BERTANGGUNG JAWAB
07.00 Riyandi Sholikin
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah pers tidak asing terdengar di telinga kita semua, berbicara tentang pers berarti akan
menyangkut aktivitas jurnalistik. Terkadang istilah pers, jurnalistik, dan komunikasi massa
menjadi tercampur baur dan saling tertukar pengertiannya. Apabila pers merupakan salah satu
bentuk komunikasi mass, maka jurnalistik merupakan kegiatan untuk mengisinya
Beberapa ahli politik berpendapat bahwa pers merupakan kekuatan keempat dalam sebuah
negara setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pendapaat tersebut sekiranya tidak berlebihan
karena kenyataannya pers dapat menciptakan/membentuk opini masyarakat luas, sehingga
mampu menggerakkan kekuatan yang sangat besar.
Dalam era demokratisasi ini, pers telah merasakan kebebasan sehingga peranan dan fungsi pers
dapat dirasakan dan dinikmati masyarakat. Pada masa reformasi ini, kebebasan pers telah di buka
lebar-lebar. Pers mendapatkan kebebasan untuk melakukan kritik social terhadap pemerintah.
Pers bebas untuk bergerak dalam melakukan pemberitaan. Meskipun bebas, tetapi pers tetap
bertanggung jawab dalam pemberitaannya. Pemerintah pun tetap melakukan control terhadap
kebebasan pers dalam kehidupan sehari-hari.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah fungsi dan peranan pers ?
2. Bagaimanakah perkembangan pers di Indonesia ?
3. Bagaimanakah maksud pers yang bebas dan bertanggung jawab ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui fungsi dan peranan pers.
2. Untuk mengetahui perkembangan pers di Indonesia.
3. Untuk mengetahui maksud pers yang bebas dan bertanggung jawab.
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :
1. Fungsi dan peranan pers yaitu memberikan layanan terhadap hak masyarakat untuk
mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi dan mendorong terwujudnya demokratisasi,
mendorong tegaknya supremasi hukum,dan tegaknya jaminan HAM. Pers juga berperan
mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
2. Perkembangan pers di Indonesia terbagi atas enam periode yaitu pers Indonesia pada masa
penjajahan belanda, penjajahan jepang, masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, masa Orde
Lama, masa Orde Baru, dan Masa Reformasi, dimana proses perkembangannya sangat beragam.
3. Pers yang bebas dan bertanggung jawab adalah Pers bebas untuk berkarya dan berekspresi,
tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam praktiknya bertanggung jawab diartikan
sebagai bertanggung jawab kepada pemerintah.
B. SARAN
Saran penulis adalah agar masyarakat dapat mengetahui tentang fungsi dan peranan pers dalam
menjalankan tugasnya, dan agar masyarakat juga mengetahui bahwa dalam kerja pers juga diikat
oleh Undang-undang dan tidak bekerja dengan semena-mena. Masyarakat harus tahu bahwa pers
memikul tanggung jawab atau beban yang sangat berat.
Pengertian pers
Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara
harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi
secara dicetak (printed publication).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan
pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi
massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi,
berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain.
Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam
pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses
percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan
sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Buku Four Theories of the Press yang ditulis oleh Wilbur Schramm,dkk mengemukakan 4 teori
terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the libertarian, the social responsibility, dan the soviet
communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat,
guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di
tengah-tengah masyarakat.
Sementara McLuhan menuliskan dalam bukunya Understanding Media terbitan 1996 mengenai
pers sebagai the extended of man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain
dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang bersamaan.
Menurut Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, pers adalah yang membentuk pendapat
umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang membakar semangat para
pejuang dalam memperjuangkan hak-hak Bangsa Indonesia pada masa penjajahan Belanda.
Positif:
keadaan stabiltas negara lebih kondunsif sehingga harga2 kebutuhan pokok amat terjangkau bagi
kaum marjinal.
Negatif:
kebebasan pers termasuk hak berbicara mengeluarkan pendapat, opini dan kreasi dibelenggu,
diatur, dan amat dibatasi oleh pemerintah.
Kebebasan pers
Disamping banyak juga kerugian dan keburukannya. Kesalahannya sebenarnya terletak pada
pengekangan atas kebebasan dalam hal-hal yg sebenarnya tidak perlu dikekang. Justru jika
dikekang akan menimbulkan efek negatif yg merugikan. Sementara kebebasan diberikan kepada
hal-hal yg seharusnya tidak diberi kebebasan. Di samping akibat buruk yg ditimbullkannya pihak
yg berlawanan yg seharusnya diberi kebebasan akan bangkit memberontak dari ketidakberesan
ini. Sebaliknya sekarang kebebasan pers sudah sangat melampaui batas kewajaran jika tidak
ingin dibilang kurang ajar. Banyak kalangan pers yg tidak lagi menjaga kode etiknya. Mereka
kebanyakan hanya ingin mengambil haknya tanpa menghiraukan hak orang lain tentu saja dgn
dalih kebebasan pers. Hal ini justru merusak citra para tokoh pers yg telah memperjuangkan
kebebasan pers itu sendiri. Perjuangan mereka yg ingin memberikan kebebasan kepada pihak yg
berhak dan pantas diberi kebebasan itu krn memang tidak semua orang pantas diberi kebebasan
yg tidak pantas untuknya. Lihatlah sekarang dunia pers kita. Mayoritas media kita baik cetak
maupun elektronik tidak lagi memperhatikan hal-hal yg merupakan esensi dan prinsip serta inti
kehidupan masyarakat sebagai manusia. Keuntungan yg besar sudah menjadi tujuan utama
sehingga apa pun cara dan bentuknya asal bisa mendatangkan keuntungan langsung sikat saja.
Kejujuran sangat kurang sedangkan fitnah dan isu murahan lbh banyak. Kemuliaan tidak lagi
dilirik tapi selera rendahan pornograpi dikemas dalam berbagai bentuk demi memuaskan nafsu
belaka. Tentu saja hal itu dgn dalih kebebasan pers. Provokasi kebencian dan kemarahan menjadi
bumbu penyedap demi larisnya sebuah media.
Hak-hak privasi seseorang juga merupakan hal yg paling banyak dilanggar dan dilangkahi oleh
kalangan pers. Hanya krn merasa sebagai orang pers apakah seseorang merasa boleh-boleh saja
melanggar privasi orang lain? Mungkin bisa saja seseorang mengingkari hal ini tapi kenyataan di
kehidupan nyata sehari-harilah yg menjadi bukti dan saksi nyata dari semua gambaran itu.
Apalagi dampak dan akibat negatif yg banyak ditimbulkan oleh orang-orang rusak dari kalangan
pers ini sangat luar biasa baik langsung maupun tidak langsung. Seseorang bisa belajar kejahatan
dari bacaan atau tontonan yg disuguhkan pers. Bisa merampok membunuh menodong mencuri
memperkosa mendalangi kerusuhan dan lain sebagainya dari sebuah media massa. Penyuguhan
berita dgn bahasa yg justru memancing keingiinan utk melakukan hal serupa menjadi suatu
kesenangan tersendiri bagi orang-orang ini. Intinya jika kalangan pers ingin memperoleh
kebebasannya maka tempatkanlah kebebasan itu pada tempatnya. Serta tutup pintu kebebasan
bagi hal-hal dan orang-orang yg tidak berhak dan pantas diberi kebebasan. Jangan menggiring
dan membiarkan bangsa ini kebablasan dalam kebebasannya. Dalam sebuah pepatah Arab
dikatakan “kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain.” Benar sekali seseorang
bebas utk berkata apapun yg disukainya tapi telinga orang lain pun punya kebebasan utk bebas
dari kata-kata yg tidak disukainya. Adalah bijak jika anda ingin berkata bebas dgn membiarkan
telinga orang bebas dari kata-kata yg tidak baik dari lidah anda. Al-Islam – Pusat Informasi dan
Komunikasi Islam Indonesia
SELAMA ini banyak orang — terutama kaum awam — yang menduga, mengira atau
menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers adalah lembaga yang berdiri sendiri, tidak terkait
dengan masyarakat. Dalam anggapan seperti itu, seorang wartawan atau jurnalis hanyalah
seorang buruh yang bekerja di perusahaan pers berdasarkan assignment atau penugasan redaksi.
Tak ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap nasi – tanpa rasa
tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat. Pastilah ia tidak mengerti hakikat
kebebasan pers, atau bahkan mengira bahwa kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi
pers dan wartawan.”
Padahal, media pers (cetak, radio, televisi, online – selanjutnya disebut media atau pers)
sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau
dalam bahasa politik disebut rakyat. Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan
berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah
gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang
diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to
corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan
yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut,
segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses
(diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.
Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk
mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau
“kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang
demokratis dan terbuka. Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas
Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis,
“Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa
pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama
memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS.
Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan
pers sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai
bagian dari hak asasi manusia. Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to
know) sebagai implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau
berpendapat (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression).
Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi:
kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun,
karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers
sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”
Untuk pertama kalinya dalam sejarah pers Indonesia, kebebasan pers baru diakui secara
konstitusional setelah 54 tahun Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor
40/1999 tentang Pers. Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti secara
merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan pers sendiri pun – yang
mestinya lebih mengerti – masih ada yang kurang faham mengenai makna dan pengertrian
kebebasan pers yang sesungguhnya. Oleh karena mengemban tugas luhur dan mulia itulah, pers
yang bebas juga harus memiliki tanggung jawab – yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik
Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan bertanggung jawab.”
Belakangan, pengertian “bebas” menjadi kabur – terutama di zaman pemerintahan Presiden
Soeharto — gara-gara sikap pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung
jawab” dimaknai sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.” Padahal, yang dimaksud
dengan bebas ialah bebas dalam mengakses informasi yang terbuka; sementara yang dimaksud
dengan bertanggung jawab ialah bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hukum, common
sense, akal sehat.
Jika posisi pers benar-benar ideal, yaitu “bebas dan bertanggung jawab” – sebuah rumusan ala
Indonesia yang menurut saya sangat tepat – maka pers dapat berposisi sebagai “anjing penjaga”
(watch dog) sehingga hak-hak rakyat terlindungi, sementara pemerintah tidak menyalah-gunakan
kekuasaan secara sewenang-wenang. Begitu penting dan idealnya posisi pers dalam sebuah
negara yang demokratis, sehingga kedudukannya disamakan dengan the fourth estate (kekuasaan
ke empat) yang dianggap sejajar dengan tiga pilar demokrasi yang lain yaitu lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
Sekali lagi, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers itu sendiri, melainkan
kepentingan publik, kepentingan rakyat banyak. Namun, oleh karena publik tidak mungkin bisa
mengakses informasi secara langsung – walaupun sebenarnya boleh, karena merupakan salah
satu hak sipil – maka diperlukanlah pers. Yakni pers yang bebas. Bukan bebas dalam arti kata
“semaunya sendiri” melainkan mebas mengakses informasi, beban meliput, bebas menulis dan
menyatakan pendapat – dengan catatan harus bertanggung jawab. Dengan demikian, pers tiada
lain adalah “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah” atau “pembawa amanah” dari hak-
hak sipil atau hak-hak demokrasi. Oleh karena mengemban tugas luhur itulah, sekali lagi, pers
harus bebas tapi bertanggung jawab.
Sejak semula, jati diri dan mission pers (yang ideal) sesungguhnya ialah sebagai alat bagi
kepentingan orang banyak untuk melakukan social control terhadap kekuasaan secara bebas,
terbuka, jujur, bertanggung jawab, sebagai watch dog alias anjing penjaga terhadap hal-hal yang
dianggap menyeleweng dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Namun, lama kelamaan
(sebagian) pers menjadi alat bagi kepentingan salah satu golongan. Negara dan partai politik
menjadikannya sebagai alat propaganda, konglomerat menjadikannya sebagai alat untuk
melindungi mega bisnisnya, organisasi keagamaan menjadikannya sebagai alat dakwah, lembaga
pendidikan menjadikannya alat untuk mendidik, kalangan intertainment menjadikannya sebagai
alat untuk menghibur. Semua itu dengan segment pasar masing-masing sesuai dengan lahan
garapan masing-masing pula. Meski demikian, toh msih cukup banyak pers yang “benar-benar
pers” (katakanlah pers umum) yang lazim disebut sebagai pers yang independen.
Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari
penjajajahan. Ketika itulah pers bahu membahu dengan kaum pergerakan, bahkan mengambil
peran penting dalam perjuangan politik. Pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Ketika
negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi
masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan “demokrasi
terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin. Ketika Presiden Soeharto
memperkenalkan “demokrasi pancasila” (1970) – yang hakikatnya sami mawon dengan
“demokrasi terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers
Indonesia benar-benar bebas.
Sayang, belakangan pers sendiri kurang memahami makna “kebebasan pers” sehingga sebagian
di antara ribuan penerbitan (yang sudah tak lagi memerlukan izin terbit itu!) tidak lagi berperan
sebagai pers yang bertanggung jawab. Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik
peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya. Di lain pihak,
publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka,
termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim
sendiri), bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari
reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.
Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan
lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi
diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi
televisi dan radio. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas
berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena
cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas: tidak profesional, dengan
integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih
mengutamakan sensasi.
Dalam kondisi seperti itu, wajar jika muncul media yang diterbitkan bukan untuk
memperjuangkan idealisme (seperti halnya pers perjuangan atau pers di zaman liberal),
melainkan semata-mata sebagai komoditi. Memang, itu tak berarti bahwa pers yang diterbitkan
oleh pemodal yang cukup kuat sama sekali tidak peduli pada profesionalisme dan idealisme.
Justru profesionalisme dan idealisme dapat terwujud berkat dukungan pemodal yang kuat (tapi
yang mengerti akan idealisme pers). Di sini sampailah kita pada persoalan media pers dewasa
ini: tanpa dukungan modal besar, media pers bakal “mati muda”. Oleh karena itu diperlukan
manajemen yang baik (tidak lagi cukup hanya mengandalkan idealisme!), termasuk trik-trik
dalam hal sirkulasi, marketing (pemasaran) dan advertising (periklanan).
Jika kita mengidam-idamkan sebuah pers yang ideal, bagaimanakah seharusnya jati diri seorang
wartawan? Meskipun wartawan boleh dikata merupakan profesi terbuka, wartawan yang baik
ialah yang memahami perannya sebagaimana telah kita singgung di bagian awal makalah ini,
bahwa dia adalah kepanjangan tangan atau penyambung lidah publik. Oleh karena ia mendapat
amanat publik sehingga mendapat kesempatan untuk mengakses informasi secara bebas (dalam
iklim pers bebas) maka ia harus bertanggung jawab kepada publik, kepada kebenaran, keadilan,
kejujuran, common sense, akal sehat. Ia harus benar-benar profesional, sedapat mungkin
independen, memiliki integritas yang tinggi – dan jangan lupa: berpihak kepada mereka yang
lemah.
Dalam mengakses informasi ia harus obyektif, mendalaminya dari berbagai sudut yang
memungkinkan, sehingga dapat memperoleh atau menggambarkan sebuah kasus secara lengkap,
akurat dan obyektif. Lepas dari apakah dia mendapat gaji besar atau kecil, wartawan yang baik
seharusnya profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi. Cuma sayang sekali,
banyak perusahaan pers yang “tidak sempat” menyelenggarakan inhouse training bagi wartawan
dan redakturnya. Celakanya, ada juga (sebagian) wartawan yang tak mampu menulis berita yang
baik. Bahkan ada yang tak faham persyaratan berita yang klasik: 5-W (who, what, when, where,
why) dan 1-H (how).
Ia juga tak canggung menulis berbagai jenis berita, mulai dari straight news, breaking news
sampai feature. Dengan kata lain, skill (kemampuan, keterampilan) maupun personal quality
ataupun integritasnya benar-benar mumpuni. Lebih dari itu, ia punya the nose of news
(kemampuan mengendus jenis berita), mana berita yang biasa-biasa saja, dan mana berita yang
layak dimuat, atau bahkan eksklusif. Ia mampu melihat dengan jeli apa yang disebut news value
– sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a dog bite a man that is
not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang
hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu baru berita). Selain itu, ia
mampu pula menembus sumber berita, tidak hanya melakukan wawancara yang lazim,
melainkan juga mampu melakukan investigative reporting – kemudian menyajikannya sebagai
feature yang mendalam, indeph reporting, indeph feature..
