Anda di halaman 1dari 9

TUGAS DASAR PROMOSI KESEHATAN

UNIVERSITAS ANDALAS PEDULI DIFABEL DAN DISABILITAS

Dosen Pengampu : Ahmad Hidayat, S.K.M., M.P.H

Oleh :

Kelompok 5

1.

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
Strategi Promosi Kesehatan

Upaya Peduli Disabilitas dan Difabel di Universitas Andalas

A. Membuat program peduli Disabilitas dan Difabel di Universitas Andalas.


Dengan tujuan agar program yang dilaksanakan dapat membuat para
penyandang difabel dan disabilitas merasa nyaman di lingkungan kampus.
Program yang dapat dibuat adalah sebagai berikut.
1. Universitas Andalas memberikan fasilitas yang ramah kepada penyandang
difabel dan disabilitas di semua tempat di kampus. Misalnya, adanya lift di tiap-
tiap Gedung kuliah dan fakultas, memberikan guilding block di jalan-jalan
sekitar kampus untuk membantu mengarahkan pejalan kaki yang memiliki
kebutuhan khusus.
2. Pembentukan UKM Peduli difabel dan disabilitas di kampus untuk
menumbuhkan rasa peduli dan saling menghargai.
3. Melakukan konseling untuk membuat para penyandang difabel dan disabilitas
lebih merasa percaya diri dengan kemampuan yang mereka miliki.
4. Bekerja sama dengan pihak hukum dengan memberikan hukuman kepada orang
yang melakukan deskriminasi terhadap penyandang difabel dan disabilitas.
5. Pihak kampus membuat program kampus “Universitas Andalas peduli
disabilitas” dengan tujuan agar penyandang disabilitas merasa nyaman dan tidak
takut untuk berkarya walaupun dengan keterbatasan yang mereka miliki

B. Mencari donatur untuk membantu terlaksananya program yang dilakukan


oleh kampus terkait peduli terhadap penyandang difabel dan disabilitas
C. Menerapkan Tiga Strategi Promosi Kesehatan, yaitu sebagai berikut.
a) Advocacy
Advokasi diartikan sebagai upaya pendekatan terhadap orang lain yang dianggap
mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program atau kegiatan yang
dilaksanakan . Oleh karena itu yang menjadi sasaran advokasi adalah para
pemimpin atau pengambil kebijakan ( policy makers ) atau pembuat keputusan
(decision makers ) baik di institusi pemerintah maupun swasta .

Tujuan advokasi yaitu :


1. Komitmen politik ( political commicment ) Komitmen para pembuat
keputusan atau penentu kebijakan sangat penting untuk mendukung atau
mengeluarkan peraturan – peraturan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat ,
misalnya untuk pembahasan kenaikan anggaran kesehatan , contoh : konkrit
pencanangan indonesia sehat 2010 oleh presiden . Untuk meningkatkan komitmen
ini sangat dibutuhkan advokasi yang baik .
2. Adanya komitmen politik dari para eksekutif , maka perlu ditindak lanjuti
dengan advokasi lagi agar dikeluarkan kebijakan untuk mendukung program yang
telah memperoleh komitmen politik tersebut . dukungan kebijakan ini dapat berupa
undang – undang , peraturan pemerintah atau peraturan daerah , surat keputusan
pimpinan institusi baik pemerintah maupun suasta .
3. Penerimaan sosial ( socil acceptance ) : penerimaan sosial artinya
diterimanya suatu program oleh masyarakat . Suatu program kesehatan yang telah
memperoleh komitmen dan dukungan kebijakan , maka langkah selanjutnya adalah
mensosialisasikan program tersebut untuk memperoleh dukungan .
4. Dukungan sistem ( sistem suport ) Agar suatu program kesehatan berjalan
baik maka perlunya sistem atau prosedur kerja yang jelas mendukung

