1
pendapat dengan apa yang diriwayatkan dari Imam Malik, yaitu tidak bolehnya
menulis al-Qur’an selain yang telah ditetapkan oleh para sahabat itu.
2. Tulisan al-Qur’an itu bukan tauqify (berdasarkan petunjuk Nabi/Allah), bukan
demikian diterima dari syara’. Tulisan yang sudah ditetapkan dan disepakati
pada masa itu boleh saja tidak diikuti. Di antara ulama yang menguatkan
pendapat ini adalah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya dan Qadhi Abu
Bakar dalam kitabnya al-Intishar.
3. Penulis kitab al-Burhan (al-Zarkasyi) memilih pendapat yang dipahami dari
keterangan ibnu Abd. Salam yang membolehkan menulis al-Qur’an untuk orang
awam menurut istilah-istilah yang dikenal di kalangan mereka dan tidak boleh
menulisnya dengan cara lama karena dikhawatirkam akan membuat mereka ragu
Sementara itu, tulisan lama harus ada yang memeliharanya sebagai warisan,
terutama kalangan yang menguasainya.
Dari tiga pendapat ini, tampaknya pendapat ketiga lebih moderat dan lebih
sesuai dengan kondisi umat, memang tidak ditemukan nash yang jelas yang
mewajibkan penulisan al-Qur’an dengan rasam Usmani. Namun demikian,
kesepakatan para penulis al-Qur’an pada rasam Usmani harus diindahkan dalam
pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadannya tidak boleh hilang
dari masyarakat Islam.
Namun demikian, untuk penulisan al-Qur’an secara utuh sebagai kitab suci
umat Islam, mesti mengikuti rasm usmani, hal ini karena:
1. Agar umat Islam di seluruh dunia memiliki kitab suci yang seragam, sesuai pola
penulisan yang asli.
2. Rasm usmani walaupun tidak bersifat tauqifi, tetapi merupakan ijma’ ulama,
dan ijma’ memiliki kekuatan hukum yang wajib ditaati.
2
C. Kaidah-kaidah Rasm ‘Us|ma>ni>
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n, banyak di antara para
sahabat penghafal al-Qur’an yang tinggal berpencar di berbagai daerah. Hal ini
disebabkan daerah Islam waktu itu sudah semakin luas. Sementara itu, para
pemeluk agama Islam di masing-masing daerah mempelajari serta menerima bacaan
al-Qur’an dari sahabat ahli qira>’a>t yang tinggal di daerah yang bersangkutan.
Penduduk Syam, misalnya berguru dan membaca al-Qur’an dengan qira>’a>t Ubay
bin Ka’ab. Penduduk Kufah, berguru dan membaca al-Qur’an dengan qira>’a>t
Abdullah bin Mas’ud, sementara penduduk yang tinggal di Bashrah berguru dan
membaca al-Qur’an dengan qira>’a>t Abu Musa al-Asy’ari, dan lain sebagainya.
Versi qira>’a>t yang dimiliki dan diajarkan oleh masing sahabat ahli qira>’a>t tersebut
satu sama lain saling berlainan. Hal ini ternyata menimbulkan dampak negative di
kalangan kaum muslimin ketika itu, yaitu masing-masing mereka saling
membanggakan versi qira>’a>t mereka dan saling mengaku bahwa versi qira>’a>t
merekalah yang paling benar.
Muhammad al-S}abu>ni< mengemukakan bahwa keadaan seperti yang
disebutkan di atas akhirnya menyebabkan kaum muslimin saling menyalahkan
terhadap qira>’a>t yang tidak sesuai dengan qira>’a>t mereka, bahkan nyaris saling
mengkafirkan di antara sesama mereka.
Keadaan tersebut membuat Abu Khuzaifah merasa khawatir akan
terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam. Melihat kenyataan seperti ini Abu
Khuzaifah menghadap khalifah dan menyampaikan hal tersebut. Lalu Khalifah
‘Us|ma>n bin ‘Affa<n pun mengundang para sahabat baik dari golongan Ans}a>r maupun
Muha>jiri>n. Di hadapan mereka ia mengutarakan maksudnya, yaitu bagaimana solusi
mengatasi masalah yang cukup serius itu. Akhirnya, dicapai suatu kesepakatan,
3
agar mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar disalin kembali menjadi
beberapa mushaf. Mushaf-mushaf tersebut nantinya akan dikirim ke beberapa kota
atau daerah untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin, terutama ketika terjadi
perselisihan tentang qira>’a>t al-Qur’an di antara mereka.
Untuk melaksanakan tugas mulia itu, Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n
membentuk Tim Empat yang terdiri atas Zaid ibn S|a<bit, ‘Abdullah ibn al-Zubair,
Sa’d ibn al-As}, dan Abd. Al-Rahman ibn al-Haris ibn Hisya>m. Kemudian Khalifah
Usman meminta kepada Hafs}ah, agar mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu
Bakar yang selama ini disimpan di rumah Hafs}ah diserahkan kepadanya, untuk
kemudian diserahkan kepada tim penyalin mushaf tersebut.
