Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ETIKA DAN ESTETKA BUDAYA SERTA PROBLEMATIKA


KEBUDAYAAN

OLEH
FADEL MUHAMAD
A42119178

UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
KATA PENGANTAR

            Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah “ILMU SOSIAL DASAR" dengan baik dan
benar, serta tepat pada waktunya tanpa ada hambatan yang berarti. Dalam
makalah ini penulis akan membahas mengenai “Etika dan Estetika Berbudaya”.
            Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar di.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi pencarian informasi dalam jangka
waktu tertentu sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan
hasilnya. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah
membantu dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
            Dengan adanya penyusunan makalah ini penulis berharap memberikan
banyak manfaat tidak hanya bagi penulis tapi juga bagi mahasiswa atau dosen lain
sebagai pengkayaan wawasan tentang materi terkait. Selain itu semoga dengan
adanya makalah ini dikemudian hari dapat digunakan sebagai referensi bagi siapa
pun yang berkepentingan.
            Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar
pada makalah ini. Oleh karna itu saya mengundang pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
            Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih
positif bagi kita semua.
             
Palu, Oktober 2021
                            Mahasiswa,

                                                                                               Fadel Muhammad


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Ilmu sosial budaya dasar adalah suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek
– aspek yang paling mendasar dan menonjol yang ada di dalam kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki budaya dan permasalahan –
permasalahan yang bersifat ada .
Aspek lain dari pengantar ilmu sosial budaya dasar merupakan pengenalan
teori – teori ilmu sosial dan kebudayaan sehngga diekspektasikan seseorang dapat
memiliki wawasan keilmuan yang bersifat multidipsliner yang bersangkutan
dengan keagamaan, kesetaraan , dan manusia di dalam kehidupan bersosialisasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat cenderung mempertahankan
kebiasan-kebiasan yang sudah ada sebelumnya, tetapi hal tersebut mudah sekali
terkikis seiring perkembangan globalisasi. Berdasarkan hal itu masyarakat
berperan sebagai regenerasi suatu budaya bersama intelektual-intelektual
sebelumnya,sejarah menunjukan bahwa peningalan kebudayaan suatu bangsa bisa
ditemukan dalam wujud budaya berupa pemikiran yang terus dilestarikan dan
tentu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam budaya suatu bangsa terdapat
unsur-unsur estetika dan etika budaya yang melekat menjadi kebiasaan-kebiasaan
sehari-hari.
Perkembangan etika dan estetika budaya suatu bangsa berhubungan erat
dengan perubahan sosial budaya yang terjadi pada bangsa tersebut. Permasalahan
tersebut dapat menjadi  latar belakang pentingnya mempelajari bagaimana
perubahan dapat diterima masyarakat.

B.   Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebaagi berikut :
1. Bagaiamana manusia sebagai mahkluk berbudaya ?
2. Bagaiamana etika dan estetika berbudaya
3. Bagaiamana memanusisakan manusia ?
4. Bagaiamana beberapa contoh problematika kebudayaan ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui manusia sebagai mahkluk berbudaya
2. Untuk mengetahui etika dan estetika berbudaya
3. Untuk mengetahui memanusisakan manusia
4. Untuk mengetahui beberapa contoh problematika kebudayaan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia sebagai Makhluk Budaya

