Anda di halaman 1dari 4

Nama : Farizal Firmansyah

NIM : 195120101111049
Mata Kuliah : Kajian Keluarga dan Kerja
Kelas : C-2

VIRUS COVID-19 MENINGKATKAN PERCERAIAN DALAM KELUARGA

Pada hari senin (2/3/2020) yang bertepat di istana kepresidenan Presiden Jokowi
mengumumkan bahwa sudah ada masyarakat Indonesia yang positive COVID-19 atau virus
corona. Setelah lebih dari dua bulan semenjak virus ini menyebar ke berbagai negara
khususnya di Asia. Indonesia akhirnya mengumumkan pasien pertamanya pada hari senin
(2/3/2020). Pasien ini merupakan ibu dan anak yang tertular oleh warga negara Jepang
(Kompas.com, 2020). Dua minggu setelah pengumuman pasien pertama, pemerintah
akhirnya membuat sebuah peraturan untuk mengurangi penyebaran virus corona atau
COVID-19. Peraturan itu disebut social distancing, self-isolation, dan self-quarantine. Inti
dari peraturan ini adalah membatasi aktivitas masyarakat pada ruang publik sehingga
penyebaran virus corona atau covid-19 dapat dikurangi atau dicegah.

Pada perkembanganya peraturan ini direvisi dan diperpanjang oleh pemerintah.


Peraturan yang awalnya hanya berisi untuk melakukan social distancing, self-isolation, dan
self-quarantine peraturan ini berubah menjadi pembatasan sosial bersekala besar (PSBB).
Peraturan-peraturan yang dimakusdkan uuntuk mencegah penyebaran virus COVID-19 tidak
disangka memiliki dampak yang besar pada segala bidang. Bidang yang paling terasa adalah
bidang ekonomi. Sekiranya sudah berbicara bidang ekonomi maka semua bidang lain pun
akan terpengaruh bahkan sampai ke sektor terkecil yaitu sebuah keluarga. Banyak anggota
keluarga yang tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya akibat peraturan pembatasan
sosial bersekala besar (PSBB).

Dampak paling ekstrim virus COVID-19 terhadap keluarga adalah mempengaruhi


tingkat perceraian. Di China sendiri tempat awal virus ini berasal tingkat perceraian sudah
meningkat. Dikutip dari laman HindustanTimes, Senin (30/3/2020) melalui artikel
liputan6.com menurut Lu Shijun, manajer pendaftaran pernikahan di Dazhou, Provinsi
Sichuan di China berpendapat “Bahwa tingkat perceraian di China telah meningkat. Hal ini
disebabkan oleh banyak pasangan di negara tersebut yang menghabiskan terlalu banyak
waktu sendiri akibat isolasi Virus Corona”. Di Indonesia sendiri faktor pasangan terlalu
banyak menghabiskan waktu sendiri juga banyak terjadi namun pada essai kali ini penulis
akan memfokuskan pada faktor ekonomi yang mempengaruhi perceraian di masa pandemi
virus COVID-19.

Secara definisi perceraian merupakan terputusnya sebuah hubungan dalam keluarga.


terputusnya hubungan ini bisa terjadi karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan
untuk hidup sendiri dan meninggalkan kewajibanya sebagai suami dan istri (Lestari, 2016
dalam Noeranisa Gunawan dan Nunung Nurwati, 2019). Maraknya isu perceraian yang
terjadi dapat disebut sebagai kegagalan suami dan istri dalam membina rumah tangga.
Pernikahan dan terbentuknya sebuah keluarga yang seharusnya menjadi sebuah momentum
sakral malah berakir dengan perceraian. Saat ini perceraian merupakan hal biasa dan bukan
lagi menghambat suatu aktivitas, padahal perceraian merupakan kegagalan dalam membina
kerukunan rumah tangga (Darwanti H, 2017 dalam Noeranisa Gunawan dan Nunung
Nurwati, 2019).

Berbeda dengan masyarakat dahulu yang memandang perceraian sebagai sebuah aib.
Masyarakat pada saat ini sudah memandang percerian sebagai hal yang biasa. Perceraian
dipandang sebagai jalan akhir atau solusi terbaik ketika sebuah keluarga mengalami
permasalahan yang sulit. Kegagalan yang terjadi dalam rumah tangga sudah dianggap biasa
oleh masyarakat kebanyakan. Anggapan-anggapan buruk tentang perceraian seiring dengan
perkembangan zaman semakin berkurang. Perceraian sendiri disebabkan oleh banyak faktor
diantaranya makna pernikahan itu sendiri, ekonomi dan ketidak harmonisan dalam rumah
tangga.

