Anda di halaman 1dari 17

Madhhab Filsafat Isfahan

Pada Masa Dinasti Safawiyah di Persia

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


”Sejarah Peradaban Islam“
Pada Semester Satu
Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab

Oleh:
Burhanuddin Sudrajat
F16212242

Dosen Pengampu:
Dr. Ahmad Nur Fuad, MA

Progam Pascasarjana
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya
2012
Madhhab Filsafat Isfahan
Pada Masa Dinasti Safawiyah di Persia

Pendahuluan
Dalam sejarah, Iran dikenal sebagai wilayah tempat lahirnya filosof, sufi,
saintis dan penyair terkenal. Iran dapat dipandang sebagai tempat yang
merepresentasikan kontinuitas perkembangan pemikiran keagamaan, khususnya
filsafat.
filsafat Islam memiliki kehidupan yang lebih panjang di bagian Timur
ketimbang di bagian Barat dunia Islam. Iran memiliki filsafat yang tetap bertahan
hidup sampai sekarang, tetapi ia juga secara definitif menjadi arena utama
aktivitas dalam filsafat Islam. Sekurang-kurangnya, ada dua faktor pendukung
berkembangnya pemikiran filsafat di Iran: Pertama, faktor geografis-historis, dan
kedua, tradisi keagamaan Syi’ah.
Menurut sejarah, penyerbuan Mongol telah menghancurkan khilafah
Abbasiah dan terusirnya orang Islam dari Spanyol. Bersamaan dengan itu, ummat
Islam pun tenggelam dalam tidur panjang. Abad keenam Masehi merupakan awal
kematian Islam. Hal itu terjadi di dunia Islam sebelah Barat, khususnya dunia
Sunni. Abad ke tujuh justru awal tumbuhnya suatu imperium Islam di belahan
Timur dan pada dunia Syi’ah.
Pada abad ke-14 M, berdirilah kerajaan Safawi yang bertahan sampai sekitar
dua ratus tahun. Pada periode Safawi inilah berkembang berbagai aliran pemikiran
Syi’isme. Salah satu pemikiran yang berkembang pesat adalah bidang filsafat.
Filsafat tetap diajarkan dan merupakan tradisi yang hidup sepanjang zaman di
sekolah-sekolah Syi’ah yang didirikan dinasti Safawi, dan nantinya dari sekolah-
sekolah inilah akan menjadi cikal bakal dari munculnya madhhab filsafat yang
memiliki ciri khas di Iran.

Madhhab Filsafat Isfahan Pada Dinasti Safawiyah

1
Para tokoh filsafat Iran yang terkenal banyak bermunculan, ini dikarenakan
banyaknya sekolah-sekolah Syi’ah (untuk mendalami berbagai bidang ilmu
pengetahuan khususnya filsafat) yang didirikan oleh dinasti Safawi. Bahkan, Iran
menjadi pusat utama ilmu-ilmu intelektual, khususnya filsafat bagi dunia Islam
yang didatangi oleh orang Islam dari seluruh penjuru dunia. Perkembangan
pemikiran filsafat pada zaman dinasti Safawi mempunyai karakteristik yang khas
sebagai madhhab Isfahan. Madhhab Isfahan menampung perkembangan
pemikiran filsafat madhhab Peripatetik (Masya’i), Iluminasi (Ishraqi), Gnosis
(Irfani) dan Teologi (Kalam).1
Madzhab Masya’i (peripatetik) yang didirikan oleh Ibn Sina sangat
berpengaruh di Iran. Karya-karya Ibn Sina mendapat kritikan dan serangan tajam
dari kaum sufi dan teolog. Aliran ini akhirnya mati di dunia Islam. Baru pada abad
ke enam, Nashir al-Din al-Thusi menghidupkan kembali mazhab peripatetik Ibn
Sina. Sementara itu, dari abad delapan dan seterusnya, Shiraz, Isfahan dan
sekitarnya menjadi pusat filsafat.
Mazhab Ishraqi didirikan oleh Syihab al-Din Suhrawardi, walaupun hanya
hidup selama 38 tahun, dia telah menegakkan perspektif intelektual baru dan
berpengaruh pada dunia Islam Iran. Suhrawardi menciptakan teosofi berdasarkan
iluminasi dan intuisi mistik.
Mazhab Irfani dan Kalam pada abad ke tujuh juga mencapai masa
keemasan. Mazhab irfan telah berkembang dalam dunia Syi’ah, demikian pula
pemikiran kalam. Pada zaman inilah keempat pemikiran tersebut di atas (Masya’i,
Isyraqi, Irfani dan Kalam) merasuki pemikiran Syi’ah, yang meratakan jalan bagi
kebangkitan Safawi dengan warna khas pemikiran madhhab Isfahan.

