Anda di halaman 1dari 161

BAB I

KOLONISASI DAN PERLAWANAN BANGSA INDONESIA

A. Faktor-faktor Penyebab Lahirnya Kolonialisme dan Imperialisme dan


Keebijakan Tuki Ustmani

1. Faktor Utama
a. Gold (Kekayaan)
Keinginan bangsa Eropa untuk berdagang secara langsung dengan dunia Timur
adalah merengkuh kekayaan sebanyak banyaknya. Usaha mencari kekayaan ini
semakin tajam setelah di Eropa saat itu merebak semangat merkantilisme. Paham
merkantilisme adalah teori ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu
negara ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang dimiliki serta besarnya
volume perdagangan suatu negara. Modal negara itu dapat berupa emas, perak, dan
komoditas lain yang dimiliki negara.
b. Gospel (Menyebarkan Agama)
Portugis dan Spanyol adalah negara yang dilandasi agama Katolik. Dengan
mematuhi seruan Paus sebagai pemimpin Katolik dunia agar menyebarkan iman
Kristiani ke wilayah jajahan, maka mereka merasa telah mengemban tugas sebagai
orang Katolik yang taat.
c. Glory (Kejayaan)
Di tempat-tempat yang baru didudukinya, bangsa Portugis selalu menancapkan
Padrao. Padrao adalah suatu batu prasasti besar yang bergambar lambang kerajaan
Portugis (sekarang Portugal). Selain sebagai simbol tercapainya perjanjian kerja
dengan penguasa lokal, Padrao dianggap sebagai simbol kejayaan bangsa Portugis.
2. Faktor-faktor Pendukung
a. Adanya penemuan baru dalam teknologi maritim, misalnya kompas, navigasi,
kartografi (pembuatan peta).
b. Adanya semangat dan idealisme pribadi. Sejak Galileo Galilei mengatakan bahwa
bumi itu bulat, mereka tertantang untuk membuktikan teori itu. Rasa penasaran dan
idealisme pribadi ini kemudian banyak ditulis oleh mereka sebagai kisah
perjalanan.
3. Faktor Pemicu
Konstantinopel (Turki) merupakan tempat bertemunya pedagang Eropa dengan
pedagang dari dunia Timur. Dagangan yang dijual misalnya emas, perak, rempah-
rempah, tembikar, karpet, batu mulia, dan lain-lain. Mereka membeli barang-barang
itu kemudian dijual di Eropa dengan harga mahal. Dari sinilah mereka secara
perlahan-lahan mengenal kekayaan dari dunia Timur. Konstantinopel dikuasai oleh
Sultan Mehmed II, penguasa Ottoman.

Tahun 1453, Sultan Mehmed II melarang keras bangsa Barat berdagang di


Konstantinopel sehingga satu-satunya akses Eropa menikmati komoditas perdagangan
Asia tertutup. Untuk itu, mereka berusaha keras untuk menuju ke Asia dalam usaha
berdagang lewat jalan lain. Dalam perkembangannya, bangsa Barat, terutama bangsa
Portugis, merasa keuntungan akan bertambah besar bila berdagang secara langsung
dengan sumbernya dengan tidak melalui pedagang perantara di Konstantinopel.
Mereka ingin datang sendiri ke India, Cina, Indonesia, dan lain-lain. Untuk itulah
bangsa-bangsa Barat mulai melakukan penjelajahan ke dunia Timur.

B. Perlawanan Raja-raja Lokal menghadapi Bangsa Eropa

a. Perlawanan Terhadap Portugis


Portugis merupakan salah satu negara pelopor penjelajahan samudra. Pada
awalnya kedatangan Bangsa Portugis adalah untuk mencari tempat penghasil
rempah-rempah. Dari berbagai penjelajah Portugis, pada tahun 1511 Alfonso de
Albuquerque berhasil menguasai Malaka yang menjadi tempat penting bagi
perdagangan rempah-rempah. Penguasaan Portugis terhadap Malaka kemudian
memunculkan berbagai perlawanan rakyat Indonesia.
1. Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Portugis
Sejak kedatangan orang Portugis di Malaka pada tahun 1511, telah terjadi
persaingan yang berbuntut permusuhan antara Portugis dan Kesultanan Aceh
yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528).
Sultan menganggap bahwa orang Portugis merupakan saingan dalam politik,
ekonomi, dan penyebaran agama. Berikut latar belakang perlawanan rakyat Aceh
terhadap Portugis.
a. Adanya monopoli perdagangan oleh Portugis.
b. Pelarangan terhadap orang-orang Aceh untuk berdagang dan berlayar ke Laut
Merah.
c. Penangkapan kapal-kapal Aceh oleh Portugis.
Oleh sebab itulah Kesultanan Aceh tetap pada pendiriannya bahwa Portugis harus
segera diusir dari Malaka. Tindakan kapal-kapal Portugis telah mendorong
munculnya perlawanan rakyat Aceh. Sebagai persiapan, Aceh melakukan
langkah-langkah antara lain sebagai berikut.
a. Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam, dan
prajurit.
b. Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara, dan beberapa ahli
dari Turki pada tahun 1567.
c. Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan
terhadap Portugis di Malaka. Portugis harus bertahan mati matian di
Formosa/Benteng. Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga
serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan, pada tahun 1569
Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat
digagalkan oleh pasukan Aceh.
Sejak Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636),
perjuangan mengusir Portugis mencapai puncaknya. Untuk mencapai tujuannya,
Sultan Iskandar Muda menempuh beberapa cara untuk melumpuhkan kekuatan
Portugis, seperti blokade perdagangan. Sultan Aceh melarang daerah-daerah yang
dikuasai Aceh menjual lada dan timah kepada Portugis. Cara ini dimaksudkan
agar kekuatan Portugis benar-benar lumpuh karena tidak memiliki barang yang
harus dijual di Eropa.
Upaya ini ternyata tidak berhasil sepenuhnya, karena raja-raja kecil yang merasa
membutuhkan uang secara sembunyi-sembunyi menjual barang dagangannya
kepada Portugis. Gagal dengan taktik blokade ekonomi, Sultan Iskandar Muda
menyerang kedudukan Portugis di Malaka pada tahun 1629. Seluruh kekuatan
tentara Aceh dikerahkan. Namun, upaya itu mengalami kegagalan. Pasukan
Kesultanan Aceh dapat dipukul mundur oleh pasukan Portugis. Faktor penyebab
kegagalan serangan Aceh terhadap Portugis di Malaka adalah sebagai berikut.
a. Tidak dipersiapkan dengan baik.
b. Perlengkapan senjata yang digunakan masih sederhana.
c. Terjadi konflik internal di kalangan pejabat Kerajaan Aceh.

2. Perlawanan Kerajaan Demak Terhadap Portugis


Dikuasainya Malaka pada tahun 1511 oleh orang-orang Portugis merupakan
ancaman tersendiri bagi Kerajaan Demak. Pada tahun 1512, Kerajaan Demak di
bawah pimpinan Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan bantuan Kerajaan Aceh
menyerang Portugis di Malaka. Namun, serbuan Demak tersebut mengalami
kegagalan. Berikut ini penyebab kegagalan serangan Demak ke Portugis di
Malaka.
a. Serangan tersebut tidak dilakukan dengan persiapan yang matang.
b. Jarak yang terlalu jauh.
c. Kalah persenjataan.
Penyerangan dilakukan sekali lagi bersama Aceh dan Kerajaan Johor, tetapi
tetap berhasil dipatahkan oleh Portugis. Perjuangan Kerajaan Demak terhadap
orang-orang Portugis tidak berhenti sampai di situ. Kerajaan Demak selalu
menyerang dan membinasakan setiap kapal dagang Portugis yang melewati jalur
Laut Jawa. Oleh sebab itulah kapal dagang Portugis yang membawa rempah-
rempah dari Maluku (Ambon) tidak melalui Laut Jawa, tetapi melalui Kalimantan
Utara.
Upaya Demak untuk mengusir Portugis diwujudkan dengan ditaklukkannya
Kerajaan Pajajaran oleh Fatahilah pada tahun 1527. Penaklukkan Pajajaran ini
disebabkan Kerajaan Pajajaran mengadakan perjanjian perdagangan dengan
Portugis, sehingga Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa.
Ketika orang orang Portugis mendatangi Sunda Kelapa (sekarang Jakarta),
terjadilah perang antara Kerajaan Demak di bawah pimpinan Fatahilah dengan
tentara Portugis.
Dalam peperangan itu, orang-orang Portugis berhasil dipukul mundur pada 22
Juni 1527. Kemudian, pelabuhan Sunda Kelapa diganti namanya oleh Fatahilah
menjadi Jayakarta yang berarti kejayaan yang sempurna.
3. Perlawanan Maluku Terhadap Portugis
Pada tahun 1512, bangsa Portugis berhasil menemukan kepulauan rempah-
rempah, Maluku. Saat itu, bangsa Portugis yang dipimpin oleh Antonio de
Abreau mendarat di Ternate. Kedatangan Portugis semula diterima dengan baik
oleh rakyat Ternate. Sultan Bayanull (1500-1521) mengizinkan Portugis
mendirikan pos dagang di Ternate.
Sultan dan rakyat Ternate berharap Portugis dapat menjadi pembeli tetap
rempah-rempah dengan harga tinggi. Portugis juga diharapkan dapat membantu
Ternate untuk mengalahkan Tidore yang menjadi saingan dalam perdagangan
rempah rempah di Maluku. Setelah mengetahui Ternate menjadi pusat utama
perdagangan rempah-rempah di Maluku, Portugis berniat memonopoli
perdagangan rempah-rempah di Ternate. Bahkan, Portugis ikut campur dalam
urusan pemerintahan di Ternate. Tindakan Portugis tersebut akhirnya memancing
kemarahan rakyat Ternate.
Pada masa pemerintahan Sultan Hairun (1534-1570), rakyat Ternate bangkit
melakukan perlawanan terhadap Portugis. Sultan Hairun mengobarkan perang
mengusir Portugis dari Ternate. Perlawanan itu telah mengancam kedudukan
Portugis di Maluku. Keberadaan Aceh dan Demak yang terus mengancam
kedudukan Portugis di Malaka telah menyebabkan Portugis di Maluku kesulitan
mendapat bantuan. Oleh karena itu, Gubernur Portugis di Maluku, Lopez de
Mesquita, mengajukan perundingan damai kepada Sultan Hairun. Selanjutnya,
Lopez de Mesquita mengundang Sultan Hairun ke Benteng Sao Paulo. Dengan
cara tersebut, Sultan Hairun berhasil ditangkap dan dibunuh oleh Lopez de
Mesquita.
Peristiwa itu semakin memicu kemarahan rakyat. Bahkan, seluruh rakyat
Maluku dapat bersatu melawan Portugis. Di bawah kepemimpinan Sultan
Baabullah (1570-1583), rakyat menyerang pos-pos perdagangan dan pertahanan
Portugis di Maluku. Benteng Sao Paulo dikepung selama lima tahun. Strategi
tersebut berhasil mengalahkan Portugis. Pada tahun 1575, Portugis meninggalkan
Maluku.
Setelah kepergian Portugis, Ternate berkembang menjadi kerajaan Islam
terkuat di Maluku. Sultan Baabullah berhasil membawa Ternate mencapai puncak
kejayaan. Wilayah kekuasaan Ternate membentang dari Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, dan Sulawesi Timur di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di
bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga Kepulauan Kai dan
Nusa Tenggara di bagian selatan.
Setiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil sultan yang disebut sangaji.
Sultan Baabullah diberi gelar “Heer van twee en zeventig eilanden” atau
“Penguasa atas 72” pulau berpenghuni yang meliputi pulau-pulau di Nusantara
bagian timur, Mindanao Selatan, dan Kepulauan Marshall. Pulau-pulau tersebut
semuanya berpenghuni dan memiliki raja yang tunduk kepada Sultan Baabullah.
C. Berdirinya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Dan Hak Oktroi

1. Sejarah Lahirnya VOC


Keberhasilan Van Neck berlayar ke Indonesia pada tahun 1600 menjadikan
Belanda dalam dua tahun menjadi negara yang kaya rempah-rempah. Keuntungan
yang diperoleh berlipat-lipat sehingga banyak kongsi dagang dari Negeri Belanda
dan negara Eropa lain tergiur untuk datang ke Indonesia. Akan tetapi, banyaknya
rempah-rempah menjadikan penawaran melebihi permintaan sehingga harga
rempah-rempah jatuh.
Kenyataan ini diperparah dengan bersaingnya kongsi-kongsi dagang yang
berujung saling konflik. Melihat situasi seperti itu, banyak kalangan mengusulkan
agar dibentuk sebuah organisasi dagang sehingga 20 Maret 1602 terbentuklah
serikat dagang untuk wilayah timur yang disebut VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie). Lidah orang Indonesia menyebutnya Kompeni. Pemegang sahamnya
adalah pedagang-pedagang besar Belanda.
a. Tujuan berdirinya VOC
1) Menghindari persaingan tidak sehat antarkongsi dagang Belanda.
2) Memperkuat posisi Belanda menghadapi persaingan dagang dengan bangsa
Eropa lain.
3) Monopoli pedagang rempah-rempah di Indonesia.
4) Membantu pemerintah Belanda yang sedang berjuang melawan pendudukan
Spanyol.
b. Hak-hak istimewa (hak Oktroi) VOC VOC berkembang pesat karena pemerintah
Belanda (Hindia Belanda) memberi hak-hak istimewa (hak Oktroi), yakni:
1) Menjadi wakil sah pemerintah Belanda di Asia.
2) Melakukan monopoli perdagangan.
3) Mencetak dan mengedarkan mata uang sendiri.
4) Melakukan perjanjian dan perang dengan negara lain.
5) Memungut pajak.
6) Memiliki angkatan perang sendiri.
7) Menyelenggarakan pemerintahan sendiri.
Dengan wewenang seperti itu, perkumpulan dagang seperti VOC bertindak
layaknya seperti sebuah negara sehingga tidak heran jika dalam waktu lima tahun
VOC mempunyai 15 armada dan sangat berkuasa.

D. Kebijakan-Kebijakan VOC di Indonesia

1) Memberlakukan dua jenis pajak kepada rakyat. Pertama, pajak contingenten, yaitu
pajak hasil bumi yang langsung dibayarkan kepada VOC. Pajak ini diterapkan
terhadap jajahan langsung, misalnya Batavia. Kedua, pajak verplichete leverente,
yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditentukan VOC. Pajak
ini diterapkan terhadap daerah jajahan yang secara tidak langsung dikuasai,
misalnya Kerajaan Mataram Islam.
2) Menyingkirkan pedagang-pedagang lain, baik pedagang negara Eropa lain maupun
pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Melayu. Hal ini dilakukan untuk monopoli
rempah-rempah.
3) Menentukan luas areal penanaman rempah-rempah. Kebijakan ini diterapkan di
Maluku.
4) Melakukan kebijakan ekstirpasi, yakni penebangan kelebihan jumlah tanaman
rempah-rempah agar harga tetap dipertahankan. Untuk melindungi kebijakan
tersebut, Belanda melakukan pelayaran Hongi, yakni pelayaran menggunakan
perahu kecil (kora-kora) untuk patroli terhadap penyelundupan rempah-rempah.
5) Mewajibkan kerajaan-kerajaan untuk menyerahkan upeti setiap tahun kepada
VOC.
6) Mewajibkan rakyat menanam tanaman tertentu, misalnya kopi, dan hasilnya dijual
kepada VOC dengan harga yang sudah ditentukan oleh VOC.
Langkah-langkah VOC Dalam rangka mendukung kebijakan-kebijakan, VOC
melakukan dua hal sebagai berikut.
1) Menggunakan cara kekerasan
Bila ada raja atau sultan yang menolak berdagang dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan VOC, maka raja tersebut ditangkap dan diasingkan ke daerah lain.
Selanjutnya, VOC mengangkat raja atau sultan baru yang menuruti kemauan
VOC.
2) Taktik jitu devide et impera
Devide et impera secara harfiah artinya “pecah belah dan kuasai”. Salah satu
bentuknya adalah dengan mencampuri urusan dalam negeri setiap kerajaan.
Caranya, apabila ada konflik internal di suatu kerajaan atau dengan kerajaan lain,
VOC akan mendatangi salah satu kerajaan untuk menawarkan bantuan. Ketika
tawaran bantuan tersebut diterima, VOC akan membantu mengalahkan kerajaan
lain dengan berbagai syarat atau perjanjian. Isinya imbalan monopoli
perdagangan atau mendapatkan sebagian wilayah yang dikalahkan. Monopoli
perdagangan adalah VOC mengharuskan para petani menjual rempah-rempahnya
kepada VOC dan tidak boleh kepada kongsi dagang lain dengan harga yang sudah
ditentukan sendiri oleh VOC.
Dengan cara itu, pada tahun 1669, VOC merupakan perusahaan dagang
terkaya sepanjang sejarah. VOC memiliki 150 kapal dagang, 40 kapal perang,
50.000 pekerja, 10.000 tentara, dan pembayaran deviden (sistem pembagian
keuntungan) sebanyak 40%. Seorang filsuf dari Jerman yang bernama Karl Marx
(1818-1883) menulis dalam bukunya yang berjudul Das Salam Historia VOC
merupakan perusahaan internasional pertama di dunia. Anggota kongsi ini tidak
hanya orang-orang Belanda, tetapi juga ada orang Spanyol, Portugis, dan Inggris.
Yang mengejutkan, mereka kebanyakan merupakan bekas-bekas penjahat yang
kemudian bergabung dengan VOC sehingga tidak mengherankan bila VOC
hancur akibat korupsi yang merajalela. Das Capital menyebut VOC sebagai salah
satu korporasi pertama dalam sejarah dunia yang paling jahat dan rakus.
Sejarawan Onghokham pernah mengatakan bahwa kolonialisme di Jawa bukan
dengan operasi militer, melainkan lebih banyak dengan melakukan perjanjian
dengan raja atau pangeran setempat. Jumlah tentara VOC dan Hindia Belanda
tidaklah terlalu besar, tetapi hanya kuat secara finansial.

E. Perlawanan Raja-Raja Lokal Terhadap VOC

Setelah VOC menancapkan pengaruhnya dengan tujuan menguasai kerajaan-


kerajaan dan melakukan monopoli perdagangan, banyak kerajaan lokal yang
menentang dan melakukan perlawanan. Berikut ini perlawanan perlawanan terhadap
VOC.
1. Sultan Agung Hanyokro kusumo di Mataram (1628–1629) Kerajaan Mataram
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung
Hanyokrokusumo (1613-1645). Daerah kekuasaannya meliputi hampir seluruh
Pulau Jawa. Hanya Jawa Barat yang belum masuk wilayah Mataram. Pada
mulanya, hubungan antara Mataram dengan VOC berjalan baik. Dibuktikan
dengan diperbolehkannya VOC mendirikan kantor dagang di wilayah Mataram
tanpa membayar pajak. Namun, akhirnya VOC menunjukkan sikap yang tidak
baik, ingin memonopoli perdagangan di Jepara.
Tuntutan VOC tersebut ditolak oleh Bupati Kendal bernama Baurekso, yang
bertanggung jawab atas wilayah Jepara. Namun, penolakan itu tidak menyurutkan
keinginan VOC. Persekutuan dagang VOC tetap melaksanakan monopoli
perdagangannya. Hal ini membangkitkan kemarahan rakyat Mataram sehingga
kantor VOC diserang. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen,
membalasnya dengan memerintahkan pasukannya untuk menembaki daerah
Jepara. Menyikapi peristiwa tersebut, Sultan Agung bertekad menyerang Kota
Batavia. Penyerangan Sultan Agung terhadap VOC di Kota Batavia dilakukan
sebanyak dua kali.
Serangan pertama dilakukan tahun 1628. Pada pertengahan bulan Agustus
1628, secara tiba-tiba armada Mataram muncul di perairan Kota Batavia. Mereka
segera menyerang benteng VOC. Berikut ini panglima-panglima Sultan Agung.
a. Tumenggung Baurekso.
b. Tumenggung Sura Agul-agul.
c. Kyai Dipati ManduroRejo.
d. Kyai Dipati Uposonto.
Dalam perlawanan tersebut, Tumenggung Baurekso gugur beserta putranya.
Pasukan Sultan Agung menggunakan taktik perang yang tinggi, antara lain
dengan membendung sungai Ciliwung, (seperti waktu penyerangan di Surabaya).
Namun, penyerangan kali ini mengalami kegagalan. Akhirnya, pasukan
Sultan Agung terpaksa mengundurkan diri. Meskipun gagal, tetapi tidak membuat
Sultan Agung dan pasukannya, para bangsawan serta rakyatnya patah semangat.
Kemudian, disusunlah strategi baru untuk persiapan serangan kedua.
Serangan kedua dilaksanakan pada tahun 1629 dengan perencanaan yang
lebih sempurna, antara lain sebagai berikut:
a. Persenjataan dilengkapi dengan senjata api dan meriam.
b. Pasukan berkuda dan beberapa gajah.
c. Persediaan makanan yang cukup dan pengadaaan lumbung lumbung padi
di Tegal dan Cirebon.
Serangan kedua ini berhasil menghancurkan Benteng Hollandia dan
menewaskan J.P. Coen sewaktu mempertahankan Benteng Meester Cornellis.
Karena banyak pasukan yang tewas, daerah itu dinamakan Rawa Bangke.
Rupanya, VOC dapat mengetahui tempat lumbung padi di Tegal dan Cirebon.
Kemudian, lumbung lumbung itu dibakar. Akhirnya, serangan kedua ini juga
mengalami kegagalan. Kedua serangan yang gagal ini tidak membuat Sultan
Agung putus asa. Dia telah memikirkan untuk serangan selanjutnya. Namun,
sebelum rencananya terwujud, Sultan Agung mangkat (1645). Kegagalan yang
menyebabkan kekalahan itu, antara lain sebagai berikut:
a. Pasukan lelah karena jarak Mataram (sekarang Yogyakarta) menuju Batavia
(Jakarta) sangat jauh.
b. Kekurangan persediaan makanan (kelaparan).
c. Kalah dalam persenjataan.
d. Banyak yang meninggal akibat penyakit malaria.
Setelah Sultan Agung mangkat (wafat) pada tahun 1645, kedudukan sultan
digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I. Sunan Amangkurat
I dalam menjalankan politik pemerintahannya melakukan kerja sama dengan
VOC. Pada tahun 1646 diadakan perjanjian bilateral antara Mataram dengan
VOC. Isi perjanjian itu sangat merugikan Mataram. Adapun isi perjanjian sebagai
berikut.
a. Mataram mengakui kekuasaan VOC di Batavia dan VOC mengakui
kekuasaan Amangkurat I di Mataram.
b. Apabila ada utusan Mataram yang akan bepergian ke luar negeri akan
diangkut oleh kapal-kapal VOC.
c. Kapal-kapal Kesultanan Mataram diperbolehkan melintasi Selat Malaka
dengan seizin VOC.
d. Mataram tidak diperkenankan mengadakan hubungan dagang dengan
Maluku.
e. Apabila terjadi peperangan, masing-masing tidak akan saling membantu
musuh. Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, maka Mataram di bawah
Amangkurat I mengakui kedaulatan VOC.
2. Perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makassar (1666 - 1667)
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil
seperti Gowa, Tallo, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan itu yang paling kuat
secara ekonomi dan militer adalah kerajaan Gowa atau Makassar. Adapun kondisi
yang membuat Makassar menjadi kerajaan yang penting karena hal-hal berikut.
a. Letak Makassar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan, yakni
Malaka-Batavia-Maluku.
b. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat saudagar-saudagar Arab,
India, dan Melayu berpindah ke Makassar.
c. Posisi Makassar sebagai pelabuhan transit yang berasal dari Kesultanan Banjar
(Banjarmasin). mulanya, hubungan VOC dengan Makassar berjalan dengan
baik. Posisi strategis Makassar memperkuat hubungan tersebut. Setelah VOC
menerapkan kebijakan monopoli perdagangan di Goa, hubungan mereka
menjadi retak. VOC ingin menguasai perdagangan Malaka-Batavia-Maluku.
Sebagai balasannya, Makassar selalu menerobos monopoli VOC yang memicu
ketegangan yang berujung pada peperangan. Perang diawali dengan
perampasan armada VOC di Maluku oleh pasukan Hasanuddin. Tindakan ini
memicu perang yang kemudian dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669).
Dalam perang itu, VOC bersekutu dengan Aru Palaka, Raja Bone yang sedang
berseteru dengan Kerajaan Gowa. Karena kalah persenjataan, maka
Kesultanan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin tunduk pada
Perjanjian Bongaya (1667) yang sangat merugikan Kerajaan Gowa. Isi
perjanjian itu adalah:
a. Gowa harus mengakui monopoli perdagangan VOC.
b. Pedagang dari Barat kecuali VOC harus meninggalkan Gowa.
c. Gowa harus membayar kerugian perang.
d. VOC akan membangun banteng-benteng di Makassar.
e. Gowa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Bone.
3. Untung Suropati di Jawa (1685 - 1706)
Suropati melawan VOC terjadi pada tahun 1685-1706. Nama lengkapnya
adalah Untung Surapati atau Untung Suropati. Ia adalah bekas seorang budak
yang berasal dari Bali. Setelah menjadi orang bebas, ia masuk dinas militer VOC.
Karena kecakapan dan kepribadiannya yang kuat, ia dapat mencapai pangkat
letnan.
Kemudian, ia mendapat tugas mengadakan operasi militer di daerah Banten
dan Priangan. Dalam operasi itu, Suropati berhasil menangkap Pangeran Purbaya.
Pangeran Purbaya menyerahkan kerisnya kepada Untung Suropati. Namun secara
kesatria, Suropati mengembalikan keris itu kepada Pangeran Purbaya. Wakil
Suropati, seorang pembantu letnan bangsa Belanda bernama Kuffeler, tidak
menyetujui kebijakan Suropati itu.
Dengan sombong, ia menghina Suropati sebagai atasannya, karena Suropati
seorang pribumi. Maka, terjadilah perselisihan antara keduanya. Dalam
perselisihan itu, Kuffeler mati terbunuh. Sejak itulah Suropati keluar dari dinas
tentara VOC, kemudian mengadakan perlawanan di daerah Priangan.
Ketika VOC mengirimkan pasukan untuk menangkapnya, ia telah menyingkir
ke Kartasura. Kemudian, VOC mengirimkan pasukan ke Kartasura di bawah
pimpinan Kapten Tack. Dalam pertempuran di Kartasura, Kapten Tack dan
sebagian besar anak buahnya terbunuh oleh pasukan Surapati. Kemudian,
Suropati dan anak buahnya bergerak ke Jawa Timur dan mendirikan kerajaan
kecil di Pasuruan. Sementara itu, di Mataram terjadi pergantian takhta. Sunan
Amangkurat II wafat pada tahun 1703. Ia digantikan oleh putranya, Sunan
Amangkurat III, yang juga terkenal dengan sebutan Sunan Mas.
Dari tindakan-tindakannya, tampaklah bahwa Sunan Mas memihak
perjuangan Suropati. Oleh sebab itu, VOC mencalonkan Pangeran Puger sebagai
raja baru. Dengan dukungan VOC, Pangeran Puger dapat menggeser kedudukan
Sunan Mas.
Setelah naik takhta, Pangeran Puger bergelar Paku Buwono I. Namun, ia
harus menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun 1705. Sementara itu,
setelah kedudukannya tergeser, Sunan Mas menggabungkan diri dengan Untung
Suropati di
Jawa Timur. Pada tahun 1706, VOC mengirimkan tentara yang kuat ke Jawa
Timur untuk menyerang Suropati. Dengan gagah berani, Suropati memimpin
perlawanan terhadap VOC, tetapi ia gugur dalam pertempuran di Bangil.

3. Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682)


Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran Surya
dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah
mendapat gelar Sultan Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng
Tirtayasa. Sebelumnya, Banten diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng
Tirtayasa, yaitu Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Sultan Ageng
Tirtayasa merupakan anak dari
Sultan Abul Ma’ali Ahmad.
Pada waktu itu Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar
perdagangan internasional. Oleh karena itu, sejak semula Belanda ingin
menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya, VOC membangun
bandar di Batavia pada tahun 1619. Hal ini menyebabkan timbulnya persaingan
antara Banten dan Batavia untuk memperebutkan posisi sebagai bandar
perdagangan internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering melakukan
serangan-serangan terhadap VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa berusaha memulihkan posisi Banten sebagai bandar
perdagangan internasional sekaligus menandingi perkembangan perdagangan di
Batavia. Beberapa yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa adalah sebagai berikut.
a.
Mengundang para pedagang dari Eropa lain seperti Inggris, Prancis, Denmark,
dan Portugis. b. Mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia
seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina.
VOC sangat tidak menyukai perkembangan di Banten. Oleh karena itu, untuk
melemahkan peran Banten sebagai bandar perdagangan, VOC sering melakukan
blokade, yaitu kapal-kapal dagang dari Maluku dilarang meneruskan perjalanan
ke Banten. Sebagai balasan, Sultan Ageng mengirimkan beberapa pasukannya
untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan membuat kekacauan di Batavia.
Dalam rangka memberi tekanan dan melemahkan kedudukan VOC, rakyat
Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa bibit tanaman milik VOC.
Akibatnya, hubungan Banten dengan Batavia semakin memburuk.
Untuk menghadapi tentara Banten, VOC terus memperkuat Kota Batavia
dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noorwijk
dengan harapan VOC mampu bertahan dari berbagai serangan dari luar.
Sementara itu, untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng Tirtayasa
memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari Sungai
Untung Jawa sampai Pontang. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan produksi
pertanian dan memudahkan transportasi perang. Karena jasanya itulah, maka
Sultan diberi gelar Tirtayasa (“tirta” artinya air).
Pada tahun 1671, Sultan Ageng mengangkat putra mahkota Abdul Nazar
Abdulkahar sebagai sultan pembantu yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Sultan Haji. Sebagai raja pembantu, Sultan Haji bertanggung jawab pada urusan
dalam negeri, sedangkan Sultan Ageng beserta putranya yang lain, yakni
Pangeran Arya Purbaya, bertanggung jawab atas urusan luar negeri.
Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten,
yakni W. Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan
pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisahkan dan jangan sampai kekuasaan
jatuh di tangan Arya Purbayasa. Hingga akhirnya, Sultan Haji mencurigai
ayahnya dan saudaranya serta membuat persengkongkolan dengan VOC. Untuk
merebut tanah Kesultanan Banten, maka timbullah pertentangan yang begitu
tajam antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam
persengkongkolan tersebut, VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut
Kesultanan Banten, tetapi dengan empat syarat, yakni:
a. Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC.
b. Monopoli ada di Banten, dikuasai dan dipegang VOC.
c. Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila mengingkari janji.
d. Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera
ditarik kembali.
Isi perjanjian tersebut disetujui oleh Sultan Haji. Pada tahun 1681, VOC
dengan atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten dan menguasai
Istana Surosawan. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membangun istana yang
baru dan berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng pun berusaha merebut Banten
kembali.
Pada tahun 1682, pasukan Sultan Ageng berhasil mengepung Istana
Surosawan. Kemudian, Sultan Haji meminta bantuan pasukan VOC di bawah
pimpinan Francos
Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga
ke Benteng Tirtayasa. Sultan Ageng Titayasa akhirnya meloloskan diri bersama
putranya, Pangeran Arya Purbaya, ke Hutan Lebak. Mereka masih melancarkan
serangan walaupun dengan bergerilya.
Tentara VOC terus mencari Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang
kemudian bergerak ke arah Bogor. Baru setelah melalui tipu muslihat, pada tahun
1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia sampai
meninggal pada tahun 1692.

F. Sebab-sebab Kehancuran VOC

Setelah berkuasa kurang dari 200 tahun, VOC tidak lagi dapat mempertahankan
hegemoni perdagangannya. Tahun 1799, VOC dibubarkan oleh Belanda. Sebab-sebab
VOC dibubarkan adalah sebagai berikut. a. Faktor Internal
Persaingan dagang dan korupsi di semua tingkatan, menjadi penyebab hancurnya
VOC yaitu.
1) Menyunat keuntungan yang menjadi hak VOC.
2) Menyunat uang kas dan anggaran.
3) Menggelembungkan anggaran agar kelebihan masuk ke kantong sendiri.
4) Dalam mengangkat bupati melakukan pungutan liar.
5) Melakukan penyuapan untuk duduk di jabatan-jabatan 19 VOC.
6) Memaksa penduduk menyerahkan upeti.
7) Sengaja membiarkan pedagang liar beroperasi sehingga mendapatkan sumber
pungutan liar.
8) Memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi lebih dari ketentuan.
9) Apabila menjadi karyawan VOC harus menyuap pejabat VOC.
10) Sebagai pejabat VOC berdagang rempah-rempah untuk dirinya sendiri, bukan
atas nama VOC.
11) Perdagangan gelap merajalela karena difasilitasi pejabat VOC yang korup
karena mereka mendapat setoran pungutan liar.
12) Anggaran penggajian pegawai semakin besar sedangkan penghasilan VOC
semakin menipis.
13) Biaya perang untuk menghadapi perlawanan raja/sultan sangat besar sehingga
utang VOC terus menumpuk. 1). Adanya persaingan dagang dari Eropa lain
seperti Inggris dan Prancis. 2). Pemasukan kecil serta utang menumpuk
menyulitkan VOC memberikan bagi hasil kepada pemegang saham VOC.

b. Faktor Eksternal
Belanda di Eropa dikuasai oleh Prancis tahun 1795 di bawah pimpinan Napoleon
Bonaparte yang kemudian mengganti namanya menjadi Republik Bataaf (1795-
1806). Perubahan politik ini memengaruhi VOC karena pemerintahan di bawah
Napoleon menyerukan “republikanisme-kebebasan kesetaraan”. Kebijakan VOC
menurut Napoleon bertentangan dengan kebebasan dan kesetaraan. Untuk itu,
VOC harus dibubarkan. VOC pun dibubarkan pada tahun 1799.

G. Kolonialisme Belanda di Indonesia

a. Indonesia Pasca-VOC
Ketika VOC dibubarkan pada tahun 1799, terjadi kekosongan kekuasaan di
Nusantara. Sementara itu, Inggris mengincar Nusantara untuk dikuasai. Saat itu
antara Belanda dengan Prancis menjadi sekutu di Eropa untuk menghadapi Inggris.
Jawa merupakan daerah koloni Belanda-Perancis yang belum dikuasai Inggris.
Untuk itu, Belanda-Prancis mengangkat seorang gubernur jenderal agar Inggris
tidak bisa masuk ke Jawa.
Tugas berat gubernur jenderal ini adalah menghadapi serangan Inggris secara
tiba-tiba. Dengan demikian, dalam kurun waktu 1806-1811, Nusantara menjadi
jajahan Prancis karena sekutu Belanda-Prancis dipimpin oleh Prancis walaupun
pejabat yang memerintah masih didominasi orang-orang Belanda. Adapun pejabat
tersebut adalah sebagai berikut.

1. Herman Willem Daendels (1808-1811)


Daendels memegang dua tugas, yaitu mempertahankan Pulau Jawa agar tidak
jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki tanah jajahan dari pengaruh korupsi.
Untuk itulah kekuasaan periode ini tidak semata-mata memperoleh keuntungan
ekonomi, tetapi mempertahankan hegemoni selama mungkin. Daendels menyadari
bahwa sekutu Prancis-Belanda tidak akan mampu menandingi kekuatan armada
Inggris. Untuk itu, Daendels menerapkan kebijakan sebagai berikut.
a. Membangun jalan raya dari Anyer (ujung barat Jawa) sampai Panarukan (ujung
timur Jawa) agar tentaranya dapat bergerak dengan cepat. Selain itu juga untuk
mengangkut kopi dari pedalaman Priangan ke Pelabuhan Cirebon. Dalam
pembangunan itu, Daendels menerapkan kebijakan menghidupkan lagi kerja
wajib (verplichte diensten) serta kebijakan wajib penyerahan hasil bumi
(verplichte leverantie).
b. Membangun benteng pertahanan, contohnya Benteng Lodewijk di Surabaya.
c. Membangun pangkalan angkatan laut di Merak dan Ujung Kulon.
d. Mendirikan pabrik senjata di Surabaya.
Daendels tidak menyukai raja-raja Jawa karena semangatnya yang anti feodalis.
Dia memang pengagum Napoleon Bonaparte yang menyebarkan paham
republikanisme, kebebasan, kesetaraan. Kebijakan yang antifeodal tampak pada
sikapnya terhadap Raja Solo dan Raja Yogyakarta, yakni:
a. Semua Raja Jawa harus mengakui Raja Belanda, junjungannya.
b. Mengangkat pejabat Belanda dengan sebutan minister.
c. Jika di VOC seorang residen Belanda ketika menghadap raja diperlakukan sama
seperti seorang bupati dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih
sebagai tanda hormat kepada Raja 22 Jawa, maka minister tidak diperlakukan
seperti itu. Minister duduk sejajar dengan raja dan tidak perlu
mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat.
d. Ketika minister datang ke keraton harus disambut raja.
e. Ketika bertemu di jalan dengan raja, minister tidak perlu turun dari kereta, tetapi
cukup membuka jendela.
Melihat tindakan Daendels seperti itu, Sultan Hamengkubuwono II
membangkang dan akhirnya Daendels menyerbu Yogyakarta lalu menurunkan
Sultan Hamengkubuwono II dan menggantikannya dengan Sultan
Hamengkubuwono III yang masih kecil.
Sikap yang kedua ialah terhadap Raja Banten. Daendels mengasingkan Raja
Banten karena menentang pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Karena otoriter,
Daendels dipanggil ke Belanda. Ada dua versi sebab Daendels dipanggil, yakni
tenaganya diperlukan untuk memimpin tentara Prancis menghadapi Rusia atau
hubungannya yang buruk dengan raja-raja Jawa dikhawatirkan merugikan Belanda
jika Inggris menyerbu Jawa.

2. Jan Willem Janssen (1811-1811)


Pada masa Janssen menjabat (20 Februari sampai 18 September 1811), Inggris
menyerbu Jawa melalui darat dan laut sehingga Janssen menyerah di Tuntang
(Jawa Tengah) dengan membuat perjanjian Tuntang yang isinya sebagai berikut. a.
Pulau Jawa dan sekitarnya jatuh ke tangan Inggris. b. Tentara yang dahulu anak
buah
Daendels menjadi tentara Inggris. c. Orang-orang Belanda dapat dipekerjakan oleh
Inggris. Dengan penjanjian Tuntang ini, berarti Nusantara jatuh ke tangan
pemerintahan Inggris.

H. Perlawanan Raja-raja Lokal terhadap Kolonialisme Belanda

Pascapembubaran VOC, perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonial Belanda


tidak surut, bahkan semakin luas. Dengan berbagai kelicikan dan tipu muslihat,
pejabat kolonial Belanda berhasil menangkap para pahlawan tersebut. Untuk lebih
jelasnya, berikut perlawanan terhadap Hindia Belanda
1. Sultan Hamengku Buwono II dan Raja Banten
Daendels tidak menyukai raja-raja Jawa karena semangatnya yang anti feodalis.
Dia memang pengagum Napoleon Bonaparte yang menyebarkan paham
republikanisme, kebebasan, kesetaraan. Kebijakan yang antifeodal tampak pada
sikapnya terhadap Raja Solo dan Raja Yogyakarta, yakni:
a. Semua Raja Jawa harus mengakui Raja Belanda, junjungannya.
b. Mengangkat pejabat Belanda dengan sebutan minister.
c. Jika di VOC seorang residen Belanda ketika menghadap raja diperlakukan sama
seperti seorang bupati dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih
sebagai tanda hormat kepada Raja 22 Jawa, maka minister tidak diperlakukan
seperti itu. Minister duduk sejajar dengan raja dan tidak perlu
mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat.
d. Ketika minister datang ke keraton harus disambut raja.
e. Ketika bertemu di jalan dengan raja, minister tidak perlu turun dari kereta, tetapi
cukup membuka jendela.
Melihat tindakan Daendels seperti itu, Sultan Hamengkubuwono II
membangkang dan akhirnya Daendels menyerbu Yogyakarta lalu menurunkan
Sultan Hamengkubuwono II dan menggantikannya dengan Sultan
Hamengkubuwono III yang masih kecil.
Sikap yang kedua ialah terhadap Raja Banten. Daendels mengasingkan Raja
Banten karena menentang pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Karena otoriter,
Daendels dipanggil ke Belanda. Ada dua versi sebab Daendels dipanggil, yakni
tenaganya diperlukan untuk memimpin tentara Prancis menghadapi Rusia atau
hubungannya yang buruk dengan raja-raja Jawa dikhawatirkan merugikan Belanda
jika Inggris menyerbu Jawa

2. Perlawanan Kapitan Pattimura di Maluku (1817).


Menurut Konvensi London (1814), Kepulauan Maluku merupakan salah satu
wilayah kekuasaan Inggris yang harus diserahkan kepada Belanda.
Pascapenyerahan, pemerintah Belanda segera menunjuk Van Middelkoop sebagai
gubernur di Kepulauan Maluku.
Kembalinya Belanda ke Maluku menimbulkan kekecewaan sekaligus
kemarahan dari rakyat Maluku. Mengapa rakyat Maluku marah? Pertama, kolonial
Belanda diduga akan membebani rakyat dengan berbagai kewajiban yang
memberatkan. Hal yang serupa ini memang telah terjadi pada masa kekuasaan
VOC. Kedua, rakyat takut Belanda akan memonopoli perdagangan. Karena tidak
ingin kembali menderita akibat penguasaan Belanda, maka rakyat Maluku pun
bersiap melakukan gerakan perlawanan.
Pada 9 Mei 1817, rakyat Saparua mengangkat Thomas Matulessy sebagai
pemimpin gerakan perlawanan. Thomas Matulessy juga diberikan gelar Pattimura.
Pattimura dipilih karena dianggap mempunyai kecakapan bidang militer serta
kemampuan memimpin.
Kemampuan Pattimura atau Thomas Matulessy ini sudah tidak diragukan lagi.
Ia memiliki pengalaman yang cukup dalam memimpin pasukan militer. Pada masa
pemerintah Inggris di Maluku, Pattimura bekerja di dinas militer. Ia juga memiliki
pangkat terakhir sebagai mayor. Ketika dilaksanakan suatu pertemuan, para
pejuang Maluku bertekad untuk merebut Benteng Duurstede dan mengusir semua
penghuninya.
Aksi perlawanan untuk merebut Benteng Duurstede tersebut dimulai pada 15
Mei 1817. Kala itu, rakyat Maluku melakukan perlawanan terhadap pemerintah
Hindia Belanda, dimulai dari 56 perampasan perahu-perahu pos yang berada di
Pelabuhan Porto. Pascaperampasan tersebut, mereka mulai menyerang benteng.
Pada saat itu, banyak serdadu Belanda yang ditangkap dan dibunuh. Hal yang sama
dialami juga oleh Residen Porto, Van den Berg. Saat itu juga, Benteng Duurstede
jatuh ke tangan rakyat Maluku.
Gubernur Van Middelkoop terkejut mendengar kabar mengenai kejadian tersebut.
Ia lalu segera mengirimkan pasukan dari Ambon di bawah pimpinan Mayor
Beetjes. Pasukan ini didaratkan di Saparua pada 20 Mei 1817. Begitu pasukan
Belanda mendarat, rakyat Saparua dengan segera menyambutnya dengan
serentetan tembakan. Akibatnya, dengan terpaksa pasukan Beetjes memutar haluan
dan membelokkannya ke sebuah tikungan teluk yang terletak di sebelah kiri
benteng.
Di tempat ini, lagi-lagi pasukan Beetjes kembali disambut dengan serangan
yang semakin gencar. Pasukan Beetjes pun menjadi kacau-balau. Sebaliknya,
rakyat Maluku semakin bersemangat dalam melakukan penyerangan terhadap
Belanda. Pasukan Belanda berusaha untuk mundur, tetapi pasukan Pattimura terus-
menerus mengejarnya. Di dalam pertempuran ini, Mayor Beetjes akhirnya tewas.
Sebagai pembalasan atas kekalahannya, Belanda lalu segera menempatkan
kapalkapal perangnya di wilayah perairan Saparua. Serangan segera dilancarkan
dengan menembakkan meriam ke arah Duurstede yang dilakukan secara terus-
menerus. Pada 2 Agustus 1817, pasukan Belanda berhasil menduduki Benteng
Duurstede. Namun, mereka gagal menangkap Pattimura. Oleh karena itu, Belanda
segera melancarkan politik adu domba.
Belanda mengumumkan kepada masyarakat tentang tawaran hadiah sebesar
1.000 gulden. Hadiah tersebut akan diberikan bagi siapa pun yang dapat
menginformasikan keberadaan Pattimura. Ternyata, jeratan yang dibuat Belanda
ini betul mengenai sasaran. Raja Boi adalah orang yang memberitahukan tempat
persembunyian Pattimura kepada pihak Belanda.
Setelah mengetahui lokasi persembunyian Pattimura, Belanda dengan segera
mengerahkan pasukannya. Ia membawa pasukan besar-besaran demi menangkap
Pattimura yang bersembunyi 57 di Bukit Boi. Pada 16 Desember 1918, Pattimura
pun dijatuhi dengan hukuman gantung di Benteng Nieuw Victoria di Kota Ambon.
Penangkapan Pattimura ini pun menjadi tanda berakhirnya perjuangan rakyat
Maluku terhadap Belanda.

3. Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin di Palembang (1817 - 1821)


Sultan Mahmud Badaruddin II lahir di Palembang pada tahun 1767. Ia adalah
pemimpin Kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813 dan
1818-1821) setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin
(1776- 1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran
Ratu.
Sejak hasil tambang timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18,
Palembang menjadi incaran Inggris dan Belanda. Demi menjalin kontrak dagang,
bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Karena timbul persaingan antara
Belanda dan Inggris, maka Inggris melalui Raffles berusaha membujuk Sultan
Mahmud Badaruddin ll agar mengusir Belanda dari Palembang.
Sultan Mahmud menolak permintaan Raffles karena tidak ingin terlibat dalam
pertikaian Inggris dan Belanda. Namun, akhirnya terjalin kerja sama Inggris dan
Palembang dengan pihak Palembang lebih diuntungkan.
a. Peristiwa Loji Sungai Aur (1811).
Pada 14 September 1811, terjadi pembantaian di Loji Sungai Aur.
Pihak Belanda yang disalahkan atas pembataian tersebut. Namun, Belanda
beranggapan bahwa Inggris sengaja melakukannya agar Kesultanan
Palembang mengusir Belanda dari Palembang. Karena merasa terpojok,
Inggris di bawah pimpinan Raffles mengadakan perundingan dengan
Sultan Mahmud Badaruddin II dan berharap mendapatkan jatah Pulau
Bangka yang saat itu masuk wilayah Kesultanan Palembang. Pulau
tersebut juga merupakan penghasil timah yang diperebutkan Belanda dan
Inggris. Namun, permintaan Inggris jelas ditolak oleh Sultan Mahmud
Badaruddin II.
b. Penyerbuan Inggris ke Palembang tahun 1812.
Hubungan Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Raffles cukup baik
sebelum takluknya Belanda dari Inggris. Namun, pada 12 Maret 1812,
Inggris mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan Gillespie ke
Palembang dan memerangi Palembang dengan alasan menghukum Sultan
Mahmud
Badaruddin atas penolakannya menyerahkan wilayah Pulau Bangka.
Dalam pertempuran itu, Inggris berhasil menduduki Palembang. Sultan
Mahmud Badaruddin pun menyingkir ke Muara Rawas di hulu Sungai
Musi. Pada 1811, Inggris mengalahkan Belanda dan memaksa Belanda
menandatangani Perjanjian Tuntang yang isinya sebagai berikut. 1)
Pemerintah Belanda menyerahkan Indonesia kepada Inggris di Kalkuta
(India). 2) Semua tentara Belanda menjadi tawanan perang Inggris. 3)
Orang Belanda dapat dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris.
Dengan demikian, Palembang jatuh ke tangan Inggris. Setelah
menguasai Palembang, Inggris mengangkat Pangeran Adipati yang
merupakan adik kandung Sultan Mahmud Badaruddin ll sebagai Sultan
Palembang setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang
menguntungkan
Inggris.
Inggris mengambil alih Pulau Bangka dan mengganti namanya
menjadi Duke of York’s Island dan menempatkan Meares sebagai
residennya. Sementara itu, Sultan Mahmud Badaruddin yang melarikan
diri ke Muara Rawas mulai menghimpun kekuatan dan mendirikan kubu di
Muara Rawas untuk menghadapi serangan dari Meares yang ingin
menangkapnya.
Pada 28 Agustus 1812, terjadi pertempuran di Buay Langu yang
menyebabkan Meares tertembak dan tewas setelah dibawa ke Mentok.
Kedudukan residen kemudian diambil alih oleh Mayor Robinson. Dalam
upaya menangkap Sultan Mahmud Badaruddin, Mayor Robinson
mengadakan perundingan damai dengan Sultan Mahmud Badaruddin.
Melalui serangkaian perundingan, Sultan Mahmud Badaruddin kembali ke
Palembang dan naik takhta pada Juli 1813 sebelum kembali dilengserkan
pada Agustus 1813.
Sementara itu, Mayor Robinson ditahan dan dipecat oleh Raffles
karena mandat yang diberikan tidak dijalankan dengan baik. Perlawanan
Sultan Mahmud Badaruddin bersama rakyat yang menggunakan stategi
perang bergerilya dengan ketangkasan dan kecerdasannya serta
pemahaman terhadap medan perang akhirnya mampu memaksa Inggris
untuk mundur dan kalah. Inggris pun mengakui kedaulatan Palembang
sebagai kesultanan.
Konflik Sultan Mahmud Badaruddin ll dengan Belanda dimulai sejak
ditandatangani Perjanjian London antara Belanda dan Inggris yang
membuat Inggris menyerahkan daerah koloni di Nusantara, termasuk
Palembang, kepada Belanda. Serah terima dilakukan dua tahun kemudian,
tepatnya pada 19 Agustus 1816 oleh Jhon Fendall sebagai pengganti
Raffles.
Setelah serah terima kekuasaan, Belanda mengangkat Herman Warner
Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang
dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, Sultan Mahmud
Badaruddin II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil. Sultan Mahmud
Badaruddin II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara
itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Inggris berhasil
dibujuk oleh Muntinghe ke Batavia sebelum akhirnya dibuang ke Cianjur.
Mutinghe melakukan penjajahan ke pedalaman wilayah Kesultanan
Palembang dengan alasan untuk inventarisasi wilayah, karena pada
dasarnya hanya untuk menguji kesetiaan Sultan Mahmud Badaruddin ll
dan karena ketidakpercayaan Mutinghe kepada Sultan Mahmud
Badaruddin ll. Akan tetapi, di daerah Muara Rawas, Mutinghe dan
pasukannya diserang oleh pengikut Sultan Mahmud Badaruddin ll.
Setelah kembali, Mutinghe bermaksud memaksa Kesultanan
Palembang agar menyerahkan putra mahkota sebagai jaminan agar
Kesultanan Palembang selalu setia terhadap pemerintah Belanda. Namun,
sampai habis batas penyerahannya, Kesultanan Palembang tidak
menyerahkan putra mahkota dan Sultan Mahmud Badaruddin menyerang
Belanda yang didasari oleh sikap Belanda yang terlalu mencampuri urusan
kesultanan dan mengekang kesultanan agar tunduk kepada Belanda. Sikap
inilah yang menyebabkan Sultan Mahmud Badaruddin dan Kesultanan
Palembang beserta rakyat menyatakan perang terhadap Belanda.
c. Perang Palembang I (1819)
Pertempuran Belanda melawan Kesultanan Palembang pecah pada 12
Juni 1819. Perlawanan itu dikenal dengan Pertempuran Menteng yang
merupakan pertempuran terdahsyat karena banyak korban berjatuhan dari
pihak Belanda.
Pertempuran terus berlanjut, akan tetapi karena kuatnya pertahanan
Palembang yang sulit ditembus dan banyaknya korban di pihak Belanda,
maka Belanda memutuskan kembali ke Batavia dengan membawa
kekalahan.
d. Perang Palembang II (1819)
Sekembalinya ke Batavia dan memberitahukan keadaaan peperangan
ke pemerintah di Batavia, Gubernur Jenderal Belanda saat itu, Van der
Capellen, mengadakan perundingan dengan Laksamana Constantijn Johan
Wolterbeek dan Mayjend. Hendrik Markus de Kock yang membahas
tentang Kesultanan Palembang yang sangat sulit ditaklukkan oleh Belanda.
Akhirnya, diputuskan untuk kembali menyerang Palembang.
Oleh karena itu, Belanda mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan
kekuatan penuh dengan tujuan menggulingkan Sultan Mahmud
Badaruddin ll dan menguasai Palembang secara penuh, serta mengganti
Sultan Mahmud Badaruddin dengan Pangeran Jayadiningrat yang
didukung oleh Belanda. Sebab, Belanda beranggapan bahwa selama Sultan
Mahmud Badaruddin masih berkuasa, maka Palembang tidak akan pernah
bisa dikuasai seluruhnya dan itu berarti Belanda tidak bisa menjangkau
jalur perdagangan di Pulau Bangka yang menjadi wilayah dari Kesultanan
Palembang.
Kabar bahwa Belanda mengirimkan pasukan ekspedisi ke Palembang
telah didengar oleh Sultan Mahmud Badaruddin ll. Karena ia telah
mengira akan ada serangan balik, maka ia mempersiapkan pertahanan
yang tangguh di beberapa tempat di Sungai Musi sebelum masuk ke
Palembang dengan dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani
oleh keluarga sultan.
Pada 21 Oktober 1819, pecah pertempuran di Sungai Musi antara
Belanda yang dipimpin oleh Wolterbeek dengan Kesultanan Palembang
yang dipimpin sendiri oleh Sultan Mahmud Badaruddin. Terjadi tembak-
menembak meriam di kedua belah pihak hingga Wolterbeek menghentikan
pertempuran dan memutuskan kembali ke Batavia.
e. Perang Palembang III (1821)
Setelah pertempuran pada 21 Oktober 1819, Sultan Mahmud
Badaruddin ll mengangkat anaknya, Pangeran Ratu, menjadi sultan di
Kesultanan Palembang dengan gelar Ahmad Najamuddin lll. Hal ini
dilakukan karena Sultan Mahmud Badaruddin ll hanya ingin terfokus
untuk melawan Belanda dan mengusirnya dari Tanah Palembang dan tidak
diganggu oleh urusan Kesultanan Palembang.
Namun, persiapan benteng dan pertahanan Sultan Mahmud
Badaruddin ll di Sungai Musi sudah diketahui oleh Belanda melalui mata-
matanya yang ternyata adalah dari kalangan bangsawan dan orang Arab di
Palembang. Hal ini menyebabkan Belanda mempersiapkan pasukan yang
besar dalam rangka menghadapi Kesultanan Palembang.
Pada 16 Mei 1821, Belanda di bawah pimpinan De Kock memasuki
sungai Musi dan pertempuran baru terjadi pada 11- 20 Juni 1821. Belanda
kembali mengalami kekalahan, akan tetapi hal ini tidak menyurutkan
semangat Belanda. Belanda kembali menyusun strategi dalam menghadapi
Kesultanan Palembang. Hingga akhirnya pada 24 Juni 1821, yang pada
saat itu bertepatan dengan bulan Ramadan, Belanda menyerang Palembang
pada dini hari.
Terjadilah pertempuran hebat antara pemerintah Belanda dengan
rakyat Palembang. Akibat serangan fajar tersebut, Palembang dapat
dilumpuhkan, tetapi belum dapat dikuasai sepenuhnya. Baru pada 25 Juni
1821, Palembang jatuh ke tangan Belanda. Maka, resmilah kolonialisme
Belanda di Palembang.
Setelah melakukan perlawanan dan menderita kekalahan akibat
serangan tiba-tiba dari Belanda, Palembang pun dapat dikuasai oleh
Belanda. Sementara itu, Sultan Mahmud Badaruddin ll dan keluarganya
menjadi tawanan Belanda. Pada 13 Juli 1821, Sultan Mahmud Badaruddin
dan keluarganya dikirim ke Batavia sebelum dipindahkan ke Ternate pada
26 September 1821 sampai Sultan Mahmud Badaruddin ll meninggal di
Ternate pada 26 September 1852.
Sebagian keluarga sultan yang tidak tertangkap mengasingkan diri ke
Marga Sembilan sambil melanjutkan perlawanan atas Belanda waluapun
tidak sehebat Sultan Mahmud Badaruddin ll. Karena banyaknya
perlawanan Kesultanan Palembang kepada Belanda, maka Belanda
membekukan Kesultanan Palembang.

4. Perlawanan I Gusti Ketut Jelantik di Bali (1846 - 1849)


I Gusti Ketut Jelantik adalah putra dari I Gusti Nyoman Jelantik Raya. Ia
diangkat sebagai patih di Kerajaan Buleleng pada tahun 1828 dan meninggal pada
tahun 1849. I Gusti Ketut Jelantik dikenal luas karena keberaniannya dalam
melawan penjajah Belanda pada saat itu. Sikap dan tindakannya dinilai berani
karena menolak tuntutan Belanda dalam sebuah perundingan yang menuntut agar
Kerajaan Buleleng mengganti kerugian kapal yang dirusak dan mengakui
kedaulatan pemerintah Hindia Belanda. Pada saat perundingan itu, pihak Belanda
diwakili oleh JPT Mayor
Komisaris Hindia Belanda, sedangkan Kerajaan Buleleng diwakili oleh Raja
Buleleng, I Gusti Ngurah Mada Karangasem, dan Patih Agung, I Gusti Ketut
Jelantik.
I Gusti Ketut Jelantik marah besar dengan tuntutan pihak Belanda agar
kerajaannya tunduk kepada kolonial Belanda. Oleh sebab itu, ia berucap, “Tidak
bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas saja, tapi harus
diselesaikan di atas ujung keris. Selama saya hidup, kerajaan ini tidak akan
pernah mengakui kedaulatan Belanda.”
Belanda terus mencoba mencari celah untuk melawan I Gusti Ketut Jelantik,
salah satunya dengan memanfaatkan Raja Klungkung. Dalam pertemuan yang
berlangsung pada 12 Mei 1845, Belanda menuntut agar Buleleng mengganti rugi
kapal dan menghapuskan hak “tawan karang”, yakni merampas perahu yang
terdampar di kawasan Buleleng. I Gusti Ketut Jelantik marah dengan tuntutan
Belanda itu, bahkan ia menghunuskan sebilah keris pada kertas perjanjian.
Pada 27 Juni 1846, Belanda melakukan serangan ke Kerajaan Buleleng.
Akhirnya, Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada 29 Juni 1846.
Kemudian, Rraja Buleleng dan Patih I Gusti Ketut Jelantik mundur ke Desa
Jagaraga untuk menyusun kekuatan. Patih I Gusti Ketut Jelantik adalah seseorang
yang ahli strategi perang dan menjadi sosok yang disegani oleh raja-raja lain
karena sikapnya yang teguh pendirian. Hal ini ditunjukkan ketika
mempertahankan Desa Jagaraga, Patih I Gusti Ketut Jelantik terus memperkuat
pasukannya dan mendapat bantuan dari kerajaan lain seperti Klungkung,
Karangasem, Badung, dan Mengwi.
Pada 6-8 Juni 1848, pihak Belanda melakukan serangan kedua dengan
mendaratkan pasukannya di Sangsit. Bali yang dipimpin oleh I Gusti Ketut
Jelantik mengerahkan pasukan Benteng Jagaraga yang merupakan benteng terkuat
bila dibandingkan dengan empat benteng lainnya. Sedangkan pihak Belanda
dipimpin oleh Jendral Van Der Wijck. Namun, pihak Belanda gagal menembus
benteng yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dan hanya mampu merebut
satu benteng saja, yakni benteng sebelah timur Sangsit yang berada dekat
Bungkulan.
Adanya kekalahan ini semakin mengangkat semangat raja-raja lainnya untuk
semakin mengerahkan kekuatan dalam melawan Belanda. Pasukan Patih Jelantik
ini menggegerkan parlemen Belanda yang kemudian melancarkan serangan
besarbesaran yang dipimpin oleh Jendral Michiels pada 31 Maret 1849. Belanda
menyerang Bali dengan menembakkan meriam-meriamnya.
Pada 7 April 1849, Raja Buleleng dan Patih Jelantik bersama 12 ribu prajurit
berhadapan dengan Jendral Michiels. Karena kalah persenjataan, Bali terdesak
dan mundur sampai Pegunungan Batur Kintamani. Jagaraga akhirnya jatuh ke
tangan Belanda pada 16 April 1849. I Gusti Ketut Jelantik gugur pada serangan di
Karangasem oleh Belanda yang didatangkan dari Lombok dan menyerang hingga
ke Pegunungan Bale Punduk. Gugurnya I Gusti Ketut Jelantik membuat
perlawanan raja-raja Bali mulai mengalami kemunduran. Daerah Bali dapat
dengan mudah dikuasai. Hanya tersisa Bali Selatan yang masih melakukan
perlawanan.

