Difabel adalah sebutan untuk penyandang cacat, orang berkebutuhan khusus, dan
penyandang ketunaan. Dalam percapakapan sosial masyarakat kerap muncul panggilan yang
tidak menyenangkan, yaitu kata budheg (orang dengan gangguan pendengaran), gagu (orang
dengan gangguan bicara), pengkor (kelainan bentuk kaki), Cah Nyeng (orang dengan gangguan
mental), dan beberapa sebutan yang lain.
Sebutan lain yang saat ini cukup populer ialah difabel dan penyandang disabilitas. Difabel
merupakan singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people,
yaitu orang-orang yang dikatagori memiliki kemampuan berbeda dengan manusia pada
umumnya. Istilah lainnya ialah differently able, yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda.
Sedangkan secara terminologi, difabel adalah setiap orang yang mengalami hambatan dalam
aktifitas keseharian maupun partisipasinya dalam masyarakat karena desain sarana prasarana
publik yang tidak universal dan lingkungan sosial yang masih hidup dengan ideologi
kenormalan.
Dari sekian sebutan di atas, difabel dianggap sebagai panggilan yang lebih nyaman, sopan, dan
umum dalam percapakan komunitas. Sebutan difabel dinilai sejalan dengan ideologi yang
memanusiakan, yaitu memberlakukan difabel sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia
yang notabene merupakan bagian dari keragaman umat manusia.
Panggilan difabel tidak lepas dari tokoh bernama Mansour Fakih. Menurutnya, keberadaan
difabel tidak lepas dari konstruksi sosial yang sangat destruktif. Konstruksi sosial melekatkan
difabel dengan sebutan normal atau cacat. Istilah cacat memiliki makna ideologis yang berarti
ketidakmampuan (disabilities), invalid dalam arti tidak normal, atau istilah yang menghadirkan
cara pandang bahwa difabel tidak menjadi manusia seutuhnya, dan atau tidak sepenuhnya.
Hak Penyandang Disabilitas
Ragam dari penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas, yaitu.
1. Penyandang disabilitas fisik, adalah adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi,
lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang
kecil.
2. Penyandang disabilitas interlektual adalah adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat
kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome.
3. Penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara
lain: a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan
kepribadian; b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di
antaranya autis dan hiperakti
4. Penyandang disabilitas sensorik adalah adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca
indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.
Terdapat delapan prinsip yang menjadi pedoman negara peserta dalam pemenuhan hak
penyandang disabilitas dalam CRPD
1. Penghormatan atas martabat yang melekat, otoritas individual termasuk kebebasan untuk
membuat pilihan sendiri dan kemandirian setiap orang
2. Non diskriminasi
3. Partisipasi penuh dan efektif, serta keterlibatan dalam masyarakat
4. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan bahwa disabilitas adalah bagian dari keragaman
manusia dan kemanusiaan
5. Kesetaraan kesempatan
6. Aksesibilitas
7. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
8. Penghormatan atas perkembangan kapasitas penyandang disabilitas anak dan penghormatan
atas hak penyandang disabilitas anak untuk mempertahankan identitas mereka.
Dapus : 1. Pawestri A. Ham Internasional Dan Ham Nasional. Era Huk. 2017;2(1):164–82.
2. Hasyim Dardiri H.A. Identifikasi Pemenuhan Hak Bagi. Serambi Huk.
2017;10(02):13–31.