Tokoh-Tokoh Madhhab Filsafat Isfahan (Awal-Akhir Dinasti Safawi)


Perkembangan filsafat pada dinasti Safawi di Persia sangat pesat, dan
madhhab filsafat yang berkembang di masa ini adalah madhhab isfahan. Madhhab
ini memiliki beberapa tokoh, tepatnya pada masa pra dinasti Safawi-awal dinasti

1
Peter Jackson, Lawrence Ockhart, The Cambridge History of Iran: The Timurid and Safavid
Periods, Vol.VI, (New York: Cambridge University Press, 1986) hlm. 658

2
Safawi, madhhab ini kembangkan oleh Jalaluddin Davani, namun belum secara
resmi madhhab Isfahan dipublikasikan, karena pada masa ini adalah masa yang
kurang kondusif dengan adanya peralihan kekuasaan.2
Pada masa setelah dinasti Safawi berdiri, madhhab isfahan mulai
berkembang yang ditokohi oleh Mir Damad (yang mendirikan School of Isfahan,
dan nantinya menjadi pusat perkembangan madhhab isfahan),3 kemudian
dilanjutkan oleh muridnya yaitu Mulla Sadra. Pada masa Mulla Sadra inilah,
madhhab ini berkembang dengan pesat.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkan lebih mendalam, siapa saja
tokoh-tokoh filsuf madhhab isfahan yang memiliki peran penting, beserta
spesifikasi dalam bidang keilmuan dari tokoh-tokoh filsuf madhhab isfahan.

1. Jalaluddin Muhammad bin As’ad Kazeruni Siddiqi


Jalaluddin Muhammad bin As’ad Kazeruni Siddiqi (1426-1502 M), dia
lebih terkenal dengan nama Jalaluddin Davani atau Allamah Davani. Dia
adalah seorang filsuf terkemuka, teolog, ahli hukum dan penyair Iran. Davani
menghabiskan sebagian besar hidupnya di Kazerun dan dia memiliki
hubungan kuat dengan Qara Qoyunlu, Aq Qoyunlu, Timurid dan Penguasa
Ottoman, Davani menerima sejumlah jabatan penting dari mereka.
Davani tidak hanya berkecimpung dalam pemerintahan saja, namun
dalam kesibukannya mengurus masalah pemerintahan, dia juga banyak
menulis karya tentang teologi, filsafat, dan hukum. Dia meninggal tak lama
setelah berdirinya dinasti Safawi, tetapi sebelum Shah Isma’il merebut
propinsi Fars.
Davani mulai belajar dengan ayahnya yang pernah belajar kepada Mir
Sayyid Sarif Ali bin Gorgani (w. 1413 M), kemudian-setelah dia tumbuh
dewasa-Davani pindah ke Shiraz, di Shiraz dia belajar teologi, filsafat, logika,

2
Andrew J. Newman, Safavid Iran: Rebirth of a Persian Empire, (New York: I.B. Tauris & Co
Ltd, 2006) hlm. 132-133
3
Henry Corbin, L’homme de Lumiere Dans Le Soufisme Iranien, edisi terjemah Bahasa Inggris,
The Man of Light in Iranian Sufism, (Colorado: Shambhala Publications, Inc., 1978) hlm. 21-22

3
kaidah hukum-hukum Islam (ushul fiqh), dan hadis kepada Homam al-Din
Golbari, dan Safi al-Din Iji (w. 1450 M).
Pada kerajaan Qara Qoyunlu tepatnya pada Sultan Jahanshah, Davani
diangkat sebagai religious supervisior (Menteri Agama). Namun dia tidak
lama dalam memangku jabatan sebagai menteri pada Qara Qoyunlu, dan
kemudian dia lebih memilih untuk mengajar di Madrasah Begum atau disebut
juga Dar al-Aytam, dan di sana dia menulis Akhlaqi Jalali atau dikenal juga
dengan Lawamy al-Israqy Makarim al-Akhlaq.4 Davani juga merumuskan
undang-undang dalam pemerintahan Aq Qoyunlu, dan kemudian Davani
menerima posisi hakim ketua di Propinsi Fars pada masa Sulatan Ya’qub. 5 Dia
juga memiliki hubungan baik dengan Sultan Rostam, serta memiliki koneksi
yang kuat dengan pengusa-pengusa Turkmenistan, Davani juga memiliki
peran penting dalam pengadilan di Timurid. Pada Sultan Mahmud I di
Gujarat, Davani juga memiliki hubungan, dengan cara menulis buku-buku
tentang Filsafat Ishraqi yang didedikasikan untuk Sultan Mahmud I, Sulatn
Ottoman, dan Bayazid II.
Karangan:
a) Akhlaqi Jalali (gambaran tentang Imam: Sultan sebagai bayangan Allah,
wakil Nabi, dan wakil Khalifah).
b) Arz-Nama (gambaran tentang Imam: Sultan sebagai bayangan Allah, wakil
Nabi, dan wakil Khalifah).
c) Risalat al-Zawra’ (puisi tentang memuji imam dan mengingkari tiga
khalifah pertama Abu Bakar, Umar, dan Ustman).
d) Sawakhil al-Khur fi Sarh Hayakil al-Nur (mensarahi filsafat Suhrawardi).
e) Sarh al-Aqa’id al-‘Azodiya (secara terbuka Davani menyatakan anti
Imamiyah).
Dilihat dari karangan-karangan Jalaluddin Davani, terlihat sangat jelas
adanya perbedaan pendapat dari segi ideoliginya. Dia memang dikenal sebagai
orang yang melakukan praktek penyamaran ideologi (disguise of one’s
4
F. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, (Cambridge, 1958) hlm. 210
5
Woods, The Aqquyunlu Clan, Confederation, Empire. A Study in 15th/9th Century Turko-Iranian
Politics, (Minneapolis, 1976) hlm. 157.