5. Perlawanan Pangeran Antasari di Kalimantan (1859 - 1862)


Pangeran Antasari lahir pada tahun 1797 di Banjar. Ayahnya bernama
Pangeran Masohut (Mas’ud). Ayahnya merupakan anak dari Pangeran Amir yang
merupakan anak dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik
takhta pada tahun 1785. Ibunya bernama Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman.
Semasa muda, Pangeran Antasari mempunyai nama Gusti Inu Kartapati.
Pangeran Antasari memiliki tiga putra dan delapan putri. Ia memiliki saudara
perempuan yang bernama Ratu Antasari yang menikah dengan Sultan Muda
Abdurrahman bin Sultan Adam, tetapi meninggal setelah melahirkan calon
pewaris Kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal
semasa masih bayi.
Penjajahan kolonial Belanda ketika menduduki wilayah Kalimantan tepatnya
berada di Banjar. Strategi yang mereka jalankan dikenal dengan nama politik
divide et impera, yang berarti membagi, memecah belah, dan menguasai atau
yang dikenal dengan istilah “politik adu domba”. Hal tersebut bertujuan untuk
menguasai kerajaan di Banjar. Pada tahun 1859, Sultan Tamjid diangkat menjadi
Sultan Kerajaan Banjar, padahal yang berhak naik takhta adalah Pangeran
Hidayat. Sultan Tamjid tidak disukai oleh rakyat karena terlalu memihak kepada
Belanda. Belanda sengaja memberikan dukungannya kepada Sultan Tamjid. Hal
ini menunjukkan campur tangan Belanda sudah sangat meresahkan, bahkan
dalam pengangkatan seorang sultan pun merekalah yang menentukan.
Sebagai salah seorang keturunan Raja Banjarmasin yang dibesarkan di luar
istana, Pangeran Antasari merasa prihatin dengan situasi tersebut. Walaupun ia
keluarga Sultan Banjar, tetapi tidak pernah hidup dalam lingkungan istana.
Karena dibesarkan di tengah-tengah rakyat biasa, Antasari menjadi dekat dengan
rakyat, mengenal perasaan, dan mengetahui penderitaan mereka. Pada waktu itu,
kekuasaan kolonial Belanda sedang berusaha untuk melemahkan Kerajaan
Banjar.
Belanda mengadu domba golongan-golongan yang ada di dalam istana
sehingga mereka terpecah-pecah dan bermusuhan. Maka, Antasari pun berinisiatif
untuk mengusir penjajah dari Kerajaan Banjar tanpa kompromi. Pangeran
Antasari berusaha membela hak Pangeran Hidayat, lalu bersekutu dengan kepala-
kepala daerah Hulu Sungai, Martapura, Barito, Pleihari, Kahayan, Kapuas, dan
daerah lain. Mereka semuanya bertekad untuk mengangkat senjata mengusir
Belanda dari Kerajaan Banjar. Sikap anti terhadap Belanda muncul akibat
pergantian kekuasaan di istana yang menimbulkan keresahan di antara rakyat.
Pada 25 April 1859, Perang Banjar terjadi saat Pangeran Antasari beserta
dengan sekitar 6.000 pasukan menyerang tambang batu bara milik Belanda di
Pengaron. Berawal dari peperangan tersebut, peperangan demi peperangan terjadi
di seluruh wilayah Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari yang
dibantu dengan para panglima dan pasukannya. Pangeran Antasari menyerang
pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tabalong, Tanah Laut,
dan Sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang terjadi antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan
pasukan Belanda berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang
mendapat bantuan dari Batavia menang dalam persenjataan sehingga berhasil
membuat mundur pasukan Khalifatul Mukminin dan memindahkan pusat
benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Pangeran Antasari berhasil mengerahkan tenaga rakyat dan mengobarkan
semangat mereka sehingga Belanda menghadapi kesulitan. Karena hebatnya
perlawanan, maka Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, tetapi
ia tetap pada pendiriannya. Ini dijelaskan dalam surat yang ditulisnya untuk
Letnan Kolonel Gustave Verspijk di Banjarmasin tanggal 20 Juli 1861, “...
dengan tegas kami terangkan kepada tuan: kami tidak setuju terhadap usul minta
ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan) ....”
Pada 14 Maret 1862, Pangeran Antasari diangkat sebagai pimpinan
pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang
gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin di hadapan para kepala suku
Dayak dan adipati penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan, yaitu
Tumenggung Surapati/Tumengung Yang Pati Jaya Raja. Pangeran Antasari juga
merupakan pemimpin Suku Bakumpai, Kutai, Maanya, Murung, Ngaju, Pasir,
Siang, Sihong, dan beberapa suku yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau
sepanjang Sungai Barito.
Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai
sepupu dari pewaris Kesultanan Banjar, untuk mengukuhkan kedudukannya
sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara
Teweh dan sekitarnya), maka pada 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13
Ramadan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan, “Hidup untuk Allah dan Mati
untuk Allah.” Seluruh rakyat Banjar mengangkat Pangeran Antasari menjadi
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminini, yaitu pemimpin pemerintahan,
panglima perang, dan pemuka agama tertinggi.
Dalam keadaan sangat terjepit, Pangeran Hidayat akhirnya menyerah kepada
Belanda. Kepala-kepala daerah lain pun banyak pula yang menyerah. Pangeran
Antasari tetap melanjutkan perjuangan. Baginya, pantang untuk berdamai dengan
Belanda, apalagi menyerah. Ia terus melanjutkan perjuangannya dengan
berperang di kawasan Kalimantan Selatan dan Tengah. Pada Oktober 1862, suatu
serangan besarbesaran telah direncanakan.
Pasukan telah disiapkan, wabah penyakit cacar menyerang dan melemahkan
pasukan ini beserta Antasari juga terkena wabah tersebut. Pangeran Antasari
meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok,
Sampirang. Perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Muhammad
Seman.

6. Perlawanan Teuku Umar di Aceh (1873-1899)


Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat, pada tahun 1854. Ia anak
seorang uleebalang (hulubalang) bernama Teuku Achmad Mahmud dari
perkawinannya dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua
orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki.
Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati yang berasal dari
Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang
merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan
Iskandar Muda di Pariaman. Salah seorang keturunan Datuk Makhudum Sati
pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang
Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang
itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh.
Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang putra, yaitu Teuku Nanta Setia dan
Teuku Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai
anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien.
Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan
kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat
yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku
Umar tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu
menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani.
Ketika Perang Aceh meletus pada 1873, Teuku Umar ikut serta berjuang
bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya. Ketika itu, umurnya baru menginjak 19
tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke
Aceh Barat.
Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik
gampong (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak
Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar
kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, putri dari Panglima Sagi XXV
Mukim. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, putri
pamannya, Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim
Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di
Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan
terhadap pos-pos Belanda.
Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak
Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda
berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn
pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk
merebut hati rakyat Aceh.
Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Ketika bergabung dengan Belanda,
Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Hal tersebut dilakukan
Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar
diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil. Sebagai kompensasi atas
keberhasilannya itu, permintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang
panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (Panglima Laut)
sebagai tangan kanannya, dikabulkan.
Tahun 1884, Kapal Inggris “Nicero” terdampar. Kapten dan awak kapalnya
disandera oleh Raja Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan senilai 10 ribu
dolar tunai. Oleh pemerintah kolonial Belanda, Teuku Umar ditugaskan untuk
membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut telah mengakibatkan
ketegangan antara Inggris dengan Belanda.
Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal “Nicero” merupakan
pekerjaan yang berat. Sebab, tentara Raja Teunom sangat kuat, sehingga Inggris
sendiri tidak dapat merebutnya kembali. Namun, ia sanggup merebut kembali asal
diberi logistik dan senjata yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka
waktu 74 yang lama. Dengan perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku Umar
berangkat dengan Kapal “Bengkulen” ke Aceh Barat dengan membawa 32 orang
tentara Belanda dan beberapa panglimanya.
Tidak lama, Belanda dikejutkan berita yang menyatakan bahwa semua tentara
Belanda yang ikut dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata dan perlengkapan
perang lainnya dirampas. Sejak itu, Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh
untuk melawan Belanda. Teuku Umar juga menyarankan Raja Teunom agar tidak
mengurangi tuntutannya.
Teuku Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara Aceh dan
memimpin kembali perlawanan rakyat. Teuku Umar juga berhasil merebut
kembali daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Nanta Setia, Cut Nyak Dhien, dan
Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di Lampisang, Aceh Besar,
yang juga menjadi markas tentara Aceh.
Dua tahun setelah insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke Bandar
Rigaih Kapal “Hok Canton” yang dinakhodai pelaut Denmark bernama Kapten
Hansen, dengan maksud menukarkan senjata dengan lada. Hansen bermaksud
menjebak Umar untuk naik ke kapalnya, menculiknya, dan membawa lari lada
yang bakal dimuat ke Pelabuhan Ulee Lheu dan diserahkan kepada Belanda yang
telah menjanjikan imbalan sebesar $ 25 ribu untuk kepala Teuku Umar.
Umar curiga dengan syarat yang diajukan Hansen dan mengirim utusan.
Hansen berkeras Umar harus datang sendiri. Teuku Umar lalu mengatur siasat.
Pagi dini hari, salah seorang panglima bersama 40 orang prajuritnya menyusup ke
kapal. Hansen tidak tahu kalau dirinya sudah dikepung. Paginya, Teuku Umar
datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu. Namun, Hansen ingkar
janji dan memerintahkan anak buahnya menangkap Umar.
Teuku Umar sudah siap dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Hansen
berhasil dilumpuhkan dan tertembak ketika berusaha melarikan diri. Nyonya
Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan awak kapal dilepas.
Belanda sangat marah karena rencananya gagal. Perang pun berlanjut. Pada tahun
1891, Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah
dari Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran.
Belanda sebenarnya pun sangat kesulitan karena biaya perang terlalu besar dan
lama.
Teuku Umar sendiri merasa perang ini sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat
tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya, petani tidak dapat lagi mengerjakan
sawah ladangnya. Teuku Umar pun mengubah taktik dengan cara menyerahkan
diri kembali kepada Belanda. September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri
kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang panglima
bawahannya setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan. Teuku
Umar dihadiahi gelar “Teuku Johan
Pahlawan Panglima Besar Nederland”.
Istrinya, Cut Nyak Dhien, sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan
suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan. Teuku Umar
menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap
pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan menyenangkan. Ia
selalu memenuhi setiap panggilan dari gubernur Belanda di Kutaraja dan
memberikan laporan yang memuaskan sehingga ia mendapat kepercayaan yang
besar dari gubernur Belanda.
Kepercayaan itu dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan perjuangan
rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan, Teuku Umar hanya
melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras
rakyat (misalnya Teuku Mat Amin). Pasukannya disebarkan bukan untuk
mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi para pemimpin pejuang Aceh
dan menyampaikan pesan rahasia.
Pada suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan pertemuan rahasia
yang dihadiri para pemimpin pejuang Aceh untuk membicarakan rencana Teuku
Umar untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan
perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Cut Nyak Dhien pun sadar
bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara di hadapan Belanda untuk
mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan, gaji yang diberikan
Belanda secara diam-diam dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk
membiayai perjuangan. Pada 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas
militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000
butir peluru, 500 kilogram amunisi, dan uang 18.000 dolar.
Berita larinya Teuku Umar menggemparkan pemerintah kolonial Belanda.
Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Tentara baru
segera didatangkan dari Pulau Jawa. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar
untuk menyerahkan kembali semua senjata kepada Belanda. Umar tidak mau
memenuhi tuntutan itu. Maka, pada 26 April 1896, Teuku Johan Pahlawan
dipecat sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen
Hindia Belanda.
Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi
Belanda. Seluruh komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah
pimpinan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya, Cut Nyak Dhien, dan Panglima
Pang Laot serta mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad
Daud. Pertama kali dalam sejarah Perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu
komando.
Pada Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama
seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada 1
April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang
serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Raja
Aceh Sultan Muhammad Daud Syah. Pada Februari 1899, Jenderal Van Heutsz
mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di
Meulaboh dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat di
perbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899, Teuku Umar bersama
pasukannya tiba di pinggiran Kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika
pasukan Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan
tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya
adalah bertempur.
Dalam pertempuran itu, Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang
menembus dadanya. Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu
Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat
bersedih. Namun, itu bukan berarti perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya
suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan
rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan
pejuang Aceh.
7. Perlawanan Sisingamangaraja (1878 - 1907)
Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845, meninggal di Dairi,
17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di Negeri Toba, Sumatra
Utara dan pejuang yang berperang melawan Belanda. Sebelumnya, ia
dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige
pada tahun 1953.
Nama kecil Sisingamangaraja XII adalah Patuan Bosar, yang kemudian
digelari Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu.
Ia naik takhta pada tahun 1876 untuk menggantikan ayahnya, Sisingamangaraja
XI yang bernama Ompu Sohahuaon. Selain itu, ia juga disebut juga sebagai Raja
Imam.
Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di Negeri Toba bersamaan
dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam
mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda. Ia tidak mau
menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra, terutama
Kesultanan Aceh dan Toba karena kerajaan ini membuka hubungan dagang
dengan negara-negara Eropa lainnya. Di sisi lain, Belanda sendiri berusaha untuk
menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini
mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang
berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Raja
Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatra
Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada
Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak
menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan
Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk
manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-
20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin
Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas
menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.
Tahun 1877, para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan
kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja
XII. Kemudian, pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya
menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bakara, tetapi sekaligus
menaklukkan seluruh Toba.
Pada 6 Februari 1878, pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman
penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian, beserta penginjil Nommensen
dan Simoneit sebagai penerjemah, pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu
untuk menyusun benteng pertahanan. Namun, kehadiran tentara kolonial ini telah
memprovokasi Sisingamangaraja XII yang kemudian mengumumkan pulas
(perang) pada 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu
mulai dilakukan.
Pada 14 Maret 1878, datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang
dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada 1
Mei 1878, Bakkara, pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan
kolonial dan pada 3 Mei 1878, seluruh Bakkara dapat ditaklukkan. Namun,
Sisingamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan
terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa
Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam
kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Sisingamangaraja XII terus melakukan
perlawanan secara gerilya. Namun, sampai akhir Desember 1878, beberapa
kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, serta Gurgur
juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda. Di antara tahun 1883-
1884, Sisingamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya.
Kemudian, bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang
kedudukan Belanda, di antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga
Batu pada tahun 1884.
Sisingamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah
pertempuran dengan Belanda di pinggir Bukit Lae Sibulbulen, di suatu desa yang
bernama Si Ennem Kodn, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan
Kabupaten Dairi yang sekarang. Sebuah peluru menembus dadanya akibat
tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang
napas terakhir, ia tetap berucap, “Ahu (aku) … Sisingamangaraja.”
Turut gugur pada waktu itu dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi,
serta putrinya, Lopian. Sementara itu, keluarganya yang tersisa ditawan di
Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara
militer pada 22 Juni 1907 di Silindung setelah sebelumnya mayatnya diarak dan
dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke
Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953.

I. Konflik Inggris Dengan Belanda Memperebutkan Pulau Jawa

Pada bulan Mei 1811 Daendels dipanggil Kaisar Napoleon untuk kembali ke
Belanda. Kedatangan gubernur jenderal yang baru pengganti Daendels membawa
angin segar bagi raja-raja Jawa. Karakter gubernur jenderal yang baru ini
berbanding terbalik dengan Daendels sehingga cepat mendapatkan simpati di
lingkungan yang dipimpinnya. Jan Willem Janssens memang mempunyai
karakter yang jujur, kebapakan, dan sabar.
Janssens memerintah sejak tanggal 6 Mei 1811 dan tidak lagi memusatkan
perhatian kepada raja-raja Jawa tetapi pada mempersiapkan strategi dan
infrastruktur pertahanan Jawa dalam rangka menghadapi invansi pasukan Inggris
yang sudah semakin dekat.
Karena hubungan yang baik dengan raja-raja Jawa Janssens meminta bantuan
militer kepada raja-raja Jawa, termasuk juga Kesultanan Yogyakarta. Selain
bantuan militer Janssens tidak meminta bantuan dalam bentuk apa pun. Sikap
Janssens ini dipertahankan sampai ia menandatangani Kapitulasi Tuntang pada 18
September 1811 dan menyerahkan wilayah koloni Jawa kepada Inggris.
Untuk menghadapi Belanda di Jawa, Inggris sudah bersiap di Malaka dengan
kekuatan 12.000 serdadu terlatih yang didatangkan langsung dari resimen-
resimen garis depan, batalion-batalion Sepoy Benggala dan pasukan artileri
berkuda dari Madras.
Inggris di bawah komando Raffles berkirim surat kepada raja-raja Jawa yang
isinya Inggris siap membantu mereka untuk mengakhiri segala sesuatu yang
berkaitan antara raja-raja Jawa dengan rezim Perancis-Belanda. Bukan itu saja,
Raffles juga berkirim surat kepada Sultan Sepuh dan berjanji akan memulihkan
martabatnya dan mengembalikan kekuasaannya sebagai raja. Para raja Jawa itu
juga diminta membatalkan atau tidak membuat perjanjian apa pun dengan rezim
Belanda dan menunggu saja kedatangan Inggris. Dengan janji Raffles itu seakan-
akan Inggris berbeda dengan Belanda yang kejam dan serakah. Dengan adanya
surat itu pupus sudah harapan Rezim Belanda di bawah kekuasaan Janssens untuk
meminta bantuan raja-raja Jawa, walaupun hanya berupa tentara untuk melawan
Inggris.
Untuk menghadapi tentara Inggris, rezim Belanda menyiapkan 17.774 tentara
warisan Daendels. Tentara sejumlah itu merupakan jerih payah Daendels untuk
mengorganisasi pertahanan militer yang semula hanya berjumlah 7.000 tentara.
Pada 3 Agustus 1811 tentara Inggris yang dipimpin oleh Kolonel (kelak Mayor
Jenderal Sir) Samuel Gibbs melakukan pendaratan besar-besaran. Sejumlah kapal
dikerahkan untuk menggempur rezim Belanda di Jawa. Ada 81 kapal baik kapal
angkut maupun kapal perang mendarat di pantai Batavia, di Cilincing, dan pada 8
Agustus 1811 Kota Tua (Batavia) berhasil direbut Raffles.
Janssens berusaha mempertahankan kekuasaannya bersama dengan tentaranya
di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), akan tetapi gelombang tentara Inggris
yang dahsyat tidak dapat dibendung Janssens. Dalam pertempuran itu, tentara
Belanda dibuat berantakan sehingga 50 persen serdadu Eropa dan Ambon tewas.
Tentara bantuan dari Jawa dan Madura juga 80 persen tewas.
Pertempuran tidak seimbang itu kelak diabadikan di daerah sekitar Jatinegara
sebagai nama daerah Rawabangke atau Rawaangke tempat di mana para korban
pertempuran mati di rawa-rawa secara bertumpuk-tumpuk.
Meester Cornelis (Jatinegara) jatuh pada 26 Agustus 1811 dan mengakibatkan
500 serdadu korban tewas di pihak Inggris. Janssens kemudian memindahkan
pusat pertahanan dan pemerintahan ke Semarang. Di sana ia menyusun lagi
kekuatan militernya. Tetapi karena ia sudah banyak kehilangan tentara di Meester
Cornelis (Jatinegara), maka gempuran Inggris yang mendaratkan pasukannya
pada 12 September 1811 sebanyak 1.600 yang dikomandani Kolonel Samuel
Gibbs membuat Janssens tidak berdaya.
Akhirnya, empat hari setelah pendaratan tentara Inggris di Semarang, tepatnya
di Jatingaleh dekat Srondol di daratan tinggi Semarang, Janssens dan sekutu-
sekutu Jawanya (prajurit Kesunanan dan Mangkunegaran) dapat dikalahkan
dengan telak, karena sebagian besar dari tentara campuran itu melarikan diri. Tapi
Janssens tidak begitu mudah menyerah. Ia mundur ke Salatiga untuk kembali
menyusun kekuatan kembali. Ketika tentara Inggris mendarat di Semarang
Pangeran Notokusumo dan putranya disuruh Raffles pergi ke Surabaya dan
berada di sana.
Tentara Inggris yang beringas itu terus merangsek ke depan menghancurkan
sisasisa tentara Belanda. Akhirnya pada 18 September 1811 di atas Jembatan Kali
Tuntang Janssens dengan terpaksa menandatangani surat pernyataan menyerah.
Isi perjanjian Tuntang yaitu:
1. Jawa dan semua pangkalannya (Madura, Palembang, Makassar, dan Sunda
Kecil) diserahkan kepada Inggris.
2. Militer-militer Belanda menjadi tawanan Inggris.
3. Pegawai-pegawai sipil yang ingin bekerja, dapat bekerja terus dalam
pemerintahan Inggris. Engelhard tetap menjadi minister walaupun dia orang
Belanda.
Setelah Janssens menyerah, pemerintahan Raffles mengambil kebijakan
bahwa semua pejabat sipil dalam pemerintahan Prancis-Belanda diizinkan untuk
terus bekerja demi melayani pemerintahan yang baru, yakni Inggris. Dari orang-
orang inilah agaknya Raffles mendapatkan informasi bahwa Sultan Sepuh adalah
raja Jawa yang suka membangkang terhadap kekuasaan asing di Jawa. Sementara
itu para pejabat militer yang menjadi tawanan perang dan dikirim ke Benggala.
Sejak saat itu, rezim Inggris menancapkan hegemoninya di tanah Jawa di bawah
komando Raffles.
J. Geger Sepoy (1812)

Sultan Hamengku Buwono II atau dikenal dengan Sultan Sepuh memang tokoh
yang tidak mengenal kompromi dengan pihak asing yang bertujuan menginjak-
injak harga diri dan martabat kesultanan Yogyakarta. Untuk itulah dia berkali kali
turun tanhta. Mengikuti pergolakan dan perang di Eropa maka pihak asing di
tanah Jawa pada akhir tahun 1700-an dan awal tahun 1800-an berkutat pada tiga
negara yaitu Perancis, Belanda dan Inggris.
Sultan Sepuh diturunkan dari takhtanya pertama kali pada tahun 1810 pada saat
Daendels sebagai wakil Perancis dan gubernur jenderal yang berkuasa.
Penyebabnya adalah Sultan Sepuh tidak mau tunduk pada aturan Daendels yang
ingin menjadikan Kesultanan Yogyakarta sebagai bawahannya. Sultan Sepuh
tetap memegang tradisi, budaya dan adat istiadat keraton yang akan diubah
Dendels menjadi keraton yang berhaluan liberalisme misalnya tempat duduk raja
harus sejajar dengan residen Yogyakarta atau sejajar dengan tempat duduk
gubernur jenderal di Batavia. Karena Sultan Sepuh menentang maka Daendels
mengirim tentara sebanyak 3.200 tentara untuk menggempur Yogyakarta.
Akhirnya Sultan sepuh bersedia diturunkan dari takhtanya dari pada banyak
korban di pihak rakyat.
Kesultanan kemudian diserahkan kepada Putra Mahkota sebagai “Pangeran Wali”
yaitu Pangeran Surojo. Tetapi saat itu walaupun Sultan Sepuh turun takhta tetap
diperbolehkan di keraton sehingga segala keputusan keraton masih dikendalikan
oleh Sultan Sepuh. Ketika Inggris datang ke tanah Jawa merebut Jawa dari tangan
kekuasaan Perancis-Belanda maka Sultan Sepuh naik takhta lagi menggantikan
Putra mahkota.
Ketika Inggris menguasai Jawa dan Sultan Sepuh naik takhta kembali, Sultan
Sepuh juga tidak mau tunduk kepada aturan yang diberlakukan oleh Inggris di bawah
Raffles. Tempat duduk Sultan Sepuh harus lebih tinggi dari residen Inggris di
Yogyakarta dan tempat duduk Raffles sendiri apabila mereka bertemu dalam
sebuah perundingan. Cara meninggikan tempat duduk itu dengan mengganjal
kursi dengan kursi kecil di bawahnya sehingga tampak lebih tinggi. Hal itu
kemudian membuat Raffles memutuskan menurunkan Sultan sepuh dan diganti
dengan Putra mahkota yang naik takhta.
Akhirnya Raffles mengultimatum Sultan Sepuh dengan membawa tentara Sepoy
dan Inggris agar Sultan Sepuh turun takhta dan kedudukan raja digantikan Putra
Mahkota. Apabila tidak turun takhta maka keraton Yogyakarta akan diserang
Inggris. Karena Sultan Sepuh tidak menuruti perintah Inggris maka pada tanggal
18, 19 dan 20 Juni 1812 Keraton Yogyakarta diserang tentara Sepoy dan Inggris
yang berjumlah 1200 tentara. Serangan itu disebut Geger Sepoy karena tentara
Inggris membawa prajurit Sepoy dari India sebagai tentara bayaran.
Setelah Keraton Yogyakarta kalah dalam penyerbuan, Sultan Sepuh ditangkap dan
diputuskan dibuang ke Pulau Penang (sekarang wilayah Malaysia). Sedangkan
harta milik keraton Yogyakarta dijarah habis oleh tentara Sepoy dan tentara
Inggris.
Harta itu berupa uang, emas, berlian, keris dan lain sebagainya. Tidak itu saja
Kekayaan intelektual milik keraton Yogyakarta baik berupa manuskrip, arsip
keraton, gamelan juga turut dirampas oleh tentara Inggris dan Sepoy.
Raffles kemudian mengangkat Pangeran Surojo sebagai Putra Mahkota naik takhta
menjadi Sultan Hamengku Buwono III dan sejak itu Kesultanan Yogyakarta
menjadi kekuasaan Inggris hingga Inggris pergi dari tanah Jawa karena hasil
perjanjian London yang mengharuskan Inggris pergi dari Jawa dan diganti
dengan kolonial Belanda menguasai Indonesia.

K. Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1838)

Muhammad Shahab atau lebih dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol
adalah seorang ulama dan pemimpin yang memiliki peran penting dalam
melawan Belanda ketika Perang Padri yang terjadi pada 1803-1838. Imam Bonjol
lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada 1772. Ia merupakan anak dari
pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari
Sungai Rimbang, Suliki. Sebagai anak seorang alim ulama, Imam Bonjol dididik
dan dibesarkan secara
Islami.
Sejak 1800 hingga 1802, Imam Bonjol menimba dan mendalami ilmu-ilmu
agama Islam di Aceh. Usai menuntaskan masa pendidikannya, ia pun mendapat
gelar Malin Basa, yakni gelar untuk tokoh yang dianggap besar atau mulia. Ia
adalah sosok yang ingin menegakkan kebenaran. Perjalanan Tuanku Imam Bonjol
dalam menegakkan kebenaran terbagi dalam beberapa periode sebagai berikut.
a. Periode 1803-1821.
Ketika itu kaum Padri, yang di dalamnya juga termasuk Imam Bonjol,
hendak membersihkan dan memurnikan ajaran Islam yang cukup banyak
diselewengkan. Kala itu, kalangan ulama di Kerajaan Pagaruyung
menghendaki Islam yang berpegang teguh pada Alquran serta sunah-
sunah Rasulullah SAW. Dalam proses perundingan dengan kaum adat,
tidak didapatkan sebuah kesepakatan yang dirasa adil untuk kedua belah
pihak. Seiring dengan macetnya perundingan, kondisi pun kian bergejolak
hingga akhirnya kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman
menyerang Pagaruyung pada 1815. Pertempuran pun pecah di Koto
Tangah, dekat Batu Sangkar.
b. Periode 1821-1825.
Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin kerja
sama dengan Hindia Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri.
Sebagai imbalannya, Hindia Belanda mendapatkan hak akses dan
penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Salah satu
tokoh yang menghadiri perjanjian dengan Hindia Belanda kala itu adalah
Sultan Tangkal Alam Bagagar, anggota keluarga dinasti Kerajaan
Pagaruyung. Meskipun dibantu oleh kekuatan dan pasukan kolonial dalam
peperangan, kaum Padri tetap sulit ditaklukkan. Oleh karena itu, Hindia
Belanda melalui Gubernur Jenderal
Johannes van den Bosch mengajak pemimpin kaum Padri, yang kala itu telah
diamanahkan kepada Imam Bonjol, untuk berdamai. Tanda dari perjanjian
damai tersebut adalah dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang
pada 1824.
c. Periode 1825-1830.
Pada tahun 1825, di Pulau Jawa sedang terjadi Perang Diponegoro.
Belanda menghadapi kesulitan. Mereka harus mengerahkan kekuatan
militernya ke Pulau Jawa. Oleh karena itu, Belanda bermaksud
mengadakan perjanjian damai dengan Imam Bonjol. Pada 29 Oktober
1825, Belanda berhasil mengadakan perjanjian damai dengan kaum Padri
yang terkenal dengan sebutan Perjanjian Padang. Isi perjanjian tersebut
adalah kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata. Setelah
perjanjian itu, selama empat tahun Tanah Minangkabau aman, tidak ada
peperangan antara kaum Padri dengan Belanda.
d. Periode 1830-1838.
Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830, pasukan Belanda dialihkan
untuk menyerang Imam Bonjol. Pada pertengahan tahun 1832, Belanda
mengirimkan pasukannya ke Sumatra Barat. Benteng Padri berhasil
direbut Belanda. Namun, pada tahun 1833, benteng itu dapat direbut
kembali oleh pasukan Imam Bonjol dari tangan Belanda. Belanda terus
berusaha menundukkan Iman Bonjol. Kemudian, Belanda menggunakan
siasat benteng. Pasukan Belanda dipimpin Jenderal Michiels. Ketika itu,
kaum Padri sudah bersatu dengan kaum adat untuk bersama-sama
melawan Belanda.
Pada tahun 1833, kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat
akhirnya bergabung dan bahu-membahu dengan kaum Padri melawan
pasukan kolonial. Bersatunya kaum adat dan Padri ini dimulai dengan
adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di
Tabek Patah. Dari sana lahirlah sebuah konsensus adat basandi syarak,
yakni adat berdasarkan agama. Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri
tentu semakin menyulitkan pasukan Hindia Belanda. Kendati sempat
melakukan penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng kaum Padri
di Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut tak mampu
menundukkan perlawanan kaum Padri. Hindia Belanda bahkan tiga kali
mengganti komandan perangnya untuk menaklukkan benteng kaum Padri
tersebut.
Sadar bahwa taktik dan strategi perangnya kalah oleh kaum Padri,
pemerintah Hindia Belanda pun mengambil jalan pintas. Pada tahun 1837,
mereka mengundang Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Padri ke
Palupuh untuk kembali merundingkan perdamaian. Berbeda dengan
sebelumnya, kali ini Hindia Belanda memanfaatkan momen perundingan
untuk menjerat Imam Bonjol. Sesampainya di Palupuh, Imam Bonjol
ditangkap. Tak hanya ditangkap, pemimpin kaum Padri itu pun diasingkan
ke Cianjur, Jawa Barat.
Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana. Dia sempat
dibuang ke Ambon. Pengasingannya terhenti di Lotak, Minahasa, dekat
Manado, Sulawesi Selatan. Di tempat pengasingannya yang terakhir itu
Imam Bonjol mengembuskan napas terakhirnya pada 8 November 1864.
Setelah Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke
tangan Belanda. Itu berarti, seluruh perlawanan dari kaum Padri berhasil
dipatahkan oleh Belanda.

L. Perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830)

Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah pengaruhnya pada


permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah
menjadikan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menjadikan
perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwano III, seorang raja
Mataram di Yogyakarta. Ia Lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta dari
seorang garwa ampeyan (selir, istri non permaisuri) bernama R.A. Mangkarawati
yang berasal dari
Pacitan. Sultan Hamengkubuwano III menghendaki Pangeran
DiponegoroPerlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830) Belanda di
Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah pengaruhnya pada permulaan abad
ke-
19.
Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menjadikan
kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menjadikan perlawanan
di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Diponegoro adalah putra sulung
Hamengkubuwano III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Ia Lahir pada 11
November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir, istri non
permaisuri) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Sultan
Hamengkubuwano III menghendaki Pangeran Diponegoro menjadi raja karena
selain berstatus putra tertua, ia juga cakap, ahli agama, dan dianggap mampu
melaksanakan cita-cita leluhurnya.
Bahkan, Inggris menyarankan kepada Sultan Hamengkubuwano III untuk
mengangkat Diponegoro menjadi putra mahkota. Namun, Diponegoro tidak mau
dengan alasan bukan putra dari permaisuri (garwa padmi). Pangeran Diponegoro
bernama kecil Raden Mas Mustahar, lalu diubah namanya oleh
Hamengkubuwono III tahun 1805 menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo.
Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.
a. Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda
yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki
tangan Belanda).
b. Adanya kebencian dari rakyat pada umumnya dan para petani pada khususnya
karena tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c. Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak haknya banyak
yang dikurangi.
d. Sebagai alasannya, secara khusus ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda
yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran pertama meletus pada 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah
pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke
Dekso. Di kawasan Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan
yang memiliki kemampuan yang cukup kuat.
Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke
banyak daerah. Dengan dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai
Mojo, di Kedu oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain, maka pada
pertempuran tahun 1825- 1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak.
Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya
untuk mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut. a. Siasat benteng
stelsel yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun 1827. 67 b. Siasat
bujukan agar perlawanan menjadi reda. c. Siasat dukungan hadiah sebesar 20.000
ringgit kepada siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro. d. Siasat
tipu muslihat, yaitu usul berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya
ditangkap.
Dengan banyak sekali tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin
perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan
Ario Prangwadono (tertangkap pada 19 Januari 1827), Pangeran Serang serta
Notoprodjo (menyerah pada 21 Juni 1827), Pangeran Mangkubumi (menyerah
pada 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah pada 24
Oktober 1829). Semua itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran
Diponegoro.
Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang
secara cepat. Jenderal de Kock melaksanakan tipu muslihat dengan mengajak
berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji, apabila perundingan gagal,
maka Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan.
Atas dasar komitmen tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen
Kedu, Magelang, pada 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga
Pangeran Diponegoro ditangkap saat perundingan mengalami kegagalan.
Pangeran Diponegoro kemudian dibawa ke Batavia, dipindahkan ke Manado, dan
pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar sampai wafatnya pada 8 Januari 1855.

M. Tanam Paksa Dan Politik Pintu Terbuka

Pada masa Van den Bosch (1830-1870) sebagai gubernur jenderal yang baru
diberi tugas menyelamatkan keuangan Negeri Belanda. Untuk tugas itu, Van den
Bosch menerapkan kebijakan sebagai berikut. Bosch menghapus sistem sewa
tanah peninggalan Raffles dan menggantinya dengan sistem yang disebut
cultuurstelsel. Secara harfiah, cultuurstelsel berarti sistem budaya. Oleh bangsa
Indonesia, sistem itu disebut Tanam Paksa atau TP, karena dalam praktiknya
rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi, tarum (nila), tebu,
tembakau, kayu manis, dan kapas.
Kebijakan tanam paksa adalah sebagai berikut. 1) Mewajibkan setiap desa
menyisakan 20 persen tanah untuk ditanami kopi, tebu, dan nila. Hasilnya dijual
kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditentukan. Tanah yang digunakan
untuk tanam paksa bebas dari pajak. 2) Rakyat yang tidak memiliki tanah
pertanian wajib mengerjakan tanah pertanian milik pemerintah selama 66 hari. 3)
Waktu mengerjakan tanaman tidak boleh melebihi waktu tanam padi, yakni tiga
bulan. 4) Kelebihan hasil produksi akan dikembalikan kepada rakyat. 5) Kerugian
tanaman akibat bencana alam atau serangan hama sehingga gagal panen akan
ditanggung oleh pemerintah. 6) Pengawasan dalam penggarapan tanam paksa
dilakukan oleh para kepala desa.
Dalam pelaksanaannya, ternyata tanam paksa berbeda jauh dari konsep
awalnya, yaitu sebagai berikut. 1) Tanah milik petani digunakan seluruhnya untuk
tanam paksa. 2) Tanah yang digunakan tanam pajak tetap dikenakan pajak. 3)
Warga yang tidak mempunyai tanah tetap bekerja di tanah pertanian
pemerintahan selama satu tahun penuh.
Bagi pemerintah Hindia Belanda, sistem TP berhasil dengan luar biasa. Kas
Belanda menjadi surplus sehingga Bosch dipuja-puja sebagai tokoh yang
memakmurkan dan menyejahterakan Negeri Belanda. Atas “jasanya” itu, Bosch
diberi gelar bangsawan de Graaf. Gelar ini diberikan untuk orang-orang yang
berjasa kepada negara. Namun demikian, Sistem TP banyak mendapat kritik dari
berbagai pihak, termasuk orang-orang Belanda sendiri karena dianggap lebih
kejam dari zaman VOC.
Salah satu pengkritik yang paling keras adalah Eduard Douwes Dekker.
Kritiknya ditulis dalam sebuah buku (novel) berjudul Max Havelaar dengan
menggunakan nama samaran Multatuli. Isi buku (novel) itu menjelaskan kisah
petani yang menderita karena kebijakan sewenang-wenang Belanda dan
bertentangan dengan moral Eropa saat itu yang menjunjung tinggi semangat
Revolusi Perancis: kesamaan, kebebasan, dan persaudaraan. Sistem TP kemudian
dihapus pada tahun 1870 setelah dikeluarkan Undang-undang Agraria dan
Undang-undang Gula.
Tujuan dikeluarkan Undang-undang Agraria adalah sebagai berikut. 1)
Melindungi hak milik petani dari penguasa dan modal asing. Hal ini reaksi dari
pemerintah Belanda yang mengambil alih tanah rakyat dalam TP. 2) Pemodal
asing dapat menyewa tanah rakyat seperti halnya di Inggris, Amerika, Jepang,
dan Cina. 3) Membuka kesempatan rakyat untuk bekerja menjadi buruh
perkebunan.
Sementara itu, Undang-undang Gula memberi kesempatan kepada para
pengusaha gula untuk mengambil alih pabrik gula milik pemerintah Belanda.
Penerapan kedua undang-undang itu melatarbelakangi para pengusaha swasta
untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga era liberalisasi ekonomi
dimulai di Indonesia.
Politik Pintu Terbuka (1870-1900) 28 Tahun 1850, partai liberal di Belanda
memenangkan pemilu sehingga partai ini menjalankan pemerintahan.
Perkembangan liberalisme di Belanda dipicu oleh semangat Revolusi Perancis
dan revolusi industri Inggris. Dampak dari kemenangan partai liberal adalah
diterapkannya sistem ekonomi liberal, termasuk di negeri jajahan (Indonesia).
Karena tergantung kepada modal individu dan swasta untuk menggerakkan
perekonomian, maka sistem ini disebut sistem kapitalisme.
1) Penerapan Sistem Pintu Terbuka.
Di Indonesia, sistem ekonomi liberal diwujudkan dalam bentuk kebijakan
pintu terbuka. Hal tersebut sesuai dengan maksud utama kebijakan ini,
yaitu membuka ruang (pintu) seluas-luasnya bagi swasta untuk melakukan
kegiatan ekonomi. Kebijakan ini berhasil menarik minat banyak
pengusaha, baik dari asing maupun dari etnis Tionghoa untuk
menanamkan modalnya secara besarbesaran. Tidak hanya dalam bidang
perkebunan, tetapi juga pertambangan. Berikut ini contoh perkebunan
milik swasta asing yang ada di Indonesia. 1.
Perkebunan tembakau di Deli (Sumatra Utara), Kedu, Klaten, dan lain-lain. 2.
Perkebunan tebu di Cirebon dan Semarang. 3. Perkebunan kina di Jawa
Barat. 4. Perkebunan karet di Palembang dan Sumatra Timur. 5.
Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara. 6. Perkebunan teh di Jawa
Barat. 7. Bersamaan dengan itu, para pengusaha juga mendirikan pabrik
teh, tembakau, gula, rokok, dan pabrik cokelat. Sementara itu,
pertambangan berkembang di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Batubara di
Sumatra Barat dan Selatan, sedangkan timah di Pulau Bangka.
2) Dampak Kebijakan Pintu Terbuka. dampak dari Kebijakan Pintu terbuka?
Bagi Belanda dan penguasa asing berdampak pada peningkatan
kesejahteraan mereka, sedangkan bagi rakyat berdampak pada
kesengsaraan dan penderitaan. Kebijakan ini menjadi tempat 29 eksploitasi
baru yang tidak berbeda dengan TP. Eksploitasi tersebut adalah eksploitasi
manusia dan eksploitasi agraria.
1. Eksploitasi Manusia.
Eksploitasi manusia ialah pengerahan tenaga manusia yang diwarnai
tipu daya dan paksaan, ketidakadilan, serta kesewenang-wenangan
yang mereka alami di perkebunan. Contohnya adanya hukuman
cambuk terhadap para kuli yang melakukan pelanggaran selama
bekerja di perkebunan tembakau di Deli, Sumatra. Bagi yang
melarikan diri mendapat hukuman denda, disekap, kerja tanpa upah,
bahkan dibunuh. Kebijakan ini juga ditandai dengan pengiriman secara
besar-besaran dan secara paksa tenaga kerja dari Jawa untuk
dipekerjakan di perkebunan perkebunan Belanda di tanah jajahannya
yang lain seperti di Suriname dan Guyana. Sekitar tahun 1890-an,
orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dikirim ke
Suriname mencapai 32.965 orang. Setelah kemerdekaan, mereka hanya
sebagian kecil yang kembali ke Indonesia. Perhitungan tahun 1972
sebanyak 57.688 keturunan Jawa berada di Suriname dan pada tahun
2004 berjumlah 71.879.
2. Eksploitasi Agraria.
Eksploitasi agraria tampak dalam bentuk penggunaan lahan-lahan
produktif yang sedang dikerjakan rakyat maupun lahan-lahan kosong
yang masih berupa hutan untuk dijadikan perkebunan serta areal
pertambangan. Pemanfaatan lahan produktif umumnya di Jawa,
sedangkan perkebunan di Sumatra, dengan menggunakan lahan-lahan
yang masih kosong. Ada beberapa dampak negatif dari kebijakan pintu
terbuka bagi masyarakat Jawa, yakni sebagai berikut. 3. Para priayi
dan birokrat kesultanan menyewakan tanah lungguhnya kepada para
pengusaha perkebunan swasta asing karena lebih menguntungkan
daripada disewakan kepada para petani penggarap. 4. Di lahan-lahan
perkebunan tenaga kerjanya dari rakyat 30 Jawa dan sistem
pengupahannya tidak adil karena sangat murah. 5. Sebagian dari rakyat
Jawa dikirim ke Suriname untuk bekerja di perkebunan Belanda. 6.
Para bupati di 18 wilayah keresidenan di Jawa ikut menyewakan
sebagian tanahnya kepada pengusaha perkebunan asing dan memaksa
rakyat di 18 keresidenan tersebut bekerja diperkebunanperkebunan
tersebut. 7. Reaksi Terhadap Kebijakan Pintu Terbuka. Kebijakan
tersebut sebagai tempat untuk mengeksploitasi rakyat sehingga
Belanda semakin makmur. Hal ini membuat kaum humanis bersuara
lantang. Sudah berabad-abad rakyat menderita demi kemakmuran
Belanda sehingga sudah sepantasnya Belanda membalas budi dengan
memajukan bangsa Indonesia, bukannya menyengsarakannya. Itulah
gagasan dasar yang mendorong lahirnya politik etis. Salah satu
penggagas munculnya politik etis adalah Van Deventer. Menurutnya,
pemerintah Belanda harus melakukan sesuatu demi kesejahteraan
kaum pribumi.
N. Politik Etis

Kebijakan politik etis menyangkut dua bidang, yakni politik dan ekonomi.
Dalam bidang politik adalah diberlakukannya kebijakan desentralisasi, yaitu
memberikan ruang, peran, serta Salam Historia Dari orang-orang Belanda
ternyata ada yang peduli terhadap penderitaan rakyat, yakni Eduard Douwes
Dekker (Multatuli). Dialah yang menghentikan praktek jahat Tanam Paksa karena
karya novelnya yang berjudul “Akulah yang Menderita” atau Max Havelaar.
Sikap kritis terhadap pemerintah Belanda rupanya menurun pada cucunya yang
bernama Ernest Francois Eugene Dekker alias Ernest Douwes Dekker (Danudirja
Setyabudi), pendiri Indische Partij yang tergabung dalam kelompok tiga
serangkai bersama Ki Hadjar Dewantara dan Cipto Mangunkusuma. kesempatan
bagi orang-orang Indonesia untuk memikirkan nasib dan masa depannya sendiri
dengan melibatkan mereka di dewan-dewan lokal, yaitu sebuah dewan rakyat
(masuk dalam pemerintahan) yang dikenal dengan Volksraad (Dewan Rakyat).
Dewan ini semacam Dewan Perwakilan Rakyat. Melalui dewan ini, aspirasi
rakyat disalurkan melalui wakil-wakilnya yang duduk di dewan ini.
1) Rencana Politik Etis.
Dalam bidang ekonomi diberlakukan Trias van Deventer, yaitu: 1. Irigasi
(pengairan) yaitu membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan
untuk keperluan pertanian. 2. Migrasi yaitu mengajak rakyat untuk
bertransmigrasi sehingga terjadi keseimbangan jumlah penduduk. 3.
Edukasi yaitu menyelenggarakan pendidikan dengan memperluas bidang
pengajaran dan pendidikan.
2) Penyimpangan Politik Etis.
Sekilas gagasan van Deventer sangat mulia, tetapi pada kenyataanya tidak
seindah gagasannya. Penyimpangan tersebut antara lain sebagai berikut. 1.
Irigasi. Perairan hanya dialirkan kepada tanah-tanah perkebunan swasta,
bukan tanah-tanah pertanian rakyat. 2. Migrasi. Rakyat yang
diberangkatkan ke luar Pulau Jawa ternyata hanya untuk bekerja di
perkebunan milik pengusaha Belanda dan asing. Rakyat yang ikut program
ini dijadikan kuli kontrak seperti di Lampung dan Sumatra Utara. Karena
tidak sesuai dengan tujuan awal, banyak rakyat melarikan diri dan kembali
ke daerah asal. Bagi yang melarikan diri dan tertangkap akan diberi
hukuman dan dikembalikan untuk bekerja lagi. 3. Edukasi. Pengajaran
hanya untuk anak-anak pegawai negeri, bangsawan, dan orang-orang
mampu dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Rakyat biasa
hanya diberi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung sampai kelas 2
dengan pengantar bahasa Melayu. Politik etis dalam bidang pengajaran
juga tidak mengakomodasi orang asing seperti Cina dan Arab. Untuk itu,
orang Cina mendirikan pendidikan Tiong Hoa Hak Tong dan Arab
mendirikan madrasah. Pelaksanaan pendidikan yang tidak merata
mendorong munculnya sekolah nonpemerintah seperti Taman Siswa,
Perguruan Muhammadiyah, dan pendidikan kaum perempuan yang digagas
R.A. Kartini.
3) Dampak Politik Etis.
Terlepas dari segala penyimpangan, ternyata politik etis membawa efek
positif bagi pendidikan di Indonesia. Salah satu orang dari kelompok etis
yang bernama Mr. Abendanon (sahabat R.A. Kartini) berjasa mendirikan
sekolahsekolah, baik untuk priayi maupun rakyat biasa. Kian terbukanya
sekolahsekolah untuk pribumi menjadikan pemuda Indonesia berilmu,
tetapi juga berwawasan luas dan sadar politik sehingga lahirlah Dr.
Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, sampai pada tokoh sentral seperti Ir.
Sukarno.
BAB II
PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA

A. Organisasi Perjuanagn Pergerakan Nasional Sebelum dan Sedudah 1908

Perjuangan bangsa menuju Indonesia merdeka memang sudah ada jauh sebelum
adanya politik etis yang dituntut Van Deventer untuk memberi kesempatan kepada
pribumi agar mengenyam pendidikan. Namun, karena perjuangan mereka masih
sebatas pada kepentingan kedaerahan atau karena harga diri serta martabat yang
terabaikan karena monopoli perdagangan, maka kolonial Belanda mudah mematahkan
perjuangan mereka.
Perjuangan Imam Bonjol dan Diponegoro yang secara tidak sengaja terjadi
bersamaan ternyata sangat merepotkan kolonial Belanda. Baru setelah kolonial
Belanda menghadapi mereka satu demi satu, akhirnya perjuangan mereka dapat
dihentikan.
Untuk lebih memahami karakter perjuangan sebelum dan sesudah tahun 1908,
perhatikan paparan berikut ini.
1. Sebelum Tahun 1908 dipimpin raja atau bangsawan dan tokoh agama, sedangkan
setelah 1908 dipimpin dan digerakkan kaum terpelajar.
2. Sebelum Tahun 1908 bersifat kedaerahan (lokal), sedangkan setelah 1908 bersifat
nasional dan sudah ada interaksi antardaerah.
3. Sebelum Tahun 1908 bersifat fisik atau perjuangan dengan mengangkat senjata,
sedangkan setelah 1908 perjuangan menggunakan jalur organisasi.
4. Sebelum Tahun 1908 terfokus pada pemimpin yang berkarisma, sedangkan setelah
1908 memiliki organisasi dengan adanya kaderisasi.
5. Sebelum Tahun 1908 bersifat reaktif dan spontan, sedangkan setelah 1908
memiliki visi secara jelas, yakni Indonesia Merdeka.

Berikut penjelasan dari perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme


setelah tahun 1908.
1. Dipimpin dan Digerakkan KaumTerpelajar
Setelah tahun 1908, walaupun di antara mereka berlatar belakang bangsawan yang
sehari-harinya bergelut dengan sistem feodalisme, tetapi mereka adalah orang-
orang terpelajar. Munculnya kaum terpelajar pada saat itu tidak terlepas dari
politik etis yang membuka keran bagi kaum pribumi (inlander) untuk dapat
mengenyam pendidikan. Walaupun sebatas pada kaum bangsawan dan bukan
untuk rakyat jelata, tetapi sudah cukup untuk mengantar para tokoh untuk berpikir
bagaimana cara mencapai Indonesia merdeka. Awalnya, pendidikan dalam politik
etis dibuka dengan tujuan menciptakan tenaga administrasi terdididik dengan gaji
yang murah. Namun, dengan adanya sekolah-sekolah milik Belanda seperti HIS,
ELS, MULO, dan HBS yang dinikmati tidak lebih 10 persen orang Indonesia,
ternyata dapat melahirkan golongan cendekiawan seperti Supomo, Suwardi
Suryaningrat, Sukarno, Moh. Hatta, dan Sutan Syahrir. Kaum cendekia ini ada
yang berjuang secara kooperatif seperti Sukarno dan ada yang berjuang
nonkooperatif seperti Sutan Syahrir.
2. Bersifat Nasional dan Sudah
Ada Interaksi Antardaerah Setelah tahun 1908, kolonial Belanda mencanangkan
penjajahannya di Indonesia dalam satu komando yang memantau dari berbagai
daerah dengan nama Pax Netherlandica. Sistem Pax Netherlandica merupakan
sistem politik pembulatan negeri oleh kolonial Belanda dengan tujuan agar negara
asing seperti Inggris, Spanyol, dan Portugis tidak lagi menduduki wilayah
Indonesia. Salah satu upayanya adalah mengirim pasukan militer ke daerah yang
belum dikuasai di Nusantara. Keberhasilan sistem politik Pax Netherlandica
berdampak pada penyatuan rakyat Indonesia dalam perasaan senasib
sepenanggungan, yaitu sama-sama dijajah Belanda. Penderitaan yang dialami satu
daerah tidak lagi dianggap sebagai penderitaan daerah itu semata, melainkan
penderitaan seluruh rakyat Hindia Timur (Indonesia). Hal inilah yang memicu
persatuan yang pada akhirnya melahirkan kesadaran sebagai suatu bangsa atau
kesadaran nasional. Kesadaran berbangsa ini tidak terlepas dari peran kaum
terpelajar dan terdidik. Mereka bertemu satu sama lain antardaerah di dalam
negeri maupun di luar negeri saat mengenyam pendidikan. Di tempat pendidikan,
pelajar-pelajar tersebut bertemu untuk membahas nasib dan masa depan
Indonesia. Contohnya mahasiswa STOVIA (kedokteran) yang bertemu satu sama
lain antardaerah yang kemudian melahirkan organisasi Budi Utomo untuk
Indonesia merdeka.
3. Perjuangan Menggunakan Jalur
Organisasi Meskipun perjuangan dengan senjata dilakukan secara sporadis, tetapi
pada dasarnya setelah tahun 1908, perjuangan sudah menggunakan jalur
organisasi. Banyak cara dalam berjuang secara organisatoris, misalnya diplomasi,
kampanye lewat media radio dan 90 surat kabar, pidato di lapangan terbuka (rapat
akbar), dan ada yang menolak bekerja sama dengan kolonial Belanda. Perjuangan
dengan cara organisasi dikarenakan bangsa kita sudah mulai sadar bahwa jika
berjuang dengan senjata tidak mungkin menandingi kecanggihan senjata yang
dimiliki penjajah. Terbukti, keberhasilan kita mempertahankan kemerdekaan
adalah karena tokoh-tokoh pejuang Indonesia menyeimbangkan antara perjuangan
secara militer dan perjuangan melalui diplomasi.
4. Memiliki Organisasi dengan
Adanya Kaderisasi Sebelum tahun 1908, perjuangan pada umumnya tergantung
pada munculnya satu atau beberapa tokoh sehingga jika tokoh tersebut gugur atau
ditangkap, dengan mudah kolonial memadamkan api perjuangan. Setelah tahun
1908, perlawanan tergantung pada organisasi-organisasi pergerakan dengan
kaderisasi yang sudah rapi. Dengan demikian, jika pionir wafat, maka perjuangan
tetap terjaga keberlangsungannya. Contohnya dengan wafatnya Jenderal Sudirman
pada usia 34 tahun, perjuangan diteruskan oleh penggantinya, yakni jenderal
Gatot Subroto.
5. Memiliki Visi Secara Jelas, yakni Indonesia Merdeka
Sebelum tahun 1908, perjuangan raja-raja lokal dilatarbelakangi oleh monopoli
perdagangan atau penguasaan daerah yang dianggap melecehkan martabat dan
harga diri penguasa daerah. Setelah tahun 1908, munculnya organisasi-oganisasi
pergerakan dilatarbelakangi satu misi dan visi yang jelas, yakni Indonesia menuju
kemerdekaan. Walaupun organisasi-organisasi kepemudaan tersebut bersifat
sosial budaya, tetapi lambat laun berubah menjadi organisasi politik dengan tujuan
mengusir penjajah dari bumi Indonesia.

B. Faktor Internal dan Eksternal Lahirnya Organisasi Pergerakan

Ada beberapa faktor yang memicu gerakan nasionalisme di Indonesia, baik


bersifat internal (dari dalam negeri) maupun bersifat eksternal (dari luar negeri).
Untuk lebih jelasnya, ikutilah paparan berikut ini.
1. Faktor Internal (dari Dalam Negeri)
a. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik yang Parah Akibat Penjajahan.
Penindasan, kekejaman, eksploitasi, dan ketidakadilan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial telah menyebabkan kebencian dan ketidaksukaan yang
akhirnya memicu perlawanan terhadap penjajah.
b. Munculnya Kaum Terpelajar
Kebijakan politik etis atau politik balas budi yang digagas oleh Van Deventer
pada awalnya mempunyai prinsip dasar bahwa pemerintah kolonial memiliki
tanggung jawab untuk memperbaiki taraf hidup rakyat pribumi. Walaupun pada
kenyataannya oleh penjajah niat dasar moral itu diselewengkan dengan tujuan
mendidik para pribumi agar penjajah memperoleh tenaga administratif yang
cerdas dan bergaji murah, ternyata dengan adanya pendidikan itu muncul para
pelajar yang terdidik dengan wawasan lebih luas. Setelah mempelajari berbagai
perjuangan kemerdekaan bangsa lain, maka tumbuh kesadaran dalam diri
mereka bahwa setiap bangsa adalah sederajat dan berhak merdeka, lepas dari
belenggu penjajahan bangsa lain.
c. Motivasi Kejayaan Bangsa pada Masa Lampau
Tumbuh kesadaran dari para aktivis pergerakan bahwa bangsa ini pernah
menjadi bangsa yang besar, yakni ketika kejayaan Sriwijaya (Palembang) dan
Majapahit (Jawa Timur) yang dapat mempersatukan berbagai wilayah, bahkan
kekuasaannya melebihi Nusantara, yakni dari Selat Malaka sampai Tanah
Genting Kra di Thailand. Kejayaan ini dapat memotivasi bahwa bangsa ini
mempunyai potensi menjadi bangsa yang mandiri dan besar seperti halnya
Sriwijaya dan Majapahit.

2. Faktor Eksternal (dari Luar Negeri)


a. Keberhasilan Pergerakan Nasional di Negara-negara Lain.
Keberhasilan pergerakan di Asia dan Afrika seperti Cina, India, Filipina, Turki,
dan Mesir membangkitkan semangat para kaum terdidik untuk berjuang
sehingga dapat menikmati keberhasilan yang sama dengan mereka.
b. Kemenangan Jepang Terhadap Rusia.
Perang tahun 1905 menyadarkan bahwa bangsa Barat (ras Kaukasoid) bukanlah
bangsa yang superior segala-galanya terhadap bangsa Timur (ras Mongoloid)
karena ternyata bangsa Asia dapat mengalahkan bangsa Eropa.
c. Masuk dan Berkembangnya Paham Baru di Eropa dan Amerika.
Paham seperti liberalisme (kebebasan, kesetaraan derajat manusia, dan
supremasi hukum) yang dibawa T.S. Raffles, kebebasan-kesetaraan yang
dikampanyekan Napoleon Bonaparte, dan paham nasionalisme yang terus
menggema ke seluruh dunia menumbuhkan kesadaran bahwa setiap bangsa
berhak untuk merdeka.

