Anda di halaman 1dari 15

KOSMOLOGI KOMPLEK KUBUR: MAKAM KUNO DESA KAWALI DAN

ASTANA GEDE KABUPATEN CIAMIS

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Arkeologi Islam

Dosen Pengampu: Mardani, M.A.Hum

Oleh:

Kelompok 5

Alfa Dini Savitri NIM 1175010013

Astri Setya Suwana NIM 1175010022

Abdurrahman Azzam NIM 1175010165

Balqis Qurratuayun .S. NIM 1175010025

Dini Agustin NIM 1175010036

PROGRAM STUDI : SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SUNAN GUNUNG DJATI

2019/ 1441 H

BANDUNG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................................1
BAB II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................................................2
A. Pengertian Kosmologi...............................................................................................................2
B. Konsep Makam Kuno Dalam Prespektif Arkeologi...................................................................2
BAB III MAKAM KUNO DESA KAWALI DAN ASTANA GEDE, KABUPATEN CIAMIS..........3
A. Makam-makam Kuna di Desa Kawali.......................................................................................3
I. Dusun Indrayasa....................................................................................................................3
II. Dusun Ciakar Hilir.................................................................................................................4
III. Blok Keriasana, Duşun Banjarwaru...................................................................................5
IV. Blok Gandok, Duşun Banjarwaru......................................................................................6
B. Astana Gede..............................................................................................................................6
1) Makam Pangeran Usman.......................................................................................................6
2) Makam Anjungsari Dyah Pitaloka.........................................................................................7
C. Untuk Penanda Makam dan Fungsi Makam..............................................................................7
1) Untuk Penanda Makam..........................................................................................................7

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ciamis memiliki sejarah yang sangat panjang, wilayah ini dahulunya memiliki
peranan yang sangat penting karena menjadi pusat kerajaan Galuh, sebuah kerajaan
besar di Jawa Barat yang berdiri sejak abad ke-7. Salah satu lokasi yang pernah
menjadi ibu kota kerajaan Galuh adalah Kawali, hal itu dibuktikan dengan
ditemukannya situs peninggalan yakni, situs Astana Gede.
Tingggalan arkeologis yang terdapat di situs Astana Gede berasal dari tiga budaya
lokal yang berbeda, yaitu antara budaya lokal, budaya hindu dan Islam. Tinggalan
arkeologis ini terwujud dalam prasasti, batu menhir serta makam.
Hingga saat ini sisa-sisa peninggalan kejayaan kerajaan Galuh pada abad ke-14
masehi masih bisa dilihat di situs Astana Gede Kawali. Banyak tinggalan arkeologis
menarik yang terdapat di situs ini, salah satu yang menarik minat penulis adalah
makam yang terdapat di situs ini, sebab struktur dan bentuknya berbeda degan bentuk
makam pada umumnya.
Maka dari itu penulis ingin menelisik lebih jauh mengenai kosmologi komplek kubur
dari situs Astana Gede di Kawali Kabupaten Ciamis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kosnsep makam dalam kosmologi sunda?
2. Bagaimana struktur makam yang terdapat di situs Astana Gede?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep makam berdasarkan kosmologi masyarakat Sunda.
2. Untuk mengetahui struktur makam yang terdapat di situs Astana Gede