Advokasi yang dilakukan mengenai upaya peduli disabilitas dan difabel di


universitas andalas adalah sebagai berikut.
1. Universitas Andalas membuat peraturan mengenai penghormatan, perlindungan,
dan pemberian hak kepada penyandang difabel dan disabilitas.
2. Peningkatan kesehateran penyandang difable dan disabilitas yang dilaksanakan
melalui kesamaan, kesempatan, rehabilitas, bantuan social, dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan social di lingkungan kampus.
3. Pihak kampus bekerja sama dengan pihak hukum dengan memberikan hukuman
kepada orang yang melakukan deskriminasi terhadap penyandang difabel dan
disabilitas.
4. Pihak kampus membuat kebijakan mengenai pemberian perilaku yang sama
kepada penyandang difabel dan disabilitas.
5. Pihak kampus memberikan akomodasi yang layak kepada penyandang difabel
dan disabilitas.
6. Membuat forum untuk penyandang disabilitas dan difabel

b) Social Support
Strategi promosi kesehatan ini merupakan penciptaan situasi sosial yang kondusif
dan mendorong dipraktikkannya suatu perilaku sehat serta penciptaan panutan-
panutan dalam mengadopsi suatu perilaku sehat dan melestarikannya. Adapun
permasalahan kesehatan yang akan diuraikan adalah Menciptakan suasana
lingkungan sosial yang kondusif untuk para penyandang difabel dan disabilitas
khusunya dilingkungan Kampus. Social support dilingkungan kampus hendaknya
dapat menciptakan hubungan yang erat antara pihak kampus dan penyandang
difabel dan disabilitas serta para mahasiswa. Berikut upaya yang dapat dilakukan
untuk membantu para penyandang difabel dan disabilitas :
1. Akses fisik
Dalam buku “Membangun Kampus Inklusif”, dipaparkan contoh bagaimana akses
bangunan dan lingkungan disekitar kampus yang meliputi aspek sarana dan
prasarana fisik, sebagai berikut:
a. Ram (tangga landai)
Ram ini hendaknya disediakan di setiap pintu masuk agar mudah diakses, baik bagi
pengguna kursi roda maupun maupun penyandang disabilitas netra.
b. Lift (Eskalator)
Sarana ini penting untuk disediakan apabila gedung memiliki lebih dari satu lantai.
c. Pintu Otomatis dengan sensor gerakan untuk membuka dan menutup secara
otomatis.
d. Toilet Khusus
Toilet ini memiliki ruang yang lebar agar dapat digunakan oleh pengguna kursi roda
dan memilki kloset duduk yang dilengkapi rail pengaman agar mereka bisa
berpegangan.
e. Ruangan atau Kamar dilengkapi dengan label, nama, atau nomor dalam huruf
Braille.
f. Pembedaan landmark untuk menjadi identitas sebuah gedung atau ruangan.
g. Parkir khusus
h. Keamanan lingkungan, meliputi saluran air atau got yang tertutup dan lantai yang
tidak licin atau basah
2. Akses Nonfisik
Akses Nonfisik dikaitkan dengan bagaimana informasi, komunikasi, dan teknologi
dapat digunakan atau dipahami penyandang disabilitas. Hal ini terkait dengan
bagaimana merespon kebutuhan penyandang difabel dan disabilitas, yakni:
a. Ketika kita ingin menyediakan atau menyebarluaskan informasi, hendaknya kita
berfikir terlebih dahulu apakah informasi yang kita buat dapat dipahami oleh
penyandang difabel dan disabilitas.
b. Untuk dapat membuat informasi yang lebih aksesisbel, penting untuk memodifikasi
bentuk media informasi dalam format tertentu agar dapat diakses oleh penyandang
difabel dan disabilitas.
c. Memberikan layanan komunikasi yang mendukung agar penyandang difabel dan
disabilitas memahami informasi yang ada, misalnya membacakan teks tertentu
untuk tunanetra, menggunakan catatan atau tulisan ketika berkomunikasi dengan
penyandang rungu-wicara, menyediakan alat bantu dengan adaptif dan sebagainya.