C. Periode Moderat/ Kooperatif

Periode moderat/kooperatif merupakan periode awal kebangkitan nasional,


ketika gerakan nasionalisme di Indonesia diwarnai dengan perjuangan untuk
memperbaiki kondisi sosial dan budayanya. Sifat gerakan organisasi yang lahir pada
periode ini adalah moderat dan kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda.
Organisasi yang lahir pada periode ini antara lain sebagai berikut.
1. Budi Utomo
Budi Utomo adalah organisasi pergerakan nasional yang pertama kali didirikan
pada 20 Mei 1998 di Jakarta. Kemunculan organisasi ini tidak lepas dari pengaruh
penerapan politik etis dari pihak Belanda. Organisasi ini dirintis oleh dr. Wahidin
Sudirohusodo. Organisasi Budi Utomo didirikan dengan tujuan untuk menggalang
dana demi membantu anak-anak bumiputra yang kekurangan dana.
Ide tersebut kemudian dikembangkan oleh Sutomo, seorang mahasiswa STOVIA
yang kemudian dipilih menjadi ketua organisasi tersebut. Sebagian besar pendiri
Budi Utomo adalah pelajar STOVIA, seperti Sutomo, Gunawan Mangunkusumo,
Cipto Mangunkusumo, dan R.T. Ario Tirtokusumo.
Para tokoh pendiri Budi Utomo berpendapat bahwa untuk mendapatkan kemajuan,
pendidikan dan pengajaran harus menjadi perhatian utama. Organisasi ini memiliki
corak sebagai organisasi modern, yaitu memiliki pimpinan, ideologi, dan
keanggotaan yang jelas. Organisasi Budi Utomo bersifat kooperatif terhadap
pemerintah kolonial Belanda, moderat, serta tidak membedakan agama, keturunan,
dan jenis kelamin.
Pada 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongres pertama di
Yogyakarta. Dalam kongres itu, dibahas dua prinsip perjuangan, yaitu golongan
muda yang menginginkan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah
kolonial, sedangkan golongan tua yang mempertahankan cara lama, yaitu
perjuangan sosiokultural.
Selanjutnya, kongres Budi Utomo tahun 1931 di Jakarta memutuskan bahwa Budi
Utomo terbuka bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada kongres tahun 1932 di Solo,
diputuskan secara tegas bahwa tujuan Budi Utomo adalah mencapai Indonesia
merdeka. Untuk tujuan inilah pada tahun 1935 Budi Utomo rela meleburkan
dirinya dengan mengadakan fusi dan membentuk suatu wadah baru yang lebih
besar, yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra).
2. Sarekat Islam (SI)
Organisasi lain yang berdiri pada periode moderat/kooperatif adalah Sarekat Islam
(Syarikat Islam). Organisasi ini merupakan pengembangan dari Sarekat Dagang
Islam (SDI) yang didirikan tahun 1909 di Jakarta oleh R.M. Tirtodisuryo. Tujuan
utama SDI adalah untuk membela kepentingan pedagang Indonesia dari ancaman
persaingan dengan pedagang Cina. Namun, karena sering terjadi perkelahian dan
kerusuhan yang dilakukan pedagang Cina dan SDI, maka pemerintah melarang
SDI.
Atas anjuran H.O.S. Cokroaminoto, pada 10 September 1912, SDI diubah menjadi
Sarekat Islam. Dasar organisasi Sarekat Islam adalah persatuan bangsa dengan
Islam sebagai tali atau simbol persatuan. Tujun dari organisasi ini adalah kemajuan
perdagangan, kemajuan hidup kerohanian, dan menggalang persatuan di antara
umat Islam.
Sarekat Islam merupakan partai yang diorganisasi oleh pengusaha kecil Indonesia.
Tokoh-tokoh Sarekat Islam yang terkenal adalah H.O.S. Cokroaminoto, Haji Agus
Salim, dan Abdul Muis. Untuk mendekati atau menarik rakyat, agama Islam-lah
yang dijadikan daya tariknya. Jadi, untuk bisa menjadikan Sarekat Islam suatu
organisasi yang kuat, ia harus bersifat massal. Hingga tahun 1916, Sarekat Islam
telah memiliki 80 cabang Sarekat Islam lokal di seluruh Indonesia dengan jumlah
anggota 800.000 orang.
Pada tahun 1913, Sarekat Islam menyelenggarakan kongres pertama di Surabaya.
Kongres itu menetapkan keputusan sebagai berikut. a. Sarekat Islam bukan partai
politik. b. Sarekat Islam tidak melawan Pemerintah Hindia Belanda. c. Haji Oemar
Said Cokroaminoto dipilih menjadi ketua Sarekat Islam. d. Kota Surabaya
ditetapkan menjadi pusat kegiatan Sarekat Islam.
3. Muhammadiyah
Organisasi yang lahir pada periode moderat/kooperatif adalah Muhammadiyah.
Keberadaan organisasi Budi Utomo telah memberikan inspirasi kepada K.H.
Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi yang bersifat modern. Ia pun
mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912 yang bercirikan
organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan.
Salah satu tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah untuk memurnikan ajaran
Islam, yaitu seharusnya Islam bersumber pada Alquran dan Al-Hadis, tindakannya
adalah amar makruf nahimunkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal
yang buruk.
Pembaruan model Wahabiyah di Arab pun dimulai, antara lain dengan manajemen
organisasi modern, pendirian lembaga pendidikan, dan dakwah melalui media atau
surat kabar. Sistem pendidikan dibangun dengan cara sendiri, menggabungkan cara
tradisional dengan cara modern. Model sekolah Barat ditambah pelajaran agama
yang dilakukan di dalam kelas.
Dalam bidang kemasyarakatan, organisasi ini mendirikan rumah sakit, poliklinik,
dan rumah yatim piatu yang dikelola oleh lembaga-lembaga. Usaha di bidang
sosial itu ditandai dengan berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada
tahun 1923. Itulah bentuk kepedulian sosial dan tolong-menolong sesama muslim.
Selanjutnya, organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiyah di
Yogyakarta sebagai bagian dari organisasi wanita Muhammadiyah. Nama tersebut
terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad yang dikenal taat beragama,
cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung eko nomi rumah tangga. Diharapkan
profil
‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah.
Aisyiyah yang masih eksis sampai sekarang didirikan sebagai pembantu peran
kaum perempuan, terutama bidang keagamaan. Ketika ‘Aisyiyah berdiri,
perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan dan kemasyarakatan karena
dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan, apalagi mempunyai peran
kemasyarakatan.
Aisyiyah berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki sama sama mempunyai
kewajiban untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran,
termasuk melalui bidang pendidikan.

4. Taman Siswa
Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Awalnya, Taman Siswa memiliki nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman
Siswa
(Institut Pendidikan Nasional Taman Siswa). Saat itu, Taman Siswa hanya
memiliki 20 murid kelas Taman Indria. Kemudian, Taman Siswa berkembang
pesat dengan memiliki 52 cabang dengan murid kurang lebih 65.000 siswa.
Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa,
Tut Wuri Handayani”. Artinya, “guru jika di depan harus memberi contoh atau
teladan, di tengah harus bisa menjalin kerja sama, dan di belakang harus memberi
motivasi atau dorongan kepada para siswanya”. Hingga saat ini, azas ini masih
relevan dan penting dalam dunia pendidikan. Taman Siswa mendobrak sistem
pendidikan Barat dan pondok pesantren dengan mengajukan sistem pendidikan
nasional. Pendidikan nasional yang ditawarkan adalah pendidikan bercirikan
kebudayaan asli Indonesia.
Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang tidak mendukung.
Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan berbagai aturan untuk membatasi
pergerakan Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah tangga dan Undangundang
Ordonansi Sekolah Liar Tahun 1932, yakni larangan mengajar bagi guru-guru yang
terlibat partai politik. Meski demikian, Taman Siswa mampu memberikan
kontribusi yang luar biasa bagi masyarakat luas dengan pendidikan.
Taman Siswa juga mampu menyediakan pendidikan untuk rakyat yang tidak
mampu disediakan oleh pemerintah kolonial. Saat ini, sekolah Taman Siswa masih
berdiri dan tetap berperan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
5. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya didirikan oleh dr. Sutomo di Solo pada Desember 1935. Partai
ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu Budi Utomo dan
Persatuan Bangsa Indonesia. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya dan
mulia yang hakikatnya mencapai Indonesia merdeka.
Di Jawa, anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut
dengan kaum kromo. Di daerah lain, masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan
Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang
ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo,
dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan Alatas.
Dalam mewujudkan tujuannya, Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan
mendirikan Rukun Tani, menyusun serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan
Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin), menyusun perekonomian dengan
menganjurkan Swadeshi (menolong diri sendiri), mendirikan Bank Nasional
Indonesia di Surabaya, serta mendirikan percetakan-percetakan yang menerbitkan
surat kabar dan majalah.
Kegiatan Parindra ini semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada saat itu, Van Starkenborg, Salam Historia Ki Hajar
Dewantara, tokoh pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum meninggal, Ki Hajar
Dewantara berpesan kepada ahli warisnya agar tidak menggunakan nama jalan
dengan menggunakan namanya karena dapat mengkultuskan individukan dirinya.
Sehingga pemerintah pusat maupun daerah sampai sekarang tidak menggunakan
nama jalan “Ki Hajar Dewantara”. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah
menggunakan nama “Taman Siswa” sebagai nama jalan. yang menggantikan De
Jonge pada tahun 1936. Gubernur Jenderal van Starkenborg memodifikasi
politiestaat peninggalan De Jonge menjadi beambtenstaat (negara pegawai) yang
memberi konsensi yang lebih baik kepada organisasi-organisasi yang kooperatif
dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938,
anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di
Jawa Timur. Pada Mei 1941 (menjelang Perang Pasifik), Partai Indonesia Raya
diperkirakan memiliki anggota sebanyak 19.500 orang. Ketika dr. Soetomo
meninggal pada Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra digantikan oleh
Moehammad Hoesni Thamrin, seorang pedagang dan anggota Volksraad. Sebelum
menjadi ketua Parindra, M.H. Thamrin telah mengadakan kontak-kontak dagang
dengan Jepang sehingga ia memainkan kartu Jepang ketika ia berada di panggung
politik Volksraad.
Karena aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang,
pemerintah Hindia Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada
Sukarno. Maka, pada 9 Februari 1941, rumah M.H. Thamrin digeledah oleh PID
(dinas rahasia Hinda Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria. Selang
dua hari kemudian, M.H. Thamrin mengembuskan napas yang terakhir. Dengan
demikian, Parindra digambarkan sebagai partai yang bekerja sama dengan
pemerintahan Hindia Belanda pada awal berdirinya, akan tetapi dicurigai pada
akhir kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang
bermain mata dengan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan.
6. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi payung dari
partaipartai dan organisasi-organisasi politik yang berdiri pada 21 Mei 1939 di
dalam rapat pendirian organisasi nasional di Jakarta. Walaupun tergabung dalam
GAPI, masing masing partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh terhadap
program kerjanya masing-masing dan bila timbul perselisihan antara partai-partai,
GAPI bertindak sebagai penengah.
Pertama kali, 117 pimpinan dipegang oleh Mohammad Husni Thamrin, Mr. Amir
Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosujono. Inisiatif datang dari Thamrin, tokoh
Perindra, untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Karena melihat
gelagat internasional yang semakin genting serta memungkinkan keterlibatan
langsung Indonesia dalam perang, maka pembentukan badan ini terasa sangat
mendesak, antara lain untuk memupuk rasa saling menghargai serta kerja sama
untuk membela kepentingan rakyat.
Adapun alasan yang tidak kalah penting adalah situasi internasional pada saat itu.
Alasan ini pula yang melatarbelakangi inisiatif M.H. Thamrin (Parindra)
mengadakan rapat pada 19 Maret 1939 untuk mendirikan badan konsentrasi yang
baru. Sebagai realisasi dari rapat di atas, maka pada 21 Mei 1939 diadakan rapat
umum yang menghasilkan pembentukan konsentrasi nasional, Gabungan Politik
Indonesia (GAPI).
Kepengurusan federasi dijalankan oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas
sekretaris umum, sekretaris pembantu, dan bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk
pertama kali diduduki oleh M.H. Thamrin dari Parindra sebagai bendahara,
Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, dan Amir Sjarifudin
dari Gerindo sebagai sekretaris pembantu. Anggota GAPI terdiri atas Parindra
(Partai Indonesia Raya), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), PH (Partai Islam
Indonesia), PPKI
(Persatuan Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia),
Persatuan Minahasa, dan Pasundan. Dasar dasar federasi meliputi hak menentukan
nasib sendiri, persatuan Indonesia, demokrasi dalam usaha-usaha politik, ekonomi,
sosial, serta kesatuan aksi.
Sedangkan tujuannya adalah untuk mengadakan kerja sama dan mempersatukan
semua partai politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres rakyat Indonesia.
Sesuai dengan anggaran dasarnya, tujuan GAPI adalah 1) menghimpun
organisasiorganisasi politik bangsa Indonesia untuk bekerja bersama-sama, 2)
menyelenggarakan kongres Indonesia. Pada bagian lain anggaran dasarnya,
disebutkan bahwa Gabungan Politik Indonesia berdasarkan kepada beberapa hal
berikut, 1) hak 118 untuk menentukan dan mengurus nasib bangsa sendiri, 2)
persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasar kerakyatan
dalam paham politik, serta 3) persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia.
Meskipun persatuan nasional merupakan dasar aksi GAPI, akan tetapi dalam
kenyataannya perpecahan dalam tubuh kaum pergerakan tidak bisa diabaikan
begitu saja.
Bagaimanapun, hal ini akan memengaruhi bahkan menghambat pencapaian tujuan
GAPI. Perpecahan tersebut terlihat ketika berdirinya Golongan Nasional Indonesia
di samping adanya Fraksi Nasional. Di samping itu, di antara anggota-anggota pun
terdapat perbedaan yang tidak bisa diselesaikan. Terdapatnya anggota anggota
GAPI, Parindra, PSII, PII, Pasundan, dan Gerindo yang mempunyai konflik: PII
Sukiman dengan PSII Abikusno; Gerindo dengan Moh. Yamin. Sementara itu,
perpecahan kaum pergerakan tidak menjadi penghalang utama bagi GAPI untuk
melakukan aksiaksinya. Pada rapat tanggal 4 Juli 1939, GAPI memutuskan
pendirian Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Pembentukan kongres ini merupakan
pelaksanaan program GAPI. Pada 1 September 1939, Hitler menyerbu Polandia
dan mulai berkobarlah Perang Dunia II di Eropa. GAPI menekan Belanda supaya
memberikan otonomi sehingga dapat dibentuk aksi bersama Belanda-Indonesia
dalam melawan fasisme. Tentu saja Belanda tidak bereaksi. Di samping itu, GAPI
melakukan aksi Indonesia Berparlemen. Dengan aksi ini, diharapkan pemerintah
Nederland memberi peluang untuk meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan
rakyat melalui Kongres Rakyat Indonesia. Tujuan ini dikemukakan berhubung
dengan timbulnya Perang Dunia II. Bertalian dengan hal di atas, GAPI juga
menawarkan hubungan kerja sama Indonesia dengan Belanda, dengan harapan
adanya perhatian Belanda terhadap aspirasi rakyat Indonesia. Hal ini untuk
merealisasikan keputusan-keputusan konferensi GAPI yang dilangsungkan pada
19-20 September 1939 yang antara lain sebagai berikut. a. Perlunya dibentuk
parlemen yang anggota-anggotanya dipilih dari dan oleh rakyat. Pemerintah harus
bertanggung jawab kepada parlemen itu. b. Jika keputusan di atas dipenuhi, maka
GAPI akan memaklumkan kepada rakyat untuk mendukung Belanda. c. Anggota-
anggota GAPI akan bertindak semata-mata dalam ikatan GAPI. Berparlemen
merupakan program yang terus-menerus dan disebarluaskan kepada semua partai,
baik anggota GAPI maupun anggota Kongres Rakyat Indonesia.
Tuntutan GAPI, yakni Indonesia Berparlemen, ternyata kurang mendapat perhatian
dari pemerintah. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan status kenegaraan Indonesia akan dibicarakan setelah selesai
perang. Kondisi Belanda yang diduduki Jerman sejak Mei 1940 tentu merupakan
salah satu alasan bagi pemerintah Belanda. Ketika pemerintah Nederland menjadi
Exile Government di London, ini berarti semakin menjauhkan hubungan Indonesia
dengan Belanda.
Pada Agustus 1940, mosi-mosi (Thamrin, Soetardjo, dan Wiwoho) mendapat
tanggapan yang umumnya negatif dari pemerintah sehingga ditarik kembali oleh
para sponsornya. Pada bulan yang sama, GAPI memulai upaya yang terakhir ketika
organisasi tersebut mengusulkan pembentukan suatu uni Belanda Indonesia yang
berdasarkan atas kedudukan yang sama bagi kedua belah pihak dengan Volksraad
akan berubah menjadi badan legislatif yang bersifat bikameral atas dasar sistem
pemilihan yang adil. Akan tetapi, desakan yang terus-menerus dari GAPI,
Indonesia Berparlemen telah memaksa Belanda membentuk suatu panitia
Commisie tot bestudering van staattrechtelijke hervormingen (Panitia untuk
mempelajari perubahanperubahan tata negara). Panitia yang biasa disebut
Commisie Visman karena nama ketuanya Visman ini dibentuk pada November
1940 dan laporannya ke luar tahun 1942. Partai Indonesia Raya (Parindra) Partai
Indonesia Raya didirikan oleh dr. Sutomo di Solo pada Desember 1935.
Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu Budi Utomo
dan Persatuan Bangsa Indonesia. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya
dan mulia yang hakikatnya mencapai Indonesia merdeka. Di Jawa, anggota
Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum
kromo. Di daerah lain, masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes.
Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh
Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo, dr. Sam Ratulangi,
Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan Alatas. Dalam mewujudkan tujuannya,
Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan mendirikan Rukun Tani, menyusun
serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan Rukun Pelayaran Indonesia
(Rupelin), menyusun perekonomian dengan menganjurkan Swadeshi (menolong
diri sendiri), mendirikan Bank Nasional Indonesia di Surabaya, serta mendirikan
percetakanpercetakan yang menerbitkan surat kabar dan majalah.
Kegiatan Parindra ini semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada saat itu, Van Starkenborg, Salam Historia Ki Hajar
Dewantara, tokoh pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum meninggal, Ki Hajar
Dewantara berpesan kepada ahli warisnya agar tidak menggunakan nama jalan
dengan menggunakan namanya karena dapat mengkultuskan individukan dirinya.
Sehingga pemerintah pusat maupun daerah sampai sekarang tidak menggunakan
nama jalan “Ki
Hajar Dewantara”. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah menggunakan
nama “Taman Siswa” sebagai nama jalan yang menggantikan De Jonge pada
tahun 1936. Gubernur Jenderal van Starkenborg memodifikasi politiestaat
peninggalan De Jonge menjadi beambtenstaat (negara pegawai) yang memberi
konsensi yang lebih baik kepada organisasi-organisasi yang kooperatif dengan
pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600
orang. Pada akhir tahun 1938, anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini
sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Timur. Pada Mei 1941 (menjelang Perang
Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan memiliki anggota sebanyak 19.500
orang. Ketika dr. Soetomo meninggal pada Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua
Parindra digantikan oleh Moehammad Hoesni
Thamrin, seorang pedagang dan anggota Volksraad. Sebelum menjadi ketua
Parindra, M.H. Thamrin telah mengadakan kontak-kontak dagang dengan Jepang
sehingga ia memainkan kartu Jepang ketika ia berada di panggung politik
Volksraad.
Karena aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang,
pemerintah Hindia Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada
Sukarno. Maka, pada 9 Februari 1941, rumah M.H. Thamrin digeledah oleh PID
(dinas rahasia Hinda Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria. Selang
dua hari kemudian, M.H. Thamrin mengembuskan napas yang terakhir.
Dengan demikian, Parindra digambarkan sebagai partai yang bekerja sama dengan
pemerintahan Hindia Belanda pada awal berdirinya, akan tetapi dicurigai pada
akhir kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang
bermain mata dengan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan.
7. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi payung dari
partaipartai dan organisasi-organisasi politik yang berdiri pada 21 Mei 1939 di
dalam rapat pendirian organisasi nasional di Jakarta. Walaupun tergabung dalam
GAPI, masing masing partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh terhadap
program kerjanya masing-masing dan bila timbul perselisihan antara partai-partai,
GAPI bertindak sebagai penengah.
Pertama kali, 117 pimpinan dipegang oleh Mohammad Husni Thamrin, Mr. Amir
Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosujono. Inisiatif datang dari Thamrin, tokoh
Perindra, untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Karena melihat
gelagat internasional yang semakin genting serta memungkinkan keterlibatan
langsung Indonesia dalam perang, maka pembentukan badan ini terasa sangat
mendesak, antara lain untuk memupuk rasa saling menghargai serta kerja sama
untuk membela kepentingan rakyat. Adapun alasan yang tidak kalah penting adalah
situasi internasional pada saat itu.
Alasan ini pula yang melatarbelakangi inisiatif M.H. Thamrin (Parindra)
mengadakan rapat pada 19 Maret 1939 untuk mendirikan badan konsentrasi yang
baru. Sebagai realisasi dari rapat di atas, maka pada 21 Mei 1939 diadakan rapat
umum yang menghasilkan pembentukan konsentrasi nasional, Gabungan Politik
Indonesia (GAPI).
Kepengurusan federasi dijalankan oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas
sekretaris umum, sekretaris pembantu, dan bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk
pertama kali diduduki oleh M.H. Thamrin dari Parindra sebagai bendahara,
Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, dan Amir Sjarifudin
dari Gerindo sebagai sekretaris pembantu. Anggota GAPI terdiri atas Parindra
(Partai Indonesia Raya), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), PH (Partai Islam
Indonesia), PPKI (Persatuan Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat
Islam Indonesia), Persatuan Minahasa, dan Pasundan.
Dasar-dasar federasi meliputi hak menentukan nasib sendiri, persatuan Indonesia,
demokrasi dalam usaha-usaha politik, ekonomi, sosial, serta kesatuan aksi.
Sedangkan tujuannya adalah untuk mengadakan kerja sama dan mempersatukan
semua partai politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres rakyat Indonesia.
Sesuai dengan anggaran dasarnya, tujuan GAPI adalah 1) menghimpun organisasi-
organisasi politik bangsa Indonesia untuk bekerja bersama-sama, 2)
menyelenggarakan kongres Indonesia. Pada bagian lain anggaran dasarnya,
disebutkan bahwa Gabungan Politik Indonesia berdasarkan kepada beberapa hal
berikut, 1) hak 118 untuk menentukan dan mengurus nasib bangsa sendiri, 2)
persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasar kerakyatan
dalam paham politik, serta 3) persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia.
Meskipun persatuan nasional merupakan dasar aksi GAPI, akan tetapi dalam
kenyataannya perpecahan dalam tubuh kaum pergerakan tidak bisa diabaikan
begitu saja. Bagaimanapun, hal ini akan memengaruhi bahkan menghambat
pencapaian tujuan GAPI. Perpecahan tersebut terlihat ketika berdirinya Golongan
Nasional Indonesia di samping adanya Fraksi Nasional. Di samping itu, di antara
anggotaanggota pun terdapat perbedaan yang tidak bisa diselesaikan.
Terdapatnya anggota-anggota GAPI, Parindra, PSII, PII, Pasundan, dan Gerindo
yang mempunyai konflik: PII Sukiman dengan PSII Abikusno; Gerindo dengan
Moh. Yamin. Sementara itu, perpecahan kaum pergerakan tidak menjadi
penghalang utama bagi GAPI untuk melakukan aksi-aksinya. Pada rapat tanggal 4
Juli 1939, GAPI memutuskan pendirian Kongres Rakyat Indonesia (KRI).
Pembentukan kongres ini merupakan pelaksanaan program GAPI. Pada 1
September 1939, Hitler menyerbu Polandia dan mulai berkobarlah Perang Dunia II
di Eropa. GAPI menekan Belanda supaya memberikan otonomi sehingga dapat
dibentuk aksi bersama Belanda-Indonesia dalam melawan fasisme. Tentu saja
Belanda tidak bereaksi.
Di samping itu, GAPI melakukan aksi Indonesia Berparlemen. Dengan aksi ini,
diharapkan pemerintah Nederland memberi peluang untuk meningkatkan
keselamatan dan kesejahteraan rakyat melalui Kongres Rakyat Indonesia. Tujuan
ini dikemukakan berhubung dengan timbulnya Perang Dunia II. Bertalian dengan
hal di atas, GAPI juga menawarkan hubungan kerja sama Indonesia dengan
Belanda, dengan harapan adanya perhatian Belanda terhadap aspirasi rakyat
Indonesia.
Hal ini untuk merealisasikan keputusan-keputusan konferensi GAPI yang
dilangsungkan pada 19-20 September 1939 yang antara lain sebagai berikut. a.
Perlunya dibentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih dari dan oleh rakyat.
Pemerintah harus bertanggung jawab kepada parlemen itu. b. Jika keputusan di atas
dipenuhi, maka GAPI akan memaklumkan kepada rakyat untuk mendukung
Belanda.
c. Anggota-anggota GAPI akan bertindak semata-mata dalam ikatan GAPI.
Berparlemen merupakan program yang terus-menerus dan disebarluaskan kepada
semua partai, baik anggota GAPI maupun anggota Kongres Rakyat Indonesia.
Tuntutan GAPI, yakni Indonesia Berparlemen, ternyata kurang mendapat
perhatian dari pemerintah. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa segala
sesuatu yang berhubungan dengan status kenegaraan Indonesia akan dibicarakan
setelah selesai perang. Kondisi Belanda yang diduduki Jerman sejak Mei 1940
tentu merupakan salah satu alasan bagi pemerintah Belanda. Ketika pemerintah
Nederland menjadi Exile Government di London, ini berarti semakin menjauhkan
hubungan Indonesia dengan Belanda. Pada Agustus 1940, mosi-mosi (Thamrin,
Soetardjo, dan Wiwoho) mendapat tanggapan yang umumnya negatif dari
pemerintah sehingga ditarik kembali oleh para sponsornya.
Pada bulan yang sama, GAPI memulai upaya yang terakhir ketika organisasi
tersebut mengusulkan pembentukan suatu uni Belanda Indonesia yang berdasarkan
atas kedudukan yang sama bagi kedua belah pihak dengan Volksraad akan berubah
menjadi badan legislatif yang bersifat bikameral atas dasar sistem pemilihan yang
adil. Akan tetapi, desakan yang terus-menerus dari GAPI, Indonesia Berparlemen
telah memaksa Belanda membentuk suatu panitia Commisie tot bestudering van
staattrechtelijke hervormingen (Panitia untuk mempelajari perubahan-perubahan
tata negara). Panitia yang biasa disebut Commisie Visman karena nama ketuanya
Visman ini dibentuk pada November 1940 dan laporannya ke luar tahun 1942.

D. Periode Politik

Periode politik merupakan kelanjutan dari periode moderat/kooperatif. Dalam


periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia dalam bidang politik lahir untuk
meraih kemerdekaan Indonesia. Beberapa organisasi yang muncul pada periode ini
adalah sebagai berikut.
1. Indische Partij (IP)
Indische Partij (IP) didirikan oleh Tiga Serangkai, yakni Douwes Dekker
(Setyabudi Danudirjo), Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara
(Suwardi Suryaningrat) pada 25 Desember 1912 di Bandung. Organisasi ini
berkomitmen untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia dengan
menyebarluaskan paham Indische nationalism (nasionalisme Hindia) yang tidak
membedakan keturunan, suku bangsa, agama, kebudayaan, maupun adat istiadat.
Cita-cita tersebut terwujud dalam surat kabar De Expres dengan semboyan
“Indische los van Holland” yang berarti Indonesia bebas dari Belanda dan “Indie
voor
Indiers” yang berarti Hindia untuk orang Hindia.
Adapun Indische Partij memiliki program kerja seperti menanamkan cita-cita
nasional Hindia Timur (Indonesia), memberantas kesombongan sosial dalam
pergaulan baik di bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan, memberantas
usaha usaha yang menyebabkan kebencian antaragama, memperbesar pengaruh
proHindia Timur di lapangan pemerintahan, berusaha mendapatkan kesamaan hak
bagi semua orang Hindia, serta dalam hal pengajaran kegunaannya harus ditujukan
untuk kepentingan ekonomi Hindia.
Kritik yang terlalu keras membuat Indische Partij mendapat pengawalan lebih
ketat dari pihak Belanda. Belanda menolak permohonan organisasi ini untuk
mendapat status badan hukum. Kecemasan Belanda mencapai puncaknya pada
tahun 1913. Belanda menangkap dan mengasingkan ketiga pemimpin Indische
Partij.
Rencana penangkapan dimulai ketika Ki Hajar Dewantara menulis di surat kabar
De Expres dengan judul “Als ik eens Nederlander was” (Seandainya Saya Seorang
Belanda) terbitan 13 Juli 1913. Di dalamnya, Ki Hajar Dewantara menuliskan
tentang bagaimana pemerintah Belanda mencari dana dari rakyat Indonesia untuk
merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari tangan Prancis.
Pada tahun yang sama, pemerintah Belanda menyatakan Indische Partij sebagai
organisasi terlarang. Kemudian, organisasi ini berganti nama menjadi Insulinde,
tetapi tidak berumur panjang. Pada tahun 1919, organisasi ini berubah nama lagi
menjadi National Indische Partij (NIP).
Pada 1914, Dr. Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena sakit,
sedangkan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker baru dikembalikan pada tahun
1919. Douwes Dekker tetap bertahan di dunia politik, sedangkan Ki Hajar
Dewantara terjun ke dunia pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa.
2. Gerakan Pemuda
Organisasi politik yang kedua adalah gerakan pemuda. Sejak berdirinya Budi
Utomo, unsur pemuda Indonesia mulai terlibat. Namun, unsur pemuda ini tidak
lama bertahan dalam Budi Utomo karena didominasi oleh golongan tua atau priayi.
Setelah itu, gerakan pemuda mulai tumbuh dan berkembang secara mandiri di
berbagai daerah di Indonesia. Bermula dari gerakan solidaritas yang bersifat
informal, gerakan-gerakan pemuda ini kemudian menjelma menjadi gerakan politik
yang bercita-cita mewujudkan Indonesia yang merdeka dan maju.
Gerakan pemuda yang muncul pertama kali adalah Trikoro Dharmo yang
merupakan cikal bakal dari Jong Java. Organisasi ini didirikan oleh R. Satiman
Wiryosanjoyo, dan kawan-kawan di gedung STOVIA, Batavia pada tahun 1915.
Trikoro Dharmo memiliki misi dan visi yang dikembangkan sebagai tujuan dari
Trikoro Dharmo, yaitu mempererat tali persaudaraan antarsiswa siswi bumiputra
pada sekolah menengah dan kejuruan, menambah pengetahuan umum bagi para
anggotanya, serta membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa
dan budaya. Meski demikian, tujuan sesungguhnya dari organisasi ini adalah
mencapai Jawa Raya dengan memperkukuh rasa persatuan antarpemuda Jawa,
Sunda, Madura, Bali, dan Lombok.
Dalam kongres pertamanya di Solo pada 12 Juni 1918, organisasi ini kemudian
berubah nama menjadi Jong Java dan berubah haluan menjadi organisasi politik.
Dalam kongres selanjutnya di Solo pada tahun 1926, Jong Java mengutarakan
hendak menghidupkan rasa persatuan bangsa Indonesia serta kerja sama
antarpemuda di seluruh Indonesia. Dengan demikian, organisasi ini menghapus
sifat Jawa sentris sehingga lahirlah Perkumpulan Pasundan, Persatuan Minahasa,
Molukas, Sarekat Celebes, Sarekat Sumatera, dan lain lain. Selain itu, juga ada
organisasi kepemudaan lain yang berasal dari Sumatra dengan nama Jong
Sumatranen Bond yang didirikan pada tahun 1917. Dari organisasi ini muncul
nama-nama besar seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, dan Bahder
Johan.
Pada kongresnya yang ketiga, organisasi ini melontarkan pemikiran Mohammad
Yamin, yakni semua penduduk Nusantara menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar dan bahasa persatuan. Selanjutnya, pada tahun 1918, berdirilah
persatuan pemuda Ambon yang diberi nama Jong Ambon. Kemudian, antara tahun
1918-1919 berdiri pula Jong Minahasa dan Jong Celebes. Salah satu tokoh yang
terkenal dari Jong Minahasa adalah Sam Ratulangi.
Pada tahun 1926, berbagai organisasi kepemudaan berkumpul dan mengadakan
Kongres Pemuda I di Yogyakarta yang menunjukkan adanya persatuan antar
pemuda
Indonesia. Selanjutnya, dalam Kongres Pemuda II di Batavia pada 26-28 Oktober
1928, sebanyak 750 orang wakil dari organisasi-organisasi kepemudaan seluruh
Indonesia berhasil menunjukkan persatuan tekad dalam Sumpah Pemuda.
Dalam kongres ini, lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman pertama kali
dikumandangkan beriringan dengan dikibarkannya bendera Merah Putih sebagai
simbol identitas bangsa. Dalam butir sumpah pemuda yang pertama, “Bertumpah
darah satu, tanah air Indonesia”, menyiratkan makna bahwa banyaknya pulau di
Indonesia bukan menjadi penghalang untuk bersatu. Butir pertama ini juga menjadi
tolok ukur kesetiaan rakyat terhadap negaranya.
Butir kedua, yaitu “Berbangsa satu, bangsa Indonesia”, dibutuhkan untuk
menguatkan butir pertama. Beragamnya suku bangsa di Indonesia dapat dilihat
dalam sejarah berdirinya organisasi pergerakan nasional yang awalnya masih
bersifat kesukuan. Contohnya Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong
Minahasa, dan Jong Java. Meskipun banyaknya perbedaan dapat menimbulkan
konflik, tetapi dengan sikap saling menghormati dan toleransi yang tinggi,
perbedaan yang ada dapat menyatukan bangsa menuju kemerdekaan. Butir ketiga
dalam Sumpah Pemuda berbunyi,
“Berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
Tolok ukur eksistensi suatu bangsa dapat dilihat dari cara dan sikap rakyat dalam
berbahasa. Menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan
tanggung jawab bagi setiap warga negara. Latar belakang pemilihan bahasa Melayu
berdasarkan bukti sejarah menunjukkan sebagai bahasa penghubung dalam
berbagai kegiatan, khususnya perdagangan di wilayah Nusantara. Sumpah Pemuda
telah membuktikan bahwa keberagaman masyarakat bukanlah hambatan untuk
mencapai persatuan dan kesatuan. Sebaliknya, keberagaman harus disikapi sebagai
hal yang mendorong kemajuan bangsa. Semangat Sumpah Pemuda yang
mengilhami berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan hingga
saat ini.
3. Gerakan Perempuan
Kemunculan organisasi-organisasi wanita merupakan realisasi dari cita-cita Kartini
untuk memperjuangkan kedudukan sosial wanita. Pada awal kemunculannya,
pergerakan wanita belum begitu mempersoalkan masalah-masalah yang
menyangkut politik, fokus mereka adalah pada perbaikan dalam hidup berkeluarga
dan meningkatkan kecakapan sebagai seorang ibu.
Pada tahun 1912, atas segala usaha Budi Utomo, berdirilah organisasi Putri
Merdika di Jakarta. Organisasi ini bertujuan memajukan pengajaran anak-anak
perempuan. Kemunculan Putri Merdika kemudian disusul oleh munculnya
organisasi pendidikan Kautaman Istri yang dirintis oleh Dewi Sartika sejak tahun
1904, sebelum akhirnya berubah menjadi Vereninging Kaoetaman Istri.
Mulai tahun 1910, sekolah ini diurus oleh sebuah panitia yang terdiri dari Njonja
Directour Opleidingschool, Raden Ajoe Regent, Raden Ajoe Patih, dan Raden Ajoe
Hoofd-Djaksa. Selanjutnya, Kautaman Istri berdiri di beberapa wilayah lain, yakni
Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan Cicurug
(1918). Organisasi-organisasi wanita juga muncul di daerah Jawa Tengah seperti
Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito
Hadi di Jepara (1915).
Organisasi-organisasi tersebut memfokuskan pada pelatihan untuk memajukan
kecapakan wanita, khususnya kecakapan rumah tangga. Selain itu juga bertujuan
untuk mempererat persaudaraan antara kaum ibu. Tidak hanya di Jawa,
organisasiorganisasi wanita juga bermunculan di luar Jawa. Di antaranya adalah
“Kaoetaman Istri Minangkabau” di Padang Panjang dan sekolah “Kerajinan Amai
Setia” di Kota Gedang, Sumatra Barat tahun 1914. Banyak keterampilan
kerumahtanggaan diajarkan di sekolah-sekolah ini.
Salah satu tokoh wanita yang berpengaruh di luar Jawa adalah Maria Walanda
Maramis. Pada tahun 1918, melalui perkumpulan Percintaan Ibu Kepada Anak
Temurunnya (P.J.K.A.T) yang dibentuknya, pada tahun 1917 ia mendirikan
sekolah rumah tangga Indonesia pertama di Manado dengan 20 murid tamatan
sekolah dasar.
Setelah tahun 1920, organisasi wanita semakin luas orientasinya, terutama dalam
menjangkau masyarakat bawah dan tujuan politik dilakukan bersama organisasi
politik induk. Dengan semakin bertambahnya organisasi wanita, setiap organisasi
politik mempunyai bagian kewanitaan, misalnya Wanudyo Utomo yang menjadi
bagian dari Sarekat Islam, kemudian berganti nama menjadi Sarekat Perempuan
Islam Indonesia.
Namun, tidak semua organisasi wanita yang muncul selalu identik dengan politik.
Salah satu contohnya adalah kemunculan ‘Aisyiyah di Muhammadiyah yang
memfokuskan tujuannya pada kegiatan sosial keagamaan.
beberapa organisasi di atas, ada jenis organisasi wanita lain yang merupakan
organisasi terpelajar seperti Putri Indonesia, JIB dames Afdeling, Jong Java bagian
wanita, organisasi Wanita Taman Siswa, dan lain-lain. Dari beberapa jenis
organisasi wanita tersebut, paham kebangsaan dan persatuan Indonesia juga
diterima di kalangan organisasi ini. Oleh karena itu, untuk membulatkan tekad dan
mendukung persatuan Indonesia, diadakan kongres perempuan Indonesia di
Yogyakarta pada 22-25 November 1928. Kongres tersebut bertujuan untuk
mempersatukan cita-cita dan memajukan wanita Indonesia serta membuat
gabungan organisasi wanita. Beberapa organisasi yang hadir dalam kongres
tersebut ialah Wanita Utomo, Putri Indonesia,
Wanita Katolik, Wanito Mulyo, ‘Aisyiyah, SI bagian wanita, dan lain-lain.
Kongres ini menghasilkan keputusan untuk membentuk gabungan organisasi
wanita dengan nama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Setahun kemudian,
pada 28-31 Desember 1929, PPI mengadakan kongres di Jakarta. Pokok
pembahasan di dalam kongres masih mengenai kedudukan wanita dan
antipoligami. Selain itu, kongres juga memutuskan untuk mengubah nama
organisasi menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang bertujuan
untuk memperbaiki nasib dan derajat wanita Indonesia. Dengan dana yang
dikumpulkannya, diharapkan mampu memperbaiki nasib wanita pada masa itu.
Organisasi ini tidak mencampuri politik dan agama. Pada tahun 1930, atas anjuran
PNI, didirikan organisasi wanita kebangsaan bernama Istri Sedar (IS) di Bandung.
Organisasi ini memusatkan tenaganya di bidang ekonomi dan kemajuan wanita. IS
bersikap netral terhadap agama dan menjangkau semua lapisan wanita, baik
golongan atas atau bawah. IS juga tidak secara langsung terjun ke dalam politik,
tetapi pemerintah selalu mengamati aktivitas organisasi itu, terutama setelah
mengadakan kongres pada 4-7 Juni 1931. Dalam propagandanya, IS sering
menyuarakan antikolonial. Selain itu, ada sebuah organisasi wanita yang sangat
mengecam pemerintah kolonial, yaitu perkumpulan “Mardi Wanita” yang didirikan
tahun 1933 oleh anggota-anggota wanita partai politik Partai Indonesia (Partindo)
setelah partai ini dikenakan vergadeverbod (larangan mengadakan rapat) oleh
pemerintah kolonial.
ini mempunyai banyak cabang terutama di Jawa Tengah dan namanya diganti
menjadi “Persatuan Marhaen Indonesia” yang berpusat di Yogyakarta. Akan tetapi,
setahun kemudian, organisasi ini dikenai larangan dan ketuanya, S.K. Trimurti
dimasukkan ke penjara karena masalah pamflet. PPII dan IS dapat dikatakan
sebagai organisasi wanita yang berpengaruh saat itu. Namun, keduanya justru larut
ke dalam konflik antarorganisasi. Sejak awal pendiriannya, IS terus berselisih
dengan PPII. IS mencemooh karena PPII hanya bergerak untuk memajukan
sejahteraan wanita seperti di negara merdeka. Menurutnya, perjuangan wanita
sudah sewajarnya masuk ke lapangan politik. Di satu sisi, PPII sebagai federasi
organisasi wanita tidak dapat bekerja sama dengan IS yang lebih banyak
menyerang federasi itu. Akan tetapi, keduanya juga saling bekerja sama dalam
rangka pengiriman delegasi kongres Wanita Asia di Lahore.
Pada 20-24 Juli 1935, Kongres Perempuan Indonesia (KPI) kedua diadakan di
Jakarta. Beberapa keputusan KPI adalah mendirikan Badan Penyelidikan
Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan
perempuan Indonesia. Selain itu, juga didirikan pula Badan Kongres Perempuan
Indonesia sekaligus mengakhiri kiprah PPII. Selanjutnya, KPI ketiga diadakan di
Bandung pada 25-28 105 Juli 1938. Kongres tersebut menetapkan tanggal 22
Desember sebagai hari ibu.
Peringatan hari ibu setiap tahun diharapkan dapat mendorong kesadaran wanita
Indonesia akan kewajibannya sebagai ibu bangsa. Dengan mulai banyaknya kaum
wanita yang bekerja di lapangan, maka dirasakan perlunya membentuk sebuah
organisasi.
Oleh karena itu, pada tahun 1940 di Jakarta dibentuk perkumpulan Pekerja
Perempuan Indonesia (PPI) yang terdiri dari mereka yang bekerja di kantor-kantor
pemerintah atau swasta, guru, perawat, dan buruh. Mereka menyatukan diri
meskipun bekerja di bidang yang berbeda-beda karena mereka merasa senasib,
yakni diskriminasi kaum wanita terlihat jelas dalam kesempatan untuk memperoleh
pekerjaan, gaji, dan kesempatan untuk maju. Kendati demikian, perkumpulan itu
tidak melakukan kegiatan sebagai serikat pekerja, melainkan menekankan pada
pendidikan keterampilan untuk mata pencaharian dan pembentukan kesadaran
nasional. Satu hal yang juga mencerminkan kemajuan wanita adalah terbentuknya
perkumpulan dalam kalangan mahasiswi dengan nama Indonesische Vrouwelijke
Studentedvereniging (perkumpulan mahasiswi Indonesia) di Jakarta pada tahun
1940. Kegiatan organisasiorganisasi wanita dalam tahun sebelum pecah Perang
Pasifik yang pantas dicatat adalah rapat protes yang diselenggarakan atas prakarsa
delapan perkumpulan.
Protes ini muncul karena tidak adanya anggota wanita dalam Volksraad (semacam
DPR sekarang). Rapat ini diadakan di Gedung Permufakatan Indonesia, Gang
Kenari, Jakarta, yang dihadiri 500 dari 45 perkumpulan. Organisasi-organisasi itu
juga mendukung aksi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar Indonesia
mempunyai parlemen sebagai wakil rakyat. Dapat dikatakan bahwa dalam periode
ini kaum wanita telah menaruh perhatian pada perjuangan politik, baik dengan
sikap kooperatif maupun nonkooperatif dengan pemerintah kolonial.

E. Metode Radikal

Periode radikal merupakan suatu periode yang memunculkan organisasi


organisasi politik yang kemudian dinamakan “partai”. Organisasi-organisasi ini pada
umumnya bersifat radikal dan nonkooperatif. Mereka tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan cita cita organisasinya.
Organisasi-organisasi tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Perhimpunan Indonesia
Pada awal abad ke-20, para pelajar Hindia yang berada di Belanda mendirikan
organisasi yang bernama Indische Vereniging Salam Historia Lagu “Indonesia
Raya” diciptakan W.R. Supratman tahun 1924. Saat itu, umur pemuda yang berasal
dari Purworejo ini baru 24 tahun. Lagunya baru diperdengarkan kepada publik
tahun 1928. Siapa sangka, pada uang kertas Rp 50.000,00 edisi W.R. Supratman
ada tulisan kecil/micro word teks asli lagu Indonesia Raya hasil ciptaannya (1908),
yaitu perkumpulan Hindia yang beranggotakan orang-orang Hindia, Cina, dan
Belanda.
Organisasi itu didirikan oleh R.M. Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R.
Husein Djajadiningrat. Semula, organisasi itu bergerak di bidang sosial dan
kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran tentang situasi tanah air. Organisasi itu
juga menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Putera. Banyaknya pemuda
pelajar di Tanah Hindia yang dibuang ke Belanda semakin menggiatkan aktivitas
perkumpulan itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, perkumpulan itu mengutamakan
masalahmasalah politik. Jiwa kebangsaan yang semakin kuat di antara mahasiswa
Hindia di Belanda mendorong mereka untuk mengganti nama Indische
Vereninging menjadi Indonesische Vereeniging (1922). Selanjutnya, pada tahun
1925, perkumpulan itu berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) dengan
pimpinan Iwa Kusuma Sumatri, J.B. Sitanala, Moh. Hatta, Sastramulyono, dan D.
Mangunkusumo. Nama majalah terbitan mereka juga berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka. Itu semua merupakan usaha baru dalam memberikan identitas
nasionalis yang muncul di luar tanah air.
Mereka juga membuat simbol-simbol baru, merah putih sebagai lambang mereka,
dan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh perjuangan. Perhimpunan Indonesia
semakin mendapat simpati dari para mahasiswa Indonesia di Tanah Belanda.
Jumlah keanggotaannya semakin bertambah banyak. Tahun 1926, jumlah anggota
mencapai 38 orang. Di Tanah Belanda itulah para mahasiswa itu menyerukan
kepada semua pemuda di Indonesia Hindia untuk bersatu padu dalam setiap
gerakan-gerakan mereka. PI bersemboyan “self reliance, not mendiancy”, yang
berarti tidak meminta-minta dan menuntut-nuntut.
Dalam anggaran dasarnya juga disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya
diperoleh melalui aksi bersama, yaitu kekuatan serentak oleh seluruh rakyat
Indonesia berdasarkan kekuatan sendiri. Kepentingan penjajah dan yang terjajah
berlawanan dan tidak mungkin diadakan kerja sama (nonkooperasi). Bangsa
Indonesia harus mampu berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung pada bangsa
lain. PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh.
Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang
para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah
airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan Indonesia, tetapi
juga dilakukan secara internasional.
Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap
pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan segera.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Perhimpunan Indonesia merupakan manifesto
politik pergerakan Indonesia karena Perhimpunan itu lahir di negeri asing yang saat
itu menjadi penjajah Tanah Hindia. Dari tempat penjajah itulah perkumpulan
pemuda terpelajar itu berhasil mengobarkan semangat dan panji-panji kemerdekaan
Indonesia. Jelaslah bahwa para pemuda Indonesia tidak takut untuk membela dan
berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya dengan segala risikonya.

2. Partai Komunis Indonesia (PKI) Istilah komunis, berasal dari bahasa Latin
“comunis” yang artinya “milik bersama”. Istilah ini berakar dari pemikiran Karl
Marx dan Lenin. Dalam perkembangannya, komunis terbagi menjadi dua aliran,
yaitu aliran sosial demokrat yang disebut juga sosialisme serta aliran komunisme
ajaran Marx dan Lenin.
Aliran yang pertama bertujuan membentuk pemerintahan demokratis parlementer
dengan pemilihan. Sedangkan yang kedua “Komunisme Marx” yang menjadi dasar
perjuangan Marx, Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung adalah komunisme “Diktator
Proletar” yang menolak sistem demokrasi parlementer.
Pada tahun 1913, H.J.F.M. Hendriek Sneevliet, bekas anggota Partai Buruh Sosial
Demokrat Negeri Belanda, tiba di Jawa sebagai sekretaris serikat dagang
perusahaan Belanda. Tahun berikutnya ia mendirikan perkumpulan Indische
Sociaal
Democratische Vereeniging (ISDV) bersama dengan Bergsma, Brandstander, dan
H.W. Dekker. Tujuannya adalah menyebarkan Marxisme. Semula, anggotanya
hanya orang-orang Belanda saja, seperti Cramer, Van Gelderen, dan Strokis.
Demi kemajuan perkumpulan, Sneevliet mendekati Sarekat Islam Cabang
Semarang yang dipimpin Samaun dan Darsono. Pendekatan itu berhasil dengan
baik. Samaun dan Darsono dipengaruhi dan masuk sebagai anggota ISDV. PKI
sendiri berdiri pada tahun 1920 dengan Semaun sebagai ketuanya.
Dalam perjuangannya, PKI menggunakan strategi garis komunis internasional,
yaitu dengan melakukan penyusupan ke dalam tubuh partai-partai lain. Tujuannya
agar organisasi lain terpecah belah dan anggotanya beralih menjadi anggota PKI
sehingga kelak mereka dapat membentuk negara komunis. Salah satu organisasi
yang disusupi PKI adalah Sarekat Islam. Hal itu mungkin karena Sarekat Islam
memperkenankan adanya keanggotaan rangkap, sehingga timbul SI putih dan SI
merah (telah disusupi ISDV atau PKI).
PKI yang sebagian besar anggotanya adalah kaum buruh sejak semula sudah sadar
bahwa pemerintah Belanda selalu menindas rakyat, termasuk kaum buruh. Untuk
itu, setiap ada kesempatan, PKI selalu melakukan pemogokan dan kekacauan,
dengan puncak berupa pemberontakan.
Pemberontakan PKI meletus pada tahun 1926 di Jakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat, kemudian meluas ke Sumatra pada tahun 1927. Akan
tetapi, pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh pemerintah Hindia Belanda
sehingga banyak anggota PKI yang ditawan dan sebagian dibuang ke Tanah Merah
dan Digul, Irian Barat. Di antara mereka terdapat Aliarkham dan Sarjono, 110
sementara Alimin dan Muso berhasil melarikan diri ke luar negeri.

3. Partai Nasional Indonesia (PNI)


Partai Nasional Indonesia merupakan perkembangan dari kelompok belajar
(Algemeene Studie Club). Rapat yang dihadiri Sukarno, Cipto Mangunkusumo,
Suyudi, dan beberapa mantan anggota Perhimpunan Indonesia, di antaranya Iskaq
Cokroadisuryo, Budiarto, dan Sunario, berhasil membentuk organisasi pergerakan
baru yang dinamakan Partai Nasional Indonesia (PNI).
PNI ini sangat terpengaruh oleh Perhimpunan Indonesia. Tujuan didirikannya PNI
adalah kemerdekaan Indonesia. Ideologi partai ini dikenal dengan istilah
Marhaenisme, yaitu suatu ideologi kerakyatan yang mencita-citakan terbentuknya
masyarakat sejahtera yang merata. Adapun perjuangan PNI didasarkan pada trilogi
perjuangan, yaitu kesadaran nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional.
Dengan trilogi perjuangannya ini, PNI berhasil menghimpun partai-partai lain ke
dalam suatu organisasi bersama, yaitu Permufakatan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI). PNI bersama partai lain dalam PPPKI melakukan
propaganda untuk menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat
Indonesia.
Tindakan PNI itu tentu saja menggusarkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu,
pemerintah Belanda melakukan tindakan keras dengan menggeledah markas PNI
dan menangkap para tokohnya. Dalam peristiwa penangkapan yang terjadi pada 28
Desember 1929 itu, pemerintah Belanda berhasil menangkap Sukarno, Maskun,
Gatot Mangkupraja, dan Supriadinata.
Mereka kemudian diajukan ke pengadilan kolonial. Dalam sidang di pengadilan
kolonial Bandung, Sukarno dan kawan kawannya didampingi pembela, yaitu Sastro
Mulyono, Sartono, dan Suyudi, yang juga merupakan anggota PNI. Dalam sidang
itu, Sukarno menyampaikan pembelaannya yang diberi judul Indonesia
Menggugat. Di sana, Soekarno mengungkapkan bahwa pergerakan di kalangan
rakyat bukanlah hasil dari hasutan, melainkan reaksi yang wajar dari kaum
tertindas yang ingin merdeka. Namun, meskipun pengadilan tidak dapat
membuktikan kebenaran tuduhannya, Sukarno dan kawan-kawan tetap dijatuhi
hukuman penjara.

4. Partai Indonesia (Partindo)


Partai Indonesia (Partindo) didirikan di Jakarta pada 30 April 1931. Pendirian
partai ini merupakan hasil keputusan Sartono sewaktu ia menjabat ketua PNI-Iama
menggantikan Sukarno yang ditangkap pemerintah Belanda pada tahun 1929.
Sartono kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partindo yang memiliki
tujuan pokok sama dengan PNI-lama, yaitu mencapai Indonesia merdeka dengan
menjalankan politik nonkooperatif terhadap pemerintahan Belanda.
Tindakan Sartono ini mendapat reaksi keras dari anggota PNI-lama, di antaranya
Moh. Hatta dan Sutan Syahrir, serta golongan yang tidak menyetujui dengan
pembubaran ini. Mereka membentuk Golongan Merdeka dan menjadi organisasi
baru bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru). Partindo dan PNI-baru
pun bersaing dalam memperoleh simpati rakyat.
Setelah Sukarno dibebaskan dari Penjara Sukamiskin pada tahun 1932, ia bertekad
menyatukan kembali PNI-baru dengan Partindo. Akan tetapi, usahanya mengalami
kegagalan sehingga ia akhirnya memutuskan untuk memilih Partindo karena
organisasi tersebut lebih sesuai dengan pribadinya dan menawarkan kebebasan
untuk mengembangkan kemampuan agitasinya. Ia mengumumkan keputusannya
tersebut pada 1 Agustus 1932.
Jumlah anggota Partindo tahun 1932 meningkat cukup pesat karena daya tarik
Sukarno. Akan tetapi, kewibawaannya telah menurun dibandingkan saat ia
memimpin PNI-lama. Pendapat pendapatnya sering kali ditentang oleh pengurus
Partindo lainnya dan peranannya lebih terbatas di Partindo Cabang Bandung.
Meskipun demikian, usul Sukarno untuk mengganti nama Partindo menjadi PNI
(Partai Nasional Indonesia) mendapat dukungan dari banyak anggota. Meskipun
mendapat banyak dukungan, usul tersebut menemui kegagalan, tetapi konsepnya
tentang Marhaenisme dan sosio-ekonomi diterima partai.
Sejak Sukarno memilih Partindo, maka PNI-baru berjuang sekuat tenaga untuk
menarik simpati rakyat. Antara kedua organisasi ini kadang terjadi saling
ejekmengejek. Pemimpin Partindo seperti Sartono dan Sujudi dinilai sebagai kaum
borjuis nasionalis yang menentang kapitalisme Barat tetapi mendukung kapitalisme
Indonesia. Gerakan Swadesi Partindo juga mendapat kritikan.
Menurut Hatta dan Syahrir, kaum nasionalis harus bersatu untuk mencapai
kemerdekaan. Aktivitas Partindo juga dihambat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun mendapat pembatasan-pembatasan dan pelarangan, tokoh-tokoh Partindo
tidak pernah menggubrisnya. Lewat majalah Pikiran Rakjat dan Soeloeh Indonesia
Moeda, mereka melancarkan kritik pedas tentang situasi ekonomi, sosial, dan
mengejek tindakan imperialisme Belanda.
Melihat hal itu, Gubernur de Jonge menjalankan kewenangan gubernur jenderal,
yaitu exorbitante rechten, membuang aktivis pergerakan yang dianggap
membahayakan ketenteraman negara. Sukarno kemudian dibuang ke Ende (Flores).
Penangkapan Sukarno dan larangan mengadakan rapat oleh pemerintah
memberikan pengaruh kepada partai ini. Pada tahun 1936, pengurus Partindo
mengumumkan pembubaran dirinya.
Pembubaran ini atas ide Sartono yang menggantikan kedudukan Sukarno sebagai
ketua. Golongan yang tidak setuju kemudian mendirikan Komite Pertahanan
Partindo di Semarang dan Yogyakarta untuk menghambat pembubaran itu, tetapi
tidak berhasil. Akhirnya, tahun 1937, partai tersebut benar-benar bubar dan
sebagian besar anggotanya masuk dalam Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Gerindo sedikit berbeda dengan Partindo, yaitu menjunjung asas kooperatif
terhadap Belanda.

F. Respon Kolonial Belanda terhadap Perjuangan Moderat dan Radikal

Perjuangan pergerakan melalui strategi moderat adalah bentuk perjuangan


untuk memperbaiki kondisi sosial dan budaya. Sifat gerakan ini sangat kooperatif
dengan Kolonial Belanda sehingga Belanda tidak merasa terancam. Karena bersifat
non politis maka Kolonial Belanda membiarkan organisasi ini berkembang.
Perkembangan organisasi akibat pembiaran dari pihak kolonial inilah yang kemudian
menumbuh kembangkan rasa cinta tanah air dan kesadaran nasional untuk Indonesia
merdeka. Sebaliknya strategi perjuangan dengan cara radikal mendapat tentangan
keras dari Kolonial Belanda karena perjuangan ini mengancam kolonisasi pihak
Belanda. Para pejuang pergerakan itu tidak mau bekerja sama dengan Kolonial
Belanda bahkan ada yang melakukan pemberontakan terhadap Belanda seperti yang
dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1926. Akibatnya para tokohnya
dikejar-kejar kolonial dan organisasi dibubarkan kolonial.

G. Keunggulan antara strategi kolaboratif (kerja sama) dan radikal (bawah tanah)

Strategi perjuangan pergerakan dengan cara kolaboratif tentunya mempunyai


keuntungan:1). Perjuangan dapat berkembang dengan pesat karena memperjuangkan
pendidikan, agama, budaya, dan kesejahteraan rakyat. 2). Dapat bekerja sama dengan
kolonial untuk tujuan Indonesia merdeka. 3). Hasil perjuangan dapat terlihat secara
nyata misalnya a). KH. Ahmad Dahlan bergerak dalam bidang keagamaan yang
mendirikan Muhammadiya. b). Ki Hajar Dewantara begerak dalam bidang pendidikan
yang mendirikan Taman Siswa. c). Budi Utomo yang membangun organisasi
kepemudaan berdasarkan cita-cita nasionalisme tampa membedakan suku, agama,
daerah dan asalusul. d). Serekat Islam yang bertujuan untuk kemajuan perdagangan
dari anggotanya sehingga meningkatkan kesejateraan para pedagang dan
konsumennya.

