Anda di halaman 1dari 6

TEKNOLOGI KOMUNIKASI

3 SKS
Dosen: A.Judhie Setiawan, M.Si

SURAT KABAR, RADIO, MUSIK REKAMAN, MAJALAH DAN BUKU

SURAT KABAR

Surat Kabar di Indonesia

      Pada tanggal 20 Mei 1974, tidak lama setelah terjadi peristiwa Malari yang
bersejarah itu, Dewan Pers menganugerahi gelar Perintis Pers Indonesia pada
sebelas orang tokoh yang dianggap berjasa bagi perkembangan pers di tanah air
(Soebagijo, 1976).  Entah kebetulan atau tidak, kesebelas tokoh tersebut mulai
merintis dunia pers di tanah air sejak akhir tahun 1800-an hingga menjelang
kemerdekaan.  Mereka adalah dr. Abdul Rivai, Raden Bakrie Soeraatmadja, R.M.
Bintarti, dr. Danudirja Setiabudhi, R. Darmosoegito, R.M. Tirtohadisoerjo, Djamaludin
Adinegoro, dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie, R.M. Soedarjo
Tjokrosisworo, Soetopo Wonobojo, dan Raden Taher Tjindarboemi.

      Umumnya para perintis tersebut berasal dari golongan elit pribumi pada masa
Hindia Belanda.  Maklum saja, peradaban pers sama saja dengan peradaban baca-
tulis.  Umumnya pribumi ketika itu buta huruf.  Kaum priyayi-lah yang
berkesempatan sekolah, bahkan hingga pendidikan tinggi, seperti sekolah
kedokteran di STOVIA.  Beberapa di antaranya, seperti Djamaludin Adinegoro,
bahkan memiliki kesempatan langka, yaitu belajar publisistik dan bahasa di Jerman.

      Pers masa pasca-Jepang mulai “menggeliat” di awal tahun 1946.  Kebebasan


berpendapat ketika itu baru diakui dengan diterapkannya Undang-undang Dasar
1945 (UUD ’45) sebagai konstitusi Republik Indonesia.  Bahkan sejumlah tokoh
menyebutkan bahwa Pasal 28 UUD ’45 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya dietapkan
dengan undang-undang” setaraf dengan First Amendment yang merupakan
konstitusi tentang freedom of speech and press di Amerika Serikat (Sjureich, 1976).

      Ketika itu, sejumlah pers bekas kolonial masih “hidup”.  Mereka berusaha
mempertahankan pengaruhnya, terutama di kota-kota besar.  Oleh karena itu, kaum
wartawan nasional melakukan pertemuan pada tanggal 8 Februari 1946 dan
membuat rumusan pembentukan Pengurus Badan-badan Pers.  Inilah cikal-bakal
Serikat Penerbit Surat kabar (SPS) yang merupakan badan formal pers nasional. 
Mungkin ini juga bagian penting dari sejarah pers nasional kita.  Empat bulan
kemudian, SPS menyelenggarakan kongres mereka yang pertama dan menghasilkan
pengurus yang diketuai Sjamsudin Sutan Makmur.  Tujuan utama pembentuk SPS
ketika itu adalah pemantapan bidang logistik, seperti penyediaan kertas koran dan
tinta yang memang masih sulit didapat pada masa itu.

      Sayangnya, di sekitar tahun 1965, sejumlah surat kabar dibreidel oleh


pemerintahan yang bersifat demokrasi terpimpin.  Sejumlah surat kabar yang
menjadi korban adalah Merdeka, Berita Indonesia, dan Indonesia Observer. 
Pengurus SPS pun tidak lagi dipilih secara demokratis oleh anggotanya, melainkan
ditunjuk oleh pemerintah.  Kebebasan pers dan berpendapat kembali kehilangan
tempatnya seperti masa kolonial dahulu.

    Berakhirnya kekuasaan demokrasi terpimpin yang kemudian digantikan oleh


kekuasaan orde baru, memberi “angin segar” bagi kebebasan pers nasional.  Pers
boleh bersikap kritis terhadap penyimpangan kekuasaan.  Sayang, kondisi tersebut
ternyata tidak berimbang, karena pemerintah orde baru ternyata tidak merespon
segala kritik yang ada.

      Soe Hok Gie dalam artikelnya di Harian Indonesia Raya pada tahun 1968 (Abar,
1995) menyatakan, “…daya kritis dan kebebasan pers memungkinkan masyarakat
tahu secara lengkap berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. 
Namun, kritik tidak ditanggapi oleh pemerintah melalui perubahan yang nyata. 
Pemerintah hanya bermain-main dengan retorika dan janji-janji surga”.

      P.K. Ojong, perintis Harian Kompas dalam “Tajuk Rencana” Kompas  tanggal 31
Juli 1967 (ibid) mengungkapkan, “… dulu (zaman orde lama), pemerintah berbuat,
entah benar entah salah, tetapi rakyat setuju saja.  Sekarang (zaman orde baru),
pemerintah berbuat sesuatu, rakyat tidak setuju, tetapi pemerintah jalan terus.  Jadi
perbedaannya hanyalah, kalau dulu kita bungkem, maka sekarang kita sudah boleh
menyatakan setuju, tetapi belum ada hasilnya”.

      Ashadi Siregar, pengajar Ilmu Komunikasi Massa - Universitas Gajah Mada,


melihat bahwa masa-masa awal orde baru hingga menjelang 1974 adalah masa
konsolidasi kekuasaan rejim orde baru (ibid).  Baginya, masa itu tetap saja masa
bulan madu pers Indonesia dengan pemerintah, terlepas dari pendapat Soe Hok
Gie dan Ojong.  Bagaimanapun, baginya, kondisi tersebut masih jauh lebih baik dari
masa 1960 – 1965.  Pers mengalami booming di awal 1966.  Sejumlah surat kabar
yang telah dibreidel rejim orde lama muncul kembali.  Beberapa Harian yang baru
juga menjamur”.  Muka-muka baru ketika itu adalah Kami, Angkatan Baru, Angkatan
66, Mahasiswa Indonesia, Operasi, dan Trisakti.  Sedangkan nama-nama lama
yang bertahan atau kembali muncul adalah Indonesia Raya, Pedoman, Nusantara,
Abadi, Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Duta Masyarakat, Berita Indonesia,
Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Suluh Marhaen, Suara Islam, Revolusioner, dan
Indonesia Observer.  Judith B. Agassi dalam penelitiannya di tahun 1969 (ibid)
menghitung setidaknya ada 132 Harian dan 114 Mingguan nasional yang beredar di
tahun 1966.
      Akan tetapi, masa bulan madu pers nasional dan rejim orde baru berakhir
setelah meletusnya peristiwa Malari (lima belas Januari) tahun 1974.  Lebih dari 12
koran dibreidel, termasuk Harian Indoneisia Raya yang dipimpin oleh Muchtar Lubis. 
Harian Pedoman milik Rosihan Anwar pun kena “getahnya”.  Di lain pihak, Kompas
lolos dari “maut”, tetapi orientasi “Tajuk Rencana” yang sebelumnya “menyuarakan
hati-nurani rakyat” berubah menjadi bulldog atau juru bicara atau interpreter
pejabat (Tjipta Lesmana dalam ibid).

      “Melompat” ke masa 1990-an, kesalahan masa lalu kembali terulang.  Peristiwa


penting terjadi ketika tiga penerbitan populer di tahun 1993, yaitu Majalah Tempo,
Majalah Editor, dan Tabloid Detik dibreidel.  Meski ketiganya bukan koran harian,
namun konsep pers saat itu telah meliputi pula majalah dan tabloid.  Kasus ketiga
penerbitan itu menjadi preseden tersendiri yang menandakan “matinya” kembali
kebebasan pers.

      Lengser-nya penguasa orde baru, kembali memberi “darah baru” bagi kebebasan
pers.  Lagi-lagi sejarah terulang seperti halnya di tahun 1966, pers kembali
booming di pertengahan 1998.  Sejumlah media baru maupun lama terbit, seperti
Koran Tempo dan Sinar Harapan.  Tabloid dan majalah bermunculan.  Kebebasan
pers memang berlangsung, tetapi cenderung kebablasan.  Pornografi dan fitnah
bertebaran.  “Jatuhnya” Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak lepas dari
kekuasaan pers.  Namun satu hal yang perlu dicatat, media cetak mendapat
saingan berat, terutama media televisi yang bertumbuhan.

      Satu hal lagi yang menandai masa yang disebut reformasi (mulai 1998) adalah
eksisnya sejumlah media daerah (lokal). 

Teknologi Cetak, Distribusi, dan Periklanan

      Pada tahun 1966, jumlah halaman surat kabar di Indonesia dibatasi maksimal
empat halaman saja.  Jumlah iklan yang dimuat pun dibatasi maksimal 30% dari
seluruh isi surat kabar.  Kondisi ini membuat surat kabar sulit berkembang. 
Perbandingan surat kabar pusat dan daerah cukup seimbang.  Distribusi belum
berkembang baik ditandai dengan belum bagusnya transportasi.  Kondisi ini
diperparah oleh adanya penghapusan subsidi kertas.  Anehnya, pada masa itu pers
justru booming.  Untungnya, pada pertengahan tahun yang sama, pembatasan
halaman dan iklan dihapus.  Tak lama, muncullah surat kabar delapan hingga dua
belas halaman.

      Pada tahun 1968, mesin cetak offset mulai masuk ke Indonesia.  Jakarta
mendapat kesempatan lebih dahulu.  Meningginya kualitas cetak telah memancing
pertumbuhan industri periklanan.  “Panen iklan” pada sejumlah koran terkenal
terjadi.  Kini giliran pers daerah yang tertinggal.

      Pada tahun 1972, mesin cetak offset semakin memasyarakat, termasuk di


beberapa daerah.  Sirkulasi sejumlah surat kabar meningkat pesat, terutama di kota-
kota besar.  Pada tahun 1975, kecenderungannya semakin positif meski setahun
sebelumnya pers baru dilanda “badai” pembredeilan.  Seiring meningkatnya
kemampuan baca-tulis, jumlah konsumsi koran pun meningkat.  Para produsen dan
biro iklan “berbondong-bondong” membeli halaman surat kabar.  Pada masa-masa
ini sebenarnya mulai disadari bahwa koran adalah media yang baik untuk
menjangkau masyarakat.  Apalagi ketika itu, koran belum mendapat saingan dari
media lain, seperti radio dan televisi.

      Di era 1990-an, koran mulai tersaingi radio dan televisi.  Munculnya televisi
swasta di tahun 1990-an cukup mengurangi “jatah” iklan surat kabar.  Sejumlah
penerbit mulai melakukan konsolidasi dengan membentuk korporasi media.

      Kini, setidaknya ada empat korporasi atau konglomerasi media besar yang
berawal dari media cetak.  Di Jakarta, setidaknya ada tiga korporasi besar, yaitu
Kelompok Kompas Gramedia, Grup Media Indonesia, dan Grup Tempo.  Di
Surabaya, setidaknya ada Grup Jawa Pos.  Mereka mencoba “menutup” semua
segmen konsumen dengan berbagai genre dan jenis media.  Mereka tidak hanya
berbisnis di kota-kota besar, melainkan juga di kota-kota kecil melalui pers daerah. 
Kelompok Jawa Pos disebut-sebut sebagai yang terkuat di jalur pers daerah.

      Konglomerasi di atas merupakan suatu bentuk konsolidasi korporasi seperti


halnya yang terjadi di Amerika Serikat. Seluruh jalur media tradisional, seperti koran,
majalah, radio, dan televisi juga mereka kuasai.  Korporasi di atas juga “merambah”
media baru seperti Internet. Bahkan mereka telah memiliki surat kabar versi on-line
atau pun khusus surat kabar on-line.

      Jalur distribusi mereka juga terus diperkuat.  Mereka tidak hanya bersaing untuk
merebut hati konsumen, tetapi juga hati para agen.  Distribusi modern seperti
internet juga terus dicoba.  Meskipun sifatnya masih industri, namun kini mereka
juga sadar untuk mulai bersaing di era masyarakat informasi.

Pers Daerah

      Pers daerah adalah nama lain dari pers lokal.  Ashadi Siregar (dalam Abrar,
1992) menyebut pers daerah dengan definisi pers yang melingkupi sebagian
wilayah nasional dan bersifat antardaerah.

      Dahlan Iskan, pemimpin umum Harian Jawa Pos (ibid) mengatakan bahwa era
sekarang adalah era pers daerah.  Pers daerah tidak perlu lagi merasa minder pada
pers nasional.  Jawa Pos (JP) sendiri kebetulan adalah koran daerah meski berbasis
di kota nomor dua terbesar, yaitu Surabaya.  Akan tetapi, JP  adalah induk dari
sejumlah harian daerah bernama depan Radar, seperti Radar Malang, Radar
Cirebon, Radar Banjar, dan Radar Bogor.

      Kelompok Kompas juga memiliki sejumlah koran daerah.  Banjarmasin Pos di


Kalimantan Selatan adalah yang cukup sukses selain Serambi Indonesia di Aceh
dan Sriwijaya Pos di Sumatera Selatan.  Akan tetapi, Bernas di Yogyakarta, Surya di
Surabaya, Metro Bandung di Jawa Barat, Warta Kota di Jakarta, dan Tifa di Irian
masih harus bersaing dengan “pemimpin pasar” di daerah masing-masing.

      Grup Media Indonesia juga memiliki media daerah, seperti Mimbar Umum di
Medan, Semangat di Padang, dan Lampung Pos di Lampung.  Grup Tempo
setidaknya menempatkan Manuntung di Balikpapan, Fajar di Sulawesi Selatan, dan
Cahaya Siang di Manado.

      Beberapa pers daerah di luar konglomerasi besar berdiri cukup solid dan mampu
mengalahkan media nasional, seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran
Tempo, dan Suara Pembaruan.  Mereka adalah Pos Kota di Jakarta, Pikiran Rakyat di
Bandung, Suara Merdeka di Semarang, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Solo Pos di
Surakarta, Sumatera Ekspres di Palembang, Kaltim Pos di Balikpapan, Bali Pos di
Bali, dan Analisa di Medan.

Segmentasi Pasar

      Segmentasi pasar pada surat kabar di Indonesia tidak berlangsung sesemarak


majalah dan tabloid.  Seperti halnya di negara lain, surat kabar cenderung
digolongkan bacaan umum.  Akan tetapi, setidaknya pada masa tahun 1966, pers
cukup terbagi berdasarkan ideologi.  Ketika itu, pers dikelompokkan oleh Agassi
(dalam Abar, 1995) ke dalam:

1. Pers militer, seperti Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, dan Api Pancasila
2. Pers nasionalis, seperti Suluh Marhaen dan El-Bahar
3. Pers intelektual, seperti Kami, Nusantara, Indonesia Raya, dan Pedoman
4. Pers Muslim, seperti Duta Masyarakat, Suara Islam,  dan Angkatan Baru
5. Pers Katolik, seperti Kompas
6. Pers Kristen, seperti Sinar Harapan, dan
7. Pers independen, seperti Merdeka, Jakarta Times, dan Revolusioner.

Kebebasan dan Etika Pers

      Meskipun masalah ini sudah sempat disinggung pada sub-bab sebelumnya,


namun perlu kita ingat bahwa sejarah sempat berulang-ulang.  Masa tanpa
kebebasan pers sudah berlangsung setidaknya tiga masa, yaitu masa kolonial, masa
demokrasi terpimpin, dan masa orde baru pasca 1974.  Di lain pihak, masa
kebebasan pers juga terjadi tiga kali, yaitu masa pasca kemerdekaan, masa awal
orde baru, dan masa reformasi.

      Kebebasan pers yang berlebihan ternyata berimplikasi pada pelanggaran etika


pers, seperti pornografi, ketidakakuratan berita, fitnah, dan pelanggaran privasi.  Di
awal masa reformasi (mungkin hingga kini), kebebasan yang kebablasan itu terjadi. 
Oleh sebab itu, pengaturan undang-undang pers tanpa mengekang fungsi pers
selaku alat kontrol sosial perlu dipelajari dengan seksama.
      Satu untaian wacana singkat sempat diuraikan oleh salah satu tokoh pers,
Gunawan Mohammad, pada tahun 1994 (ibid) mengenai kebebasan pers yang
kalimatnya sebagai berikut:

      “Dalam sejarah pers Indonesia, terutama sejak 20 tahun terakhir, tiap


pembreidelan seakan-akan tak punya bekas.  Satu atau lebih surat kabar ditutup. 
Maka pers yang lain pun jadi takut kehilangan hidup.  Mereka bertiarap, memeluk
jalan yang selamat.  Bahkan ada yang ikut bertepuk-tangan, senang bahwa
kematian itu belum jatuh  ke kepala sendiri.  Kemudian yang terkena berangus pun
–dalam keadaan terisolir, tak terbela—akan cepat, atau perlahan, datang
merangkak, mengetuk pintu Deppen, untuk minta sepucuk surat untuk hidup lagi. 
Ketakutan selalu bersedia membayar tinggi.  Setelah itu, koran atau majalah yang
telah dibunuh itu akan dihadirkan lagi.  Sediakala, nampaknya seakan-akan tidak
ada kaki yang menginjak dan mulut yang terinjak.  Sekali lupa datang, lupa pun
mengampuni, dan dengan itu, kesewenang-wenangan luput dari penangkalan,
terbebas dari rasa mual.  Orang tak tahu lagi di mana bekasnya…”.

Anda mungkin juga menyukai