Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Masalah Istilah pers sebagai terjemahan dari bahasa Inggris press dapat mempunyai
pengertian luas dan sempit. Dalam pengertian luas pers mencangkup semua media
komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi melancarkan atau
menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran atau perasaaan seseorang dan sekelompok
orang kepada orang lain.1 Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk
penerbitan yang melewati proses percetakan seperti surat kabar harian, majalah mingguan,
majalah tengah bulanan, dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak. 2 Sementara itu,
dalam kajian ini yang akan dibahas adalah mengenai pers dalam artian sempit, yang hanya
mencangkup surat kabar harian.

Surat kabar atau pers dalam arti sempit merupakan alat komunikasi massa yang
memberikan kepada lembaga-lembaga komunikasi secara tercetak, lembagalembaga yang
memenuhi syarat-syarat publisita, periodisita, universalita dan aktualaita. Periodesita pada
umumnya berarti satu hari sekali atau beberapa kali dalam sepekan.3 Pada mulanya pers
hanya digunakan dalam pengertian media memiliki beberapa bahasa yaitu Melayu, Jawa,
dan bahasa daerah lainnya yang telah digunakan dalam sejumlah surat kabar, 6 surat kabar
yang telah terbit seperti Soaro Batak dan De Sumatrra Post.7 Hal itu dapat dibuktikan sejak
lahirnya Boedi Oetomo yang beriringan dengan bermunculan organisasi politik, surat kabar
dan majalah pribumi yang ditangani oleh Bangsa Indonesia sendiri.

Pers berkaitan dengan aktivitas menertibkan sesuatu dengan cara dicetak, Perkembangan
pers Indonesia tidak terlepas dari kondisi politik Indonesia, pers di Indonesia mulai
berkembang jauh sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Pers telah dipergunakan oleh
para pendiri bangsa kita sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.

Bagi masyarakat, pers mempunyai dua kedudukan pertama, merupakan media


komunikasi tertua di dunia, kedua, pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial
yang merupakan bagian integral dari masyarakat dan bukan merupakan unsur asing yang
terpisah.4 Sebagai lembaga masyarakat pers juga mempengaruhi dan dipengaruhi lembaga-
lembaga masyarakat lainnya. Dari sudut pandang diatas, jelas bahwa pers menjalankan
fungsinya sebagai salah satu institusi sosial yang penting dalam masyarakat. Sebagai media
komunikasi, pers harus sanggup hidup bekerja sama dan berdampingan dengan lembaga-
lembaga masyarakat lainnya. Dalam hal ini, sifat hubungan antara satu dengan lainnya tidak
luput dari falsafah yang dianut oleh masyarakat dan juga struktur sosial politik yang berlaku.

Surat kabar pertama berbahasa Jawa yang diterbitkan bernama Bromartani di Surakarta,
dan dianggap sebagai perintis dalam pers pribumi.5 Pers pribumi memiliki beberapa bahasa
yaitu Melayu, Jawa, dan bahasa daerah lainnya yang telah digunakan dalam sejumlah surat
kabar, 6 surat kabar yang telah terbit seperti Soaro Batak dan De Sumatrra Post.7 Hal itu
dapat dibuktikan sejak lahirnya Boedi Oetomo yang beriringan dengan bermunculan
organisasi politik, surat kabar dan majalah pribumi yang ditangani oleh Bangsa Indonesia
sendiri.

Pers yang telah membuat revolusi komunikasi, antara lain dengan mengubah pola
komunikasi tradisional menjadi tertulis sehingga bahasa yang disampaikan lebih baik dan
teratur, dalam arti tidak ada perubahan dalam proses penelusurannya pada generasi
selanjutnya. Pada 12 Oktober 1960 Presiden Soekarno sebagai penguasa perang tertinggi
mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap penerbit mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Surat Izin Terbit (SIT). SIT bisa diperoleh jika pers memenuhi persyaratan
antara lain loyal terhadap Manipol-Usdek, bersedia mentaati Peraturan Penguasa Perang
Tertinggi No.10 tahun 1960,8 serta bersedia menandatangani perjanjian pemenuhan
kewajiban yang berisi 19 pasal.9

Sejak awal pemerintah Hindia Belanda memberikan aturan ketat mengenai pers yang
beredar diwilayahnya. Pemerintah Hindia Belanda juga seringkali bertindak represif
terhadap sejumlah wartawan yang dianggap berbahaya bagi pemerintah. Multatuli bahkan
mengibaratkan kerja redaktur pers di era ini dengan istilah “bekerja satu kaki dipenjara”
sebagai gambaran betapa ketatnya pengawasan pemerintah Hindia Belanda terhadap pers di
wilayahnya. Lihat Abdurrachman Surjomiharjo, Beberapa Segi Perkembangan Pers di
Hindia Belanda. (Jakarta: Departemen Penerangan Republik Hindia Belanda), 1980, hlm. 31.