H. Organisasi Perjuanagn Pergerakan Nasional Sebelum dan Sedudah 1908

Perjuangan bangsa menuju Indonesia merdeka memang sudah ada jauh sebelum
adanya politik etis yang dituntut Van Deventer untuk memberi kesempatan kepada
pribumi agar mengenyam pendidikan. Namun, karena perjuangan mereka masih
sebatas pada kepentingan kedaerahan atau karena harga diri serta martabat yang
terabaikan karena monopoli perdagangan, maka kolonial Belanda mudah mematahkan
perjuangan mereka.
Perjuangan Imam Bonjol dan Diponegoro yang secara tidak sengaja terjadi
bersamaan ternyata sangat merepotkan kolonial Belanda. Baru setelah kolonial
Belanda menghadapi mereka satu demi satu, akhirnya perjuangan mereka dapat
dihentikan.
Untuk lebih memahami karakter perjuangan sebelum dan sesudah tahun 1908,
perhatikan paparan berikut ini.
1. Sebelum Tahun 1908 dipimpin raja atau bangsawan dan tokoh agama, sedangkan
setelah 1908 dipimpin dan digerakkan kaum terpelajar.
2. Sebelum Tahun 1908 bersifat kedaerahan (lokal), sedangkan setelah 1908 bersifat
nasional dan sudah ada interaksi antardaerah.
3. Sebelum Tahun 1908 bersifat fisik atau perjuangan dengan mengangkat senjata,
sedangkan setelah 1908 perjuangan menggunakan jalur organisasi.
4. Sebelum Tahun 1908 terfokus pada pemimpin yang berkarisma, sedangkan setelah
1908 memiliki organisasi dengan adanya kaderisasi.
5. Sebelum Tahun 1908 bersifat reaktif dan spontan, sedangkan setelah 1908
memiliki visi secara jelas, yakni Indonesia Merdeka.

Berikut penjelasan dari perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme


setelah tahun 1908.
1. Dipimpin dan Digerakkan KaumTerpelajar
Setelah tahun 1908, walaupun di antara mereka berlatar belakang bangsawan yang
sehari-harinya bergelut dengan sistem feodalisme, tetapi mereka adalah orang-
orang terpelajar. Munculnya kaum terpelajar pada saat itu tidak terlepas dari
politik etis yang membuka keran bagi kaum pribumi (inlander) untuk dapat
mengenyam pendidikan. Walaupun sebatas pada kaum bangsawan dan bukan
untuk rakyat jelata, tetapi sudah cukup untuk mengantar para tokoh untuk berpikir
bagaimana cara mencapai Indonesia merdeka. Awalnya, pendidikan dalam politik
etis dibuka dengan tujuan menciptakan tenaga administrasi terdididik dengan gaji
yang murah. Namun, dengan adanya sekolah-sekolah milik Belanda seperti HIS,
ELS, MULO, dan HBS yang dinikmati tidak lebih 10 persen orang Indonesia,
ternyata dapat melahirkan golongan cendekiawan seperti Supomo, Suwardi
Suryaningrat, Sukarno, Moh. Hatta, dan Sutan Syahrir. Kaum cendekia ini ada
yang berjuang secara kooperatif seperti Sukarno dan ada yang berjuang
nonkooperatif seperti Sutan Syahrir.
2. Bersifat Nasional dan Sudah Ada Interaksi Antardaerah
Setelah tahun 1908, kolonial Belanda mencanangkan penjajahannya di
Indonesia dalam satu komando yang memantau dari berbagai daerah dengan
nama Pax Netherlandica. Sistem Pax Netherlandica merupakan sistem politik
pembulatan negeri oleh kolonial Belanda dengan tujuan agar negara asing seperti
Inggris, Spanyol, dan Portugis tidak lagi menduduki wilayah Indonesia.
Salah satu upayanya adalah mengirim pasukan militer ke daerah yang belum
dikuasai di Nusantara. Keberhasilan sistem politik Pax Netherlandica berdampak
pada penyatuan rakyat Indonesia dalam perasaan senasib sepenanggungan, yaitu
sama-sama dijajah Belanda. Penderitaan yang dialami satu daerah tidak lagi
dianggap sebagai penderitaan daerah itu semata, melainkan penderitaan seluruh
rakyat Hindia Timur (Indonesia). Hal inilah yang memicu persatuan yang pada
akhirnya melahirkan kesadaran sebagai suatu bangsa atau kesadaran nasional.
Kesadaran berbangsa ini tidak terlepas dari peran kaum terpelajar dan terdidik.
Mereka bertemu satu sama lain antardaerah di dalam negeri maupun di luar
negeri saat mengenyam pendidikan.
Di tempat pendidikan, pelajar-pelajar tersebut bertemu untuk membahas nasib
dan masa depan Indonesia. Contohnya mahasiswa STOVIA (kedokteran) yang
bertemu satu sama lain antardaerah yang kemudian melahirkan organisasi Budi
Utomo untuk Indonesia merdeka.
3. Perjuangan Menggunakan Jalur
Organisasi Meskipun perjuangan dengan senjata dilakukan secara sporadis, tetapi
pada dasarnya setelah tahun 1908, perjuangan sudah menggunakan jalur
organisasi. Banyak cara dalam berjuang secara organisatoris, misalnya diplomasi,
kampanye lewat media radio dan 90 surat kabar, pidato di lapangan terbuka (rapat
akbar), dan ada yang menolak bekerja sama dengan kolonial Belanda. Perjuangan
dengan cara organisasi dikarenakan bangsa kita sudah mulai sadar bahwa jika
berjuang dengan senjata tidak mungkin menandingi kecanggihan senjata yang
dimiliki penjajah. Terbukti, keberhasilan kita mempertahankan kemerdekaan
adalah karena tokoh-tokoh pejuang Indonesia menyeimbangkan antara perjuangan
secara militer dan perjuangan melalui diplomasi.
4. Memiliki Organisasi dengan
Adanya Kaderisasi Sebelum tahun 1908, perjuangan pada umumnya tergantung
pada munculnya satu atau beberapa tokoh sehingga jika tokoh tersebut gugur atau
ditangkap, dengan mudah kolonial memadamkan api perjuangan. Setelah tahun
1908, perlawanan tergantung pada organisasi-organisasi pergerakan dengan
kaderisasi yang sudah rapi. Dengan demikian, jika pionir wafat, maka perjuangan
tetap terjaga keberlangsungannya. Contohnya dengan wafatnya Jenderal Sudirman
pada usia 34 tahun, perjuangan diteruskan oleh penggantinya, yakni jenderal
Gatot Subroto.
5. Memiliki Visi Secara Jelas, yakni Indonesia Merdeka
Sebelum tahun 1908, perjuangan raja-raja lokal dilatarbelakangi oleh monopoli
perdagangan atau penguasaan daerah yang dianggap melecehkan martabat dan
harga diri penguasa daerah. Setelah tahun 1908, munculnya organisasi-oganisasi
pergerakan dilatarbelakangi satu misi dan visi yang jelas, yakni Indonesia menuju
kemerdekaan. Walaupun organisasi-organisasi kepemudaan tersebut bersifat
sosial budaya, tetapi lambat laun berubah menjadi organisasi politik dengan tujuan
mengusir penjajah dari bumi Indonesia.

I. Faktor Internal dan Eksternal Lahirnya Organisasi Pergerakan

Ada beberapa faktor yang memicu gerakan nasionalisme di Indonesia, baik


bersifat internal (dari dalam negeri) maupun bersifat eksternal (dari luar negeri).
Untuk lebih jelasnya, ikutilah paparan berikut ini.
1. Faktor Internal (dari Dalam Negeri)
a. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik yang Parah Akibat Penjajahan.
Penindasan, kekejaman, eksploitasi, dan ketidakadilan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial telah menyebabkan kebencian dan ketidaksukaan yang
akhirnya memicu perlawanan terhadap penjajah.
b. Munculnya Kaum Terpelajar
Kebijakan politik etis atau politik balas budi yang digagas oleh Van Deventer
pada awalnya mempunyai prinsip dasar bahwa pemerintah kolonial memiliki
tanggung jawab untuk memperbaiki taraf hidup rakyat pribumi. Walaupun pada
kenyataannya oleh penjajah niat dasar moral itu diselewengkan dengan tujuan
mendidik para pribumi agar penjajah memperoleh tenaga administratif yang
cerdas dan bergaji murah, ternyata dengan adanya pendidikan itu muncul para
pelajar yang terdidik dengan wawasan lebih luas. Setelah mempelajari berbagai
perjuangan kemerdekaan bangsa lain, maka tumbuh kesadaran dalam diri
mereka bahwa setiap bangsa adalah sederajat dan berhak merdeka, lepas dari
belenggu penjajahan bangsa lain.
c. Motivasi Kejayaan Bangsa pada Masa Lampau
Tumbuh kesadaran dari para aktivis pergerakan bahwa bangsa ini pernah
menjadi bangsa yang besar, yakni ketika kejayaan Sriwijaya (Palembang) dan
Majapahit (Jawa Timur) yang dapat mempersatukan berbagai wilayah, bahkan
kekuasaannya melebihi Nusantara, yakni dari Selat Malaka sampai Tanah
Genting Kra di Thailand. Kejayaan ini dapat memotivasi bahwa bangsa ini
mempunyai potensi menjadi bangsa yang mandiri dan besar seperti halnya
Sriwijaya dan Majapahit.

2. Faktor Eksternal (dari Luar Negeri)


a. Keberhasilan Pergerakan Nasional di Negara-negara Lain.
Keberhasilan pergerakan di Asia dan Afrika seperti Cina, India, Filipina, Turki,
dan Mesir membangkitkan semangat para kaum terdidik untuk berjuang
sehingga dapat menikmati keberhasilan yang sama dengan mereka.
b. Kemenangan Jepang Terhadap Rusia.
Perang tahun 1905 menyadarkan bahwa bangsa Barat (ras Kaukasoid) bukanlah
bangsa yang superior segala-galanya terhadap bangsa Timur (ras Mongoloid)
karena ternyata bangsa Asia dapat mengalahkan bangsa Eropa.
c. Masuk dan Berkembangnya Paham Baru di Eropa dan Amerika.
Paham seperti liberalisme (kebebasan, kesetaraan derajat manusia, dan
supremasi hukum) yang dibawa T.S. Raffles, kebebasan-kesetaraan yang
dikampanyekan Napoleon Bonaparte, dan paham nasionalisme yang terus
menggema ke seluruh dunia menumbuhkan kesadaran bahwa setiap bangsa
berhak untuk merdeka.

J. Periode Moderat/ Kooperatif


Periode moderat/kooperatif merupakan periode awal kebangkitan nasional,
ketika gerakan nasionalisme di Indonesia diwarnai dengan perjuangan untuk
memperbaiki kondisi sosial dan budayanya. Sifat gerakan organisasi yang lahir pada
periode ini adalah moderat dan kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda.
Organisasi yang lahir pada periode ini antara lain sebagai berikut.
1. Budi Utomo
Budi Utomo adalah organisasi pergerakan nasional yang pertama kali didirikan
pada 20 Mei 1998 di Jakarta. Kemunculan organisasi ini tidak lepas dari pengaruh
penerapan politik etis dari pihak Belanda. Organisasi ini dirintis oleh dr. Wahidin
Sudirohusodo. Organisasi Budi Utomo didirikan dengan tujuan untuk menggalang
dana demi membantu anak-anak bumiputra yang kekurangan dana.
Ide tersebut kemudian dikembangkan oleh Sutomo, seorang mahasiswa STOVIA
yang kemudian dipilih menjadi ketua organisasi tersebut. Sebagian besar pendiri
Budi Utomo adalah pelajar STOVIA, seperti Sutomo, Gunawan Mangunkusumo,
Cipto Mangunkusumo, dan R.T. Ario Tirtokusumo.
Para tokoh pendiri Budi Utomo berpendapat bahwa untuk mendapatkan kemajuan,
pendidikan dan pengajaran harus menjadi perhatian utama. Organisasi ini memiliki
corak sebagai organisasi modern, yaitu memiliki pimpinan, ideologi, dan
keanggotaan yang jelas. Organisasi Budi Utomo bersifat kooperatif terhadap
pemerintah kolonial Belanda, moderat, serta tidak membedakan agama, keturunan,
dan jenis kelamin.
Pada 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongres pertama di
Yogyakarta. Dalam kongres itu, dibahas dua prinsip perjuangan, yaitu golongan
muda yang menginginkan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah
kolonial, sedangkan golongan tua yang mempertahankan cara lama, yaitu
perjuangan sosiokultural.
Selanjutnya, kongres Budi Utomo tahun 1931 di Jakarta memutuskan bahwa Budi
Utomo terbuka bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada kongres tahun 1932 di Solo,
diputuskan secara tegas bahwa tujuan Budi Utomo adalah mencapai Indonesia
merdeka. Untuk tujuan inilah pada tahun 1935 Budi Utomo rela meleburkan
dirinya dengan mengadakan fusi dan membentuk suatu wadah baru yang lebih
besar, yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra).
2. Sarekat Islam (SI)
Organisasi lain yang berdiri pada periode moderat/kooperatif adalah Sarekat
Islam (Syarikat Islam). Organisasi ini merupakan pengembangan dari Sarekat
Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1909 di Jakarta oleh R.M. Tirtodisuryo.
Tujuan utama SDI adalah untuk membela kepentingan pedagang Indonesia dari
ancaman persaingan dengan pedagang Cina. Namun, karena sering terjadi
perkelahian dan kerusuhan yang dilakukan pedagang Cina dan SDI, maka
pemerintah melarang SDI.
Atas anjuran H.O.S. Cokroaminoto, pada 10 September 1912, SDI diubah menjadi
Sarekat Islam. Dasar organisasi Sarekat Islam adalah persatuan bangsa dengan
Islam sebagai tali atau simbol persatuan. Tujun dari organisasi ini adalah kemajuan
perdagangan, kemajuan hidup kerohanian, dan menggalang persatuan di antara
umat Islam.
Sarekat Islam merupakan partai yang diorganisasi oleh pengusaha kecil Indonesia.
Tokoh-tokoh Sarekat Islam yang terkenal adalah H.O.S. Cokroaminoto, Haji Agus
Salim, dan Abdul Muis. Untuk mendekati atau menarik rakyat, agama Islam-lah
yang dijadikan daya tariknya. Jadi, untuk bisa menjadikan Sarekat Islam suatu
organisasi yang kuat, ia harus bersifat massal. Hingga tahun 1916, Sarekat Islam
telah memiliki 80 cabang Sarekat Islam lokal di seluruh Indonesia dengan jumlah
anggota 800.000 orang.
Pada tahun 1913, Sarekat Islam menyelenggarakan kongres pertama di Surabaya.
Kongres itu menetapkan keputusan sebagai berikut. a. Sarekat Islam bukan partai
politik. b. Sarekat Islam tidak melawan Pemerintah Hindia Belanda. c. Haji Oemar
Said Cokroaminoto dipilih menjadi ketua Sarekat Islam. d. Kota Surabaya
ditetapkan menjadi pusat kegiatan Sarekat Islam.
3. Muhammadiyah
Organisasi yang lahir pada periode moderat/kooperatif adalah Muhammadiyah.
Keberadaan organisasi Budi Utomo telah memberikan inspirasi kepada K.H.
Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi yang bersifat modern. Ia pun
mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912 yang bercirikan
organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan.
Salah satu tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah untuk memurnikan ajaran
Islam, yaitu seharusnya Islam bersumber pada Alquran dan Al-Hadis, tindakannya
adalah amar makruf nahimunkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal
yang buruk.
Pembaruan model Wahabiyah di Arab pun dimulai, antara lain dengan manajemen
organisasi modern, pendirian lembaga pendidikan, dan dakwah melalui media atau
surat kabar. Sistem pendidikan dibangun dengan cara sendiri, menggabungkan cara
tradisional dengan cara modern. Model sekolah Barat ditambah pelajaran agama
yang dilakukan di dalam kelas.
Dalam bidang kemasyarakatan, organisasi ini mendirikan rumah sakit, poliklinik,
dan rumah yatim piatu yang dikelola oleh lembaga-lembaga. Usaha di bidang
sosial itu ditandai dengan berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada
tahun 1923. Itulah bentuk kepedulian sosial dan tolong-menolong sesama muslim.
Selanjutnya, organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiyah di
Yogyakarta sebagai bagian dari organisasi wanita Muhammadiyah. Nama tersebut
terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad yang dikenal taat beragama,
cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung eko nomi rumah tangga. Diharapkan
profil
‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah.
Aisyiyah yang masih eksis sampai sekarang didirikan sebagai pembantu peran
kaum perempuan, terutama bidang keagamaan. Ketika ‘Aisyiyah berdiri,
perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan dan kemasyarakatan karena
dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan, apalagi mempunyai peran
kemasyarakatan.
Aisyiyah berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki sama sama mempunyai
kewajiban untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran,
termasuk melalui bidang pendidikan.
4. Taman Siswa
Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Awalnya, Taman Siswa memiliki nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman
Siswa
(Institut Pendidikan Nasional Taman Siswa). Saat itu, Taman Siswa hanya
memiliki 20 murid kelas Taman Indria. Kemudian, Taman Siswa berkembang
pesat dengan memiliki 52 cabang dengan murid kurang lebih 65.000 siswa.
Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa,
Tut Wuri Handayani”. Artinya, “guru jika di depan harus memberi contoh atau
teladan, di tengah harus bisa menjalin kerja sama, dan di belakang harus memberi
motivasi atau dorongan kepada para siswanya”. Hingga saat ini, azas ini masih
relevan dan penting dalam dunia pendidikan. Taman Siswa mendobrak sistem
pendidikan Barat dan pondok pesantren dengan mengajukan sistem pendidikan
nasional. Pendidikan nasional yang ditawarkan adalah pendidikan bercirikan
kebudayaan asli Indonesia.
Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang tidak mendukung.
Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan berbagai aturan untuk membatasi
pergerakan Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah tangga dan Undangundang
Ordonansi Sekolah Liar Tahun 1932, yakni larangan mengajar bagi guru-guru yang
terlibat partai politik. Meski demikian, Taman Siswa mampu memberikan
kontribusi yang luar biasa bagi masyarakat luas dengan pendidikan.
Taman Siswa juga mampu menyediakan pendidikan untuk rakyat yang tidak
mampu disediakan oleh pemerintah kolonial. Saat ini, sekolah Taman Siswa masih
berdiri dan tetap berperan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
5. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya didirikan oleh dr. Sutomo di Solo pada Desember 1935. Partai
ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu Budi Utomo
dan Persatuan Bangsa Indonesia. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya
dan mulia yang hakikatnya mencapai Indonesia merdeka.
Di Jawa, anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut
dengan kaum kromo. Di daerah lain, masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan
Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang
ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo,
dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan Alatas.
Dalam mewujudkan tujuannya, Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan
mendirikan Rukun Tani, menyusun serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan
Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin), menyusun perekonomian dengan
menganjurkan Swadeshi (menolong diri sendiri), mendirikan Bank Nasional
Indonesia di Surabaya, serta mendirikan percetakan-percetakan yang menerbitkan
surat kabar dan majalah.
Kegiatan Parindra ini semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada saat itu, Van Starkenborg, Salam Historia Ki Hajar
Dewantara, tokoh pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum meninggal, Ki Hajar
Dewantara berpesan kepada ahli warisnya agar tidak menggunakan nama jalan
dengan menggunakan namanya karena dapat mengkultuskan individukan dirinya.
Sehingga pemerintah pusat maupun daerah sampai sekarang tidak menggunakan
nama jalan “Ki Hajar Dewantara”. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah
menggunakan nama
“Taman Siswa” sebagai nama jalan. yang menggantikan De Jonge pada tahun
1936. Gubernur Jenderal van Starkenborg memodifikasi politiestaat peninggalan
De Jonge menjadi beambtenstaat (negara pegawai) yang memberi konsensi yang
lebih baik kepada organisasi-organisasi yang kooperatif dengan pemerintah Hindia
Belanda.
Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938,
anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di
Jawa Timur. Pada Mei 1941 (menjelang Perang Pasifik), Partai Indonesia Raya
diperkirakan memiliki anggota sebanyak 19.500 orang. Ketika dr. Soetomo
meninggal pada Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra digantikan oleh
Moehammad Hoesni
Thamrin, seorang pedagang dan anggota Volksraad. Sebelum menjadi ketua
Parindra, M.H. Thamrin telah mengadakan kontak-kontak dagang dengan Jepang
sehingga ia memainkan kartu Jepang ketika ia berada di panggung politik
Volksraad.
Karena aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang,
pemerintah Hindia Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada
Sukarno. Maka, pada 9 Februari 1941, rumah M.H. Thamrin digeledah oleh PID
(dinas rahasia Hinda Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria. Selang
dua hari kemudian, M.H. Thamrin mengembuskan napas yang terakhir. Dengan
demikian, Parindra digambarkan sebagai partai yang bekerja sama dengan
pemerintahan Hindia Belanda pada awal berdirinya, akan tetapi dicurigai pada
akhir kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang
bermain mata dengan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan.
6. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi payung dari
partaipartai dan organisasi-organisasi politik yang berdiri pada 21 Mei 1939 di
dalam rapat pendirian organisasi nasional di Jakarta. Walaupun tergabung dalam
GAPI, masing masing partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh terhadap
program kerjanya masing-masing dan bila timbul perselisihan antara partai-partai,
GAPI bertindak sebagai penengah.
Pertama kali, 117 pimpinan dipegang oleh Mohammad Husni Thamrin, Mr. Amir
Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosujono. Inisiatif datang dari Thamrin, tokoh
Perindra, untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Karena melihat
gelagat internasional yang semakin genting serta memungkinkan keterlibatan
langsung Indonesia dalam perang, maka pembentukan badan ini terasa sangat
mendesak, antara lain untuk memupuk rasa saling menghargai serta kerja sama
untuk membela kepentingan rakyat.
Adapun alasan yang tidak kalah penting adalah situasi internasional pada saat itu.
Alasan ini pula yang melatarbelakangi inisiatif M.H. Thamrin (Parindra)
mengadakan rapat pada 19 Maret 1939 untuk mendirikan badan konsentrasi yang
baru. Sebagai realisasi dari rapat di atas, maka pada 21 Mei 1939 diadakan rapat
umum yang menghasilkan pembentukan konsentrasi nasional, Gabungan Politik
Indonesia (GAPI).
Kepengurusan federasi dijalankan oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas
sekretaris umum, sekretaris pembantu, dan bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk
pertama kali diduduki oleh M.H. Thamrin dari Parindra sebagai bendahara,
Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, dan Amir Sjarifudin
dari Gerindo sebagai sekretaris pembantu. Anggota GAPI terdiri atas Parindra
(Partai Indonesia Raya), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), PH (Partai Islam
Indonesia), PPKI
(Persatuan Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia),
Persatuan Minahasa, dan Pasundan. Dasar dasar federasi meliputi hak menentukan
nasib sendiri, persatuan Indonesia, demokrasi dalam usaha-usaha politik, ekonomi,
sosial, serta kesatuan aksi.
Sedangkan tujuannya adalah untuk mengadakan kerja sama dan mempersatukan
semua partai politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres rakyat Indonesia.
Sesuai dengan anggaran dasarnya, tujuan GAPI adalah 1) menghimpun
organisasiorganisasi politik bangsa Indonesia untuk bekerja bersama-sama, 2)
menyelenggarakan kongres Indonesia. Pada bagian lain anggaran dasarnya,
disebutkan bahwa Gabungan Politik Indonesia berdasarkan kepada beberapa hal
berikut, 1) hak 118 untuk menentukan dan mengurus nasib bangsa sendiri, 2)
persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasar kerakyatan
dalam paham politik, serta 3) persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia.
Meskipun persatuan nasional merupakan dasar aksi GAPI, akan tetapi dalam
kenyataannya perpecahan dalam tubuh kaum pergerakan tidak bisa diabaikan
begitu saja.
Bagaimanapun, hal ini akan memengaruhi bahkan menghambat pencapaian tujuan
GAPI. Perpecahan tersebut terlihat ketika berdirinya Golongan Nasional Indonesia
di samping adanya Fraksi Nasional. Di samping itu, di antara anggota-anggota pun
terdapat perbedaan yang tidak bisa diselesaikan. Terdapatnya anggota anggota
GAPI, Parindra, PSII, PII, Pasundan, dan Gerindo yang mempunyai konflik: PII
Sukiman dengan PSII Abikusno; Gerindo dengan Moh. Yamin. Sementara itu,
perpecahan kaum pergerakan tidak menjadi penghalang utama bagi GAPI untuk
melakukan aksiaksinya. Pada rapat tanggal 4 Juli 1939, GAPI memutuskan
pendirian Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Pembentukan kongres ini merupakan
pelaksanaan program GAPI. Pada 1 September 1939, Hitler menyerbu Polandia
dan mulai berkobarlah Perang Dunia II di Eropa. GAPI menekan Belanda supaya
memberikan otonomi sehingga dapat dibentuk aksi bersama Belanda-Indonesia
dalam melawan fasisme. Tentu saja Belanda tidak bereaksi. Di samping itu, GAPI
melakukan aksi Indonesia Berparlemen. Dengan aksi ini, diharapkan pemerintah
Nederland memberi peluang untuk meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan
rakyat melalui Kongres Rakyat Indonesia. Tujuan ini dikemukakan berhubung
dengan timbulnya Perang Dunia II. Bertalian dengan hal di atas, GAPI juga
menawarkan hubungan kerja sama Indonesia dengan Belanda, dengan harapan
adanya perhatian Belanda terhadap aspirasi rakyat Indonesia. Hal ini untuk
merealisasikan keputusan-keputusan konferensi GAPI yang dilangsungkan pada
19-20 September 1939 yang antara lain sebagai berikut. 119 a. Perlunya dibentuk
parlemen yang anggota-anggotanya dipilih dari dan oleh rakyat. Pemerintah harus
bertanggung jawab kepada parlemen itu. b. Jika keputusan di atas dipenuhi, maka
GAPI akan memaklumkan kepada rakyat untuk mendukung Belanda. c. Anggota-
anggota GAPI akan bertindak semata-mata dalam ikatan GAPI. Berparlemen
merupakan program yang terus-menerus dan disebarluaskan kepada semua partai,
baik anggota GAPI maupun anggota Kongres Rakyat Indonesia.
Tuntutan GAPI, yakni Indonesia Berparlemen, ternyata kurang mendapat perhatian
dari pemerintah. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan status kenegaraan Indonesia akan dibicarakan setelah selesai
perang. Kondisi Belanda yang diduduki Jerman sejak Mei 1940 tentu merupakan
salah satu alasan bagi pemerintah Belanda. Ketika pemerintah Nederland menjadi
Exile Government di London, ini berarti semakin menjauhkan hubungan Indonesia
dengan Belanda.
Pada Agustus 1940, mosi-mosi (Thamrin, Soetardjo, dan Wiwoho) mendapat
tanggapan yang umumnya negatif dari pemerintah sehingga ditarik kembali oleh
para sponsornya. Pada bulan yang sama, GAPI memulai upaya yang terakhir ketika
organisasi tersebut mengusulkan pembentukan suatu uni Belanda Indonesia yang
berdasarkan atas kedudukan yang sama bagi kedua belah pihak dengan Volksraad
akan berubah menjadi badan legislatif yang bersifat bikameral atas dasar sistem
pemilihan yang adil. Akan tetapi, desakan yang terus-menerus dari GAPI,
Indonesia Berparlemen telah memaksa Belanda membentuk suatu panitia
Commisie tot bestudering van staattrechtelijke hervormingen (Panitia untuk
mempelajari perubahanperubahan tata negara). Panitia yang biasa disebut
Commisie Visman karena nama ketuanya Visman ini dibentuk pada November
1940 dan laporannya ke luar tahun 1942. Partai Indonesia Raya (Parindra) Partai
Indonesia Raya didirikan oleh dr. Sutomo di Solo pada Desember 1935.
Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu Budi Utomo
dan Persatuan Bangsa Indonesia. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya
dan mulia yang hakikatnya mencapai Indonesia merdeka. Di Jawa, anggota
Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum
kromo. Di daerah lain, masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes.
Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh
Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo, dr. Sam Ratulangi,
Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan Alatas. Dalam mewujudkan tujuannya,
Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan mendirikan Rukun Tani, menyusun
serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan Rukun Pelayaran Indonesia
(Rupelin), menyusun perekonomian dengan menganjurkan Swadeshi (menolong
diri sendiri), mendirikan Bank Nasional Indonesia di Surabaya, serta mendirikan
percetakanpercetakan yang menerbitkan surat kabar dan majalah.
Kegiatan Parindra ini semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada saat itu, Van Starkenborg, Salam Historia Ki Hajar
Dewantara, tokoh pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum meninggal, Ki Hajar
Dewantara berpesan kepada ahli warisnya agar tidak menggunakan nama jalan
dengan menggunakan namanya karena dapat mengkultuskan individukan dirinya.
Sehingga pemerintah pusat maupun daerah sampai sekarang tidak menggunakan
nama jalan “Ki Hajar Dewantara”. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah
menggunakan nama
“Taman Siswa” sebagai nama jalan yang menggantikan De Jonge pada tahun
1936. Gubernur Jenderal van Starkenborg memodifikasi politiestaat peninggalan
De Jonge menjadi beambtenstaat (negara pegawai) yang memberi konsensi yang
lebih baik kepada organisasi-organisasi yang kooperatif dengan pemerintah Hindia
Belanda. Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir
tahun 1938, anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar
terkonsentrasi di Jawa Timur. Pada Mei 1941 (menjelang Perang Pasifik), Partai
Indonesia Raya diperkirakan memiliki anggota sebanyak 19.500 orang. Ketika dr.
Soetomo meninggal pada Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra
digantikan oleh Moehammad Hoesni Thamrin, seorang pedagang dan anggota
Volksraad. Sebelum menjadi ketua Parindra, M.H. Thamrin telah mengadakan
kontak-kontak dagang dengan Jepang sehingga ia memainkan kartu Jepang ketika
ia berada di panggung politik Volksraad.
Karena aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang,
pemerintah Hindia Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada
Sukarno. Maka, pada 9 Februari 1941, rumah M.H. Thamrin digeledah oleh PID
(dinas rahasia Hinda Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria. Selang
dua hari kemudian, M.H. Thamrin mengembuskan napas yang terakhir.
Dengan demikian, Parindra digambarkan sebagai partai yang bekerja sama dengan
pemerintahan Hindia Belanda pada awal berdirinya, akan tetapi dicurigai pada
akhir kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang
bermain mata dengan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan.

K. Periode Politik
Periode politik merupakan kelanjutan dari periode moderat/kooperatif. Dalam
periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia dalam bidang politik lahir untuk
meraih kemerdekaan Indonesia. Beberapa organisasi yang muncul pada periode ini
adalah sebagai berikut.
1. Indische Partij (IP)
Indische Partij (IP) didirikan oleh Tiga Serangkai, yakni Douwes Dekker
(Setyabudi Danudirjo), Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara
(Suwardi Suryaningrat) pada 25 Desember 1912 di Bandung. Organisasi ini
berkomitmen untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia dengan
menyebarluaskan paham Indische nationalism (nasionalisme Hindia) yang tidak
membedakan keturunan, suku bangsa, agama, kebudayaan, maupun adat istiadat.
Cita-cita tersebut terwujud dalam surat kabar De Expres dengan semboyan
“Indische los van Holland” yang berarti Indonesia bebas dari Belanda dan “Indie
voor
Indiers” yang berarti Hindia untuk orang Hindia.
Adapun Indische Partij memiliki program kerja seperti menanamkan cita-cita
nasional Hindia Timur (Indonesia), memberantas kesombongan sosial dalam
pergaulan baik di bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan, memberantas
usaha usaha yang menyebabkan kebencian antaragama, memperbesar pengaruh
proHindia Timur di lapangan pemerintahan, berusaha mendapatkan kesamaan hak
bagi semua orang Hindia, serta dalam hal pengajaran kegunaannya harus ditujukan
untuk kepentingan ekonomi Hindia.
Kritik yang terlalu keras membuat Indische Partij mendapat pengawalan lebih
ketat dari pihak Belanda. Belanda menolak permohonan organisasi ini untuk
mendapat status badan hukum. Kecemasan Belanda mencapai puncaknya pada
tahun 1913. Belanda menangkap dan mengasingkan ketiga pemimpin Indische
Partij.
Rencana penangkapan dimulai ketika Ki Hajar Dewantara menulis di surat kabar
De Expres dengan judul “Als ik eens Nederlander was” (Seandainya Saya Seorang
Belanda) terbitan 13 Juli 1913. Di dalamnya, Ki Hajar Dewantara menuliskan
tentang bagaimana pemerintah Belanda mencari dana dari rakyat Indonesia untuk
merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari tangan Prancis.
Pada tahun yang sama, pemerintah Belanda menyatakan Indische Partij sebagai
organisasi terlarang. Kemudian, organisasi ini berganti nama menjadi Insulinde,
tetapi tidak berumur panjang. Pada tahun 1919, organisasi ini berubah nama lagi
menjadi National Indische Partij (NIP).
Pada 1914, Dr. Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena sakit,
sedangkan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker baru dikembalikan pada tahun
1919. Douwes Dekker tetap bertahan di dunia politik, sedangkan Ki Hajar
Dewantara terjun ke dunia pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa.
2. Gerakan Pemuda
Organisasi politik yang kedua adalah gerakan pemuda. Sejak berdirinya Budi
Utomo, unsur pemuda Indonesia mulai terlibat. Namun, unsur pemuda ini tidak
lama bertahan dalam Budi Utomo karena didominasi oleh golongan tua atau priayi.
Setelah itu, gerakan pemuda mulai tumbuh dan berkembang secara mandiri di
berbagai daerah di Indonesia. Bermula dari gerakan solidaritas yang bersifat
informal, gerakan-gerakan pemuda ini kemudian menjelma menjadi gerakan politik
yang bercita-cita mewujudkan Indonesia yang merdeka dan maju.
Gerakan pemuda yang muncul pertama kali adalah Trikoro Dharmo yang
merupakan cikal bakal dari Jong Java. Organisasi ini didirikan oleh R. Satiman
Wiryosanjoyo, dan kawan-kawan di gedung STOVIA, Batavia pada tahun 1915.
Trikoro Dharmo memiliki misi dan visi yang dikembangkan sebagai tujuan dari
Trikoro Dharmo, yaitu mempererat tali persaudaraan antarsiswa siswi bumiputra
pada sekolah menengah dan kejuruan, menambah pengetahuan umum bagi para
anggotanya, serta membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa
dan budaya. Meski demikian, tujuan sesungguhnya dari organisasi ini adalah
mencapai Jawa Raya dengan memperkukuh rasa persatuan antarpemuda Jawa,
Sunda, Madura, Bali, dan Lombok.
Dalam kongres pertamanya di Solo pada 12 Juni 1918, organisasi ini kemudian
berubah nama menjadi Jong Java dan berubah haluan menjadi organisasi politik.
Dalam kongres selanjutnya di Solo pada tahun 1926, Jong Java mengutarakan
hendak menghidupkan rasa persatuan bangsa Indonesia serta kerja sama
antarpemuda di seluruh Indonesia. Dengan demikian, organisasi ini menghapus
sifat Jawa sentris sehingga lahirlah Perkumpulan Pasundan, Persatuan Minahasa,
Molukas, Sarekat Celebes, Sarekat Sumatera, dan lain lain. Selain itu, juga ada
organisasi kepemudaan lain yang berasal dari Sumatra dengan nama Jong
Sumatranen Bond yang didirikan pada tahun 1917. Dari organisasi ini muncul
nama-nama besar seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, dan Bahder
Johan.
Pada kongresnya yang ketiga, organisasi ini melontarkan pemikiran Mohammad
Yamin, yakni semua penduduk Nusantara menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar dan bahasa persatuan. Selanjutnya, pada tahun 1918, berdirilah
persatuan pemuda Ambon yang diberi nama Jong Ambon. Kemudian, antara tahun
1918-1919 berdiri pula Jong Minahasa dan Jong Celebes. Salah satu tokoh yang
terkenal dari Jong Minahasa adalah Sam Ratulangi.
Pada tahun 1926, berbagai organisasi kepemudaan berkumpul dan mengadakan
Kongres Pemuda I di Yogyakarta yang menunjukkan adanya persatuan antar
pemuda
Indonesia. Selanjutnya, dalam Kongres Pemuda II di Batavia pada 26-28 Oktober
1928, sebanyak 750 orang wakil dari organisasi-organisasi kepemudaan seluruh
Indonesia berhasil menunjukkan persatuan tekad dalam Sumpah Pemuda.
Dalam kongres ini, lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman pertama kali
dikumandangkan beriringan dengan dikibarkannya bendera Merah Putih sebagai
simbol identitas bangsa. Dalam butir sumpah pemuda yang pertama, “Bertumpah
darah satu, tanah air Indonesia”, menyiratkan makna bahwa banyaknya pulau di
Indonesia bukan menjadi penghalang untuk bersatu. Butir pertama ini juga menjadi
tolok ukur kesetiaan rakyat terhadap negaranya.
Butir kedua, yaitu “Berbangsa satu, bangsa Indonesia”, dibutuhkan untuk
menguatkan butir pertama. Beragamnya suku bangsa di Indonesia dapat dilihat
dalam sejarah berdirinya organisasi pergerakan nasional yang awalnya masih
bersifat kesukuan. Contohnya Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong
Minahasa, dan Jong Java. Meskipun banyaknya perbedaan dapat menimbulkan
konflik, tetapi dengan sikap saling menghormati dan toleransi yang tinggi,
perbedaan yang ada dapat menyatukan bangsa menuju kemerdekaan. Butir ketiga
dalam Sumpah Pemuda berbunyi,
“Berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
Tolok ukur eksistensi suatu bangsa dapat dilihat dari cara dan sikap rakyat dalam
berbahasa. Menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan
tanggung jawab bagi setiap warga negara. Latar belakang pemilihan bahasa Melayu
berdasarkan bukti sejarah menunjukkan sebagai bahasa penghubung dalam
berbagai kegiatan, khususnya perdagangan di wilayah Nusantara. Sumpah Pemuda
telah membuktikan bahwa keberagaman masyarakat bukanlah hambatan untuk
mencapai persatuan dan kesatuan. Sebaliknya, keberagaman harus disikapi sebagai
hal yang mendorong kemajuan bangsa. Semangat Sumpah Pemuda yang
mengilhami berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan hingga
saat ini.
3. Gerakan Perempuan
Kemunculan organisasi-organisasi wanita merupakan realisasi dari cita-cita Kartini
untuk memperjuangkan kedudukan sosial wanita. Pada awal kemunculannya,
pergerakan wanita belum begitu mempersoalkan masalah-masalah yang
menyangkut politik, fokus mereka adalah pada perbaikan dalam hidup berkeluarga
dan meningkatkan kecakapan sebagai seorang ibu.
Pada tahun 1912, atas segala usaha Budi Utomo, berdirilah organisasi Putri
Merdika di Jakarta. Organisasi ini bertujuan memajukan pengajaran anak-anak
perempuan. Kemunculan Putri Merdika kemudian disusul oleh munculnya
organisasi pendidikan Kautaman Istri yang dirintis oleh Dewi Sartika sejak tahun
1904, sebelum akhirnya berubah menjadi Vereninging Kaoetaman Istri.
Mulai tahun 1910, sekolah ini diurus oleh sebuah panitia yang terdiri dari Njonja
Directour Opleidingschool, Raden Ajoe Regent, Raden Ajoe Patih, dan Raden Ajoe
Hoofd-Djaksa. Selanjutnya, Kautaman Istri berdiri di beberapa wilayah lain, yakni
Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan Cicurug
(1918). Organisasi-organisasi wanita juga muncul di daerah Jawa Tengah seperti
Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito
Hadi di Jepara (1915).
Organisasi-organisasi tersebut memfokuskan pada pelatihan untuk memajukan
kecapakan wanita, khususnya kecakapan rumah tangga. Selain itu juga bertujuan
untuk mempererat persaudaraan antara kaum ibu. Tidak hanya di Jawa,
organisasiorganisasi wanita juga bermunculan di luar Jawa. Di antaranya adalah
“Kaoetaman Istri Minangkabau” di Padang Panjang dan sekolah “Kerajinan Amai
Setia” di Kota Gedang, Sumatra Barat tahun 1914. Banyak keterampilan
kerumahtanggaan diajarkan di sekolah-sekolah ini.
Salah satu tokoh wanita yang berpengaruh di luar Jawa adalah Maria Walanda
Maramis. Pada tahun 1918, melalui perkumpulan Percintaan Ibu Kepada Anak
Temurunnya (P.J.K.A.T) yang dibentuknya, pada tahun 1917 ia mendirikan
sekolah rumah tangga Indonesia pertama di Manado dengan 20 murid tamatan
sekolah dasar.
Setelah tahun 1920, organisasi wanita semakin luas orientasinya, terutama dalam
menjangkau masyarakat bawah dan tujuan politik dilakukan bersama organisasi
politik induk. Dengan semakin bertambahnya organisasi wanita, setiap organisasi
politik mempunyai bagian kewanitaan, misalnya Wanudyo Utomo yang menjadi
bagian dari Sarekat Islam, kemudian berganti nama menjadi Sarekat Perempuan
Islam Indonesia. Namun, tidak semua organisasi wanita yang muncul selalu identik
dengan politik.
Salah satu contohnya adalah kemunculan ‘Aisyiyah di Muhammadiyah yang
memfokuskan tujuannya pada kegiatan sosial keagamaan.
beberapa organisasi di atas, ada jenis organisasi wanita lain yang merupakan
organisasi terpelajar seperti Putri Indonesia, JIB dames Afdeling, Jong Java bagian
wanita, organisasi Wanita Taman Siswa, dan lain-lain. Dari beberapa jenis
organisasi wanita tersebut, paham kebangsaan dan persatuan Indonesia juga
diterima di kalangan organisasi ini. Oleh karena itu, untuk membulatkan tekad dan
mendukung persatuan Indonesia, diadakan kongres perempuan Indonesia di
Yogyakarta pada 22-25 November 1928. Kongres tersebut bertujuan untuk
mempersatukan cita-cita dan memajukan wanita Indonesia serta membuat
gabungan organisasi wanita. Beberapa organisasi yang hadir dalam kongres
tersebut ialah Wanita Utomo, Putri Indonesia,
Wanita Katolik, Wanito Mulyo, ‘Aisyiyah, SI bagian wanita, dan lain-lain.
Kongres ini menghasilkan keputusan untuk membentuk gabungan organisasi
wanita dengan nama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Setahun kemudian,
pada 28-31 Desember 1929, PPI mengadakan kongres di Jakarta. Pokok
pembahasan di dalam kongres masih mengenai kedudukan wanita dan
antipoligami. Selain itu, kongres juga memutuskan untuk mengubah nama
organisasi menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang bertujuan
untuk memperbaiki nasib dan derajat wanita Indonesia. Dengan dana yang
dikumpulkannya, diharapkan mampu memperbaiki nasib wanita pada masa itu.
Organisasi ini tidak mencampuri politik dan agama. Pada tahun 1930, atas anjuran
PNI, didirikan organisasi wanita kebangsaan bernama Istri Sedar (IS) di Bandung.
Organisasi ini memusatkan tenaganya di bidang ekonomi dan kemajuan wanita. IS
bersikap netral terhadap agama dan menjangkau semua lapisan wanita, baik
golongan atas atau bawah. IS juga tidak secara langsung terjun ke dalam politik,
tetapi pemerintah selalu mengamati aktivitas organisasi itu, terutama setelah
mengadakan kongres pada 4-7 Juni 1931. Dalam propagandanya, IS sering
menyuarakan antikolonial. Selain itu, ada sebuah organisasi wanita yang sangat
mengecam pemerintah kolonial, yaitu perkumpulan “Mardi Wanita” yang didirikan
tahun 1933 oleh anggota-anggota wanita partai politik Partai Indonesia (Partindo)
setelah partai ini dikenakan vergadeverbod (larangan mengadakan rapat) oleh
pemerintah kolonial.
ini mempunyai banyak cabang terutama di Jawa Tengah dan namanya diganti
menjadi “Persatuan Marhaen Indonesia” yang berpusat di Yogyakarta. Akan tetapi,
setahun kemudian, organisasi ini dikenai larangan dan ketuanya, S.K. Trimurti
dimasukkan ke penjara karena masalah pamflet. PPII dan IS dapat dikatakan
sebagai organisasi wanita yang berpengaruh saat itu. Namun, keduanya justru larut
ke dalam konflik antarorganisasi. Sejak awal pendiriannya, IS terus berselisih
dengan PPII. IS mencemooh karena PPII hanya bergerak untuk memajukan
sejahteraan wanita seperti di negara merdeka. Menurutnya, perjuangan wanita
sudah sewajarnya masuk ke lapangan politik. Di satu sisi, PPII sebagai federasi
organisasi wanita tidak dapat bekerja sama dengan IS yang lebih banyak
menyerang federasi itu. Akan tetapi, keduanya juga saling bekerja sama dalam
rangka pengiriman delegasi kongres Wanita Asia di Lahore.
Pada 20-24 Juli 1935, Kongres Perempuan Indonesia (KPI) kedua diadakan di
Jakarta. Beberapa keputusan KPI adalah mendirikan Badan Penyelidikan
Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan
perempuan Indonesia. Selain itu, juga didirikan pula Badan Kongres Perempuan
Indonesia sekaligus mengakhiri kiprah PPII. Selanjutnya, KPI ketiga diadakan di
Bandung pada 25-28 105 Juli 1938. Kongres tersebut menetapkan tanggal 22
Desember sebagai hari ibu. Peringatan hari ibu setiap tahun diharapkan dapat
mendorong kesadaran wanita Indonesia akan kewajibannya sebagai ibu bangsa.
Dengan mulai banyaknya kaum wanita yang bekerja di lapangan, maka dirasakan
perlunya membentuk sebuah organisasi.
Oleh karena itu, pada tahun 1940 di Jakarta dibentuk perkumpulan Pekerja
Perempuan Indonesia (PPI) yang terdiri dari mereka yang bekerja di kantor-kantor
pemerintah atau swasta, guru, perawat, dan buruh. Mereka menyatukan diri
meskipun bekerja di bidang yang berbeda-beda karena mereka merasa senasib,
yakni diskriminasi kaum wanita terlihat jelas dalam kesempatan untuk memperoleh
pekerjaan, gaji, dan kesempatan untuk maju. Kendati demikian, perkumpulan itu
tidak melakukan kegiatan sebagai serikat pekerja, melainkan menekankan pada
pendidikan keterampilan untuk mata pencaharian dan pembentukan kesadaran
nasional. Satu hal yang juga mencerminkan kemajuan wanita adalah terbentuknya
perkumpulan dalam kalangan mahasiswi dengan nama Indonesische Vrouwelijke
Studentedvereniging (perkumpulan mahasiswi Indonesia) di Jakarta pada tahun
1940. Kegiatan organisasiorganisasi wanita dalam tahun sebelum pecah Perang
Pasifik yang pantas dicatat adalah rapat protes yang diselenggarakan atas prakarsa
delapan perkumpulan.
Protes ini muncul karena tidak adanya anggota wanita dalam Volksraad
(semacam DPR sekarang). Rapat ini diadakan di Gedung Permufakatan Indonesia,
Gang Kenari, Jakarta, yang dihadiri 500 dari 45 perkumpulan. Organisasi-
organisasi itu juga mendukung aksi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar
Indonesia mempunyai parlemen sebagai wakil rakyat. Dapat dikatakan bahwa
dalam periode ini kaum wanita telah menaruh perhatian pada perjuangan politik,
baik dengan sikap kooperatif maupun nonkooperatif dengan pemerintah kolonial.

L. Metode Radikal

Periode radikal merupakan suatu periode yang memunculkan


organisasiorganisasi politik yang kemudian dinamakan “partai”. Organisasi-organisasi
ini pada umumnya bersifat radikal dan nonkooperatif. Mereka tidak mau bekerja sama
dengan pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan cita cita organisasinya.
Organisasi-organisasi tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Perhimpunan Indonesia
Pada awal abad ke-20, para pelajar Hindia yang berada di Belanda mendirikan
organisasi yang bernama Indische Vereniging (1908) yaitu kumpulan Hindia yang
beranggotakan orang-orang Hindia, Cina, dan Belanda. Organisasi itu didirikan
oleh R.M. Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein Djajadiningrat.
Semula, organisasi itu bergerak di bidang sosial dan kebudayaan sebagai ajang
bertukar pikiran tentang situasi tanah air. Organisasi itu juga menerbitkan majalah
yang diberi nama Hindia Putera. Banyaknya pemuda pelajar di Tanah Hindia yang
dibuang ke Belanda semakin menggiatkan aktivitas perkumpulan itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, perkumpulan itu mengutamakan
masalahmasalah politik. Jiwa kebangsaan yang semakin kuat di antara mahasiswa
Hindia di Belanda mendorong mereka untuk mengganti nama Indische
Vereninging menjadi Indonesische Vereeniging (1922). Selanjutnya, pada tahun
1925, perkumpulan itu berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) dengan
pimpinan Iwa Kusuma Sumatri, J.B. Sitanala, Moh. Hatta, Sastramulyono, dan D.
Mangunkusumo. Nama majalah terbitan mereka juga berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka. Itu semua merupakan usaha baru dalam memberikan identitas
nasionalis yang muncul di luar tanah air.
Mereka juga membuat simbol-simbol baru, merah putih sebagai lambang mereka,
dan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh perjuangan. Perhimpunan Indonesia
semakin mendapat simpati dari para mahasiswa Indonesia di Tanah Belanda.
Jumlah keanggotaannya semakin bertambah banyak. Tahun 1926, jumlah anggota
mencapai 38 orang. Di Tanah Belanda itulah para mahasiswa itu menyerukan
kepada semua pemuda di Indonesia Hindia untuk bersatu padu dalam setiap
gerakan-gerakan mereka. PI bersemboyan “self reliance, not mendiancy”, yang
berarti tidak meminta-minta dan menuntut-nuntut.
Dalam anggaran dasarnya juga disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya
diperoleh melalui aksi bersama, yaitu kekuatan serentak oleh seluruh rakyat
Indonesia berdasarkan kekuatan sendiri. Kepentingan penjajah dan yang terjajah
berlawanan dan tidak mungkin diadakan kerja sama (nonkooperasi). Bangsa
Indonesia harus mampu berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung pada bangsa
lain. PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh.
Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang
para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah
airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan Indonesia, tetapi
juga dilakukan secara internasional.
Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap
pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan segera.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Perhimpunan Indonesia merupakan manifesto
politik pergerakan Indonesia karena Perhimpunan itu lahir di negeri asing yang saat
itu menjadi penjajah Tanah Hindia. Dari tempat penjajah itulah perkumpulan
pemuda terpelajar itu berhasil mengobarkan semangat dan panji-panji kemerdekaan
Indonesia. Jelaslah bahwa para pemuda Indonesia tidak takut untuk membela dan
berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya dengan segala risikonya.

2. Partai Komunis Indonesia (PKI)


Istilah komunis, berasal dari bahasa Latin “comunis” yang artinya “milik bersama”.
Istilah ini berakar dari pemikiran Karl Marx dan Lenin. Dalam perkembangannya,
komunis terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran sosial demokrat yang disebut juga
sosialisme serta aliran komunisme ajaran Marx dan Lenin.
Aliran yang pertama bertujuan membentuk pemerintahan demokratis parlementer
dengan pemilihan. Sedangkan yang kedua “Komunisme Marx” yang menjadi dasar
perjuangan Marx, Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung adalah komunisme “Diktator
Proletar” yang menolak sistem demokrasi parlementer.
Pada tahun 1913, H.J.F.M. Hendriek Sneevliet, bekas anggota Partai Buruh Sosial
Demokrat Negeri Belanda, tiba di Jawa sebagai sekretaris serikat dagang
perusahaan
Belanda. Tahun berikutnya ia mendirikan perkumpulan Indische Sociaal
Democratische Vereeniging (ISDV) bersama dengan Bergsma, Brandstander, dan
H.W. Dekker. Tujuannya adalah menyebarkan Marxisme. Semula, anggotanya
hanya orang-orang Belanda saja, seperti Cramer, Van Gelderen, dan Strokis.
Demi kemajuan perkumpulan, Sneevliet mendekati Sarekat Islam Cabang
Semarang yang dipimpin Samaun dan Darsono. Pendekatan itu berhasil dengan
baik. Samaun dan Darsono dipengaruhi dan masuk sebagai anggota ISDV. PKI
sendiri berdiri pada tahun 1920 dengan Semaun sebagai ketuanya.
Dalam perjuangannya, PKI menggunakan strategi garis komunis internasional,
yaitu dengan melakukan penyusupan ke dalam tubuh partai-partai lain. Tujuannya
agar organisasi lain terpecah belah dan anggotanya beralih menjadi anggota PKI
sehingga kelak mereka dapat membentuk negara komunis. Salah satu organisasi
yang disusupi PKI adalah Sarekat Islam. Hal itu mungkin karena Sarekat Islam
memperkenankan adanya keanggotaan rangkap, sehingga timbul SI putih dan SI
merah (telah disusupi ISDV atau PKI).
PKI yang sebagian besar anggotanya adalah kaum buruh sejak semula sudah sadar
bahwa pemerintah Belanda selalu menindas rakyat, termasuk kaum buruh. Untuk
itu, setiap ada kesempatan, PKI selalu melakukan pemogokan dan kekacauan,
dengan puncak berupa pemberontakan.
Pemberontakan PKI meletus pada tahun 1926 di Jakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat, kemudian meluas ke Sumatra pada tahun 1927. Akan
tetapi, pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh pemerintah Hindia Belanda
sehingga banyak anggota PKI yang ditawan dan sebagian dibuang ke Tanah Merah
dan Digul, Irian Barat. Di antara mereka terdapat Aliarkham dan Sarjono,
sementara Alimin dan Muso berhasil melarikan diri ke luar negeri.

3. Partai Nasional Indonesia (PNI)


Partai Nasional Indonesia merupakan perkembangan dari kelompok belajar
(Algemeene Studie Club). Rapat yang dihadiri Sukarno, Cipto Mangunkusumo,
Suyudi, dan beberapa mantan anggota Perhimpunan Indonesia, di antaranya Iskaq
Cokroadisuryo, Budiarto, dan Sunario, berhasil membentuk organisasi pergerakan
baru yang dinamakan Partai Nasional Indonesia (PNI).
PNI ini sangat terpengaruh oleh Perhimpunan Indonesia. Tujuan didirikannya PNI
adalah kemerdekaan Indonesia. Ideologi partai ini dikenal dengan istilah
Marhaenisme, yaitu suatu ideologi kerakyatan yang mencita-citakan terbentuknya
masyarakat sejahtera yang merata. Adapun perjuangan PNI didasarkan pada trilogi
perjuangan, yaitu kesadaran nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional.
Dengan trilogi perjuangannya ini, PNI berhasil menghimpun partai-partai lain ke
dalam suatu organisasi bersama, yaitu Permufakatan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI). PNI bersama partai lain dalam PPPKI melakukan
propaganda untuk menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat
Indonesia.
Tindakan PNI itu tentu saja menggusarkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu,
pemerintah Belanda melakukan tindakan keras dengan menggeledah markas PNI
dan menangkap para tokohnya. Dalam peristiwa penangkapan yang terjadi pada 28
Desember 1929 itu, pemerintah Belanda berhasil menangkap Sukarno, Maskun,
Gatot Mangkupraja, dan Supriadinata.
Mereka kemudian diajukan ke pengadilan kolonial. Dalam sidang di pengadilan
kolonial Bandung, Sukarno dan kawan kawannya didampingi pembela, yaitu Sastro
Mulyono, Sartono, dan Suyudi, yang juga merupakan anggota PNI. Dalam sidang
itu, Sukarno menyampaikan pembelaannya yang diberi judul Indonesia
Menggugat. Di sana, Soekarno mengungkapkan bahwa pergerakan di kalangan
rakyat bukanlah hasil dari hasutan, melainkan reaksi yang wajar dari kaum
tertindas yang ingin merdeka. Namun, meskipun pengadilan tidak dapat
membuktikan kebenaran tuduhannya, Sukarno dan kawan-kawan tetap dijatuhi
hukuman penjara.

4. Partai Indonesia (Partindo)


Partai Indonesia (Partindo) didirikan di Jakarta pada 30 April 1931. Pendirian
partai ini merupakan hasil keputusan Sartono sewaktu ia menjabat ketua PNI-Iama
menggantikan Sukarno yang ditangkap pemerintah Belanda pada tahun 1929.
Sartono kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partindo yang memiliki
tujuan pokok sama dengan PNI-lama, yaitu mencapai Indonesia merdeka dengan
menjalankan politik nonkooperatif terhadap pemerintahan Belanda.
Tindakan Sartono ini mendapat reaksi keras dari anggota PNI-lama, di antaranya
Moh. Hatta dan Sutan Syahrir, serta golongan yang tidak menyetujui dengan
pembubaran ini. Mereka membentuk Golongan Merdeka dan menjadi organisasi
baru bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru). Partindo dan PNI-baru
pun bersaing dalam memperoleh simpati rakyat.
Setelah Sukarno dibebaskan dari Penjara Sukamiskin pada tahun 1932, ia bertekad
menyatukan kembali PNI-baru dengan Partindo. Akan tetapi, usahanya mengalami
kegagalan sehingga ia akhirnya memutuskan untuk memilih Partindo karena
organisasi tersebut lebih sesuai dengan pribadinya dan menawarkan kebebasan
untuk mengembangkan kemampuan agitasinya. Ia mengumumkan keputusannya
tersebut pada 1 Agustus 1932.
Jumlah anggota Partindo tahun 1932 meningkat cukup pesat karena daya tarik
Sukarno. Akan tetapi, kewibawaannya telah menurun dibandingkan saat ia
memimpin PNI-lama. Pendapat pendapatnya sering kali ditentang oleh pengurus
Partindo lainnya dan peranannya lebih terbatas di Partindo Cabang Bandung.
Meskipun demikian, usul Sukarno untuk mengganti nama Partindo menjadi PNI
(Partai Nasional Indonesia) mendapat dukungan dari banyak anggota. Meskipun
mendapat banyak dukungan, usul tersebut menemui kegagalan, tetapi konsepnya
tentang Marhaenisme dan sosio-ekonomi diterima partai.
Sejak Sukarno memilih Partindo, maka PNI-baru berjuang sekuat tenaga untuk
menarik simpati rakyat. Antara kedua organisasi ini kadang terjadi saling
ejekmengejek. Pemimpin Partindo seperti Sartono dan Sujudi dinilai sebagai kaum
borjuis nasionalis yang menentang kapitalisme Barat tetapi mendukung kapitalisme
Indonesia. Gerakan Swadesi Partindo juga mendapat kritikan.
Menurut Hatta dan Syahrir, kaum nasionalis harus bersatu untuk mencapai
kemerdekaan. Aktivitas Partindo juga dihambat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun mendapat pembatasan-pembatasan dan pelarangan, tokoh-tokoh Partindo
tidak pernah menggubrisnya. Lewat majalah Pikiran Rakjat dan Soeloeh Indonesia
Moeda, mereka melancarkan kritik pedas tentang situasi ekonomi, sosial, dan
mengejek tindakan imperialisme Belanda.
Melihat hal itu, Gubernur de Jonge menjalankan kewenangan gubernur jenderal,
yaitu exorbitante rechten, membuang aktivis pergerakan yang dianggap
membahayakan ketenteraman negara. Sukarno kemudian dibuang ke Ende (Flores).
Penangkapan Sukarno dan larangan mengadakan rapat oleh pemerintah
memberikan pengaruh kepada partai ini. Pada tahun 1936, pengurus Partindo
mengumumkan pembubaran dirinya.
Pembubaran ini atas ide Sartono yang menggantikan kedudukan Sukarno sebagai
ketua. Golongan yang tidak setuju kemudian mendirikan Komite Pertahanan
Partindo di Semarang dan Yogyakarta untuk menghambat pembubaran itu, tetapi
tidak berhasil. Akhirnya, tahun 1937, partai tersebut benar-benar bubar dan
sebagian besar anggotanya masuk dalam Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Gerindo sedikit berbeda dengan Partindo, yaitu menjunjung asas kooperatif
terhadap Belanda.