Menurut (Wijaya, 2015 dalam Noeranisa Gunawan dan Nunung Nurwati, 2019)
Faktor yang mendominasi sebuah kasus perceraian saat ini adalah faktor ekonomi. Faktor
ekonomi sering sekali menjadi pokok permasalahan yang dihadapi pasangan suami istri masa
kini. Seperti yang sudah disebutkan diatas saat ini dunia sedang terjadi pandemi global terkait
virus COVID-19 yang mengharuskan kita melakukan social distancing, self-isolation, dan
self-quarantine. Untuk mengatasi ini beberapa perusahaan-perusahaan sudah banyak
memberikan kebijakan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Namun tidak
semua orang mempunyai privilege untuk bekerja dari rumah. Para pekerja kasar, buruh
harian, para ojol serta banyak bidang pekerjaan lain tidak bisa dilakukan dari rumah.

Para pekerja ini terpaksa tidak bisa bekerja karena mengikuti aturan pemerintah yang
mengharuskan berdiam diri dirumah. Walaupun beberapa dari mereka tetap memaksakan
untuk bekerja di tengah-tengah pandemi global pendapatan mereka juga sedikit banyak akan
menurun atau bahkan tidak ada sama sekali. Dengan kondisi pendapatan menurun namun
para pekerja ini harus tetap memberikan nafkah kepada keluarganya. Sementara itu
kehidupan harus tetap berjalan seperti biasa dirumah. Kewajiban Sang ayah dalam memenuhi
nafkah keluarga tidak hilang, sang ibu harus tetap mengurus keadaan rumah tangga, sang
anak harus tetap belajar meskipun dari rumah.

Jika dikaitkan dengan prespectif sosiologi, maka hal ini dapat dikaji melalui teori
struktual fungsional dan teori konflik. Singkatnya struktual fungsional memandang bahwa
setiap anggota keluarga saling berhubungan dan memiliki peran masing-masing. Posisi dan
peran setiap anggota keluarga sendiri sudah disebutkan pada paragraf sebelumnya. Jika salah
satu anggota keluarga tidak melaksanakan peran tersebut maka akan terjadi ketidak
seimbangan dalam sebuah keluarga. Pada saat sudah mencapai kondisi kegoncangan di
dalamnya, hal ini bisa dimaknai sebagai sebuah konflik. Ralp Dahrendorf meyebutkan bahwa
konflik memimpin kea rah perubahann pembangunan yang ditandai oleh pertentangan yang
terus menerus diantara unsur-unsurnya (Darwanti H, 2017).

Perceraian yang diakibatkan oleh faktor ekonomi yang diakibatkan pandemi COVID-
19 memang benar adanya. Banyak masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah
tangganya dikarenakan sulitnya untuk mendapat penghasilan. Menurut Hakim sekaligus
Humas Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur, H Asep kepada detik.com, Senin (20/4/2020)
menyebutkan bahwa “Corona ini berdampak pada ekonomi, baik untuk buruh ataupun pelaku
usaha. Berdasarkan itu pun kemungkinan nantinya ada dampak ke perceraian, terlebih
perceraian memang banyak diakibatkan masalah ekonomi". Virus corona atau COVID-19
ternyata memiliki dampak yang begitu luas pada manusia. Virus ini tidak hanya menggangu
keadaan kesehatan, pikiran, atau pemerintah. Virus ini mempunyai dampak yang tidak
terpikrikan sebelumnya. Salah satu dampak itu adalah tingkat perceraian yang meningkat
dimasa-masa seperti ini.
DAFTAR PUSTAKA

Berty, Teddy. 2020. “Tingkat Perceraian Meningkat Di China Akibat Corona COVID-19 -
Global Liputan6.Com.” Liputan6.Com. Retrieved May 7, 2020
(https://www.liputan6.com/global/read/4214568/tingkat-perceraian-meningkat-di-china-
akibat-corona-covid-19).
Gunawan, Noeranisa Adhadianty and Nunung Nurwati. 2019. “PERSEPSI MASYARAKAT
PADA PERCERAIAN Society Perception Of Divorce.” Share : Social Work Journal
9(1):20.
H, Darmawati. 2017. “Perceraian Dalam Perspektif Sosiologi.” Sulesna 11(1):64–78.
Ihsanuddin. 2020. “Fakta Lengkap Kasus Pertama Virus Corona Di Indonesia Halaman All -
Kompas.Com.” Kompas.Com. Retrieved May 5, 2020
(https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta-lengkap-kasus-pertama-
virus-corona-di-indonesia?page=all).
Selamet, Ismet. 2020. “Pandemi Corona Ganggu Ekonomi, Perceraian Di Cianjur Berpotensi
Meningkat.” Detik.Com. Retrieved May 7, 2020 (https://news.detik.com/berita-jawa-
barat/d-4984379/pandemi-corona-ganggu-ekonomi-perceraian-di-cianjur-berpotensi-
meningkat).

Anda mungkin juga menyukai