Disusun Oleh:
Hafiz Afrizal Efendi
NIM : 8111421237
No. Presensi : 25
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ......................................................................................... 3
BAB II ............................................................................................................ 5
PEMBAHASAN ............................................................................................ 5
PENUTUP .................................................................................................... 12
1
Dietz, P. (2018), “Grooming dan Seduction. Jurnal Of Interpersonal Kekerasan”, Vol.33 (1),
pp.28-36.
2
Dr. H. John Kenedi, SH.,M.Hum, “PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (Studi Perlindungan
Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia)”, PUSTAKA PELAJAR,
Yogyakarta, Maret 2020.
Secara umum, kekerasan seksual terhadap anak merupakan
keterlibatan anak dalam kegiatan seksual sebelum mencapai batas usia yang
ditetapkan oleh hukum negara. Orang dewasa atau anak yang lebih tua dan
dianggap lebih berpengalaman dalam hal seksualitas memanfaatkannya untuk
memenuhi kepuasan seksual atau kegiatan seksual lainnya. Pelecehan
seksual, termasuk perkosaan intrafamilial, merupakan kejahatan serius yang
merugikan anak sebagai korban, karena dapat menyebabkan trauma jangka
panjang. Pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan dan pelanggaran
moral terhadap perempuan yang dapat terjadi di berbagai tempat seperti
jalanan, tempat kerja, rumah, atau tempat lain yang tidak diinginkan. Ketika
tidak ada kontrol sosial atau ketika masyarakat lengah, pelaku penutupan
seringkali memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan tindakan keji
dengan memperkosa anak kandung mereka dengan bebas. Seharusnya, rumah
merupakan tempat yang paling aman bagi anak perempuan, tetapi seringkali
rumah tersebut malah menjadi tempat di mana yang terjadi.3 (Tursilarini,
2016)
3
Tursilarini, T. Y. “Inses: Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga terhadap Anak
Perempuan” . 171, 2016.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kronologi Kasus Pemerkosaaan Anak Perempuan
Terjadi kejadian yang menyedihkan di Pekon, Panggung Rejo,
Kabupaten Sukoharjo, Tanggamus, Lampung, Indonesia. Dalam kejadian ini,
beberapa individu terlibat dalam tindakan yang tidak manusiawi terhadap
korban yang kami sebut sebagai AG (18 tahun), termasuk seorang ayah
berusia 44 tahun dengan inisial JJ, kakak laki-laki berusia 23 tahun dengan
inisial SA, dan adik laki-laki laki-laki berusia 15 tahun dengan inisial YF. AG
adalah anak ketiga dalam keluarga tersebut. Ayah mereka mengakui
melakukan hubungan seksual dengan anaknya sebanyak lima kali, sedangkan
kakak laki-laki mengaku melakukan perbuatan serupa sebanyak 120 kali, dan
adik laki-laki mengaku melakukannya sebanyak 60 kali. Semua kejadian ini
terjadi di tempat tinggal mereka di Pekon Panggung Rejo, Kecamatan
Sukoharjo. Kejadian yang mengerikan ini dipicu oleh kondisi korban yang
mengalami keterbelakangan mental atau cacat, serta keberadaan ibu yang
tidak ada dalam keluarga tersebut. AG juga merupakan seorang anak yatim
piatu, dan perbuatan pelaku ini telah terjadi sejak tahun 2018, di mana
keluarga harus bertindak untuk melindungi korban setelah kehilangan ibunya.
Sayangnya, para pelaku tidak menunjukkan rasa kemanusiaan, sehingga
korban tidak memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri.4 (Amanda,
2019)
Seorang ayah seharusnya menjadi kepala keluarga yang menjaga dan
melindungi anggota keluarganya, terutama anak-anaknya, setelah kehilangan
anggota keluarga yang penting seperti seorang ibu. Namun, dalam situasi ini,
sang ayah justru melakukan perbuatan yang sangat merugikan putri satu-
satunya. Dalam kasus ini, pelaku SA (24) dan adiknya YF (15) mengaku
sering menonton konten dewasa kemudian menyalurkan dorongan
seksualnya kepada korban. Menurut pengakuan adik pelaku, YF (15), bahkan
4
Amanda, Dra. Hj. Hetty Krisnani, M., Si2, “ANALISIS KASUS ANAK PEREMPUAN KORBAN
PEMERKOSAAN INSES”, Jurnal Pekerjaan Sosial, Vol. 2 No: 1, Juli 2019
sempat melakukan persetubuhan dengan ternak milik tetangga. Alasan yang
dikemukakan ayah korban sebagai pelaku adalah karena tidak ada ibu atau
istri yang bisa memenuhi kebutuhannya. Ketiga pelaku yakni ayah kandung
AG berinisial JM (44), kakak berinisial SA (23), dan adik berinisial Y (15),
akan dijerat dengan pasal ancaman hukuman sesuai pasal tersebut. Pasal 81
ayat 3 UU RI No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Mereka
terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun. Kejadian pelecehan seksual
yang menimpa anak perempuan ini menunjukkan betapa korban berada dalam
posisi yang lemah, rentan dan tidak berdaya. Mereka mengalami kekerasan
ganda, karena selain menjadi korban inses, mereka juga mengalami kekerasan
sosial berupa pengucilan dan pengusiran karena stigma yang terjadi di
masyarakat.
