Anda di halaman 1dari 22

TEORI KONSUMSI

Dosen Pengampu:
Ahmad Irvani, M.Ag

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah

Ekonomi Mikro Islam

Disusun oleh:

Melinda Sylvi (1931062)

Willy Breghi (1931138)

Nilam Sari (1931080)

PRODI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikanrahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada penulis sehingga berhasil
menyelesaikan tugas makalah sosiologi yang berjudul “Teori Konsumsi” tepat
pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Seperti
halnya pepatah “ tak ada gading yang tak retak”, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan yang bersifat membangun
guna kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Apabila ada kekuranga ataupun
kesalahan dalam penulisan ataupun dalam ejaan penulis mohon maaf. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Peataling, Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
A. Latar Belakang ...............................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................2
C. Tujuan Masalah ..............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................3
A. Paradigma Konsumsi Islami...........................................................3
B. Maslahah dalam Konsumsi.............................................................5
C. Hukum Utilitas (Kepuasan) dan Mashlahah...................................9
D. Keseimbangan Konsumen..............................................................13
BAB III PENUTUP .........................................................................................18
A. Kesimpulan ....................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengeluaran konsumsi masyarakat adalah salah satu variabel makro
ekonomi yang dilambangkan “C”. Konsep konsumsi yang merupakan konsep
yang di Indonesiakan dalam bahasa Inggris “Consumption”, merupakan
pembelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga ke atas barang-barang akhir
dan jasa-jasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang-orang
yang melakukan pembelanjaan tersebut atau juga pendapatan yang
dibelanjakan. Bagian pendapatan yang tidak dibelanjakan disebut tabungan,
dilambangkan dengan huruf “S” inisial dari kata saving. Apabila pengeluaran-
pengeluaran konsumsi semua orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka
hasilnya adalah pengeluaran konsumsi masyarakat negara yang bersangkutan.
Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang
kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi.
Barang-barang yang di produksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi. Kegiatan produksi ada
karena ada yang mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena ada yang
memproduksi, dan kegiatan produksi muncul karena ada gap atau jarak antara
konsumsi dan produksi. Prinsip dasar konsumsi adalah “saya akan
mengkonsumsi apa saja dan jumlah beberapapun sepanjang: anggaran saya
memadai dan saya memperoleh kepuasan maksimum“.
Banyak alasan yang menyebabkan analisis makro ekonomi perlu
memperhatikan tentang konsumsi rumah tangga secara mendalam. Alasan
pertama, konsumsi rumah tangga memberikan pemasukan kepada pendapatan
nasional. Di kebanyakaan negara pengeluaran konsumsi sekitar 60-75 persen
dari pendapatan nasional. Alasan yang kedua, konsumsi rumah tangga
mempunyai dampak dalam menentukan fluktuasi kegiataan ekonomi dari satu
waktu ke waktu lainnya. Konsumsi seseorang berbanding lurus dengan
pendapatannya. Semakin besar pendapatan seseorang maka akan semakin

1
besar pula pengeluaran konsumsi. Perbandingan besarnya pengeluaran
konsumsi terhadap tambahan pendapatan adalah hasrat marjinal untuk
berkonsumsi (Marginal Propensity to Consume, MPC). Sedangkan besarnya
tambahan pendapatan dinamakan hasrat marjinal untuk menabung (Marginal
to Save, MPS).  Pada pengeluaran konsumsi rumah tangga terdapat konsumsi
minimum bagi rumah tangga tersebut, yaitu besarnya pengeluaran konsumsi
yang harus dilakukan, walaupun tidak ada pendapatan. Pengeluaran konsumsi
rumah tangga ini disebut pengeluaran konsumsi otonom (outonomous
consumtion).
Pertumbuhan ekonomi saat ini bertumpu pada konsumsi karena peranan
sektor investasi dan ekspor mendorong pertumbuhan ekonomi. Bertitik tolak
pada latar belakang masalah yang dipaparkan sebelumnya, maka penyusun
akan meneliti dan menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
konsumsi masyarakat di Indonesia. Demikian latar belakang yang bisa kami
sajikan selanjutnya kami akan membahas secara rinci dalam pembahasan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan paradigma konsumsi islami?
2. Apa yang dimaksud dengan maslahah dalam konsumsi?
3. Bagaimana hukum utilitas (kepuasan) dan mashlahah?
4. Bagaimana keseimbanga konsumen terjadi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan paradigma konsumsi
islami.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan maslahah dalam konsumsi.
3. Untuk mengetahui bagaimana hukum utilitas (kepuasan) dan mashlahah.
4. Untuk mengetahui bagaimana keseimbanga konsumen terjadi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Paradigma Konsumsi