Masa Orde Baru yang ditandai dengan jatuhnya pemerintah Presiden Soekarno yang
disertai pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan digantikan oleh Soeharto sebagai
Presiden Indonesia yang kedua menjadikan beberapa surat kabar yang izin terbitnya pernah
dilarang oleh Soekarno dapat kembali terbit pada masa kepemimpinan Soeharto. Pada awal
kepemimpinan Presiden Soeharto pers dan media lebih banyak diberikan ruang berpikir dan
mengeluarkan aspirasi terhadap kebijakan pemerintah terdahulu. Prioritas-prioritas yang
diberikan oleh pemerintah Orde Baru juga dianggap menciptakan stabilitas sosial dan
menumbuhkan kembali perekonomian yang sempat menurun pada masa orde lama.

Pers juga menciptakan sistem komunikasi terbuka, sehingga informasi dapat diperoleh
oleh golongan manapun. Adanya informasi yang terbuka ini semua golongan berhak
membaca dan memberikan kritik terhadap apapun tanpa ada intimidasi oleh pemerintah dan
posisi monopolistis orang yang berstatus golongan kelas atas. 10 Di Jawa Barat pers
mengalami perkembangan yang cukup pesat, salah satu media pers yang mengalami
perkembangan yaitu Harian Umum Pikiran Rakyat. Harian Umum (HU) Pikiran Rakyat
dilahirkan untuk menjadi media yang kritis dan mendomisili di Jawa Barat. Pikiran Rakyat
dikelola oleh generasi terbaik pada awal pendiriaanya 1950, surat kabar ini diyakini akan
terus tumbuh dan berkembang baik sebagai institusi sosial maupun bisnis.
Sejak dikeluarkan dekrit presiden pada tahun 1959 yang mengharuskan media untuk
berafiliasi terhadap angkatan bersejata membuat kondisi pers tidak dapat bergerak bebas.
Tidak hanya itu, setiap penerbitan media cetak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh
SIT (Surat Izin Terbit). Adanya peraturan tersebut membuat surat kabar Pikiran Rakyat
berhenti untuk sementara pada awal tahun 1966 dikarenakan media pikiran rakyat dianggap
tidak berafiliasi kepada Angkatan Bersenjata. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 24 Maret
1966 surat kabar Pikiran Rakyat muncul kembali dan bertepatan dengan peringatan ke-20
peristiwa heroik Bandung Lautan Api.

Pada awal tahun 1974, Pikiran Rakyat mencatat peristiwa penting, untuk pertama kalinya
perusahaan berhasil melengkapi diri dengan sarana percetakan offset yang dibeli dari
fasilitas PMDN dari bantuan BRI. Mesin cetak ini mampu mencetak koran sebanyak 25.000
eksemplar per jam. Sejak tahun itu, peredaran Pikiran Rakyat dapat merambah ke seluruh
pelosok Jawa Barat dan memantapkan diri sebagai korannya orang Jawa Barat, sekaligus
yang terbesar di provinsi Jawa Barat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian sistem pers perjuangan,pers kemerdekaan,pers orde baru,pers


reformasi,pers perkembangan di Indonesia?
2. Bagaimana perbandingan sistem pers perjuangan,pers kemerdekaan,pers orde baru,pers pers
reformasi di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Bagaimana pengertian sistem pers perjuangan,pers kemerdekaan,pers orde baru,pers


reformasi,pers perkembangan di Indonesia.