M. Respon Kolonial Belanda terhadap Perjuangan Moderat dan Radikal

Perjuangan pergerakan melalui strategi moderat adalah bentuk perjuangan


untuk memperbaiki kondisi sosial dan budaya. Sifat gerakan ini sangat kooperatif
dengan Kolonial Belanda sehingga Belanda tidak merasa terancam. Karena bersifat
non politis maka Kolonial Belanda membiarkan organisasi ini berkembang.
Perkembangan organisasi akibat pembiaran dari pihak kolonial inilah yang kemudian
menumbuh kembangkan rasa cinta tanah air dan kesadaran nasional untuk Indonesia
merdeka. Sebaliknya strategi perjuangan dengan cara radikal mendapat tentangan
keras dari Kolonial Belanda karena perjuangan ini mengancam kolonisasi pihak
Belanda. Para pejuang pergerakan itu tidak mau bekerja sama dengan Kolonial
Belanda bahkan ada yang melakukan pemberontakan terhadap Belanda seperti yang
dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1926. Akibatnya para tokohnya
dikejar-kejar kolonial dan organisasi dibubarkan kolonial.

N. Keunggulan antara strategi kolaboratif (kerja sama) dan radikal (bawah tanah)

Strategi perjuangan pergerakan dengan cara kolaboratif tentunya mempunyai


keuntungan:1). Perjuangan dapat berkembang dengan pesat karena memperjuangkan
pendidikan, agama, budaya, dan kesejahteraan rakyat. 2). Dapat bekerja sama dengan
kolonial untuk tujuan Indonesia merdeka. 3). Hasil perjuangan dapat terlihat secara
nyata misalnya a). KH. Ahmad Dahlan bergerak dalam bidang keagamaan yang
mendirikan Muhammadiya. b). Ki Hajar Dewantara begerak dalam bidang pendidikan
yang mendirikan Taman Siswa. c). Budi Utomo yang membangun organisasi
kepemudaan berdasarkan cita-cita nasionalisme tampa membedakan suku, agama,
daerah dan asalusul. d). Serekat Islam yang bertujuan untuk kemajuan perdagangan
dari anggotanya sehingga meningkatkan kesejateraan para pedagang dan
konsumennya.
BAB III
PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA

A. Restorasi Meiji: Awal Modernisasi Jepang Sebelum menjadi negara modern


Jepang merupakan negara feodalis. Mengapa feodalis? Sebab, kekuasaan politik
dan ekonomi dipegang oleh kaisar, shogun (semacam panglima militer), dan daimyo
(semacam tuan tanah/raja lokal). Kekuasaan itu terbentuk secara hierarki dengan puncak
kekuasaan di tangan kaisar, sedangkan kekuasaan pemerintahan dipegang oleh seorang
shogun.
Tahun 1639, Shogun Tokugawa menjalankan kebijakan Sakoku (negara tertutup).
Melalui kebijakan ini, orang asing dilarang masuk ke Jepang dan sebaliknya orang
Jepang dilarang berhubungan dengan orang selain Jepang. Namun, pada kenyataannya,
Belanda, Cina, serta Korea tetap berhubungan dengan Jepang.
Mengapa Jepang menerapkan kebijakan Sakoku (tertutup) dengan bangsa lain?
Ada dua alasan. Alasan pertama, pemerintahan Shogun Tokugawa terancam dengan
kehadiran misionaris dari Spanyol dan Portugis yang menyebarkan agama Katolik.
Mereka dituduh ikut campur urusan dalam negeri. Contohnya, ketika perang antar-
shogun mereka memperkenalkan senjata api dan meriam terhadap salah satu shogun,
sedangkan senjata orang Jepang berupa pedang (katana). Penyebaran agama yang
dilakukan oleh Spanyol dan Portugis juga dituding mengancam kebudayaan asli Jepang.
Alasan kedua ialah mempertahankan supremasi Tokugawa atas pesaingnya,
Daimyo Tozama. Daimyo Tozama adalah daimyo di bawah Shogun Tokugawa, tetapi
secara ekonomi lebih sejahtera karena menjalin hubungan dengan bangsa asing. Apabila
Daimyo Tozama tetap bekerja sama dengan bangsa asing, maka dikawatirkan mereka
menjadi kuat sehingga mengancam kekuasaan Tokugawa.
Pada abad ke-19 (1854), kebijakan Sakoku mulai surut. Tahun 1854, kapal perang
Amerika Serikat (kapal hitam) yang dipimpin oleh Komodor Matthew C. Perry
menyerang
Jepang sehingga memaksa pemerintahan Shogun Tokugawa menandatangani Konvensi
Kanagawa pada tahun 1854. Konvensi itu pada intinya menyebutkan bahwa Jepang harus
membuka diri dengan bangsa asing sehingga mengakhiri kebijakan tertutup Jepang yang
telah berlangsung 200 tahun.
Meskipun demikian, hasil Konvensi Kanagawa dianggap menjatuhkan harga diri
dan martabat mereka sehingga tersebar sentimen anti-Barat, bahkan terjadi peperangan
yang kemudian dimenangkan oleh Barat. Karena adanya konflik dan rasa tidak puas
tersebut, Barat menganggap Tokugawa adalah pihak yang paling bertanggung jawab.
Untuk itu, ke-shogun-an Tokugawa dihapus dan kekuasaan Jepang sepenuhnya di tangan
kaisar, yaitu Kaisar Komei.
Kemajuan Barat dan terbukanya pelabuhan-pelabuhan di Jepang yang semakin
ramai menyadarkan Jepang betapa terbelakangnya mereka dibanding dengan negara-
negara Barat sehingga Jepang bertekad untuk mengejar ketertinggalan. Pada masa
pemerintahan Kaisar Meiji (anak dari Kaisar Komei), kesadaran mengejar ketertinggalan
mulai terwujud melalui berbagai langkah perubahan besar yang dikenal dengan Restorasi
Meiji (1868-1912). Kata “Meiji” berarti “kekuasaan pencerahan”. Pencerahan yang
dimaksud adalah kombinasi kemajuan Barat dengan nilai-nilai tradisional Jepang.
Dengan misi inilah Jepang mengutus pejabat untuk belajar ke Amerika dan Eropa, yang
disebut misi Iwakura.
Sebagai hasil misi Iwakura, Jepang memutuskan untuk mengadopsi sistem
politik, hukum, dan militer dari dunia Barat. Restorasi Meiji kemudian mengubah
Kekaisaran Jepang menjadi negara industri modern sekaligus menjadi kekuatan militer
dunia. Berikut ini adalah beberapa bidang garapan Tenno Meiji yang tercakup dalam
gerakan pembaruan itu. a. Bidang Perindustrian
Dengan mengadopsi teknologi dari Barat, Jepang membangun industri-industri seperti
pabrik senjata, galangan kapal, peleburan besi, dan lain sebagainya. Hasil produksi ini
dijual ke pasar internasional dengan harga relatif murah dibandingkan harga
penjualan produk yang sama di dalam negeri. Kebijakan ini disebut dumping. Hal ini
membuat industri dalam negeri Jepang berkembang pesat.
b. Bidang Perdagangan
Jepang membangun bank-bank yang memungkinkan orang untuk meminjam uang
agar berinvestasi. Jepang membangun pelabuhan-pelabuhan dan kapal-kapal dagang
sehingga perdagangan mengalami kemajuan pesat.
c. Bidang Militer
Jepang gencar membangun angkatan perangnya. Tahun 1873, Jepang menerapkan
kebijakan wajib militer. Jepang juga memesan sebuah kapal perang modern dari
Belanda dan untuk mempelajari ilmu kelautan, Jepang mengirim 16 mahasiswa untuk
belajar di Belanda. Jepang meniru sistem dan strategi dari Jerman dan Inggris. Dalam
waktu singkat, Jepang telah memiliki tentara yang kuat, modern, dan tangguh.
d. Bidang Pendidikan
Jepang menerapkan wajib belajar bagi generasi mudanya. Mereka dididik untuk merasa
memiliki rasa cinta kepada tanah airnya, semangat pantang menyerah dan berani mati
(bushido), serta hormat dan tunduk kepada Kaisar. Pemerintah Jepang juga mengirim
mahasiswa untuk menimba ilmu-ilmu Barat.
e. Bidang Sosial
Menghapus sistem kasta di Jepang. Saat itu, Jepang mempunyai empat kasta. Kasta
pertama adalah kelas kaum terpelajar, kasta kedua adalah petani, kasta ketiga adalah
seniman, dan kasta keempat adalah pedagang. Selain itu, pemerintah juga melarang
adat istiadat yang bersifat feodalis seperti laki-laki memperlihatkan dan memakai
kimono, laki-laki memanjangkan dan mengucir rambut serta ke mana-mana membawa
pedang panjang dan pedang pendek yang menjadi ciri khas kelas samurai.
f. Bidang Hukum
Sistem hukum dan konstitusi mengikuti model Jerman. Sebagai akibat dari
industrialisasi itu, Jepang kemudian menjadi satu-satunya kekuatan besar negara non-
Barat di dunia sekaligus kekuatan utama di Asia Timur dan Asia Tengara dalam
waktu 40 tahun.

B. Kemajuan Industri Perluasan Pasar Industri, Dan Keterlibatan Jepang Pada PD


II

Jepang sebagai negera industri sebagaimana negara-negara Barat mempunyai tiga


tantangan, yakni 1) pasokan bahan mentah yang stabil, 2) jalur pelayaran yang aman,
dan 3) pasar bagi hasilhasil industrinya. Pada saat yang bersamaan, kepercayaan diri
militer Jepang yang didukung kemajuan ekonomi membangkitkan rasa bangga terhadap
negaranya.
Nasionalisme ini berkembang menjadi nasionalisme radikal dalam bentuk
keinginan sebagian warga agar Jepang menjadi negara imperialis. Faktor ekonomi
(gold) dan faktor kejayaan (glory) inilah yang mendorong Jepang menduduki
(menjajah) berbagai negara di Asia termasuk Indonesia menjelang akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20.
Pada tahun 1894, Jepang membangun imperium yang sangat luas, meliputi
Taiwan, Korea, Manchuria, serta Cina bagian Utara. Pada tahun 1894 dan 1895, Jepang
terlibat perang dengan Cina (Perang Sino). Perang ini diawali oleh pemberontakan
petani terhadap pemerintahan Korea. Merasa terdesak, pemerintah Korea meminta
bantuan kepada Dinasti Qing dari Cina.
Karena sejak lama Jepang ingin menguasai Korea, maka Jepang memanfaatkan
situasi itu untuk menginvansi Korea. Karena Korea sekutunya Cina, maka Cina protes
sehingga antara Jepang dengan Cina terlibat perang. Perang akhirnya dimenangkan
Jepang dan kemudian membentuk pemerintahan boneka di Seoul. Kekalahan Cina
terhadap Jepang ditandai dengan Perjanjian Shimonoseki yang isinya menyebutkan
bahwa Semenanjung Liaodong dan Taiwan diserahkan kepada Jepang.
Rusia, Jerman, dan Prancis yang semula menduduki Semenanjung Liaodong
akhirnya mundur. Namun, karena Perjanjian Shimonoseki dianggap tidak sah, maka
Rusia kembali menduduki Semenanjung Liaodong yang strategis itu. Untuk
pertahanannya, Rusia kemudian mendirikan Benteng Port Arthur di situ dan
menjadikan pangkalan angkatan lautnya di Pasifik.
Tindakan Rusia ini membuat Jepang marah sehingga memicu perang Jepang
dengan Rusia yang bernama “Perang Rusia-Jepang” pada tahun 1894 dan 1895. Dalam
perang itu, tidak terduga Rusia kalah sehingga harus menandatangani Perjanjian
Portsmouth yang diselenggarakan di Amerika Serikat dengan difasilitasi Presiden
Roosevelt. Jenderal yang berjasa dalam kemenangan Jepang atas Rusia adalah
Laksamana Togo Heihachiro. Isi Perjanjian Portsmouth yakni Jepang mendapatkan
Pulau Shakalin dan daerah ManchuriaTindakan Rusia ini membuat Jepang marah
sehingga memicu perang Jepang dengan Rusia yang bernama “Perang Rusia-Jepang”
pada tahun 1894 dan 1895. Dalam perang itu, tidak terduga Rusia kalah sehingga harus
menandatangani Perjanjian Portsmouth yang diselenggarakan di Amerika Serikat
dengan difasilitasi Presiden Roosevelt. Jenderal yang berjasa dalam kemenangan
Jepang atas Rusia adalah Laksamana Togo Heihachiro. Isi Perjanjian Portsmouth yakni
Jepang mendapatkan Pulau Shakalin dan daerah Manchuria.

Kemenangan Jepang atas Rusia ini membangkitkan kepercayaan dan harga diri
Jepang. Ternyata, bangsa Asia (ras Mongoloid) dapat mengalahkan bangsa Barat (ras
Kaukasoid). Dampaknya, selain wilayah kekuasaannya semakin luas, juga muncul
ambisi tersembunyi yang tidak hanya ingin menguasai Asia, tetapi juga mengalahkan
bangsa-bangsa Barat lainnya.
Ketika Prancis menyerah kepada pasukan Nazi Jerman di Eropa tahun 1941,
Jepang memanfaatkannya dengan menginvansi wilayah jajahan Prancis di Indocina
yang meliputi Kamboja, Laos, dan Vietnam. Pada saat yang bersamaan (tahun 1941),
Jerman menginvansi
Rusia. Sebelumnya, pada tahun 1940, terjadi kesepakatan “Pakta Tripartit”, yaitu
bersatunya fasisme Jepang, Italia, dan Jerman dalam “kekuatan poros” yang kemudian
hari bersama sama melawan “kekuatan Sekutu” yang terdiri dari AS, Inggris, dan
Prancis dalam Perang Dunia II.
Meski tidak memiliki kepentingan di Indocina (Kamboja, Laos, dan Vietnam),
sikap agresi Jepang membuat Amerika Serikat menjadi geram. Pada tahun 1941,
Amerika membidani persekutuan yang disebut ABDACOM (America, British, Dutch,
Australian Command) untuk menghadapi keagresifan Jepang. Selain membuat
organisasi, Presiden Roosevelt juga menerapkan embargo baja dan besi tua kepada
Jepang yang kemudian diikuti dengan pembekuan semua aset-aset Jepang.
Embargo baja dan besi tua ini sungguh memukul telak Jepang karena peralatan
militernya semua terbuat dari baja dan besi tua. Seperti belum cukup, Amerika segera
mengembargo minyak bumi terhadap Jepang. Minyak bumi merupakan penopang
utama industri-industri militer Jepang.
Embargo minyak bumi ini membuat industri militer Jepang menjadi kesulitan
sehingga Jepang dihadapkan pada dua pilihan, hidup atau mati. Jepang bukannya
menyerah dengan situasi, tetapi semakin berambisi menguasai minyak bumi Asia
Selatan (India, Bangladesh, Pakistan, dan lain-lain) serta Asia Tenggara (Vietnam,
Filipina, Indonesia, dan lain-lain) untuk mengatasi embargo minyak bumi Amerika
Serikat.
Sebagian wilayah yang menjadi sasaran Jepang itu merupakan jajahan Belanda,
termasuk Indonesia, sehingga Jepang harus menghadapi kekuatan militer terbesar saat
itu, yaitu Amerika Serikat. Di bawah ABDACOM, Amerika Serikat bertanggung jawab
melindungi kepentingankepentingan Belanda di Indonesia. Menyerang Indonesia
dianggap menyerang ABDACOM.
Untuk mengatasi kekuatan militer itu, Jepang mengambil keputusan, yakni harus
terlebih dahulu melumpuhkan Amerika Serikat. Sasaran yang paling dekat di Asia
adalah pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Asia Pasifik, yaitu di Pearl
Harbour, Hawaii. Maka, secara mendadak tanpa ultimatum terlebih dahulu, Jepang
menyerang Pearl Harbour pada 7 Desember 1941. Dengan serangan ini, Jepang telah
mengawali perang Pasifik.
Setelah menghancurkan Pearl Harbour, Jepang menduduki Filipina pada 10
Desember 1941, Burma pada 16 Desember 1941, dan pada 11 Januari 1942 Jepang
mendarat di Indonesia dengan menguasai Kalimantan lalu menyusul Sumatra dan Jawa.
Setelah Jawa dikuasai, Jepang mengendalikan seluruh wilayah Indonesia dalam waktu
singkat. Perang yang dilancarkan Jepang di Asia Tenggara dan di Lautan Pasifik ini
dikenal dengan Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik.

C. Spionase Jepang
Mengapa Jepang begitu mudah masuk Indonesia dan menguasai Yogyakarta?
Ternyata, jauh sebelum tahun 1942 Jepang telah mengirimkan perwira-perwiranya di
beberapa kota penting di Indonesia, termasuk Yogyakarta untuk dijadikan sebagai
spionase. Perwira yang dikenal sebagai mata-mata di Yogyakarta adalah Shizukino
Yamachi. Tugas Shizukino Yamachi adalah melakukan penyamaran untuk memata-matai
kawasan Yogyakarta, yang nantinya pada wilayah tersebut akan dilakukan ekspansi
besar-besaran oleh tentara Jepang.
Untuk mengelabuhi masyarakat, Shizukino Yamachi mendirikan toko Fuji
sebagai toko kelontong yang berada di daerah pecinan Yogyakarta atau sekarang dikenal
Jalan Malioboro. Shizukino Yamachi mengubah namanya menjadi Tao Ai dan lebih suka
memperkenalkan dirinya kepada orang baru sebagai pedagang dari Cina. Sehari-harinya,
Shizukino Yamachi keluar rumah dari pagi hingga menjelang petang.
Shizukino Yamachi menulis dengan detail segala hal yang ada dan terjadi di
Yogyakarta. Kemudian, segala hasil data pengamatannya dikirimkan ke Jepang, agar
mudah melakukan ekspansi. Data tersebut dikirimkan melalui radio komunikasi dari
kamarnya sehingga pintu kamarnya yang berada di lantai atas selalu tertutup rapat.
Shizukino Yamachi sering berkeliling menggunakan sepeda, berbusana putih dan
mengenakan topi bulat. Semua orang tidak mengenal siapa sesungguhnya Shizukino
Yamachi. Dia hanya dikenal sebagai seorang pengusaha yang baik dan ramah kepada
setiap orang.
Di pertengahan tahun 1939, Shizukino Yamachi mendadak pergi dan hilang
begitu saja.
Pada 6 Maret 1942, tentara Jepang telah memasuki Kota Yogyakarta. Mereka datang dari
arah Jalan Solo menuju ke barat, setelah sampai di perempatan tugu, mereka berbelok ke
selatan menuju Jalan Malioboro dan Gedung Agung. Iring-iringan pasukan disambut
oleh warga tanpa ketakutan, bahkan warga bersorak sorai dengan melambailambaikan
bendera merah putih. Para pasukan Jepang datang dengan mengaku sebagai saudara tua.
Untuk menarik simpati khususnya kepada rakyat Yogyakarta, serdadu Jepang
menyerukan “Nipon Indonesia sama-sama”, mengumandangkan lagu Indonesia Raya,
serta secara demonstratif membawa potret ratu Belanda yang ditusuk-tusuk dengan
bayonet. Ketika peristiwa ini berlangsung, Shizukino Yamachi berada di kendaraan jeep
paling depan diikuti kendaraan truk, sepeda, dan bahkan ada yang berjalan kaki. Setelah
diketahui, ternyata Shizukino Yamachi merupakan salah satu perwira komandan divisi
Angkatan Darat Jepang.

D. Jepang Mengambil Alih Wilayah Hindia Belanda

Serangan Jepang pertama terjadi pada 11 Januari 1942 dengan Salam Historia
Mengapa
Thailand menjadi negara Asia yang tidak dijajah Jepang? Pada Perang Dunia II, Thailand
“membantu” Jepang melawan Sekutu dengan cara memberikan wilayah negaranya
sebagai tempat akomodasi tentara Jepang.
Namun, seusai perang dan Jepang kalah perang melawan Sekutu, Thailand
memutuskan untuk menjadi sekutu Amerika Serikat. Thailand juga merupakan negara
yang tidak pernah dijajah bangsa Barat (Inggris, Prancis, Belanda, Spanyol, dan
Portugal). mendarat di Tarakan (Kalimantan Timur). Pada bulan Februari, Jepang
menduduki Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Palembang, dan Bali. Mengapa Jepang
mendarat pertama kali di Tarakan dan kemudian menguasai Tarakan? Sebagaimana
dibahas dalam pokok bahasan terdahulu, Jepang sangat kesulitan dalam mengoperasikan
industri-industrinya, termasuk mesin-mesin perangnya, setelah Amerika Serikat
mengembargo minyak bumi.
Tarakan adalah salah satu daerah yang terdapat sumber-sumber minyak di
Indonesia. Dengan menguasai Tarakan, berarti menguasai sumber minyak sehingga
dengan demikian untuk menguasai daerah lain di Indonesia lebih mudah dan untuk
menghadapi Sekutu juga lebih siap. Di Jawa, Jepang pertama kali mendarat di Banten,
kemudian Indramayu, Rembang, Tuban, dan Surabaya. Sejak Maret 1942, Indonesia
menjadi kekuasaan Jepang. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia Belanda
(Indonesia) adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna
mendukung industri dan kampanye perang Jepang. Gubernur Jenderal Belanda, Tjarda
van Strarkenborgh, tidak berdaya menghadapi serangan kilat Jepang sehingga terpaksa
menyerah tanpa syarat kepada Letnan Jenderal Hitoshi Imamura di Kalijati, Subang,
Jawa Barat, 8 Maret 1942.
Mengapa Jepang begitu mudah mengalahkan Belanda sedangkan peralatan
militer Belanda juga sangat modern untuk saat itu? Jepang, sebelum menyerang Hindia
Belanda, ternyata sudah jauh hari memperhitungkan penyerangan itu. Beberapa tahun
sebelum 1942, para perwira Jepang sudah menyelidiki daerah-daerah yang menjadi titik
kelemahan dan kekuatan Belanda. Di Jawa, daerah Banten, Indramayu, Rembang,
Tuban, dan Surabaya adalah daerah strategis. Apabila menguasai daerah itu, maka
Jepang dengan mudah akan dapat memaksa Belanda menyerah.

E. Strategi Jepang Untuk Mendapatkan Simpati Rakyat


Kedatangan Jepang disambut baik oleh Sukarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.
Mereka optimistis bahwa kedatangan Jepang akan membawa kemerdekaan. Dasarnya
adalah hal-hal berikut ini. 129
a. Menyerahnya Belanda dianggap sebagai akhir penjajahan Belanda. Dengan kekalahan
Belanda, maka berarti dimulainya era baru ketika bangsa-bangsa Asia bebas merdeka
dan menentukan nasibnya sendiri dengan dipelopori oleh Jepang. Keyakinan itu
bertambah tebal setelah Jepang memperkenalkan diri sebagai saudara tua bangsa-
bangsa Asia.
b. Jepang berjanji jika Perang Pasifik dimenangkan, maka bangsabangsa di Asia akan
mendapatkan kemerdekaan.
c. Jepang bersifat simpatik kepada aktivis pergerakan kemerdekaan, misalnya
membebaskan tokoh-tokoh yang ditahan dan diasingkan kolonial Belanda seperti
Sukarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain.
d. Jepang menjanjikan kepada bangsa Indonesia untuk memberikan kemudahan-
kemudahan yang tidak pernah diberikan oleh kolonial Belanda, misalnya mengibarkan
bendera Merah Putih berdampingan dengan bendera Hinomaru Jepang, menggunakan
bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, kebebasan beribadah sesuai
keyakinan, dan membolehkan menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”
bersama lagu kebangsaan Jepang
“Kimigayo”.

F. Pemerintahan Militer Jepang

Setelah menguasai Indonesia, Jepang memerintah dengan sistem pemerintahan


militer dengan membagi menjadi tiga daerah militer yang dikendalikan oleh angkatan
darat (rigukun) dan angkatan laut (kaigun). Ketiga daerah tersebut di bawah komando
panglima besar tentara Jepang yang bertempat di Saigon (Vietnam). Ketiga daerah
tersebut meliputi:
a. Daerah Jawa dan Madura dengan pusat di Batavia di bawah kendali angkatan laut
(kaigun).
b. Daerah Sumatra dan Semenanjung Melayu dengan pusat di Singapura di bawah
kendali angkatan darat (rigukun).
c. Daerah Kalimantan dan Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua di bawah
kendali angkatan laut (kaigun).
Selain memerintah dengan sistem militer, Jepang dalam rangka mengawasi
masyarakat dan membangun gerakan pertahanan masyarakat menggunakan sistem
Tonarigumi yang sekarang lebih dikenal sistem Rukun Tetangga (RT).
Dalam bidang politik, Jepang membentuk Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian
Rakyat Jawa) sebagai lembaga yang bertugas mengumpulkan dana, misalnya dalam
bentuk uang, beras, ternak, logam mulia, kayu jati, dan sebagainya. Dalam usaha
mendapatkan tenaga kerja, Jepang membentuk Romukyokai (panitia pengerah romusha)
untuk dipekerjakan dalam proyek pembangunan jalan raya, pelabuhan, dan lapangan
udara.
Pada awalnya, romusha ini mendapatkan upah. Namun, pada perkembangan
selanjutnya para pekerja ini tanpa diupah oleh pemerintah Jepang. Dalam sistem
pertahanan menghadapi Sekutu dan usaha melanggengkan kekuasaannya, di Indonesia
dibentuk lembaga-lembaga semimiliter dan militer. Organisasi-organisasi buatan Jepang
itu misalnya Keibodan (barisan pembantu polisi), Seinendan (barisan pemuda), Fujinkai
(barisan wanita), Heiho (barisan cadangan prajurit), PETA (pembela tanah air), Putera
(Pusat Tenaga Rakyat), Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa), Jibakutai
(pasukan berani mati), Kempetai (barisan polisi rahasia), dan Gakukotai (laskar pelajar).

G. Dampak pendudukna Jepang Di Indonesia

Masa pendudukan Jepang membawa dampak yang luar biasa terhadap bangsa Indonesia,
baik dampak secara politik, ekonomi, dan sosial budaya. Untuk lebih jelasnya, berikut
paparannya.
1. Bidang Politik
Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, organisasi kemasyarakatan baik itu
organisasi politik, sosial, maupun keagamaan dibubarkan dan menggantikannya
dengan organisasi bentukan Jepang. Satu-satunya organisasi yang dibiarkan oleh
Jepang adalah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berdiri sejak pemerintahan
kolonial Belanda. Organisasi ini mendapat simpati masyarakat sehingga berkembang
dengan cepat. Karena organisasi ini mengkhawatirkan Jepang, maka pada tahun 1943
MIAI dibubarkan dan menggantikannya dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) dengan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai ketuanya.
Untuk menekan tokoh pergerakan yang tidak kooperatif terhadap Jepang,
dilakukan pengawasan yang ketat dengan menyebar polisi rahasia yang sangat
ditakuti, yakni Kempetai. Jepang tidak segan-segan menangkap, menginterogasi,
bahkan menghukum mati orang yang dianggap bersalah tanpa proses pengadilan.
Di samping cara-cara represif, Jepang juga menerapkan caracara yang
diharapkan mengundang simpati, misalnya:
a. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan melarang keras
penggunaan bahasa Belanda.
b. Membentuk kerja sama dengan para nasionalis serta membentuk gerakan 3A
(Nipon cahaya Asia, Nipon pelindung Asia, Nipon pemimpin Asia) dengan
menunjuk Mr. Syamsuddin sebagai ketuanya. Tujuan gerakan bentukan Jepang ini
adalah menarik simpati rakyat Indonesia agar membantu Jepang menghadapi
Amerika Serikat dan sekutunya. Gerakan ini akhirnya tidak mendapat simpati
rakyat karena pada kenyataannya Jepang terlalu kejam bagi rakyat Indonesia.
c. Membentuk organisasi yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan menunjuk
Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur sebagai
pemimpinnya.
Tujuan organisasi ini adalah memusatkan segala potensi rakyat Indonesia untuk
membantu Jepang melawan tentara Sekutu. Namun, organisasi ini dimanfaatkan
pimpinannya untuk membangkitkan nasionalisme yang sempat pudar. Karena
organisasi ini ternyata lebih menguntungkan Indonesia daripada kepentingan
Jepang, maka akhirnya Putera dibubarkan.
d. Membentuk Badan Pertimbangan Pusat yang kemudian disebut Cuo Sangi In (pada
zaman kolonial Belanda disebut Volksraad). Badan ini bertugas memberikan usul
atau saran-saran terhadap Jepang tentang masalah-masalah politik. Jepang
menunjuk Sukarno sebagai ketuanya.
e. Membentuk Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) sebagai lembaga yang
bertugas mengumpulkan dana, misalnya dalam bentuk uang, beras, ternak, logam
mulia, kayu jati, dan sebagainya. Jepang menunjuk gunseikan atau seorang kepala
pemerintahan sebagai ketuanya. Seperti organisasi lain bentukan Jepang, organisasi
ini tidak mendapat sambutan rakyat, terutama di luar Pulau Jawa.

2. Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Jepang menginginkan Indonesia sebagai tempat
eksploitasi segala sumber daya, baik itu pangan, sandang, logam, dan minyak demi
kepentingan perang, sebagaimana tampak dalam hal-hal berikut ini. a. Menyita Aset
Ekonomi
Jepang menyita aset hasil perkebunan (teh, kopi, karet, tebu), pabrik, bank,
dan perusahaan-perusahaan penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkalai
karena pemerintah Jepang fokus pada ekonomi perang dan industri perang.
Dampaknya, kelaparan rakyat dan kemiskinan di mana-mana.
Kebijakan Jepang di antaranya juga adanya ekonomi perang. Ekonomi
perang adalah semua kekuatan ekonomi di Indonesia digali untuk menopang
kegiatan perang. Bagi Jepang, Indonesia merupakan negara yang sangat menarik
perhatian karena merupakan negara kepulauan yang kaya akan hasil bumi,
pertanian, tambang, dan lain sebagainya.
Kekayaan Indonesia tersebut sangat cocok untuk keperluan industri Jepang.
Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam
ekonomi yang sering disebut Self Help, yaitu hasil perekonomian di Indonesia
dijadikan modal untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan Jepang, contohnya
sebagai berikut. 1) Jepang memerintahkan menanam padi karena beras adalah
sumber energi tentara Jepang. 2) Jepang memerintahkan menanam jarak karena
getah jarak dijadikan pelumas mesin-mesin industri alat perang Jepang termasuk
pesawat tempur. 3) Jepang memerintahkan menanam tanaman kina karena menjadi
obat antimalaria. Penyakit malaria sangat melemahkan kemampuan bertempur
pasukan Jepang.
b. Pengawasan Ketat di Bidang Ekonomi
Jepang melakukan pengawasan ekonomi secara ketat. Pengawasan tersebut antara
lain penggunaan dan penyediaan barang serta pengendalian harga untuk mencegah
meningkatkan harga barang. Jika ada yang melanggar, akan dikenai sanksi sangat
berat. c. Kebijakan Self-sufficiency
Kebijakan self-sufficiency yaitu pemerintah Jepang mengharuskan pada wilayah-
wilayah yang ada di bawah pemerintah Jepang harus memenuhi kebutuhannya
sendiri.
d. Memberlakukan Setoran Wajib, Romusha
Pada tahun 1944, Jepang dalam ambisi perangnya semakin terdesak dan kalah di
berbagai front sehingga kebutuhan bahanbahan pangan semakin meningkat. Untuk
mengatasinya, Jepang membuat aturan agar rakyat menyerahkan bahan pangan dan
barang secara besarbesaran melalui organisasi bentukan Jepang yang bernama
Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) dan Nagyo Kumiai (koperasi
pertanian). Setiap rakyat harus menyerahkan bahan makanan 30 persen untuk
pemerintah Jepang, 30 persen untuk lumbung desa (simpanan), dan 40 persen
menjadi hak miliknya.
Kewajiban yang memberatkan itu membuat rakyat menderita dan kekurangan
pangan sehingga rakyat makan makanan yang tidak biasa seperti umbi-umbian
hutan, bekicot, dan sebagainya. Karena sandang juga langka, rakyat terpaksa
memakai pakaian dengan bahan dasar karung goni. Keadaan itu diperparah dengan
kewajiban romusha atau kerja paksa. Banyak rakyat meninggal di tempat kerja atau
ditembak mati karena melarikan diri dari kewajiban romusha.
3. Bidang Sosial
a. Romusha
Penerapan romusha pada awalnya secara sukarela dari rakyat karena mendapat
upah dari pemerintah Jepang. Namun, lambat laun romusha menjadi kerja paksa yang
tidak ada lagi sistem pengupahan. Banyak pemuda desa dan laki-laki desa lainnya
yang dipaksa kerja romusha sehingga mengakibatkan lahan pertanian menjadi tidak
tergarap. Mereka dimobilisasi tidak saja untuk membangun jalan, bandara, dan
pelabuhan di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri seperti Burma, Thailand,
Vietnam, dan Malaysia. b. Jugun Ianfu
Selain memobilisasi para pemuda desa untuk romusha, pemerintah Jepang juga
merekrut wanita-wanita desa untuk dijadikan perempuan penghibur tentara Jepang
atau yang dikenal dengan Jugun Ianfu. Para wanita itu awalnya direkrut dijanjikan
dididik menjadi perawat kesehatan, tetapi pada kenyataanya mereka dijadikan
sebagai wanita penghibur.
c. Pendidikan
Pada masa Jepang, sistem pendidikan lebih buruk daripada masa kolonial
Belanda. Jumlah sekolah menurun drastis dan jumlah warga buta aksara semakin
banyak. Sistem pembelajaran dan kurikulum dijadikan untuk kepentingan perang.
Pelajar diindoktrinasi dengan slogan Hakko Ichiu (delapan penjuru dunia di bawah
satu atap). Slogan ini terus diterapkan sebagai alat propaganda Jepang bahwa
Jepang pemimpin dunia dan alat pembenaran Jepang selalu menginvansi negara
lain selama Perang Dunia II.
d. Bahasa dan Stratifikasi Sosial
Ada sisi positif dalam diri Jepang. Pertama, dalam bidang bahasa, karena
bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar. Bahasa Indonesia
juga dijadikan sebagai pelajaran wajib. Kedua, dalam penjajahan Jepang ini,
stratifikasi sosial golongan bumiputra (inlander, zaman Belanda) ditempatkan di
atas golongan Eropa dan golongan Timur Asing kecuali Jepang. Jepang ingin
mengambil hati rakyat dalam usaha menghadapi Sekutu dalam Perang Pasifik.
4. Bidang Kebudayaan
Sebagai negara fasis, Jepang memang mendidik warga negaranya dengan sangat
ketat. Semua urusan warga negaranya harus taat pada aturan yang ditetapkan oleh
negara. Walaupun menjadi negara modern akibat Restorasi Meiji, Jepang tetap sangat
menghormati kaisarnya. Sebab bagi mereka, kaisar dianggap sebagai keturunan Dewa
Matahari.
Oleh karena itu, dalam tradisi Jepang, mereka memberi hormat ke arah matahari
terbit dengan cara membungkukkan punggung dalam-dalam (disebut dengan Seikerei)
sebagai simbol penghormatan terhadap kaisar.
Kebiasaan Jepang itu dipaksakan kepada setiap negara jajahannya, termasuk di
Indonesia sehingga menimbulkan rasa tidak suka terhadap Jepang. Perilaku seperti itu
bertentangan dengan agama karena dianggap sebagai Syrik (menyekutukan Tuhan).
Perlawanan K.H. Zainal Mustafa di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tahun 1944 sebagai
bukti bahwa Jepang tidak bisa memaksa begitu saja budayanya kepada tanah jajahan.
Dalam usaha mengendalikan kebudayaan, Jepang membentuk organisasi yang
bernama Keimin Bunkei Shidoso (pusat kebudayaan). Keimin Bunkei Shidoso
dijadikan sebagai wadah perkembangan kesenian Indonesia. Lembaga ini juga
dimanfaatkan Jepang untuk mengawasi dan mengarahkan seniman-seniman Indonesia
agar karyanya tidak menyimpang dari kepentingan Jepang. Jika ada seniman yang
berani mengkritik Jepang, maka seniman itu ditangkap dan dipenjarakan. Contohnya,
Chairil Anwar dijebloskan ke penjara karena karya sastranya yang berjudul Siap Sedia.

H. Strategi Politik Jepang Membentuk Organisasi


Kemasyarakatan 1. Organisasi sosial kemasyarakatan

a. Gerakan 3A
Untuk mendapatkan dukungan rakyat Indonesia dalam perang Asia Timur Raya
atau Perang Pasifik, Jepang membentuk sebuah perkumpulan yang dinamakan
Gerakan 3A (Nipon cahaya Asia, Nipon pelindung Asia, Nipon pemimpin Asia).
Perkumpulan ini dibentuk pada 29 Maret 1942. Jepang berusaha agar gerakan ini
menjadi alat propaganda yang efektif untuk memenangkan perang dengan Sekutu.
Oleh karena itu, di berbagai daerah dibentuk berbagai komite-komite.
Ternyata, sekalipun dengan berbagai upaya, gerakan ini kurang mendapat simpati
rakyat karena ternyata Jepang sudah mulai menampakkan sifat-sifat penjajahannya.
Pada Desember 1942, Gerakan 3A dinyatakan gagal dan dibubarkan.
b. Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
Karena Gerakan 3A gagal, kemudian Jepang mengajak para tokoh pergerakan
untuk bekerja sama. Jepang kemudian mendirikan organisasi pemuda yang
dipimpin oleh Sukardjo Wiryopranoto. Karena lambat laun organisasi ini tidak
mendapat sambutan rakyat, akhirnya Jepang membubarkannya.
Dukungan rakyat terhadap Jepang memang tidak seperti awal kedatangannya,
karena Jepang sudah banyak berubah. Misalnya, melarang pengibaran bendera
Merah Putih yang berdampingan dengan bendera Hinomaru serta mengganti lagu
“Indonsia Raya” dengan lagu “Kimigayo”.
Jepang ketika perang dengan sekutu mulai menampakkan kekalahan di mana-
mana sehingga rakyat Indonesia mulai tidak percaya dengan Jepang. Untuk
memulihkan keadaan itu, Jepang harus bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasionalis
terkemuka, misalnya Sukarno dan Moh. Hatta. Karena Sukarno masih ditahan oleh
pemerintah kolonial Belanda di Padang, maka Jepang membebaskannya.
Jepang kemudian membentuk organisasi massa yang dapat diharapkan bekerja
sama untuk menggerakkan rakyat. Pada Desember 1942, Sukarno, Hatta, K.H. Mas
Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara dipercaya untuk membentuk gerakan baru.
Gerakan itu bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang kemudian berdiri pada 16
April 1943. Tokoh-tokoh nasionalis ini terkenal dengan sebutan empat serangkai.
Putera diketuai oleh Sukarno. Tujuan Putera adalah untuk membangun dan
menghidupkan kembali segala sesuatu yang telah dihancurkan kolonial Belanda.
Jepang menginginkan Putera bekerja untuk menggali potensi masyarakat guna
membantu Jepang dalam perang. Di samping bertugas sebagai propaganda perang,
Putera juga bertugas memperbaiki bidang sosial dan ekonomi.
Putera kemudian membentuk organisasi sampai ke tingkat daerah-daerah dan
pimpinan pusat tetap dipegang oleh empat serangkai sehingga dalam waktu singkat
Putera berkembang sangat pesat. Melalui rapat-rapat, para tokoh nasionalis
memanfaatkan Putera untuk menyiapkan Indonesia merdeka. Rupanya, Jepang
mulai sadar bahwa Putera dimanfaatkan oleh para nasonalis bukan untuk
kepentingan Jepang sehingga pada tahun 1944 Putera dibubarkan Jepang.
c. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)
Berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda yang anti organisasi Islam, Jepang
lebih bersahabat terhadap umat Islam. Jepang mendekati umat Islam karena Jepang
menginginkan agar umat Islam di Indonesia membantu Jepang melawan Sekutu.
Oleh karena itu, organisasi Islam yang bernama MIAI yang cukup berpengaruh
pada masa pemerintahan Belanda dan dibubarkan Belanda mulai dihidupkan
kembali oleh Jepang. Tanggal 4 September 1942, MIAI diizinkan aktif kembali.
Dengan demikian, MIAI dapat dimobilisasi untuk keperluan Jepang.
MIAI berkembang sangat pesat karena merupakan tempat bersilaturahmi antar
sesama para tokoh Islam untuk menuju Indonesia merdeka. Arah perkembangan
MIAI mulai dipahami oleh Jepang. MIAI dianggap tidak memberi kontribusi
terhadap Jepang dan itu berarti tidak sesuai dengan harapan Jepang. Maka, pada
November 1943, MIAI dibubarkan Jepang. Sebagai penggantinya, Jepang
membentuk organisasi Islam baru yang bernama Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia). Tugas dari Masyumi adalah dapat mengumpulkan dana dan
dapat menggerakkan umat Islam untuk menopang kegiatan Perang Asia Timur
Raya.
Masyumi diketuai oleh Hasyim Asy’ari dan wakil ketuanya dijabat oleh Mas Mansur dan
Wahid Hasyim, sedangkan penasihatnya adalah Ki Bagus Hadikusumo. Masyumi
sebagai Gambar 4.d. K.H. Hasyim Asy’ari. Seorang ulama yang diberi
kepercayaan Jepang memimpin Masyumi. 140 organisasi induk umat Islam,
anggotanya sebagian besar dari para ulama. Dengan kata lain, ulama dilibatkan
dalam kegiatan pergerakan politik.
Organisasi Islam ini berkembang sangat pesat dan di setiap karesidenan ada
cabangnya. Masyumi dalam perkembangannya menjadi tempat penampungan
berkeluh kesah rakyat. Masyumi berkembang menjadi organisasi yang pro dengan
rakyat sehingga tidak heran bila Masyumi menentang keras kebijakan romusha.
Bahkan, Masyumi menolak permintaan Jepang agar organisasi bentukan Jepang ini
menggerakan romusha. Dengan demikian, Masyumi telah membentuk dirinya
menjadi organisasi pejuang yang membela rakyat.
d. Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa)
Pada tahun 1944, dalam Perang Asia Timur Raya, Jepang terus mengalami
kekalahan di mana-mana sehingga kondisi ini sangat mengkhawatirkan keberadaan
Jepang di Indonesia. Untuk itu, panglima ke-16, Jenderal Kumakici Harada
membentuk oganisasi baru yang bernama Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian
Rakyat Jawa). Organisasi ini dibentuk karena Jepang membutuhkan bantuan
segenap rakyat secara lahir batin, yakni rakyat memberikan darmanya kepada
pemerintah Jepang demi kemenangan perang.
Agar pengalaman yang sudah terjadi tidak terulang, yakni pimpinan organisasi
membelokkan organisasi sehingga tidak sesuai harapan Jepang, maka Jawa
Hokokai dipimpin langsung oleh orang Jepang, yakni gunseikan. Sedangkan
penasehatnya boleh orang Indonesia, yakni Sukarno dan Hasyim Asy’ari.
Organisasi ini sampai ke tingkat RT (rukun tetangga). Di tingkat daerah (syu/shu)
dipimpin oleh syucokan dan seterusnya sampai ke tingkat daerah ku oleh kuco,
bahkan sampai ke gumi di bawah pimpinan gumico. Dengan demikian, Jawa
Hokokai memiliki alat sampai ke desa-desa, dukuh, bahkan sampai RT (gumi atau
tonari gumi). Tonari gumi dibentuk untuk memobilisasi seluruh penduduk dalam
kelompok-kelompok yang terdiri dari 10 sampai 20 keluarga. Para kepala desa atau
kepala dukuh atau ketua RT bertanggung jawab atas kelompoknya masing-masing.
Program kegiatan Jawa Hokokai adalah sebagai berikut. 1) Melaksanakan segala
tindakan dengan nyata dan ikhlas demi pemerintah Jepang. 2) Memimpin rakyat
berdasarkan semangat kekeluargaan. 3) Memperkukuh pembelaan tanah air.
Jawa Hokokai adalah organisasi pusat yang anggotaanggotanya atas
bermacammacam hokokai (himpunan kebaktian) sesuai dengan bidang profesinya.
Misalnya, Kyoiku Hokokai (kebaktian para guru), Isi Hokokai (kebaktian para
dokter), dan sebagainya. Dalam perkembangannnya, Jawa Hokokai memobilisasi
potensi rakyat untuk kemenangan perang Jepang, misalnya dalam bidang ekonomi
dengan cara penarikan hasil bumi untuk keperluan perang.
2. Organisasi Semimiliter dan Militer
Dalam memerintah Indonesia, Jepang menerapkan pemerintahan militer.
Untuk itu, Jepang mengambil kebijakan membuat organisasi yang bersifat
semimiliter dan militer. Para pemuda dilatih Jepang untuk disiplin dan memiliki
semangat juang yang tinggi (seishin) dan berjiwa kesatria (bushido). Untuk lebih
jelasnya, berikut ulasannya. a. Organisasi Semimiliter
1) Seinendan
Seinendan (korps pemuda) adalah sebuah organisasi yang mewadahi para
pemuda yang berusia 14 sampai 22 tahun. Organisasi ini dibentuk dengan
tujuan menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri.
Kepentingannya bagi Jepang ialah menjadi tenaga cadangan dalam
menghadapi perang Asia Timur Raya. Seinendan difungsikan sebagai
barisan cadangan yang mengamankan garis belakang. Pengorganisasian
Seinendan diserahkan kepada penguasa setempat, misalnya di tingkat
syu/shu (keresidenan) ketuanya syucokan sendiri. Begitu juga di tingkat
daerah ken (kabupaten), ketuanya kenco sendiri, dan seterusnya sampai ke
tingkat gun (kawedanan), son (kecamatan), aza (dusun), dan gumi (RT).
Tokoh-tokoh yang pernah mencicipi pendidikan Seinendan adalah Sukarni
dan Latief Hendraningrat.
2) Keibodan
Keibodan (korps kewaspadaan) anggotanya berusia 25 sampai 35 tahun.
Tujuannya untuk membantu tugas polisi Jepang dalam menjaga keamanan
dan ketertiban. Untuk itu, mereka dilatih kemiliteran. Pembina Keibodan
adalah Departemen Kepolisian (Keimubu) dan di daerah syu (keresidenan)
dibina oleh bagian kepolisian (Keisatsubu). Di kalangan orang Cina juga
dibentuk Keibodan yang diamakan Kakyo Keibotai. Organisasi keibodan
juga dibentuk di daerahdaerah seluruh Indonesia meskipun namanya
berbedabeda. Misalnya Keibodan di Sumatra disebut Bogodan atau di
Kalimantan disebut Borneo Konan Kokokudan. Ketika situasi perang
semakin memanas, Jepang melatih Fujinkai (perkumpulan wanita) dengan
diberi latihan militer sederhana. Bahkan, pada tahun 1944 dibentuk Pasukan
Srikandi. Organisasi sejenis juga dibentuk untuk usia murid SD yang
disebut Seinentai (barisan murid sekolah dasar). Kemudian, untuk murid
SMP dibentuk Gakukotai (barisan murid sekolah lanjutan).

3) Barisan Pelopor
Jepang membentuk Chuo Sangi in (semacam DPR). Salah satu
keputusan lembaga itu adalah merumuskan cara untuk menumbuhkan
keadaran di kalangan rakyat untuk 143 membela tanah air dari serangan
musuh. Sebagai bentuk nyata dari keputusan itu, Jepang pada 1 November
1944 membetuk organisasi baru yang bernama Barisan Pelopor. Melalui
organisasi ini diharapkan adanya kesadaran rakyat untuk berkembang
sehingga jika tanah airnya diserang musuh, maka rakyat siap membantu
Jepang mempertahankan tanah airnya.
Organisasi ini dipimpin oleh Sukarno yang dibantu oleh R.P. Suroso,
Otto Iskandardinata, dan Buntaran Martoatmojo. Barisan pelopor
berkembang pesat hanya di perkotaan. Organisasi ini mengadakan pelatihan
militer bagi angotanya meskipun hanya menggunakan senapan dari kayu
dan bambu runcing. Anggotanya sangat heterogen karena ada yang
terpelajar, berpendidikan rendah, bahkan tidak pernah mengenyam
pendidikan sekalipun.
Tokoh yang pernah menjadi anggotanya adalah Supeno, D.N. Aidit,
Johar Nur, dan Asmara Hadi. Dengan adanya organisasi ini, nasionalisme
dan rasa persaudaran di lingkungan rakyat Indonesia semakin berkobar.
Organisasi ini di bawah naungan Jawa Hokokai.
4) Hizbullah
Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kaiso mengeluarkan
pernyataan tentang pemberian kemerdekaan untuk Indonesia karena
kekalahan Jepang ada di mana-mana sehingga Jepang mengalami berbagai
kesulitan. Cara yang ditempuhnya menambah kekuatan yang sudah ada,
yakni membentuk pasukan cadangan khusus dari pemuda-pemuda Islam
sebanyak 40.000 orang.
Bagi Jepang, dibentuknya pasukan khusus Islam ini digunakan untuk
membantu dalam pemenangan perang Jepang. Tokoh-tokoh Masyumi
menyambut antusias pembentukan pasukan khusus Islam ini dan tentu saja
sambutan itu disambut gembira pemerintah Jepang.
Tujuan Masyumi membentuk organisasi ini adalah untuk persiapan
menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Maka, pada 15 Desember 1944,
Jepang membentuk organisasi 144 baru berupa pasukan sukarelawan Islam
yang dinamakan Hizbullah (tentara Allah) yang dalam istilah Jepangnya
disebut Kaykio Seinin Teishinti. Tugas pokok Hizbullah adalah sebagai
berikut.
1. Sebagai tentara cadangan. • Melatih diri baik jasmani maupun rohani
dengan giat. • Membantu tentara Dai Nippon. • Menjaga bahaya udara
dan mengintai mata-mata musuh. • Menggiatkan usaha-usaha untuk
kepentingan tugas perang.
2. Sebagai pemuda Islam dengan tugas berikut. • Menyiarkan agama Islam.
• Memimpin umat Islam agar taat menjalankan agama Islam. • Membela
agama dan umat Islam Indonesia.
Agar organisasi berjalan lancar, maka dibentuk pengurus pusat
Hizbullah dengan ketuanya K.H. Zainul Arifin, wakil ketuanya Moh.
Roem, dan anggota pengurusnya antara lain Prawoto Mangunsasmito, Kia
Zarkasi, dan Anwar Cokroaminito.
Para pelatihnya berasal dari komandan-komandan Peta dan di bawah
pengawasan perwira Jepang. Kapten Yanagawa Moichiro, yakni seorang
perwira Jepang, akhirnya memeluk Islam dan menikahi gadis dari Tasik.
Dalam pelatihan, selain keterampilan militer juga kerohanian.
Keterampilan fisik militer dilatih oleh para komandan Peta,
sedangkan bidang mental kerohanian dilatih oleh K.H. Mustafa Kamil
(bidang kekebalan), K.H. Mawardi (bidang Tauhid), K.H. Abdul Halim
(bidang politik), dan K.H. Tohir (bidang sejarah). Pelatihan Hizbullah di
Cibarusa itu ternyata membentuk kader pejuang yang militan serta
menumbuhkan semangat nasionalisme para kader Hizbullah.
Setelah pelatihan di Cibarusa itu mereka kembali ke daerah masing-
masing dan membentuk Hizbullah di daerah sehingga Hizbullah
berkembang dengan pesat. Para Hizbullah menyadari bahwa Tanah Jawa
adalah pusat pemerintahan. Jika musuh sewaktu-waktu menyerang, maka
Hizbullah akan mempertahankan dengan penuh semangat. Semangat itu
tentunya bukan karena membantu Jepang, tetapi demi tanah air Indonesia.
Jika barisan pelopor di bawah naungan Jawa Hokokai, maka Hizbullah di
bawah naungan Masyumi.
b. Organisasi Militer
1) Heiho
Heiho (pasukan pembantu) adalah prajurit Indonesia yang langsung
ditempatkan di organisasi militer, baik angkatan darat maupun laut. Tujuan dari
dibentuknya Heiho adalah membantu tentara Jepang. Anggotanya 42.000 orang,
tetapi mereka tidak sampai berpangkat perwira karena perwira hanya untuk orang
Jepang.
Syarat untuk menjadi tentara Heiho antara lain 1) usia 18 sampai 25
tahun, 2) berbadan sehat, 3) berkelakuan baik, dan 4) berpendidikan minimal
sekolah dasar. Adapun kegiatan pelatihan tentara Heiho adalah membangun
kubu-kubu pertahanan, menjaga kamp tahanan, dan membantu perang tentara
Jepang di medan perang. Contohnya, banyak anggota Heiho yang diterjukan di
peperangan melawan tentara Sekutu di Kalimantan, Papua, bahkan ada yang
sampai ke Burma.
Dalam organisasinya, tentara Heiho sudah dibagi-bagi menjadi kesatuan
menurut daerahnya. Di Jawa menjadi bagian tentara Jepang ke-16 dan di Sumatra
menjadi bagian dari tentara Jepang ke-25. Selain itu, tentara Heiho juga sudah
dibagi menjadi beberapa angkatan, misalnya angkat darat, laut, dan kepolisian
(kempeitei). Keterampilan khusus juga diberikan, misalnya bagian senjata
antipesawat terbang, tank, artileri, dan pengemudi mesin perang.
2) Peta
Heiho sebagai bagian dari pasukan Jepang untuk menghadapi serangan
Sekutu dipandang belum memadai. Oleh sebab itu, dibentuklah organisasi militer
lain yang bernama Peta (Pembela Tanah Air). Para anggota Peta mendapat
pelatihan militer karena organisasi ini organisasi militer.
Semula, yang ditugasi melatih anggota Peta adalah seksi khusus dari
bagian inteligen yang disebut Tokubetsu Han. Bahkan, sebelum ada perintah
melatih Peta, Tokubetsu Han sudah melatih pemuda Indonesia untuk menjadi
inteligen yang dipimpin oleh Yanagawa.
Pelatihan pertama berlokasi di Tangerang dengan anggota 40 orang dari
seluruh Jawa. Baru pada pelatihan tahap kedua, Jenderal Kumaikici Harada
panglima tentara Jepang memerintahkan untuk membentuk Peta dan melatih
Peta. Pada 3 Oktober 1943, secara resmi Peta didirikan dan anggota Peta berasal
dari berbagai golongan, termasuk dari Seinendan.
Dalam Peta sudah dikenalkan pangkat, misalnya daidanco (komandan
batalion), cudanco (komandan kompi), shodanco (komandan peleton), bundanco
(komandan regu), dan giyuhei (prajurit sukarela). Untuk mencapai tingkat
perwira Peta, para anggota harus melalui pendidikan khusus. Pertama kali
pendidikan dilaksanakan di Bogor dan setelah mereka lulus pelatihan
ditempatkan di berbagai daidanco (komandan batalion) yang tersebar di Jawa,
Madura, dan Bali.
Dalam organisasi, Peta tidak seperti Heiho yang ditempatkan pada
struktur organisasi tentara Jepang. Peta dibentuk sebagai pasukan gerilya yang
melawan apabila terjadi serangan dari pihak musuh. Tegasnya, Peta dibentuk
untuk mempertahankan tanah air Indonesia dari serangan Sekutu.
Dalam kedudukan struktur organisasi, Peta memiliki kedudukan yang
lebih bebas/fleksibel dan dalam hal kepangkatan ada orang Indonesia yang
sampai mencapai perwira. Untuk itulah banyak orang yang tertarik untuk menjadi
anggota Peta. Sampai pada akhir pemerintahan Jepang, anggota Peta sudah
mencapai 37.000 orang di Jawa dan Sumatra mencapai 20.000 orang.
Di Sumatra, nama yang terkenal bukan Peta, tetapi Giyugun (prajurit-
prajurit sukarela). Orang-orang Peta inilah yang kemudian hari sangat berperan
dalam ketentaraan setelah Indonesia merdeka. Tokoh terkenal Peta adalah
Supriyadi dan Sudirman.