Pada mulanya, konsumsi merupakan kebutuhan untuk mempertahankan
dan melangsungkan kehidupan manusia. Seiirng dengan meningkatnya
peradaban manusia, maka pemaknaan konsumsi mengalami pemaknaan yang
berbeda. Pemaknaan ini berpengaruh kepada sikap dan cara pandang manusia
terhadap konsumsi. Robert H. Iman menyebutkan bahwa pada masyarakat
yang makmur kebutuhan  konsumsi sudah melalmpaui dari upaya
mempertahankan hidup dan bergerak menuju pada aktualisasi diri dan
kebutuhan sosial.[6] Steven Miles dalam bukunya Consumerism as a way of
Life yang dikutip Hardjanto Soedjatmiko mengatakan bahwa dalam kehidupan
sehari-hari di negara maju, kehidupan manusia didominasi oleh relasi-relasi
dengan benda konsumen. Bahkan secara ekstrim mengatakan bahwa
konsumerisme menjadi agama baru manusia pada abad ini.
Harjanto Soedjatmiko mengkalsifikasikan cara pandang manusia terhadap
konsumsi pada 3 periode. Cara pandang tersebut kemudian diformulasikan
menjadi teori,  yaitu (1) Teori era klasik, (2) Kebangkitan Sosiologi
Konsumsi, dan (3) Postmodernisme. 1
Pertama, teori klasik tentang konsumsi dikemukan oleh Karl Mark dan
Max Weber. Karl Mark berpendapat bahwa konsumsi merupakan pendorong
manusia untuk berproduksi. Namun komoditas yang diproduksi bukan untuk
dikonsumsi langsung oleh manusia, tetapi untuk kepentingan pasar. Karena itu
komoditas konsumsi memiliki nilai tukar, bukan nilai guna. Sementara Max
Weber berpandangan bahwa dengan semangat calvinisme, yang
membangkitkan etos kerja dan sikap saleh terhadap hasil karya (komoditas),
mendorong manusia untuk tidak mengkonsumsi hasil kerjanya secara

1 M. Fahmi Khan dan Suherman Rosyidi, Esai-Esai Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGafindo
Persada, 2014, hal. 78.

3
berlebihan, tetapi di investasikan kembali, sehingga terjadi kontinuitas dalam
produksi.
Teori kedua, Kebangkitan Sosiologi Konsumsi yang dikemukakan Pierre
Bourdien. Ia berpendapat bahwa fakta dalam masyarakat terjadi kelas-kelas.
Kelas-kelas tersebut ditunjukkan dengan kemampuan manusia dalam
mengakses konsumsi dan budaya. Bila konsumsinya tinggi menunjukkan
bahwa kelasnya dalam masyarakat tinggi, demikian pula sebaliknya.
Konsumsi merupakan tanda, symbol, ide dan nilai yang digunakan untuk
menentukan satu kelas social dengan kelas social lainnya.
Ketiga, teori Postmodernisme yang dikemukanan Mike Featherstone dan
Jean Boudrillard. Featherstone berpendapat bahwa konsumsi  memberi
identitas tidak saja pada kaum muda atau status social tertentu, tetapi secara
potensial berdampak pada kehidupan setiap orang. Seseorang dapat menjadi
siapapun tergantung konsumsinya. Maka terjadilah estetisasi hidup sehari-
hari, yaitu  proses dimana  standar-standar “yang baik” (good style, good
taste, good design) menjadi dasar tiap aspek dalam kehidupan sehari-hari.
Pada relasi konsumsi dan postmodernisme, Featherstone melihat adanya
transformasi realitas dimana pengalaman seni dan estetika menjadi paradigma
utama bagi  pengetahuan, pengalaman dan pemaknaan hidup.
Sementara Jean Boudrillard berpandangan bahwa masyarakat kontemporer
sekarang dikelilingi oleh factor-faktor konsumsi yang begitu menyolok
ditandai dengan multiplikasi, jasa dan barang-barang material. Konsep
manusia yang berkecukupan tidak lagi dikelilingi oleh banyak manusia seperti
pada masa lalu, tetapi oleh objek-objek konsumsi material. Benda-benda
konsumsi tersebut tidak lagi mengarah kepada fungsi kebutuhan, tetapi pada
logika hasrat, seperti kursi bukan lagi sebagai tempat duduk, tetapi sebagai
penanda status social seseorang. Konsumsi menjadi penting sejauh memenuhi
ekspresi seseorang. 2