1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

1. Pengertian Kosmologi
Bertolak dari paradigma Barat yang rasionalistik, kosmologi (berasal dari bahasa
Yunani: cosmos artinya dunia) adalah ilmu mengenai dunia atau alam semesta,
sebagai tempat hidup manusia. Dunia seisinya yang wadag, terlihat jelas, nyata, dan
dapat ditangkap panca indera menjadi obyek kajian kosmologi Barat. Ilmu kosmos
berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan: bagaimana bumi (dan dunia) diciptakan,
kapan, bagaimana, bagaimana kedudukan bumi dan benda-benda langit, bagaimana
sistem yang mengaturnya, bagaimana pengaruh dan hubungan satu dengan yang lain,
dan sebagainya. Oleh karena itu, kajian-kajian kosmologi Barat yang penulis temukan
banyak mengarah pada kajian astronomis, yaitu mempelajari kedudukan dan
pergerakan benda-benda langit yang memiliki dampak terhadap perubahan iklim,
cuaca, musim, arah gerak angin, kelembaban, dan lain-lain di bumi, yang
mempengaruhi aktivitas sosial-ekonomi. Aspek meta-empirik kosmologi masuk dalam
wilayah kajian mitos dan mistisisme. Dalam arsitektur, kajian meta-empirik ini
muncul misalnya pada kajian mengenai axis-mundi, the origin of architecture,
primitive hut, dsb. Kosmologi Timur lebih banyak mengungkapkan aspek meta-
empiriknya, sebagaimana kajian meta-empirik Barat mengenai hubungan mitos,
simbol, mistisme, dan arsitektur.

Bagi Nelson et al, kosmologi di level empirik diwujudkan salah satunya dalam
bentuk kalender suku-suku kuno Amerika yang menentukan waktu dan ruang bagi
kegiatan mereka (Nelson et al, 2010). Kalender itu terkait dengan siklus kegiatan
agraris mereka, baik kegiatan rutin, kegiatan tahunan, atau kegiatan periodik lainnya.
Secara lebih detil, Sprajc (2009) menjelaskan bahwa posisi benda-benda langit dibaca
sebagai petunjuk perubahan musim. Benda langit yang dianggap berperan penting
adalah matahari, bulan, dan Venus. Matahari yang membawa kehangatan lantas identik
dengan semangat, gairah, kebahagiaan, terang, dan kebanbgkitan; sedangkan Bulan
dan Venus yang menandai datangnya malam identik dengan kesuburan, kelembaban,
kemuraman, gelap, dan istirahat. Karena peran besar benda-benda langit tersebut bagi
kehidupan masyarakat kuno Amerika, serta adanya ‘mitos’ mengenai asal mula dunia
dan asal mula kehidupan, maka benda-benda langit yang memiliki peran (atau ‘kuasa’)

2
besar atas kehidupan mereka menjadi simbol kekuatan mahadahsyat yang mengatur
dunia (dewa-dewa). Dalam hal ini konteks empirik dan meta-empirik kosmologi
menemukan benang merahnya.

Pada pembahasan awalnya, kosmologi dalam Nelson et al (2010) lebih ditekankan


pada pengetahuan mengenai dunia pada aspek astronominya. Meskipun menyinggung
juga bentuk raut muka bumi, Nelson et al (2010) tidak menjelaskan secara rinci
bagaimana struktur geografis muka bumi tersebut mempengaruhi keputusan desain /
tata ruang. Dalam artikel yang lain pun, kosmologi dijelaskan Sprajc khususnya terkait
kedudukan dan orientasi benda-benda langit dan pergantian musim. Hal ini berbeda
dengan Feng Shui yang dominan unsur geomancy-nya (Xu (1998), 1998). Dalam
artikelnya, Xu (1998) menjelaskan konsep energi Qi yang ditampung dalam rumah
dengan memperhatikan kondisi geografis terkait angin, hujan, panas/api/matahari,
sungai, dan tanah. Kedatangan hujan dan arah angin sangat ditentukan oleh komponen-
komponen alam di langit dan di bumi. Kaidah atau aturan Feng shui banyak diwarnai
oleh konsep-konsep kesepasangan yang berujung pada tercapainya keseimbangan dan
keselarasan.