1. Sistem pers kemerdekaan

Sistem pers kemerdekaan adalah suatu sistem dimana media massa, seperti koran,
majalah, televisi, radio, dan situs web berita memiliki kebebasan untuk melaporkan dan
mengungkapkan informasi secara bebas tanpa ada intervensi dari pihak-pihak tertentu,
seperti pemerintah atau perusahaan besar. Sistem pers kemerdekaan ini sangat penting bagi
demokrasi karena memungkinkan masyarakat untuk memperoleh informasi yang akurat dan
beragam, sehingga mereka dapat membuat keputusan yang cerdas dan berdasarkan fakta.

Dalam sistem pers kemerdekaan, wartawan dan media massa bebas untuk mengejar cerita
dan melaporkan berita tanpa takut diintimidasi atau dihukum karena melakukannya. Mereka
juga bebas untuk mengkritik pemerintah atau perusahaan besar, serta memberikan ruang
bagi berbagai pandangan dan pendapat yang berbeda.
Namun, meskipun memiliki kebebasan yang besar, media massa juga diharapkan untuk
bertanggung jawab dalam melaporkan berita dan informasi. Mereka harus memastikan
keakuratan informasi dan memperhatikan privasi dan hak-hak individu. Sebagai
konsekuensinya, sistem pers kemerdekaan sering kali diatur oleh undang-undang atau kode
etik jurnalistik untuk menjamin bahwa media massa bertindak secara profesional dan
bertanggung jawab.

2. Sistem pers perjuangan

Sistem pers perjuangan adalah sebuah sistem pers atau media massa yang memiliki
tujuan utama untuk memperjuangkan suatu hal atau agenda tertentu. Sistem pers perjuangan
biasanya didirikan oleh kelompok atau organisasi yang memiliki tujuan atau agenda politik,
sosial, atau ekonomi tertentu yang ingin disampaikan ke masyarakat luas.

Sistem pers perjuangan biasanya memiliki ciri khas yang berbeda dengan media massa
mainstream, seperti tidak bersikap netral dan objektif, menggunakan bahasa yang emosional
dan persuasif, serta mengedepankan sudut pandang atau perspektif yang mendukung tujuan
atau agenda perjuangan yang diusung. Media massa jenis ini biasanya berusaha untuk
membangkitkan kesadaran dan simpati publik terhadap isu atau perjuangan yang mereka
perjuangkan.

3. Sistem pers orde baru

Sistem pers Orde Baru adalah sebuah sistem pers atau media massa yang berkembang di
Indonesia selama masa pemerintahan Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1966 hingga
1998. Sistem pers Orde Baru ditandai oleh adanya kontrol ketat oleh pemerintah terhadap
media massa dan kebebasan pers yang sangat terbatas. Dalam sistem pers Orde Baru,
pemerintah memiliki kendali penuh atas pembuatan dan penyebaran informasi. Pemerintah
memiliki kekuasaan untuk memberikan ijin operasional bagi media massa, dan juga
memiliki wewenang untuk menutup media massa yang dianggap melanggar aturan atau
kebijakan pemerintah.

Selain itu, dalam sistem pers Orde Baru, media massa tidak diizinkan untuk mengkritik
pemerintah dan kebijakan yang dikeluarkan. Pemerintah memiliki kekuatan untuk
menghukum media massa dan wartawan yang melanggar aturan tersebut.
Sistem pers Orde Baru juga ditandai dengan adanya dominasi media massa oleh pihak
militer dan para oligarki politik yang dekat dengan rezim Orde Baru. Hal ini menyebabkan
kebebasan pers dan pluralisme media sangat terbatas, sehingga menyulitkan masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang objektif dan tidak bias.
Namun, sistem pers Orde Baru juga menghasilkan media massa yang memiliki kemampuan
untuk menyampaikan pesan-pesan politik dan nasionalis yang dapat memperkuat legitimasi
pemerintah pada masa itu.

4. Sistem pers masa reformasi

Sistem pers reformasi adalah sebuah sistem pers atau media massa yang berkembang di
Indonesia setelah terjadinya Reformasi pada tahun 1998 yang mengakhiri masa
pemerintahan Orde Baru. Sistem pers reformasi ditandai dengan adanya kebebasan pers
yang lebih besar dan pluralisme media yang lebih luas. Dalam sistem pers reformasi,
kebebasan pers dijamin oleh konstitusi dan diakui sebagai hak asasi manusia yang harus
dilindungi. Media massa diberikan kebebasan untuk menyampaikan informasi dan pendapat
secara terbuka tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak pemerintah.