2 Muhammad, Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: BPFE UGM, 2004, hal.54.

4
B. Maslahah Dalam Konsumsi
Dalam menjelaskan konsumsi, kita mengamsumsikan bahwa konsumen
cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan Mashlahah
maksimum.Hal ini sesuai dengan rasionalitas islami bahwa setiap pelaku
ekonomi selalu ingin meningkatkan mashlahah yang diperolehnya. Keyakinan
bahwa ada kehidupan dan pembalasan yang adil di akhirat serta informasi
yang beasl dari Allah adalah sempurna akan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kegiatan konsumsi.3
1. Kebutuhan dan Keinginan
Kebutuhan manusia adalah segala sesuatu yang diperlukan agar
manusia berfungsi secara sempurna, berbeda dan lebih mulia dari pada
makhluk-makhluk lainnya, misalnya, baju sebagai penutup aurat, sepatu
sebagai pelindung kaki, dan sebagainya. Sedangkan keinginan adalah
terkait dengan hasrat atau harapan seseorang yang jika dipenuhi belum
tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia ataupun suatu
barang. Misalnya, ketika seseorang membangun suatu rumah ia
menginginkan adanya warna yang nyaman, interior yang rapi dan indah,
ruangan yang longgar, dan sebagainya. 
Secara umum, pemenuhan terhadap kebutuhan akan memberikan
tambahan manfaat fisik, spiritual, intelektual ataupun material, sedangkan
pemenuhan keinginan akan menambah kepuasaan atau manfaat psikis di
samping manfaat lainnya. Jika suatu kebutuhan diinginkan oleh seseorang,
maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan melahirkan mashlahah
sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan kebetuhan tidak dilandasi oleh
keinginan, maka hanya akan memberikan manfaat semata.
2. Mashlahah dan Kepuasan
Jika dilihat kandungan mashlahah dari suatu barang/jasa yang terdiri
dari manfaat dan berkah, maka disini seolah tampak bahwa manfaat dari
kepuasan adalah identic. Sebagai contoh adalah dua orang, Zaid dan
Hindun yang dalam keadaan yang sama (rasa lapar da kesukaan yang

3 Tim P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2008, hal. 14.

5
sama) sama-sama mengomsumsi daging sapi. Zaid tidak mempersalahkan
kehalalan daging sapi sehingga dia mengonsumsi daging sapi yang tidak
halal.Sementara itu, Hindun adalah orang yang sangat mematuhi perintah
Allah dan oleh karena itu, hanya makan daging sapi yang halal
(disembelih dengan cara-cara yang sesuai syariat). Asumsikan disini
bahwa sapi yang dikonsumsi kedua orang tersebut mempunyai kualitas
fisik yang tepat sama. Di sini akan bisa dilihat bahwa manfaat yang
diterima oleh Zaid tetap sama dengan manfaat yang diterima oleh Hindun.
Namun, mashlahah yang diterima Hindun lebih besar dari mashlahah yang
diterima oleh Zaid.Hal ini mengingat bahwa mashlahah tidak saja berisi
manfaat dari barang yang dikonsumsi saja, namun juga terdiri berkah yang
terkandung dalam barang tersebut.
Dari contoh di atas dapat di simpulkan bahwa kepuasan adalah
merupakan suatu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan
maslahah merupakan suatu akibat atas terpenuhinya suatu keutuhan atau
fitrah.4
3. Mashlahah dan Nilai-nilai Ekonomi Islam
Sebagaimana dijelaskan pada BAB 2, perekonomian Islam akan
terwujud jika prinsip dan nilai-nilai Islam diterapkan secara bersama-
sama. Pengabaian terhadap salah satunya akan membuat perekonomian
pincang. Penerapan prinsip ekonomi yang tanpa diikuti oleh pelaksanaan
nilai-nilai Islam hanya akan memberikan manfaat (mashlahah duniawi) ,
seangkan pelaksanaan sekaligus prinsip dan nilai akan melahirkan manfaat
dan berkah atau mashlahah dunia akhirat.
4. Penentuan dan Pengukuran Mashlahah bagi Konsumen
Besarnya berkah yang diperoleh berkaitan langsung dengan frekuensi
kegiatan konsumsi yang dilakukan. Semakin tinggi frekuensi kegiatan
yang ber-mashlahah, maka semakin besar pula berkah yang akan diterima
oleh pelaku konsumsi. Dalam Al-Qur’an, Allah menjelaskan bahwa setiap
amal perbuatan (kebaikan maupun keburukan) akan dibalas dengan