Kualitas kepribadian wartawan seperti itu berbanding terbalik dengan mereka yang lazim disebut
sebagai “wartawan bodreks”, “wartawan amplop,” “wartawan gadungan”, “wartawan muntaber
alias muncul tanpa berita”, WTS (wartawan tanpa surat kabar). Jenis “wartawan yang tersebut
belakangan itu harus diwaspadai karena mereka bukanlah wartawan yang sebenarnya. Mereka
sering minta uang (bahkan berani memeras) nara sumber. Tapi di lain pihak, inilah repotnya,
juga ada nara sumber yang memberi “amplop” kepada wartawan – karena diminta, karena ingin
agar namanya jangan dicemarkan, atau karena terbiasa menyogok dalam bisnis. Seharusnya
wartawan (yang profesional dan memiliki integritas) merasa tersinggung manakala disodori
“amplop”.
Bagaimana menghadapi wartawan sejenis itu? Gampang. Tolak, atau lebih tegas lagi: laporkan
kepada polisi sebagai kasus pemerasan. Kalau memang Anda bersih, tidak punya aib yang
merugikan publik, seharusnya tidak khawatir diancam akan dicemarkan oleh “wartawan
gadungan” di yellow paper (“pers kuning”) atau pers yang sensasional.
Terakhir, jika ada yang bertanya, bagaimana mengukur impact sebuah berita, tentu saja hal itu
bukan lagi garapan wartawan atau redaktur sebagai praktisi, melainkan lahan bagi pakar ilmu
komunisi (yang pasti bukan petugas humas, public relations) yang bisa berbicara mengenai
“realitas media” dan “realitas sosial” dan kaitannya dengan kecenderungan framing di kalangan
media.
*) Bahan diskusi dalam media training di Perum Peruri, Jakarta, 1 Maret 2007, diedit kembali
pada 18 Januari 2008.
Kebebasan pers
(bahasa Inggris: freedom of the press) adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau
perlindungan hukum yang berkaitan dengan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan
seperti menyebar luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam
material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan
bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga
bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh,
dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak
bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa
setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.
Keadan pers di suatu negara, masing-masing dalam posisi, fungsi serta struktur yang saling
berbeda. Tetapi dalam prakteknya selalu dijumpai ada hubungan antara pers, pemerintah dan
masyarakat. Pada dasarnya tiap negara memiliki sistem pers sendiri-sendiri. Sistem itu selaras
dengan falsafah atau ideologi yang dianut oleh sesuatu bangsa. Pers pada tiap-tiap negara
berbeda-beda satu dengan yang lain. Perbedaan yang paling kelihatan dapat ditemui pada negara-
negara berkem-bang. Hal ini terjadi karena sistem politik dan pemerintahan yang ber-beda-beda,
seperti dari sistem peme-rintahan demokrasi, komunis, diktator, sosialis, dan sebagainya. Sistem
demo-krasi sendiri juga ada yang berbeda-beda, mengikut model tertentu.
Untuk Indonesia, sistem pers walau apapun label yang digunakan tidak boleh lepas dari
perlembagaan negara, dan sistem pemerintahan nega-ra yang dirumuskan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dan Pancasila. Untuk Indonesia konsep pers bebas dan bertanggung jawab dalam
batasan interaksi positif antara pers, masya-rakat, dan pemerintah digunakan dalam
pengembangan kehidupan sis-tem pers. Pers mempunyai peranan yang efektif dalam
menjembatani komunikasi di masyarakat, termasuk antara masyarakat dengan pemerintah. Pers
harus menjadi rekan kerja pemerintah dan masyarakat. Pemerin-tah harus memberikan
kebebasan dan tanggung jawab pada pers untuk menyiarkan berita yang layak untuk disiarkan
asal tetap menjaga kepen-tingan bangsa yang utama.
Kebebasan pers merupakan subsistem dari sistem kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan (UUD1945 pasal 28).
Pelaksanaan kebebasan pers yang dilaksanakan harus mempunyai landasan hukum yang kuat.
Kebebasan pers harus fokus pada permasalahan keseimbangan antara kebebasan dengan
tanggung jawabnya. Karena seperti semboyan dalam hukum komunikasi massa yang dapat
diang-gap baku dan universal, yang mengatakan bahwa kebebasan harus dibarengi dengan
kewajiban-kewa-jiban, maka kebebasan pers bukanlah kebebasan mutlak yang tanpa batasan.