Telaah kosmologi (Feng Shui) pada paradigma empirik (saja) disampaikan oleh
Faisal (2011). Telaah ini bersifat rasionalistik-eksploratif. Berbeda dengan artikel
utama dan beberapa artikel pembanding lain yang lebih naturalitik, kajian Faisal (2011)
mengkaji secara kuantitatif aspek termal dan kenyamanan fisik rumah yang didesain
dengan menerapkan kaidah Feng Shui. Hasil kajiannya memperkuat hipotesis bahwa
Feng shui memiliki keandalan dalam menciptakan kenyamana dalam rumah tinggal
khususnya terkait kenyamanan termal (fisik).

Konstelasi benda-benda langit dan perhitungan-perhitungan astronomi yang


memberi andil dalam desain ruang arsitektur sebagaimana dijelaskan dalam artikel
utama disampaikan juga oleh Kak (2002) dalam artikelnya mengenai kosmologi pada
kuil Hindu. Kasus yang diambil Kak adalah kuil Hindu Angkor Wat. Susunan elemen-
elemen pada angkor Wat menunjukkan kesesuaian dengan struktur dan angka-angka
astronomis bulan dan matahari. Simbol-simbol geometris merepresentasikan bumi,
bulan dan matahari. Simbol ini juga lantas diasosiasikan dengan dewa-dewa
penguasanya sesuai kepercayaan mereka. Tampaknya, sebagaimana kosmologi suku
Maya, kosmologi masyarakat Hindu pun menjadi landasan bagi sistem ideologi-politik
Khmer, meskipun tidak eksplisit dijelaskan oleh Kak. Hal ini tampak pada susunan

3
komponen-komponen arsitektur dan pola ruang Angkor Wat yang identik dengan posisi
dan hirarki dewa-dewa, termasuk Raja sebagai wakil/utusan/titisan dewa yang
disimbolkan dalam konfigurasi pusat-tepi kuil Hindu.

Pada suku Maya kuno, arsitektur dan tata ruang dibentuk berdasarkan kebutuhan
kegiatan mereka. Konsep kosmologi empirik di atas, bersama-sama membentuk sistem
ideologi yang akhirnya bercabang-cabang membentuk jalinan dan struktur sosial,
sistem kepemimpinan (ideologi politik), sistem budaya hingga diaplikasikan dalam
praksis kehidupan, salah satunya dalam wujud arsitektur. Akhirnya muncul simbol-
simbol kosmologis yang terintegrasi dengan sistem kepercayaan, sistem sos ial, dan
sistem politik. Posisi, orientasi, kedudukan serta eksistensi benda-benda yang ada di
alam berintegrasi dengan makna simbolik yang menunjukkan keperkasaan, kekuatan,
dll. Makna ini dituangkan dalam bentukan arsitektur.

Telaah kosmologi sebagai aspek meta-empirik yang diwujudkan dalam simbol-


simbol arsitektur banyak dikaji oleh peneliti yang menggunakan paradigma Timur
(Mashuri, 2010; Sumalyo, 2001; Widayat, 2004; Widyatasari, 2002; Wesnawa, 2010;
Xu (1998), 1998; dan Kartono, 2005). Dalam artikel-artikel pembanding tersebut di
atas, definisi kosmologis lebih ditekankan pada aspek meta-empiriknya, kosmologi
identik dengan sistem kepercayaan / agama. Konsep ini menjadi warna dalam
memahami alam semesta di ruang yang mereka kenal. Benda-benda di alam semesta
menjadi perwujudan tokoh, sifat, dan karakter sesuai konsep kosmologi mereka.
Kecuali kajian mengenai Feng Shui, aspek simbolik yang terlalu dominan menjadikan
telaah empirik kosmologis pada artikel-artikel pembanding menjadi tidak terlalu jelas.
Konteks ini yang membedakan artikel utama dengan artikel pembanding. Pada artikel
pembanding, ‘hanya’ posisi dan jalur edar matahari, atau posisi gunung-laut yang
akhirnya menjadi referensi utama dalam penentuan arah dan orientasi bangunan.