4 M. Fahmi Khan dan Suherman Rosyidi, Esai-Esai Ekonomi..., hal. 76.

6
imbalan (pahala maupun siksa) yang setimpal meskipun amal perbuatan
itu sangatlah kecil bahkan sebesar biji sawi. Dengan demikian, dapat
ditafsirkan bahwa mashlahah yang diterima akan merupakan perkalian
antara pahala dan frekuensi kegiatan tersebut. Demikian pula dalam hal
konsumsi, besarnya berkah yang diterima oleh konsumen tergantung
frekuensi konsumsinya. Semakin banyak barang/jasa halal-thayyib yang
dikonsumsi, maka akan semakin besar pula berkah yang akan diterima.
Maslahah dalam ilmu ushul fiqh memiliki beberapa pengertian, tetapi
secara esensi kandungannya adalah sama. Imam al-Ghazali, mengemukakan
bahwa pada prinsipnya maslahah adalah ”mengambil manfaat dan menolak
kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Imam al-
Ghazali memandang bahwa suatu kemashlahatan harus senantiasa sejalan
dengan tujuan syara’, sekalipun hal itu bertentangan dengan tujuan-tujuan
manusia. Hal ini dikarenakan kemashlahatan manusia tidak selamanya sejalan
dengan tujuan syara’ bahkan lebih didasarkan kepada hawa nafsu. Sama
halnya dengan konsumsi yang dilakukan oleh manusia. Karena konsumsi
merupakan dorongan hawa nafsu sudah dapat dipastikan bahwa keinginan
manusia untuk konsumsi selalu didorong oleh keinginan hawa nafsu. Oleh
sebab itulah yang dijadikan patokan dalam menentukan kemashlahatan itu
adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut al-Ghazali, ada lima
bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila
seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara
kelima aspek tersebut, maka baru dapat dikatakan maslahah.
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemashlahatan itu dapat dibagi
menjadi tiga macam, yaitu:5
1. Maslahah al-Dharuriyyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Artinya tanpa ini
manusia tidak akan dapat hidup. Kemashlahatan seperti ini ada lima, yaitu

5 M. Fahmi Khan dan Suherman Rosyidi, Esai-Esai Ekonomi..., hal. 48.

7
(1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4)
memelihara keturunan dan (5) memelihara harta.
2. Maslahah al-Hajiyyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemashlahatan pokok. Artinya kemashlahatan ini
mendukung tercapainya kemashlahatan pokok yang dalam penerapannya
berbentuk keringanan untuk mempertahankan kebutuhan dasar manusia.
Contohnya seperti berburu binatang dan memakan makanan yang baik-
baik.
3. Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap
berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Tanpa terpenuhinya kemashlahatan ini manusia masih dapat melanjutkan
hidupnya, tetapi kemashlahatan ini juga mendukung tercapainya
kemashlahatan lainnya. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang
bergizi dan berpakaian yang bagus.
Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan amanah dari
Allah SWT kepada manusia sebagai kholifah dimuka bumi ini untuk
digunakan bagi kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan yang suci
ini Allah tidak meninggalkan manusia sendirian, tetapi diberikannya petunjuk
melalui Rosul-Nya. Dalam petunjuk ini Allah Allah memberikan segala
sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik itu Aqidah, Akhlak, maupun Islam.
Aqidah dan akhlak sifatnya konstan dan tidak mengalami perbedaan dengan
berbedanya waktu dan tempat. Adapun kompenen yang terakhir yakni " islam
" yang senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban umat.
Islam mengajarkan agar setiap manusia menyadari bahwa pemilik yang
sebenarnya terhadap segala sesuatu yang dilangit maupun dibumi, termasuk
harta yang diperoleh oleh setiap manusia bahkan diri manusia itu sendiri
adalah Allah SWT. Kepemilikan manusia terhadap harta bendanya hanya
bersifat relatif, sebatas hak pakai. Kelak manusia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap pemakaian harta benda yang dititipkan oleh
Allah itu telah sesuai atau tidak dengan petunjuk dan ketentuannya. Konsumsi
memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada

8
kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi
mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab,
mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan
penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.6

C. Hukum Utilitas (Kepuasan) dan Maslahah


Dalam konsep ilmu ekonomi konvensional dikenal hukum penurunan
marginal utilitas (law of diminishing marginal utility). Hukum Marginal
Utilitas : “Hukum ini mengatakan bahwa jika seseorang mengkonsumsi suatu
barang dengan frekuensi yang berulang-ulang, maka nilai tambahan
kepuasan dari konsumsi berikutnya akan semakin menurun”.
Untuk mengetahui bagaimana prilaku konsumen terhadap maslahah akan
dipaparkan terleih dahulu mengenai prilaku konsumen konvensional yang
mengejar utilitas dalam kegiatan konsumsi.7
1. Hukum Penurunan Utilitas Margin
Dalam ilmu ekonomi konvesional dikenal adanya hukum mengenai
penurunan utilitas margin.( law of diminishing margin utility ). Hukum ini
mengatakan bahwa jika seseorang mengonsumsi suatu barang dengan
frekuensi yang diulang-ulang, maka nilai tambahan kepuasan dari
konsumsi berikutnya akan semakin menurun. Pengertian konsumsi di sini
bisa dimaknai mengonsumsi apa saja termasuk mengonsumsi waktu luang
( leisure ). Hal ini berlaaku juga untuk setiap kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang.
Utilitas margin ( MU ) adalah tambahan kepuasan yang diperoleh
konsumen akibat adanya peningkatan jumlah barang atau jasa yang
dikonsumsi. Untuk memberikan penggambaran yang lebih jelas, ilustrasi
dibawah ini menyajikan utilitas margin yang dimaksud.

6 Adiwarman. A Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: RajaGrafinso Persada, 2010,


hal.109.
7 Tim P3EI, Ekonomi Islam..., hal. 71.

9
Tabel 1
Frekuensi konsumsi, Utulitas Total, dan Marginal
Frekuensi Total Kepuasan Total Utilitas Margin
Konsumsi ( 1 ) Utility ( TU ) ( 2 ) (3)
1 10 -
2 18 8
3 24 6
4 28 4
5 30 2
6 32 2
7 32 0
8 30 -2

Dari tabel di atas terlihat nilai utilitas margin semakin menurun.


Penurunan ini bisa dirasakan secara intutif, jika seseorang mengonsumsi
suatu barang atau jasa secara terus-menerus secara berturut, maka nilai
tambahan kepuasan yang dipperoleh semakin menurun. Hal ini terjadi
karena munculnya masalah kebosenan yang seterusnya, kalau berlanjut ,
akan menjadi kejenuhan yang menyebabkan orang yang bersangkutan
bukanya merasa senang dalam mengonsumsi barang tersebut melainkan
justru rasa kurang senang. Hal ini di tunjukan dengan nilai utilitas
marginal yang negatif.Sebelum mencapai nilai negatif, nilai utilitas
marginal mencapai kejenuhan terlebih dahulu yang ditunjukan oleh nilai

10
nol pada variabel tersebut. Pada saat mencapai kejenuhan ini utilitas total
mencapai nilai maksimumnya.
Hal ini juga bisa dilihat dari kacamata hukum kelangkaan: barang.
Suatu barang yang jumlahnya langka, dan oleh karena itu, konsumsinya
juga sedikit, maka nilai barang tinggi, semakin juga sebaliknya. Meskipun
hukum mengenai nilai utilitas margin ini berlaku secara umum dalam teori
ekonomi konvesional, namun ada beberapa pengecualian. Pengecualian
yang tidak termasuk dalam katagori ini adalah perilaku konsumen yang
menunjukan adanya kecanduan ( addicted ). Bagi orang yang kecanduan
terhadap sesuatu, maka dia tiak akan mengalami penurunan nilai utilitas.
Singkatnya, orang tidak pernah merasa bosan melakukan kegiatan tersebut
meskipun sudah berulang kali dilakukan.8           
2. Hukum mengenai Mashlahah
Hukum mengenai pemurunan utilitas marginal tidak selamanya
berlaku pada mashlahah. Mashlahah dalam konsumsi tidak seluruhnya
secara langsung dapat dirasakan, terutama mashlahah akhirat atau berkah.
Adapun mashlahah dunia manfaatnya sudah bisa dirasakan setelah
konsumsi. Dalam hal berkah, dengan meningkatnya frekuensi kegiatan,
maka tidak akan ada penurunan berkah karena pahala yang diberikan atas
ibadah mahdhah tidak pernah menurun.

8 Muhammad, Mikro dalam Perspektif Islam..., hal.59.

11
a. Mashlahah Marginal dari Ibadah Mahdhah
Frekuensi Pahala *) Mashlahah Marginal
Kegiatan ( 1 ) (2) =(1x2) Mashlahah

1 700 700 700


2 700 1.400 700
3 700 2.100 700
4 700 2.800 700
5 700 3.500 700
6 700 4.200 700
7 700 4.900 700
8 700 5.600 700
Mashlahah marginal ( MM ) adalah perubahan mashlahah, baik
berupa manfaat ataupun berkah, sebagai akibat berubahnya jumlah
barang yang dikonsumsi. Dalam hal ibadah mahdhah , jika pahala yang
dijanjikan Allah adalah konstan, maka perlu ibadah tidak akan
mendapatkan manfaat duniawi, namun hanya berharap adanya pahala.
Table. 2
*) pahala sejumlah 700 ini hanya contoh ilustratif ketika manusia
npa mempertimbangkan manfaat yang akan ia peroleh di dunia.
sebagaimana amal jariyah.
Pada tabel 4.8 ditunjukan bahwa nilai mashlaha marginal adalah
konstan.Berdasarkan pemaparan yang disebut di muka pada bagian
utilitas, maka dengan ini bisa dikatakan bahwa seorang konsumen
Mukmin tidak mengalami kebosanan dalam melakukan ibadah

12
mahdhah.Ini terlihat dari nilai mashlahah marginal dari kegiatan ini
yang konstan tidak mengalami penurunan seperti halnya pada kasus
utilitas.

b. Mashlah Marginal dari Konsumsi


Manurut Islam, melalukan suatu kegitan konsumsi akan bisa
menimbukan dosa ataupun pahala tergantung niat, proses dan produk
yang dikonsumsi. Dengan adanya aspek ibadah dalam konsumsi, maka
kegiatan tersebut akan dirasakan mendatangkan berkah. Hal ini bisa
dideteksi dari adanya pahala yang muncul sebagai akibat dari kegiatan
tersebut. Untuk mempermudah ilustrasi perhitungan, maka dalam
tabel-tabel berikut ini akan digunakan pendekatan formulasi yang
disampaikan dalam pemasaran 4.9. Dalam kasus ini di asumsikan
bahwa konsumen yang bersangkutan memerhatikan sepenuhnya
kehadiran mashlahah ( mashlahah aware ) sehingga nilai 8 adalah sama
dengan 1 ( satu ).

D. Keseimbangan Konsumen
Sejauh ini kita baru mendiskusikan suatu kegiatan atau konsumsi dalam
kaitanya dengan mashlahah yang terkandung dalam suatu barang atau
kegiatan secara individual.Dalam dunia nyata, setiap pelaku ekonomi selalu
harus mengambil keputusan dalam mengonsumsi sebuah barang atau
kegiatan.Akibat dari keputusan tersebut sering menimbulkan implikasi pada
penggunaan barang-barang lain yang terkait. Sekarang kita akan
mengeksplorasi konsep Islam pada area yang lebih luas lagi, yaitu pilihan
konsumen. Untuk itu, dirasa sangat perlu untuk memeriksa keterkaitan antara
barang yang satu dengan barang yang lain.9
1.    Keterkaitan Antar Barang

9 Tim P3EI, Ekonomi Islam..., hal. 112.

13
Pilihan ini untuk sangat dipengaruhi oleh keterkaitan antar dua barang
dan preferensi konsumen.Secara umum, keterkaitan ini bisa digolongkan
menjadi tiga, yaitu saling menggantikan (substitusi), saling melengkapi
(komplemeter) atau tidak ada keterkaitan (independen).

a.    Komplomen
Bentuk hubungan antara dua buah barang dalam konteks ini bisa
dilihat ketika seorang konsumen mengonsumsi suatu barang, barang A,
maka dia mempunyai kemungkinan (chance) untuk mengonsumsi
barang yang lain, barang B. Maka kata “ kemungkinan” di sini
menunjukan derajat komplemenatritas dari kedua barang A dan B
tersebut.
Hubungan yang bersifat komplemen ini mempunyai derajat atau
tingkatan yang berbeda-beda antara pasangan barang yang satu dengan
pasangan barang yang lain. Perbedaan ini disebabkan karena sifat
barang yang terkait dengan kegunaan yang bersangkutan. Adapun
tingkatan dari komplementaritas ini adalah sebagai berikut :
1) Komplementaritas Sempurna
Tingkat komplementaritas sempurna terjadi jika konsumsi dari
ssuatu barang mengharuskan (tidak bisa tidak) konsumenuntuk
mengonsumsi barang yang lain sebagai penyerta dari barang
pertama yang dikonsumsi.
2) Komplementaritas Dekat
Komplementaritas Dekat bisa digambarkan jika seseorang
mengonsumsi atau memakai suatu barang, maka dia mempunyai
kemungkinan yang besar untuk mengonsumsi barang yang lain.
3) Komplementaritas Jauh
Tingkat Komplementaritas yang jauh disebabkan karena hubungan
anatara kedua barang adalah rendah.
b.    Substitusi

14
Kalau dalam Komplemen hubungan antara kedua barang adalah
positif, tetapi dalam kasus substitusi hubungan keduanya adalah
negatif. Hubungan yang negatif adalah jika jumlah konsumsi barang
yang satu naik, maka jumlah konsumsi barang lainya akan turun.
Hubungan negatif di sini terjadi karena adanya penggantian antara
barang yang satu dengan barang yang lain. Adapun penggantian
barang tersebut disebabkan oleh berbagai macam alasan yaitu alasan
ketersediaan barang ataupun alasan harga.
Sebagaimana dalam kasus hubungan Komplemen, dalam kasus ini
juga mengenal adanya tingkat atau derajat substitusi,yaitu:
1) Substitusi Sempurna
Hubungan antara dua buah barang dikatakan substitusi sempurna
jika penggunaan dua buah barang tersebut bisa ditukar satu sama
lainya tanpa mengurangi sedikit pun kepuasan konsumen dalam
menggunakan nya.
2) Substitusi Dekat
Dua buah barang bisa dikatakan substitusi dekat jika fungsi kedua
barang tersebut mampu menggantikan satu sama lain. Namun
demikian, pergantiaan satu tehadap yang lainya disini menibulkan
perbedaan kepuasan yang mereka peroleh.
3) Substitusi Jauh
Dua buah barang dikatagorikan sebagai substitusi jauh jika dalam
penggunaanya konsumen bisa mengganti satu barang dengan
barang lainya hanya dalam keadaan terpaksa saja. Dalam keadaan
normal kosumen yang bersangkutan tidak akan mengganti barang
yang dikonsumsinya dengan barang lainnya.10
c.    Domain Konsumsi
Melihat macam-macam hubungan antar dua barang seperti disebut
di muka, maka hubungan yang releven dengan pilihan konsumen disini

10 M. Nur Rianto Al Arif dan Euis Amalia, Teori Mikro Ekonomi Suatu Perbandingan
Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010, hal. 87-89.

15
adalah hubungan yang kedua, substitusi. Hal ini dikarenakan dua buah
barang yang bersifat saling mengganti, maka akan menimbulkan
pilihan, yang kadang menyulitkan bagi konsumen. Sementara kalau
dua buah barang yang sifatnya komplementari, mak tidak akan
menimbulkan pilihan bagi konsumen karena barang penyertanya sudah
merupakan konsekuensi lanjutan dari konsumsi barang utamanya.
Untuk itu, dalam konteks pilihan konsumen, maka jenis hubungan
yang akan dieksplorasi di sini adalah hubungan yang sifatnya
substitute, meskipunnhubungan yang komplementari juga akan tetap
ditampilkan.
2.    Hubungan Antara Barang Yang dilarang Islam
Meskipun jenis hubungan yang akan dieksplorasi disini adalah
hubungan yang sifatnya saling mengganti (substitute) namun perlu
ditentukan dominan dari pembahasan dari substitusi ini. Sebagaimana
diketahui, hukum Islam mengesahkan tidak dimungkinkan adanya
substitusi antara barang haram dan barang halal, kecuali dalam keadaan
darurat.
3.    Hubungan Antara Barang dalam Islami
Berdasarkan pada paparan yang disampaikan di muka, maka dominan
dari konsumsi dalam Islam adalah terbatas pada barang atau kegiatan
yang halal saja. Sehingga hubungan komplemen dan substitusi yang terjadi
hanyalah untuk barang atau kegiatan halal dan barang atau kegiatan halal
yang lain.
4.    Permintaan Konsumen
Setelah kita mengeksplorasi hubungan antara dua buah barang beserta
dominannya dalam perspektif Islam, maka saatnya sekarang membahas
hubungan dua buah barang yang sama-sama halal. Secara lebih khusus,
disini akan disesuaikan bagaimana hubungan dua buah barang yang sma-
sama halal, tetapi dengan kandungan berkah yan berbeda. Kandungan
berkah menjadi sangat penting dalam pertimbangan konsumsi konsumrn

