (2017), Perlindungan Terhadap Kelompok Minoritas di Indonesia
dalam Mewujudkan Keadilan dan Persamaan dihadapan Hukum, Jurnal Rechtsvinding:
Media Pembinaan Hukum Nasional, 6(1),125-142

33
Subari, Nurrahmatul Amaliyah 2019. Disabilitas dalam konsep al-Quran. Doctoral dissertation. UIN
Sunan Ampel Surabaya.
Ghally, Islam and Disability (2008): Perspective in Islamic Theology and
Jurisprudence, Disertasi, Belanda: Universitas Leiden,
Gunawan (2020), Sosiologi Agama:Memahami Teori dan Pendekatan (Banda Aceh:
Ar-Raniry Press),
http://puslit.kemsos.go.id/detail-peraturan/4/undang-undang-republik-indonesia-nomor-
8-tahun-2016-tentang-penyandang-disabilitas, diakses pada tanggal 21 september 2022
Hurisa Guvercin, “People With Disabilities From An Islamic Perspective” diunduh dari
http://www.fountainmagazine.com
Leonard Chesiire, Disability “Country Profile” dalam http//www.lcnit.org/ diunduh
Lihat Q. S. „Abasa: 1-5 Al-Quran al-Karim, Departemen Agama RI
Ma„afi, Hasil-Hasil Munas Alim Ulama Konbes NU 2017, p. 114.
Mansour Fakih, „Analisis Kritis Diskriminasi Terhadap Kaum Difabel: Akses Ruang
yang Adil, Meletakkan Dasar Keadilan Bagi Kaum Difabel‟, Makalah disampaikan pada
Diseminasi Nasional Perwujudan Fasilitas Umum yang Aksesibel Bagi Semua, Yogyakarta
27-28 September 1999.
Masjid di Yogyakarta, INKLUSI 1, 2 (2014): pp. 249–68,
https://doi.org/10.14421/ijds.010207
Mohammed Ghaly, Islam dan Disabilitas: Perspektif dalam Teologi dan Fiqih
(London; New York: Routledge, 2010).
Mohammed M. Ghaly (2008):, Perawatan Fisik dan Spiritual Disabilitas dalam Islam:
Perspektif Ahli Hukum Awal dan Modern,ÿ Jurnal Agama, Disabilitas & Kesehatan.
Muhammad Hidayat Noor (2016), Agama dan Pemberdayaan Difabel, Jurnal Inklusi,
12(1), 1-21
Nasir, Sarifah Arafah, and Ahkam Jayadi. "Penerapan hak aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas perspektif hukum positif dan hukum Islam di Kota
Makassar." Shoutuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum (2021).
Nur, Muhammad Hafiz. Disabilitas menurut al quran (kajian studi tafsir tematik). Diss.
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Meddan, 2018.
Nur, Muhammad Hafiz. Disabilitas menurut al quran (kajian studi tafsir tematik). Diss.
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan, 2018.
Previously published in Achmad Siddiq, ÿPeningkatan Ibadah Mahasiswa Tuli dengan
Praktik Salat Bisindo,ÿ INKLUSI Journal of Disability Studies 4, 2 (2017): pp. 153–72,
https://doi.org/10.14421/ijds.040201
Previously published in Arif Maftuhin, Aksesibilitas Ibadah bagi Difabel: Studi atas
Empat Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta (Yogyakarta:LKiS Pelangi Aksara),
Previously published in Cut Rezha Nanda Keumala, Pengaruh Konsep Desain
Universal Terhadap Tingkat Kemandirian Difabel: Studi Kasus Masjid UIN Sunan Kalijaga
dan Masjid Universitas Gadjah Mada,ÿ INKLUSI Journal of Disability Studies 3, 1 (2016):
pp. 1940, https://doi.org/10.14421/ijds.030102.
Previously published in Mustaruddin, Efektivitas Juru Bahasa Isyarat Khutbah di
Masjid UIN Sunan Kalijaga,ÿ INKLUSI Journal of Disability Studies 4, 2 (2017): pp. 271–
96, https://doi.org/10.14421/ijds.040206.
Riyadi, Ridho, M. Adin Setyawan, and Khoirul Wahyu Wahidatun. "Hak dan
Kebutuhan Dasar Penyandang Disabilitas di dalam Al-Quran." Jurnal Studi Quran 6.2
(2022):
Ro‟fah, dkk, Membincang Islam dan Difabiltas dalam Syafrianto Tambunan (2020),
Agama dan Kelompok Minoritas: Pendekatan Konseling dalam Kasus Difabel, Al-Irsyad:
Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 2(2),
Said Aqil Siradj (2019), Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren),
Subari, Nurrahmatul Amaliyah. Disabilitas dalam konsep al-Quran. Doctoral
dissertation. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019.
Suharsimi Arikuntoro, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta :
Rieneka Cipta, 2006),
The World Report on Disability, World Health Organization (WHO), 2019).
Tio.T.W.,Glinggang.H.P.,Jhon.I.G.S.(2019), Pelayanan Umum Kereta Api di
Yogyakarta bagi Difabel, Inklusi:Journal of Disability Studies, 6(1), 47-70.
Vardit Rispler-Chaim, Disabilitas dalam Hukum Islam (Dordrecht: Springer, 2007).
Vardit Rispler-Chaim, Hukum Islam Perkawinan dan Perceraian dan Penyandang
Cacat: Kasus Istri Epilepsi, WDI Die Welt des Islams 36, 1 (1996):

Anda mungkin juga menyukai