I. Perlawanan Terhadap Jepang Secara Kooperatif (kerjasama)

Perjuangan secara kooperatif dilakukan oleh tokoh-tokoh nasionalis yang duduk


di organisasi-organisasi bentukan Jepang. Melalui organisasi ini, mereka dengan rapi
melakukan koordinasi-koordinasi agar rakyat bersatu untuk Indonesia merdeka.
Dengan organisasi bentukan Jepang seperti Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Sukarno,
Hatta, Mas Mansur, dan Ki hadjar Dewantara membentuk empat serangkai untuk
membangkitkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sempat luntur akibat
tekanan dari kolonial Belanda.
Sukarno dengan tidak ragu-ragu juga bekerja sama dengan Jepang agar
perjuangan untuk Indonesia merdeka segera terwujud. Sikap Sukarno ini
dimanfaatkan oleh pemerintah Jepang sebagai alat untuk memobilisasi rakyat karena
Sukarno dianggap Jepang sebagai tokoh yang paling berpengaruh terhadap rakyat.
Akhirnya, antara Sukarno dengan Jepang saling memanfaatkan.
Sikap Sukarno itu pernah dikecam keras oleh tokoh nasionalis lainnya, misalnya
ketika Sukarno mendukung penerapan romusha dan bahkan ikut terlibat memobilisasi
rakyat agar ikut romusha yang mengakibatkan mereka mati kelaparan, menderita
penyakit dan meninggal, serta ditembak Jepang karena lari dari romusha. Karena
kecaman keras dari beberapa pihak, Sukarno pernah berujar, “Aku telah
mengorbankan hidupku untuk tanah ini … tidak jadi soal kalau ada yang menyebutku
kolaborator Jepang … halamanhalaman dari revolusi Indonesia akan ditulis dengan
darah Sukarno …. Sejarahlah yang akan membersihkan namaku ….”
Untuk kepentingan Indonesia merdeka, Sukarno juga terlibat dalam persiapan
kemerdekaan seperti BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Coosakai dan PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan
Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai

J. Perlawanan Terhadap Jepang Melalui bawah tanah

Gerakan bawah tanah di Indonesia tidak seperti gerakan bawah tanah di Eropa
yang mengangkat senjata secara sembunyi-sembunyi. Gerakan bawah tanah di
Indonesia artinya perjuangan yang dilakukan secara tertutup dan rahasia. Mereka, di
balik kepatuhan terhadap Jepang, tersembunyi kegiatan-kegiatan yang menggerakkan
rakyat untuk Indonesia merdeka. Walaupun akhirnya gerakan mereka diketahui
Jepang dan organisasi yang mereka jalankan dibubarkan, tetapi peranan mereka
sangat penting bagi Indonesia merdeka. Untuk lebih jelasnya, berikut ulasan tokoh-
tokoh yang melakukan perjuangan bawah tanah. a. Kelompok Sukarni
Sukarni adalah tokoh pergerakan pada zaman kolonial Belanda. Pada zaman pendudukan
Jepang, Sukarni bersama Muhammad Yamin bekerja di Sendenbu (Barisan Propaganda
Jepang). Sukarni juga menghimpun tokoh-tokoh pergerakan seperti Adam Malik, Kusnaini,
dan Pandu Wiguna untuk terus mengobarkan perjuangan dan menggelorakan paham
nasionalisme. Untuk menyamarkan gerakannya, Sukarni mendirikan asrama politik yang
diberi nama “Angkatan Baru Indonesia” sehingga dapat mengumpulkan tokoh-tokoh penting
seperti Sukarno, Hatta, Ahmad Subarjo, dan Sunarya. Keempat tokoh itu bertugas mendidik
para pemuda tentang politik dan pengetahuan umum.
b. Kelompok Ahmad Subarjo
Pada masa pendudukan Jepang, Ahmad Subarjo bertugas sebagai Kepala Biro
Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) di Jakarta. Di samping
bekerja di lembaga itu, Ahmad Subarjo menghimpun tokoh-tokoh pergerakan yang
bekerja di angkatan laut Jepang dengan mendirikan asrama pemuda yang bernama
“Asrama Indonesia Merdeka”. Di asrama itu, Ahmad Subarjo menanamkan jiwa
nasionalisme di kalangan pemuda Indonesia.
c. Kelompok Sutan Syahrir
Sutan Syahrir sangat yakin bahwa Jepang tidak akan menang perang melawan
Sekutu. Untuk itu, menurut Syahrir, Indonesia harus segera merebut kemerdekaan
pada saat yang paling tepat. Syahrir membuat jaringan-jaringan para pemuda yang
mempunyai semangat nasionalisme tinggi, yakni para mahasiswa progresif. Ketika
mendengar lewat radio bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Syahrir beserta pemuda lainnya mendesak kepada Sukarno dan Hatta untuk
memproklamasikan pada 15 Agustus 1945. Karena Sukarno belum mendengar
secara langsung penyerahan Jepang, maka Sukarno belum merespons secara
positif. Lagi pula, Sukarno yang saat itu sebagai ketua PPKI dalam membuat
keputusan harus sesuai prosedur, yakni adanya kesepakatan dari para anggota
untuk Indonesia merdeka.

K. Perlawanan Terhadap Jepang Melalui Bersenjata

Selain perlawanan dengan cara kooperatif dan gerakan bawah tanah, para tokoh
pergerakan juga melakukan perlawanan dengan cara mengangkat senjata. Berikut
tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan secara fisik.
a. Perlawanan Rakyat Desa Sukamanah di Tasikmalaya
Perlawanan ini diawali dengan penolakan para santri di Pondok Pesantren
Sukamanah Singaparma yang dipimpin oleh K.H. Zaenal Mustafa. Mereka
menolak seikerei (sikap menghormati Tenno Haika dengan membungkukkan
badan 90 derajat ke arah matahari terbit). Kewajiban seikerei ini menyinggung
umat Islam karena termasuk perbuatan syrik yakni menyekutukan Tuhan. Selain
alasan seikerei, K.H. Zaenal Mustafa juga sudah tidak tahan melihat penderitaan
rakyat akibat penerapan romusha. Tanggal 25 Februari 1944, Kiai Zaenal
memimpin perlawanan tetapi dapat dipadamkan pemerintah Jepang karena
persenjataan yang tidak memadai. Banyak pengikut Kiai Zaenal yang terbunuh dan
Kiai Zaenal sendiri tertangkap pada 25 Oktober 1944 hingga akhirnya dihukum
mati Jepang.
b. Perlawanan Rakyat Indramayu
Peristiwa Indramayu terjadi pada April 1944. Pencetusnya adalah karena Jepang
mewajibkan kepada rakyat untuk menyetorkan sebagian hasil panen padi dan
pelaksanaan romusha yang telah mengakibatkan penderitaan rakyat. April 1944,
mereka melakukan perlawanan di daerah Karangapel. Karena sifatnya spontan,
maka perlawanan ini dapat dipadamkan pemerintah Jepang.
c. Perlawanan Rakyat Aceh
Perlawanan Aceh terjadi pada 10 November 1942 yang dipimpin oleh Tengku
Abdul Jalil. Pemicunya karena tindakan sewenang-wenang Jepang terhadap rakyat
Aceh. Usaha perundingan tidak berhasil sehingga Jepang menyerang di Cot Plieng.
Tengku Abdul Jalil ditembak bersama pengikutnya ketika melarikan diri dari
kepungan Jepang. Informasi yang didapat dalam pertempuran itu, 90 serdadu
Jepang tewas dan 3.000 rakyat Cot Plieng gugur di medan laga.
d. Perlawanan Peta di Blitar
Perlawanan dilakukan oleh Peta (Pembela Tanah Air), sebuah organisasi militer
bentukan Jepang. Pemicunya adalah persoalan pengumpulan hasil panen padi yang
diwajibkan
Jepang kepada rakyat, romusha yang menyebabkan penderitaan rakyat, dan pelatihan
Heiho yang keras di luar batas kemanusiaan. Alasan lain yang terungkap bahwa
dalam Peta, pelatih militer Jepang bersikap angkuh dan selalu memandang rendah
prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan dipimpin oleh anggota Peta komandan
pleton (shodanco) yang bernama Supriyadi pada 14 November 1944 di Blitar.
Perlawanan ini termasuk perlawanan yang terbesar dalam masa pendudukan
Jepang di Indonesia. Meskipun perlawanan dapat dipatahkan dan pengikut Supriyadi
dapat ditangkap, dilucuti, dan dihukum mati, tetapi perlawanan ini dapat
membangkitkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia untuk lepas dari penjajahan.
Setelah perlawanan itu selesai, orang tidak tahu lagi di mana Shodancho
Supriyadi berada. Jika Supriyadi ikut diadili oleh Mahkamah Militer Jepang dan mati
dieksekusi, tidak ada saksi maupun catatannya. Kalau Supriyadi mati karena alasan
lain, tidak jelas di mana makamnya.
Sebaliknya, jika Supriyadi berhasil melarikan diri dan selamat, juga tidak
seorang pun mengetahui di mana Supriyadi berada sehingga sampai sekarang
keberadaan Supriyadi masih misterius.

L. Kebijakan Jepang yang Melunak Karena Kalah Perang

1944, posisi Jepang dalam Perang Pasifik semakin terdesak. Sekutu di bawah
pimpinan Jenderal Douglas Mac Arthur dengan strategi militernya berhasil merebut
pulau demi pulau yang dikuasai Jepang sehingga Sekutu berhasil mendekati negara
tersebut. Melihat situasi yang Salam Historia Pemberontakan Peta di Blitar ternyata
jauh sebelum kejadian Sukarno sudah mengetahui rencana itu. Supriyadi dan kawan-
kawan datang menemui Sukarno ketika Sukarno berkunjung ke Blitar. Supriyadi
meminta restu kepada Sukarno akan melakukan pemberontakan. Ujar Sukarno,
“Pertimbangkanlah masak-masak untung ruginya melakukan pemberontakan. Saudara
masih terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk melakukan gerakan semacam itu
pada waktu sekarang.” Sukarno melanjutkan kata, “Kalaulah Saudara sekalian gagal
dalam usaha ini, hendaknya sudah siap memikul akibatnya, Jepang akan menembak
mati
Saudara-saudara semua.” Begitulah, walaupun Sukarno sudah memperingatkan,
Supriyadi dan kawan-kawan tetap melakukan pemberontakan. Akhirnya, ramalan
Sukarno tepat, mereka tidak mampu melawan militer Jepang. serbasulit, Jepang
kembali berjanji memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Tanggal 7 September 1944, dalam sidang istimewa parlemen Jepang, Perdana
Menteri Kuniaki Koiso mengumumkan sikap pemerintah Jepang bahwa daerah Hindia
Timur
(Indonesia) akan diperkenankan merdeka. Untuk membuktikan kesungguhannya, pada
1 Maret 1945, Letnan Jenderal Kumakici Harada sebagai panglima tentara Jepang di
Jawa mengumumkan dibentuknya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Coosakai.
Badan ini bertugas menyelidiki berbagai hal terkait aspek politik, ekonomi,
pemerintahan, dan lain sebagainya yang diperlukan bagi pembentukan sebuah negara
merdeka. Badan ini diketuai oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat dan wakilnya R.P.
Soeroso. Anggota BPUPKI berjumlah 60 orang, di antaranya masuk juga wakil dari
Tionghoa, Arab, bahkan peranakan Belanda dan tujuh orang sebagai anggota istimewa
dari Jepang.
Tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, BPUPKI bersidang untuk pertama kalinya.
Dalam sidang tersebut, pada hari terakhir, yakni 1 Juni 1945, Sukarno mengusulkan
rumusan dasar negara yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan.
3. Mufakat atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
5. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut ahli bahasa, rumusan ini kemudian diberi nama Pancasila. Meskipun
demikian, sampai sidang terakhir belum diperoleh kata sepakat untuk menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara. Oleh karena itu, BPUPKI kemudian membentuk panitia
kecil yang terdiri dari sembilan orang sehingga disebut Panitia Sembilan. Tugasnya
adalah merumuskan dasar negara serta tujuan atau asas yang digunakan oleh negara
Indonesia yang akan lahir.
Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil menyusun dokumen penting yang
sampai sekarang digunakan, yakni preambule yang berisi asas Gambar 4.f. Pancasila.
Dasar negara yang merupakan hasil dari nilainilai yang digali Sukarno dari tradisi, adat
istiadat, dan budaya Indonesia. 154 dan tujuan negara Indonesia merdeka. Rumusan itu
dikenal sebagai Piagam Jakarta karena penandatanganannya bertepatan dengan ulang
tahun Jakarta.
Isi dari Piagam Jakarta itu adalah: 1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syareat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3). Persatuan Indonesia. 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan, 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, pada 14 Juli 1945, selaku panitia hukum dasar, Sukarno
mengajukan rancangan dari isi hukum dasar tersebut yang terdiri dari tiga bagian yang
meliputi: 1. Pernyataan Indonesia merdeka. 2. Pembukaaan Undang-undang Dasar. 3.
Batang tubuh Undang-undang Dasar. Rancangan pernyataan Indonesia merdeka
diambil dari tiga kalimat awal alinea pertama dan rancangan pembukaan UUD,
sedangkan rancangan pembukaan UUD diambil dari Piagam Jakarta. Setelah BPUPKI
menyelesaikan tugasnya, badan ini dibubarkan pada 7 Agustus 1945 dan digantikan
oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai.
Anggotanya dipilih langsung oleh Marsekal Terauchi, penguasa tertinggi Jepang untuk
wilayah Asia Tenggara yang bermarkas di Vietnam.
Badan ini berangotakan 21 orang yang terdiri dari 12 orang wakil dari Jawa, 3
orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Sunda
Kecil, 1 orang dari Maluku, dan 1 orang dari perwakilan Tionghoa. Anggota tanpa
sepengetahuan Jepang ditambah 6 orang di antaranya Sukarno (ketua), Moh. Hatta
(wakil ketua), Soepomo (anggota), dan Radjiman Wedyodiningrat (anggota).
Badan ini kemudian ditetapkan pada 9 Agustus 1945. Marsekal Terauchi kemudian
mengundang tiga tokoh yang tergabung dalam PPKI, yakni Sukarno, Hatta, dan
Radjiman Wedyodiningrat untuk datang ke markas pusat Jepang di Asia Tenggara, yaitu
di Dalat, Vietnam Selatan. Dalam pertemuan itu, penguasa tertinggi Jepang untuk Asia
Tenggara mengatakan akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia pada 24
Agustus 1945 dengan wilayah meliputi seluruh wilayah bekas Hindia Belanda
BAB IV
PROKLAMASI KEMERDEKAAN

A. Peristiwa Rengasdengklok
Jepang Kalah Perang dengan Sekutu Sejak tahun 1939, Perang Dunia II yang
berkecamuk menyebabkan dua kekuatan besar, yakni Sekutu yang dipimpin Amerika
Serikat melawan negara-negara Fasis (Jerman, Itali, dan Jepang). Amerika ingin
menghancurkan kekuatan Jepang dengan mengirimkan dua pesawat pembawa bom
atom.
Tanggal 6 Agustus 1945, bom atom pertama diledakkan di Kota Hiroshima
dan pada 9 Agustus 1945, bom atom kedua diledakkan di Kota Nagasaki. Dalam
waktu singkat, dua kota kebanggaan Jepang itu luluh lantak. Akibatnya, Jepang
memutuskan mengakhiri perang dengan melakukan penyerahan kepada Sekutu tanpa
syarat. Penyerahan Jepang dilakukan pada 15 Agustus 1945.
Tanggal 15 Agustus 1945 merupakan kesempatan yang baik untuk
mempercepat proklamasi kemerdekaan. Menurut golongan muda, menyerahnya
Jepang kepada Sekutu berarti Indonesia sedang kosong kekuasaan. Proklamasi
dipercepat adalah pilihan yang sangat tepat dan realistis. Untuk itulah para pemuda
mendesak pada tokoh senior untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Sutan Syahrir yang mendengar penyerahan Jepang lewat radio gelap segera
menemui Hatta di rumahnya. Syahrir mendesak agar Sukarno-Hatta segera
memerdekakan Indonesia, tetapi Sukarno-Hatta ternyata belum bersedia. Mereka
berdua menolak segera memproklamasikan karena harus dibicarakan dulu dengan
PPKI (Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bentukan Jepang. Sedangkan
menurut golongan pemuda, proklamasi kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan
oleh kekuatan bangsa sendiri, bukan oleh PPKI.
Menurut para pemuda, PPKI itu buatan Jepang. Oleh sebab itu pada Rabu, 15
Agustus 1945 sekitar pukul 22.00 WIB, para pemuda yang dipimpin Wikana, Sukarni,
dan Darwis datang ke rumah Sukarno untuk memaksa Sukarno memproklamasikan
kemerdekaan. Para pemuda mendesak agar proklamasi kemerdekaan dilaksanakan
paling lambat 16 Agustus 1945. Sutan Syahrir yang mendengar penyerahan Jepang
lewat radio gelap segera menemui Hatta di rumahnya. Syahrir mendesak agar
Sukarno-Hatta segera memerdekakan Indonesia, tetapi Sukarno-Hatta ternyata belum
bersedia. Mereka berdua menolak segera memproklamasikan karena harus
dibicarakan dulu dengan PPKI (Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bentukan
Jepang. Sedangkan menurut golongan pemuda, proklamasi kemerdekaan Indonesia
harus dilaksanakan oleh kekuatan bangsa sendiri, bukan oleh PPKI. Menurut para
pemuda, PPKI itu buatan Jepang. Oleh sebab itu pada Rabu, 15 Agustus 1945 sekitar
pukul 22.00 WIB, para pemuda yang dipimpin Wikana, Sukarni, dan Darwis datang
ke rumah Sukarno untuk memaksa Sukarno memproklamasikan kemerdekaan. Para
pemuda mendesak agar proklamasi kemerdekaan dilaksanakan paling lambat 16
Agustus 1945.
Sukarno yang mendapat desakan keras itu kemudian marah sambil
menunjukkan lehernya dan berkata, “Ini, goroklah leherku! Saudara boleh membunuh
saya sekarang juga! Saya tidak bisa melepas tanggung jawab saya sebagai ketua
PPKI. Untuk itu akan saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok.”
Setelah gagal mendesak Sukarno, pemuda undur diri dari rumah Sukarno,
tetapi tidak langsung pulang ke rumah masing masing. Mereka pada tengah malam
(pukul 24.00) berkumpul di Jalan Cikini 71 Jakarta. Mereka yang hadir adalah
Sukarni, Yusuf Kunto, Chaerul Saleh, dan Singgih. Hasil pertemuan itu adalah
sepakat untuk membawa Sukarno-Hatta keluar kota. Tujuannya adalah agar kedua
tokoh itu tidak terpengaruh Jepang yang bersedia memproklamasikan kemerdekaan.
Mereka juga sepakat menunjuk Singgih (Shodanco) untuk memimpin pelaksanaan
rencana tersebut.
Singgih (anggota Peta) dan para pemuda menuju ke rumah Moh. Hatta. Secara
singkat, Singgih meminta kesediaan Moh. Hatta untuk ikut keluar kota dan Moh.
Hatta menuruti kehendak para pemuda itu. Rombongan kemudian menuju ke rumah
Sukarno. Setelah tiba di kediaman Sukarno, Singgih meminta Sukarno bersedia keluar
kota dan dituruti juga oleh Sukarno dengan syarat Fatmawati yang baru saja menyusui
Guntur yang masih berusia 163 delapan bulan dan Moh. Hatta juga ikut. Tanggal 16
Agustus 1945, sekitar pukul 04.00, rombongan Sukarno-Hatta dan pemuda menuju
Rengasdengklok.
Rengasdengklok dipilih karena daerah itu sangat terpencil dan aman. Setelah
tiba di Rengasdengklok, mereka diterima oleh Shodanco Subeno dan Affan. Mereka
ditempatkan di rumah Kie Song yang simpati kepada perjuangan bangsa Indonesia.
Sehari di Rengasdengklok tidak menghasilkan apa-apa karena tidak bisa memaksa
Sukarno untuk menyatakan kemerdekaan. Namun, Singgih menangkap gelagat bahwa
Sukarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan jika sudah kembali ke Jakarta.
Gelagat itu muncul dari pernyataan Sukarno dalam sebuah diskusi kecil ketika
para pemuda melakukan tekanan terhadap Sukarno-Hatta. “Revolusi ada di tangan
kami sekarang dan kami memerintahkan, Bung! Kalau Bung tidak memulai revolusi
malam ini lalu ....

“Lalu apa?” teriak Sukarno. Kemudian, Sukarno berdiri dengan kemarahan


yang menyala-nyala, memandang semua dengan sorot mata yang tajam. Itu membuat
semua orang yang hadir di situ terperenyak tanpa kata-kata, tidak ada bantahan kata-
kata hingga Sukarno kembali tenang. Lalu, berkatalah Sukarno, “Yang paling penting
di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah
merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17. Mengapa tanggal
17? Tidak sekarang atau tanggal 16?” tanya Sukarno.
“Saya orang yang percaya pada mistik. Tidak dapat saya terangkan dengan
pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Namun,
saya merasakan di dalam kalbuku bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah
angka suci. Pertama-tama kita sedang di dalam bulan Ramadan, saat kita semua
berpuasa. Ini berarti saat yang paling suci buat kita. Tanggal 17 hari Jumat. Hari itu
Jumat Legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Alquran diturunkan tanggal 17, orang
Islam salat 17 rakaat. Oleh karena itu, kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,”
demikianlah Sukarno menjelaskan semuanya.
Jakarta sangat tegang karena pada 16 Agustus 1945 seharusnya diadakan
pertemuan PPKI, tetapi Sukarno-Hatta tidak ada di tempat. Ahmad Subarjo mencari
kedua tokoh itu hingga akhirnya setelah terjadi kesepakatan dengan Wikana, Ahmad
Subarjo diantar ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto.
Ahmad Subarjo tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB untuk menjemput
Sukarno dan rombongan. Para pemuda curiga dengan kedatangan Subarjo sehingga
Subarjo memberi jaminan apabila tanggal 17 Agustus 1945 belum ada proklamasi
kemerdekaan Indonesia, nyawa Ahmad Subarjo taruhannya. Dengan jaminan itu,
akhirnya para pemuda merasa lega dan mengizinkan Sukarno-Hatta kembali ke
Jakarta. Petang itu juga, Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta dan berakhirlah peristiwa
Rengasdengklok.

B. Perumusan Teks Proklamasi

Semula, rombongan langsung tiba di rumah Laksamana Maeda. Oleh Maeda,


Sukarno diantar menemui Gunseikan Mayor Jenderal Hoichi Yamamoto (Kepala
Pemerintahan Militer Jepang) akan tetapi Gunseikan menolak menerima Sukarno-
Hatta pada tengah malam.
Ditemani Maeda, rombongan menuju ke kediaman Somubuko Mayor Jenderal
Otoshi Nishimura (Kepala Departemen Umum Pemerintahan Militer Jepang). Kepada
Nishimura, Sukarno menyampaikan izin akan mengadakan rapat persiapan
kemerdekaan Indonesia.
Mendapat perkataan seperti itu, Nishimura keberatan rumahnya digunakan
untuk rapatrapat dengan alasan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah
diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat
memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagaimana
telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.
Sukarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah
itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido (pantang menyerah), ingkar janji
agar dikasihani oleh Sekutu. Mendapat penolakan itu, Sukarno berkesimpulan bahwa
Jepang tidak mungkin lagi diharapkan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Sukarno dan rombongan akhirnya menuju ke kediaman Laksamana Maeda
lagi di Jalan Imam Bonjol No. 01. Akhirnya, teks proklamasi disusun di rumah
Laksamana Maeda. Tokoh yang hadir adalah anggota PPKI, pemuda, pemimpin
pergerakan, serta beberapa anggota Chau Sangi yang ada di Jakarta. Alasan rumah
Maeda digunakan menyusun teks proklamasi karena rumah ini aman dari gangguan
sewenang-wenang anggota rigukun (Angkatan Darat Jepang). Selain itu, Maeda juga
mempunyai hubungan baik dengan para pemimpin pergerakan.
Dalam rumusan itu, Maeda tidak hadir karena izin beristirahat dan akhirnya
penyusunan teks dilakukan di ruang makan. Sukarno mengawali tulisan dengan kata
pernyataan
“proklamasi”. Kemudian, Sukarno bertanya kepada Moh. Hatta dan Ahmad Subarjo,
“Bagaimana bunyi rancangan pada draf pembukaan UUD?”
Subarjo menjawab, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
Kemerdekaan Indonesia.” Hatta menambahkan kalimat, “Hal-hal yang mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Sukarno menulis, “Jakarta, 17-8-05. Wakilwakil bangsa Indonesia,” sebagai penutup.
Teks proklamasi kemudian dibawa ke serambi muka rumah Maeda, tempat
para anggota PPKI dan pemuda telah menunggu. Di situlah teks proklamasi
dimusyawarahkan dan kemudian disetujui bersama. Saat itu timbul masalah tentang
siapa yang harus menandatangani teks proklamasi itu. Moh. Hatta mengusulkan agar
teks proklamasi meniru model Amerika Serikat, yakni ditandatangani oleh semua
yang hadir sebagai wakil bangsa.
Mendengar usulan Hatta itu, Chairul Saleh menolak jika teks proklamasi
ditandatangani oleh semua yang hadir dengan alasan akan menimbulkan kesan bahwa
kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang, apalagi beberapa yang hadir di
ruangan itu dianggap kolaborator Jepang. Karena kedua pendapat itu mendapat
tentangan, kemudian Sukarni usul agar teks proklamasi ditandatangani Sukarno-Hatta
atas nama bangsa Indonesia.
Usul Sukarni diterima dengan beberapa perubahan yang telah disetujui, maka
konsep itu kemudian diserahkan kepada Sayuti MelikTeks proklamasi kemudian
dibawa ke serambi muka rumah Maeda, tempat para anggota PPKI dan pemuda telah
menunggu. Di situlah teks proklamasi dimusyawarahkan dan kemudian disetujui
bersama. Saat itu timbul masalah tentang siapa yang harus menandatangani teks
proklamasi itu. Moh. Hatta mengusulkan agar teks proklamasi meniru model Amerika
Serikat, yakni ditandatangani oleh semua yang hadir sebagai wakil bangsa.
Mendengar usulan Hatta itu, Chairul Saleh menolak jika teks proklamasi
ditandatangani oleh semua yang hadir dengan alasan akan menimbulkan kesan bahwa
kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang, apalagi beberapa yang hadir di
ruangan itu dianggap kolaborator Jepang. Karena kedua pendapat itu mendapat
tentangan, kemudian Sukarni usul agar teks proklamasi ditandatangani Sukarno-Hatta
atas nama bangsa Indonesia. Usul Sukarni diterima dengan beberapa perubahan yang
telah disetujui, maka konsep itu kemudian diserahkan kepada Sayuti Melik untuk
diketik. Naskah teks proklamasi yang diketik Sayuti Melik dan ditandatangani
Sukarno-Hatta inilah yang kemudian disebut teks proklamasi yang autentik.
Perundingan dalam menyusun teks proklamasi berlangsung pukul 02.00-04.00 dini
hari.
Bagaimana cara menyebarluaskan proklamasi? Sukarni mengusulkan agar
dibacakan di Lapangan Ikada, tetapi Sukarno tidak setuju karena tempat itu adalah
tempat umum yang dapat memancing keributan dengan tentara Jepang. Sukarno
mengusulkan agar pembacaan proklamasi dilakuakn di rumahnya di Jalan Pegangsaan
Timur No. 56. Proklamasi dibacakan pukul 10.00 hari Jumat (bulan Ramadan), 17
Agustus 1945.
Ada tiga teks proklamasi menurut tata tulisannya, yakni 1) naskah asli tulisan
tangan Sukarno, 2) naskah proklamasi yang diketik Sayuti Melik sesuai dengan
tulisan tangan Sukarno, dan 3) naskah proklamasi autentik (naskah proklamasi yang
sudah ada perubahan-perubahan). Untuk lebih jelasnya, perhatikan konsep rumusan
berikut.
Beberapa perubahan yang dimaksud dalam naskah proklamasi yang autentik yaitu kata
“tempoh”, diganti dengan kata “tempo”. Penulisan tanggal, bulan, dan tahun yang
semula
“Jakarta, 17-8- ‘05” diubah menjadi “Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun ‘05” (tahun ‘05
adalah singkatan dari tahun Jepang Sumera, yakni tahun 2605 yang bertepatan dengan
tahun 1945 Masehi). Kata-kata “wakilwakil bangsa Indonesia” diganti dengan kata-
kata “Atas nama bangsa Indonesia”. Naskah proklamasi kemudian diketik dan
ditandatangani Sukarno-Hatta. Naskah inilah yang kemudian disebut teks proklamasi
yang autentik. Beberapa perubahan yang dimaksud dalam naskah proklamasi yang
autentik yaitu kata “tempoh”, diganti dengan kata “tempo”. Penulisan tanggal, bulan,
dan tahun yang semula “Jakarta, 17-8- ‘05” diubah menjadi “Jakarta, hari 17 bulan 8
tahun ‘05” (tahun ‘05 adalah singkatan dari tahun Jepang Sumera, yakni tahun 2605
yang bertepatan dengan tahun 1945 Masehi). Kata-kata “wakilwakil bangsa
Indonesia” diganti dengan kata-kata “Atas nama bangsa Indonesia”. Naskah
proklamasi kemudian diketik dan ditandatangani Sukarno-Hatta. Naskah inilah yang
kemudian disebut teks proklamasi yang autentik.

C. Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan


Sebelum pulang, Moh. Hatta berpesan kepada B.M. Diah untuk
memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkan ke seluruh dunia dengan
menggunakan radio. Pada pagi harinya di rumah Sukarno, dr. Muwardi meminta
Latief Hendradiningrat (Komandan Peta) dan beberapa anak buahnya berjaga-jaga di
rumah Sukarno.
Suwiryo, wali kota Jakarta, meminta kepada Wilopo untuk menyiapkan
peralatan mikrofon. Sedangkan Sudiro meminta kepada Suhud untuk menyiapkan
tiang bendera. Sedangkan bendera diperoleh dari ibu Farmawati yang menjahitnya
sendiri dengan ukuran besar (tidak standar). Bendera yang dijahit Fatmawati itu
dikenal sebagai Bendera Pusaka dan sejak tahun 1969 diganti duplikat untuk
dikibarkan di Istana Negara setiap tanggal 17 Agustus.
Proklamasi dicetuskan hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi atau 17
Agustus 2605 menurut tahun Jepang, atau 17 Ramadhan 1365 tahun Hijriyah.
Sukarno mendekati mikrofon untuk membacakan proklamasi kemerdekaan. Pada
awalnya, S.K. Trimurti (istri Sayuti Melik) diminta untuk menaikkan Bendera Pusaka,
tetapi ia menolak dengan alasan bahwa pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh
seorang prajurit.
Oleh sebab itu, ditunjuklah Latief Hendraningrat yang seorang prajurit Peta
dengan dibantu Suhud. Sedangkan S.K. Trimurti membawa nampan berisi bendera
Merah Putih (Sang Saka Merah Putih). Kemudian, bendera merah putih dikibarkan
oleh Latief dan Suhud. Bersamaan dengan naiknya bendera merah putih, para hadirin
secara spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa ada yang memimpin.
Setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, datanglah berbondong-bondong
warga yang semula menunggu di Lapangan Ikada. Mereka mengira, proklamasi
dibacakan di Lapangan Ikada. Setelah tiba di kediaman Sukarno, mereka meminta
agar proklamasi dibaca ulang. Karena tidak mungkin proklamasi dibaca ulang, maka
Hatta tampil untuk berpidato sebentar demi menenangkan warga dan memberi
semangat tentang arti pentingnya proklamasi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

D. Penyebaran berita proklamasi

Setelah proklamasi dibacakan, hari itu juga salinan teks proklamasi


disampaikan kepada kepala Hoso Kanri Kyoku (Pusat Jawatan Radio, sekarang RRI)
yang bernama Waidan B. Palewenen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang
wartawan Kantor Berita Domei (sekarang Kantor Berita Antara). Setelah itu, berita
proklamasi segera diudarakan. Berita proklamasi itu disiarkan oleh penyiar tiga kali
berturut-turut.
Setelah siaran kedua, tiba-tiba orang Jepang masuk ke ruangan radio sambil
marah karena penyiaran proklamasi itu dan memerintahkan agar penyiaran
dihentikan. Namun demikian, Waidan B. Palewenen tetap memerintahkan kepada
anak buahnya untuk menyiarkan proklamasi.
Melalui pemimpin angkatan bersenjata di Jawa, Jepang meminta agar Domei
meralat bahwa berita proklamasi itu sebuah kesalahan. Namun, permintaan Jepang itu
diabaikan sehingga Kantor Berita Domei tanggal 20 Agustus 1945 disegel dan
pegawainya dilarang masuk. Walaupun Domei disegel, berita proklamasi tetap
disiarkan melalui pemancar swasta. Para pemuda mendirikan pemancar baru di
Menteng No. 31 dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah kemudian berita
proklamasi disiarkan sampai ke penjuru Indonesia.
Proklamasi juga disebarkan melalui surat kabar, pamflet, poster, serta coretan
di gerbong kereta api dan dinding-dinding kota. Tanggal 20 Agustus 1945, hampir
semua harian yang diterbitkan di Jawa memuat berita tentang proklamasi
kemerdekaan.

E.Peran dan jasa para tokoh-tokoh proklamasi dan perjuangannya

Proklamasi kemerdekaan bukan peristiwa sejarah yang tiba-tiba muncul begitu saja.
Peristiwa mahapenting itu mengalami proses yang sangat panjang dan melibatkan
orang-orang yang berperan penting dalam mewujudkannya. Adapun beberapa tokoh-
tokoh penting itu di antaranya sebagai berikut.
Ir. Sukarno Dr. (HC)
Ir. H. Sukarno (nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) lahir di Surabaya, Jawa
Timur, 6
Juni 1901 (meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah
Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–1966. Sukarno
memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda.
Sukarno menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia (bersama dengan
Moh. Hatta) pada 17 Agustus 1945. Sukarno mencetuskan konsep mengenai
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan Sukarno sendiri yang
menamainya.
Sukarno dilahirkan dari seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodiharjo dan
ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan
seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai
merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi
sendiri beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini
sebelum Sukarno lahir. Ketika kecil, Sukarno tinggal bersama kakeknya, Raden
Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya pindah ke
Mojokerto, mengikuti orang tuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di
Mojokerto, ayahnya memasukkan Sukarno ke Eerste Inlandse School, sekolah
tempatnya bekerja. Peranan Sukarno di sekitar proklamasi antara lain sebagai
berikut. a). Sukarno menyusun konsep teks proklamasi di kediaman Laksamana
Tadashi Maeda bersama Hatta dan Ahmad Subarjo. b). Sukarno dan Hatta
menandatangani teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia. c). Sukarno
membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di kediamannya, Jl.
Pegangasaan Timur No. 56 Jakarta.
2. Drs. Moh. Hatta Dr. (HC).
Drs. H. Moh. Hatta lahir di Foert de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatra
Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 dengan nama Mohammad Athar dan
populer disapa Bung Hatta. Ia meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada usia 77
tahun. Hatta adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan wakil presiden Indonesia
yang pertama.
Hatta bersama Sukarno memegang peranan penting untuk memerdekakan
bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamasikan pada 17
Agustus 1945. Hatta juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam kabinet
Hatta I, Hatta II, dan Republik Indonesia Serikat (RIS). Hatta bersama Sukarno
membentuk dwi-tunggal kepemimpinan dari tahun 1945 sampai dengan tahun
1955. Duet ini terbukti tangguh dan mampu bertahan paling sedikit satu dasawarsa.
Dalam perdebatan di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada Februari 1947,
misalnya, Perjanjian Linggarjati dikritik keras kelompok oposisi padahal saat itu
sudah gawat karena Belanda membentuk NIT (Negara Indonesia Timur).
Maka, Hatta sempat berkata kalau kebijakan pemerintah tidak disetujui,
silakan mencari pemimpin lain di luar Sukarno-Hatta. Tahun 1948, saat PKI
Madiun meletus, juga dilontarkan oleh Sukarno, pilih Sukarno-Hatta atau Muso.
Namun dwi-tunggal itu akhirnya tanggal juga. Hatta mundur dari jabatan wakil
presiden pada tahun 1956 karena tidak satu pemikiran dengan Sukarno. Sukarno
memimpin negeri ini sendirian. Karena berjasa dalam perkembangan
perkoperasian, maka Hatta dinobatkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.
Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya.
Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu pindah
ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, kemudian
melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah
ditempa ilmu-ilmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad
Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya.
Tahun 1986, pemerintah menjadikan Hatta dan Sukarno sebagai Pahlawan
Proklamator Kemerdekaan. Banyak orang mengatakan, mengapa gelar Pahlawan
Proklamator diberikan kepada Sukarno dan Hatta sebagai satu kesatuan dwi-
tunggal, bukan sebagai pribadi, serta mempertanyakan mengapa bukan gelar
Pahlawan Nasional yang disematkan kepada mereka berdua. Tahun 2012,
pengakuan akhirnya muncul ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional terhadap Sukarno dan Hatta.
Adapun peran Moh. Hatta dalam peristiwa sekitar proklamasi adalah sebagai
berikut. a). Hatta bersama Sukarno dan Ahmad Subarjo menyusun teks proklamasi
di rumah Laksamana Tadashi Maeda. b). Hatta bersama Sukarno menandatangani
teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia. c). Hatta berpidato untuk
menenangkan rakyat yang tidak sempat menyaksikan proklamasi karena mengira
proklamasi di kumandangkan di Lapangan Ikada.
4. Sayuti Melik Muhammad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai
Sayuti Melik lahir di Sleman, Yogyakarta, 22 November 1908. Meninggal
3. Ahmad Subarjo Mr.
Raden Ahmad Subarjo Joyoadisuryo lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret
1896 dan meninggal 15 Desember 1978 pada usia 82 tahun. Ahmad Subarjo adalah
tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang pahlawan nasional.
Subarjo merupakan menteri luar negeri Indonesia yang pertama. Subarjo
memiliki gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum) yang diperoleh di
Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933. Ahmad Subarjo dilahirkan di Teluk
Jambe, Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku
Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie.
Kakek Subarjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah
Lueng Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan
Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Karawang. Ibu Subarjo bernama Wardinah.
Ia keturunan JawaBugis dan merupakan anak dari camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya memberikan nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya
memberikan nama Ahmad Subarjo. Sedangkan nama Joyoadisuryo
ditambahkannya setelah dewasa saat Subarjo dipenjara di Ponorogo karena
peristiwa 3 Juli 1946. Ahmad Subarjo bersekolah di Hogere Burger School Jakarta
(saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Subarjo remaja
kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden Belanda.
Karena lelah dan tidak bisa menahan rasa kantuk, maka Subarjo tidak
menghadiri pembacaan proklamasi. Subarjo diangkat sebagai menteri luar negeri
pertama RI. Pada masa Revolusi Fisik tahun 1946-1949, Subarjo ditahan karena
dianggap antikabinet Syahrir. Tahun 1948, Subarjo dibebaskan Sukarno. Setelah
pengakuan kedaulatan RI tahun 1949, Subarjo diangkat lagi sebagai menteri luar
negeri, lalu menjadi duta besar, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dan aktif
dalam perjuangan diplomatik di dunia internasional. Subarjo meninggal pada 1978
dan baru tahun 2009 diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Berikut peranan Subarjo
dalam peristiwa sekitar proklamasi. a). Menjemput Sukarno-Hatta ke
Rengasdengklok untuk menuju Jakarta dengan taruhan nyawanya. b). Bersama
Sukarno dan Hatta menyusun teks proklamasi kemerdekaan.

4. Sayuti Melik
Muhammad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik lahir di
Sleman, Yogyakarta, 22 November 1908. Meninggal di Jakarta, 27 Februari 1989,
pada usia 80 tahun dan dimakamkan di TMP Kalibata. Sayuti Melik dikenal
sebagai pengetik naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Sayuti Melik adalah suami dari Surastri Karma Trimurti (S.K. Trimurti),
seorang wartawati dan aktivis perempuan pada zaman pergerakan dan zaman
setelah kemerdekaan. Sayuti anak dari Abdul Muin alias Partoprawito, seorang
bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta. Sedangkan ibunya bernama
Sumilah. Pendidikanya dimulai dari sekolah Ongko Loro (setingkat SD) di Desa
Srowolan sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat ijazah di Yogyakarta.
Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti Melik
kecil. Ketika itu, ayahnya menentang kebijakan pemerintah Belanda yang
menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo tahun 1920, Sayuti Melik belajar
nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada
usia belasan tahun itu Sayuti sudah tertarik membaca majalah Islam Bergerak
pimpinan K.H. Misbach di Kauman Solo. K.H. Misbach adalah ulama yang
berhaluan kiri. Ketika itu, banyak orang termasuk tokoh Islam memandang
Marxisme sebagai ideologi perjuangan menentang penjajahan. Dari kiai, Sayuti
belajar Marxisme. Sedangkan perkenalannya dengan Sukarno terjadi di Bandung
pada 1926. Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan Sayuti ditahan
berkali-kali oleh Belanda. Pada 1926, ia ditangkap Belanda karena dituduh
membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun 1936,
ia ditangkap Inggris dan dipenjara di Singapura selama setahun.
Setelah proklamasi, Sayuti menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat)¾DPR pada saat itu. Karena berjuang melalui Persatuan Perjuangan
bentukan Tan Malaka tahun 1946, Sayuti ditahan dengan tuduhan penggulingan
Perdana Menteri Syahrir yang dikenal sebagai peristiwa 3 Juli 1946. Namun,
akhirnya ia dibebaskan karena dianggap tidak bersalah. Saat Agresi Militer
Belanda II, Sayuti ditahan oleh Belanda dan baru dibebaskan setelah pengakuan
kedaulatan tahun 1949.
Setelah proklamasi, Sayuti menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat)¾DPR pada saat itu. Karena berjuang melalui Persatuan Perjuangan
bentukan Tan Malaka tahun 1946, Sayuti ditahan dengan tuduhan penggulingan
Perdana Menteri Syahrir yang dikenal sebagai peristiwa 3 Juli 1946. Namun,
akhirnya ia dibebaskan karena dianggap tidak bersalah. Saat Agresi Militer
Belanda II, Sayuti ditahan oleh Belanda dan baru dibebaskan setelah pengakuan
kedaulatan tahun 1949.
Selanjutnya, Sayuti pernah menjadi anggota MPRS dan DPRGR sebagai wakil
angkatan 45. Saat demokrasi terpimpin, Sayuti menentang konsep presiden seumur
hidup dan menentang penerapan konsep Nasakom. Setelah Orba berkuasa, Sayuti
menjadi anggota DPR mewakili Golkar. Berikut peran Sayuti Melik di sekitar
peristiwa proklamasi kemerdekaan.
a). Menyaksikan penyusunan teks proklamasi kemerdekaan di kediaman
Laksamana Maeda.
b). Dipercaya mengetik teks proklamasi yang ditulis tangan oleh Sukarno.

5. Sukarni Kartodiwirjo
Sukarni lahir di Blitar, Jawa Timur, 14 Juli 1916 dan meninggal di Jakarta, 7
Mei 1971 pada usia 54 tahun. Nama lengkapnya Sukarni Kartodiwirjo. Ia
merupakan tokoh pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional. Gelar pahlawan
disematkan oleh Presiden Joko Widodo pada 7 November 2014 kepada perwakilan
keluarga di Istana Negara Jakarta. Di Desa Sumberdiran, Kecamatan Garum,
Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Sukarni dilahirkan.
Namanya jika dijabarkan, “Su” artinya “lebih”, sedangkan “Karni” artinya “banyak
memerhatikan”.
Orang tuanya memberi nama itu dengan tujuan agar Sukarni lebih
memerhatikan nasib bangsanya yang saat itu masih dijajah Belanda. Sukarni
merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama
Kartodiwiryo, keturunan dari Eyang Onggo, juru masak Pangeran Diponegoro.
Ibunya bernama Supiah, gadis asal Kediri. Keluarga Sukarni bisa dikatakan
berkecukupan jika dibanding penduduk yang lain. Ayahnya membuka usaha toko
daging di pasar Garum dan usahanya sangat laris.
Sukarni masuk sekolah di Mardisiswo di Blitar (semacam Taman Siswa yang
digagas Ki Hajar Dewantara). Di sekolah ini, Sukarni belajar mengenai
nasionalisme melalui Moh. Anwar yang berasal dari Banyuwangi. Moh. Anwar
ialah seorang pendiri Mardisiswo sekaligus tokoh pergerakan nasional. Sebagai
anak muda, Sukarni terkenal nakal karena sering berbuat onar. Sukarni sering
berkelahi dan suka menentang orang.
Belanda. Sukarni muda pernah mengumpulkan 30 sampai 50 pemuda dan
mengirim surat tantangan kepada anak muda Belanda untuk berkelahi. Anak-anak
muda Belanda menerima tantangan itu sehingga terjadilah tawuran. Tawuran yang
berlokasi di Kebun Raya Blitar itu dimenangkan kelompok Sukarni. Sukarni mulai
aktif dalam pergerakan politik sejak kolonial Belanda. Semasa pendudukan Jepang,
Sukarni bekerja di Kantor Berita Domei (sekarang Kantor Berita Antara) kemudian
aktif dalam pergerakan pemuda. Bahkan, Sukarni menjadi pemimpin gerakan
pemuda yang berpusat di Menteng Raya 31 Jakarta.
Sejak muda, Sukarni dikenal sebagai pejuang radikal dan temperamental.
Setelah proklamasi, Sukarni menjadi anggota KNIP, sempat menjadi ketua Partai
Murba, dan menjadi anggota badan konstituante. Sukarni bergabung dengan Tan
Malaka yang menjadi oposisi kabinet Syahrir yang berujung pada penjara tahun
1946.
Setelah pengakuan kedaulatan 1949, ia dibebaskan dan pada tahun 1961,
Sukarni diangkat Sukarno menjadi Duta Besar RI di Cina dan pernah diangkat
sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Sukarni mendapat kehormatan
Bintang Mahaputra Kelas Empat atas jasa-jasanya. Peranan Sukarni di sekitar
peristiwa proklamasi adalah sebagai berikut. a). Pemuda yang memelopori
penculikan Sukarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. b). Pemuda yang
mengusulkan agar teks proklamasi ditandatangani Sukarno-Hatta atas nama bangsa
Indonesia, bukan semua yang hadir ikut tanda tangan. c). Berperan dalam
menyebarluaskan teks proklamasi dan berita tentang proklamasi.

6. Burhanuddin Mohammad (B.M.) Diah


B.M. Diah lahir di Kutaraja yang kini dikenal sebagai Banda Aceh, 7 April
1917, dan meninggal di Jakarta, 10 Juni 1996 pada usia 79 tahun. B.M. Diah
merupakan seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha
Indonesia. Sesungguhnya, nama asli B.M. Diah hanya Burhanuddin. Mohammad
Diah adalah nama ayahnya yang berasal dari Barus, Sumatra Utara. Ayahnya
adalah seorang pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah.
Burhanudin kemudian menambahkan nama ayahnya di belakang namanya sendiri.
Ibunya, Siti Sa’idah, adalah wanita Aceh yang menjadi ibu rumah tangga.
B.M. Diah merupakan anak bungsu delapan delapan bersaudara. Pada usia 17
tahun, B.M. Diah berangkat ke Jakarta dan belajar di Ksatrian Institut (sekarang
Sekolah Kesatrian) yang dipimpin oleh Douwes Dekker. B.M. Diah memilih
jurusan jurnalistik, tetapi ia banyak belajar tentang kewartawanan dari pribadi
Douwes Dekker. B.M. Diah sebenarnya tidak mampu membayar uang sekolah.
Namun, karena melihat tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus
belajar bahkan memberikan kesempatan kepadanya menjadi sekretaris di sekolah
itu. Sejak tahun 1937, ia sudah menjadi redaktur berbagai surat kabar.
Pada awal pendudukan Jepang, B.M. Diah bekerja di radio militer. Pada tahun
1942 sampai dengan 1945, B.M. Diah bekerja sebagai wartawan pada harian Asia
Raya. Di sekitar proklamasi, B.M. Diah sudah menjadi wartawan yang terkenal.
Pada waktu malam sewaktu akan diadakan perumusan teks proklamasi, B.M. Diah
banyak melakukan kontak dengan pemuda, yaitu untuk datang ke rumah
Laksamana Maeda.
Setelah proklamasi, B.M. Diah mendirikan Surat Kabar Merdeka. Surat kabar
inilah yang pertama kali memuat teks proklamasi pada edisi Rabu, 20 Februari
1946. Semasa pemerintahan Sukarno, Diah diangkat menjadi Duta Besar
Cekoslovakia, Inggris, dan Thailand.
Pada masa pemerintahan Suharto, ia sempat menjadi menteri penerangan.
Berikut peranan B.M. Diah di sekitar peristiwa proklamasi. a). Seorang pemuda
yang ikut menyaksikan perumusan teks proklamasi. b). Berperan dalam upaya
menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan. c). Pemuda yang menyimpan
naskah tulisan asli Sukarno.

7. Suhud
Nama lengkapnya Suhud Sastro Kusumo. Ketika rencana pembacaan
proklamasi yang semula di Lapangan Ikada berganti. Suhud Nama lengkapnya
Suhud Sastro Kusumo. Ketika rencana pembacaan proklamasi yang semula di
Lapangan Ikada berganti menjadi di rumah Sukarno, banyak yang kebingungan
untuk tempat pengibaran bendera. Suhud diberi tugas mencari tiang bendera.
Suhud kemudian mencari sebatang bambu yang kemudian dijadikan sebagai
tiang bendera. Berikut peranan Suhud di sekitar peristiwa proklamasi. a). Seorang
pemuda yang bersama Latif Hendraningrat mengibarkan Bendera Pusaka. b).
Mengusahakan tiang bendera.

8. Suwiryo
Raden Suwiryo lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 17 Februari 1903 dan meninggal di
Jakarta, 27 Agustus 1967 pada usia 64 tahun. Suwiryo merupakan tokoh
pergerakan Indonesia. Suwiryo pernah menjadi Walikota Jakarta dan ketua umum
PNI. Suwiryo dalam karier politiknya pernah menjadi wakil perdana menteri
Kabinet Sukiman-Suwiryo.
Suwiryo menamatkan pendidikan AMS (sekarang SMA) dan kuliah di
Rechtshogeschool tetapi tidak sampai tamat. Suwiryo pernah bekerja di Centraal
Kantoor voor Statistik. Kemudian, ia bekerja dibidang partikelir, menjadi guru
Perguruan Rakyat, kemudian memimpin majalah Kemudi. Ia juga menjadi pegawai
pusat di sebuah kantor asuransi dan pernah menjadi pengusaha obat di Cepu.
Peranan Suwiryo di sekitar peristiwa proklamasi adalah sebagai berikut. a).
Sebagai Wali Kota Jakarta Raya sehingga menjadi ketua penyelenggara proklamasi
kemerdekaan. b). Menyiapkan akomodasi, di antaranya pengeras suara dan
mikrofon.

9. Latief Hendraningrat
Latief Hendraningrat merupakan komandan Peta. Latief menjemput beberapa
tokoh penting untuk hadir di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Ia harus menjemput
Moh. Hatta agar hadir tepat waktu. Latif juga bertanggung jawab memimpin
pasukan Peta pada saat mengawal acara proklamasi kemerdekaan. Setelah
proklamasi, pada saat Revolusi Fisik, Latief terus berjuang di jalur militer pasukan
gerilya.
Setelah pengakuan kedaulatan RI tahun 1949, Latief bertugas di Markas Besar Angkatan
Darat. Tahun 1952, Latief diangkat menjadi atase militer RI di Manila, Filipina,
dan tahun 1956 dipindahkan ke Washington, Amerika Serikat. Setelah kembali ke
Indonesia, Latief ditempatkan sebagai Kepala Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat (SSKAD). Tahun 1965-1966, Latief bertugas sebagai Rektor IKIP
Jakarta.
Dikenal dekat dengan Sukarno, setelah jatuhnya Sukarno sebagai presiden,
Latief ditahan tanpa sebab pada tahun 1966. Akhirnya, pada tahun yang sama,
Latief dibebaskan tanpa pengadilan dan tanpa penjelasan. Bebas dari tahanan,
Latief pensiun sebagai tentara Angkatan Darat dengan pangkat terakhir Brigadir
Jenderal pada tahun 1967. Latief Hendraningrat tutup usia pada 16 November 1987
dan dimakamkan di TMP Kalibata.
Berikut peranan Latief Hendraningrat di sekitar peristiwa proklamasi. a).
Setelah menyiapkan barisan, Latief mempersilakan Sukarno untuk membacakan
teks proklamasi. b). Mengibarkan Bendera Pusaka dengan dibantu Suhud.
Sedangkan yang membawa Bendera Pusaka adalah S.K. Trimurti.
10. Frans Sumarto Mendur
Frans Sumarto Mendur adalah seorang pemuda yang ikut membantu dalam
menyiapkan proklamasi kemerdekaan. Ia seorang wartawan yang bergabung
dengan teman-temannya di Press Photo Senice atau Ipphos. Peranan Frans Sumarto
Mendur di sekitar peristiwa proklamasi adalah sebagai fotografer peristiwa
proklamasi kemerdekaan dan pemuda yang mengabadikan (memotret) berbagai
peristiwa penting di sekitar proklamasi.
Setelah proklamasi, Frans tetap berjuang melalui bidikan kameranya lewat
organisasi Ipphos yang dikenal dengan foto-foto peristiwa sejarah, terutama pada
masa Revolusi Fisik 1945-1949. Pada 9 November 2009, ia baru dianugerahi
Bintang Jasa Utama. Frans Sumarto Mendur tutup usia pada 24 April 1971. Untuk
menghargai jasa-jasanya, pada peringatan Hari Pers, 9 Februari 2013, diresmikan
Monumen Mendur di Manado. Frans Sumarto Mendur Frans Sumarto Mendur
adalah seorang pemuda yang ikut membantu dalam menyiapkan proklamasi
kemerdekaan.
Ia seorang wartawan yang bergabung dengan teman-temannya di Press Photo
Senice atau Ipphos. Peranan Frans Sumarto Mendur di sekitar peristiwa proklamasi
adalah sebagai fotografer peristiwa proklamasi kemerdekaan dan pemuda yang
mengabadikan (memotret) berbagai peristiwa penting di sekitar proklamasi.
Setelah proklamasi, Frans tetap berjuang melalui bidikan kameranya lewat organisasi
Ipphos yang dikenal dengan foto-foto peristiwa sejarah, terutama pada masa
Revolusi Fisik 1945-1949. Pada 9 November 2009, ia baru dianugerahi Bintang
Jasa Utama. Frans Sumarto Mendur tutup usia pada 24 April 1971. Untuk
menghargai jasa-jasanya, pada peringatan Hari Pers, 9 Februari 2013, diresmikan
Monumen Mendur di Manado.
11. Muwardi
Dr. Muwardi yang merupakan pemimpin Barisan Pelopor Jakarta ini tidak
berumur panjang. Setelah Sekutu mendarat di Jakarta, Muwardi ikut pindah
bersama pemimpin RI ke Yogyakarta. Dalam perjuangan revolusioner itu,
Muwardi mengorganisasikan Barisan Banteng yang sebagian besar anggotanya
adalah mantan Barisan Pelopor yang pernah dipimpinnya dulu. Saat terjadi
kekacauan di Solo tahun 1948, Muwardi membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner
untuk menandingi kekuatan komunis yang membentuk Front Demokrat Rakyat.
Pertentangan ini berujung pada penculikan dan pembunuhan Muwardi pada 13
September 1948. Untuk menghormati jasa-jasanya Muwardi diangkat sebagai
Pahlawan Nasional. Dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan, Muwardi bertugas
dibidang pengamanan agar prosesi proklamasi berjalan lancar. Peranan Muwardi di
sekitar peristiwa proklamasi adalah sebagai berikut. a). Menugaskan anggota
Barisan Pelopor dan Peta untuk menjaga Bendera Pusaka yang sudah dikibarkan
dalam proklamasi selama 24 jam nonstop dengan membentuk pasukan berani mati.
b). Setelah proklamasi, ia membagi tugas kepada Barisan Pelopor dan Peta untuk
menjaga keamanan Sukarno dan Moh. Hatta.
12. Syahruddin
Syahruddin merupakan wartawan Domei (sekarang Kantor Berita Antara).
Syahruddin berani memasuki halaman gedung RRI yang dijaga ketat tentara
Jepang. Agar tidak terjadi bentrok dengan tentara Jepang, Syahruddin memanjat
tembok belakang gedung RRI. Peranan Syahruddin di sekitar peristiwa proklamasi
adalah menyerahkan naskah proklamasi kepada kepala bagian siaran untuk
menyebarluaskan berita proklamasi ke seluruh rakyat Indonesia.
13. F. Wus dan Yusuf Ronodipuro
Dua orang ini berperan penting dalam penyebaran berita proklamasi. Peranan
F. Wus dan Yusuf Ronodipuro di sekitar peristiwa proklamasi adalah walaupun
dilarang keras dan diancam oleh Kempetai (polisi rahasia Jepang), keduanya tetap
menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan.
F. Pengesahan UU 1945

Pada 18 Agustus 1945, PPKI menggelar sidang. Sidang ini adalah sidang
pertama setelah PPKI dibentuk oleh Jepang. Sidang berhasil memutuskan hal-hal
berikut ini.
a. Mengesahkan dan menetapkan Undang-undang Dasar sebagai konstitusi negara.
b. Memilih Sukarno sebagai presiden dan Moh. Hatta sebagai wakil presiden.
c. Presiden untuk sementara waktu akan dibantu oleh sebuah komite nasional.
Sementara itu, UUD 1945 sebelum disahkan terdapat beberapa perubahan sebagai
berikut.
a. Kata “muqadimah” diubah menjadi “pembukaaan”.
b. Kalimat dalam pembukaan alenia keempat, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.
c. Kalimat dalam pembukaan alenia keempat, “Menurut kemanusiaan yang adil dan
beradab” diganti menjadi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

d. Pasal 6 ayat (1) yang semula berbunyi, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan
beragama Islam” diganti menjadi “Presiden adalah orang Indonesia asli”.
Perubahan-perubahan tersebut terjadi setelah tokoh-tokoh dari Indonesia yang
beragama Kristen, khususnya yang berasal dari Indonesia Timur, mengajukan
keberatan terhadap rumusan lama yang terlalu bernuansa Islam.

G. Memilih presiden dan wakil presiden

Sukarno dan Moh. Hatta terpilih secara aklamasi (bukan menggunakan surat suara)
menjadi presiden dan wakil presiden. Setelah terpilih menjadi presiden Sukarno
menunjuk sembilan anggota PPKI untuk menjadi panitia kecil yang diketuai Otto
Iskandardinata untuk merumuskan pembagian wilayah negara Indonesia.

H. Pembentukan wilayah

Pada sidang hari kedua, yaitu 19 Agustus 1945, acara yang pertama adalah
membahas hasil kerja panitia kecil yang dipimpin oleh Otto Iskandardinata dalam
perumuskan pembagian wilayah negara Indonesia.
Namun, sebelum acara dimulai, Sukarno sudah menunjuk Ahmad Subarjo,
Sutarjo Kartohadikusumo, dan Kasman Singodimejo sebagai panitia kecil untuk
merumuskan bentuk kementerian bagi pemerintahan Republik Indonesia (RI), tetapi
bukan pejabatnya. Otto Iskandardinata menyampaikan hasil kerjanya, yakni wilayah
RI dibagi menjadi delapan provinsi sebagaimana berikut ini. a). Jawa Barat b). Jawa
Tengah c). Jawa Timur d). Borneo (Kalimantan) e). Sulawesi. f). Maluku g). Sunda
Kecil (Nusa Tenggara) h). Sumatra.
Di samping delapan wilayah itu, masih ada tambahan wilayah, yakni
Yogyakarta dan Surakarta.

I. Pembentukan kementrian

Di samping delapan wilayah itu, masih ada tambahan wilayah, yakni Yogyakarta dan
Surakarta. Setelah penetapan wilayah RI, sidang dilanjutkan dengan mendengarkan
hasil kerja Ahmad Subarjo tentang pembentukan kementerian. Adapun hasil yang
disepakati, NKRI terdiri dari 12 kementerian berikut ini. a). Kementerian Dalam
Negeri. b). Kementerian Luar Negeri.
c). Kementerian Kehakiman. d). Kementerian Keuangan. e). Kementerian
Kemakmuran. f). Kementerian Kesehatan. g). Kementerian Pengajaran. h).
Kementerian Sosial. i). Kementerian Pertahanan. j). Kementerian Penerangan. k).
Kementerian Perhubungan. l). Kementerian Pekerjaan Umum.