Ada rambu-rambu sebagai koridor kebebasan pers yang harus dipatuhi, agar kebebasan itu tidak
menjadi liar, atau malah merusak. Tetapi semboyan kebebasan pers atau kemerdekaan pers
tersebut dalam implementasinya sering tidak mudah terwujudkan.
Kebebasan pers, secara nor-matif tidak saja dibatasi oleh kaidah atau norma hukum dibidang
media massa, tetapi juga dibatasi oleh etika, norma agama, sosial budaya lainnya yang hidup dan
terpelihara dalam kehidupan masyarakat. Demikian juga dalam pelaksanaan kebebasan pers,
batas-batas kebebasan itu tidak hanya yang tercantum dalam undang-undang pers dan undang-
undang positif lainnya, tetapi juga etika jurnalistik, dan norma-norma sosial budaya lainnya.
Pembatasan kebebasan pers harus dirumuskan dalam undang-undang pokok pers, karana kemer-
dekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi
hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam
kode etika jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Dewasa ini sangat dirasakan pelaksanaan pers dihadapkan pada permasalahan yaitu kebebasan
pers dilapangan masih menghadapi ham-batan dan tantangan, keluhan ini muncul terutama dari
kalangan komu-nitas media massa. Tetapi disisi lain masyarakat mengeluhkan bahwa
pelaksanaan kebebasan pers, sudah melewati batas dan tidak proporsional lagi, sehingga lebih
banyak membawa dampak ketidak harmonisan dalam masyarakat. Antara pelaku media massa
dan masyarakat terjadi ketidak harmonisan. Contohnya sering terjadi masyarakat tidak terima
pemberitaan pers sehingga masyarakat memukul wartawan dan melempari kantor pers dan kasus
Front Pembela Islam menduduki kantor majalah Playboy Indonesia. Untuk itu dalam pasal-pasal
undang-undang pokok pers harus ada perubahan dan perbaikan dalam rangka memenuhi dan
mewujudkan rasa keadilan.
Kebebasan pers itu berasaskan pada tugas, kewajiban dan fungsi pers sesuai pasal 2 Undang-
Undang Pokok Pers serta hak pers sesuai pasal 3 Undang-Undang Pokok Pers No.11/1966.
Dalam penjelasan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut dikatakan bahawa “Dalam melaksanakan fungsi,
kewa-jiban dan haknya Pers Nasional terikat oleh pertanggungjawaban yang diten-tukan dalam
Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pasal 2 ayat 1 dan ayat 2, yang isinya adalah sebagai
berikut:
ayat 1: Kebebasan pers berhubungan erat dengan keperluan adanya per-tanggung jawaban
kepada :
a. Tuhan Yang Maha Esa
b. Kepentingan rakyat dan keselamatan Negara
c. Kelangsungan dan penyelesaian Perjuangan Nasional hingga terwujudnya tujuan
nasional
d. Moral dan tata susila
e. Kepribadian bangsa”.
ayat 2: Kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan
kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan dalam pengertian liberalisme.
Pers yang bebas dan ber-tanggung jawab harus diucapkan dalam satu nafas. Walaupun begitu,
dengan semangat menyebut pers bebas dan bertanggung jawab dalam satu nafas, perlu juga
disatukan pengertian tentang kriteria tersebut. Bahwa pasal 2 TAP MPRS No.
XXXII/MPRS/1966, dapat digunakan sebagai dasar kriteria tersebut.
Keadaan menunjukkan penter-jemah pengertian kebebasan yang hakikatnya adalah kebebasan
yang bertanggung jawab masih belum terlihat keserasian dan keseim-bangannya. Sementara itu
norma-norma, hak dan kewajiban pers seperti yang terkandung di dalam ketentuan-ketentuan
undang-undang yang mengikat serta di dalam kode etika jurnalistik wartawan Indonesia, masih
pula serba mengambang dan tidak seimbang. Tegasnya persepsi pemerin-tah, masyarakat dan
pers sendiri terhadap norma-norma, hak dan kewajiban pers belumlah serasi.
Kebebasan pers (bahasa Inggris: freedom of the press) adalah hak yang diberikan oleh
konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang
dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku
atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.
