Anda di halaman 1dari 11

RASM AL-QUR’AN

A. Pengertian Rasm al-Qur’an


Abdul Fattah Ismail Sallabi mengemukakan bahwa istilah rasm secara
harpiah berarti atsar (bekas), yaitu bekas tulisan suatu lafal. menggambar atau
melukis. Secara istilah, melukiskan kata dengan huruf hijaiyah, menentukan
permulaan dan akhirnya.
Kata rasm yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah melukis kalimat
dengan merangkai huruf-huruf hijaiyah. Dengan kata lain, rasm al-Qur’an adalah
tata cara menulis al-Qur’an. Rasm al-Qur’an/rasm Usmani adalah ilmu yang
mempelajari tentang penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan secara khusus atau
tata cara penulisan al-Qur’an yang disetujui khalifah Usman bin Affan dan
dipedomani oleh tim penyalin al-Qur’an yang dibentuknya yang terdiri atas Zaid
bin Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Said bin al-Ash dan Abd. Rahman bin al-Haris.
Proses penulisan al-Qur’an telah dimulai sejak masa Rasulullah saw.
Kerinduan Nabi saw. terhadap kedatangan wahyu tidak hanya diekspresikan dalam
kegiatan menghafal, tetapi juga dalam kegiatan menulis. Nabi saw. memiliki
sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu, yakni Abu Bakar, Umar,
‘Usman, Ali, Abban bin Said

B. Pendapat Ulama Tentang Rasm al-Qur’an


Tentang hukum menulis ayat-ayat al-Qur’an menurut rasam Usmani, para
ulama berbeda pendapat, antara lain:
1. Imam Ahmad mengatakan bahwa sama sekali tidak boleh menyalahi tulisan
Usmani. Abu Amir al-Dani berkata bahwa tidak ada orang yang berbeda

1
pendapat dengan apa yang diriwayatkan dari Imam Malik, yaitu tidak bolehnya
menulis al-Qur’an selain yang telah ditetapkan oleh para sahabat itu.
2. Tulisan al-Qur’an itu bukan tauqify (berdasarkan petunjuk Nabi/Allah), bukan
demikian diterima dari syara’. Tulisan yang sudah ditetapkan dan disepakati
pada masa itu boleh saja tidak diikuti. Di antara ulama yang menguatkan
pendapat ini adalah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya dan Qadhi Abu
Bakar dalam kitabnya al-Intishar.
3. Penulis kitab al-Burhan (al-Zarkasyi) memilih pendapat yang dipahami dari
keterangan ibnu Abd. Salam yang membolehkan menulis al-Qur’an untuk orang
awam menurut istilah-istilah yang dikenal di kalangan mereka dan tidak boleh
menulisnya dengan cara lama karena dikhawatirkam akan membuat mereka ragu
Sementara itu, tulisan lama harus ada yang memeliharanya sebagai warisan,
terutama kalangan yang menguasainya.
Dari tiga pendapat ini, tampaknya pendapat ketiga lebih moderat dan lebih
sesuai dengan kondisi umat, memang tidak ditemukan nash yang jelas yang
mewajibkan penulisan al-Qur’an dengan rasam Usmani. Namun demikian,
kesepakatan para penulis al-Qur’an pada rasam Usmani harus diindahkan dalam
pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadannya tidak boleh hilang
dari masyarakat Islam.
Namun demikian, untuk penulisan al-Qur’an secara utuh sebagai kitab suci
umat Islam, mesti mengikuti rasm usmani, hal ini karena:
1. Agar umat Islam di seluruh dunia memiliki kitab suci yang seragam, sesuai pola
penulisan yang asli.
2. Rasm usmani walaupun tidak bersifat tauqifi, tetapi merupakan ijma’ ulama,
dan ijma’ memiliki kekuatan hukum yang wajib ditaati.

2
C. Kaidah-kaidah Rasm ‘Us|ma>ni>

Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n, banyak di antara para
sahabat penghafal al-Qur’an yang tinggal berpencar di berbagai daerah. Hal ini
disebabkan daerah Islam waktu itu sudah semakin luas. Sementara itu, para
pemeluk agama Islam di masing-masing daerah mempelajari serta menerima bacaan
al-Qur’an dari sahabat ahli qira>’a>t yang tinggal di daerah yang bersangkutan.
Penduduk Syam, misalnya berguru dan membaca al-Qur’an dengan qira>’a>t Ubay
bin Ka’ab. Penduduk Kufah, berguru dan membaca al-Qur’an dengan qira>’a>t
Abdullah bin Mas’ud, sementara penduduk yang tinggal di Bashrah berguru dan
membaca al-Qur’an dengan qira>’a>t Abu Musa al-Asy’ari, dan lain sebagainya.
Versi qira>’a>t yang dimiliki dan diajarkan oleh masing sahabat ahli qira>’a>t tersebut
satu sama lain saling berlainan. Hal ini ternyata menimbulkan dampak negative di
kalangan kaum muslimin ketika itu, yaitu masing-masing mereka saling
membanggakan versi qira>’a>t mereka dan saling mengaku bahwa versi qira>’a>t
merekalah yang paling benar.
Muhammad al-S}abu>ni< mengemukakan bahwa keadaan seperti yang
disebutkan di atas akhirnya menyebabkan kaum muslimin saling menyalahkan
terhadap qira>’a>t yang tidak sesuai dengan qira>’a>t mereka, bahkan nyaris saling
mengkafirkan di antara sesama mereka.
Keadaan tersebut membuat Abu Khuzaifah merasa khawatir akan
terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam. Melihat kenyataan seperti ini Abu
Khuzaifah menghadap khalifah dan menyampaikan hal tersebut. Lalu Khalifah
‘Us|ma>n bin ‘Affa<n pun mengundang para sahabat baik dari golongan Ans}a>r maupun
Muha>jiri>n. Di hadapan mereka ia mengutarakan maksudnya, yaitu bagaimana solusi
mengatasi masalah yang cukup serius itu. Akhirnya, dicapai suatu kesepakatan,

3
agar mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar disalin kembali menjadi
beberapa mushaf. Mushaf-mushaf tersebut nantinya akan dikirim ke beberapa kota
atau daerah untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin, terutama ketika terjadi
perselisihan tentang qira>’a>t al-Qur’an di antara mereka.
Untuk melaksanakan tugas mulia itu, Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n
membentuk Tim Empat yang terdiri atas Zaid ibn S|a<bit, ‘Abdullah ibn al-Zubair,
Sa’d ibn al-As}, dan Abd. Al-Rahman ibn al-Haris ibn Hisya>m. Kemudian Khalifah
Usman meminta kepada Hafs}ah, agar mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu
Bakar yang selama ini disimpan di rumah Hafs}ah diserahkan kepadanya, untuk
kemudian diserahkan kepada tim penyalin mushaf tersebut.
Setelah tim tersebut menyelesaikan tugasnya, Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n
mengembalikan mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar kepada Hafs}ah,
kemudian beberapa mushaf hasil kerja tim tersebut dikirim ke berbagai kota,
sementara mushaf-mushaf lainnya yang ada ketika itu diperintahkan oleh Khalifah
‘Us|ma>n bin ‘Affa<n untuk dibakar.
Selanjutnya, mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar tetap
disimpan pada Hafsah sampai akhir hayatnya. Setelah itu, Marwan ibn al-Hakam
(w. 65 H), walikota Madinah ketika itu, memerintahkan untuk mengambil mushaf
tersebut dan membakarnya.
Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang
ditulis pada masa Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n. Kebanyakan ulama berpendapat
sebanyak empat buah, masing-masing dikirim ke Kufah, Bashrah dan Syam,
sementara satu buah lagi berada di tangan Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n. Ulama
lainnya menyatakan berjumlah tujuah buah, yaitu empat buah sebagaimana telah
disebutkan, dan tiga buah lagi dikirim ke Makkah, Yaman dan Bahrein. Ada pula
ulama yang berpendapat bahwa mushaf yang disalin berjumlah enam buah,

4
masing-masing dikirim ke Makkah, Bashrah, Kufah, Syam, satu buah berada di
Madinah, dan satu buah lagi berada di tangan Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n.
Berapapun jumalh mushaf yang ditulis pada masa Khalifah ‘Us|ma>n bin
‘Affa<n, tidaklah begitu menjadi masalah. Yang terpenting adalah penulisan al-
Qur’an pada masa Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n tersebut telah berhasil
mengupayakan mufhaf resmi sebgi rujukan kaum muslimin, dan dapat
menghilangkan perselisihan di antara mereka ketika itu.
Adapun ciri-ciri mushaf yang ditulis pada masa Khalifah ‘Us|ma>n bin
‘Affa<n, adalah:
1. Ayat-ayat al-Qur’an yang di tulis di dalamnya, seluruhnya berdasarkan riwayat
mutawa>tir berasal dari Nabi saw.
2. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat yang telah mansu>kh. Atau di-nasakh
bacaannya.
3. Surat-surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib sebagaimana al-
Qur’an yang berada di tangan kaum muslimin sekarang ini. Tidak seperti
mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar yang hanya
disusun menurut tertib ayat, sementara surat-suratnya disusun menurut
kronologis turunnya wahyu.
4. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong kepada al-Qur’an, seperti apa
yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf-nya, sebagai penjelasan atau
keterangan terhadap makna ayat-ayat tertentu.
Selain itu, terdapat beberapa kaidah penulisan al-Qur’an versi Khalifah
‘Us|ma>n bin ‘Affa<n yang menyimpang dari kaidah penulisan bahasa Arab, yaitu:
1. ‫ احلذف‬, yaitu berupa pengurangan huruf, seperti pengurangan huruf ‫ )الواو( و‬pada

firman Allah di bawah ini:


- QS al-Isra> (17): 11

5
. . .      

- QS al-Syu>ra> (42): 24

. . .        . . .

- QS al-Qamar (54): 6

       . . .

dan pengurangan huruf ‫ )االلف( ا‬pada firman Allah:


- Q.S. al-Ma>idah (5): 41

. . .         . . .

- Q.S. al-Ahza>b (33): 35

      

. . .      

2. ‫ الزاي دة‬, yaitu berupa penambahan huruf, seperti penambahan huruf alif (‫ )االلف‬pada

firman Allah berikut:


- Q.S. al-Khafi (18): 23

       

6
- Q.S. al-Naml (27): 21

       . . .

Dan penambahan huruf ‫ )الياء( ي‬pada Q.S. al-Ru>m (30): 8

         . . .

3. ‫اهلمزة‬

Salah satu kaidahnya adalah bahwa jika hamzah berharokat sukun, ditulis

dengan huruf berharokat sebelumnya, misalnya: ‫اِئذن‬ (i’dzan), ‫اؤتنن‬


(u’tumin).
4. ‫ البد ل‬, yaitu berupa penggantian suatu huruf dengan huruf lain, seperti mengganti
huruf ‫ )االلف( ا‬dengan huruf ‫ )الواو( و‬pada firman Allah berikut:
- Q.S. al-Baqarah (2): 43

       

- Q.S. al-Baqarah (2): 276

            

5. ‫ الوصل‬dan ‫ الفصل‬, yaitu menggabunkan suatu lafaz dengan lafaz lain yang lazimnya

dipisahkan, dan sebaliknya, seperti menggabungkan lafz (‫ )ان‬dengan )‫ (لن‬dalam


fiman Allah berikut:
- Q.S. al-Qiya>mah (75): 3

     

7
- Q.S. al-Kahfi (18): 48

       . . .

dan memisahkan lafaz ‫ انما‬menjadi ‫ ان ما‬dalam firman Allah berikut:


- Q.S. Luqma>n (31): 30

. . .       . . .

- Q.S al-Hajj (22): 62

. . .        . . .

6. ‫ات ن‬ ‫ ما فيه قرء‬, yaitu menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki versi qira>’a>t
yang berbeda. Dalam hal ini, bila memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan
yang sama, maka pola penulisannya sama dengan setiap mushaf ‘Us|ma>ni.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah swt. sebagai berikut:
- Q.S. al-Fa>tihah (1): 4

   

Lafaz  pada ayat dapat dibaca ‫ ما لك‬dan dapat dibaca ‫ ملك‬.

- Q.S. al-Baqarah (2): 9

. . .    

8
Lafaz ‫ خيدعون‬pada ayat di atas dapat dibaca ‫ يخادعون‬dan dapat pula dibaca ‫خيدعون‬

Akan tetapi, bila tidak memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang
sama, maka ditulis dalam mushaf ‘Us|ma>ni dengan rasm al-mushaf yang sama.
- Q.S. al-Baqarah (2): 132

. . .     

Dalam sebagian mushaf ‘Us|ma>ni ditulis dan dibaca ‫ واوصى‬, dan dalam sebagian

lainnya ditulis dan dibaca ‫ووصى‬

- Q.S. Ya>si>n (36): 35

. . .     . . .

Dalam sebagian mushaf ‘Us\ma>ni ditulis dan dibaca ‫ وماعملت‬, dan dalam

sebagian lainnya ditulis dan dibaca ‫وماعملته‬.

Perlu diketahui bahwa pola penulisan al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan


di atas, tidak sepenuhnya berlaku bagi penulisan al-Qur’an dalam mushaf
‘Us|ma>ni, karena dalam kenyataannya terdapat pola penulisan al-Qur’an dalam
mushaf ‘Us|ma>ni yang berbeda dengan pola penulisan al-Qur’an sebagaimana
disebutkan di atas.
Sebagai contoh, pada dasarnya dalam mushaf ‘Us|ma>ni ‫ )االلف( ا‬diganti
penulisannya dengan huruf ‫ )الواو( و‬pada lafaz-lafaz ‫الصلوة‬, ‫الزكوة‬, ‫الحيوة‬, ‫الربو‬.
Akan tetapi, pola ini tidak berlaku pada firman Allah berikut:
- Q.S. al-Anfa>l (8): 35

9
. . .         

- Q.S. al-An’a>m (6): 162

         

- Q.S. al-An’a>m (6): 29

         

- Q.S. al-Ru>m (30): 39

. . .        

Dengan demikian, dalam mushaf ‘Us|ma>ni terkadang suatu kata ditulis dengan
pola tertentu, namun terkadang pula ditulis dengan pola yang lain.

D. Hubungan Rasm al-Qur’an dengan Qiraat


Hubungan rasam al-Qur’an dengan qiraat sangat erat, karena semakin
lengkap tanda baca semakin sedikit kesulitan dalam mengungkap/membaca ayat-
ayat al-Qur’an. Pada masa khaliafah ’Usman bin ’Affa>n, ayat-ayat al-Qur’an belum
mempunyai tanda untuk membedakan antara huruf yang satu dengan huruf yang
lain, sehingga orang non Arab kesulitan dalam hal membaca ayat-ayat al-Qur’an.
Untuk mengatasi hal tersebut, Abu Aswad Al-Duwali berusaha memberikan tanda
untuk memudahkan membacanya, (titik di atas = fathah, titik dibawah = kasrah,
titik dua = tanwin), namun tanda ini belum mampu mengatasi kesulitan. Untuk
lebih lengkapnya Khalil ibn Ahmad berinisiatif membuat tanda yang lebih praktis
seperti yang ada dalam mushaf al-Qur’an sekarang.

10
11

Anda mungkin juga menyukai