Bukti menunjukkan bahwa calon korban tindakan asusila tersebut
umumnya adalah gadis di bawah umur, bukan wanita yang menarik secara
fisik. Oleh karena itu, tuduhan bahwa korban selalu berpenampilan menarik
atau memakai pakaian yang provokatif adalah keliru. Korban inses adalah
anak perempuan, bahkan terkadang balita, yang jauh dari kata objek seksual.
Anak korban inses umumnya adalah anak kandung yang seharusnya
mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari keluarganya. Namun, pada
kenyataannya mereka adalah korban dari ayah kandung dan saudara kandung
yang bejat. Kasus ini mengungkapkan bahwa secara umum terdapat tiga
lokasi utama dimana perkosaan inses sering terjadi :
1. Perkosaan inses sering kali terjadi di lokasi yang tersembunyi dan
terlindungi dari perhatian publik, terutama di dalam kediaman korban atau
pelaku. Kediaman memiliki tingkat kejadian perkosaan intrafamilial yang
paling tinggi, mencapai 91 persen. Penyebab mengapa kediaman menjadi
tempat yang aman bagi pelaku adalah karena mereka memiliki
pemahaman yang mendalam tentang situasi tersebut, seperti saat anggota
keluarga lain tidak berada di tempat dan keadaan yang tenang.
2. Tempat lain yang sering dipilih untuk perkosaan inses adalah penginapan
seperti hotel atau penginapan. Media melaporkan bahwa sekitar 5 persen
kasus perkosaan terjadi di tempat tersebut, yang menyebabkan korban
mungkin enggan melaporkan kejadian tersebut kepada staf hotel atau
penginapan. Selain itu, tempat ini juga memberikan kesempatan bagi
pelaku untuk menghindari gangguan dari pihak lain, kecuali jika ada
indikasi mencurigakan seperti suara atau teriakan yang dapat menarik
perhatian orang sekitar.
3. Tempat lain yang rentan terhadap perkosaan inses adalah lokasi terbuka,
seperti halaman yang sepi atau lokasi terpencil yang tidak terlihat oleh
banyak orang. Pelaku mungkin memilih lokasi ini karena mereka tidak
memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan tersebut di dalam
kediaman. Meskipun hanya sekitar 2 persen kasus yang terjadi di tempat
terbuka, lokasi tersebut jauh dari perhatian publik. Dalam beberapa kasus
yang dilaporkan oleh Jawa Pos, beberapa pelaku melibatkan pengetahuan
atau bahkan keterlibatan dari istri mereka. Hal ini terjadi karena ibu
korban ketakutan akan diusir dari kediaman bersama anak-anaknya dan
menghadapi kesulitan hidup jika mereka menolak atau melarangnya. Rasa
takut dan perasaan tidak berdaya inilah yang menyebabkan beberapa ibu
korban menyangkal penderitaan yang dialami putri mereka sendiri.
5
Beard, K. S.-D. (2015). Anak dan perilaku seksual remaja memprediksi orientasi seksual
dewasa. Psikologi Meyakinkan, 2 Juli., 1- 52. .
6
Dwi Hapsari Retnaningrum, 2009, “Incest Sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan Terhadap
Perempuan”, Jurnal Hukum Pandecta Fakultas Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang,
Beberapa faktor struktural yang berperan antara lain perubahan budaya
seiring dengan kemajuan teknologi. Perubahan sosial terjadi dengan
cepat seiring dengan perkembangan teknologi. Alat komunikasi seperti
radio, televisi, DVD, handphone, surat kabar dan majalah telah tersebar
di seluruh Indonesia. Bersamaan dengan itu, budaya baru yang tidak
sesuai dengan budaya dan norma setempat juga masuk. Orang dengan
mudah mendapatkan berita kejahatan seks melalui acara televisi, artikel
di surat kabar dan majalah. Mereka juga terpapar informasi dan
pengalaman pornografi melalui berbagai jenis media. Alhasil, tayangan
televisi, DVD, koran atau majalah yang kerap menampilkan aktivitas
seksual dalam hubungan keluarga dan kekerasan bisa menjadi contoh
bagi mereka yang tidak mampu mengendalikan nafsu.