4
religion). Sikap seperti ini memang diambil oleh Davani karena situasi Persia
pada saat itu memang sangat kacau, karena peralihan kekuasaan.
Jalalluddin Davani meninggal pada 1502 M, satu tahun setelah kerajaan
Safawiyah muncul yang dipimpin oleh Shah Isma’il I. 6 Dia dimakamkan di
Davan dalam makam Boq’ayi Saykh ‘Ali.

2. Amir Sayyid Giat al-Din


Amir Sayyid Giat al-Din bin Muhammad Sirazi Husain (1462-1541 M),
adalah seorang cendekiawan, filsuf, dan teolog dari periode awal dinasti
Safawi, tepatnya pada akhir dari Timurid.
Giat al-Din berasal dari Shiraz, kemudian dia dipanggil oleh Shah
Isma’il I dan pindah ke Isfahan. Karena Shah Isma’il I mengetahui kepandaian
Giat al-Din terutama pada keilmuan bidang matematika dan astronomi. Dia
juga pernah menjabat sebagai perdana menteri pada masa Timurid tiga tahun
sebelum Shah Isma’il menjadi pemimpin dinasti Safawi.
Giat al-Din juga masih hidup saat Safawi dipimpin oleh Shah Tahmasb
I, pada masa inilah dia dipercaya untuk menjabat sebagai kepala peangawas
para cendekiawan (chief clerical overseers).7
Giat al-Din dan keluarganya secara terbuka mengaku menganut paham
imamiyah Syi’isme, ini dikarenakan banyak dipengaruhi dalam afiliasi
keagamaan oleh perubahan iklim politik di Persia.
Giat al-Din pernah mengkritik Jalaluddin Davani yang pernah
berpendapat, bahwa Davani mengikuti faham anti imamiyah seperti yang
tercantum dalam Sarh al-Aqa’id al-‘Azodiya. Dan secara tidak langsung
pendapat Davani menolak klaim bahwa Shah Isma’il I adalah sebagai (imam
of the age),8 selain sebagai penguasa pertama dari Dinasti Safawi.
Pada tahun 1526 M, Giat al-Din diangkat sebagai hakim di pengadilan
Safawi dengan Sayyid Ni’matullah Hilli (w. 1533 M), namun pada tahun 1532

6
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: The Expansion of Islam in The Middle Periods,
(Chicago: University of Chicago Press, 1974) hlm. 472-473
7
Newman, Safavid Iran, hlm. 100
8
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, hlm. 472-473

5
M, Giat al-Din dan Hilli diberhentikan oleh Shah Tahmasb I, dikarenakan
kekalahan mereka dalam perselisihan pendapat dengan Karaki dalam
permasalahan pendapat tentang penerapan shalat ghaib yang ditujukan kepada
dua belas imam dalam kepercayaan Syi’ah taqiyya9. Kemudian Giat al-Din
kembali ke Shiraz, dan mengajar di Madrasah Mansyuriyah yang didirikan
oleh ayahnya. Hingga dia meninggal, dan dia dimakamkan di dekat Madrasah
Mansyuriyah.10