J. Pembentukan Badan-badan negara

Pada sidang hari ketiga, 22 Agustus 1945, presiden memutuskan pembentukan


tiga badan baru, yakni 1) Komite Nasional Indonesia (KNI), 2) pembentukan partai
politik 3) pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Untuk lebih jelasnya,
ikutilah paparan berikut ini.
a. Pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI).
Komite Nasional Indonesia (KNI) merupakan sebuah badan yang bertugas
sebagai pembantu dan penasihat presiden yang anggotanya terdiri dari pemuka-
pemuka masyarakat dari berbagai daerah dan golongan, termasuk di antaranya
mantan anggota PPKI.
Anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) mencapai 137 orang.
Anggota KNIP kemudian dilantik di Gedung Kesenian Pasar Baru pada 29
Agustus 1945 dan sebagai ketua
KNIP adalah Kasman Singodimejo serta beberapa wakilnya yakni
Sutarjo
Kartohadikusumo, Johanes Latuharhary, dan Adam Malik. Untuk tugas-tugas operasional
KNIP dibentuk Badan Pekerja KNIP yang kemudian disingkat BPKNIP. Dalam
perkembangan selanjutnya, wakil presiden selaku wakil pemerintah mengeluarkan maklumat
yang disebut Maklumat Wakil Presiden No. X (dibaca “nomor eks” bukan “nomor sepuluh”
karena saat itu surat-menyurat belum rapi) yang isinya KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat) sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) diserahi kekuasaan legislatif. Oleh karena itu, KNIP disebut sebagai cikal
bakal badan legislatif di Indonesia dan tanggal pembentukan KNIP, yakni 29 Agustus 1945,
diresmikan sebagai hari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
b. Pembentukan Partai Politik.
Sidang PPKI pada 22 Agustus 1945 juga memutuskan pembentukan partai
politik nasional yang kemudian terbentuklah PNI (Partai Nasional Indonesia).
BPKNIP mengusulkan perlu adanya partai-partai politik. Melihat usulan itu,
wakil presiden merespons dan kemudian mengeluarkan Maklumat 3 November
1945 tentang pembentukan partai-partai politik. Setelah keluar maklumat
tersebut, berdirilah partai-partai politik berikut.
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). 2) PKI (Partai Komunis
Indonesia). 3) PBI (Partai Buruh Indonesia). 4) Partai Rakyat Jelata. 5) Parkindo
(Partai Kristen Indonesia). 6) PSI (Partai Sosialis Indonesia). 7) PRS (Partai
Rakyat Sosialis). 8) PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia). 9) Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia.
c. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
1) Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Beberapa minggu setelah proklamasi, Sukarno masih bersikap hati-hati karena
Jepang ternyata tidak suka dengan perubahan status quo (dari negara jajahan
menjadi negara merdeka). Ketidaksukaan Jepang itu dibuktikan Jepang dengan
melucuti persenjataan sekaligus membubarkan Peta pada 18 Agustus 1945.
Jepang khawatir, anggota Peta menjelma menjadi tentara Indonesia. Untuk
itulah pada sidang PPKI, 22 Agustus 1945, 175 perlu dibentuk sebuah badan yang
bertugas melindungi rakyat jika ada serangan musuh. Maka, terbentuklah Badan
Keamanan Rakyat (BKR).
Badan ini bertugas menjaga keamanan rakyat. Badan ini menghimpun semua
elemen pemuda yang pernah menjadi anggota Peta, Heiho, Seinendan, Keibodan,
dan polisi.
Awalnya, BKR dibentuk bukan sebagai institusi militer resmi. Hal ini semata-mata
melindungi bentrokan dengan sisa-sisa kekuatan asing yang masih ada di
Indonesia. Harus diingat bahwa BKR bukan tentara. Jadi, sampai akhir Agustus
1945, Indonesia belum memiliki tentara.
2) Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Angkatan perang Inggris yang tergabung dalam SEAC (South East Asian
Command) pimpinan Laksamana Muda Lord Louis mendarat di Jakarta, 16
September 1945. Pasukan ini mendesak agar Jepang mempertahankan status quo
(kekosongan kekuasaan) di Indonesia.
Indonesia masih dipandang sebagai negara jajahan seperti saat sebelum
proklamasi kemerdekaan. Untuk itulah, Jepang masih bersikap keras dan tetap
mempertahankan diri dengan senjata jika para pemuda berusaha melakukan usaha
pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang masih tersisa.
Tanggal 29 September 1945, mendarat lagi tentara Inggris yang tergabung
dalam AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) pimpinan Letjend. Sir Philip
Christison. Kedatangan tentara AFNEI ternyata ditumpangi oleh tentara Belanda
yang disebut NICA (Netherlands India Civil Administration). Tentara Belanda
yang datang lagi menumpang AFNEI tersebut menyulut kemarahan bangsa
Indonesia.
Melihat situasi yang semakin genting, keluarlah Maklumat Pemerintah 5
Oktober 1945 tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Urip
Sumoharjo, seorang nasionalis bekas mayor KNIL, diangkat sebagai kepala staf
TKR.
Sehari sesudahnya, pemerintah mengangkat Supriyadi (tentara Peta di Blitar)
sebagai menteri keamanan rakyat. Ternyata, Supriyadi tidak kunjung datang. Oleh
karena itu, pada 12 November 1945 diselenggarakan rapat yang menyepakati untuk
mengangkat Kolonel Sudirman (Panglima Divisi V Banyumas) sebagai Panglima
Besar TKR dan kepala staf tetap dipegang oleh Urip Sumoharjo.
Pelantikan perwira TKR tersebut baru pada 18 Desember 1945 setelah
Pertempuran Ambarawa. Pertempuran Ambarawa melambungkan Sudirman karena
sukses mengusir tentara AFNEI mundur kembali ke Semarang sehingga pangkat
Sudirman menjadi Jenderal dan Urip Sumoharjo menjadi Letnan Jenderal.
3) Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan Tentara Nasional Indonesia ( TNI)
Sebutan keamanan rakyat dinilai hanya merupakan kesatuan yang menjaga
keamanan rakyat saja, belum menunjukkan sebagai kesatuan tentara angkatan
bersenjata yang mampu melawan musuh dalam pertempuran. Untuk itulah keluar
Penetapan Pemerintah No. 2/SD 1946 tanggal 1 Januari 1946 yang isinya
mengubah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Keselamatan
Rakyat.
Belum genap satu bulan, muncul maklumat pemerintah tanggal 26 Januari
1946 untuk mengubah sebutan Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara
Republik Indonesia (TRI). Dalam maklumat itu menegaskan bahwa TRI
merupakan tentara rakyat, tentara kebangsaan, atau tentara nasional.
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata di samping TRI ada juga laskar-
laskar yang pada umumnya lebih condong kepada induk partainya yang seideologi
dan belum tentu perjuangannya searah dengan TRI. Sementara, Belanda terus
mengancam keberadaan negara Republik Indonesia. Untuk itulah, tanggal 5 Mei
1947, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang berisi pembentukan panitia
untuk membentuk organisasi tentara nasional.
Setelah panitia itu bekerja, akhirnya keluar penetapan presiden tertanggal 3
Juni 1947, yakni berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Semua laskar dan
anggota TRI melebur menjadi anggota TNI. Organisasi kemililiteran ini telah
memiliki TNI Angkatan Darat, TNI angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara.

K. Integritas Sultan Hamengku Buwono IX Terhadap Proklamasi Kemerdekaan


Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, rakyat
yang sudah cukup menderita karena penjajahan menyambut dengan gembira dan
penuh semangat untuk mempertahankannya. Bendera merah putih yang sudah
dikibarkan di rumah Sukarno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 dijaga ketat oleh
pemuda nasionalis sampai 24 jam. Siapa pun, termasuk tentara Jepang, tidak boleh
menurunkan Bendera Pusaka. Bahkan, pasukan berani mati secara spontan
terbentuk untuk menjaga bendera itu agar tetap berkibar.
Bendera merah putih juga berkibar di mana-mana. Bahkan, pekik “merdeka”
menjadi salam nasional. Tekad pengorbanan dan semangat pemuda ini
menggambarkan dukungan luas rakyat terhadap proklamasi kemerdekaan. Reaksi
masyarakat secara langsung dan dukungan yang spontan juga disampaikan oleh
raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono IX. Tanggal 19 Agustus 1945, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII telah mengirim kawat
ucapan selamat kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta atas
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia serta atas terpilihnya dua tokoh
tersebut sebagai presiden dan wakil presiden.
Ucapan itu menyiratkan bahwa Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam
VIII mengakui kemerdekaan RI dan siap membantu mereka. Kemudian, pada 19
Agustus 1945, sekitar pukul 10.00, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengundang
kelompok-kelompok pemuda ke Bangsal Kepatihan.
Pada 5 September 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan
amanat yang dikenal dengan Amanat 5 September yang isinya antara lain sebagai
berikut. a). Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat bersifat kerajaan dan merupakan
daerah istimewa dari Negara Indonesia. b). Sri Sultan sebagai kepala daerah dan
memegang kekuasaan atas Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat. c). Hubungan
antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah pusat negara RI
bersifat langsung. Sultan selaku kepala daerah istimewa bertanggung jawab kepada
presiden.
Amanat Sri Paku Alam VIII sama dengan amanat Sri Sultan Hamengkubuwono
IX.
Hanya saja, nama “Sri Sultan Hamengkubuwono IX” diganti dengan “Sri Paku
Alam VIII” dan “Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat” diganti dengan “Negeri Paku
Alaman”. Amanat 5 September tersebut menegaskan bahwa Sultan dan Paku Alam
di Yogyakarta secara resmi telah menyatakan menyatu dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Amanat Sultan maupun Paku Alam mendapat sambutan positif dari pemerintah pusat
RI di Jakarta. Hal ini dibuktikan dengan dikirimkannya utusan, yakni Mr. Sartono
dan Mr.
Maramis, ke Yogyakarta pada 6 September 1945 dengan membawa “Piagam
Penetapan” mengenai kedudukan Yogyakarta dalam lingkungan RI. Piagam itu
ditandatangani Sukarno pada 19 Agustus 1945 atau dalam hari yang sama ketika
dua pemimpin Yogyakarta itu mengirim ucapan selamat kepada presiden dan wakil
presiden.
L. Peranan pemuda mempertahankan proklamasi kemerdekaan

a. Komite van Aksi


Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan, Sukarni dan Adam Malik pun membentuk Komite van Aksi,
yaitu sebuah gerakan yang bertugas dalam pelucutan senjata terhadap tentara
Jepang dan merebut kantor-kantor yang masih diduduki tentara Jepang.
Munculnya Komite van Aksi di Jakarta kemudian disusul dengan
lahirnya berbagai badan perjuangan lainnya di bawah Komite van Aksi seperti
API (Angkatan Pemuda Indonesia), BARA (Barisan Rakyat Indonesia), dan
BBI (Barisan Buruh Indonesia).
Di berbagai daerah kemudian berkembang badan-badan perjuangan. Di
Surabaya muncul BBI, di Yogyakarta muncul Angkatan Muda Pegawai
Kesultanan yang dikenal dengan nama Pekik (Pemuda Kita Kesultanan), di
Semarang muncul Angkatan Muda dan Pemuda, serta di Bandung berdiri
Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia yang kemudian dikenal dengan PRI
(Pemuda Republik Indonesia).
Badan-badan perjuangan juga muncul di berbagai daerah di luar Jawa, misalnya di
Aceh muncul API (Angkatan Muda Indonesia), di Sumatra Utara muncul
Pemuda Republik Andalas, di Kalimantan Barat muncul PPRI (Pemuda
Penyongsong Republik
Indonesia), di Bali muncul AMI (Angkatan Muda Indonesia), di Sulawesi
Selatan muncul PPNI (Pusat Pemuda Nasional Indonesia), dan lain sebagainya.
Dengan munculnya badan-badan perjuangan tersebut, dapat dikatakan bahwa
di seluruh tanah air telah siap mempertahankan kemerdekaan dan
membersihkan kekuatan Jepang dari Indonesia.

b. Peristiwa Lapangan Ikada di Jakarta


Rapat akbar di Lapangan IKADA (Ikatan Atletik Djakarta) pada 19
September 1945 merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap rencana
Jepang menyerahkan kekuasaan kepada Sekutu pada 10 September 1945. Di
sisi lain, tersiar kabar bahwa setelah Jepang dikalahkan Sekutu, Belanda ingin
berkuasa kembali di Indonesia. Bertolak dari kenyataan itulah maka
komisi aksi yang dipelopori oleh Komisi Aksi Menteng 31 (pelopor Gerakan
Pemuda di Jakarta) memobilisasi massa serta meminta pemerintah untuk hadir
dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada. Tujuannya adalah sebagai berikut. a).
Para pemimpin Republik Indonesia dapat berbicara di hadapan rakyat sehingga
semangat kemerdekaan tetap bertahan di hati rakyat. b). Menunjukkan kepada
dunia bahwa bangsa Indonesia dapat meraih kemerdekaan berkat
perjuangannya sendiri, bukan pemberian dari Jepang.
Suasana di Lapangan Ikada menjadi tegang setelah tentara Jepang
datang dan mengepung dengan senjata lengkap. Meskipun demikian, massa
tetap berdatangan ke tempat tersebut. Sukarno sebagai presiden RI datang dan
menyampaikan pidato singkat. Adapun isi pidato Sukarno sebagai berikut. a).
Bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan dan bertekad untuk
mempertahankannya. b). Meminta dukungan dan kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah RI. c). Menuntut rakyat untuk mematuhi kebijakan-kebijakan
dengan disiplin. d. Memerintahkan rakyat untuk bubar meninggalkan Lapangan
Ikada dengan tenang untuk menghindari pertumpahan darah.

c. Peristiwa Hotel Yamato di Surabaya


Peritiwa ini terjadi pada 19 September 1945. Orang-orang Belanda yang
sebelumnya menjadi tahanan Jepang menduduki Hotel Yamato serta
mengibarkan bendera yang berwarna merah, putih, dan biru di puncak gedung
hotel tersebut. Tindakan tentara Belanda ini dibantu oleh sekelompok tentara
Sekutu. Tentu saja rakyat Surabaya yang melihat berkibarnya bendera tersebut
menjadi marah.
Untuk menghindari insiden yang berakhir pada pertumpahan darah,
Residen Sudirman meminta kepada tentara Belanda untuk menurunkan bendera
tersebut karena Indonesia sudah merdeka. Ternyata, permintaan tersebut
ditolak tentara Belanda.
Para pemuda kemudian menyerbu Hotel Yamato. Dua orang pemuda bahkan
berhasil naik ke puncak hotel dan menurunkan bendera Belanda. Setelah di bawah,
bagian bendera yang berwarna biru dirobeknya dan dinaikkan kembali sehingga yang
tampak bendera merah putih. Tidak hanya itu, para pemuda juga merebut kompleks
penyimpanan senjata dan pemancar radio di Embong. Tanggal 1 Oktober 1945, rakyat
berhasil merebut markas kempetei (polisi rahasia Jepang) yang dianggap sebagai
lambang kekejaman Jepang.
BAB V
PEMERINTAH DEMOKRASI LIBERAL DAN DEMOKRASI TERPIMPIN

A. Pengertian Integrasi dan Integrasi nasional

Bangsa Indonesia yang sekarang tegak berdiri ini pernah diuji oleh masyarakat atau
sekelompok orang yang ingin merusak tatatanan integrasi nasional. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
Integrasi bisa juga diartikan penyatuan bangsa atau suku yang berbeda di masyarakat
menjadi satu kesatuan yang utuh untuk menjadi suatu bangsa.
Integrasi akan semakin kukuh apabila tercapai dua hal yaitu pertama, sebagian
masyarakat bersepakat mengenai batas-batas teritorial negara sebagai suatu wilayah
politik. Kedua, sebagaian besar masyarakat bersepakat mengenai struktur pemerintahan
serta aturanaturan proses politik, ekonomi, sosial, yang berlaku di masyarakat.
Sedangkan apabila diteropong dengan kewilayahan muncul istilah integrasi nasional atau
integrasi bangsa. Kata bangsa (nation) merupakan sekelompok manusia yang sifatnya
heterogen (majemuk) tetapi mereka sebenarnya memiliki kehendak yang sama dengan
menempati daerah tertentu secara permanen.
Untuk itulah integrasi bangsa dapat diartikan usaha atau proses untuk mempersatukan
perbedaan-perbedaan dalam suatu negara berdasarkan bahasa, sejarah, adat istiadat dengan
tujuan yang sama yang hendak dicapai suatu bangsa.

Pengertian Disintegrasi Nasional

Disintegrasi dapat mengancam suatu masyarakat yang sudah mengalami proses


integrasi seperti Indonesia karena Indonesia terdiri dari banyak perbedaan suku, agama,
budaya, adat istiadat, ras, dan lain sebagainya. Faktor yang mengancam integrasi bangsa
adalah sikap yang tidak sesuai dengan masyarakat yang majemuk dan heterogen. Misalnya
sikap etnosentrisme, sikap primordialisme, dan sikap fanatisme yang berlebihan.
Bagaimana caranya jika bangsa mengalami disintegrasi nasioanl? Langkah utama yang
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah reintegrasi.
Reintegrasi bangsa adalah proses pembentukan integrasi kembali agar sesuai daengan
nilai-nilai, kaidah-kaidah dan kesepakatan bersama pada suatu bangsa. Reintegrasi bangsa
adalah salah satu cara untuk menyelesaikan atau memecahkan konflik pada bangsa yang
mengalami konflik diantara anggota masyarakatnya.

C. Disintegrasi Pada masa Revolusi Fisik 1. Pemberontakan PKI Madiun 1948

Pemberontakan PKI Madiun terjadi di Kabupaten Madiun Jawa Timur.


Pemberontakan ini dipimpin oleh Musso. Dia merupakan tokoh Partai Komunis Indonesia
yang pernah belajar di Uni Soviet untuk mendalami idiologi Komunis. Musso ingin
mendirikan Republik Soviet Indonesia. Selain Musso pemberontakan ini juga melibatkan
tokoh nasional mantan perdana menteri, Amir Syarifuddin. a. Latar Belakang
Perjanjian Renville yang digadang-gadang bangsa Indonesia akan memecahkan
kebuntuhan persoalan antara Indonesia dengan Belanda ternyata berakhir dengan bayak
kekecewaan di pihak orang-orang Indonesia. Wilayah Indonesia yang semula hanya
meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura sebagai hasil perjanjian Linggarjati, kini setelah
ada putusan perjanjian Renville bukan semakin besar malah semakin sempit. Wilayah
itu semakin sempit karena adanya garis van Mook. Untuk itulah pasukan TNI yang
berada di belakang garis demarkasi van Mook terpaksa meninggalkan daerah tersebut.
Pada 17 Januari 1948 ribuan pasukan TNI dari divisi Siliwangi hijrah ke Surakarta dan
Yogyakarta dengan memendam perasaan kecewa.
Memang perjanjian Renville menguntungkan Belanda dari segi politik maupun
ekonomi. Wilayah kekuasaan Belanda menjadi semakin luas serta sumber-sumber
ekonomi juga semakin mudah didapat. Karena Indonesia begitu terjepit maka Amir
Syarifuddin sebagai perdana menteri yang memimpin perjanjian Renville mendapat
tekanan yang luar biasa sehingga dijatuhi mosi tidak percaya pada 23 Januari 1948.
Akibatnya Amir Syarifuddin terpaksa turun dari jabatannya sebagai perdana menteri
dan digantikan oleh Moh. Hatta.
Amir Syarifuddin yang jatuh itu kemudian menjadi oposisi kabinet Hatta. Ia
kemudian mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Orgnisasi ini merupakan
gabungan dari PSI, Pesindo, Partai Buruh, SOBSI, Barisan Tani Indonesia, dan PKI.
Benturan kepentingan antara Kabniet Hatta dan Amir terjadi sejak Kabniet Hatta
mempunyai program Rera (Reorganisasi dan rasionalisasai). Salah satu yang menjadi
target Rera adalah rasionalisasi tentara yakni tentara yang sedikit tetapi bermutu.
Tentara yang semula berjumlah 463.000 diperas menjadi 90.000. Akibatnya banyak
Tentara yang sebagian besar orang-orang komunis itu mengganggur sehingga mereka
mendesak kepada kabinet Hatta untuk tidak melanjutkan program Rera.
Tentara-tentara yang menganggur dan kecewa itu kemudian memilih bergabung
dengan FDR karena merasa FDR membela nasibnya. Tentu saja kesempatan ini
digunakan oleh FDR untuk menghantam kabinet Hatta. Kritikan terhadap kabinet Hatta
program Rasionaisasi terdengar nyaring. Ribuan parjurit merasa kecewa dengan
program rasionalisasi itu.
Pada 10 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia. Dia sebenarnya tokoh PKI
yang pada tahun 1926 melakukan pemberontakan kepada pemerintah Kolonial Belanda.
Tetapi karena pemberontakan itu gagal dia melarikan diri ke Uni Soviet. Kedatangan
Musso disambut baik oleh Amir Syarifuddin sehingga mereka membentuk organisasi
Politbiro pada tanggal 1 September 1948. Dalam organisasi itu ketuanya Mussso
sedangkan Amir Syarifuddin menempati jabatan sekretariat pertahanan dan tokoh-
tokoh lain yang terlibat dalam organisasi itu misalnya DN. Aidit, Lukman dan Nyoto.
b. Proses pemberontakan
Situasi politik dalam negeri memanas karena terjadi pemogokan buruh dimana-
mana karena memang diorganisir oleh PKI. Anggota serikat buruh, pemuda dan rakyat
dihasut dan digerakkan untuk menentang pemerintah yang sah. Kekacauan diawali di
kota Solo dimana tentara dan orang-orang bersenjata di bawah kendali FDR terjadi
konflik pada 1316 Sepetember 1948. Salah satu tokoh yang anti FDR, dr Muwardi
diculik dan ditemukan sudah terbunuh sehingga membuat suasana menjadi mencekam.
Untuk itulah kemudian kabinet Hatta mengumumkan negara dalam kondisi bahaya.
Pada 19 September 1848 FDR bersama PKI di bawah pimpinan Musso dan Amir
Syarifuddin mengumumkan berdirinya Negara Republik Soviet Indonesia. Dengan
mengerahkan ribuan anggota satuan TNI yang memihak komunis yang merupakan
korban dari program rasionalisasi kabinet Hatta. Mereka kemudian menduduki Madiun
dan membasmi tokoh-tokoh setempat yang tidak tunduk dan sepaham dengan PKI.

c. Penumpasan Pemberontakan
Pada saat itu Jenderal Sudirman sedang sakit keras sehingga Komando
diserahkan kepada Kolonel AH. Nasution yang menjabat sebagai Panglima
Markas Besar Komando Jawa. Nasution segera menggerakan divisi cadangan
pasukan Siliwangi dan kesatuan yang ada di jawa Timur untuk menumpas
pemberontakan.
Dalam waktu satu hari saja TNI berhasil dapat memukul mundur PKI/ FDR.
Di bawah komando Kolonel Gatot Subroto yang memimpin divisi Siliwangi, pada
30 September 1948 PKI berhasil ditumpas. Kota Madiun dan sekitarnya dapat
dibebaskan dari para pemberontak. Musso akhirnya tertembak mati dalam
pelariannya pada 31 Oktober 1948 di Samandang, Ponorogo Jawa Timur. Amir
Syarifuddin ditangkap dan ditempak mati di Purwodadi pada tanggal 29
Nopember 1948.

2. DI/ TTI (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia)

Pemberontakan DI/TTII merupakan pemberontakan yang bukan ingin merebut


kekuasaan dan mengganti ideologi seperti halnya PKI tetapi pemberontakan yang
berupaya ingin memisahkan diri dari NKRI. Mereka ingin mendirikan sendiri negara
di bawah bendera Negara Islam Indonesia. Penggagasnya adalah Kartosuwiryo
seorang tokoh Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).
Pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya DI/TII di
Jawa Barat, yang kemudian muncul DI/ TII diberbagai daerah di Indonesia.
Daerahdaerah tempat munculnya DI/ TII itu adalah di Jawa Tengah dibawah
pimpinan Amir Fatah, Di Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakar, di Aceh
dipimpin oleh Daud Beureuh, dan di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar. a.
DI/ TII di Jawa Barat
1. Latar belakang pemberontakan
Sebenarnya Kartosuwiryo sudah ada benih-benih mendirikan Negara Islam
pada zaman Jepang. Saat itu dia sudah membentuk pasukan Hisbullah dan
Sabillilah sebagai pusat propaganda untuk mendirikan Negara Islam. Setelah
adanya agresi Belanda I Kartosuwiryo dan pasukannya ikut melawan Kolonial
Belanda tetapi ketika terjadi perjanjian Renville Kartosuwiryo dan pasukannya
menolak ikut hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kartosuwiryo dan
pasukannya yang berjumlah sekitar 400.0000 pasukan tetap tinggal di Jawa Barat.
2. Proses pemberontakan
Setelah terjadi Agresi Belanda II di Yogyakarta yang mengakibatkan Ibukota
jatuh ketangan Kolonial Belanda Kartosuwiryo menganggap bahwa RI sudah
habis. untuk itu dia segera memperkuat tentaranya di Jawa Barat karena
menganggap Jawa Barat masuk dalam wilayahnya. Bahkan ketika pasukan divisi
Siliwangi kembali ke Jawa Barat dari Jawa Tengah terjadi kekuatan fisik diantara
kedua pasukan itu pada tanggal 25 Januari 1949 karena Kartosuwiryo menganggap
pasukan Siliwangi sebagai pasukan liar yang masuk daerah wilayahnya.
3. Penumpasan pemberontakan
Sebelum menggelar operasi militer, sebenarnya pemerintah yang sah sudah
membujuk agar Kartosuwiryo segera sadar akan kekeliruannya melalui M. Nazir
sebagai kepala kabinet. Saat itu M. Nazir menjabat juga sebagai kepala pusat
Masyumi sehingga ada ikatan emosional dengan Kartosuwiryo. Tetapi
Kartosuwiryo bersikukuh mau berunding jika pemerintah RI mengakui keberadaan
Negara Islam Indonesia. Untuk itulah akhirnya pemerintah memberlakukan operasi
militer. Pasukan divisi Siliwangi ditugaskan untuk menumpas Kartosuwiryo.
Dengan strategi perang pagar betis akhirnya DI/ TII Kartosuwiryo dapat didesak.
Pada tanggal 4 Juni 1962 Kartosuwiryo dapat ditangkap di Gunung Geber,
Majalaya, Jawa barat oleh pasukan divisi Siliwangi. Pada 5 September 1962
Kartosuworyo dihukum mati.
b. DI/ TII Jawa Tengah
1. Latar belakang pemberontakan
DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Dia adalah komandan
laskar Hisbullah di Tulangan dan Mojokerto. Mereka kecewa dan tidak sepakat
dengan hasil perjanjian Renville yang harus memaksa laskar-laskar dan tentara
RI untuk hijrah ke Yogyakarta.
2. Proses Pemberontakan
Pada Agustus 1948 Amir Fatah membawa anak buahnya yang terdiri dari 3
kompi pasukan Hisbullah ke Pekalongan yang saat itu sudah ditinggalkan
tentara hijrah ke Yogyakarta. Dia kemudian membentuk pasukan bersenjata
Mujahidin sebagai upaya membentuk kekuatan.
Karena sepaham dengan Kartosuwiryo maka Amir Fatah ditunjuk
Kartosuwiryo memimpin Darul Islam di Jawa Tengah. Pada 23 Agustus 1949
Amir Fatah memproklamasikan berdirinya Negara Islam Jawa Tengah sebagai
Negara Islam pimpinan Kartosuwiryo. Untuk mengawali gerakannya pasukan
Amir Fatah menyerang pos-pos TNI termasuk juga pos TNI di Pekalongan.
3. Penumpasan Pemberontakan
Di bawah komando Letnan Kolonel Sarbini pada tahun 1950 TNI
membentuk Gerakan Banteng Negara (GBN). Operasi ini berhasil memisahkan
DI Jawa Tengah dan DI Jawa Barat sehingga pada 22 Desember 1950 Amir
Fatah dapat ditangkap.
c. DI/ TII Aceh
1. Latar belakang pemberontakan
Pada awal Agustus 1949 Syarifuddin Prawiranegara sebagai wakil perdana
menteri dalam kabinet Hatta ditempatkan di Aceh untuk memimpin perjuangan
apabila perundingan KMB gagal. Tampa persetujuan dan konsultasi dengan
pemerintah pusat Syarifuddin Prawiranegara menjadikan Aceh sebagai provinsi
yang terlepas dari provinsi Sumatera Utara. Saat itu Daud Beureuh diangkat
sebagai gubernurnya.
Ketika tahun 1950 Indonesia menjadi negara yang berdaulad pemerintah
mulai melakukan penyerderhanaan dalam administrasi pemerintahan yaitu
menurunkan status Aceh dari sebuah provinsi menjadi daerah karesidenan di
bawah provinsi Sumatera lagi. Tentu saja langkah pemerintah ini membuat
Daud Baureuh dan pengikutnya kecewa karena kekuasaannya hilang kembali.
2. Proses pemberontakan
Setelah Daud Beureuh tidak menjadi gubernur, kemudian dia menghimpun
kekuatan untuk menentang pemerintah. Agar pemberontakan mendapat
pengakuan dan legitimasi rakyat, dia membuat sentimen agama sebagai basis
perjuangan yaitu mendirikan Negara Islam. Untuk memuluskan jalannya dia
menjalin komunikasi dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh memproklamasikan DI/ TII
di Aceh di bawah kekuasaan Kartosuwiryo. Setelah itu kemudian mereka
menguasai kota-kota di Aceh dan melakukan propaganda kepada rakyat Aceh
agar tidak mendukung pemerintahan sah Republik Indonesia.
3. Penumpasan pemberontakan
Komando Daerah Militer Aceh Letnan Kolonel Syamaun menggunakan
operasi militer dengan cara menerima para pemberontak yang ingin
menghentikan konflik tetapi akan menghancurkan bagi tentara Aceh yang
melakukan perlawanan terhadap RI. Sementara itu banyak pemimpin Aceh yang
bersedia berdamai lagi, tetapi Daud Baureuh menolaknya untuk melakukan
perundingan.
Pada 17 Desember 1962 diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh
yang digagas Pangdam Kolonel Yasin. Secara bertahap DI/ TII di Aceh akhirnya
dapat diselesaikan dan Aceh kembali aman. Sedangkan Daud Beureuh kembali ke
masyarakat sehingga keamanan Aceh sepenuhnya aman kembali.
d. DI/ TII Sulawesi Selatan
1. Latar Belakang pemberontakan
Pada masa perang kemerdekaan banyak laskar-laskar dari Sulawesi
Selatan yang ikut bertempur menghadapi tentara Kolonial Belanda. Setelah RI
menerima kedaulatan penuh, perang tidak terjadi lagi. Para laskar-laskar
kemudian bergabung membentuk kesatuan yang bernama Gerilya Sulawesi
Selatan (GSS). Para laskar itu meminta agar GSS semuanya dijadikan
TNI atau APRIS dibawah satu divisi yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar
sebagai panglimanya. Tuntutan itu kemudian ditolak oleh pemerintah pusat
karena GSS anggotanya banyak yang tidak memenuhi syarat sebagai tentara
profesional. Pemerintah memberi solusi bagi yang memenuhi syarat yang
masuk TNI, sedangkan yang tidak akan dimasukkan sebagai tentara
cadangan. keputusan pemerintah itu kemudian membuat Kahar Muzakkar dan
laskarnya menjadi kecewa terhadap pemerintah.
2. Proses pemberontakan
Pada 16 Agustus 1951 karena tuntutan Kahar Muzakkar tidak dipenuhi
pemerintah maka dia mengajak anak buahnya masuk hutan dengan membawa
senjata. Selanjutnya dua tahun berikutnya pada 7 Agustus 1953 dia
memperoklamasikan bahwa daerah Sulawesi Selatan bagian dari wilayah
Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo dan pasukannya berganti nama menjadi
Tentara Islam Indonesia (TII).
3. Penumpasan pemberontakan
Setelah proklamasi itu kemudian pemerintah melakukan operasi militer di
Sulawesi Selatan. Kahar Muzakkar sulit ditangkap karena bersembunyi di
hutanhutan dan gunung-gunung. Baru pada tanggal 3 Februari 1965 Kahar
Muzakkar dapat ditembak dalam sebuah operasi militer yang dilancarkan
TNI.

3. APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)

1. Latar belakang pemberontakan


Pemberontakan APRA ini sebenarnya pemberontakan yang dilakukan bekas
tentara KNIL yang dikomandoi oleh Raymond Westerling. Tujuannya
mempertahankan berdirinya negara Pasundan dan APRA sebagai pasukan yang resmi.
Teror ini dilakukan karena menjelang 1950 keinginan anggota RIS untuk
kembali ke bentuk NKRI semakin menguat. Hal itu dibuktikan satu persatu negara-
negara bagian bergabung kembali ke NKRI. Tentu saja ini dianggap sebagai suatu
ancaman bagi Kolonial Belanda karena menginginkan Indonesia terpecah belah
melalui negara bagianbagian yang tergabung dalam RIS. Menggunakan kata Ratu
Adil agar mendapat simpati dari rakyat karena bagi masyarakat kata Ratu Adil artinya
akan membawa pencerahan ke masa depan.
2. Proses pemebrontakan
Pada 23 Januari 1950 Westerling menggerakkan pasukan APRA yang sebagian
besar dari KNIL berkekuatan 500 pasukan untuk menyerang kota Bandung. Setiap
orang yang ada di jalan baik itu rakyat maupun TNI ditembaki dengan membabi buta.
Mereka menyerang markas devisi Siliwangi dan menembaki semua prajurit yang ada.
Ada 79 pasukan APRIS dari divisi Siliwangi yang gugur selebihnya hanya 3 yang
selamat. Selain di Bandung APRA merencanakan serangan di Jakarta. Gerakan
APRA di
Jakarta akan dibantu Sultan Hamid II yang akan dilaksaakan pada tangga 24 Januari
1950. Tujuannya menyerang gedung tempat kabinet bersidang. Rencana mereka juga
akan membunuh menteri kabinet seperti menteri pertahanan Sultan Hamengku
Buwono IX. Akhirnya rencana mereka gagal karena tercium aparat intelegen.
3. Penumpasan pemberontakan
Upaya perundingan untuk menghentikan operasi militer APRA gagal sehingga
didakan operasi militer untuk menumpas APRA. Tentara APRIS (Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat) mendapat dukungan penduduk Bandung sehingga dapat
dengan cepat mengusir APRA dari Bandung. Selanjutnya operasi militer dilanjutkan
di Jakarta sehingga pada tanggal 4 April 1950 Sultan Hamid II dapat ditangkap.
Raimond Westeling dapat melarikan diri menggunakan pesawat Catalina ke luar
negeri pada 2 Februari 1950.

4. Pemberontakan Andi Aziz

1. Latar belakang pemberontakan


Pemberontakan Andi Aziz berlangsung di Makassar yang dipimpin oleh Andi
Aziz. Dia merupakan mantan perwira KNIL yang tergabung dalam APRIS. Dia
juga mantan ajudan presiden Negara Indonesia Timur (NIT).
Pada tahun 1950 kondisi di Makassar memang tidak kondusif karena banyak
rakyat yang menginginkan kembali menuju NKRI. Mereka sering melakukan
demonstrasi kepada negara federal agar kembali kepangkuan RI. Keadaan
semakin parah karena masyarakat yang setuju negara federal juga melakukan
demonstrasi.
Ditengah situasi yang kacau, terseber isu bahwa APRIS akan mendatangkan
pasukan sebesar 900 orang ke Makassar untuk mengamankan keadaan. Pasukan
ini segera akan berlabuh di pelabuhan Makassar. Tentu saja berita ini sangat
mengkhawatirkan eksistensi mantas pasukan KNIL yang ada di Makassar. Mereka
kemudian bergabung dengan Kapten Andi Aziz dengan menamakan pasukan
bebas.
2. Proses pemberontakan
Pada 5 April 1950 pasukan Andi Azizz yang dibantu pasukan KNIL
menyerang markas APRIS di Makassar. Mereka berhasil menguasai markas
APRIS dan juga kota Makassar.
3. Jalannya penumpasan
Pada 8 April 1950 pemerintah pusat mengultimatum agar pasukan Andi Aziz
menyerah dan mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam waktu 2 x 24 jam.
Akhirnya Andi Aizi bersedia datang ke Jakarta pada 15 April 1950 setelah
didesak oleh presdien NIT, Sukawati. Setelah sampai di Jakarta dia ditangkap dan
diadili sebagai pemberontak. Semetara itu pasukan sisa-sisa Andi Aziz diserang
oleh TNI sebagai upaya penumpasan.
5. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

1. Latar belakang pemberontakan


Pemberontakan RMS dipimpin oleh Dr. Christian Robert Steven Soumokil,
mantana Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT). Pemberontakan ini
menolak bergabung dengan NKRI dan membentuk negara sendiri yang lepas dari
NKRI. Pemberontakan ini juga dimotori para mantan KNIL yang dilatarbelakangi
statusnya yaanag terancam setelah hasil KMB (Konferensi Meja Bundar). Rakyat
dihasut agar tidak kembali ke NKRI dan menolak kedatangan tentara APRIS/ TNI
dari Jawa dan Maluku.
2. Proses pemberontakan
Pada 25 April 1950 Soumokil memproklamasikan berdirinya RMS dan
menetapkan Kota Ambon sebagai ibukota RMS. Proklamasi itu ternyata mendapat
sambutan hangat dari orang-orang Maluku yang pro-Belanda dan para mantan
anggota KNIL yang sudah terkena hasutan. Rakyat yang menolak ajakan mereka
dan mendukung NKRI ditangkap dan dipenjarakan.
3. Penumpasan pemberontakan
Awalnya pemerintah meminta dengan jalan damai dengan mengirimkan dr.
Leimena untuk menghentikan langkah Soumokil. Upaya pemerintah itu ditolak
oleh Soumokil bahkan dia meminta perhatian dunia internasional dengan
Amerika, Belanda dan komisi PBB di Indonesia.
Akhirnya pemerintah melakukan operasi militer dengan komando Kolonel
Kawilarang yang menjabat sebagai panglima tentara dari teritorium Indonesia
Timur. Pada 14 Juli 1950 Kolonel Kawilarang menumpas gerakan separatis
tersebut. Pada pertempuran itu Letkol Slamet Riyadi gugur tetapi pada 28
September 1950 pasukan APRIS dapat menguasai kembali Kota Ambon. Banyak
tokoh RMS melarikan diri ke pulau Seram dan selama beberapa tahun kelompok
ini melakukan teror.

D. Disintegrasi Pada Masa Demokrasi Liberal

Pemberontakan PRRI/ Permesta


a. Latar belakang pemberontakan
Pemberontakan ini terjadi pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II.
Pergolakan yang muncul di Sumatera dan Sulawesi ini dipicu oleh
ketidakpuasan terhadap alokasi dana pembangunan yang diterima dari
pemerintah pusat. Ketidak puasan ini memunculkan rasa ketidakpercayaan
terhadap pemerintah. Selain itu mereka susah menyampaikan aspirasinya
melalui parlemen dalam mengubah kebijakan. Akhirnya mereka menempuh
jalan non parlemen dengan membentuk dewan-dewan di daerah. Misalnya
Sumatera Tengah dibentuk Dewan Banteng, di Sumatera Utara dibentuk
Dewan Gajah dan di Sumatera Selatan dibentuk Dewan Garuda.
Pada 21-24 November 1956 Dewan Banteng melakukan pertemuan
dan menghasilkan beberapa kesepakatan di Padang. Hasil kesepakatan itu
kemudian disampaikan kepada perdana menteri Ali Sastroamidjojo dengan
mengirimkan delegasi Dewan Banteng. Sementara itu Dewan Banteng
mengambil keputusan sendiri dengan mengambil alih kekuasaan di Sumatera
Tengah di bawah gubernur resmi Ruslan Muljoharjo. Tentu saja langkah itu
mengakibatkan ketegangan antara pemerintah pusat dengan Dewan Banteng.
Semenatara itu Dewan Gajah di Medan juga menguasai instansi-
instansi resmi pemerintah seperti RRI Medan yang digunakan untuk
propaganda kegiatan dewan kepada masyarakat. Akhirnya kegiatan Dewan
Gajah berahir setelah pimpinan mundur dan pindah dari Medan dengan diikuti
anak buahnya.
Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin Letnan Kolonel
Barlian mengambil alih kekuasaan dari gubernur Sumatera Selatan yang
dijabat Winarno Danuatmojo.
Untuk menghadapi pergolakan daerah tersebut pemerintah pusat
meminta diselesaikan dengan perdamaian tetapi sebelum langkah perundingan
dilaksanakan ada percobaan untuk membunuh Presiden Sukarno yang dikenal
dengan peristiwa Cikini pada 30 November 1957. Sukarno saat itu akan
mengujungi ulang tahun perguruan tempat putra-putinya sekolah. Dalam
peristiwa itu Sukarno selamat tetapi banyak anak sekolah yang menjadi
korban akibat lemparan granat.
Setelah peristiwa Cikini 1957 pergolakan daerah semakin meningkat
dan menunjukkan upaya untuk melepaskan diri dari NKRI. Selain di Sumatera
terjadi pergolakan yang serupa di Makassar dengan terbentuknya Dewan
Lambung Mangkurat dan di Manado ada Dewan Manguni.
b. Proses pemberontakan
Banyaknya pemberontakan yang terjadi ternyata melemahkan kabinet
Ali Sastroamidjojo II yang akhirnya menyerahkan mandat kekuasaan
pemerintahan kepada presiden. Keadaan yang semakin tidak menentu itu
kemudian Sukarno menyatakan bahwa negara dalam keadaan bahaya. Sukarno
kemudian mengajak partai politik untuk membentuk pemerintahan yang baru.
Sukarno menunjuk Ir. Juanda untuk menjadi perdana menteri dalam kabinet
karya.
Sementara itu pimpinan Dewan Manguni di Manado yang bernama
Letnan Kolonel Ventje Sumual memproklamirkan berdirinya Perjuangan
Rakyat Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957. Pendirian organisasi yang
akan memisahkan diri dari NKRI itu ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat
Indonesia Timur. Tidak beberapa lama di Sumatera diproklamasikan juga
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) oleh Kolonel Ahmad
Husain yang merupakan pimpinan Dewan Banteng pada 15 Februari 1958.
Pada tanggal 10 Februari 1958 Kolonel Ahmad Husain berpidato
kepada masyarakat dengan mengultimatum pemerintah yang isinya 1).
Kabinet Juanda harus menyerahkan mandatnya kepada presiden dalam waktu
5 x 24 jam atau presiden yang mencabut mandat tersebut. 2). Presiden
menugaskan Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX untuk membentuk
kabinet nasional.
Mendapat ancaman tersebut pemerintah langsung mengambil langkah
tegas yaitu memecat dengan tidak hormat semua pimpinan gerakan separatis
tersebut. Sedangkan Mayor Jenderal AH. Nasution selaku KSAD
membekukan komando daerah militer Sumatera serta mengambil alih garis
komando secara langsung.
c. Penumpasan pemberontakan
Untuk menumpas pemberontakan itu pemerintah melakukan operasi militer
dengan melibatkan dari berbagai kesatuan laut darat dan udara. Pasukan
gabungan yang diberi nama Operasi 17 Agustus itu dipimpin oleh Kolonel
Ahmad Yani.
Tujuan operasi adalah menumpas segala bentuk gerakan separatis dan
mencegah campur tangan kekuatan asing yang sering kali berdalih melindungi
bisnis warga negaranya di Pekanbaru. Akhirnya tokoh-tokoh PRRI termasuk
Ahmad Husain menyerahkan diri setelah terdesak oleh operasi militer.
Sementara itu untuk menumpas gerakan Permesta
pemerintah
melancarkan operasi militer yang diberi nama Operasi Merdeka pada bulan
April 1958 di bawah komando Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Saat
operasi dilaksanakan TNI menemukan bukti adanya keterlibatan pihak asing
dalam gerakan tersebut yaitu salah satu pesawat asing ditembak jatuh oleh
pasukan TNI di perairan Ambon. Pesawat itu milik Amerika Serikat dan
pilotnya AL. Pope yang juga diyakini sebagai agen CIA.
Satu persatu TNI berhasil merebut daerah yang dikuasai Permesta dan pada
pertengahan tahun 1961 para pemimpin gerakan ini menyerah kepada
pemerintah NKRI.

E. Disintegrasi Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Pemberontakan G30S/ PKI


Demokrasi terpimpin diperkenalkan oleh Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Dengan pesetujuan kabinet Juanda maka UUD 1945 diberlakukan kembali
untuk mencegah terjadinya kekacauan politik seperti yang sudah-sudah. Dengan
tampilnya Sukarno kembali sebagai kepala negara diharapkan negara dalam
keadaan kondusif tetapi pada kenyataannya negara ini tetap diuji oleh
pemberontakan bahkan kali ini pemberontakannya lebih dahsyat yaitu G30 S/PKI.
a. Latar belakang pemberontakan
Pada pemilu 1955 PKI ternyata keluar sebagai pemenang bersama dengan
PNI, NU dan Masyumi. Untuk itulah PKI mulai diperhitungkan dalam
perpolitikan nasional pada saat itu. Pada saat itu memang ada 3 kekuatan besar
yaitu PKI yang beravialiasi komunis, Masyumi yang beraviliasi agama dan
TNI sebagai alat negara. Ketiganya mempunyai kekuatan yang besar dalam
percaturan politik nasional.
Untuk memenangkan persaingan dengan TNI PKI menyebarkan isu Dewan
Jenderal. Dewan yang dimaksud adalah perwira-perwira Angkatan Darat yang
akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Sukarno pada 5
Oktober 1965. Isu itu sengaja dihembuskan PKI agar Angkatan tersudut
karena selama ini semua program-program PKI seperti usulan dibentuknya
angkatan ke lima dimentahkan oleh Angkatan Darat.
b. Proses pemberontakan
PKI melancarkan aksi kudetanya pada 1 Oktober 1965 di bawah pimpinan
Letnan Kolonel Untung. Sasaran dari gerakan itu adalah perwiraperwira
Angkatan Darat yang dianggap sebagai penghalang bagi PKI dalam mencapai
tujuannya. Upaya penculikan dan pembunuhan terhadap perwira itu berjalan
sesuai rencana hanya saja satu perwira yang berhasil lolos yaitu Jenderal AH
Nasution. Walaupun AH. Nasution lolos tetapi Ade Irma Suryani putrinya
gugur bersama dengan ajudannya Pierre Tendean.
PKI melancarkan serangan tidak hanya di Jakarta tetapi juga di Yogyakarta.
Perwira yang menjadi korban adalah Komandan Korem 072 Kolonel Katamso
dan kepala staf Korem 072 Letnan Kolonel Sugiyono.
Setelah berhasil menculik sasarannya kemudian pada tanggal 1 Oktober PKI
menguasai RRI dan kantor negara telekomunikasi di Jakarta. PKI menyiarkan
berita mengenai G30S/ PKI yang telah berhasil menangkap perwiraperwira
Angkatan Darat anggota Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta
terhadap pemerintahan yang sah.
c. Penumpasan pemberontakan
Di bawah komando Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto operasi
penumpasan dilakukan dengan cepat. Adapun dilakukan langkah-langkah:
1. Pada 1 Oktober 1965 pasukan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo
Edhie Wibowo berhasil merebut kembali studio RRI dan Kantor Negara
Telekomunikasi di Jakarta.
2. Pada 3 Oktober 1965 pasukan RPKAD menemukan sumur yang menjadi
lokasi pembuangan jenazah perwira AD yang diculik atas bantuan seorang
perwira polisi Sukitman. Sukitman ikut diculik karena memergoki para
pelaku saat sedang melakukan penculikan kepada Mayor Jenderal DI.
Panjaitan. Sukitman tidak terbunuh karena berhasil lolos dari Lubang
Buaya.
3. Pada 4 Oktober 1965 Panglima Kostrad Mayor Jenderal Suharto
memerintahkan untuk melakukan penggalian dan pengangkatan jenazah
kepada para perwira AD untuk selanjutnya disemayamkan dahulu di
markas besar Angkatan Darat, Jakarta.
4. Pada 5 Oktober 1965 jenazah para perwira Angkatan Darat dimakamkan
ditaman Makam pahlawan Kalibata
5. Operasi penumpasan G30S/PKI terus dilanjutkan dengan menangkap
tokohtokoh PKI dan membekukan semua kegiatan PKI dan ormas-
ormasnya. Pada 9 Oktober 1965 Kolonel Latief berhasil ditangkap di
Jakarta dan pada 11 Oktober 1965 Letnan Kolonel Untung berhasil
ditangkap di Tegal Jawa Tengah.
Peristiwa G30S/PKI menyisakan kepiluan bagi bangsa Indonesia. Rakyat
serentak menyatakan sikap agar PKI dibubarkan. Pada tanggal 12 Januari
1966 Front Pancasila mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPR-GR) dan mengajuka 3 Tuntutan Rakyat (Tritura) yang berisi:
1. Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya
2. Bersihkan kabinet dan unsur-unsur PKI
3. Turunnya harga
Pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno menandatangani Surat Perintah 11
Maret 1966 (Supersemar). Sebagai pemegang Supersemar Jenderal Suharto
bekerja dengan cepat yaitu:
1. Pada 12 Maret 1966 Jenderal Suharto mengumumkan bahwa PKI dan
ormasormasnya dibubarkan dan dilarang di wilayah seluruh Indonesia.
2. Pada 18 Maret 1966 dilakukan penangkapan terhadap 15 menteri yang
terlibat dalam G30S/ PKI.
3. Jenderal Suharto segera membentuk kabinet Ampera pada 28 Juli 1966
untuk mengganti kabinet 100 menteri.
Peristiwa G30S/ PKI membuat kekuasaan Presiden Sukarno jatuh. Pada
10 Januari 1967 Presiden Sukarno membacakan pidato pertanggungjawaban
berjudul “Nawaksara” dan “Pelengkap Nawaksara” dalam sidang umum
MPRS. Namun pidato tersebut ditolak karena dianggap tidak menjelaskan
kebijakannya terhadap peristiwa G30S/ PKI.
Pada 23 Februari 1967 Presiden Sukarno sebagai Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia meyerahkan kekuasaan
pemerintahan kepada Jenderal Suharto pemegang ketetapan MPRS NO.
IX/MPRS/1966. Dengan demikian berakhir semua kekuasaan Presiden
Sukarno. Peristiwa ini sekaligus manandai berakhirnya demokrasi terpimpin
dan lahirnya orde baru.

F. Tokoh-tokoh Pejuang Mempertahankan Integrasi Bangsa

Upaya-upaya memecah belah bangsa dengan hadirnya banyak pemberontakan


sebenarnya sangat mengancam keutuhan NKRI. Pemberontakan-pemberotakan itu
akhirnya dapat diredam dan ditumpas. Keberhasilan penumpasan dan pencegahan
disintegrasi ini tidak lepas dari peran para tokoh bangsa yang berjuang untuk
mempertahankan integrasi bangsa. berikut tokoh-tokoh pejuang integrasi bangsa:
1. Sukarno
Presiden pertama Republik Indonesia tidak diragukan lagi perannya dalam
mempertahankan keutuhan bangsa. Peran yang sangat fenomenal adalah ketika
Sukarno memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sehingga bangsa ini kembali
ke UUD 1945. Dengan demikian bangsa ini tidak terpecah-pecah dalam
kepentingan politik dan ideologi. Selama hidupnya Sukarno berpimpi agar
Indonesia bersatu di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga tidak
mengherankan bahwa orang yang berpaham nasionalis ini mengerahkan segala
upaya apabila bangsa Indonesia terancam disintegrasi.
2. Mohammad Hatta
Hatta berjuang untuk Indonesia merdeka sejak menjadi mahasiswa. Dalam
peristiwa disekitar proklamasi Hatta juga ikut dibawa pemuda ke Rengasdengklok
bersama Sukarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Hatta dikenal
sebagai pemimpin yang tenang, bijaksana dan hati-hati dalam setiap pengambilan
keputusan. Hatta juga dikenal sebagai bapak koperasi Indonesia karena segala
pemikiran tentang perekonomian rakyat dituangkan dalam pasal 33 UUD 1945.
Tidak itu saja Hatta juga dikenal sebagai bapak peletak dasar politik luar negeri
yang bebas aktif tidak condong ke blok manapun.
3. Abdul Haris Nasution
Nasution merupakan tentara yang profesional. Dia salah satu tokoh pejuang
integrasi. Hal ini terlihat ketika terjadi pemberontakan PKI Madiun 1948. Dengan
bergerak cepat di bawah komandonya selaku Panglima Komando Jawa dapat
menumpas pemberotakan hanya butuh waktu satu hari untuk penumpasan.
Nasution juga berjasa dalam penumpasan pemberontakan PRRI dan Permesta
yang ingin menggoyang kewibawaan NKRI.
4. Ahmad Yani
Yani tergabung dalam Peta dalam memulai kiriernya sebagai tentara. Yani sangat
berjasa dalam penumpasan pemberontakan DI/ TII di Jawa Tengah. Keberhasilan itu
ikut mengangkat namanya menjadi perwira tinggi yang diperhitungkan untuk
mempertahankan bangsa dari berbagai ancaman dan gangguan untuk keutuhan NKRI.
5. Sultan Hamengku Buwono IX
Sultan Hamengku Buwono IX tidak diragukan lagi perannya dalam
mempertahankan keutuhan NKRI. Disaat Jakarta kacau balau sejak kedatangan
tentara Belanda dan NICA pada 4 Januari 1946 Sultan menawarkan agar ibukota
pindah ke Yogyakarta sebagai upaya agar para pemimpin bangsa dan bangsa
selamat dari rongrongan kolonial yang ingin menjajah kembali. Selama revolusi
fisik antara 1946-1950 Sultan dan para pemimpin bangsa seperti Sukarno, Hatta,
Syahrir dll di Yogyakarta berjung bahu membahu agar Indonesia tetap berdiri
kokoh tidak tergoyahkan walaupun terus digempur tentara Belanda.
Dalam Serangan 1 Maret 1949 Sultan juga sangat berperan penting sehingga
peristiwa itu dapat menyadarkan dunia Internasional bahwa Indonesia masih ada
karena selama ini digembar-gemborkan Belanda bahwa Indonesia sudah terhapus
karena pemimpinnya sudah ditangkap dan diasingkan. Perannya sebagai menteri
pertahanan ikut memelihara keutuhan bangsa baik memperhankan NKRI dari
penjajahan Belanda maupun keutuhan NKRI dari setiap
pemberontakanpemberotakan yang pernah terjadi di tanah air.

G. Perkembangan Politik Pada Masa Awal Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, tanggal 18 Agustus


1945 melalui sidan PPKI Sukarno dan Hatta ditetapkan sebagai presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia. Dalam revolusi fisik antara 1946-1950 itu tantangan
politik dan ekonomi masih terasa sangat berat bangi bangsa Indonesia. Di satu sisi
kedatangan tentara sekutu dan NICA yang masih ingin menguasai kembali Indonesia
dengan serangan agresi Belanda I dan II serta perundingan-perundingan yang hasilnya
menguntungkan pihak Belanda.
Disisi lain hasil-hasil perundingan itu ternyata tidak memuaskan semua pihak
terutama para tokoh-tokoh bangsa Indonesia sehingga timbul rasa tidak puas yang
akhirnya memunculkan rasa tidak percaya dan berujung pada
pemberontakanpemberontakan di daerah-daerah. Dengan demikian pemerintahan
harus bekerja keras untuk menghadapi bangsa asing dan menghadapi bangsa sendiri
yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Untuk menjaga agar pemerintahan berjalan dengan baik Sukarno membentuk kabinet
yang pertama yang dinamakan kabinet presidensial. Kabinet ini diketuai oleh Presiden
Sukarno dengan masa jabatan 4 September sampai dengan 14 Nopember 1945.
Kabinet pertama tidak berlangsung lama. Pada 14 November 1945 dibentuk kabinet
Republik Indonesia yang kedua dengan Sutan Syahrir sebagai perdana menterinya.
Selama ibukota RI dan para pemimpin bangsa pindah ke Yogyakarta sejak 4 Januari
1946 Sutan Syahrir tetap di Jakarta untuk mempermudah hubungan dengan dunia
Internasional.
Sutan Syahrir akhirnya menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri karena
perundingan yang dijalankan dengan Belanda tidak mendapat dukungan dari semua
pihak. Ketika pembentukan kabinet yang ketiga Sukarno kembali membujuk Syahrir
agar menjadi perdana menteri. Akhirnya Syahrir menyanggupinya sehingga disebut
kabinet Syahrir II. Kabinet ini berakhir pada 2 Oktober 1946.
Selanjutnya dibentuk kabinet keempat yaitu Kabinet Syahrir III yang berlangsung 2
Oktober 1946 sampai dengan 3 Juli 1947. Pada tanggal yang sama presiden
mengeluarkan maklumat Nomor 6/1947 yang isinya menetapkan kekuasaan
sepenuhnya berada ditangan presiden. Melalui maklumat tersebut akhirnya kabinet
Syahrir III masuk masa demesioner.
Pada 3 Juli 1947 dibentuk kabinet yang kelima yang berlangsung 3 Juli 1947 sampai
dengan 11 Nopember 1947 dengan Amir Syarifuddin sebagai perdana menterinya.
Program kabinet ini sebenarnya melanjutkan program kabinet sebelumnya. Pada 11
Nopember 1947 dibentuk kabinet yang keenam dengan Amir Syarifuddin tetap
sebagai perdana menterinya. Akhirnya kabinet dinyatakan demesioner setelah pada 29
Januari 1948 mundurnya 5 orang menteri dari Masyumi.
Pada 29 Januari 1948 dibentuk kabinet ketujuh dengan Moh. Hatta sebagai perdana
menterinya. Kabinet ini akhirnya berakhir pada 4 Agustus 1948. Memang kondisi
politik pada saat itu masih dalam konflik antara Indonesia dengan Belanda dan
berbagai pemberontakan di tanah air.
Ketika terjadi Agresi militer Belanda II di Yogyakarta dan para pemimpin ditangkap
dan diasingkam dibentuk Pemeritahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang
berkedudukan di Bukittinggi. Maka dibentuklah kabinet PDRI berdasar intruksi
presiden kepada Syarifuddin Prawiranegara yang dikirim dari Yogyakarta sesaat
sebelum tentara menawan para pemimpin. Kabinet PDRI ini dipimpin oleh
Syarifuddin Parwiranegara dan berakhir pada 13 Juli 1949.
Pada 13 Juli 1949 dibentuk kabinet yang kedelapan dengan Hatta sebagai perdana
menterinya. Program kabinet ini menyesuikan dengan situasi dan kondisi pada saat itu
yang baru menghadapi agresifitas Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.
Pada 20 Desember 1949 sampai dengan 21 Januari 1950 dibentuk kabinet ke
sembilan yang dipimpin oleh Mr. Susanto Tirtiprojo. Dia adalah seorang kepala
kabinet yang berperan penting dalam trasisi RI ke RIS. Kabinet ini bekerja di bawah
perdana menteri Moh. Hatta.
Ketika Indonesia menjadi bagian dari RIS dibentuk kabinet yang kesepuluh di bawah
kepemimpinan dr. A. Halim. Kabinet ini bertugas 21 Januari sampai dengan 6
September 1950. Akhirnya usia kabinet ini berakhir seiring dengan kembalinya
negara kesatuan Republik Indonesia pada bulan September 1950.