Incest memiliki faktor-faktor lain yang menjadi latar belakang terjadinya,
antara lain:7 (Zalzabella, 2020)
a) Faktor rendahnya pendidikan dan kondisi ekonomi:
Kurangnya pendidikan formal dapat mempengaruhi perilaku
seseorang dan membuatnya rentan terhadap pengaruh negatif.
Seseorang dengan tingkat pendidikan rendah mungkin tidak
menyadari bahwa tindakan sedarah dapat merusak keluarga dan
berdampak buruk pada anak yang menjadi korban. Tingkat
pendidikan yang rendah seringkali terkait dengan kondisi ekonomi
yang kurang baik. Faktor ekonomi juga dapat menjadi penyebab
seseorang melanggar norma hukum. Menurut beberapa ahli,
kemisikinan dapat memicu kejahatan karena dorongan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi yang sulit dipenuhi.
Vol. 9 No. 1
7
Desilasidea Cahya Zalzabella, “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perkosaan Incest”,
Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC), Vol 1. No. 1, Maret 2020
dapat dipisahkan dari lingkungan sosial tempat tinggal seseorang.
Lingkungan sosial memainkan peran penting dalam membentuk
perilaku kriminal seseorang karena sosialisasi individu tidak terlepas
dari pengaruh lingkungan. Faktor tempat tinggal juga dapat
mempengaruhi kejahatan seksual, seperti dalam kasus incest di mana
keterbatasan ruangan seperti satu kamar tidur dapat menyebabkan
anak tidur bersama orang tua.
e) Peran korban:
Peran korban atau sikap korban dapat mempengaruhi seseorang untuk
melakukan kejahatan, termasuk kejahatan seksual. Kadang-kadang
korban sendiri dapat memicu seseorang untuk melakukan tindakan
kejahatan, seperti dalam kasus incest dimana korban mungkin
terjebak dalam pola interaksi yang tidak sehat dengan pelaku dan
kehilangan kemampuan untuk melawan atau melaporkan kejahatan
tersebut.
8
Gonzalez, C. (2017), “Proses dari pelecehan seksual anak pulih saat dewasa dari
pendekatan integratif terapi solusi yang berfokus: studi kasus”. Jurnal Pelecehan Seksual
Anak., 26 (4), 1-21.
tentang pentingnya melindungi anak-anak dan mengenali tanda-tanda
kekerasan seksual, diharapkan masyarakat akan lebih proaktif dalam
melaporkan kasus-kasus yang terjadi.9 (Faturochman, 2002)
Tindakan penindakan melibatkan penggunaan hukum pidana sebagai
langkah terakhir jika sanksi lain dianggap tidak cukup efektif dalam
mengurangi kejahatan tersebut. Sanksi pidana yang dikenakan dapat berupa
hukuman penjara dan denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Pasal-pasal yang mengatur kekerasan seksual
terhadap anak dalam lingkungan keluarga termasuk dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak (UUPA) dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Pentingnya peran aparat penegak
hukum dalam penyembunyian dan penanganan kasus kekerasan seksual
terhadap anak tidak bisa diabaikan. Selain itu, lembaga sosial juga memiliki
peran penting dalam memberikan dukungan dan pemulihan kepada korban
kekerasan seksual. Kerjasama dengan masyarakat, termasuk melibatkan
keluarga dan tetangga korban, dapat membantu dalam mendeteksi kasus-
kasus yang terjadi dan memberikan dukungan kepada korban. Dengan
tindakan yang terintegrasi dan kolaboratif antara aparat penegak hukum,
lembaga sosial, dan masyarakat, diharapkan dapat mengurangi kasus
kekerasan seksual terhadap anak dalam lingkungan keluarga dan melindungi
hak-hak anak yang rentan dalam masyarakat.
9
Ekandari Sulistyaningsih Faturochman, “DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS PERKOSAAN”,
Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kejadian penurunan terhadap anak perempuan di Pekon Panggung
Rejo, Kabupaten Sukoharjo, Tanggamus, Lampung, keadaan yang sangat
memalukan. Dalam kasus ini, seorang ayah (JJ) bersama dua anak laki-
lakinya (SA dan YF) melakukan tindakan keji terhadap korban (AG). Korban,
yang merupakan anak ketiga dalam keluarga, mengalami tindakan yang
melecehkan seksual berulang kali oleh para pelaku di rumah keluarga mereka.
Hal ini dipicu oleh kondisi korban yang mengalami cacat atau
keterbelakangan mental, serta ketiadaan ibu dalam keluarga. Korban adalah
anak yatim piatu dan para pelaku melakukan tindakan ini sejak tahun 2018,
di mana seharusnya keluarga melindungi korban setelah kehilangan ibunya.