3. Baha’ al-Din Muhammad bin Husayn al-‘Amali


Baha’ al-Din Muhammad bin Husayn al-‘Amali, dia adalah seorang
alim, filsuf, arsitek, matematikawan, astronom (salah satu astronom paling
awal di dunia Islam untuk menunjukkan kemungkinan gerakan bumi sebelum
penyebaran Copernican theory), dan penyair Persia, dia juga salah satu guru
filsafat dari Shadr  al-Din al-Syirazy (Mulla Sadra).
Dia lahir di Baalbek, Lebanon 18 Februari 1547 M. Kemudian dia
berimigrasi dengan seluruh keluarganya di masa kecilnya ke Isfahan. Ayahnya
diangkat oleh Shah Tahmasb I sebagai penyebar doktrin Imamiyah Shi’isme
di kalangan masyarakat Dinasti Safawi, Baha’ juga sering menemani ayahnya
dalam penyebaran Imamiyah Shi’isme selama bertahun-tahun. Selain
menemani ayahnya, Baha’ juga menuntut ilmu di daerah Qazvin.
Baha’ kemudian pergi ke Makkah untuk menemani ayahnya
menunaikan ibadah haji, setelah ayahnya melepaskan jabatan dari Safawi.
Setelah perjalanan haji dari Makkah, Baha’ dan ayahnya pergi ke Bahrain
sampai ayahnya meninggal dunia pada tahun 1576 M. Kemudian dia kembali
ke Iran dan menerima mandat dari Shah Tahmasb I, untuk menyebarkan
faham Imamiyah Shi’isme di wilayah Herat.11

9
Todd Lawson, Reason and Inspiration in Islam, (New York: I.B. Tauris & Co.Ltd, 2005) hlm. 46
10
Newman, Safavid Iran, hlm. 101-102
11
Rula Jurdi abisaab, Converting Persia “Religion and Power in the Safavid Empire”, (New
York: I.B. Tauris & Co Ltd, 2004) hlm. 58

6
Pada masa Shah Abbas I, Baha’ aktif dalam pelayanan negara Safawi
dan menganjurkan kepada Shah Abbas I untuk memperluas kekuatan ulama’. 12
Namun dia tidak lama mengabdikan dirinya kepada Shah Abbas I, dia
memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena faktor persaingan dari para
ulama’ lainnya. Di Isfahan dia lebih dikenal karena perbuatan sosialnya,
menjadikan rumahnya untuk anak-anak yatim, janda, dan orang-orang miskin.
Baha’ al-Din adalah penulis yang produktif, dia memberikan kontribusi
dalam banyak bidang keilmuan, diantaranya dalam bidang filsafat, astronomi,
dan matematika. Karangannya lebih dari seratus artikel, surat-surat, buku, dan
juga syair dalam bahasa Arab dan bahasa Persia.
Dikalangan faham Imamiyah, Baha’ dianggap salah satu ulama’ yang
terkemuka. Selain itu dia memiliki kecenderungan Sufi, seperti yang dia
tuangkan dalam karyanya Rasail fi al-Wahdah al-Wujud (Kairo 1910). Dalam
karanganya ini dia berbicara tentang Sufi adalah manusia sejati, semua itu
mengacu dari pengalaman mistis pribadinya.13
Baha’ menghabiskan beberapa tahun bepergian ke luar Iran, pergi ke
Makkah untuk haji, setelah selesai dari haji dia melanjutkan perjalanan ke
Mesir (1584 M), kemudia ke Yerusalem dan Suriah. Dan melanjutkan
perjalanan ke Tabriz (1585 M), Qazvin (1592 M), Mashad (1598 M),
Azerbaijan (1606 M), kemudian kembali ke Isfahan hingga dia meninggal
dunia pada 30 Agustus 1621 M dan dimakamkan di Tus.

4. Mir Burhan al-Din Muhammad Baqir Damad


Mir Burhan al-Din Muhammad Baqir Damad, atau lebih dikenal dengan
nama Mir Damad. Sering juga disebut oleh kalangan ilmuan sebagai guru
ketiga setelah Aristoteles dan al-Farabi. Mir Damad juga dikenal dengan
sebutan Sayyid al-Fadil atau bangsawan yang terpelajar, dilahirkan di
Astrabad tahun 1543 M, namun kemudian dia besar di Mashhad yang
merupakan pusat pengajaran agama di Iran. Di kota inilah Mir Damad
12
Roger Savory, Iran Under the Safavids, (New York: Cambridge University Press, 2007) hlm.
154-155
13
Peter Jackson, Lawrence Ockhart, The Cambridge History of Iran, Vol.VI, hlm. 657

7
menekuni beragam pemikiran, termasuk mengkaji secara dalam tentang
pemikiran Ibn Sina.
Kemudian Mir Damad melanjutkan perjalanannya ke Isfahan pada saat
wilayah itu dikuasai oleh dinasti Safawi yang dipimpin oleh Shah Abbas I.
Qazvin dan Kashan pun juga menjadi kota yang disinggahinya untuk menimba
ilmu, hingga Mir Damad bersinggungan dengan filsafat Yunani.
Tidak heran, jika kemudian Mir Damad membawa beragam tradisi ini ke
dalam ranah filsafat Islam. Mir Damad membawa filsafat Aristoteles,
kemudian menggabungkannya dengan aliran Neo-Platonik, Peripatetik yang
dipelopori oleh Ibn Sina,14 serta mistisisme Islam (Suhrawardi). Mengenai
mistisisme, Mir Damad memang pernah dikenal sebagai filsuf gnosis
(kalangan yang sering mengasingkan diri).
Dia pun selalu berpendapat bahwa aktifitas pikiran akan membawa
seseorang merasakan perjalanan spiritual, pengalaman yang dirasakan
seseorang akan berdampak positif bagi tingginya rasionalitas, maka dari itu
filsafat dan mistisisme merupakan kajian yang serius.
Mir Damad tidak hanya mendalami filsafat dan mistisisme, dia juga
banyak menulis tentang karya-karya yang besar, dan banyak ilmuan pada
masa sesudahnya mengakui bahwa banyak dari tulisan-tulisannya yang begitu
komprehensif. Salah satu karyanya yang terkenal adalah al-Muqabasar, yang
membahas tentang penciptaan dunia dan eksistensi dunia sebagai kekuasaan
Tuhan.
Dalam al-Muqabasar, dia juga memaparkan mengenai waktu dan dunia.
Dia mengembangkan konsep tersebut berdasarkan pendapat para filsuf
terdahulu, seperti Ibn Sina, dan Nasir al-Tusi yang menjelaskan tentang waktu
dan dunia dalam pembagian dhati, dhahri, dan zamani.
Dari konsepsi waktu dan dunia, Mir Damad akhirnya mencapai
pemahaman yang unik mengenai penciptaan, dia memilah menjadi tiga, yaitu
al-‘Alam al-Sarmadi (dunia yang tinggi) yang merupakan ruang bagi Pencipta,

14
Lawson, Reason and Inspiration in Islam, hlm. 94-95

8
al-‘Alam al-Dhahri (dunia yang kekal), dan al-‘Alam al-Zamani (dunia yang
fana) tempat yang merupakan ruang bagi terjadinya kejadian keseharian.
Pemikiran Mir Damad tentang penciptaan merupakan pencapaian yang
luar biasa pada zamannya, sebab pemikirannya itu tidak lepas dari
penggabungan pemikiran teologi dan filsafat. Dari karyanya yang besar inilah,
hingga Mir Damad mendapat julukan pendamai antara teologi dan filsafat.
Kepandaian Mir Damad dalam filsafat Islam tidak diragukan lagi di
Isfahan, hingga memiliki banyak murid salah satunya adalah Mulla sadra, dan
kemudian dia mendirikan School of Isfahan.15
Mir Damad meninggal dunia pada tahun 1631 kerana sakit, saat sedang
perjalanan menuju Karbala. Kemudian dikebumikan di Najaf al-Asyraf, kota
suci bagi pengikut ajaran Ahlul Bayt.

5. Mir Abul Qosim Astrabadi


Mir Abul Qosim Astrabadi, terkenal dengan nama Mir Fendereski lahir
di Mashad 1562 M. Dia adalah seorang filsuf asal Iran, penyair, dan Mistikus
di masa dinasti Safawi. Mir Fendereski tinggal di Isfahan dalam waktu yang
sama dengan Mir Damad, dan keduanya mengabdi di kerajaan Safawi.
Mir Fendereski banyak mempelajari karya-karya dari Ibn Sina, dalam
pemikiran filsafat dan medis, terutama mengkaji kitab al-Qanun dan asy-Syifa
di Isfahan. Selain mendalami pemikiran Ibn Sina di Isfahan, dia juga mengajar
tentang filsafat, dan dikenal seabagai guru filsafat Peripatetik. Menurut
pendapat Corbin, dia juga termasuk salah satu pendiri dan menjadi figur utama
di School of Isfahan.16
Selain mendalami pemikiran Ibn Sina, dia juga mendalami pemikiran
Aristoteles. Hal ini terbukti bahwa Mir Fendereski menjabarkan tentang gerak
dalam fi al-Harakah yang dibagi menjadi lima bab. Di dalamnya membahas
bukti Aristotelian tentang keberadaan Tuhan yang menggerakkan makhluk.
Bab I: membahas sifat dan esensi gerak, Bab II: menegaskan aturan bahwa
15
Peter Jackson, Lawrence Ockhart, The Cambridge History of Iran, Vol.VI, hlm. 659
16
Henry Corbin, En Islam iranien, dalam buku: Seyyed Hossein Nasr, dan Oliver Leaman, History
of Islamic Philosophy, Jilid I, (New York: Routledge, 2002) hlm. 621

9
setiap hal yang bergerak memiliki penyebab, Bab III dan IV: menggambarkan
rantai sebuah gerak yang nantinya akan berujung pada Tuhan, dan pada Bab
V: berisi tentang bantahan dari Peripatetik kepada gagasan Platonism dalam
hal bentuk.17
Mir Fenderski juga mempunyai karya dari hasil menterjemah dari
bahasa India ke bahasa Persia, seperti karya besar Mahabarata yang pernah dia
terjemahkan ke dalam bahasa Persia menjadi Razm, dan teks-teks filsafat dari
Yoga Vaishata (India), menjadi Resale Sanaie, Resaleh dar Kimiya, dan Sahre
Ketabe Maharat (dalam bahasa Persia). Dia bisa menterjemahkan bahasa
Sangsekerta, dikarenakan Mir Fendereski pernah belajar di India. Dan kembali
lagi ke Isfahan dan mengabdikan dirinya dalam keilmuan, hingga meninggal
dunia di Isfahan pada tahun 1640 M.
Tentang kehidupannya, tidak banyak diketahui dan sulit mengukur
signifikasi Mir Fendereski dalam sejarah intelektual dari periode Safawi. Hal
ini tampak ketika dia memulai tradisi filsafat dan ketika dia menulis karya,
tidak seperti Mir Damad yang sezaman dengannya, Mir Damad menulis
karyanya dengan lebih sistematis dan lebih mudah untuk dilacak dalam
sejarah. Meskipun demikian, Mir Fendereski adalah sosok yang berperan
penting dalam pemikiran filsafat Islam pada abad pertengahan, pemikirannya
juga berpengaruh kepada filsuf Persia yang terkenal, yaitu Mulla Sadra yang
pernah menjadi murid dari Mir Fendereski.

6. Mulla Sadra
Mulla Sadra dilahirkan di Syiraz pada tahun 1572 M. Nama lengkapnya
Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qawani Syirazi, atau sering disebut Sadr al-
Din al-Syirazi atau Mulla Sadra. Dikalangan murid-muridnya dikenal dengan
Sadr al-Muta’allihin. Ayahnya pernah menjadi gubernur wilayah Fars. Status
sosialnya sebagai keluarga yang terpandang, dan dia sebagai anak tunggal, dia

17
Terdapat dalam artikel Sajjad H. Rizvi, Mir Fendereski, (yang dipublikasikan di Encylopedia
Iranica, 20 Juli 2005).

10
berkesempatan memperoleh pendidikan yang baik dan penjagaan yang
sempurna di kota kelahiranya.
Sebagai anak yang cerdas, dia mampu dengan cepat menguasai berbagai
ilmu pelajaran yang diajarkan kepadanya. Dalam usia muda, Mulla Sadra
melanjutkan studi ke Isfahan, sebuah pusat budaya yang penting untuk dunia
Timur Islam pada saat itu, dia berguru kepada teolog Baha’ al-Din
Muhammad bin Husayn al-‘Amali, kemudian kepada filsuf Peripatetik Mir
Fendereski. Tetapi gurunya yang paling utama adalah seorang filsuf dan
teolog bernama Mir Damad, yang merupakan seorang penggagas berdirinya
pusat kajian filsafat dan teolog yang kini dikenal dengan aliran Isfahan. Guru
inilah yang merasa bangga mempunyai murid seperti Mulla Sadra, Bangga
karena mempunyai murid yang cerdas, dan menyadari bahwa tulisan-tulisan
Mulla Sadra mudah dipahami dari pada tulisan Mir Damad sendiri.
Teman-teman seperguruan Mulla Sadra kalah bersaing sehingga kurang
dikenal, akan tetapi setelah Mulla Sadra meninggalkan Isfahan menuju Kahak,
teman-teman seperguruanya mulai dikenal. Kahak adalah sebuah desa
dipedalaman dekat Qum. Di Kahak dia menjalani hidup zuhud dan
pembersihan hati dengan melakukan latihan-latihan rohani untuk mencapai
hikmat illahi (rahasia ilahi) atau teosofi (theo = Tuhan, Sophia = cinta). Dia
menjalani hidup zuzhud selama 7 tahun, tapi ada riwayat yang menyebutkan
selama 11 tahun. Jalan ini dikritik oleh ulama Zahir dan bahkan ada yang
menuduhnya kafir. Padahal, dia orang shalih yang tidak mengabaikan
kewajibannya terhadap agamanya. Hal ini diutarakan dalam kata pengantar
kitabnya, Asfar dan Sih Ashl (semacam authobiografi).
Sumbangan filsafat Mulla Sadra sangatlah banyak, diantaranya karya
filsafat yang paling berpengaruh adalah al-Masya’ir (Keprihatinan), Kasr
Asnam al-Jahiliyah (Menghancurkan Arca-arca Paganisme), dan al-Asfar al-
Arba’ah (Empat Pengembaraan). Lambat laun, dia mulai sadar terikat
kewajiban untuk memberikan kepada orang lain apa yang telah dia terima
sebagai hadiah dari Tuhan.

11
Atas desakan masyarakat dan permintaan Syah Abbas I dari dinasti
Safawi. Mulla Sadra diminta menjadi guru di madrasah Allah Wirdi Khan
yang didirikan oleh gubernur provinsi Fars di Shiraz. Di sini pulalah dia
banyak mengahsilkan karya. Hal ini di akui oleh Thomas Herbert, pengembara
abad 17 M yang pernah melawati Shiraz selama masa hidup Sadra. Herbert
menulis bahwa di Shiraz terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat,
astrologi, fisika, kimia, dan matematika yang menyebabkan Mulla Sadra
termasyhur di seluruh Persia. Kesibukan dalam mengajar dan menulis tidak
menghalanginya untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan tujuh di antaranya,
dilakukan dengan berjalan kaki. Namun dalam perjalanan pulang hajinya yang
ke-7 dia jatuh sakit dan meninggal dunia di Basrah pada tahun 1641 M.
Makamnya sangat termasyhur di kota itu.
Tampkanya, Mulla Sadra ini muncul dan banyak mengajarkan filsafat
yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik
Ibn Sina dan para pengikutnya, dan juga illuminasionis Suhrawardi.
Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar
parepatetisme. Dialah yang meletakkan dasar-dasar bagi filsafat Illuminasionis
yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq) yang kemudian memperoleh sejumlah
pengikut. Dalam latar belakang yang demikian itulah sistem pemikiran Mulla
Sadra yang khas tumbuh.18
Dalam mazhab Isfahan, Mulla Sadra tercatat sebagai tokoh utama, dan
filosof yang sangat tersohor kepopulerannya, ditandai oleh kepiawaiannya
dalam menguasai ringkasan pemikiran filsafat Islam yang berkembang dalam
rentang waktu 900 tahun dengan pendekatan sintesis berbagai mazhab filsafat
dan teologi Islam.19 Bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, ucapaan-
ucapan para penguasa sebelumnya, termasuk filsafat peripatetik, iluminatif,
kalam sunni dan syi’i serta mazhab gnosis, Mulla Sadra membuat penjabaran
secara menyeluruh yang selanjutnya dikenal dengan teosofi transedenden (al-

18
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan James, cet. III (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993) hlm.192
19
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, (UK: Ashgate Publishing, 2006)
hlm. 16-18

12
hikmah al-muta’aliyah). Mulla Sadra merasa yakin bahwa ada tiga jalan
terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan
intelektual (‘Aql) dan visi batin atau pencerahan (kasyf). Dia berusaha
merumuskan sebuah kebijaksanaan sehingga manusia mampu mengambil
manfaat dari ketiga sumber tersebut.

7. Muhsen Muhammad Fayz


Muhsen Muhammad Fayz Kashani bin Sah Mortaza bin Sah Mahmud
lahir di Kashan pada tahun 1598 M, dari keluarga yang terkenal. Dia memulai
belajar kepada ayahnya sendiri, yang juga memiliki perpustakaan besar. Pada
usia dua puluh tahun dia pergi ke Isfahan, untuk melanjutkan belajarnya.
Kemudian setelah satu tahun di Isfahan, dia pindah ke Shiraz untuk belajar
Hadis dan ilmu hokum peradilan kepada Majid Bahrani. Namun ketika
Bahrani meninggal beberapa bulan setelah kedatangannya, dia kembali lagi ke
Isfahan, dan bergabung dengan lingkaran cendekiawan Baha’ al-Din ‘Amali.
Di Isfahan dia juga tidak terlalu lama, karena dia melanjutkan perjalanan ke
Makkah untuk melakukan haji.
Setelah kepulangannya dari Makkah dia melanjutkan belajarnya di
Isfahan, untuk belajar kepada Mulla Sadra. Mulla Sadra adalah guru yang
berpengaruh penting terhadap segala disiplin ilmu yang didapatkan oleh Fayz,
khususnya dalam bidang keilmuan teosofi. Fayz menceritakan bahwa
pengaruh yang dia rasakan setelah delapan tahun menghabiskan belajar dan
terlibat dalam latihan zuhud dibawah pengawasan Mulla Sadra, dia akhirnya
mencapai makna terdalam dari semua ilmu pengetahuan. Pengaruh filsafat
Mulla Sadra israqi, sufisme Ibn al-‘Arabi, dan ajaran Ahl al-Bayt memang
sangat terlihat jelas dari berbagai karyanya seperti A’inayi Sahi.20
Pada tahun 1632 M, Fayz beserta Mulla Sadra pergi ke Shiraz, dan
kemudian setelah tiga tahun dia kembali ke kota asal kelahirannya Kashan.
Pada tahun 1642 M dia dipanggil oleh Shah Abbas II ke Isfahan, dan
diperintah untuk mengajar di Madrasah Mulla Abdullah, selain menjadi guru

20
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, hlm. 22-23

13
dia menjadi pemimpin do’a pada hari jum’at. Posisi ini diberikan Shah Abbas
II, untuk menghormati dedikasi yang telah diberikan oleh Fayz terhadap
dinasti Safawi.
Shah Abbas II memiliki hubungan yang baik dengan Fayz, hingga Fayz
memberikan sebuah gambaran pemerintahan Safawi terhadap rajanya sebagai
penguasa yang dihiasi dengan kesempurnaan luar dan dalam. Hal tentang
pemerintahan juga disinggu dalam karyanya yang berjudul A’inayi Sahi,
sebuah risalah singkat yang mengurai tentang esensi dari pemerintahan dalam
hal filsafat.
Fayz adalah sosok yang produktif dan memiliki loyalitas tinggi pada
kerajaan Safawi, selain loyalitasnya terhadap pemerintah, dia juga
mengabdikan dirinya dalam dunia sufi.
Setelah Shah Abbas II meninggal, Fayz tetap di Isfahan hingga beberapa
tahun, dan kemudian dia kembali ke Kashan, di sanalah dia menghabiskan sisa
hidupnya hingga meninggal pada tahun 1679 M.

Simpulan
Madhhab Isfahan muncul di Iran-Persia tepatnya pada dinasti Safawi,
madhhab ini sebenarnya adalah sebuah wadah untuk menampung para pemikir
yang memiliki corak ataupun penganut dari beberapa madhhab filsafat sebelum
madhhab Isfahan muncul (Masya’i, Ishraqi, Irfani dan Kalam).
Madhhab Isfahan secara sah digagas dan didirikan oleh Mir Damad, selain
itu dia juga pendiri dari School of Isfahan. Namun kalau dilihat dari sejarah para
tokoh filsuf yang telah dipaparkan oleh penulis, Sebelum Mir Damad
memunculkan gagasan untuk mendirikan madhhab Isfahan, terdapat tiga tokoh
yang juga memiliki pengaruh dalam kemunculan madhhab Isfahan. Tokoh filsuf
tersebut adalah Jalaluddin Davani (pembawa madhhab Ishraqi pada masa pra
dinasti Safawi-awal dinasti Safawi), Giat al-Din corak filsafatnya bermadhhab
Kalam, begitu juga dengan Baha’ al-Din.

14
Pada masa Mulla Sadra, madhhab Isfahan terlihat berkembang pesat dan
lebih dikenal oleh masyarakat dari luar Persia, dan hingga kini sudah dikenal
semua kalangan dunia baik Muslim maupun non Muslim yang mendalami filsafat.

15
BIBLIOGRAPHY

Abisaab, Rula Jurdi. Converting Persia Religion and Power in the Safavid
Empire, New York: I.B. Tauris & Co Ltd, 2004.
Corbin, Henry. L’homme de Lumiere Dans Le Soufisme Iranien, edisi terjemah
Bahasa Inggris, The Man of Light in Iranian Sufism, Colorado: Shambhala
Publications, Inc., 1978.
Hodgson, G. S. Marshall. The Venture of Islam: The Expansion of Islam in The
Middle Periods, Chicago: University of Chicago Press, 1974.
Jackson, Peter, & Ockhart, Lawrence. The Cambridge History of Iran, The
Timurid and Safavid Periods, Vol.VI, New York: Cambridge University
Press, 1986.
Kamal, Muhammad. Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, UK: Ashgate
Publishing, 2006.
Lawson, Todd. Reason and Inspiration in Islam, New York: I.B. Tauris & Co.Ltd,
2005.
Nasr, Seyyed Hossein, dan Leaman, Oliver. History of Islamic Philosophy, Jilid I,
New York: Routledge, 2002.
Newman, Andrew J. Safavid Iran: Rebirth of a Persian Empire, New York: I.B.
Tauris & Co Ltd, 2006.
Rizvi, Sajjad H. Mir Fendereski, artikel yang dipublikasikan di Encylopedia
Iranica, 20 Juli 2005.
Rosenthal, F. Political Thought in Medieval Islam, Cambridge, 1958.
Savory, Roger. Iran Under The Safavids, New York: Cambridge University Press,
2007.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan James, cet. III,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.
Woods, The Aqquyunlu Clan, Confederation, Empire. A Study in 15th/9th Century
Turko-Iranian Politics, Minneapolis, 1976.

16

Anda mungkin juga menyukai