Anda di halaman 1dari 24

2.

1 Hakikat manusia sebagai makhluk budaya

Setiap manusia memiliki kebudayaannya masing-masing, dan masing-masing manusia


tersebut mewujudkan kebudayaannya dalam bentuk ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-
norma, peraturan-peraturan yang ada pada masyarakat, dan suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, serta benda-benda hasil karya manusia
(Koentjaraningrat, 1990 : 186 - 187).

Wujud dari kebudayaan yang diungkapkan tersebut terdapat juga di dalam sistem religi
(kepercayaan) yang ada pada setiap masyarakat, dan juga merupakan kenyataan hidup dari
masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan dan adat istiadat yang dimiliki oleh
masyarakat merupakan alat pengatur dan memberi arahan kepada setiap tindakan, prilaku
dan karya manusia yang menghasilkan benda-benda kebudayaan. Kebudayaan yang ada
pada masyarakat juga mempengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikir
dari setiap masyarakat.

Manusia adalah makhluk berbudaya dan budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga
dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata
pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri
kepada simbol atau lambang. Simbol merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang
terkandung sebuah makna yang dapat menjelaskan kebudayaan dari manusia.

Geertz ( 1992 ) berpendapat bahwa, hal-hal yang berhubungan dengan simbol yang dikenal
oleh masyarakat yang bersangkutan sehingga untuk mengetahui kebudayaan dari
masyarakat dapat dilihat dari simbol yang mereka gunakan, dan makna harus dicari dalam
fenomena budaya. Sehingga untuk memahami makna yang terdapat di dalam simbol, harus
mengetahui terlebih dahulu tentang pengetahuan dan pemahaman dari masyarakat
mengenai simbol – symbol kebudayan yang mereka wujudkan di dalam tingkah laku dan
perbuatannya.

Manusia pada dasarnya hidup sebagai makhluk budaya yang memiliki akal, budi dan daya
untuk dapat membuahkan suatu gagasan dan hasil karya yang berupa seni, moral, hukum,
kepercayaan yang terus dilakukan dan pada akhirnya membentuk suatu kebiasaan atau adat
istiadat yang kemudian diakumulasikan dan ditransmisikan secara sosial atau
kemasyarakatan.

Manusia adalah salah satu makhluk Tuhan di dunia. Makhluk tuhan di alam fana ini ada
empat macam yaitu, alam, tumbuhan, binatang dan manusia. sifat-sifat yang dimiliki ke
empat makhluk tuhan tersebut sebagai berikut.

 Alam memiliki sifat wujud


 Tumbuhan memiliki sifat wujud dan hidup
 Binatang memiliki sifat wujud, hidup dan dibekali nafsu.
 Manusia memiliki sifat wujud, hidup, dibekali nafsu, serta akal budi.

Akal merupakan kemampuan pikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki manusia.
Berpikir adalah perbuatan operasional yang mendorong untuk aktif berbuat demi
kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Fungsi akal adalah untuk berfikir,
kemampuan berfikir manusia mempunyai fungsi mengingat kembali apa yang telah
diketahui sebagai tugas dasarnya untuk memecahkan masalah dan akhirnya membentuk
tingkah laku Budi : akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan. Budi diartikan
sebagai batin manusia, panduan akal dan perasaan yang dapat menimbang baik buruk
segala sesuatu

Akal budi merupakan pemberian sekaligus potensi dalam diri manusia yang tidak dimiliki
makhluk lain. Kelebihan manusia disbanding makhluk lain terletak padaakal budi. Anugrah
Tuhan akan akal budilah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah
kemampuan berpikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki. Berpikir merupakan
perpuatan oprasional dari akal yang meendorong untuk aktif berbuat demi kepentingan dan
peningkatan hidup manusia. Jadi, fungsi dari akal adalah berpikir. Karena manusia
dianugrahi akal maka manusia dapat berpikir.kemampuan berpikir manusia juga digunakan
untuk memecahkan masalah-masalah hidup yang di hadapinya.
Dengan akal budinya manusia mampu menciptakan, mengkreasi, memperlakukan,
memperbaharui, memperbaiki, mengembangakan dan meningkatkan suatu yang ada untuk
kepentingan hidup manusia. kepentingan hidup manusia adalah dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Secara umum kebutuhan manusia dalam kehidupan dibedakan
menjadi dua. Pertama, kebutuhan yang bersifat kebendaan

(sarana-prasarana) atau badani/ragawi atau jasmani/biologis. Contohnya adalah makanan,


minum, bernafas, istirahat dan seterusnya. kedua, kebutuhan yang bersifat rohani atau
mental atau psikologi. Contohnya adalah kasih sayang, pujian, perasaan aman, kebebasan,
dan lain sebagainya.

Abraham Maslow seorang ahli psikologi, Berpendapat bahwa kebutuhan manusia dalam
hidup dibagi menjadi 5 tingkatan. kelima tingkatan tersebut adalah

sebagai berikut.

 Kebutuhan fisiologis (physiological nieeds). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan


dasar, primer, dan 1ital. Kebutuhan ini menyangkut fungsi-fungsi biologis dasar
dari organism manusia, seperti kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat tinggal,
sembuh dari sakit, kebutuhan seks, dsb.
 Kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan (safety dan security needs).
Kebutuhan ini menyangkup perasaan, seperti bebas dari rasa takut, terlindung dari
bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, perlakuan tidak
adil,dsb.
 Kebutuhan sosial (social needs). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan dicintai
diperhitungkan sebagai peribadi, diakui sebagai anggota kelompok, rasa setia
kawan, kerjasama, persahabatan, interaksi, dsb.
 Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan
dihargainya kemampuan, kedudukan, jabatan, status, pangkat, dsb.
 Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization). Kebutuhan ini meliputi
kebutuhan untuk memeksimalkan penggunaan potensi-potensi, kemampuan, bakat,
kreati1itas, ekspresi diri, prestasi, dsb.
Secara hierarkis, tingkatan kebutuhan manusia menurut A. Maslow dapat digambarkan
dalam bentuk piramida sebagai berikut :

Dengan akal budi, manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup, tetapi jugamampu
mempertahankan serta meningkatkan derajatnya sebagai makhluk yang tinggi bila
dibandingkan dengan makhluk lain. Manusia tidak sekedar homo, tetapi human (manusia
yang memanusiawi). Dengan demikian, manusia memiliki dan mampu mengembangkan
sisi kemanusiaannya. Dengan akal budi, manusia mampu menciptakan kebudayaan.
Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil akal budi manusia dalam interaksinya, baik dengan
alam maupun manusia lainnya. Manusia merupakan makhluk yang berbudaya. Manusia
adalah pencipta kebudayaan.

Manusia yang disebut sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang
senantiasa menyalahgunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, karena yang
membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar, dan adil yang
terkandung dalam kebudayaan. Oleh karena itu hanya manusia yang selalu berusaha
menciptakan kebaikan, kebenaran, dan keadilan sajalah yang berhak menyandang gelar
manusia berbudaya.
Manusia yang berbudaya akan berfikir tentang bagaimana caranya menggunakan benda
hewan atau binatang untuk lebih memudahkan kerja manusia dan menambah hasil
usahanya dalamkaitannya untuk pemenuhan kepentingan dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Contohnya: untuk membajak sawah, manusia bisa menggunakan tenaga hewan (kerbau),
untuk bepergian jauh manusia bisa menggunakan tenaga kuda, dan lain sebagainya.
Manusia yang berbudaya juga mampu beradaptasi dengan budaya yang dianut oleh
manusia pendukung budaya lain yang sama sekali berbeda dengan budayanya.

file:///C:/Users/Microsoft/Downloads/docdownloader.com_makalah-isbd-manusia-sebagai-
makhluk-budaya.pdf

http://pagarpengetahuan.blogspot.com/2016/06/hakikat-manusia-sebagai-makhluk-budaya.html

file:///C:/Users/Microsoft/Downloads/BUKU%20AJAR%20ISBD%202014.pdf
2.2 Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan

2.2.1 Manusia dan kemanusiaan

Kemanusiaan berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sebagai makhluk yang tinggi
harkat dan martabatnya. Kemanusiaan menggambarkan ungkapan akan hakikat dan sifat
yang seharusnya dimiliki oleh makhluk yang bernama manusia. Kemanusiaan merupakan
prinsip atau nilai yang berisi keharusan/tuntutan untuk berkesesuaian dengan hakikat dari
manusia.

Hakikat manusia indonesia berdasarakan pancasila sering dikenal dengan sebutan hakikat
kodrat monopluralis. Hakikat manusia terdiri atas :

 Monodualis susunan kodrat manusia yang terdiri dari aspek keragaman, meliputi
wujud mateeri anorganis benda mati, vegetative, dan animalis, serta aspek kejiwaan
meliputi cipta, rasa dan karsa.
 Monodualis sifat kodrat manusia terdiri atas segi individu dan segi social
 Monodualis kedudukan kodrat meliputi segi keberdaan manusia sebagai makhluk
yang berkepribadian merdeka (berdiri sendiri) sekaligus juga menunjukan
keterbatasannya sebagai makhluk tuhan.

Hakikat manusia harus dipandang secara utuh. Manusia merupakan makhluk tuhan yang
paling sempurna karena ia dibekali akal budi. Manusia memiliki harkat dan derajat yang
lebih tinggi. Harkat adalah nilai, sedangkan derajat adalah kedudukan. Pandangan demikian
berdasarkan pada ajaran agama yang diyakini manusia sendiri.

Karena manusia memiliki haarkat dan derajat yang tinggi maka hendaknya manusia
mempertahankan hal tersebut. Dalam upaya meningkatkan dan mempertahankan harkat dan
martabatnya tersebut, maka prinsip kemanusiaan berbicara. Prinsip kemanusiaan
mengandung arti adanya penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat
manusia yang luhur itu. Semua manusia adalah luhur, karena itu manusia tidak harus
dibedakan perlakuannya hanya karena perbedaan suku, ras, keyakinan, status social
ekonomi, asal usul, dan sebagainya.

2.2.1 Manusia dan Kebudayaan

Kebudayan berasal dari bahasa sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan Bentuk jamak
dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal.
Ada pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi merupakan
unsure rohani. Sedangkan daya adalah unsure jasmani manusia. Dengan demikian, budaya
merupakan hasil budi dan daya dari manusia. Definisi kebudayaan telah banyak
dikemukakan oleh para ahli.beberapa contoh sebagai berikut.

a. Herskovits memandang kebudayan sebagai sesuatu yang turun-menurun dari satu


generasi ke generasi yang lain,kemudian disebut sebagai superorganik.

b. Andreas Eppink menyatakan bahwa bebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,


nlai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur social,religious, dan lain-
lain, ditambah lagi dengan segala pernyataan intelektual dan artistic yang menjadi cirri khas
suatu masyarakat.

c. Edward B. Taylor mengemukakan bahwa kebudayan merupakan keseluruhan yang


kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hokum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.

d. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengatakan kebudayaan adalah sarana hasil
karya, ras, dan cipta masyarakat.

e. Koetjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya


manusia yang harusa dibiasakan dengan belajar beserta hasil dari hasil budi pekerti.

Dari berbagai definisi tersebut,dapat diperoleh pengertian kebudayaan sebagai system


pengetahuan yang meliputi system idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam bentuk sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata. Misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi, seni, dan lain-lain, yang
semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan hidup bermasyarakat.

J.J Hoeningman membagi wujud kebudayaan menjadi tiga, yaitu gagasan, aktivitas, dan
artefak.

a. Gagasan (Wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai,
moral, peraturan, dan sebagainya yang bersifat abstrak, tidak dapat diraba dan disentuh.

b. Aktivitas (tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu berpola dari manusia dalam masyarakat
itu. wujud itu sering pula disebut dengan system social. System social ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul
dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat dapat diamati dan
didokumentasi.

c. Artefak (karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang merupakan hasil aktifitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-ahal yang dapat
diraba, dilihat, atau di dokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara tiga wujud
kebudayaan.

Koentjaraningrat membagi wujud kebudayaan menjadi tiga pula, yaitu

a. Suatu komplek ide, gagasan, nilai, norma dan sebagainya.

b. Suatu komplek aktivitas atau tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c. Suatu benda-benda hasil karya manusia. Sedangkan mengenai unsure kebudayaan,
dikenal adanya tujuh unsure kebudayaan yang bersifat universal. Ketujuh unsure tersebut
dikatakan universal karena dapat dijumpai dalam setiap kebudayaan dimanapun dan kapan
pun berada. Tujuh unsur kebudayaan tersebut, yaitu

a. System peralatan dan perlengkapam hidup (teknologi)

b. System mata pencaharian hidup

c. System kemasyarakatan dan organisasi social

d. Bahasa

e. Kesenial

f. System pengetahuan

g. System religi

Terciptanya kebudayaan adalah hasil interaksi manusia dengan segala isi alam raya ini.
Hasil interaksi binatang dengan alam sekitar tidak membentuk kebudayaan, tetapi hanya
menghasilkan pembiasaaan saja. Hal ini karena binatang tidak dibekali akal budi, tetapi
hanya nafsu dan naluri tingkat rendah. Karena manusia pencipta kebudayaan maka manusia
adalah makhluk berbudaya. Kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia.
Dengan kebudayaannya, manusia mampu menampakakan jejak-jejaknya dalam panggung
sejarah dunia.
2.3 Etika dan Estetika Berbudaya

2.3.1 Etika Manusia dalam Berbudaya


Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos.Secara etimologis, etika adalah
ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap perbuatan, kewajiban dan
sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan moral (mores dalam bahasa latin),
akhlak atau kesusilaan.Etika berkaitan dengan masalah nilai, karena etika pada
pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai susila,
atau tidak susila, baik dan buruk perbuatan manusia.
Namun, etika memiliki makna yang bervariasi. Bertens menyebutkan ada tiga jenis
makna etika sebagai berikut :
a. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud disini adalah
kode etik)
c. Etika dalam arti ilmu ajaran tentang yang baik dan yang buruk.
Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berhubungan dengan makna etika yang
pertama. Nilai-nilai etik adalah nilai tentang baik buruk kelakuan manusia. Nilai etik
diwujudkan ke dalam norma etik, norma moral, atau norma kesusilaan.
Norma etik berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut
kehidupan pribadi. Penduduk norma etik adalah nurani, individu dan bukan manusia
sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir. Norma ini
dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri
sendiri.
Norma etik ditujukan kepada umat manusia agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi
guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat.
Membunuh, berzina, mencuri, dan sebagainya tidak hanya dilarang oleh norma
kepercayaan atau keagamaan saja, tetapi dirasakan juga sebagai bertentangan dengan
(norma) kesusilaan dalam setiap hati nurani manusia. Norma etik hanya membebani
manusia dengan kewajiban-kewajiban saja.
Asal atau sumber norma etik adalah dari manusia sendiri yang bersifat otonom dan
tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia.
Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar norma kesusilaan
dengan sanksi itu. Kalau terjadi pelanggaran norma etik, misalnya pencurian atau
penipuan, maka timbullah dalam nurani si pelanggar itu rasa penyasalan, rasa malu,
takut dan merasa bersalah.
Daerah berlakunya norma etik relatif universal, meskipun tetap dipengaruhi oleh
ideology masyarakat pendukungnya. Perilaku membunuh adalah perilaku yang moral,
asusila, atau tidak etis.Pandangan ini bisa diterima oleh orang mana saja atau
universal.Namun, dalam hal tertentu, perilaku seks bebas bagi masyarakat penganut
kebebasan kemungkinan bukan perilaku yang amoral.Etika masyarakat Timur mungkin
berbeda dengan etika masyarakat Barat.
Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam berperilaku. Dengan
norma etik, manusia bisa membedakan mana perilaku yang baik dan mana perilaku
yang buruk. Norma etik menjadi semacam das sollen untuk berperilaku baik.Manusia
yang beretika berarti perilaku manusia itu baik sesuai dengan norma-norma etik.
Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Manusia yang
beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etik pula. Etika berbudaya
menganut tuntutan/keharusan bahwa budaya yang diciptakan manusia mengandung
nilai-nilai etik yang kurang lebih bersifat universal atau diterima sebagian besar
orang.Budaya yang memiliki nilai-nilai etik adalah budaya yang mampu menjaga,
mempertahankan,bahkan mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia itu
sendiri. Sebaliknya, budaya tidak beretika adalah kebudayaan yang akan merendahkan
atau bahkan menghancurkan martabat kemanusiaan.
Namun demikian, menentukan apakah suatu budaya yang dihasilkan manusia itu
memenuhi nilai-nilai etik ataukah menyimpang dari nilai etika adalah bergantung pada
paham atau ideologi yang meyakini masyarakatpendukung kebudayaan. Hal ini
dikarenakan berlakunya nilai-nilai etik bersifat universal, namun sangat dipengaruhi
oleh ideologi masyarakat.
Contohnya, budaya perilaku berduaan di jalan antara sepasang pemuda mudi,bahkan
bermesraan di hadapan umum. Masyarakat individual menyatakan hal demikian
bukanlah perilaku tidak etis, akan tetapi ada sebagian orang atau masyarakat yang
berpandangan hal tersebut merupakan penyimpangan etik.

2.3.2 Estetika Manusia Dalam Berbudaya

Estetika dapat dikatakan sebagai teori keindahan atau seni.Estetika berkaitan dengan
nilai indah – jelek (tidak indah).Nilai estetika berarti nilai tentang keindahan.Keindahan
dapat diberimakna secara luas, secara sempit, dan estetik murni.
a. Secara luas, keindahan mengandung ide kebaikan. Bahwa segala sesuatu yang
baik termasuk yang abstrak maupun yang nyata yang mengandung ide kebaikan adalah
indah. Keindahan dalam arti luas meliputi banyak hal, seperti watak yang indah, hukum
yang indah,ilmu yang indah dan kebijakan yang indah. Indah dalam arti luas mencakup
hampir seluruh yang ada, apakah merupakan hasil seni, alam, moral dan intelektual.
b. Secara sempit, yaitu indah yang terbatas pada lingkup persepsi penglihatan
(bentuk dan warna ).
c. Secara estetik murni, menyangkut pengalaman seseorang dalam hubungan
dengan segala sesuatu yang diresapinya melalui penglihatan, pendengaran, perabaan
dan perasaan yang semuanya dapat menimbulkan persepsi(anggapan).
Jika estetika dibandingkan dengan etik, maka etika berkaitan dengan nilai tentang baik
buruk, sedangkan estetika berkaitan dengan hal yang baik-jelek. Sesuatu yang estetika
berarti memenuhi bentuk keindahan (secara estetik murni maupun sempit, baik dalam
bentuk kata, warna , garis ataupun nada).Budaya yang estetik berarti budaya itu
meliputi keindahan.
Apabila nilai etik bersifat relatif universal, dalam arti bisa diterima banyak orang,
namun nilai estetik sangat subjektif dan partikular. Sesuatu yang indah bagi seseorang
belum tentu indah bagi orang lain. Misalnya dua orang memandang sebuah lukisan.
Orang pertama akan mengakui akan keindahan dalam lukisan tersebut, namun bisa jadi
orang kedua tidak menemukan keindahan dalam lukisan tersebut.
Oleh karena itu subjektif, nilai estetik tidak boleh dipaksakan pada orang lain. Kita bisa
memaksa seseorang untuk mengakui sebuah keindahan lukisan sebagai pandangan kita.
Nilai estetik lebih bersifat kepada perasaan ,bukan pernyataan.
Budaya merupakan hasil karya manusia sesungguhnya diupayakan untuk memanuhi
unsur keindahan.Manusia sendiri memang suka dengan keindahan.Disinilah masyarakat
berusaha berestetika dalam berbudaya sebudaya pasti dipandang memiliki nilai-nilai
estetik bagi masyarakat pendukung budaya tersebut.Hal-hal yang indah dan
kesukaannya pada keindahan diwujudkan dengan menciptakan aneka ragam budaya.
Namun sekali lagi, bahwa suatu produk budaya yang dipandang indah oleh masyarakat
pemiliknya belum tentu indah bagi masyarakat budaya lain. Contohnya, budaya, suku-
suku bangsa Indonesia. Tarian suatu suku berikut penari dan pakaiannya mungkin
dilihat tidak ada nilai estetikanya , bahkan dipandanganeh oleh masyarakat suku lain,
demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, estetika berbudaya tidak semata-mata dalam berbudaya harus
memenuhi nilai-nilai keindahan.Lebih dari itu, estetika berbudaya menyiratkan
perlunya manusia (individu atau masyarakat) untuk menghargai keindahan budaya yang
dihasilkan manusia lainnya. Keindahan adalah subjektif, tetapi kita dapat melepaskan
subjektivitas kita untuk melihat adanya estetika dari budaya lain. Estetika berbudaya
yang demikian akan mampu memecah sekat-sekat kebekuan, ketidakpercayaan,
kecurigaan, dan rasa inferioritas antarbudaya.
2.4. Memanusiakan Manusia

2.4.1. Memaknai Kalimat “Memanusiakan Manusia”


Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo,tetapi harus meningkatkan diri
menjadi human. Manusia harus memiliki prinsip, nilai,dan rasa kemanusiaan,tetapi
binatang tidak bisa dikatakan memiliki perikebinatangan.Hal ini karena binatang tidak
memiliki akal budi,sedangkan manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan
rasa atau perikemanusiaan.perikemanusiaan inilah yang mendorong perilaku baik
sebagai manusia.
Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantiasa menghargai
dan menghormati harkat dan derajat manusia lainnya.Memanusiakan manusia adalah
tidak menindas sesama,tidak menghardik,tidak bersifat kasar,tidak menyakiti, dan
perilaku-perilaku lainnya.
Memanusiakan manusia berarti pula perilaku memanusiawikan antar sesama.
Memanusiakan manusia memberikan keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai
manusia.Sedangkan bagi orang lain akan memberikan rasa percaya,rasa hormat,
kedamaian dan kesejahteraan hidup.
Sebaliknya,sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan
merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya mulia.
Sedangkan bagi orang lain sebagai korban yang tindakan yang tidak manusiawi akan
menciptakan penderitaan, kesusahan, ketakutan, perasaan, dendam dan
sebagainya.Sejarah membuktikan bahwa perseteruan, pertentangan, dan peperangan
yang terjadi di berbagai belahan dunia adalah karena manusia belum mampu
memanusiakan manusia lain, dan sekelompok bangsa menindas bangsa lain. Penjajahan
atau kolonialisme adalah contoh perilaku suatu bangsa menindas bangsa lain.
Penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan.
Dewasa ini, perilaku tidak manusiawi di contohkan dengan adanya kasus
kekerasan terhadap para pembantu rumah tangga.Misalnya seorang pembantu
disiksakan tidak diberikan upah, dikurung dalam rumah, dan sebagainya.Para majikan
telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Sikap dan perilaku memanusiakan manusia didasarkan atas manusia yang
disebut the mankind is one.Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita dalam
memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit, suku, agama, ras, asal, dan status
sosial ekonomi. Kita tetap harus manusiawi terhadap orang lain, apapun latar
belakangnya, karena manusia adalah mahluk Tuhan yang sama harkat dan martabatnya.
Perilaku yang manusiawi atau memanusiakan manusia adalah sesuai dengan kodrat
manusia.Sebaliknya, perilaku yang tidak manusiawi bertentangan dengan hakikat
kodrat manusia. Perilaku yang tidak manusiawi pasti akan mendatangkan kerusakan
manusia.
Setiap manusia dibentuk atau dibekali oleh pendidikan agar dapat merasakan
kemerdekaan dirinya. Merdeka berarti kebebasan. Jadi melalui pendidikan kita dididik
agar kita menjadi individu yang bisa “melawan” terhadap penindasan yang dialaminya.
Kedua, kita di didik agar menjadi manusia yang memiliki akal budi yang mampu
membedakan mana yang benar maupun yang salah, yang berani memperjuangkan
kebenaran apapun risikonya. Manusiawi mempunyai arti memperlakukan seseorang itu
seperti memperlakukan diri sendiri. Jadi disini kita tidak boleh membedakan seseorang
itu berdasarkan golongannya, status sosialnya, maupun keterbatasannya dan hal-hal lain
yang dapat menciptakan perbedaan bagi sesama manusia. Karena setiap manusia itu
mempunyai hak asasi sama yang sudah melekat sebelum manusia itu dilahirkan dan
juga manusia itu adalah makhluk sosial yang saling memiliki ketergantungan satu sama
lain.
Manusia harus memiliki prinsip,nilai,dan rasa kemanusiaan yang melekat pada
dirinya. Manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa atau
perikemanusiaan. Perikemanusiaan inilah yang mendorong prilaku baik sebagai
manusia. Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantisa menghargai
dan menghormati harkat, martabat dan derajat manusia lainnya. Memanusiakan
manusia berarti tidak menindas sesama, tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak
menyakiti dan perilaku-perilaku tercela lainnya.
Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antarsesama, menguntungkan
bagi diri sendiri dan orang lain. Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur
pribadinya sebagai manusia, bagi orang lain memberikan rasa percaya, hormat,
kedamaian dan kesejahteraan hidup. Sebaliknya,sikap tidak manusiawi terhadap
manusia lain hanya akan merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia
yang sesungguhnya makhluk mulia sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan
yang tidak manusiawi menciptakan penderitaan, kesusahan, ketakutan, maupun rasa
dendam.
Kata-kata "Memanusiakan Manusia" kerap ditujukan pada pelayanan pemerintah
kepada rakyatnya. Singkatnya, pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat.
Konsep "Memanusiakan Manusia" bukan hanya terbatas di bidang pelayanan publik
saja. Kata-kata "Memanusiakan Manusia" menyentuh seluruh dimensi kehidupan
manusia. Bahkan dunia pendidikan di Indonesia menggunakan konsep ini. Kurikulum
pendidikan di Indonesia saat ini dibuat dengan konsep "Memanusiakan
Manusia".Sejatinya konsep "Memanusiakan Manusia" merupakan bagian dari
humanisme. Humanisme berarti sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia (A.
Mangunhardjana dalam Haryanto Al-Fandi, 2011:71). Dari berbagai literature,
pengertian humanisme adalah paham yang bertujuan menghidupkan rasa
perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Dalam
aplikasinya, humanisme tidak memandang bangsa, agama, daerah, suku, warna kulit
dan sejenisnya. Ia memperlakukan dan berusaha membantu siapa pun itu manusianya.
Selain itu dalam kamus bahasa Indonesia istilah memanusiakan manusia merupakan
upaya untuk membuat manusia menjadi berbudaya.
Ada juga pengertian "Memanusiakan Manusia" adalah menjadi manusia
seutuhnya. Artinya, sebagai ciptaan Tuhan paling mulia, kebahagiaan utama adalah
tatkala kita dapat menjadikan sesama manusia lebih terdidik, lebih bermartabat, lebih
sukses, lebih pintar dan lebih baik hidupnya. Di situlah baru seseorang benar-benar
memperoleh ‘gelar kemanusiaannya’. Selama kepintaran, keterdidikan, kesuksesan,
kekayaan, dan semua kelebihan yang dimiliki hanya untuk kepentingan dan kepuasan
diri sendiri, berarti belum menjadi manusia utuh sebagaimana seharusnya. Dapat
dibayangkan, bila konsep "Memanusiakan Manusia" ini kita terapkan dalam kehidupan
sehari - hari, baik dalam lingkup pertemanan ataupun di pekerjaan, akan tercipta hidup
yang harmonis. Sesama manusia saling menghargai. Tidak ada tindakan yang
merendahkan, mencibir atau hal lainnya yang membuat sakit hati dan sebagainya. Bila
itu diterapkan dalam sebuah pelayanan publik, maka pelayanan publik pun berjalan
dengan baik. Memang tidak ada batasan atau ukuran pasti kita sudah melakukan hal
"Memanusiakan manusia". Tidak ada juga ukuran yang pasti kita melakukan hal yang
"Tidak Memanusiakan Manusia". Ukuran ini terkait dengan rasa perikemanusiaan yang
ada dalam diri kita. Namun ada baiknya rasa perikemanusiaan kita dipertebal akan kita
semakin peduli terhadap sesama. Kepedulian kita dalam bentuk nyata akan membawa
kita ke arah tindakan "Memanusiakan Manusia".

2.4.2. Memanusiakan Manusia Dari Segi Pendidikan


Pendidikan adalah proses pendewasaan anak didik agar mampu menjalani
kehidupan pada zamannya sehingga dunia pendidikan harus melahirkan sikap insan
cendekia. Tanpa sikap cendekia dan semangat intelektualitas maka pendidikan hanya
akan menghasilkan orang-orang cacat moral. Jika suatu bangsa mengalami kebobrokan
berarti ada yang tidak beres dalam proses pendidikan. Filosofi semangat pendidikan
adalah memanusiakan manusia, bukan memintarkan manusia. Itulah beberapa
pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD dalam acara syawalan 1433 H
di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta. Menarik menyikapi hal tersebut, karena
selain mengungkap harapan besar terhadap dunia pendidikan tetapi juga mengkritisi
keadaan dunia pendidikan yang seolah-olah menjadi tersangka utama dalam “kebelum
berhasilan” memanusiakan manusia Indonesia walaupun sudah bisa dikatakan
“berhasil” dalam memintarkan manusia Indonesia.
Bukti bahwa pendidikan kita saat ini “sudah” berhasil dalam memintarkan manusia
tolak ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat kelulusan ujian akhir nasional
peserta didik. Jika tingkat kelulusan ujian akhir nasional di suatu daerah tinggi maka
bisa dikatakan bahwa pendidikan telah mampu memintarkan peserta didik. Tetapi
apakah dengan kemampuan memintarkan peserta didik tersebut pendidikan juga telah
mampu memanusiakan peserta didik? Tolak ukurnyapun tidak terlalu sulit yaitu dengan
melihat sikap peserta didik. Saat bertemu dengan orang yang lebih tua apakah peserta
didik bersikap sopan dan santun? Apakah peserta didik dalam berkendara sudah
mematuhi peraturan lalu lintas? Apakah peserta didik menghormati keragaman suku,
adat, ras dan agama? Apakah peserta didik malu saat melakukan tindakan yang
bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat? Semua pertanyaan tersebut
akan mengarah kepada jawaban bahwa dunia pendidikan kita sudah mampu
memanusiakan manusia atau belum. Tentu semua dari kita bisa menjawabnya dengan
argumentasi berbeda-beda. Terkait atau tidak terkait dengan kemampuan dunia
pendidikan dalam memintarkan ataupun memanusiakan peserta didik, tentu kita tidak
boleh memvonis bahwa dunia pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap
kebobrokan bangsa saat ini. Apalagi menyalahkan pendidik sebagai “ikon” dunia
pendidikan. Segenap elemen bangsa bertanggungjawab terhadap ketidakberhasilan
pendidikan kita dalam memanusiakan peserta didik.
Jika memang ingin pendidikan yang memintarkan sekaligus memanusiakan peserta
didik, maka cara yang paling efektif dan efisien adalah dengan menghapuskan ujian
akhir nasional, sehingga para guru akan bertanggungjawab penuh terhadap “output
sikap” peserta didik yang pada akhirnya juga akan berimbas kepada “output nilai”
peserta didik, bukan sebaliknya. Nilai bukanlah patokan “dimilikinya ilmu”, tetapi
proses dalam belajar itulah yang seharusnya menjadi acuan utama.
Sadar atau tidak, pendidikan selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membantu
untuk mendewasakan bangsa, sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang
berpendidikan moral. Secara mendasar, pendidikan ada karena ada manusia. Oleh
karena itu, pendidikan ada hanya untuk manusia bukan untuk hewan atau sejenisnya.
Hal mendasar seperti inilah yang perlu kita catat besar-besar di kepala kita khususnya
bagi mereka yang menjadi seorang guru. Sebab kita sering kali melupakan bahwa orang
yang menjadi amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman
yang begitu kompleks.
Sebuah pernyataan yang lazim dan sering kita dengarkan bahwa tujuan sejati
pendidikan adalah menusiakan manusia. Ungkapan ini seakan terus diperbincangkan
dan disetujui untuk dilaksanakan dalam praktik kehidupan sebagai penggiat dan
pelaksana pendidikan. Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya
agar pendidikan dapat memanusiakan manusia? Pada hakikatnya seorang pendidik
adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik
maupun konatif. Seorang pendidik hendaknya mampu membangun suasana belajar
yang kondusif untuk belajar-mandiri. Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses
pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya
kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk
menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia
memiliki “self hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam
diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan
dan mengembangkannya seoptimal mungkin atau dalam ungkapan lain Emily Calhoun
ratusan kali berkata “Mengajar yang sesungguhnya adalah mengajarkan siswa
bagaimana belajar” atau “sekolah merupakan tempat untuk belajar bagaimana caranya
belajar”. Seorang pendidik yang efektif, tidak hanya efektif dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas saja tetapi lebih-lebih dalam relasi pribadinya dan role modelnya,
baik kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah.
Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri sebagaimana
adanya dan kemudian mengungkapkannya secara jujur. Mendidik tidak sekedar
mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada para peserta didik,
namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuh kembangkan dirinya
secara optimal. Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang
menghadirkan diri sedemikian rupa sehingga pendidik memiliki relasi yang bermakna
pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuh kembangkan
dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif adalah yang
berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa. Dasar pendidikannya adalah apa yang
menjadi minat, dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu peserta
didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba mempraktikkan kemampuan-
kemampuan yang mereka miliki. Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa
adalah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima siswa sebagaimana
adanya. Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan
perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi
dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik
dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah
memanusiakan manusia muda (N.Driyarkara). Semoga postingan artikel saya ini
bermanfaat bagi para pembacanya. Kritik dan saran tentunya sangat saya harapkan,
terima kasih.
http://trilestari28.blogspot.com/2015/07/memaknai-kalimat-memanusiakanmanusia-
s_5.html
2.5. Problematika Kebudayaan
Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang berbeda-beda
menghasilkan keragaman kebudayaan. Tiap persekutuan hidup manusia (masyarakat,
suku, atau bangsa) memiliki kebudayaannya sendiri yang berbeda dengan kebudayaan
kelompok lain. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia membentuk ciri dan
menjadi pembeda dengan kelompok lain. Dengan demikian, kebudayaan merupakan
identitas dari persekutuan hidup manusia.
Dalam rangka pemenuhan hidupnya manusia akan berinteraksi dengan manusia
lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain, demikian pula terjadi hubungan
antar persekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus berlangsung sepanjang
kehidupan manusia. Kebudayaan yang ada ikut pula mengalami dinamika seiring
dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan.Berkaitan
dengan hal tersebut kita mengenal adanya pewarisan kebudayaan, perubahan
kebudayaan, dan penyebaran kebudayaan.
1. Pewarisan Kebudayaan
Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerus, pemilikan, dan pemakaian
kebudayaan dari generasi ke generasi secara kesinambungan .Pewarisan budaya
bersifat vertikal artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi
berikutnya untuk digunakan,dan selanjutnya diteruskan kepada generasi yang akan
datang.
Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi
atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap
individu dengan sistem norma, adat dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses
enkulturasi dimulai sejak dini,yaitu masa kanak-kanak, bermula dari lingkungan
keluarga,teman-teman sepermainan,dan masyarakat luas.sosialisasi atau proses
pemasyarakatan adalah individu menyesuaikan diri dengan individu lain dalam
masyarakat.
Dalam hal pewarisan budaya bisa muncul masalah antara lain: sesuai atau
tidaknya budaya warisan tersebut dengan dinamika masyarakat sekarang,
penolakan generasi penerima terhadap warisan budaya tersebut dan munculnya budaya
baru yang tidak lagi sesuai dengan budaya warisan.
Dalam suatu kasus,ditemukan generasi muda menolak budaya yanng hendak
diwariskan oleh generasi pendahulunya. Budaya itu dianggap tidak lagi
sesuai dengan kepentingan hidup generasi tersebut,bahkan dianggap bertolak
belakang dengan nilai-nilai budaya baru yang diterima sekarang ini.
2. Perubahan Kebudayaan
Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya
ketidaksesuaian diantara unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi
keadaan yang fungsinya tidak serasi bagi kehidupan.Perubahan kebudayaan mencakup
banyak aspek, baik bentuk, sifat perubahan, dampak perubahan, dan mekanisme yang
dilaluinya.Perubahan kebudayaan didalamnya mencakup perkembangan kebudayaan.
Perubahan kebudayaan yang terjadi bisa memunculkan masalah, antara lain perubahan
akan merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regress (kemunduran) bukan
progress (kemajuan), perubahan bisa berdampak buruk atau menjadi bencana jika
dilakukan melalui revolusi, berlangsung cepat, dan diluar kendali manusia.
3. Penyebaran kebudayaan
Penyebaran kebudayaan atau difusi adalah proses menyebarnya unsur-unsur
kebudayaan dari suatu kelompok ke kelompok lain atau suatu masyarakat ke
masyarakat lain. Kebudayaan kelompok masyarakat di suatu wilayah bisa menyebar
ke masyarakat lain, Misalnya, kebudayaan dari masyarakat Barat (Negara-negara
Eropa) masuk dan memengaruhi kebudayaan Timur (bangsa Asia dan Afrika).
Globalisasi budaya bisa dikatakan pula sebagai penyebaran suatu kebudayaan
secara meluas.
Dalam hal penyebaran kebudayaan, seorang sejarawan Arnold J. Toynbee
merumuskan beberapa dalil tentang radiasi budaya sebagai berikut.
Pertama,aspek atau unsur budaya selalu masuk tidak secara keseluruhan, melainkan
individual.Kebudayaan Barat yang masuk ke dunia Timur pada abad ke-19 tidak
masuk secara keseluruhan.Dunia Timur tidak mengambil budaya Barat secara
keseluruhan, tetapi unsur tertentu yaitu teknologi.Teknologi merupakan unsur yang
paling mudah diserap.Industrialisasi di Negara-negara Timur merupakan pengaruh
dari kebudayaan Barat.
Kedua, kekuatan menembus suatu budaya berbanding terbalik dengan
nilainya.Makin tinggi dan dalam aspek budayanya, makin sulit untuk
diterima.Contoh religi adalah lapis dalam dari budaya. Religi orang Barat (Kristen)
sulit diterima oleh orang Timur dibanding teknologinya. Alasannya, religi
merupakan lapisan budaya yang paling dalam dan tinggi, sedangkan teknologi
merupakan lapis luar dari budaya.
Ketiga, jika satu unsur budaya masuk maka akan menarik unsur yang lain. Unsur
teknologi asing yang diadopsi akan membawa masuk pula nilai budaya asing
melalui orang-orang asing yang bekerja di industry teknologi tersebut.
Keempat, aspek atau unsur budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya, bisa
menjadi berbahaya bagi masyarakat yang didatangi.Dalam hal ini, Toynee
memberikan contoh nasionalisme.Nasionalisme sebagai hasil evolusi sosial budaya
dan menjadi sebab tumbuhnya negara-negara nasional di Eropa abad ke-19 justru
memecah belah sistem kenegaraan di dunia Timur seperti kesultanan dan
kekhalifaan di Timur Tengah.
Penyebaran kebudayaan (difusi) bisa menimbulkan masalah. Masyarakat penerima
akan kehilangan nilai-nilai budaya lokal sebagai akibat kuatnya budaya asing yang
masuk. Contoh globalisasi budaya yang bersumber dari kebudayaan Barat pada era
sekarang ini adalah masuknya nilai-nilai budaya global yang dapat memberi
dampak negatif bagi perilaku sebagian masyarakat Indonesia.Misalnya, pola hidup
konsumtif, hedonisme, pragmatis, dan individualistik.Akibatnya, nilai budaya
bangsa seperti rasa kebersamaan dan kekeluargaan lambat laun bisa hilang dari
masyarakat Indonesia.
Pada dasarnya, difusi merupakan bentuk kontak antarkebudayaan. Selain difusi,
kontak kebudayaan dapat pula berupa akulturasi dan asimilasi.Akulturasi berarti
pertemuan antara dua kebudayaan atau lebih yang berbeda.Akulturasi merupakan
kontak antar kebudayaan, namun masing-masing masih memperlihatkan unsur-
unsur budayanya. Asimilasi berarti peleburan antar kebudayaan yang bertemu.
Asimilasi terjadi karena proses yang berlangsung lama dan intensif antara mereka
yang berlainan latar belakang ras, suku, bangsa, dan kebudayaan. Pada umumnya,
asimilasi menghasilkan kebudayaan baru.

Anda mungkin juga menyukai