16
mukmin.Hal ini mengingat bahwa konsumen menaruh perhatian pada
mashlahah sebagai jalan menuju falah.
Disi lain kenaikan harga suatu barang diikuti oleh perubahan pada
mashlahah lainnya, misalnya kenaikan manfaat fisik atau psikis barang
tersebut ataupun keberkahan atas barang tersebut, maka konsumen belum
tentu akan mengurangi jumlah konsumsinya, melainkan setelah ia
mempertimbangkan agar mashlahah total yang ia peroleh tetap maksimal.
Sebagai misal, ketika harga surat kabar meningkat tanpa di ikuti oleh
peningkatan manfaat informasi dan sebagainya, maka akan berdampak
penurunan permintaan konsumen. Namun jika kenaikan harga tersebut
diikuti oleh peningkatan manfaat informasi, misalnya kualitas berita
membaik, maka bisa jadi permintaan konsumen tetap akan meningkat. Hal
ini tergantung pada pembandingan antar perubahan mashlahah atas barang
tersebut ( manfaat ataupun berkahnya) dan perubahan harganya.11

11 M. Fahmi Khan dan Suherman Rosyidi, Esai-Esai Ekonomi..., hal. 67.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.    Preverensi seorang konsumen di bangun atas kebutuhan akan maslahah,
baik maslahah yang di terima di dunia ataupun di ahirat. Maslahah adalah
setiap keadaan yang manusia pada derajat yang lebih tinggi daripada
mahluk yang sempurna. Maslahah yamg sempurna dapat berbentuk
manfaat fisik biologis, pisifik, dan material, atau di sebut manfaat saja.
Maslahah ahirat berupa janji kebaikan  (pahala) yang akan di berikan di
ahirat sebagai akibat perbuata mengikuti ajaran islam.
2.    Konsumen akan selalu berusaha untuk mendapatkan maslahah di atas
maslahah minimum. Maslahah minimum adalah maslahah yang di peroleh
dari mengonsumsi barang atau jasa yang halal dengan di ikuti niat
beribadah
3.    Keberadaan maslahah akan memperpanjang rentan (span) dari suatu
kegiatan halal. Seorang yang  merasakan adanya maslahah dan
menyukainya, maka dia akan tetap rela melakukan suatu kegiatan meskipun
manfaat dari kegiatan tersebut bagi dirinya sudah tidak ada.
4.    Bagi orang yang peduli akan adanya berkah, semakin tinggi barang halal
yang di konsumsi seseorang, tambahan maslahah yang di terimanya akan
meningkat hingga titik tertentu dan ahirnya akan menurun, dengan asumsi
jumlahh konsumsi masih dibolehkan oleh islam. Namun, bagi orang yng

18
tidak di peduli terhadap adanya berkah, peningkatan maslahah adalah
identik dengan peningkatan manfaat dunia semata.
5.    Hukum permintaan menyatakan bahwa jika harga suatu barang atau jasa
meningkat, maka jumlah barang atau jasa yang di minta konsumen akan
menurun, selama kandungan maslahah pada barang tersebut, dan faktor lain
tidak beru

DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman. A Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: RajaGrafinso Persada,


2010
Medias. Fahmi. Ekonomi Mikro Islam, Malang: Unisma Press, 2018
Rosyidi. Suherman dan M. Fahmi Khan.Esai-Esai Ekonomi Islam, Jakarta:
RajaGafindo Persada, 2014
Amalia, Euis dan M. Nur Rianto Al Arif dan, Teori Mikro Ekonomi Suatu
Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2010
Muhammad, Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: BPFE UGM, 2004
Tim P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2008

19

Anda mungkin juga menyukai