H. Perkembangan Politik dan ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal

Hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah salah satunya


terbentuknya negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Sebenarnya Belanda
membetuk negara federal ini bertujuan untuk melemahkan integrasi bangsa sebagai
negara kesatuan.
Seiring berjalan waktu ternyata banyak negara-negara bagian yang ingin
mengabungkan diri menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada 15 Agistus 1950 perdana menteri kabinet RIS, Moh. Hatta menyerahkan
mandatnya sebagai perdana menteri kepada Presiden Sukarno dan pada 17 Agustus
1950 dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Setelah berakhirnya
pemerintahan RIS pada 1950 sebenarnya Indonesia masih menggunakan model
pemerintahan demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh seorang
perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen. Saat itu presiden hanya
berkedudukan sebagai kepala negara.
Pada kurun waktu pemerintahan antara tahun 1950 sampai dengan 1959 memang
sering terjadi pergantian kabinet. Kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana
menteri itu sering jatuh bangun karena adanya mosi tidak percaya dari para oposisi
politiknya.
Adapun kabinet yang pernah memerintah pada masa demokrasi liberal sebagai
berikut:
1. Kabinet Natsir (Masyumi) memerintah 6 September 1950 sd. 21 Maret 1951.
2. Kabinet Sukiman (Masyumi) memerintah 27 April 1951 sd. 3 April 1952.
3. Kabinet Wilopo (PNI) memerintah 3 April 1952 sd. 3 Juni 1953.
4. Kabinet Ali Sastraamidjojo I (koalisi PNI dan NU) memerintah 31 Juli 1953
sd. 12 Agustus 1955.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) memerintah 12 Agustus 1955 sd. 3
Maret 1956.
6. Kabinet Ali Sastraamidjojo II (koalisi PNI,Masyumi, NU) memerintah 20
Maret 1956 sd. 4 Maret 1957.
7. Kabinet Juanda (non politik) memerintah 9 April 1957 sd. 5 Juli 1959.
Tentu saja jatuh bangunnya kabinet-kabinet ini sangat tidak memberi
kenyamanan kepada perdana menteri yang memerintah. Jatuh bangunnya kabinet
ini karena adanya rasa mosi tidak percaya akibat pemerintahan dianggap gagal
dalam menangani berbagai peristiwa yang terjadi. Contoh misalnya jatuhnya
kabinet Wilopo yang harus mengakhiri pemerintahannya karena dianggap gagal
dalam menyelesaikan kasus 17 Oktober 1952.
Padahal kasus itu disebabkan oleh ulah beberapa perwira Angkatan Darat yang
melakukan protes dan meminta kepada presiden Sukarno agar parlemen
dibubarkan karena dianggap mencampuri kegiatan intren AD dan ada indikasi
korupsi di tubuh parlemen. Tentu saja Sukarno menolak membubarkan parlemen
sesuai tuntutan perwira Angkatan Darat karena jika itu dilakukan berarti presiden
melakukan tindakan otoriter. Kasus itu semakin runcing setelah Sukarno
menonaktifkan Nasution sebagai KSAD diganti oleh Kolonel Bambang Sugeng
karena dianggap bersalah melakukan kudeta kecil terhadap Presiden Sukarno.
Akhirnya Nasution setelah beberapa tahun tidak aktif diberi jabatan lagi di dinas
ketentaraan sehingga lambat laun kasus penyidikan kudeta kecil itu dihentikan.
Demokrasi terpimpin adalah sistem demokrasi yang semua keputusan dan
pemikiran terpusat pada pemimpin yakni Presiden Sukarno. Masa demokrasi
terpimpin berlangsung mulai 1959 sampai dengan 1965 saat kekuasaan Sukarno
tumbang ditangan Orde Baru.
Perkembangan ekonomi pada masa demokrasi liberal sungguh lambat karena
berbagai permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang muncul tidak lepas dari
beberapa hal yaitu:
1. Setelah pengakuan kedaulatan, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi
dan keuangan yang ckup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi
Meja Bundar diantaranya bangsa Indonesia harus menutup kerugian perang
dari pihak Belanda selama perang revolusi fisik.
2. Ketidakstabilan politik akibat jatuh bagunnya kabinet menyedot banyak
anggaran disamping untuk mengatasi biaya anggaran operasional dalam
penumpasan pemberontakan di daerah-daerah.
3. Ekspor hanya tergantung kepada perkebunan sedangkan angka pertambahan
penduduk semakin tajam.

I. Perkembangan Politik dan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Landasan adanya demokrasi terpimpin ditafsirkan dari sila ke-empat Pancasila.


Menurut ketetapan MPRS demokrasi terpimpin adalah demokrasi kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang
berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan
nasional yang progresif-revolusioner dengan berposros pada nasionalisme, agama dan
komunis (Nasakom) sebagai kekuatan nasional.
Ada tiga hal yang melatarbelakangi Presiden Sukarno menerapkan demokrasi
terpimpin yaitu:
1. Dari sudut pandang politik, Konstituante dianggap gagal dalam menyusun UU
baru untuk menggantikan UUD Sementara 1950.
2. Dari sudut pandang keamanan nasional, pada masa demokrasi liberal banyak
terjadi gerakan sparatis di berbagai daerah yang mengancam integrasi bangsa dan
ketidakstabilan keamanan negara.
3. Dari sudut pandang perekonomian nasional, sering terjadinya pergantian kabinet
menyebabkan program-program yang telah dirancang kabinet tidak bisa
dijalankan secara maksimal. Akibatnya pembangunan ekonomi tidak lancar.
Berdasar dari tiga hal tersebut maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno
membubarkan parlemen sekaligus menyatakan kembali pada UUD 1945. Sukarno
kemudian membentuk kabinet kerja dengan dirinya bertindak sebagai perdana
menteri. Kabinet ini kemudian dilantik pda 10 Juli 1959 dengan program kerjanya tri
program kabinet kerja. Tugas kabinet ini adalah mengatasi masalah sandang, pangan
serta meningkatkan keamanan di dalam negeri dan mengembalikan beberapa wilayah
negara ke pangkuan NKRI misalnya Irian Barat.
Dalam demokrasi terpimpin itu, Presiden Sukarno menerapkan sistem politik
keseimbangan. Hal ini diterapkan di lingkungan partai-partai politik dan pertahanan
negara. Presiden juga mengambil langsung pimpinan tertinggi angkatan militer
dengan membentuk komando operasi tertinggi (Koti).
Perkembangan politik pada masa demokrasi terpimpin seluruhnya terpusat pada
presiden Sukarno dengan TNI Angkatan Darat dan PKI sebagai pendukung utamanya.
Untuk itulah PKI saat itu berkembang sangat pesat karena sebagai pendukung utama
Presiden Sukarno. Perkembangan pesat PKI ini tentu saja tidak disukai Angkatan
Darat karena akan memperkecil pengaruhnya terhadap Presiden Sukarno sehingga
antara AD dengan PKI sering bertolak belakang dalam pengambilan kebijakan.
Pada masa itu Sukarno menandaskan pentingnya konsep persatuan antara nasionalis,
agama dan komunis yang disingkat menjadi Nasakom. Tentu saja dampak dari konsep
ini sangat menguntungkan PKI karena partai ini ikut berbicara banyak dalam setiap
pengambilan keputusan presiden yang tentu saja diharapkan meguntungkan partai itu.
Meski banyak menuai protes, Presiden Sukarno semakin mempertegas konsep
Nasakom. Hal ini disampaikan dalam pidato pada 17 Agustus 1959 yang berjudul
“Penemuan kembali revolusi kita”. Naskah pidato itu kemudian diserahkan kepada
panitia kerja Dewan Pertimbangan Agung yang ketika itu dipimpin oleh DN. Aidit,
seorang pimpinan PKI. Naskah itu kemudian dirumuskan menjadi Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) serta selanjutnya diberi judul “Manifesto Politik Republik
Indonesia” yang kemudian dikenal sebagai Manipol.
Pengaruh PKI semakin kuat dalam demokrasi terpimpin. Hal ini terihat dari
kebijakan luar negeri Presiden Sukarno yang cenderug memihak pada Tiongkok atau
blok Komunis sehingga konsep negara non-blok mulai ditinggalkan. Keadaan ini terus
berlangsung sehingga menimbulkan peristiwa yang menggemparkan tanah air yaitu
terjadinya peristiwa G30 S/ PKI yang akhirnya menjatuhkan Sukarno dari
kekuasaannya dan digantikan oleh Orde Baru.
Pada masa demokrasi terpimpin perekonomian diatur langsung oleh pemerintah.
Kegiatan perekonomian yang diatur itu banyak mengabaikan prinsip ekonomi.
Akibatnya terjadi defisit keuangan negara yang meningkat tajam dari tahun ketahun.
Contohnya pada Januari sampai dengan Agustus 1965 pengeluaran negara tercatat
sebesar 11 miliar rupiah, sedangkan penerimaan negara sebesar 3,5 miliar rupiah.
Bahkan pada tahun 1961 sampai 1962 harga-harga barang pada umumnya mengalami
kenaikan hingga 400%. Kondisi ini semakin diperparah dengan berlangsungnya
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat yang semakin mempercepat
kemerosotan perekonomian Indonesia. Salah satu solusi pemerintah mengatasi
kemerosotan ekonomi diantaranya menerapkan kebijakan dalam bidang moneter.
Pada 13 Desember 1965 melalui penetapan Presiden Nomor 27 tahun 1965
pemerintah mengambil langkah devaluasi, yaitu kebijakan untuk menekan inflansi.
Pemerintah menggunting uang senilai Rp. 1.000 menjadi Rp.1.
Dampak dari kebijakan ini bukan menambah baik tetapi semakin meningkatkan
infansi. Kebijakan ini semakin parah setelah nilai ekspor rendah sedangkan kegiatan
impor dibatasi karena lemahnya devisa negara. Akibatnya perekonomian menjadi
limbung sehingga menambah penderitaan rakya.

J. Perbandingan Kebijakan Politik Pada Masa Demokrasi Liberal dan Terpimpin


Ada beberapa perbedaan antara demokrasi liberal dengan demokrasi terpimpin yaitu:
1. Masalah Kedaulatan negara
Pada masa demokrasi liberal kedaulatan negara ada ditangan DPR atau parlemen.
Bahkan DPR dapat membubarkan dan membentuk pemerintahan dan kabinet (eksekutif).
Sedangkan pada demokrasi terpimpin kedaulatan negara sepenuhnya ditangan presiden.
Bahkan seorang presiden dapat membentuk MPRS dan DPR Gotong Royong.
2. Masalah pembagian kekuasaan
Pada masa demokrasi liberal kekuasan DPR (Legislatif) lebih kuat jika
dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah/ kabinet (eksekutif). DPR dapat
membubarkan dan menghentikan pemerintah/ kabinet. Sementara itu fungsi
presiden hanya sebagai kepala negara. Sedangkan dalam demokrasi terpimpin
kekuasaan presiden (eksekutif) menjadi sangat dominan sehingga mampu
membubarkan dan membentuk DPR. Disamping itu jabatan presiden ditetapkan
seumur hidup sehingga tidak dapat diberhentikan oleh MPRS.
3. Masalah pengambilan keputusan
Pada masa demokrasi liberal semua pengambilan keputusan berada ditangan
DPR dengan mekanisme keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin pengambilan keputusan dilaksanakan
oleh MPRS dan DPR-GR serta berdasarkan suara bulat.
BAB VI
PEMERINTAHAN ORDE BARU

A. LATAR BELAKANG MUNCULNYA ORDE BARU


Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden SuhartodiIndonesia.
Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat PerintahSebelas Maret 1966.
Masa orde baru berlangsung dari tahun 1966 sampai tahun1998. Dalam jangka waktu
tersebut, pembangunan nasional berkembang pesat.
Pasca penumpasan G 30 S/PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil
melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut. Hal inimembuat situasi politik
tidak stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarnosemakin menurun. Pada
saat bersamaan, Indonesia menghadapi situasi ekonomi yang terus memburuk
mengakibatkan harga-harga barang kebutuhanpokok melambung tinggi. Kondisi ini
mendorong para pemudadan mahasiswamelakukan aksi-aksi demonstrasi menuntut
penyelesaian yangseadil-adilnyaterhadap pelaku G 30 S/PKI dan perbaikan ekonomi.
Pada tanggal 12 Januari 1966 pelajar, mahasiswa, dan masyarakan mengajukanTiga
Tuntutan Rakyat (Tritura) Isi Tritura tersebut, yaitu:
1) Bubarkan PKI.
2) Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur Gerakan 30 September.
3) Turunkan harga.
Tuntutan rakyat agar membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi. Untuk menenangkan
rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100
Menteri. Perubahan ini belum dapat memuaskanhati rakyat karena di dalamnya masih
terdapat tokoh-tokoh yang terlibat dalamperistiwa G 30 S/PKI. Pada saat pelantikan Kabinet
100 Menteri pada tgl 24Februari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi
jalanjalanmenuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawasehingga
menyebabkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan parademonstranyang
menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesiabernama Arief Rachman Hakim.
Insiden berdarah yang terjadi ternyatamenyebabkan krisis politik semakin memuncak.
Guna memulihkan keamanan negara, pada tanggal 11 Maret 1966PresidenSoekarno
mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu dalam rangka memulihkankeamanan dan kewibawaan pemerintah. Surat itu
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11 Maret, atau Supersemar. Isi
Supersemar adalah pemberianmandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan
Darat danPangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan
kewibawaanpemerintah.Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak
lahirnyaOrdeBaru.Dalam rangka memulihkankeamanan, ketenangan, dan
stabilitaspemerintahan, keesokan harinya setelahmenerima Supersemar Letjen
Soehartomembubarkan dan melarang PKI beserta ormas-ormas yang bernaungatausenada
dengannya di seluruh Indonesia,terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966.Letjen. Soeharto juga
menyerukankepada pelajar dan mahasiswauntukkembali ke sekolah. Selanjutnya
padatanggal 18 Maret 1966, Letjen. Soehartomenahan 15 orang menteri yang dinilaiterlibat
dalamG30 S/PKI. Setelahitu, Letjen Soeharto memperbaharui kabinet dan
membersihkanlembaglegislatif, termasuk MPRS dan DPR-Gotong Royong dari orang-
orangyangdianggap terlibat G30S/PKI.
Pada tanggal 12 Maret 1967 Sidang Istimewa MPRS menetapkan LetjenSoeharto sebagai
pejabat presiden. Kemudian pada tanggal 27 Maret 1968,MPRS mengukuhkannya sebagai
presiden penuh. Dengan dikukuhkannyaLetjen Soeharto sebagai presiden, Indonesia
memasuki masa kepemimpinanyang baru, yaitu masa Orde Baru. Setelah memperoleh
kekuasaansepenuhnya,pemerintah Orde Baru melaksanakan penataan stabilitas politik.
B. SituasiPolitik pada Masa Orde Baru
Sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masajabatan 5 tahun.
Maka dimulailah masa Orde Baru. Masa ini diawali dengandibentuknya kabinet baru yang
bernama Kabinet Pembangunan dengantugasPancakrida, yang meliputi :
1) Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
2) Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahappertama
3) Pelaksanaan Pemilihan Umum
4) Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 30 September
5) Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta
kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
1) Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengandikukuhkannya
Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966..
2) Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di
Indonesia.
3) Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yangdianggap
terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan bahwa mereka
tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Dalam menyetabilkan kehidupan politik, pemerintah Orde Baru
melalukanpenyederhanaan partai politik. Sistem multi partai ala Soekarno
memangmembuka keterlibatan masyarakat dalam menjalankan haknya untuk berserikat dan
berkumpul. Namun tetap saja memberikan keterbukaan dan memperuncingperbedaan dalam
masyarakat atau lebih tepatnya membangun batasan-batasanpandangan politik yang
memiliki potensi besar terhadap kesatuan. Soekarnotidak menyadari bahwa Indonesia
merupakan bangsa yang beraneka (Robert Cribb, 2001) Ia tidak memahami bahwa
masyarakat Indonesia lahir dengan cirikhas budaya masing-masing dan demikian cinta
kedaerahan menjadi mutlak.
Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno dilihat sebagai cara terbaik demi
terjaganyakesatuan bangsa merupakan pandangan yang keliru. Demokrasi Terpimpin hadir
hanyalah untuk menjaga kekuasaan tetap berjalan. Maka sampai di sini, demokrasi dalam
arti asalinya bukanlah merupakan gagasan yang penting.
Runtuhnya demokrasi terpimpin berkat pemberontakan beberapa perwiraangkatan
darat yang bernaung di bawah partai Komunis Indonesia (PKI) (Robert Cribb, 2001),
menjadi awal pendirian Orde Baru. Tidak dapat dipungkiri bahwalahirnya Orde Baru
merupakan hasil dari legitimasi terhadap PKI sebagai dalangpembunuhan rekan-rekan
Soeharto. Dan sebutan Orde Baru hanyalah dimaksudkan untuk membedakan dirinya
dengan Orde Lama. Namunpadakenyataannya tetaplah sama.
Sama seperti Soekarno, menurut Soeharto, demokrasi bukanlah merupakan hal
relevan bagi Bangsa Indonesia. Hal ini didasarkan pada ketakutan Soehartoakan modernitas.
Maksudnya adalah ketika masyarakat menjadi melek terhadappolitik, stabilitas negara
tergerogoti. Dengan demikian kekuasaan menjadi milikrakyat. Presiden bukan lagi
pemegang kekuasaan melainkan pelaksanakepercayaan masyarakat.
Berdasarkan asumsi ini, penyederhanaan partai politik yang dilakukan Soehartopada
pemilu 1977(R. William Liddle, 2001) merupakan pelaksanaan dari
maksudmempertahankan kekuasaan. Artinya bahwa ketika kebebasan berpartisipasi dalam
politik sebagai hak salah satu utama warga negara mampu dipersempit oleh penguasa,
kekuasaan menjadi aman.
Proses penyederhanaan partai ini dilakukan dengan mengorbankan
kebebasanmasyarakat. Mengapa demikian? Jawabannya adalah Soeharto dengan
dibantuoleh militer membangun seperangkat lembaga otoriter yang disusungunamengekang
partisipasi politik dan dengan demikian memungkinkan Soehartodanpihak militer
menguasai masyarakat. Di sini, demokrasi merupakan sebuahpenipuan publik. Hal ini
terbukti ketika pancasila sebagai ideologi bangsaolehSoeharto dijadikan sebagai azas
tunggal yang harus dipegang oleh semuaorangIndonesia. Namun penafsiran terhadap
ideologi ini hanyalah merupakanhakpemerintah.
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan
berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan(fusi) sejumlah
partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkanpada ideologi tetapi atas
persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik,
yaitu :
1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan
Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973(kelompok partai
politik Islam)
2) Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat
3) nasionalis). 3) Golongan Karya (Golkar)
Sistem pemilu yang hanya dibatasi keikutsertaan pada tiga partai jika dilihat secara
teknis, proses jalannya pemiihan umum dilakukan secara jujur. Namunsecara substantif,
pihak yang diuntungkan dengan sistem tiga partai adalah tetappemerintah. Betapa tidak
dengan masa kampanye kurang dari sebulan danperaturan membatasi kegiatan kampanye
digunakan untuk menghambat partai non pemerintah. Golkar sebagai partai pemerintah
paling diuntungkan dengansistem ini. Propaganda ideologis dilakukan dengan menggelari
Golkar sebagai partai politik yang mewakili kepentingan seluruh bangsa sedangkan partai-
partai lainnya dikatakan mewakili hanya sebagian dari kepentingan bangsa yang besar yang
bisa membawa kepada perpecahan bangsa.
Selain itu, pemerintahan Soeharto melarang PDI dan PPP mempunyai cabang di
bawah tingkat kabupaten sedangkan Golkar mendapat perhatian istimewa. Iadiizinkan untuk
hadir di mana pun entah di kantor pmerintah atau pun di semuadesa. Pengetatan kontrol
pemerintah tidak haya sampai pada level kepartaian. Partisipasi dalam menduduki posisi
legislatif pun dikontrol. Orang-orang yangmau dicalonkan partai untuk mengisi kursi
legislatif terlebih dahulu diperiksa olehpemerintah. Selain itu, adanya kewajiban pegawai
negeri harus memilih Golkar dalam pemilu. Kebebasan sungguh dalam kontrol penguasa.
Pengetatan kontrol ini memungkinkan untuk dijalankan sebab adanya peran aktif
angkatan bersenjata (ABRI). ABRI selain menjaga dominasi negara atas masyarakat juga
membenarkan intervensi militer dalam bidang politik sipil menurut doktrin dwifungsi ABRI.
Dalam bidang pemerintahan sipil, peran ABRI pun sangat menonjol yaitu dengan
diangkatnya perwira entah yang aktif ataupunyang sudah pensiun untuk menduduki jabatan
utama dalam struktur pemerintahan sipil. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk
perlindungan dan pengawasan. Soeharto membangun kembali keterpurukan demokrasi
terpimpindengan meletakkan di atasnya “demokrasi pancasila” yang otoriter dengankekuatan
bersenjata dalam intinya.
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umumsebanyak enam
kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
dan 1997. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan
bahwa demokrasi di Indonesia sudahtercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib
dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).Kenyataannya pemilu
diarahkanpada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang
selalumencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalumendominasi
tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan
DPR. Perimbangan tersebut memungkinkanSuharto menjadi Presiden Republik Indonesia
selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-
undang, dan usulanlainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan
DPRtanpacatatan.
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran gandabagi
ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan
Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwaTNI adalah tentara
pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalampemerintahan adalah sama di
lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan.
Pertimbangan pengangkatannya didasarkanpada fungsi stabilisator dan dinamisator.
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasanmengenai
pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasilayaitugagasan Ekaprasetia
Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkansebagai Ketetapan MPR dalam sidang
umum tahun 1978 mengenai “PedomanPenghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa
dikenal sebagai P4. Gunamendukung program Orde Baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan
UUD1945secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataranP4
secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Tujuan dari penataran P4 adalah
membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasilasehingga dengan
pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuannasional akan terbentuk dan
terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan
yang kuat terhadap pemerintah OrdeBaru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telahdimanfaatkan
oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanyahimbauan pemerintah pada
tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.
Penataran P4 merupakan suatubentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi
bagian dari sistemkepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
C. Situasi Ekonomi pada Masa Orde Baru

Ketika Presiden Soeharto memerintah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat


tinggi 650 % setahun, langkah pertama adalah mengendalikan inflasi dari 650 %menjadi 15
% dalam waktu hanya dua tahun dan untuk menekan inflasi Soehartomembuat kebijakan
dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi
dalam pasar, memperhatikan sektor ekonomi dan merangkul Negara-negara barat untuk
menarik modal. Kebijakanyang ditempuh pemerintah dalam bidang ekonomi antara lain:
1. Menerapkan cara militer untuk mengatasi ekonomi
Menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi denganmencanangkan
sasaran yang tegas, pelaksanaan pembangunan dilakukansecara bertahap yaitu jangka
panjang 25 – 30 tahun dan jangka pendek 5 tahunatau disebut pelita/pembangunan lima
tahun. Pedoman pembangunan adalahTrilogi pembangunan yang meliputi :
 Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menujuh padaterciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Pertumbuhan ekonomi yang yang cukup tinggi.
 Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
Delapan jalur pemerataan meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan dan
perumahan.
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanankesehatan.
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja.
5. Pemerataan kesempatan berusaha.
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnyabagi generasi
muda dan kaum perempuan.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruhwilayah tanah air.
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
2. Memperoleh pinjaman luar negeri.
Mencari pinjaman dari Negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IGGI, IMF dan
Bank Dunia
3. Liberalisasi perdagangan dan investasi
Caranya adalah dengan membuka Liberalisasi perdagangan dan investasi selebar-
lebarnya. Inilah yang membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing. Untuk
menggerakan pembangunan tahun 1970 juga menggenjot penambangan minyak dan
pertambangan, pemasukan di migas meningkat dari US$6 miliar pada tahun 1973 menjadi
US$10,6 miliar tahun 1980
4. Mewujudkan swasembada beras.
Keberhasilan Presiden Soeharto membenahi bidang ekonomi menyebabkanIndonesia
mampu berswasembada pangan pada tahun 1980. Sektor pertanianharus dibangun dan
ditingkatkan produktivitasnya. Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itulah,
kemudian dibangun sektor-sektor lainnya. Pemerintah membangun berbagai prasarana
pertanian, seperti irigasi danperhubungan, cara-cara bertani dan teknologi pertanian yang
baru diajarkandandisebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan,
penyediaan pupuk dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhanpembiayaan para
petani disediakan melalui kredit perbankan. Pemasaran hasil-hasil produksi mereka
diberikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dankebijakan stok beras oleh pemerintah
(Badan Urusan Logistik atau Bulog). Strategi yang mendahulukan pembangunan pertanian
tadi telah berhasilmengantarkan Bangsa Indonesia berswasembada beras,
menyebarkanpembangunan secara luas kepada rakyat, dan mengurangi kemiskinan di
Indonesia.
5. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) telahmendorong
laju pertumbuhan ekonomi secara nasional yang diukur denganProduksi Domestik Bruto
(PDB). Tingkat pertumbuhan PDB selama periode1969–1989 yang diukur atas dasar harga
yang berlaku maupun menurut hargakonstan menunjukkan adanya peningkatan. Sejak tahun
1969 sampai dengantahun 1983 yang merupakan tahun terakhir Pelita III, tingkat rata-rata
pertum- buhannya sebesar 7,2% per tahun. Selanjutnya, tingkat rata-rata
pertumbuhanekonomi selama Pelita IV yang diukur dengan PDB tahun 1983 sebesar 5,2%per
tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata laju pertumbuhan ekonomi per tahunyang
direncanakan dalam Repelita IV sebesar 5,0%.
Sementara itu, tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yang merupakan tahunpertama
pelaksanaan Pelita V (1989/1990–1993/1994) adalah 7,4%, dan tahun1990 sebesar 7,4%
(tahun kedua). Dalam tahun-tahun berikutnya menunjukkanlaju pertumbuhannya adalah
tahun 1991 sebesar 6,8%, tahun 1992 sebesar 6,3%, dan tahun 1993 yang merupakan tahun
terakhir pelaksanaan Pelita Vsebesar 6,0%. Jadi, pertumbuhan ekonomi Pelita V rata-rata
adalah 6,9% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi per
tahunyang direncanakan dalam Repelita V sebesar 5,0%.
Repelita VI (1994/1995–1998/1999) yang merupakan tahapan pembangunanlima tahun
pertama dalam periode 25 tahun kedua Pembangunan JangkaPanjang (PJP II), pertumbuhan
ekonomi yang direncanakan dalamRepelita VI adalah rata-rata 6,2% per tahun.
BAB VII
PEMERINTAHAN REFORMASI

A. Latar Belakang Munculnya Reformasi

Reformasi adalah suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatananperikehidupan


yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan. GerakanReformasi yang terjadi di Indonesia
pada ttahun 1998 merupakan suatu gerakanuntuk mengadakan pembaharuan dan perubahan
terutama perbaikan dalambidang politik, sosial, ekonomi dan hukum.

Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahankehidupan


bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ke arah yang lebihbaiksecara konstitusional. Artinya,
adanya perubahan kehidupan dalambidangpolitik, ekonomi, hukum,sosial dan budaya yang lebih
baik, demokratis berdasarkanprinsip kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Gerakan Reformasi
lahir

sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum
dan krisis sosial merupakan faktor-faktor yang mendoronglahirnya gerakan Reformasi. Bahkan krisis
kepercayaan telah menjadi salahsatuindikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai
gerakan yangtidakboleh ditawar-tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat
indonesiamendukung sepenuhnya gerakan Reformasi tersebut.

Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama denganperikehidupan


baru dan secara hukum menuju kearah perbaikan. Reformasimerupakan formulasi menuju indonesia
bar u dengan tatanan baru. Tatanangerakan Reformasi pada mulanya disuarakan dari kalangan
kampus yaituMahasiswa, dosen maupun rektor. Situasi politik dan ekonomi indonesiayangdemikian
terpuruk mendorong kalangan kampus tidak hanya bersuara melalui mimbar bibas di kampus,
namun akhirnya mendorong mahasiswa turun ke jalan.

Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupanmasyarakat yang adil
dalam kemakmuran dan makmur dalamkeadilanberdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena
itu, tujuan lahirnya gerakanReformasi adalah untuk memperbaiki tatanan perikehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhanpokok
merupakan faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan ReforNamun, persoalan itu tidak muncul
secara tiba-tiba. Banyak faktor yangmempengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan
politik, ekonomi danhukummasi

Pemerintahan Orde Baru dipimpin presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyatatidak


konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Padaawal kelahirannya tahun
1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupanbermasyarakat, berbangsa dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan UUD1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru
banyak melakukanpenyimpangan terhadap nilai-nilai pancasila dan ketentuan-ketentuan
yangtertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945
hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankankekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu
melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan Reformasi.

B. Situasi Politik pada Masa Reformasi

Di balik kesuksesan pembangunan masa Orde Baru menyimpan beberapakelemahan. Selama


masa pemerintahan Soeharto, praktik korupsi, kolusi, dannepotisme (KKN) tumbuh subur. Kasus-
kasus korupsi tidak pernah mendapat penyelesaian hukum secara adil. Pembangunan Indonesia
berorientasi padapertumbuhan ekonomi sehingga menyebabkan ketidak adilan dan
kesenjangansosial. Bahkan, antara pusat dan daerah terjadi kesenjangan pembangunankarena
sebagian besar kekayaan daerah disedot ke pusat.
Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnyakerusuhan
sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran
adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada
tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat
mahasiswaUniversitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswatersebut
adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan,dan Hafidhi Royan. Keempat mahasiswa
yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”.

Agenda reformasi yang dituntut oleh mahasiswa saat itu ada enam, yakni :

1. Suksesi kepemimpinan nasional,


2. Amandemen terhadap UUD1945,
3. Pemberantasan KKN,
4. Penghapusan Dwi fungsi ABRI,
5. Penegakansupermasi hukum,
6. Pelaksanaan otonomi daerah.

Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998,sebagai salah satu
penguasaterlama didunia,dia cukup yakin ketika ditetapkan kembali oleh MPR untuk masa jabatan
yang ketujuh pada tanggal 11 Maret 1998, segala sesuatu akan berada di bawah kontrolnya. Tetapi
menyaksikan legitimasinya berkurang dengan cepat dan ia ditinggalkan seorang diri.

Lahirnya era reformasi diawali oleh pergerakan rakyat yang di dalamnyadi dominasi oleh para
mahasiswa yang menuntut ada perubahan dalamberbagai aspek kehidupan masyarakat terutama
dalam bidang pemerintahan, ekonomi, politik serta sosial budaya. Era reformasidi Indonesia
merupakan era perubahandalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dimulai dari tahun 1998
karenapemerintahan yang ada tidak menjalankan fungsinya dengan bai kdalamkehidupan berbangsa
dan bernegara. Peristiwa Reformasi 98 dianggap sebagai salah satu peristiwa penting di Indonesia.
Dampak dari peristiwa tersebut diantaranya ialah setelah adanya peristiwa Reformasi 1998, setiap
orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum. Setelah adanya peristiwaReformasi 98,
semua orang diberikan kebebasan untuk membentuk partai politik, berserikat dan berkumpul.
Sebelumnya pada masa pemerintah Orde Baruberkuasa, jumlah partai dibatasi hanya menjadi 3
partai saja(PDI,PPP,GOLKAR).Kegiatan berserikat serta berkumpul masa itu juga sangat dibatasi.

Soeharto memanipulasi eksistensi DPR/MPR untuk mengokohkankekuasaan,akhirnya


diberhentikan oleh lembaga yang sama lewat pernyataanpers tanggal 18 Mei 1998, oleh Ketua DPR
Harmoko yang didampingi oleh Ismail Hasan Meutareum, Fatimah Achmad, Syarwan Hamid dan
utusan daerah didepan wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan bahwa
pimpinanDewan baik ketua(Harmoko) maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan
dan kesatuan bangsa agar presiden secara arif dan bijaksanasebaiknya mengundurkan diri. Akhirnya
pada 21 Mei 1998 Presiden Soehartomengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden
Indonesia.

Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akanmereshuffle Kabinet


Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itujuga akan membentuk Komite Reformasi
yang bertugas menyelesaikan UUPemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Anti
monopoli, dan UU Anti korupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belumbisaterbentuk
karena 14 menteri menolak untuk diikut sertakan dalamKabinet Reformasi. Adanya penolakan
tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei
1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan
menyerahkanjabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya
kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi. Pidato pengunduran diri tersebut
menandakan berakhirnya era orde baruyangdipimpin oleh Soeharto dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.

Reformasi yang terjadi di Indonesia pada 1998 telah


mendorongmunculnyaberbagaimacamperubahandalamsistemketatanegaraan,yang merupakan
dampak dari adanya Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Tahun Presiden pasca
reformasi. 1945(UUD’45). Salah satu hasil dari perubahan dimaksud adalah beralihnya supremasi
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi memposisikan
konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga
negara. Perkembangan konsep triaspolitica juga turut memengaruhi perubahan struktur
kelembagaan karena dianggap tidak lagi relevan mengingat fakta bahwa tiga fungsi kekuasaan yang
selama ini ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Hal ini kemudian mendorong negara membentuk jenis lembaga negara baruyang diharapkan dapat
lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negaradalam bentuk dewan, komisi, komite,
badan, ataupun otorita, dengan masing- masing tugas dan wewenangnya.

Sejak era reformasi tahun 1998 dicanangkan, Majelis PermusyawaratanRakyat(MPR )telah


mengeluarkan dua Ketetapan MPR yaitu TAP MPRNomor XI/MPR/Tahun 1998 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dilanjutkan dengan
TAP MPR NomorVIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasaan
danPencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.Secara khusus,Pemerintahmengeluarkan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang PenyelenggaraanNegara Yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Tujuan dari Undang-Undang ini yaitu untuk menciptakan pemerintahan yang
bersih danbebas KKN melalui penerapan prinsip kepastian hukum, tertib penyelenggaraannegara,
kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas .

Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketigamengundang


perdebatan hukum dan kontroversial, karena MantanPresidenSoeharto menyerahkan secara sepi
hak kekuasaan kepada Habibie. Dikalanganmahasiswa sikap atas pelantikan Habibie sebagai
presiden terbagi atas tiga kelompok, yaitu: Pertama menolak Habibie karena merupakan produk
Orde Baru;kedua, bersikap netral karena pada saat itu tidak ada pemimpin negara yangditerima
semua kalangan sementara jabatan presiden tidak boleh kosong; ketiga, mahasiswa berpendapat
bahwa pengalihan kekuasaan ke Habibie adalah sahdan konstitusional. Pada tanggal 22 Mei 1998,
Presiden B.J. Habibie mengumumkan susunan kabinet baru, yaitu Kabinet Reformasi Pembangunan.
Seiring dengan diumumkannya susunan cabinet yang baru, berarti presiden harus membubarkan
Kabinet Pembangunan VII.Akhirnyagerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa mampu
menumbangkankekuasaan Orde Baru dan Era Reformasi mulai berjalan di Indonesia, di
bawahPemerintahan B.J. Habibie. Presiden BJ Habibie membentuk kabinet baruyangdiberi nama
Kabinet Reformasi Pembangunan yang terdiriatas37menteri,yangmeliputi perwakilan dari
ABRI,Golkar,PPP, dan PDI. Tiga puluh tujuh menteri ini terdiri dari beberapa menteri departemen,
menteri negara, sekretaris negara dan Jaksa Agung.

Beberapa kebijakan politik yang dibuat oleh presiden Habibie antaralain, memberikan amnesti
dan abolisi kepada beberapa tahanan politik dannarapidana politik pada masa Orde Baru lewat
Keppres. Presiden Habibiejugamelakukan perbaikan dalam hal partai politik, diantaranya
mengeluarkan UUNo. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, karena pada masa Soeharto
pembentukanpartai politik sangat dibatasidan tidak sesuai dengan UUD 1945 yangmemberikan
semua wargaIndonesia untuk berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran. Mulai dari
diberlakukannya UU tersebut, banyak terbentuk partai-partai politik. Jumlah partai politik yang
dinyatakan sah menurut keputusan kehakimansebanyak 93 buah. Ada 48 partai diantaranya
dinyatakan memenuhi syarat mengikuti pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD I dan DPRD II
padabulanJuni 1999. Pemilu tahun 1999 berusaha dibangun di atas spirit baru, yaitu Luber dan
Jurdil. Diketahui bahwa pemilu pada Orde Baru dibangun asas LUBER(langsung, umum, bebas, dan
rahasia) dengan mengabaikan aspek JURDIL(jujur dan adil) bagi penyelenggara maupun peserta
pemilu,juga netralitasbirokrasi.Pada tanggal 7 Juni 1999 pemilu dilaksanakan.
Dalampenghitungansuara dalam pemilu terjadi perdebatan panjang. Awalnya
penghitungansuaradiperkirakan selesai pada tanggal 21 Juni 1999, tapi tertunda sampai tanggal
16Juli 1999. Hanya 17 dari 48 partai politik peserta pemilu yang bersediamenandatangani hasil
pemilu dengan alasan kalau pemilubelumterlaksanadengan jujur dan adil. Penolakan tersebut
ditunjukkan pada rapat pleno. Presidenmenyerahkan hasil rapat pleno KPU (Komisi Pemilihan
Umum) kepada PanitiaPengawas Pemilu (Panwaslu).

Pada era presiden Habibie ini masalah timor-timor yang bergejolak jugadiselesaikan, Masalah
Timor-Timur terjadi bentrokan senjata antara kelompok pro dan kontra kemerdekaan di mana
kelompok kontra ini masuk ke dalamkelompok militan yang melakukan teror pembunuhan dan
pembakaran padawarga sipil. Tiga pastor yang tewas adalah pastor Hilario, Fransisco, danDewanto.
Situasi yang tidak amandi Tim-Tim memaksa ribuan penduduk mengungsi ke Timor Barat, ketidak
mampuan Indonesia mencegah teror, menciptakan keamanan mendorong Indonesia harus
menerima pasukan internasional, meskipun hasilnya berdasarkan referendum yang
dilakukanolehrakyat timor-timor memilih untuk merdeka dan berpisah dariIndonesia.

Lepasnya timor-timor ini merupakan salah satu penyebab ditolaknya


pidatopertanggungjawaban Presiden Habibie dalam sidang umum MPR. Pada tanggal 14 Oktober
1999, Presiden B. J. Habibie menyampaikan pidatopertanggungjawabannya didepan Sidang umum
MPR. Dalampemandanganumum fraksi-fraksi atas pidato pertanggungjawaban Presiden B. J.
Habibietanggal 15-16 Oktober 1999. Dari sebelas fraksi, empat fraksi menolak, limafraksi
memintapenjelasan tambahan, satu fraksi menyerahkan sikapdanpenilaiannya kepada Komisi
Pertanggung jawaban Pidato Presiden dansatufraksi menerima.Atas dasar penilaian itu, Ketua MPR
Amien Rais memutuskan bahwa persoalan SU MPR akan dilakukan votting. Pada tanggal 19 Oktober,
votting pun dilaksanakan dengan hasil 355 suara menolak, 322 suara menerima, 9 abstain dan 4
suara tidak sah. Berdasarkan hasil votting tersebut, SidangParipurna XII SU MPR akhirnya
menyatakan menolak pertanggungjawabanPresiden B. J.Habibie.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Habibie tampaknya belummemuaskan banyak pihak
sehingga banyak anggota MPR/DPR yang di dalamSidang Umum tahun 1999 menolak
hasilpertanggungjawaban Habibie, Sehinggaterjadi perubahan peta politik di mana Habibie mundur
setelahpertanggungjawabannya ditolak. Akhirnya pencalonan pun terpecah menjadi 2kubu yaitu
Megawati yang di calonkan PDI-P dan Gus Dur yang dijagokan oleh Poros Tengah. Abdurrahman
Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati
hanya 313 suara.

K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presidendalam sidang
umum MPR 1999 memberi harapan yangagar kehidupan sosial, ekonomi, dan politik nasional segera
pulih kembali setelahselama lebih dari 2 tahun bangsa Indonesia terpuruk di landa krisis ekonomi
danpolitik yang begitu dahsyat. Setelah menjadi Presiden, K. H. Abdurahman Wahidmembentuk
Kabinet yang disebut Persatuan Nasional, ini adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai
partai politik antara lain PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK), non partisan dan
juga TNI juga ada dalam cabinet tersebut. besar bagi bangsa Indonesia. Harapan besar itu pada
umumnya bersumber dari keinginan kolektif. Kebijakan awal pemerintahan Abdurrahman Wahid
adalah membubarkanDepartemen Penerangan. Dimasa Orde Baru Departemen
peneranganmerupakan alat bagi Presiden Soeharto untuk mengekang kebebasan pers, dengan
dibubarkannya Departemen tersebut maka kebebasan pers di Indonesiasemakin terjamin. Kemudian
ada juga kebijakan untuk mencabut TAP MPR-RI tentang larangan terhadapPartai Komunis, ajaran
Marxisme, Leninisme, danKomunisme.

Setelah dilantik menjadi Presiden, Gus Dur dihadapi pada persoalan konflik dibeberapa daerah
di Indonesia. Menghadapi hal itu, setelah pengangkatandirinya sebagai Presiden, Abdurahman
Wahid. melakukan pendekatan yanglunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap
Aceh, AbdurahmanWahid. memberikan opsi referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti
referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukanAbdurahman
Wahid. dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Netralisasi
Irian Jaya, dilakukan Abdurahman Wahid. pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota
Irian Jaya. Selamakunjungannya, Presiden Abdurahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-
pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.

Selama berkuasa Presiden Gus Dur dinilai gagal menjalankan pemerintahannya. Gus dur
melakukan pemecatan anggota kabinetnya secara sepihak tanpasepengetahuan wakil presiden,
adanya kasus buloggate dan bruneigate,yangsecara tidak langsung melibatkan presiden Gus
Dur,kasus ini menimbulkanmemorandum I dan II oleh anggota DPR yang tidak diperhatikan oleh
PresidenGus Dur. Gus Dur pada saat itu memberhentikan Susilo Bambang Yudhoyonoyang menjadi
Menkopolam, karena tidak mau mengumumkan keadaan darurat. Amien Rais yang saat itu menjadi
ketua MPR mengatakan bahwa sidingistimewa MPR dapat dipercepat dari 1 Agustus menjadi 23 Juli
2001. Sebagai bentuk perlawanan kepada DPR, Presiden Gus Dur mengeluarkan Dekrit padatanggal
23 Juli 2001,yang isinya antara lain:(1)membekukan MPR RI dan DPRRI, (2) mengembalikan
kedaulatan kepada rakyat dan mengambil tindakansertamenyusun badan-badan yang diperlukan
untuk menyelenggarakan pemilu dalamwaktu satu tahun, (3) Membubarkan Partai Golkar karena
dianggap warisanordebaru. Akan tetapi dekrit ini ditolak oleh DPR melalui mekanisme votting
dalamSidang Istimewa MPR, karena dianggap melanggar haluan negara.

Fatwa Mahkamah Agung juga mengganggap dekrit tersebut tidak konstitusional, dimana
kedudukan MPR dan DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Kemudian, berdasarkan hasil sidang
istimewa MPR pada tanggal 23 Juli 2001, Presiden Gus dur dilengserkan dari jabatan Presiden yang
kemudian digantikan oleh Megawati Soekarno Putri Terpilihnya Megawati menjadi Presiden
Indonesia ke lima Indonesia karenaposisinya sebagai wakil Presiden Gus Dur yang dilengserkan
berdasarkan hasil sidang istimewa MPR, sehingga otomatis beliau naik menjadi Presiden.
Padatanggal 23 Juli 2001 Megawati dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia. Langkah awal yang
dilakukan oleh Megawati salah satunya membangun tatanan politik baru, yaitu dengan amandemen
UUD 1945.

Dengan selesainya amandemen keempat UUD 1945, tugas pemerintahselanjutnya melakukan


penyesuaian seluruh ketentuan perundangan yang adadengan muatan UUD 1945 yang telah
diamandemen. Di sisi lain pemerintah jugamenyusun peraturan perundangan yang belum dimiliki,
agar amanat konstitusi bisa dilaksanakan dengan baik. Perubahan UUD 1945 ini juga
memuattentangadanya upaya untuk menyetarakan lembaga-lembaga Negara, sehingga dapat
mekanisme check and balances yang lebih memadai, demi mendorongdemokratisasi lembaga-
lembaga negara tersebut. Dalam pelaksanaan pemilihanumum 2004 nanti merupakan agenda baru
dalam politik Indonesia. Indonesia mengalami beberapa kemajuan politik, karena Indonesia
melakukan pemilihan Presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dan bertugas untuk
masa jabatan yang pasti.

Pada pemerintahan Megawati pula pemilu secara langsung direncakanan padatahun 2014.
Langkah awal dari pemerintahan Megawati Soekarno putri tentangpartai politik adalah dengan
melakukan revisi terhadap Undang Undang No 3tahun 1999 menjadi Undang Undang No 30 tahun
2002 tentang partai politik danUndang Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2004 sangat ketat, dengandemikian disiplin
partai politik peserta pemilu sangat menentukan suksesnyapenyelenggaraan Pemilu. Berdasarkan
verifikasi administrasi dan verifikasi faktual yang dilakukan KPU, dari 49 partai politik yang mendaftar
sebagai pesertapemilu, yang memenuhi syarat hanya 24 partai politik saja. Partai politik yang olos
verifikasi faktual dan verifikasi administrasi dinyatakan sebagai peserta pemilu.

Untuk tetap mempertahankan negara kesatuan, pemerintahan Megawati Soekarnoputri telah


menentukan berbagai kebijakan, yaitu pertama direalisasikan desentralisasi kewenangan yang
dikenal dengan sebutan otonomi daerah dari pemerintah pusat ke daerah sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku. Pada 5 Juli 2004 diadakan pemilihan umum secara langsung untuk
memilih anggota legislative serta Presiden dan wakil Presiden. Pemilu tahun 2004 ini diikuti oleh 24
partai politik. Megawati yang pada saat itu menjadi Presiden, kembali mencalonkan dirinya menjadi
presiden berdampingan dengan K.H Hasyim Muzadi untuk menghadapi empat pasangan calon
lainnya.Empat pasangan lainnya adalah Wiranto-Salahudin Wahid, Amien Rais-SiswonoYudhoyono,
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum umelar.Hasil pemilu 2004 yang
dilakukan dengan mekanisme pemilihan secara langsung dengan dua putaran pemilu (karena pada
putaran pertama tidak ada pasangan yang mendapatkan suara diatas 50%) menghasilkan pemenang,
Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla. Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekaligus
menandakan berakhirnya era Megawati sebagai Presiden Indonesia.

SBY bersama pasangannya Jusuf Kalla menjadi Presiden dan pertamayangdipilih secara langsung
oleh rakyat Indonesia melalui pemilu. Pada pemilihanumum berikutnya pada tahun 2009, SBY juga
mampu memenangkan pemiludengan wakil yang berbeda yakni Boediono. Pada periode pertama
menjadi Presiden Indonesia, SBY kemudian menyusun kabinet kerjanya yang dinamakandengan
Kabinet Indonesia Bersatu I, dan pada periode kedua kabinetnya dinamakan dengan Kabinet
Indonesia Bersatu II. Proporsi menteri yang disusunoleh SBY saat menjadi Presiden tidak semuanya
berasal dari partai politik,SBY juga mengangkat menteri dari kalangan profesional yang memang
sudahmemiliki rekam jejak positif. Pada Kabinet Indonesia Bersatu I jumlah mentri yangdiangkat
sebanyak 36 menteri, sedangkan pada Kabinet Indonesia Bersatu II jumlah mentri yang diangkat
sebanyak 34 menteri. Sejak tahun 2004 sistempolitik Indonesia berlaku sistem kedaulatan rakyat
secara penuh karena rakyat dapat memilih secara langsung anggota legislatif daneksekutif.

Sejak awal masa pemerintahannya, Presiden dan Wakil Presiden pilihan rakyat Indonesia itu
telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yaitu rencana
pembangunan lima tahunan, berdasarkan visi, misi, dan program prioritas mereka. Hal ini sesuai
dengan amanat Undang- undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
PembangunanNasional. Tiga agenda nasional yang tertuang dalam RPJMN pada era kepemimpinan
SBY adalah : (1) menciptakan Indonesia yang aman dan damai, (2) mewujudkan Indonesia yang adil
dan demokratis, dan (3) meningkatkankesejahteraan rakyat.

Beberapa keberhasilan dari program tersebut antara lain, penyelesaian konflik dalam negeri
seperti Aceh dan Poso, penyelesaian masalah perbatasan dengannegara tetangga, peningkatan
pelayanan masyarakat melalui otonomi daerah. Dalam hal pembagian kekuasaan antara pusat dan
daerah, pada erapemerintahan SBY juga dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung
olehrakyat, mulai dari, bupati / walikota hingga gubernur sebagai bentuk implentasi dari proses
demokrasi diIndonesia.Prosestran sisi demokrasi di Indonesiatersebut dapat berjalan secara damai
tanpa adanya kekerasan pada era ini.

Pada periode pertama ini SBY melakukan dua kali pergantian posisi menteri
(reshufelkabinet),yang pertama dilakukan pada tahun2005 dan kedua padatahun 2007. Pergantian
menteri tersebut juga tidak lepas dari kekebasan berpendapat masyarakat pada era pemerintahan
ini yang begitu luas, sehingga masyarakat dapat mengkritik, mengevaluasi serta memberikan
masukan kepadaSBY mengenai kinerja kabinetnya.

Padatahun 2009 kembali dilakukan pemilihan umum,pada tahun ini partai politik yang
mengikuti pemilu sebanyak 38 partai politik dan 8 partai lokal Aceh.SBYkembali mencalonkan diri
menjadi Presidenuntuk periode kedua. Pada tahun ini SBY berpasangan dengan tokoh non partai
yakni Boediono, yang sebelumnyamenjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia dan juga menteri
koordinator perkonomian pada kabinet sebelumnya. Pada pemilu ini terdapat 3 pasanganyang
terlibatdalampemilu untuk menjadi Presiden Indonesia berikutnya, pasangan tersebut adalah(1)SBY-
Boediono, (2) Megawati Soekarno Putri- Prabowo,dan (3) Jusuf Kalla-Wiranto. SBY bersama
Boediono berhasil memenangkan pemilu 2009 dengan satu kali putaran,sehingga beliau
memimpinkembali Indonesia untuk periode kedua. Pada periode kedua kabinet kerjayangdibuat
oleh SBY bernama Kabinet Indonesia Bersatu II,komposisi menteri yangdipilih oleh SBY merupakan
kombinasi antara politisi dari partai politik danjugaprofesional.

Pada tahun kedua SBY berupa melanjutkan kembali programkerjanyapadaperiode pertama. SBY
menyiapkan 5 program pokok pada periode keduanya, program tersebut antara lain : pertama,
melanjutkan pembangunan ekonomi Indonesia untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh Rakyat
Indonesia. Kedua, melanjutkan upaya menciptakan good government dan good
corporategovernance. Ketiga, demokratisasi pembangunan dengan memberikan ruangyang cukup
untuk partisipasi dan kreativitas segenap komponen bangsa. Keempat, melanjutkan penegakan
hokum tanpa pandang bulu dan memberantaskorupsi.Kelima,belajardari pengalaman yang lalu dan
dari negara-negaralain, pembangunan masyarakat Indonesia adalah pembangunan yang inklusif bagi
segenap komponen bangsa.
Dalam hal pemberantasan korupsi SBY juga menegaskan bahwapemerintahannya adalah
pemerintahan yang bersih dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), namun hal tersebut
sedikit tercorengdenganbanyaktertangkapnyakaderPartaiDemokrat(PartaiSBYberasal) olehKomisi
Pemberantasan Korupsi(KPK).

Pada tahun 2014 kembali dilakukan pemilihan umum untuk memilih anggotalegislatif dan
eksekutif. SBY sudah tidak dapat lagi mengikuti pemilihan umumkarena sudah mencapai batas akhir
sebanyak dua periode memimpin bangsaini. Pemilu tahun ini diikuti oleh 12 partai politik dan 3
partai lokal Aceh. Untuk calonPresiden yang mengikuti pemilu kali ini ada dua pasangan,yakni Joko
Widodo(Jokowi)-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jokowi bersama Jusuf Kalla
kemudian menjadi pemenang pada pemilu 2014 ini. Pada tanggal 20 Oktober 2014 kemudian
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.

C. Situasi Ekonomi pada Masa Reformasi

Setelah terjadi pergantian presiden dari Soeharto ke presiden B.J Habibiekebijakan dalam bidang
ekonomi juga mengalami perubahan. Dalam bidang ekonomi Presiden Habibie mempunyai tiga
programjangka pendek, jangka menengah dan program jangka panjang. Tujuan program jangka
pendek ini untuk mengurangi beban masyarakat, terutama masyarakat miskin dan yang
berpenghasilan rendah. Seperti program jaringan pengaman sosial (JPS), penyediaan kebutuhan
pokok rakyat serta pengendalian harga. Dalam program jangka menengah,hal- hal yang dilakukan
meliputi upaya penyehatan sistem perbankan untuk membangkitkan kembali kepercayaan dan
kegiatan dunia usaha, khususnya investor luar negeri serta pengendalian lajuinflasi dan berbagai
upaya reformasi struktural untuk memperkuat landasan perekonomian nasional dengan
meningkatkan efisiensi dan daya saing. Sedangkan dalam program jangka panjang sedang diletakkan
landasan bagi perekonomian yang maju,modern,mandiri dan berkualitas,terbuka bagi semua
kalangan serta membangun institusi ekonomi yang berorientasi ke pasar dalam negeri dan pasar
global.

Pada 1999 terjadi kembali perubahan pimpinan di Indonesia. Presiden B.J habibie digantikan
oleh Abdurrahman Wahid atau GusDur. Pada bidangperekonomian, Presiden Abdurrahman Wahid
mewarisi ekonomi Indonesia yangrelatif lebih stabil dari pemerintahan Habibie, nilai tukar Rupiah
berada dikisaranRp 6.700/US$. indeks harga saham gabungan (IHSG) berada di level 700. Dengan
bekal ini di tambah legitimasi yang dimilikinya sebagai presiden bersamawapres yang dipilih secara
demokratis, Indonesia mestinya sudah bisa melajukencang. Namun Presiden Abdurrahman Wahid
bersama kabinetnya menolak melanjutkan semua hasil kerja keras kabinet pemerintahan Habibie
misalnya Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah (PKM), yang selama pemerintahan
Habibie menjadi lokomotif ekonomi kerakyatan oleh PresidenAbdurrahman Wahid dijadikan
kementerian nonportofolio atau menteri negaranon Departemen. Selama pemerintahan
Abdurrahman Wahid IMF tak pernahmencairkan pinjamannya, Bagaimanapun juga presiden
Abdurrahman Wahidtelah membuktikan kepada dunia luar, bahwa Indonesia bisa diurus
tanpabantuan dana dari IMF.Pemerintahan Abdurahman Wahid juga memiliki gagasansekuritisasi
aset yaitu aset-aset negara,terutama barang tambang bisa dinilai dulu, kemudian pemerintah bisa
mengeluarkan saham atas aset-aset Negaratersebut yang kemudian diperjual-belikan dipasar modal
untuk membiayai pembangunan nasional.

Pada era kepemimpinan Gus Dur terdapat peristiwa perekonomianyangmengguncang


pemerintahan, yakni bulog gate dan bruneigate.Kasus Buloggatebegitu terkenal karena seringkali
menjerat petinggi-petingggi negara. Kasus- kasus yang melibatkan nama Badan Urusan Logistik
(Bulog) serta jajaranpimpinannya sejak lama sudah mengemuka. Kasus ini melibatkan
Yanatera(Yayasan Bina Sejahtera) Bulog yang dikelola oleh mantanWakabulog,Sapuan.Sapuan
akhirnya divonis 2 tahun penjara dan terbukti bersalah menggelapkan dana non bujeter Bulog
sebesar 35 milyar rupiah. Kasusini pula yang mengantarkan Gus Dur lengser di tahun 2001. Setelah
sebelumnyaia menerima dua kali memorandum DPR RI. Brunei gate adalah kasuspenyaluran dana
Sultan Brunei yang diserahkan kepada pengusaha yang dekat dengan Presiden Wahid, yaitu Ario
Wowor.

Setelah Gus Dur lengser pada tahun 2001, posisinya kemudian digantikanolehwakilnya, yakni
Megawati Soekarno Putri. Pada saat Megawati Soekarno Putri diangkat menjadi Presiden RI yang
kelima, kondisi Indonesia masih dalamkeadaan krisis. Krisis ini disebabkan karena situasi politik dan
ekonomi yangbelum stabil. Banyak orang yang berpendapat, bahwa siapapun yang menjadi
pemimpin dalam negeri ini akan menghadapai masalah yang sangat berat, danbagi pasangan
Megawati Soekarno Putri dan Hamzah haz, masalah krisisIndonesia ini adalah tugas yang sangat
berat dan harus dijalani.

Kebijakan lain yang dibuat oleh Presiden Megawati dalam bidang ekonomi antaralain : (a)
memutuskan hubungan dengan IMF, (b) melakukan restrukturisas dan reformasi keuangan dengan
melakukan pembaruan ketentuan perundang- undangan, (c) meningkatkan pendapatan melalui
pajak, cukai, mendorongkemajuan usaha kecil dan menengah,(d) kerjasama ekonomi dan politik
diluar Amerika.Keadaan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan PresidenMegawati Soekarno
Putri terus mengalami kemajuan. Secara riil keadaan ekonomi masih belum sepenuhnya pulih, dan
tingkat pengangguran masih tinggi, namun dari sejumlah indikator ekonomi makro tampak bahwa
keadaan sudahmenunjukkan tanda-tanda membaik. Mengingat pertumbuhan ekonomi nasional
yang terpuruk pada lima tahun yang lalu akibat krisis ekonomi.

Megawati Soekarno Putri tidak lagi menjadi Presiden Indonesia, setelah dalampemilihan umum
pada tahun 2014 dimenangkan oleh Susilo BambangYudhoyono (SBY) bersama pasangannya yakni
Jusuf Kalla. Pada erakepemimpinan SBY membentuk kabinet yangkemudian disebut sebagai Kabinet
Indonesia Indonesia bersatu I ( pada periode pertama SBY memimpin bersamawakilnya Jusuf Kalla)
dan Kabinet Indonesia Bersatu II (pada periode kedua SBYmemimpin bersama wakilnya Boediono).
Kehidupan perekenomian Indonesiabertumbuh secara positif, pada tahun 2004 pertumbuhan
ekonomi Indonesia sebesar 5% yang kemudian pada tahun 2007 mencapai 6,3%. Adanyakrisis
keuangan global pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Indonesiamengalami pelambatan hingga
hanya tumbuh 4,6% pada tahun 2009. Namun hal tersebut masih cukup baik mengingat hanya
beberapa negara saja yang mengalami pertumbuhan ekonomi secara positif, diantaranya adalah
China, India dan Indonesia. Pendapatan Domestik Bruto (PDP) Indonesia juga terus mengalami
peningkatan pada era SBY memimpin yaitu naik lebih dari tiga kali lipat, dari Rp 10,5 juta pada tahun
2005 hingga mencapai Rp 33,7 Juta padatahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai