Anda di halaman 1dari 6

EKSPLORASI DIRI

Pidato Sambutan Ki Hadjar Dewantara. Dewan Senat Universitas Gadjah Mada, 7


November 1956
Pidato Sambutan Ki Hadjar Dewantara di Dewan Senat Universitas Gadjah Mada pada
tanggal 7 November 1956 membahas pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada
Dewantara. Pidato tersebut mencakup ucapan terima kasih kepada Dewan Senat Universitas
dan Prof. Dr. Sardjito, Presiden Universitas, yang telah mendukung pemberian gelar tersebut.
Dalam pidato, Prof. Sardjito menyoroti tiga bidang pekerjaan Dewantara: perjuangan
kemerdekaan nasional, perjuangan pendidikan, dan perjuangan kebudayaan, menyatukannya
dalam konsep "tritunggal".
Dalam menanggapi pidato Prof. Sardjito, Dewantara menyoroti dua kesan utama. Pertama,
pentingnya mempertimbangkan sifat pribadi dalam penilaian, selain dasar-dasar dan garis-
garis besar. Kedua, keterkaitan antara tiga bidang pekerjaan yang disatukan dalam
"tritunggal". Dewantara menekankan bahwa selain sifat dan bentuk, isi dan irama juga
penting dalam penilaian.
Dalam konteks pengaruh budaya Barat, Dewantara menyebutkan pentingnya akulturasi yang
kontinu dengan kebudayaan sendiri dan kebudayaan luar. Konsep "Asas Tir-con" yang
mencakup kontinuitas, konvergensi, dan persatuan dunia dan manusia dijelaskan sebagai
wujud dari sifat "Bhineka Tunggal Ika".
Dewantara menggarisbawahi pentingnya organisasi yang hidup dan tidak menghalangi tujuan
sejati. Ia memperingatkan agar organisasi tidak bertentangan dengan hakikatnya. Pendidikan
di Indonesia, menurutnya, harus mencakup aspek kultural dan nasional, bukan hanya
mengikuti sistem pendidikan Barat.
Dewantara juga mengomentari hubungan antara pergerakan politik dengan pendidikan,
menekankan perlunya pagar yang kokoh untuk melindungi sawah dan ladang. Ia
menyarankan agar pendidikan tidak hanya mengikuti sistem intelektual Barat tanpa
memperhatikan nilai-nilai kebudayaan lokal.
Dalam penutup, Dewantara membahas perubahan dalam sistem pendidikan dan pengajaran di
Indonesia pasca-kemerdekaan, menyoroti perlunya pembaharuan untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang ada. Ia mengingatkan bahwa Indonesia memiliki kebebasan dan
kedaulatan untuk memilih sendiri bentuk, isi, dan irama pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan dan karakter nasional.

POLITIK PENDIDIKAN KOLONIAL DI ZAMAN VOC DAN HINDIA BELANDA


Pada zaman Hindia Belanda, terutama setelah VOC menjadi pemerintah "Hindia Belanda",
sikap dan tindakan terhadap urusan tanah air tidak mengalami perubahan signifikan.
Pemerintah Hindia Belanda tetap fokus pada keuntungan materiil, dan pendidikan diserahkan
kepada para pendeta Kristen. Pada awal abad ke-20, terjadi perubahan dalam sikap
pemerintah kolonial seiring dengan munculnya aliran "kolonial modern" di Belanda, yang
dikenal sebagai ethische koers atau ethische politiek.
Pada masa VOC, tanah air Indonesia dianggap sebagai objek perdagangan, dan pendidikan
diarahkan hanya untuk kepentingan perusahaan. Selama pemerintahan Napoleon Bonaparte
dan pembentukan kembali pemerintah Belanda pada tahun 1816, terdapat peraturan-peraturan
pemerintah yang mengenai pengajaran, tetapi pelaksanaannya minim. Baru pada tahun 1854,
terdapat pasal-pasal yang secara resmi mengatur pendidikan dan pengajaran.
Meskipun terdapat pasal yang menyatakan bahwa pengajaran negeri adalah perhatian terus-
menerus gubernur-jenderal, namun pasal-pasal berikutnya menunjukkan sifat kolonial
pemerintah Hindia Belanda. Misalnya, pemberian pengajaran kepada anak-anak bangsa
Eropa dibolehkan secara bebas, sementara untuk anak-anak Indonesia hanya diwajibkan
mendirikan sekolah sesuai kebutuhan populasi Eropa.
Pemerintah Hindia Belanda lebih memprioritaskan pendidikan calon-calon pegawai negeri
dan pembantu perusahaan-perusahaan Belanda. Meskipun ada beberapa bupati yang
mendirikan sekolah kabupaten, tujuannya tetap untuk mendidik calon pegawai. Sekolah
bumiputera yang didirikan hanya memiliki tiga kelas, dengan guru dari Kweekschool, dan
sisanya adalah pembantu yang mendapatkan didikan tambahan dari sekolah itu sendiri.
Tujuan pendidikan tersebut tidak berubah ketika pemerintah memberi kelonggaran kepada
anak-anak Indonesia untuk memasuki Europeesche Lagere School, hanya untuk calon peserta
didik "dokter Jawa" dan peserta didik Hoofden School.

ZAMAN ETIK DAN KEBANGUNAN NASIONAL:


Sistem pendidikan pada masa Hindia Belanda, terutama setelah munculnya aliran Ethische
politiek (Etishche koers) pada awal abad ke-20, tetap mencerminkan sifat "kolonial lunak".
Meskipun terdapat usaha kebangunan nasional, sistem pendidikan masih bersifat
"intelektualistis", "individualistis", dan "materialistis", tanpa mencakup cita-cita kebudayaan.
Meskipun Raden Ajeng Kartini dan Dokter Wahidin Sudirohusodo telah memunculkan
semangat nasional, organisasi teknik pendidikan tetap tidak berubah. Meskipun beberapa
sekolah telah mencoba memasukkan unsur kebudayaan dan agama, jiwa kolonial tetap
melekat.

ZAMAN BANGKITNYA JIWA MERDEKA:


Pada tahun 1920, muncul cita-cita baru yang menginginkan perubahan radikal dalam
pendidikan. Cita-cita ini merupakan gabungan kesadaran kultural dan kebangkitan politik,
dengan fokus pada kemerdekaan nusa dan bangsa sebagai jaminan kemerdekaan dan
kebebasan kebudayaan. Gerakan ini diwujudkan oleh "Tamansiswa" di Yogyakarta pada
tahun 1922. Perguruan Tamansiswa menyebar ke seluruh Indonesia, menunjukkan keinginan
untuk membebaskan diri dari pengaruh intelektualisme, individualisme, materialisme, dan
kolonialisme.
TENTANG PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN NASIONAL:
Pendidikan diartikan sebagai upaya memajukan perkembangan budi pekerti, fikiran, dan
jasmani anak-anak untuk meningkatkan kesempurnaan hidup sesuai dengan alam dan
masyarakatnya. Pendidikan harus sesuai dengan kodrat keadaan dan adat istiadat masing-
masing rakyat. Pengaruh zaman, alam, dan pergaulan antarbangsa perlu dipertimbangkan.
Pendidikan nasional menekankan pendidikan berdasarkan garis-garis kultural-nasional untuk
mengangkat derajat negeri dan rakyatnya. Pendidikan budi pekerti harus mengikuti syarat-
syarat kebangsaan dan menuju keluhuran hidup batin dan ketertiban lahir. Anak-anak perlu
mendekatkan hidupnya dengan perikehidupan rakyat melalui cara "pondok sistem" yang
mempersatukan pengajaran pengetahuan dengan pengajaran budi pekerti. Pendidikan jasmani
juga penting untuk kesehatan dan keturunan yang kuat.