[1][2]
Daftar isi
1 Bentuk
o 1.1 Indonesia
o 1.2 Amerika Serikat
2 Lihat pula
3 Referensi
4 Pranala luar
Bentuk
Indonesia
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan
bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga
bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh,
dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak
bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa
setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.
Amerika Serikat
Komisi Kebebasan pers (1942-1947) atau dikenal pula sebagai Komisi Hutchins (w:Robert
Hutchins) sebagai pencetus teori tanggung jawab sosial merupakan sebuah komisi untuk
menyelidiki fungsi yang tepat bagi pers dalam demokrasi modern di Amerika serikat dan
memberikan lima prasyarat yang dituntut masyarakat modern dari pers.
1. pers harus menyajikan dalam pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas, pers dituntut
untuk selalu akurat, dan tidak berbohong. fakta harus disajikan sebagai fakta, dan pendapat
harus dikemukakan sebagai murni merupakan sebagai pendapat. komisi membedakan kriteria
kebenaran menurut ukuran masyarakat dibagi dalam masyarakat sederhana dan masyarakat
modern. dalam ukuran masyarakat sederhana, kebenaran akan dicari dengan cara
membandingkan pemberitaan dalam pers dengan informasi dari sumber-sumber lain,
sementara dalam masyarakat modern, isi pemberitaan pers dianggap merupakan sumber
informasi yang dominan, sehingga pers lebih dituntut untuk menyajikan pemberitaan yang
benar. sebagai contoh disebutkan bahwa pers harus bisa membedakan secara jelas mana yang
merupakan peristiwa politik, dan mana yang merupakan pendapat politisi.
2. pers harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik. Media dituntut
untuk membangun relasi interaktif dengan publik dalam pengertian media menyodorkan suatu
masalah kepada khalayak untuk dibahas bersama, meskipun tidak ada aturan hukum yang
mewajibkan pers menjalankan fungsi ini. komisi dalam pertemuan dengan tokoh pers, w:Henry
Luce penerbit majalah Time and Life misalnya mendefinikan tanggung jawab sosial pers sebagai
keharusan memastikan bahwa pers adalah wakil masyarakat secara keseluruhan, bukan
kelompok tertentu saja
3. pers harus menyajikan gambaran yang khas dari setiap kelompok masyarakat dan pers harus
memahami kondisi semua kelompok dimasyarakat tanpa terjebak pada stereotype. Kemampuan
ini akan menghindari terjadinya konflik sosial dan pers harus mampu menjadi penafsir terhadap
karakteristik suatu masyarakat dan memahaminya seperti aspirasi, kelemahan, dan prasangka.
Komisi ini terpengaruh dengan idelogi sosialis yang berkembang pada masa-masa perang dunia
kedua yang yang membedakan dengan terdahulu dalam teori libertarian.
4. pers harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai kemasyarakatan.Pendapat
bahwa hal Ini tidak berarti pers harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha
mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat makna keberadaan masyarakat pada hal-hal yang
harus diraih karena dianggap bahwa pers merupakan instrumen pendidik masyarakat sehingga
pers harus “memikul tanggung jawab sebagai pendidik dalam memaparkan segala sesuatu
dengan mengaitkannya kepada tujuan dasar kemasyarakatan.
5. pers harus membuka akses ke berbagai sumber informasi. Masyarakat industri modern
membutuhkan jauh lebih banyak ketimbang dimasa sebelumnya. Alasan yang dikemukakan
adalah dengan tersebarnya informasi akan memudahkan pemerintah menjalankan tugasnya.
Lewat informasinya sebenarnya media membantu pemerintah menyelesaikan berbagai
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.Teori tanggung jawab sosial ini merupakan
kontruksi transformatif terhadap pemikiran aliran libertarian yang terdulu dikenal dalam
masyarakat pers di Amerika terutama dalam dua hal. yakni
1. teori libertarian menganggap akses bebas ke informasi akan tercipta dengan sendirinya. Namun,
akses itu harus diupayakan. Akses itu tidak akan ada jika khalayak bersikap pasif terhadap
informasi terbatas yang disodorkan kepadanya,
2. teori libertarian menganggap media adalah urusan individu, bukan urusan masyarakat, bahkan
menyatakan bahwa individu boleh berbeda kepentingan terhadap media, dan hal itu akan
membuahkan hasil positif berupa gagasan atau ide yang lebih baik.