Setelah tim tersebut menyelesaikan tugasnya, Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n
mengembalikan mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar kepada Hafs}ah,
kemudian beberapa mushaf hasil kerja tim tersebut dikirim ke berbagai kota,
sementara mushaf-mushaf lainnya yang ada ketika itu diperintahkan oleh Khalifah
‘Us|ma>n bin ‘Affa<n untuk dibakar.
Selanjutnya, mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar tetap
disimpan pada Hafsah sampai akhir hayatnya. Setelah itu, Marwan ibn al-Hakam
(w. 65 H), walikota Madinah ketika itu, memerintahkan untuk mengambil mushaf
tersebut dan membakarnya.
Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang
ditulis pada masa Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n. Kebanyakan ulama berpendapat
sebanyak empat buah, masing-masing dikirim ke Kufah, Bashrah dan Syam,
sementara satu buah lagi berada di tangan Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n. Ulama
lainnya menyatakan berjumlah tujuah buah, yaitu empat buah sebagaimana telah
disebutkan, dan tiga buah lagi dikirim ke Makkah, Yaman dan Bahrein. Ada pula
ulama yang berpendapat bahwa mushaf yang disalin berjumlah enam buah,
4
masing-masing dikirim ke Makkah, Bashrah, Kufah, Syam, satu buah berada di
Madinah, dan satu buah lagi berada di tangan Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n.
Berapapun jumalh mushaf yang ditulis pada masa Khalifah ‘Us|ma>n bin
‘Affa<n, tidaklah begitu menjadi masalah. Yang terpenting adalah penulisan al-
Qur’an pada masa Khalifah ‘Us|ma>n bin ‘Affa<n tersebut telah berhasil
mengupayakan mufhaf resmi sebgi rujukan kaum muslimin, dan dapat
menghilangkan perselisihan di antara mereka ketika itu.
Adapun ciri-ciri mushaf yang ditulis pada masa Khalifah ‘Us|ma>n bin
‘Affa<n, adalah:
1. Ayat-ayat al-Qur’an yang di tulis di dalamnya, seluruhnya berdasarkan riwayat
mutawa>tir berasal dari Nabi saw.
2. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat yang telah mansu>kh. Atau di-nasakh
bacaannya.
3. Surat-surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib sebagaimana al-
Qur’an yang berada di tangan kaum muslimin sekarang ini. Tidak seperti
mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar yang hanya
disusun menurut tertib ayat, sementara surat-suratnya disusun menurut
kronologis turunnya wahyu.
4. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong kepada al-Qur’an, seperti apa
yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf-nya, sebagai penjelasan atau
keterangan terhadap makna ayat-ayat tertentu.
Selain itu, terdapat beberapa kaidah penulisan al-Qur’an versi Khalifah
‘Us|ma>n bin ‘Affa<n yang menyimpang dari kaidah penulisan bahasa Arab, yaitu:
1. احلذف, yaitu berupa pengurangan huruf, seperti pengurangan huruf )الواو( وpada
5
. . .
- QS al-Syu>ra> (42): 24
- QS al-Qamar (54): 6
2. الزاي دة, yaitu berupa penambahan huruf, seperti penambahan huruf alif ( )االلفpada
6
- Q.S. al-Naml (27): 21
3. اهلمزة
Salah satu kaidahnya adalah bahwa jika hamzah berharokat sukun, ditulis
5. الوصلdan الفصل, yaitu menggabunkan suatu lafaz dengan lafaz lain yang lazimnya
7
- Q.S. al-Kahfi (18): 48
6. ات ن ما فيه قرء, yaitu menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki versi qira>’a>t
yang berbeda. Dalam hal ini, bila memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan
yang sama, maka pola penulisannya sama dengan setiap mushaf ‘Us|ma>ni.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah swt. sebagai berikut:
- Q.S. al-Fa>tihah (1): 4
Lafaz pada ayat dapat dibaca ما لكdan dapat dibaca ملك.
8
Lafaz خيدعونpada ayat di atas dapat dibaca يخادعونdan dapat pula dibaca خيدعون
Akan tetapi, bila tidak memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang
sama, maka ditulis dalam mushaf ‘Us|ma>ni dengan rasm al-mushaf yang sama.
- Q.S. al-Baqarah (2): 132
Dalam sebagian mushaf ‘Us|ma>ni ditulis dan dibaca واوصى, dan dalam sebagian
Dalam sebagian mushaf ‘Us\ma>ni ditulis dan dibaca وماعملت, dan dalam
9
. . .
Dengan demikian, dalam mushaf ‘Us|ma>ni terkadang suatu kata ditulis dengan
pola tertentu, namun terkadang pula ditulis dengan pola yang lain.
10
11