Kajian-kajian yang menggunakan paradigma meta-empirik kosmologi lebih kuat


dalam menelaah aspek simbolik dan unsur kepercayaan obyek kasusnya dibandingkan
kajian dari paradigma empirik. Widayat (2003) menelaah kosmologi Jawa melalui figur
Dewi Sri sebagai pemilik ruang sakral rumah Jawa (Krobongan / senthong tengah)
melalui legenda dan mitos. Demikian pula Kartono (2005) yang menelaah konsep
ruang Jawa sebagai tuangan ide-ide kosmologis-meta empirik. Sumalyo (2001) dan
Mashuri (2010) menelaah kosmologi Toraja, Wesnawa (2010) menelaah konsep tri Hita
Karana dari Hindu Bali. Dalam artikel-artikel tersebut kosmologi ditempatkan dalam

4
konteks meta-empirik / transendental, berhubungan dengan ide-ide mengenai dunia
yang diyakini ada tiga fase atau tiga tingkatan: level bawah/rendah identik dengan
energi buruk, dunia sebelum manusia dilahirkan, ruh-ruh jahat; level tengah identik
dengan dunia tempat tinggal manusia setelah dilahirkan, energi pertengahan/madya,
tempat manusia menempa diri; dan level atas identik dengan dunia setelah manusia
meninggal dunia, tempat tinggal dewa-dewa, dan energi positif. Artikel-artikel tersebut
di atas lebih jelas dan detail dalam menjelaskan konsep kosmologi meta-empirik
dibandingkan artikel utama.

2. Konsep Makam Kuno Dalam Prespektif Arkeologi


Istilah makam berasal dari bahasa Arab, qama, dalam bentuk tunggal maskulin
menjadi maqamun berarti tempat atau posisi berdiri.Istilah makam disamakan
artinya dengan kubur.Istilah kubur dalam bahasa Arab berasal dari kata qabara yang
berarti mengebumikan jenazah.Di beberapa tempat di Indonesia ada yang disebut
astana (Jawa, Sunda, Banjar, Cirebon, Banten), setana (Jawa), asta (Madura), astano
dan ustano (Minang).Dalam hal ini kubur dianggap sebagai istana bagi yang
mati.Kesan kemewahan itu dikaitkan dengan si mati yang tinggal di surga dan
dikasihi Tuhan (Montana, 1990:206).Di Aceh istilah kandang sering digunakan
untuk makam para Sultan (Lombard, 1991:181-183).
Batu nisan, jirat dan cungkup merupakan tanda makam. Batu nisan terutama
di daerah Sumatera Barat dan Banjar disebut dengan istilah mejan. Asal kata nisan
telah menimbulkan berbagai tafsiran. L. Ch. Damais mencatat beberapa pendapat
para ahli terhadap asal muasal kata nisan ditinjau dari berbagai bahasa dan akar
katanya. Salah satu yang dikemukakan adalah pendapat Van der Tuuk yang
mengarahkan bahwa bahasa asalnya dari Persia. Arti nisan adalah tanda yang
dalam bahasa Arab berarti Syahid (saksi). Di Jawa kata tetengger berarti tanda
sering disamakan dengan arti maesan.Hidding berpendapat, tak tertutup
kemungkinan kata pasean berasal dari kata maesan bahkan dari kata maejan,
sedangkan Th. Piqeaud menyatakan bentuk asli adalah kata maejan dan kata
maesan merupakan bentuk sekunder. Kamus Greeke&Roorda mencatat, maesan
berarti kebowan (menyerupai kerbau), sehingga L. Ch. Damais berkesimpulan
nisan atau maesan berasal dari bahasa Sansekerta, mahisa (kerbau), disokong oleh
pernyataan bahwa masa pra-Hindu terdapat tradisi menegakkan batu dan
menyembelih kerbau pada upacara persembahan. Barangkali kesimpulan yang

5
disebut Damais mendekati benar karena pada zaman Hindu bahkan sampai
sekarang di beberapa tempat di Indonesia masih ada masyarakat yang melakukan
ritual keagamaan yang cenderung megalitis menempatkan kerbau sebagai
binatang korban serta disertai dengan pendirian bangunan dari batu (Ambari,
1988:10).
Nisan di dalam Islam berfungsi tidak lebih sebagai penanda kubur (Wibisono,
1989:10), untuk membedakan bagian kepala dan kaki serta arah bujur si mayat
yang dikuburkan (Santoso, 1977:498). Oleh karena orientasi arah hadap nisan di
Indonesia selalu ke utara-selatan. Jirat biasa juga disebut kijing adalah bangunan
persegi panjang dibuat di atas permukaan tanah bekas lubang kubur.Di Aceh
bangunan jirat sering mempergunakan lempengan batu yang telah ditatah dan
dihias sedemikian rupa, bahkan ada yang berupa semen yang dibentuk seindah
mungkin, tergantung kepada status sosial dan kondisi ekonomi orang yang
dikuburkan.Oleh sebab itu, seringkali makam kuna yang merupakan makam orang
kaya, bangsawan, tokoh masyarakat dan ulama tampil dengan indah dan mewah
sekali, sedangkan jirat masyarakat biasa hanya dilengkapi dengan jirat berupa
tumpukan tanah atau dengan susunan batu saja.
Selain nisan dan jirat, kadang kala sebuah makam dilengkapi dengan cungkup
yaitu bangunan beratap sebagai penutup dan pelindung makam (Ambary, 1988:11).
Sama halnya dngan jirat, cungkup ada juga yang dibuat sangat sederhana tetapi tak
jarang muncul sangat indah dan raya hiasan, tergantung dengan status sosial dan
kondisi ekonomi orang yang dimakamkan.

6
BAB III
MAKAM KUNO DESA KAWALI DAN ASTANA GEDE, KABUPATEN CIAMIS

A. Makam-makam Kuna di Desa Kawali


Objek penelitian adalah makam-makam kuna yang ada di Desa Kawali, Kecamatan
Kawali, Kabupaten Ciamis. Makam mempunyai arti sebagai tempat menguburkan jenazah.
Kubur tersebut dengan penanda pada perrnukaan berupa jirat dan nisan (tidak harus keduanya
ada). Jirat merupakan bangunan yang mempunyai arah lintang utara-selatan dan terletak di
bagian bawah, sedang nisan merupakan bangunan yang terletak di atas jitrat.

I. Dusun Indrayasa
Di Duşun Indrayasa terdapat kompleks makam yang terletak di bukit, di sebeıah selatan
jalan antara Deşa Kawah dan Sındangsari. Masyarakat sekitar menyebut kompleks makam
ini dengan sebutan gunung.
Merupakan kompleks makam İslam yang sekarang masih difungsikan sebagai
pemakaman. Kompleks makam terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Kelompok pertama merupakan makam Mangkupraja I beserta keturunannya.
Kelompok pertama terbagi ke dalam beberapa halaman dengan pembatas halaman
ditandai dengan tatanan batu. Makam-makam yang bisa dikenali adalah sebagai
berikut:

1) Makam Eyang Rajut


Menurut keterangan juru pelihara situs Astana Gede, şopar, makam Ini merupakan
makam Eyang Rajut yang menempati tempat teratas . Makam ditandai dua buah
nisan yang terletak di bagian utara dan selatan makam dengan jarak 130 cm
antarnısan. Nisan berbentuk segi empat pipih dengan bagıan puncak berupa undak-
undakan makin ke atas makin mengecil. Nisan berukuran tınggi 70 cm secara
keseluruhan dan pada tiap nisan tedapat lingkaran berisi ınskripsi berhuruf Arab
kufik. Nisan dibuat dari batu andesit.

2) Makam Mangkupraja I
Makam Mangkupraja I terletak sekitar 3 meter di sebelah timur makam Eyang Rajut.
Makam berorientasi utara-selatan, ditandai adanya jirat berteras, dan dilengkapi dua
buah nısan.
Jirat berupa susunan batu koral yang terbagİ dalam dua teras tıngkatan. Teras
pertama berukuran tınggİ 30 cm, panpng 570 cm, dan İcbar 420 cm. Pada bagıan

7
barat dari jirat teras pertama ini terdapat bagian yang ditinwkan yang menempel
pada jirat teras kedua berupa SUSUnan batu alam berukuran tınggİ 20 cm, panjang
95 cm, dan İcbar 70 cm. Teras kedua berukuran lebih kecİl, terbuat darİ susunan
batu alam tanpa perekat antarbatu, dan berdenah segi empat. Adapun ukuran dari
teras kedua adalah tinw/tebal 70 cm, panjang 380 cm, dan lebar 70 cm.
Nisan berjumlah dua buah terletak di bayan utara dan selatan Ürat. Nisan berbentuk
segi empat pipih dengan bagian puncak berupa undakundakan makin ke atas makin
mengecil. Kondisi nisan sebelah utara rusak pada bagıan puncak, sedangkan nisan
yang terletak di bagıan selatan terbelah. Nisan berukuran tinggi 50 cm, lebar 23 cm,
dan tebai 7 cm. Kedua buah nisan dilengkapi hiasan lingkaran berdiameter 12 cm
dan pada nisan bagİan selatan dijumpai penggalan ınskripsi berhuruf Arab yang
terdapat di dalam lingkaran. Jarak antarmsan adalah 130 cm. Nisan berasal darİ batu
andesit.

3) Makam Istri Mangku Praja 1


Makam İstri Mangkupraja I terletak di sisi tenggara makam Mangkupraja I. Kondisi
makam sudah tidak utuh, karena hanya tinggal satu buah nisan saja. Data yang bisa
dicatat dari makam ıni adalah adanya satu buah msan yang berbentuk segİ empat
pipih dengan bagian puncak berupa undak-undakan dan terbuat dari batu andesit
berukuran tinggi Keseluruhan 48 cm, tebal 7 cm, lebar 21 cm. Pada bagian atas
terdapat lingkaran di salah satu sisinya. Nisan lain – kemungkinan besar
pasangannya - yang tergeletak di sebelah selatan nisan pertama dalam kondisi rusak.
b) Kelompok kedua merupakan makam umum
Selain dari kelompok makam Mangkupraja I dan keturunannya, di kompleks makam
Duşun Indrayasa dijumpai makam seorang tokoh yang terkenal dengan sebutan
Khalifah. Menurut keterangan juru pelihara situs Astana Gede, Şopar. tokoh ini
dihubungkan dengan penyebaran agama Islam di daerah ini. Makam tersebut terletak di
kompleks pemakaman umum. Makam susunan batu alam vang ditata/dısusun tanpa
perekat antarbatunya dan berdenah segİ empat berukuran 335 x 265 cm.

II. Dusun Ciakar Hilir


Di Dusun Ciakar Hilir terdapat kompleks makam Sang Hyang Adi Dampal. Kompleks
makam terletak di sebuah areal berbentuk segi empat vang dibatasİ oleh pepohonan yang
cukup lebat di pınggır jalan kampung. Kompleks makam lebih tinggi dibandingkan

8
dengan daerah sekitarnya. Selain makam Sang Hyang Adi Dampal, di lokasi teresebut
dijumpai makam Bapak Hafi.

a) Makam Sang Hyang Adi Dampal


Makam Sang Hyang Adi Dampal oleh masyarakat sekitar disebut dengan nama
makam Sang Hyang Adi Dampul. Makam ditandaİ dua buah nısan berorİentasİ
utara-selatan dengan jarak antarnısan 180 cm. Kedua bilâh nisan tersebut berupa
batu alam tegak dengan bentuk yang tidak beraturan. Nisan pertama, terletak di
bagian utara berukuran tinggi 50 cm, sedangkan nisan kedua terletak di bagian
selatan berukuran tinggi 37 cm.
Menurut keterangan Ano Sıyana, juru kunci makam dan mata air Cibarani, scmula
nısan di bagian utara dari makam Sang Hyang Adi Dampal dilengkapi dengan batu
pipisan dan batu gilingan atau İlinggaan. Sekarang batu pipisan disımpan di rumah
Ano Sujana, sedang lilinggaan telah hilang. Batu pipisan mempunyai ukuran
panjang 31 cm dan lebar 13 cm serta tınggı dua buah kaki masıng-masing 5 cm.

b) Makam Bapak Hafi


Makam İni terletak 5 m di sebelah timur darİ makam Sang Hyang Adi Dampal.
Makam ditandaİ dua buah nisan berupa batu alam tegak yang beroncntasi utara-
selatan yang jarak antarmsannya 200 cm. Nisan pertama, terletak di sebelah utara
berukuran tinggi 60 cm, sedangkan nisan kedua di sebelah selatan berukuran tınggİ
80 cm.

III. Blok Keriasana, Duşun Banjarwaru


Di Blok Kertasana, Duşun Banjarwaru terdapat kompleks makam Demang Sacapada.
Kompleks makam terletak di tepi sebelah barat abran Sungai Cikadongdong dan terletak
di puncak bukit yang lebat dengan pepohonan tahunan dan semak-semak. Untuk
mencapaİ ke makam melalui jalan setapak. Di puncak bukİt terdapat dua makam, yaİtu
makam Demang Sacapada dan istrİnya : Andayasari.
Kedua makam terletak di puncak punden berundak yang berjumlah dga teras. Masing-
masıng teras berdenah segİ empat darİ bahan batu alam. Teras pertama/dasar berukuran
1170 cm x 1040 cm dan tinggi 35 cmTeras kedua berukuran 950 cm x 720 cm dan tınggi
40 cm. Teras ketıga berukuran 500 cm x 500 cm dan ünggi 45 cm. Pada sisi barat dari

9
teras Pertama sampai teras kedua terdapat susunan batu alam yang membentuk hamparan
batu berukuran 600 x 250 cm

a) Makam Demang Sacapada


Makam ini ditandai dengan adanya jirat nisan dengan orientasi uara-selatan. Jirat
berupa susunan batu alam berdenah segi empat dengan ukuran panjang 330 lebar
200 cm, dan tinggi 55 cm.
Makam dılengkapi dengan dua buah nisan berbentuk scgı empat dengan bagian
puncak berupa undak-undakan yang makin ke atas makin mengecil dan terbuat darİ
batu andesİt. Nisan berukuran tinggİ 48 dan lebar 25 cm. Pada bagİan tengah nisan
terdapat lingkaran berdiameter 11 cm. Jarak antarnisan 88 cm.

b) Makam Andaya Sari


Makam terletak di sampıng atau di sebelah barat makam Demang Sacapada. Makam
ditandaİ jirat dan dua buah nisan. Jirat berupa susunan batu alam berdenah segİ empat
berukuran 230 cm x 170 cm dan tinggi 35.
Makam dilengkapi dua buah nisan dengan jarak antarnısan 98 cm. Nisan dalam
keadaan rusak.

IV. Blok Gandok, Duşun Banjarwaru


Di Blok Gandok, Duşun Banjarwaru terdapat makam NIas Bagus. Makam Mas Bagus
terletak di kompleks pemakaman umum yang sekarang masih difungsikan. Alakam Mas
Bagus terletak di tengah-tengah pepohonan salak yang cukup lebat.

Makam Mas Bagus ditandai adanya jirat berupa dua buah tatanan alam yang
berdampingan berdenah segi empat. Jirat pertama/luar berukuran 360 x 290 cm dan tinggi
40 cm . Jirat kedua berukuran 170 x 75 cm dengan tinggi 32 cm. Makam berorientasi
utara – selatan.

B. Astana Gede
Situs Astana Gede terletak di kampung Indrayasa. Di situs Astana Gede terdapat banyak
makam, mısalnya makam Demang Singacala, Pangeran Usman, Anjungsari Dyah
Pitaloka, dan para juru kunci situs. Data yang dipilih sebagai sampel adalah makam
Pangeran Usman dan Anjungsari Dyah Pitaloka.

1) Makam Pangeran Usman


Makam Pangeran Usman berorientasi utara-selatan dan ditandai adanya dua buah nisan
berupa batu alam tegak berjarak 5,20 m. Nisan pertama yang terletak di bagian utara

10
berukuran tinggi 53 cm dengan bentuk tidak beraturan. Nisan kedua yang terletak di
bagİan selatan bcrukuran tinggi 70 cm dengan bentuk tidak beraturan.
Makam Pangeran Usman selain ditandai adanya nisan, juga dinaungı cungkup berupa
bangunan tanpa dinding. Bangunan tersebut dibangun oleh scorang warga yang terkabul
hajatnya setelah ziarah ke makam Pangeran Usman.

2) Makam Anjungsari Dyah Pitaloka


Makam Anjungsari Dyah Pitaloka berorientasi utara-selatan dan ditandai adanya dua buah
nisan berupa batu alam tegak berjarak 1,20 m. Nisan pertama yang terletak di bagian utara
berukuran tinggi 26 cm dengan bentuk tidak beraturan. Nisan kedua yang terletak di
bagian selatan berukuran tinggi 54 cm dengan bentuk tidak beraturan.

C. Untuk Penanda Makam dan Fungsi Makam

1) Untuk Penanda Makam


Penelitian meliputi lima lokasi yang berisi makam-makam kuna. Jumlah makam yang
didata secara keseluruhan sebanyak 11 makam.Kesebelas makam tersebut secara
keseluruhannya mempunyai penanda. Secara umum penanda makam terbagi menjadi tiga
bentuk yaitu:
1. Makam dengan penanda berupa jirat yaitu makam khalifah dan Mas
Bagus.

2. Makam dengan penanda berupa nisan, makam Eyang Rajut, Istri Mangkupraja 1,
Sang Hyang Adi Dampal, Pangeran sman, dan Anjungsari Dyah Pitaloka.

3. Makam dengan penanda berupa dan makam Mangkupraja 1, Demang Sacapada, dan
Andayasari.
Jirat makam-makam kuna tersebut pada umumnya terbuat dari tatanan batu alam tanpa
perekat. Secara umum, tersebut dapat dike\ompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Jirat berteras, yaitu makam Mangkupraja 1

2. Jirat tunggal, yaitu makam Khalifah, Demang Sacapada, dan Andayasari.

3. Jirat rangkap tanpa tetas, yaitu makam Mas Bagus.

Sementara itu, penanda makam berupa nisan, kecuali nisan makam Andayasari yang
tidak bisa dikenali bentuknya karena sudah rusak, secara umum terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu:

11
1. Nisan berbentuk batu tegak, yaitu makam Sang Hyang Adi Dampal, Bapak Haji,
Pangeran Usman, dan Anjungsari Dyah Pitaloka. Bentuk nisan yang demikian
menunjukkan adanya pemakaian unsur pra-lslam, yaitu menhir.
2. Nişan segı pipih bagian puncak berupa undak-uııdakan, ıııakin ke atas malan
mengecil, yaıtu makam Eyang Rajut, Mangkupraja l, dan Demang Sacapada. Bentuk
nisan yang dcmıkİan dapat dimasukkan ke dalam tipe nisan Demak Troloyo
(Nurhakim, 1980: 80).

12
13

Anda mungkin juga menyukai