TENTANG KEBUDAYAAN:
Kebudayaan, sebagai hasil perjuangan manusia terhadap pengaruh alam dan zaman,
merupakan buah budi manusia dalam mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Beberapa poin
penting terkait kebudayaan meliputi:
1. Bersifat Kebangsaan (Nasional): Kebudayaan selalu mencerminkan kepribadian bangsa
dan merupakan kemenangan terhadap alam dan zaman.
2. Indikator Adab Kemanusiaan: Setiap kebudayaan mencerminkan adab kemanusiaan tinggi
pada hidupnya dan menggunakan keluhuran hidup sebagai ukuran.
3. Pertumbuhan Kebudayaan: Kebudayaan tumbuh seiring kehidupan manusia, melibatkan
proses lahir, tumbuh, berkembang, dan mati.
4. Seleksi dan Evolusi: Kebudayaan mengalami seleksi alami, di mana yang kuat bertahan
hidup dan berkembang, sementara yang lemah cenderung mati.

Kebudayaan Indonesia:
1. Kesatuan Kebudayaan: Meskipun saat ini kebudayaan Indonesia masih merupakan
kumpulan berbagai kebudayaan, kesatuan kebudayaan Indonesia hanya masalah waktu.
2. Modal Kebudayaan Kebangsaan: Untuk membangun kebudayaan kebangsaan Indonesia,
perlu menggunakan seluruh kekayaan kebudayaan dari seluruh daerah Indonesia sebagai
modal.
3. Pertukaran dengan Kebudayaan Asing: Pertukaran dengan kebudayaan dari luar
lingkungan kebangsaan juga perlu dilakukan untuk memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan Indonesia.
4. Syarat Pembaruan: Pembaruan kebudayaan memerlukan hubungan dengan kebudayaan
lain, mempertimbangkan syarat-syarat kontinuitas, konvergensi, dan konsentrisitas.
5. Kemerdekaan Kebudayaan: Kemerdekaan sebuah bangsa tidak hanya berarti kemerdekaan
politik, melainkan juga kemampuan mewujudkan kemerdekaan kebudayaan dengan
mempertahankan kepribadian yang luhur dan luas berdasarkan adab kemanusiaan.

Penutup Pidato:
Pidato tersebut disampaikan sebagai penjelasan dan tambahan terhadap uraian Presiden
Universitas, menjelaskan tentang kebudayaan, kesiapan Indonesia untuk membangun
kebudayaan kebangsaan, dan pentingnya mempertahankan kemerdekaan kebudayaan sebagai
bagian integral dari kemerdekaan suatu bangsa. Pidato diakhiri dengan ucapan terima kasih
atas penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dan apresiasi kepada Prof. Dr. Sardjito atas
pidatonya.

Video “Pendidikan Zaman Kolonial”


 1854 bupati menginisiasi pendirian sekolah kabupaten yang hanya mendidik calon
pegawai, sekolah Bumiputera lahir dengan 3 kelas yang berisi pengajaran membaca,
menulis dan menghitung seperlunya.
 1920 lahir cita-cita baru untuk perubahan radikal dalam pendidikan dan pengajaran
 1922 lahir taman siswa di Yogyakarta

Argumen kritis:
Tugas 1.4: Argumentasi Kritis – Ima Khomsani

Gerakan transformasi Ki Hadjar Dewantara dalam perkembangan pendidikan sebelum


dan sesudah kemerdekaan Indonesia menandai langkah penting dalam membentuk identitas
pendidikan nasional (Anisa, 2023). Tamansiswa, yang diinisiasi oleh Ki Hadjar Dewantara
pada tahun 1922, bertujuan menyediakan pendidikan untuk anak-anak pribumi (Sugiarta et
al., 2019). Meskipun langkah ini diapresiasi sebagai tonggak penting dalam menyebarkan
pendidikan di kalangan masyarakat pribumi, kendala aksesibilitas masih menjadi perhatian.
Kendala infrastruktur dan keterbatasan sumber daya tetap menjadi tantangan bagi pendidikan
Indonesia hingga kini. Transformasi pendidikan perlu terus mempertimbangkan solusi untuk
mengatasi kendala ini guna memastikan akses pendidikan yang merata. Integrasi nilai-nilai
kebudayaan dalam kurikulum Tamansiswa menjadi sorotan kritis. Meskipun Ki Hadjar
Dewantara berkomitmen untuk mengakar pendidikan pada nilai-nilai lokal, implementasinya
sering kali terkendala. Menjaga keseimbangan antara kurikulum nasional dan nilai-nilai lokal
menjadi tantangan yang perlu diatasi. Pentingnya nilai-nilai lokal dalam pendidikan tidak
boleh hilang dalam upaya modernisasi dan globalisasi pendidikan. Perkembangan pendidikan
dapat dilihat pada Angka Partisipasi Sekolah (APS) 2019-2022 menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) yang menunjukkan APS anak usia 7-12 tahun dari waktu ke waktu mengalami
penurunan, 13-23 tahun mengalami fluktuasi. Dari data ini dapat kita lihat bahwa partisipasi
sekolah belum sepenuhnya meningkat dari tahun ke tahun dan masih menjadi PR besar kita
(Badan Pusat Statistik, 2022).

Gambar 1. Angka Partisipasi Sekolah (APS), 2019-2022


Sumber: BPS, Susenas Maret 2019-2022

Filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, terutama semboyan "ing ngarso sung


tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani" tetap relevan dalam konteks
pendidikan modern (Rahayuningsih, 2021). Namun, pelaksanaannya menjadi perhatian kritis.
Keterlibatan siswa dalam kegiatan inovatif, berfikir kreatif, dan berinovasi perlu ditingkatkan
sesuai dengan semangat filosofi tersebut. Profil Pelajar Pancasila yang diusung pemerintah
sebagai upaya mendukung visi Indonesia Maju juga perlu diintegrasikan dengan baik dalam
sistem pendidikan. Perluasan teknologi dalam pendidikan, seperti yang diperkenalkan melalui
kebijakan merdeka belajar, dianggap sebagai langkah positif. Teknologi membuka peluang
baru dalam proses pembelajaran dan dapat membantu para guru serta siswa dalam menjalani
tugas-tugas mereka. Transformasi ini menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas pendidikan
di Indonesia dan menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih inovatif.
Filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yang mencerminkan semangat perjuangan
melawan penjajahan dan kebebasan berpikir, tetap menjadi pondasi penting dalam praksis
pendidikan di Indonesia (Amalia & Asbari, 2023). Namun degradasi nilai dalam masyarakat
menjadi perhatian, yang mencerminkan akumulasi proses pendidikan yang lebih
mengedepankan transformasi knowledge daripada transformasi value. Oleh karena itu,
penting untuk meletakkan kembali pilar filosofi pendidikan yang dicetuskan oleh tokoh
pendidikan di Indonesia.

Referensi:
Amalia, V. R., & Asbari, M. (2023). Merdeka Belajar : Solusi Awal Transformasi
Pendidikan Indonesia ? 02(05), 62–67.
Anisa, A. N. (2023). Ki Hajar Dewantara dan Revolusi Pendidikan pada Masa Pergerakan
Nasional di Indonesia. 3(1), 88–96. https://doi.org/10.22437/jejak.v3i1.24821
Badan Pusat Statistik. (2022). STATISTIK PENDIDIKAN 2022.
Rahayuningsih, F. (2021). Internalisasi Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara Dalam
Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. 1(3), 177–187.
Sugiarta, I. M., Bagus, I., Mardana, P., Adiarta, A., & Artanayasa, I. W. (2019). FILSAFAT
PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA ( TOKOH TIMUR ). 2(3), 124–136.

Anda mungkin juga menyukai