Namun para pelaku tidak mempertimbangkan hal ini dan korban tidak
memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri.
Tindakan kejahatan terhadap kesusilaan, terutama yang dilakukan
oleh orang-orang terdekat, dapat menyebabkan dampak trauma yang
mendalam pada korban. Dampaknya meliputi dampak psikologis, dampak
fisik, dan dampak sosial. Korban kekerasan seksual sering mengalami
dampak psikologis dan fisik yang meliputi perasaan takut, rendah diri,
kecemasan berlebihan, gangguan perkembangan mental, dan berpotensi
mengalami keterbelakangan mental. Mereka juga bisa kehilangan
kepercayaan diri, kebahagiaan, dan sering mengisolasi diri dari kehidupan
sosial. Dalam beberapa kasus, mereka membenci jenis lawan dan niat baik
terhadap orang lain terhadap mereka. Korban kekerasan seksual juga dapat
mengalami pengucilan sosial dari masyarakat. Untuk mengurangi kasus
kekerasan seksual terhadap anak di dalam keluarga, penting bagi aparat
penegak hukum, lembaga sosial, dan masyarakat untuk bekerja sama secara
sinergis dan intensif dalam menangani kasus tersebut. Upaya pencegahan
dapat dilakukan melalui sosialisasi, pendidikan, pembinaan, dan penyadaran
masyarakat tentang berbagai bentuk kejahatan, termasuk kekerasan seksual
terhadap anak dalam keluarga. Sementara itu, upaya represif melibatkan
penerapan hukum pidana sebagai langkah terakhir jika sanksi lain dianggap
tidak cukup efektif. Sanksi hukum pidana yang mungkin diberikan termasuk
hukuman penjara dan denda. Tindakan kekerasan seksual terhadap anak
dalam keluarga diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, seperti KUHP, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
3.2 Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang disampaikan, berikut adalah beberapa
rekomendasi dan saran yang dapat diambil:
1. Penegakan hukum yang tegas: Penting bagi aparat penegak hukum
untuk mengambil langkah-langkah tegas dalam menangani kasus
kekerasan seksual terhadap anak dalam keluarga. Para pelaku harus
dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk
penerapan sanksi pidana seperti hukuman penjara dan denda.
2. Perlindungan dan perawatan bagi korban: Korban kekerasan seksual
perlu mendapatkan perlindungan dan perawatan yang memadai. Hal ini
meliputi akses terhadap layanan medis, psikologis, dan sosial guna
membantu mereka pulih dari dampak trauma yang mereka alami.
Lembaga sosial dan pemerintah setempat harus memberikan dukungan
yang komprehensif kepada para korban dan keluarganya.
3. Sosialisasi dan pendidikan: Penting untuk meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan masyarakat tentang kejahatan seksual terhadap anak
dalam keluarga. Sosialisasi dan pendidikan mengenai bentuk-bentuk
kekerasan, konsekuensinya, serta cara melaporkan dan mencegah
kekerasan seksual harus dilakukan secara terus menerus dan
melibatkan berbagai pihak, termasuk sekolah, lembaga masyarakat,
dan media massa.
4. Pembinaan dan pendampingan: Masyarakat dan lembaga sosial perlu
memberikan pembinaan dan pendampingan kepada keluarga yang
rentan terhadap tindakan kekerasan seksual. Dukungan ini dapat berupa
pelatihan, pengawasan, dan bantuan dalam mengatasi permasalahan
yang mungkin memicu tindakan kekerasan.
5. Peran keluarga dan komunitas: Keluarga dan komunitas harus aktif
dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Mereka harus
menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak,
serta melibatkan diri dalam mengawasi dan melaporkan tindakan
kekerasan yang terjadi di sekitar mereka.
6. Peningkatan koordinasi dan kerjasama: Aparat penegak hukum,
lembaga sosial, dan masyarakat perlu bekerja sama secara sinergis dan
intensif untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam
keluarga. Koordinasi yang baik antara berbagai lembaga terkait dan
masyarakat sangat penting guna memperkuat upaya pencegahan,
perlindungan, dan penegakan hukum.
7. Evaluasi kebijakan dan peraturan: Perlu dilakukan evaluasi terhadap
kebijakan dan peraturan yang ada untuk memastikan bahwa mereka
cukup efektif dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual
dalam lingkungan keluarga. Jika diperlukan, peraturan dapat diperbarui
atau ditambah untuk meningkatkan perlindungan anak dan
memberikan sanksi yang lebih tegas kepada pelaku kekerasan seksual.
Rekomendasi dan saran ini bertujuan untuk mengurangi kasus kekerasan
seks yang terjadi pada anak dibawah umur.
DAFTAR PUSTAKA