Sistem pers reformasi juga memperbolehkan media massa untuk mengkritik pemerintah
dan kebijakan yang dikeluarkan, dan tidak ada lagi kontrol ketat oleh pemerintah terhadap
pembuatan dan penyebaran informasi. Dalam sistem pers reformasi, media massa juga
memiliki kebebasan untuk menyajikan berbagai sudut pandang dan perspektif yang berbeda,
sehingga masyarakat memiliki akses ke informasi yang lebih beragam dan objektif.

Namun, di sisi lain sistem pers reformasi juga menghadapi beberapa tantangan, seperti
adanya kendala dalam mengakses informasi dan kekurangan infrastruktur media massa di
daerah-daerah terpencil. Selain itu, kebebasan pers juga dapat menimbulkan persaingan yang
tidak sehat dan dapat memunculkan media massa yang tidak etis atau tidak bertanggung
jawab.
Secara umum, sistem pers reformasi di Indonesia menghasilkan media massa yang lebih
bebas, pluralis, dan berperan penting dalam memperkuat demokrasi dan tata kelola
pemerintahan yang baik.

5. Pers perkembangan

Pers dapat berkembang pesat secara sebebas-bebasnya (mutlak). Hal ini terjadi karena
kebebasan pers benar-benar dijamin keberadaannya sesuai dengan paham liberalisme.
Wartawan dapat menulis berita secara bebas yang terkadang tidak sesuai dengan
kepentingan masyarakat atau pemerintah.

Pemodal pers dalam negara liberalis dapat berasal dari pemerintah dengan swasta saja
atau berasal dari pemerintah saja. Kontrol sosial dalam sistem pers liberal benar-benar
berlaku secara bebas. Berita-berita ataupun uiasan yang dimuat. dalam media massa dapat
mengandung kritik- kritiktajam, baikditujukan kepada perorangan, lembaga, maupun
pemerintah. Oleh sebab itu suara pers dalam sistem itu tidak selalu mencerminkan
kepentingan pemerintah negaranya.
B. Bagaimana perbandingan sistem pers perjuangan, pers kemerdekaan, pers orde baru,
pers reformasi di Indonesia?

Pers telah berkembang di berbagai negara belahan dunia, termasuk Indonesia . Dari
periode kemerdekaan, perjuangan, orde baru, dan reformasi, Sistem pers di Indonesia
mengalami perubahan sangat signifikan pada masanya. Berikut adalah perbedaan sistem pers
pada setiap periode:

1. Pers Perjuangan

Perkembangan dunia pers di Indonesia diawali sejak masa penjajahan Belanda. Pada
tahun 1744, percobaan pertama untuk menerbitkan media massa diawali dengan terbitnya
surat kabar pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff dengan namaÂ
Bataviasche Nouvelles. Kemudian, pada tahun 1828, Javasche Courant diterbitkan di
Batavia (sekarang Jakarta) dan memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang,
dan berita kutipan dari aktivitas-aktivitas harian di Eropa. Mesin cetak pertama di
Indonesia juga datang melalui Batavia melalui seorang Belanda bernama W. Bruining dari
Rotterdam yang kemudian menerbitkan surat kabar bernama Het Bataviasche Advertantie
Blad. Pada tahun 1885, di seluruh daerah yang dikuasai Belanda, telah terbit sekitar 16
surat kabar dalam bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu seperti
Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor), Selompret
Melajoe, Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa
Jawa, Bromatani yang terbit di Solo.

Dengan adanya surat kabar, beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia mulai


memanfaatkan pers sebagai alat perjuangan. Namun, hal ini dihambat oleh pemerintah
Belanda dengan membuat UU untuk membendung pengaruh pers di Indonesia.
Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang berisi pasal-pasal ancaman hukuman
terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan
terhadap pemerintah Belanda, sekutu, atau kelompok penduduk Belanda.
Saat Jepang masuk dan menguasai Indonesia, surat kabar yang beredar di Indonesia pelan-
pelan mulai diambil alih. Salah satunya adalah dengan menyatukan beberapa surat kabar
untuk mempermudah dan memperketat pengawasan pemerintah Jepang terhadap isi surat
kabar. Konten surat kabar pun kemudian dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk
memuji-muji pemerintahan Jepang. Di masa penjajahan Jepang, pers Indonesia sama
sekali tidak memiliki ruang kebebasan.