Hal yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan bina suasana adalah:


1. Forum komunikasi
2. Dokumen dan data yang up to date (selalu baru)
3. Mengikuti perke angan kebutuhan masyarakat
4. Hubungan yang terbuka, serasi dan dinamis dengan mitra
5. Menumbuhkan kecintaan terhadap kesehatan
6. Memanfaatkan kegiatan dan sumber-sumber dana yang mendukung upaya
pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat
7. Adanya umpan balik dan penghargaan

c) Empowerment
Seiring dengan perkembangan pemahaman tentang disabilitas, terjadi pula perubahan
pendekatan proses pembangunan terkhusus pada penyandang disabilitas. Sekarang tidak
ada lagi penyebutan orang cacat maupun orang tidak normal yang semua bermakna
negatif, namun berubah menjadi difabel yang bermakna orang berkemampuan berbeda
ataupun penyandang disabilitas.

Disabilitas dimaknai sebagai ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan


cara yang atau dalam rentang waktu yang dianggap normal bagi manusia, sebagian
besar sebagai akibat dari adanya gangguan atau penurunan kemampuan (WHO, 2016).
Secara definisi, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak.

Pada banyak negara, termasuk di Indonesia, realita sosial ekonomi penyandang


disabilitas masih belum terpenuhi hak-hak dasarnya. Para penyandang disabilitas masih
termarginalkan bahkan perlakuan diskiminatif masih terjadi meskipun mayoritas
negara, termasuk Indonesia telah
mengakui atas hak-hak dasar penyandang disabilitas.
Anak-anak dengan disabilitas adalah kelompok yang paling rentan. Mereka memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami kekerasan dibandingkan dengan anak-anak non-
disabilitas: 3,7 kali lebih besar untuk berbagai macam bentuk kekerasan, 3,6 kali lebih
besar untuk kekerasan fisik, dan 2,9 kali lebih besar untuk kekerasan seksual. Anak-
anak dengan disabilitas mental atau intelektual ditemukan 4,6 kali lebih besar
kemungkinannya untuk menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan rekan-rekan
mereka tanpa disabilitas (UNICEF, 2016).

Pemenuhan hak penyandang disabilitas di tingkat internasional, nasional, dan daerah


terus diupayakan melalui penerbitan payung hukum. Indonesia telah meratifikasi United
Nation of The Right of Persons With Disabilities (UN-CRPD) yang tertuang dalam UU
Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With
Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Produk hukum ini
memberikan arti penting bagi perlindung-an dan pemenuhan hak penyandang disabilitas
di Indonesia. Ratifikasi akan berimplikasi pada harmonisasi hukum dan perundang-
undangan di berbagai lintas sektor baik di tingkat nasional maupun daerah. Salah satu
tindaklanjutnya adalah disahkannya UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas dan pada beberapa daerah juga telah memiliki peraturan daerah terkait
dengan upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Masalah
klasik selalu membayang, meskipun sudah ada peraturan perundang-undangan yang
memadai, masih menyisakan tantangan bagaimana mengimplementasikannya.

Pendekatan pemberdayaan menjadi penting untuk akselerasi pemenuhan hak-hak


penyandang disabilitas. Model karitatif yang selama ini dominan dalam “menyapa”
penyandang disabilitas perlu digeser dengan pendekatan pemberdayaan yang sesuai
dengan potensi seiring dengan perubahan lingkungan makro yang berubah. Ada
beberapa hal yang perlu diupayakan sebagai bagian dari strategi pemberdayaan
penyandang disabilitas.

Pertama, membangun kesadaran akan kondisi obyektif, permasalahan, dan potensi pada
penyandang disabilitas. Proses analisis kebutuhan menjadi langkah dasar dalam
pemberdayaan sehing-ga program pemberdayaan menjawab riil kebutuhan penyandang
disabilitas, bukan keinginan ataupun usulan normatif dari pihak di luar penyandang
disabilitas. Salah satu sumber kegagalan pemberdayaan pada penyandang disabilitas
adalah pengabaian dan ketidakseriusan pada proses analisis kebutuhan yang seharusnya
dilakukan secara partisipatif.

Kedua, aktor atau penggerak pemberdayaan bertumpu pada penyandang disabilitas


yang bersinergi dengan stakeholders atau pemangku kepentingan lain khususnya
organisasi kemasyarakatan/individu yang konsen pada pemberdayaan komunitas rentan
termasuk penyandang disabilitas; pemerintah/pemerintah daerah lintas sektor; lembaga
pendidikan tinggi/akademisi; media massa termasuk komunitas media sosial; pelaku
usaha swasta maupun BUMN; dan lembaga amil zakat infak shodaqoh wakaf, termasuk
lembaga donor. Pelaksana program tetap berperan aktif sebagai fasilitator. Pendekatan
kemitraan akan lebih efektif memastikan ketersediaan sumberdaya pemberdayaan baik
yang bersifat materi maupun non materi sehingga sumberdaya tersebut terkelola dengan
baik yang berimplikasi pada efektivitas pemberdayaan pada penyandang disabilitas.

Ketiga, mendorong penciptaan lingkungan makro yang memberi peluang luas agar
terbangun keberdayaan penyandang disabilitas. Dalam hal ini, program yang bersifat
advokasi kebijakan menjadi penting dilakukan, seperti review peraturan perundangan,
termasuk peraturan daerah sehingga semua kebijakan publik memiliki perspektif
disabilitas. Seiring dengan otonomi daerah, perlu semua peraturan daerah berperspektif
disabilitas. Jika daerah belum memiliki payung hukum yang spesifik, maka advokasi
kebijakan menjadi sebuah kebutuhan seperti pembuatan peraturan daerah untuk
perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Apabila payung hukum
sudah ada, perlu review dan advokasi implementasi dari peraturan yang sudah ada.

Keempat, pendekatan kelompok dalam hal pengorganisasian penyandang disabilitas.


Aspek pengorgani-sasian ini menjadi strategis karena membangun kebersamaan,
komunikasi efektif, dan optimalisasi potensi dari penyandang disabilitas. Pendekatan
kelompok lebih ditekankan pada model pengorganisasian dan proses pelaksanaan
kegiatan pemberdayaan. Sementara kegiatan optimalisasi potensi diri dari penyandang
disabilitas dapat dilakukan sesuai dengan potensi masing-masing.

Kelima, proses pemberdayaan penyandang disabilitas yang diawali dengan need


asssessment sebagai bagian dari perencanaan, diikuti pengorganisasian dan pelaksanaan
kegiatan, hal yang wajib dilakukan adalah monitoring dan evaluasi yang didasarkan dari
data riil yang terstruktur (evidence base). Proses monitoring dan evaluasi terkadang
dilakukan hanya formalistik, padahal dari basis data hasil monitoring akan tergambar
perkembangan capaian program, serta teridentifikasi kendala yang dihadapi. Hasil
monitoring menjadi input utama dalam perencanaan tindaklanjut dari kegiatan
sebelumnya.

Lima hal utama tersebut di atas perlu dilakukan dalam pemberdayaan penyandang disabilitas
agar efektif menuju keberdayaan difabel. Strategi pemberdayaan yang menekankan pada
proses partisipatif, dengan model pengorganisasian kelompok, dan tim pelaksana yang
kolaboratif multistakeholders akan lebih efektif untuk pewujudan dan pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas.

d) Kemitraan
Melakukan kerjasama dengan pihak organisasi yang ada di kampus seperti BEM
untuk membantu melakukan program terkait Universitas Andalas Peduli Disabilitas
dan Difabel. Pihak organisasi dapat membantu dengan cara turun langsung ke
lapangan atau dengan menyebarkan informasi di akun-akun social media yang
mereka punya. Dengan demikian, program yang akan dilakukan diharapkan berjalan
dengan lancar.

Anda mungkin juga menyukai