Manusia adalah salah satu makhluk tuhan di dunia. Makhluk tuhan


di alam fana ini ada empat macam yaitu, alam, tumbuhan, binatang dan
manusia. Sifat-sifat yang dimiliki ke empat makhluk tuhan tersebut sebagai
berikut.
1. Alam memiliki sifat wujud
2. Tumbuhan memiliki sifat wujud dan hidup
3. Binatang memiliki sifat wujud, hidup dan dibekali nafsu.
4. Manusia memiliki sifat wujud, hidup, dibekali nafsu, serta akal budi.
Akal budi merupakan pemberian sekalikigus potensi dalam diri
manusia yang tidak dimiliki makhluk lain. Kelebihan manusia disbanding
makhluk lain terletak pada akal budi. Anugrah tuhan akan akal budilah yang
membedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah kemampuan berpikir
manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki. Berpikir merupakan perpuatan
oprasional dari akal yang meendorong untuk aktif berbuat demi kepentingan
dan peningkatan hidup manusia. Jadi, fungsi dari akal adalah berpikir.
Karena manusia dianugrahi akal maka manusia dapat berpikir.kemampuan
berpikir manusia juga digunakan untuk memecahkan masalah- masalah
hidup yang di hadapinya.
Dengan akal budinya manusia mampu menciptakan, mengkreasi,
memperlakukan, memperbaharui, memperbaiki, mengembangakan dan
meningkatkan suatu yang ada untuk kepentingan hidup manusia.
Kepentingan hidup manusia adalah dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Secara umum kebutuhan manusia dalam kehidupan
dibedakan menjadi dua. Pertama, kebutuhan yang bersifat kebendaan
(sarana-prasarana) atau badani/ragawi atau jasmani/biologis. Contohnya
adalah makanan, minum, bernafas, istirahat dan seterusnya. Kedua,
kebutuhan yang bersifat rohani atau mental atau psikologi. Contohnya
adalah kasih saying, pujian, perasaan aman, kebebasan, dan lain sebagainya.
Dengan akal budi, manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup,
tetapi juga mampu mempertahankan serta meningkatkan derajatnya sebagai
makhluk yang tinggi bila dibandingkan dengan makhluk lain. Manusia tidak
sekedar homo, tetapi human (manusia yang memanusiawi). Dengan
demikian, manusia memiliki dan mampu mengembangkan sisi
kemanusiaannya.
Dengan akal budi, manusia mampu menciptakan kebudayaan.
Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil akal budi manusia dalam
interaksinya, baik dengan alam maupun manusia lainnya. Manusia
merupakan makhluk yang berbudaya. Manusia adalah pencipta kebudayaan.

B. Etika Manusia dalam Berbudaya


Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Secara etimologis, etika
adalah ajaran tentang baik–buruk, yang diterima umum atau tentang sikap,
perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan moral
(mores dalam bahasa latin), akhlak, atau kesusilaan. Etika berkaitan dengan
masalah nilai, karena etika pada pokoknya membicarakan masalah–masaah yang
berkaitan dengan predikat nilai susila, atau tidak susila, baik dan buruk. Dalam hal
ini, etika termasuk dalam kawasan nilai, sedangkan nilai etika itu sendiri berkaitan
dengan baik–buruk perbuatan manusia.
Namun, etika memiliki makna yang bervariasi. Bertens menyebutkan ada tiga
jenis makna etika sebagai berikut :
1.    Etika dalam arti nilai–nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
2.    Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud disini adalah
kode etik)
3.    Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang yang baik dan yang buruk . Disini etika
sama artinya dengan filsafat moral.
Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berhubungan dengan makna
etika yang pertama. Nilai–nilai etik adalah nilai tentang baik buruk kelakuan
manusia. Nilai etik diwujudkan kedalam norma etik, norma moral, norma
kesusilaan.
Norma etik berhubungan dengan manusia sebagai individu karena
menyangkut kehidupan pribadi. Pendukung norma etik adalah nurani individu dan
bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang
terorganisir. Norma ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan
mencegah kegelisahan diri sendiri.
Norma etik ditujukan kepada umat manusia agar tebetuk kebaikan akhlak
pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan
perbuatan jahat. Membunuh, berzina, mencuri, dan sebagaiya. Tidak hanya
dilarang oleh norma kepercayaan atau keagamaan saja, tetapi dirasaan juga
sebagai bertentangan dengan (norma) kesusilaan dalam setia hati nurani manusia.
Norma etik hanya membebani manusia dengan kewajiban–kewajiban saja.
Asal atau sumber norma etik adalah dari manusia sendiri yang bersifat otonom
dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin
manusia. Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar norma
kesusilaan dengan sanksi. Tidak ada kekuasaaan diluar dirinya yang memaksakan
sanksi itu. Kalau terjadi pelanggaran norma etik, misalnya pencurian atau
penipuan, maka akan timbullah dalam hati nurani si pelanggar itu rasa penyesalan,
rasa malu, takut, dan merasa bersalah.
Daerah berlakunya norma etik relatif universal, meskipun tetap dipengaruhi
oleh ideologi masyarakat pendukungya. Perilaku membunuh adalah perilaku yang
amoral, asusila atau tidak etis. Pandangan itu bisa diterima oleh orang dimana saja
atau universal. Namun, dalam hal tertentu, perilaku seks bebas bagi masyarakat
penganut kebebasan kemungkinan bukan perilaku yang amoral. Etika masyarakat
Timur mungkin berbeda dengan etika masyarakat barat.
Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam berperilaku.
Dengan norma etik, manusia bisa membedakan mana perilaku yang baik dan juga
mana perilaku yang buruk. Norma etik menjadi semacam das sollen untuk
berperilaku baik. Manusia yang beretika berarti perilaku manusia itu baik sesuai
dengan norma–norma etik.
Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Manusia
yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai–nilai etik pula.
Etika berbudaya mengandung tuntutan atau keharusan bahwa budaya yang
diciptakan manusia mengandung nilai–nilai etik yang kurang lebih bersifat
universal atau diterima sebagian besar orang. Budaya yang memiliki nilai–nilai
etik adalah budaya yang mampu menjaga, mempertahankan, bahakan mampu
meningktkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebaliknya, budaya yang
beretika adalah kebudayaan yang akan merendahkan atau bahkan menghancurkan
martabat kemanusiaan.
Namun demikian, menentukan apakah suatu budaya yang dihasilkan manusia
itu memenuhi nilai–nilai etik ataukah menyimpang dari nilai etika adalah
bergantung dari paham atau ideologi yang diyakini masyarakat pendukung
kebudayaan . Hal ini dikarenakan berlakunya nilai–nilai etik bersifat universal,
namun amat dipengaruhi oleh ideologi masyarakatnya.
Contohnya, budaya perilaku berduaan dijalan antara sepasang muda mudi,
bahkan bermesraan di hadapan umum. Masyarakat individual menyatakan hal   
demikian bukanlah perilaku yang etis, tetapi akan ada sebagian orang atau       
masyarakat   yang   berpandangan   hal   tersebut   merupakan   suatu 
penyimpangan etik.

B.   Estetika Manusia dalam Berbudaya


Estetika dapat dikatakan sebagai teori tentang keindahan atau seni. Estetika
berkaitan dengan nilai indah–jelek (tidak indah). Nilai estetika berari nilai tentang
keindahan.  Keindahan  dapat diberi makna secara luas, secara sempit, dan estetik
murni.
1.    Secara  luas  keindahan  mengandung  ide  kebaikan,  bahwa   segala   sesuatunya
yang baik termasuk yang abstrak maupun nyata yang mengandung ide  kebaikan
adalah indah. Keindahan dalam arti luas meliputi banyak  hal, seperti watak yang
indah, hukum yang indah, ilmu yang indah, dan  kebajikan yang indah. Indah
dalam arti luas mencakup hampir seluruh yang ada apakah  merupakan  hasil 
seni,  alam,  moral,  dan   intelektual.
2.    Secara sempit, yaitu indah yang terbatas pada lingkup persepsi penglihatan
(bentuk dan warna).
3.    Secara estetik murni, menyangkut pengalaman estetik seseorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang diresapinya melalui penglihatan,
pendengaran perabaan dan perasaan, yang semuanya dapat menimbulkan persepsi
(anggapan) indah.
Jika estetika dibandingkan dengan etika, maka etika berkaitan dengan nilai
tentang baik–buruk, sedangkan estetika berkaitan dengan hal yang indah–jelek.
Sesuatu yang estetik berarti memenuhi unsur keindahan (secara estetik murni
maupun secara sempit, baik dala bentuk, warna, garis, kata, ataupun nada).
Budaya yang estetik berarti budaya tersebut memiliki unsur keindahan.
Apabila nilai etik bersifat relatif universal, dalam arti bisa diterima banyak
orang, namun nilai estetik amat subjektif dan partikular. Sesuatu yang indah bagi
seseorang belum tentu indah bagi orang lain. Misalkan dua orang memandang
sebuah lukisan. Orang yang pertama akan mengakui keindahan yang terkandung
dalam lukisan tersebut, namun bisa jadi orang kedua sama sekali tidak
menemukan keindahan di lukisan tersebut.
Oleh karena subjektif, nilai estetik tidak bisa dipaksakan pada orang lain. Kita
tidak bisa memaksa seseorang untuk mengakui keindahan sebuah lukisan
sebagaimana pandangan kita. Nilai–nilai estetik lebih bersifat perasaan, bukan
pernyataan.
Budaya sebagai hasil karya manusia sesungguhnya diupayakan untuk
memenuhi unsur keindahan. Manusia sendiri memang suka akan keindahan. Di
sinilah manusia berusaha berestetika dalam berbudaya. Semua kebudayaan
pastilah dipandang memiliki nilai–nilai estetik bagi masyarakat pendukung
budaya tersebut. Hal–hal yang indah dan kesukaannya pada keindahan
diwujudkan dengan menciptakan aneka ragam budaya.
Namun sekali lagi, bahwa suatu produk budaya yang dipandang indah oleh
masyarakat pemiliknya belum tentu indah bagi masyarakat budaya lain.
Contohnya, budaya suku–suku bangsa Indonesia. Tarian suatu suku berikut penari
dan pakaiannya mungkin dilihat tidak ada nilai estetikanya, bahkan dipandang
aneh oleh warga dari suku lain, demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, estetika berbudaya tidak semata–mata dalam berbudaya harus
memenuhi nilai–nilai keindahan. Lebih dari itu, estetika berbudaya menyiratkan
perlunya manusia (individu atau masyarakat) untuk menghargai keindahan budaya
yang dihasilkan manusia lainya. Keindahan adalah subjektif, tetapi kita dapat
melepas subjektivitas kita untuk melihat adanya estetika dari  budaya lain.
Estetika berbudaya yang demikian akan mampu memecah sekat–sekat kebekuan,
ketidak percayaan,    kecurigaan,   dan   rasa   inferioritas   antar    budaya.

C.   Memanusiakan Manusia
Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo, tetapi harus meningkatkan diri
menjadi human. Manusia harus memiliki prinsip, nilai, dan rasa kemanusiaan
yang melekat dalam dirinya. Manusia memiliki perikemanusiaan, tetapi binatang
tidak bisa dikatakan memiliki perbintangan. Hal ini karena binatang tidak
memiliki akal budi, sedangkan manusia memiliki akal budi yang bisa
memunculkan rasa atau perikemanusiaan. Perikemanusiaan inilah yang
mendorong perilaku baik sebagai manusia.
Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk seantiasa menghargai
dan menghormati harkat dan derajat manusia lainnya. Memanusiakan manusia
memberi keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lan. Bagi diri sendiri     akan
menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manuia. Sedangkan   
bagi orang lain akan memberikan rasa percaya, rasa hormat, kedamaian, dan  
kesejahteraan hidup.
Sebaliknya, sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan
merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya
makhluk mulia. Sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan yang tidak
manusiawi akan menciptakan penderitaan, kesusahan, ketakutan, perasaan
dendam, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bahwa perseteruan, pertentangan,
dan peperangan terjadi diberbagai belahan dunia adalah karena manusia belum
mampu memanusiakan manusia lain, dan sekelompok bangsa menindas bangsa
lain. Penjajahan atau kolonialisme adalah contoh prilaku satu bangsa menindas
bangsa lain. Penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan.
Dewasa ini, perilaku tidak manusiawi dicontohkan dengan adanya kasus
kekerasaan terhadap para pembantu rumah tangga. Misalkan seorang pembantu
disiksa, tidak diberi upah, dikurung dalam rumah,dan sebagainya. Para majikan
telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Sikap dan perilaku memanusiakan manusia didasarkan atas prinsip
kemanusiaan yang disebut the mankind is one. Prinsip kemanusiaan  tidak
membeda-bedakan kita memperlakukan orang lain atas dasar warna
kulit,suku,agama,ras,asal,dan status sosial ekonomi. Kita tetap harus manusiawi
terhadap orang lain, apa pun latar belakangnya, karena semua manusia adalah 
makhluk Tuhan yang sama harkat dan martabatnya. Perilaku yang manusiawi atau
memanusiakan manusia adalah sesuai dengan kodrat manusia. Sebaliknya,
perilaku yang tidak manusiawi bertentangan dengan hakikat kodrat manusia. 
Perilaku yang tidak manusiawi akan mendatangkan kerusakan hidup manusia.

D.   Problematika Kebudayaan
Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang
berbeda-beda menghasilkan keragaman kebudayaan. Tiap persekutuan hidup
manusian (masyarakat, suku, atau bangsa) memiliki kebudayaan sendiri yang
berbeda dengan kebudayaan kelompok lain. Kebudayaan yang dimiliki
sekelompok manusia membentuk ciri dan menjadi pembeda dengan kelompok
lain. Dengan demikian, kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup
manusia.
Dalam rangka memenuhi hidupnya manusia akan berinteraksi dengan
manusia lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain, demikian pula
terjadi hubungan antar persekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus
berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Kebudayaan yang ada ikut pula
mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai
pemilik kebudayaan. Berkaitan dengan hal tersebut kita mengenal adanya
pewarisan kebudayaan, perubahan kebudayaan, dan penyebaran kebudayaan.
Bahwa dalam rangka pemenuhan hidupnya manusia akan berinteraksi
dengan sesama, masyarakat dengan masyarakat lain yang terjadi
antar persekutuan hidup manusia sepanjang hidup manusia. Berkaitan dengan hal
tersebut kita mengenal adanya tentang kebudayaan yaitu :
1. Pewaris kebudayaan yaitu proses pemindahan,penerusan,pemilikan dan
pemakaian dari generasi ke generasi
2. Perubahan kebudayaan yaitu perubahan yang terjadi karena
ketidaksesuaian diantara unsur-unsur budaya
3. Penyebaran kebudayaan atau difusi adalah proses menyebarnya unsur-
unsur kebudayaa dari suatu kelompok ke kelompok yang lain atau dari
masyarakat ke masyarakat yang lain.
Kebudayaan mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan
hidup manusia sebagi pemilik kebudayaan, Dinamika Kebudayaan berupa :
1.    Pewarisan Kebudayaan
Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan dan
pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan.
Pewarisan dapat melalui  enkulturasi (Pembudayaan), yaitu Proses
mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem
norma, adat dan peraturan hidup dalam kebudyaan. Serta melalui sosialisasi
(Proses pemasyarakatan), individu menyesuaikan diri dengan individu lain
dalam masyarakat.
Beberapa masalah dalam pewarisan kebudayaan adalah sebagai berikut:
a.    Sesuai/tidaknya budaya warisan dengan dinamika masyarakat saat sekarang
b.    Penolakan generasi penerima terhadap warisan budaya
c.    Munculnya budaya baru yang tidak sesuai dengan budaya warisan.

2.    Perubahan kebudayaan
Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya
ketidaksesuaian diantara unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga
terjadi keadaan dimana fungsinya tidak sesuai dengan bagi kehidupan.
Contohnya adalah pembangunan , modernisasi .
Beerapa masalah yang muncul antara lain:
a.    Perubahan bersifat regress (kemunduran)
b.    Perubahan melalui revolusi

3.    Penyebaran Kebudayaan (difusi)


Difusi adalah proses menyebarnya unsur-unsur kebudayaan dari suatu
kelompok ke kelompok lain. Penyebaran kebudayaan bersifat globalisasi,
yaitu penyebaran budaya secara meluas. Arnold J. Toynbee, dalam
Penyebaran budaya dalil tentang radiasi Budaya sebagai berikut :
a.    Aspek atau unsur budaya selalu masuk tidak secara keseluruhan, melainkan
individual.
b.    Kekuatan menembus suatu budaya berbanding terbalik dengan nilainya,
makin tinggi aspek budaya, makin sulit diterima.
c.    Jika satu unsur budaya masuk, maka akan menarik unsur budaya lain.
d.    Unsur budaya yg masuk bisa berbahaya bagi masyarakat yang menerima
budaya tersebut.
Masalah dalam difusi adalah hilangnya nilai-nilai budaya lokal sebagai
akibat masuknya budaya asing. Beberapa  kontak antar kebudayaan selain
difusi, antara lain:
a.    Asimilasi, yaitu peleburan antar kebudayaan yang bertemu, berlangsung lama
dan intensif.
b.    Akulturasi, yaitu kontak antar kebudayaan namun masing-masing masih
menunjukkan unsur-unsur budayanya.
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
1. Budaya pastinya memiliki nilai, dalam hal ini etika. Etika pada umumnya
membahas pandangan atau nilai yang bersifat tata-krama. Kesopanan, gotong-
royong, cara, dan lainnya yang masih berhubungan dengan fisik, juga bersifat
realistis, dan secara kasat mata terlihat. Budaya yang mengandung nilai etika
ini memang sengaja dilestarikan sebab, mungkin telah diprediksikan
sebelumnya, nilai “kemanusiaan” yang wajar akan lumpuh dimasa
mendatang, seperti halnya pergeseran nilai yang telah terjadi saat ini.
2. Estetika, atau pandangan nilai indah yang berasal dari objek (manusia) kepada
subjek (budaya) yang ada. Estetika tidak berbeda jauh dari etika. Namun
dalam hal estetika, nilai berasal dari pemberi nilai baik melalui mata, hati
maupun pikirannya, bukan nilai yang berasal dari ‘paksaan’ orang lain.
3. Pandangan nilai yang tidak bisa dipaksakan inilah yang ingin dijadikan
sebuah pandangan atas berbagai macam bentuk budaya yang ada di dunia.
Yang mana yang cocok dengan dirinya, yang mana baik dipandang dalam
lingkungannya, yang mana berguna agar dapat dijadikan contoh dengan tetap
menjaga keberlangsungan budaya selama dunia ini masih tercipta.
4. Baik etika maupun estetika adalah unsur yang harus ada dalam
pelestariannya. Terwujudnya budaya yang tanpa dasar etika dan estetika
patutlah dipertanyakan seperti mengapa budaya tersebut harus muncul dan
apa manfaat budaya tersebut.

B.   Saran
Etika dan estetika berbudaya harus dimiliki oleh seluruh masyarakat
Indonesia karena pemahaman tentang Etika dan estetika budaya sangat penting
dalam rangka menahan perubahan sosial yang berdampak negatif serta latar
belakang mahasiswa sebagai kalangan intelektual yang menjadi panutan
masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Leslie, White. 1949. The Science of Culture. Strauss: Penerbit Farrar.

Cohen, 1964. Social Work and Social Problem. New York: Penerbit NSW.

Ahmadi, Abu. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.

Al-Attas, S.M, Al-Naquib. 1981. Islam dan Sukalarisme. Bandung: Pustaka.

Http://kantongajaibputri.blogspot.com/2011/11/tugas-isbd-manusia-sebagai-
makhluk.html diunduh tanggal 20 Oktober 2021

Http://materikuliahfirman.blogspot.com/p/isbd.html diunduh tanggal 20 Oktober


2021

Anda mungkin juga menyukai