Salah satu surat kabar yang diizinkan terbit pada masa itu adalah Tjahaja. Surat
kabar ini sudah menggunakan Bahasa Indonesia dan diterbitkan di Bandung. Kantor
berita Tjahaja dipimpin oleh Oto Iskandar Dinata, R. Bratanata, dan Mohamad Kurdi.
Meskipun terbit dan beredar di Indonesia, surat kabar ini memberitakan segala kondisi
yang terjadi di Jepang.

2. Zaman Kemerdekaan

Ketika pemerintah Jepang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda pencitraan
pemerintah, Indonesia juga melakukan perlawanan dalam hal sabotase komunikasi. Edi
Soeradi, seorang tokoh pers yang menerbitkan surat kabar Berita Indonesia, melakukan
propaganda agar rakyat berdatangan pada Rapat Raksasa Ikada tanggal 19 September
1945 untuk mendengarkan pidato Bung Karno. Beberapa surat kabar yang digunakan
sebagai alat perjuangan lainnya adalah Harian Rakyat, Soeara Indonesia, Pedoman Harian
yang kemudian berubah nama menjadi Soeara Merdeka(Bandung), Kedaulatan
Rakyat(Bukittinggi), Demokrasi (Padang), dan Oetoesan Soematra(Padang).

3. Zaman Orde Lama

Pers pada masa Orde Lama terbagi menjadi dua periode, yakni periode Demokrasi Liberal
dan periode Demokrasi Terpimpin. Pers pada masa Demokrasi Liberal merupakan suatu
masa di mana pers di Indonesia mengalami kebebasan yang begitu besar. Setiap orang
yang memiliki modal dapat memiliki sebuah surat kabar sehingga bebas untuk
mengeluarkan pendapatnya tanpa harus terlebih dahulu mengurus perizinan. Pers pada
masa ini umumnya mewakili aliran-aliran politik yang banyak bertentangan bahkan
disalahgunakan untuk menebar fitnah, mencaci maki, menjatuhkan martabat seseorang
atau keluarga, tanpa memikirkan ukuran sopan-santun dan tatakrama.

Kemudian, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959 yang membuat
Indonesia memasuki sebuah era baru yaitu era Demokrasi Terpimpin. Pada era ini,
terdapat larangan terhadap kegiatan politik termasuk pers. Persyaratan untuk mendapat
Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak diperketat hingga kemudian para buruh dan pegawai
surat kabar banyak melakukan slowdown atau mogok secara halus. Selain itu, Partai
Komunis Indonesia (PKI) juga cukup berpengaruh dalam pemerintahan Indonesia,
sehingga berita yang diterbitkan separuhnya bersifat pro-komunis.

4. Zaman Orde Baru

Pada masa Orde Baru, lahirlah istilah Pers Pancasila, yaitu pers Indonesia dalam arti pers
yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD
1945. Hakikat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas, dan bertanggung
jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif,
serta sebagai penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Namun, masa
kebebasan ini hanya berlangsung selama delapan tahun dan semenjak terjadinya peristiwa
malari (Malapetaka Limabelas Januari) pada 15 Januari 1974, pers harus kembali seperti
zaman orde lama. Dengan peristiwa malari serta beberapa peristiwa lain, beberapa surat
kabar seperti Kompas, Harian Indonesia Raya, dan Majalah Tempo dilarang terbit karena
pers lagi-lagi dibayangi oleh kekuasaan pemerintah yang cenderung memborgol
kebebasan pers dalam membuat berita serta menghilangkan fungsi pers sebagai kontrol
sosial terhadap kinerja pemerinta. Pers pasca peristiwa malari cenderung pers yang
mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara.

5. Zaman Reformasi
Setelah melewati berbagai periode zaman, Reformasi merupakan masa pencerahan
terhadap kebebasan pers setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Titik
kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto sebagai
presiden. Banyak media massa yang muncul dan PWI bukan lagi menjadi satu-satunya
organisasi profesi.

Kalangan pers kembali bernafas lega karena pemerintah mengeluarkan UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU
tersebut, disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara
(pasal 4 ayat 1) dan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan
atau pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 2). Hingga kini, kegiatan jurnalisme diatur dengan
Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Dewan Pers,
walaupun, banyak kegiatan jurnalisme yang melanggar kode etik pers sehingga masih
menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai